top of page

Hasil pencarian

9591 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Tempat Pendidikan Buddha di Nusantara

    TAK semua tinggalan masa Hindu-Buddha di Indonesia merupakan candi pemujaan. Seperti Situs Nalanda di India, Indonesia juga punya bangunan kuno sebagai tempat belajar ajaran Buddha dan asrama bagi para pendeta. Arkeolog Agus Widiatmoko menguraikan pusat-pusat pendidikan Buddha di India muncul sejak awal masehi. Ditandai dengan adanya Situs Piprahwa dari abad 1 dan 2 M, Situs Nagarjunakonda abad 3 M, Situs Ganwaria dari abad 4 M, dan Situs Nalanda yang didirikan masa pemerintahan Gupta pada abad 5 M. Masa Gupta, ditandai dengan pendirian tempat pendidikan Nalanda yang membawa ajaran Buddha memasuki era sumber ilmu pengetahuan. Memasuki abad 6 M, tak hanya dikenal dengan institusi Buddha yang menghasilkan karya seni, Nalanda juga menjadi pusat ajaran Mahayana. Memasuki periode Pala pada akhir abad 8 M hingga akhir abad 11 M, tradisi di Nalanda memainkan peran penting. Di masa jaya Pala yang memerintah di Bengal dan Bihar itu, Buddha menjadi ajaran dan praktik resmi di kerajaan. Pada masa ini pula, pertumbuhan dan perkembangan Buddha Mahayana sangat pesat, khususnya aliran tantrayana. Pada periode Pala banyak didirikan vihara sebagai bagian dari universitas dan pusat pendidikan Buddha. Antara lain vihara Vikramasila, Odantapuri, Somapura, dan Jagaddala. Di antara universitas itu, Nalanda menjadi unggulan dan acuan. “Pusat-pusat pendidikan itu telah mempengaruhi ajaran Buddha di Nusantara,” kata Agus dalam pidato kebudayaan yang berjudul “Hubungan Muoro Jambi, Nalanda, Vikramasila dan Candi Borobudur” di acara Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) di Hotel Grand Inna Malioboro, Yogyakarta, Kamis malam (23/11). Dari hasil penelitian arkeologi di Situs Batujaya, Karawang, dapat diketahui telah ada pembangunan candi bercorak Buddha pada abad 6-7 M dan pembangunan tahap kedua abad 8-10 M. Bukti awal kemampuan penduduk Nusantara membangun candi sebenarnya sudah sejak milenium pertama. I-Tsing, pengelana asal Tiongkok yang datang ke Nusantara pada abad 7 M, dalam Nanhai Ji Gui Neifa Zhuan (Kiriman Catatan Praktik Buddhadaharma dari Laut Selatan), menyebut di wilayah kekuasaan Foshi ada pusat pendidikan Buddha. Tepatnya di daerah yang oleh orang India Selatan disebut Suvarnadvipa atau kini bernama Sumatra. Sumber lain, prasasti di India, Nalanda copperpalate dari abad 9 M yang ditemukan di Vihara I Nalanda, menyebut hubungan bilateral Raja Pala dengan keturunan Dinasti Syailendra bernama Balaputradewa dari Sumatra. Sriwijaya membangun vihara di Nalanda demi kepentingan pengembangan pusat pendidikan di Nusantara, dan pusat studi ilmu filsafat Mahayana di Nalanda menjadi rujukan Buddha di Sriwijaya. “I-Tsing bilang ada pusat pendidikan di Sumatra. Ini menarik. Kalau memang ada, di mana?” kata Agus. Agus kemudian menjelaskan Situs Muarajambi di Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi. Kawasan ini sudah ada sejak abad 7-12 M seiring keberadaan Kerajaan Sriwijaya dan Melayu Kuno yang berpusat di Sumatra. Secara umum, ada dua kompleks bangunan, yaitu vihara dan tempat pemujaan. Ada pembagian ruang di bagian vihara di antaranya ruang tinggal, halaman, tempat ritual ( cetiyaghara ), pendopo ( mandapa), dan fasilitas lain sebagai kelengkapan bangunan, kolam dan sumur. Sementara kuil pemujaan hanya terdiri dari satu satuan ruang. Dalam satu satuan ruang berpagar keliling terdapat pusat ritual atau candi induk, mandapa, struktur stupa. Dengan adanya situs ini, kata Agus, menunjukkan sejak awal perkembangan Buddha di Nusantara, telah ada lokasi untuk mendidik para penganutnya. “Penemuan Prasasti Karangberahi di Jambi, setidaknya dimaknai kekuasaan Sriwijaya pada abad 7 M ikut mendorong kemajuan pendidikan Buddha khususnya di Muarajambi,” jelasnya. Menurut Agus, terkait hubungannya dengan India, ada kesamaan antara Muarajambi dengan Situs Nalanda dan Situs Vikramasila di India. Dua situs Buddha di India punya kronologi masa perkembangan yang saling berkesinambungan. Situs Nalanda dari abad 5-12 M. Situs Vikramasila dari sejak abad 8-13 M. Sedangkan Situs Muarajambi dari abad 7-12 M. Dari sisi arsitektur dan teknologi bangunan, ketiganya pun nampak mirip. Sama-sama memakai bata sebagai bahan utama. Pun soal pola dan satuan bangunan, meski ada beberapa penyesuaian dengan kondisi geografi lokal. Masing-masing situs mempunyai kompleks bangunan vihara dan kuil pemujaan. “Kesamaan ini menunjukkan, lokasi yang dipakai sebagai pusat pendidikan Buddha pada dasarnya tempat tinggal para biksu dalam menjalankan pendidikan Buddha,” kata Agus. Ketiganya juga memilih pola lokasi yang sama. Bangunan-bangunan itu tak jauh dari aliran sungai besar. Sumber daya air di sekitar ketiga situs itu pun melimpah. Meski mirip dengan di India, pusat pendidikan di Sumatra sebenarnya sudah berkembang sebelum pendirian vihara di Nalanda oleh Sriwijaya. Ini terkait berita I-Tsing pada abad 7 M yang sempat tinggal dua bulan di wilayah Sriwijaya untuk memperdalam sabdavidya sebelum ke Nalanda. “Sriwijaya mendirikan vihara di Nalanda dapat dimaknai sebagai upaya menjadikan Suvarnadvipa setara dengan pusat pendidikan di Nalanda,” ujar Agus. Tak cuma di Sumatra, Agus menambahkan, di wilayah Yogyakarta pun ada bangunan yang diperkirakan menjadi pusat pendidikan Buddha. Di kawasan itu terdapat tinggalan Buddha, Candi Sewu dan Candi Sojiwan. Kedua candi itu difungsikan sebagai bangunan pemujaan. “Di dekatnya ada Ratu Boko. Itu kalau menurut saya pribadi vihara besar,” katanya. Sebab, pola ruang yang ada di Ratu Boko punya kemiripan dengan bangunan vihara lainnya. Padahal, selama ini situs itu lebih sering dikaitkan dengan keraton. “Ini harus dikritisi,” tegasnya.

  • Bisnis Gelap Zaman Perang

    SUATU malam yang dingin, Ishak (bukan nama sebenarnya) masih tertidur pulas ketika sang komandan regu dan seorang kawannya membangunkan prajurit remaja tersebut. Dia lantas diperintahkan untuk bersiap-siap. Sepuluh menit kemudian, mereka bertiga sudah berjalan ke suatu tempat yang hanya sang komandan yang tahu. Menjelang subuh, mereka sudah sampai di sebuah gubuk yang masuk wilayah Pakisaji (termasuk Malang). Setelah menunggu sekitar lima menit, tetiba muncul dua orang bercelana loreng tentara Belanda. Tanpa banyak cakap, sang komandan menyerahkan segepok uang merah (uang yang dikeluarkan oleh Pemerintah Sipil Hindia Belanda) lantas memberikannya kepada salah satu dari orang tersebut. Usai menghitung jumlahnya, satu orang lainnya lantas meletakan bawaan mereka yang dibungkus kain hitam. Begitu dibuka, ternyata dua benda yang dibungkus kain itu adalah dua pucuk senjata. “Satu jenis Lee Enfield, satu lagi jenis Brengun,” ungkap eks anggota TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar) itu. Cerita Ishak memang bukan sekadar omong kosong belaka. Sekira 1946-1948, bisnis penyelundupan senjata marak terjadi di wilayah Malang. Dalam Sangkur dan Pena , Asmadi sempat merekam soal ini. Bahkan secara gamblang, dia menyebut kisaran harga senjata dalam kurs uang putih (uang yang dikeluarkan pemerintah RI): Dua Ratus Limapuluh Rupiah untuk sepucuk Brengun dan Seratus Rupiah untuk sepucuk Lee Enfield. Uniknya, kata Asmadi, bisnis senjata tersebut tidak hanya melibatkan tentara Belanda berkulit sawo matang, tapi juga tentara bule juga. Biasanya mereka menjadi pemimpin yang mengatur alur penjualan itu. “Supaya lebih aman, transaksi kerap juga dibayar dengan barang-barang mentah seperti kopi, tembakau, teh, kina dan lain-lain,” ujar penulis yang merupakan eks anggota TRIP Malang itu. Setelah Perjanjian Renville disepakati oleh pihak RI dan Belanda, bisnis senjata malah semakin subur dan terkesan “legal”. Di Malang, rute perjalanan senjata selundupan itu bermula dari pos-pos militer Belanda di Malang, kemudian dialirkan melalui jalan raya Malang-Kepanjen. Dengan kereta api, barang-barang itu diangkut ke Kepanjen. Sesampainya di sana lalu dipindahkan ke truk-truk militer yang wajib membawanya ke garis demarkasi. Di garis demarkasi, kedua pihak yang sebenarnya tengah bermusuhan itu bertemu dalam suasana akrab. “Sikap bermusuhan sama sekali lenyap dan suasana malah menjadi penuh persahabatan karena kedua belah pihak bisa menepati janjinya masing-masing,” tulis Asmadi. Sejarawan asal Australia Robert B. Cribb mengkonfirmasi soal bisnis di zaman perang tersebut. Dalam Gangters and Revolutionaries: The Jakarta People’s Militia and the Indonesian Revolution 1945-1949 , Cribb menyatakan penyelundupan senjata telah terjadi sejak tentara Inggris masuk ke wilayah-wilayah Indonesia pada 1945-1946. Bekerjasama dengan para bandit lokal dan Polisi Sipil Indonesia (yang ada di bawah koordinasi tentara Inggris), tentara Inggris menekuni bisnis itu nyaris tanpa gangguan. Selain milik kesatuan tentara Inggris sendiri, senjata-senjata itu pun sebagian besar adalah hasil rampasan dari tentara Jepang yang disimpan di Singapura. Dari gudang-gudang, secara sistematis senjata-senjata itu lantas mengalir ke Batavia lewat angkutan-angkutan militer dan sesampai di Pelabuhan Tanjungpriok lalu berpindah tangan ke pihak Republik via para pelacur Pasar Senen. “Koneksi dunia hitam juga penting dalam rantai perdagangan senjata itu karena merekalah yang secara langsung bertanggungjawab terhadap aliran senjata itu ke pihak pembeli,” ujar Cribb. Kebiasaan tentara Inggris itu kemudian diteruskan oleh para tentara Belanda yang mendambakan “uang tambahan” untuk bersenang-senang. Pasar Atom adalah tempat favorit untuk melakukan transaksi, selain di batas kota yang masuk dalam wilayah pinggiran Jakarta seperti Bekasi dan Karawang. Tidak hanya dengan uang, senjata pun ditukar dengan candu. Itu seperti dilakukan pada 1948 oleh Letnan Muda Sho Bun Seng, anggota telik sandi TNI (Tentara Nasional Indonesia) dari unit Singa Pasar Usang di Padang, Sumatera Barat. “Barang-barang haram itu kami jual dengan harga tinggi di Singapura, tapi tak jarang langsung ditukar dengan senjata dan amunisi,” kenang lelaki yang menapaki masa tuanya di utara Jakarta itu.*

  • Ketika Sukarno dan Kennedy Berdebat

    HARI masih belum terlalu terik di negara bagian Maryland, Amerika Serikat. Presiden John F. Kennedy bergegas menuju pangkalan Angkatan Udara Andrews. Ada apa gerangan? Rupanya seorang tamu penting telah datang. Pada 24 April 1961, Presiden Sukarno berkunjung ke Amerika Serikat. Pukul 10 pagi, pesawat Pan Am yang membawa rombongan Sukarno mendarat. Presiden Kennedy menerima secara langsung kedatangan Sukarno dengan upacara penyambutan. Pertemuan dilanjutkan ke Washington untuk mengadakan pembicaraan informal. Turut mendampingi Sukarno, Wakil Perdana Menteri Pertama Johanes Leimena, Menteri Luar Negeri Subandrio, dan Duta Besar Zairin Zain. “Ini adalah isyarat sambutan kehormatan luar biasa yang dilakukan presiden Amerika kepada pemimpin Indonesia,” kata Walentina Waluyanti de Jonge dalam Tembak Bung Karno, Rugi 30 Sen. Setibanya di Gedung Putih, Presiden Kennedy membuka pembicaraan. Nota percakapan antara Kennedy dan Sukarno termuat dalam arsip Foreign Relations of the United States, 1961-1963, Volume XXIII: Southeast Asia , dokumen nomor 172. “Mengapa Anda menginginkan Irian Barat?” tanya Kennedy sembari menjelaskan bahwa orang Papua yang ber-ras Melanesia berbeda dengan orang Indonesia pada umumnya yaitu Melayu Mongoloid. Kennedy juga mengingatkan uang yang dikeluarkan oleh Belanda untuk mengelola wilayah tersebut lebih banyak daripada hasil yang didapatkan. “Wilayah itu adalah bagian dari negara kami; Irian Barat harus segera dilepaskan,” ujar Sukarno. “Tetapi, orang Papua itu dari ras yang berbeda,” sanggah Kennedy. Sukarno membalasnya dengan mengurai analogi. “Apakah rakyat Amerika semuanya ras kulit putih?” tanya Sukarno. “Sebuah bangsa bukan sekedar masalah ras atau warna kulit.” Sebagaimana orang-orang kulit hitam dan berwarna lainnya di Amerika, Sukarno menjelaskan maksudnya bahwa Indonesia terdiri dari bermacam-macam ras. Johanes Leimena ikut menimpali Kennedy, bahwa akar budaya dan sejarah Irian Barat banyak dipengaruhi dari Maluku. “Mengapa Anda sangat menginginkan wilayah ini?” Kennedy kembali bertanya. Bisa jadi dia meminta alasan lain. ` “Karena wilayah ini adalah bagian dari bangsa kami,” tegas Sukarno. “Orang Dayak dari Kalimantan juga terbelakang mirip dengan orang Papua di Irian Barat. Hawaii adalah bagian dari Amerika tetapi orang Hawaii berbeda ras dengan orang Amerika kebanyakan. Orang Papua? Ya. Mereka pun ras yang berbeda dan begitu pula orang Dayak. Tetapi orang Dayak senang menjadi bagian dari Indonesia.” Pada kesempatan itu, Kennedy juga mengonfirmasi pandangan Menteri Luar Negeri Belanda Joseph Luns yang menganggap Indonesia akan mengancam wilayah timur dari Irian Barat. Sukarno menampik tudingan itu. Mengenai wilayah Timur dari pulau Irian (Papua Nugini), Sukarno menegaskan wilayah itu bukan bagian dari teritorial Indonesia sehingga tak ada alasan bagi Indonesia untuk mencaploknya. Kennedy tampak memahami tuntutan Indonesia atas wilayah Irian Barat. Namun kepada Sukarno, dia menekankan suatu hal. Masalah Irian Barat akan menjadi rumit dan sukar penyelesaiannya apabila terjadi aksi militer di Irian Barat. Kendati tiada kesepakatan soal Irian Barat, kedua presiden tersebut pada prinsipnya setuju untuk menolak politik kolonialisme. Pembicaraan pun bergeser ke topik lain seputar komunisme di Asia Tenggara dan Indonesia. Kennedy juga menawarkan tim ekonominya untuk membantu program pembangunan semesta Indonesia berjangka delapan tahunan (1961-1969). Menurut sejarawan Baskara Tulus Wardaya, Kennedy mengisyaratkan bahwa dia memiliki kepentingan pribadi untuk memastikan konflik Irian Barat berakhir dengan penyelesaian yang baik. Terjadinya suatu perang lokal akan dapat membahayakan kepentingan Amerika di kawasan Asia Pasifik. “Walaupun tidak yakin apakah Bung Karno akan mewujudkan ancamannya untuk menggunakan kekerasan guna menyelesaikan sengketa Irian Barat, pemerintahan Kennedy tetap tidak ingin mengambil resiko bahwa perselisihan itu akan memanas menjadi konflik militer internasional,” tulis Baskara dalam disertasinya yang dibukukan Indonesia Melawan Amerika: Konflik Perang Dingin 1953-1963 . Pertemuan antara Sukarno dan Kennedy ditutup dengan sesi foto bersama. Juru foto kepresidenan, Robert Knudsen mengabadikan momen ketika keduanya bercengkrama di halaman belakang Gedung Putih. Sebuah potret penuh persahabatan tergambar ketika Sukarno, Kennedy, dan Caroline, putri sulung Kennedy yang berumur empat tahun, difoto bersama. “Dan sampai sekarang gambar Kennedy beserta keluarganya masih ada di rumahku,” tutur Sukarno kepada Cindy Adams dalam otobiografi Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat .*

  • Kiprah Bumiputera di Jurnal Kedokteran Era Hindia Belanda

    Selama hampir seabad (1852-1942), Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie (GTNI) menjadi jurnal medis terkemuka di Hindia Belanda. Hampir seluruh informasi yang dibutuhkan oleh mereka yang hendak mempelajari perkembangan ilmu medis di Hindia Belanda terhimpun di sini. Dengan sendirinya, menjadi kontributor GTNI adalah prestise tersendiri bagi seorang dokter atau peneliti kala itu. Sebelum abad 20, GTNI hanya diisi oleh kontributor Eropa. Lalu, seiring dengan dibukanya sekolah medis di koloni, dokter-dokter kelahiran Hindia mulai ikut mengisi GTNI. Umumnya mereka adalah lulusan STOVIA (Sekolah Pendidikan Dokter Hindia) dan pernah mengenyam pendidikan kedokteran lanjutan di negeri Belanda, baik dari kalangan pribumi maupun Tionghoa. Menurut Hans Pols, sejarawan University of Sydney, lahirnya para penulis medis lokal ini tidak lepas dari peran Christiaan Eijkman. Eijkman, yang dikenal atas penelitiannya tentang penyakit beri-beri, datang ke Hindia Belanda membawa pembaruan dalam penelitian kesehatan modern. Ia membangun sebuah laboratorium medis di rumah sakit militer yang kini menjadi RSPAD Gatot Subroto. “Saat itu dia juga menjadi direktur STOVIA, karena itu ia membolehkan murid-muridnya melakukan penelitian di laboratorium baru itu. Dokter Tjipto Mangunkusumo adalah salah satu yang pernah mengadakan penelitian di laboratorium ini,” tutur Hans Pols. Pengalaman riset semacam itulah yang memungkinkan dokter-dokter pribumi dan juga Tionghoa bisa menulis untuk GTNI. The Medical Journal of the Dutch Indies 1852-1942: A Platform for Medical Research yang disunting Leo van Bergen dkk mencatat sekira 4.500 artikel telah diterbitkan dalam 80 volume GTNI. Dari jumlah itu, sekira 560 artikel ditulis oleh penulis kelahiran Hindia Belanda. Artikel-artikel itu ditulis oleh 195 penulis lokal. Penulis kelahiran Hindia Belanda yang pertama kali tercatat menjadi kontributor GTNI adalah dokter Lim Njat Fat. “Antara 1904 dan 1909 dia menulis empat artikel untuk GTNI. Bersama dengan koleganya, Nel Stokvis-Cohen Stuart, dia menyumbang kontribusi penting untuk pelatihan keperawatan,” tulisvan Bergen dkk. Setelah itu tidak banyak dokter lokal yang menulis untuk GTNI. Hanya dua artikel dari penulis lokal yang terpindai untuk setiap volumenya. Artikel penulis lokal perlahan mulai meningkat jumlahnya sejak 1923. Bahkan, selama periode 1939-1941 rata-rata ada 55 artikel penulis lokal di setiap volume. Hans Pols memindai lima orang dokter-penulis lokal yang produktif menerbitkan artikelnya di GTNI. “Sejak 1924 sampai 1940an jumlah artikel yang ditulis oleh penulis lokal di GTNI mengalami peningkatan. Dan beberapa nama yang sangat aktif menulis di GTNI di antaranya Mas Sardjito menulis 29 artikel, Achmad Mochtar menulis 25 artikel, Raden Soesilo menulis 23 artikel, Mahamad Amir menulis 22 artikel, Mas Soetopo menulis 11 artikel,” tuturnya. Kelima dokter ini memang bukan orang sembarangan. Mereka termasuk tokoh-tokoh yang memiliki kontribusi penting di bidang kesehatan semasa kolonial dan pascakemerdekaan. Sardjito, misalnya, adalah lulusan STOVIA 1915 dan kemudian melanjutkan studinya di Universitas Leiden. Pada 1930an ia menjadi kepala laboratorium kedokteran di Semarang. Selama itu ia banyak menulis tentang bakteriologi, malaria, leptospirosis, kusta, hingga soal-soal kesehatan masyarakat umum. Ketika Indonesia merdeka ia menjadi salah satu pendiri dan juga rektor pertama Universitas Gajah Mada. Ada pula Achmad Mochtar yang merupakan peneliti medis lokal paling berbakat semasa kolonial. Lulus dari Universitas Amsterdam pada 1927 ia kembali ke Hindia Belanda dan meneliti secara intensif penyakit malaria dan kusta. Ia pun aktif menerbitkan laporan penelitiannya di GTNI. Tak hanya soal malaria yang menjadi fokus terbesarnya, tetapi juga soal leptospirosis, kusta, tuberkolusis, dan bakteriologi. “Mochtar bisa saja menjadi pelopor riset medis kala Indonesia merdeka. Tapi, sayangnya ia dituduh terlibat dalam skandal kontaminasi vaksin tetanus dan kemudian dieksekusi oleh Jepang. Padahal dia punya reputasi internasional dan sangat berbakat,” ujar Hans Pols. Dari sisi subjek kajian para dokter lokal tidak berbeda dengan dokter Eropa, mereka menulis hampir semua disiplin ilmu kesehatan. Beberapa isu kesehatan yang menarik minat mereka di antaranya soal praktik dukun, serba-serbi khitan di kalangan muslim, dan juga jamu serta obat herbal Tionghoa. Tak ketinggalan, para dokter lokal ini juga menulis soal kebijakan pemerintah kolonial. Umumnya mereka membandingkan pengalaman mereka di Eropa dengan kondisi di Hindia Belanda. Seperti yang dilakukan oleh dokter Kwa Tjoan Sioe. Termotivasi oleh metode penanganan pasien rawat jalan di Belanda, ia menulis untuk GTNI soal bagaimana dia menginisiasi layanan keperawatan untuk perempuan, baik pribumi maupun Tionghoa, di Jakarta. Tetapi, sebelum pergantian abad, seluruh artikel tentang kebijakan mencoba untuk mendukung kebijakan resmi dari Departemen Kesehatan. Belum terdengar adanya kritik. Kritik mulai terlihat begitu memasuki awal abad 20, ketika para dokter-penulis lokal ikut mengisi GTNI. “Publikasi para dokter lokal Hindia adalah indikasi positif profesionalisme mereka. Sama seperti rekan-rekan Eropanya, mereka menunjukkan pengetahuan medis mereka dengan semakin banyak menulis di GTNI, tidak hanya tentang kasus medis, namun juga masalah kebijakan. Empat dokter Indonesia bahkan berkontribusi dalam edisi ulang tahun GTNI pada 1936. Rupanya dokter Indonesia memiliki keunggulan profesional dan masukan mereka sangat dihargai.” tulis Liesbeth Hesselink dalam The Medical Journal of the Dutch Indies 1852-1942: A Platform for Medical Research .

  • 11 Maestro Bola Kaki Beralih Politisi (Bagian I)

    KENDATI FIFA berupaya sekuat tenaga menjauhkan sepakbola dari politik, olahraga terpopuler di dunia ini sulit jauh dari politik. Malahan, tak sedikit maestro lapangan hijau yang merapatkan diri dengan isu politik kendati tak semua beralih jadi politisi. Diego Armando Maradona, misalnya. Legenda sepakbola Argentina itu tak sekali-dua bicara politik dengan lantang. Maradona dikenal anti-Amerika Serikat. Di otobiografinya, El Diego , Maradona terang-terangan mengagumi sosok pemimpin Kuba Fidel Castro. Maradona juga bersahabat dekat dengan mantan Presiden Venezuela Hugo Chavez di samping Presiden Carlos Menem. Selain Maradona, Johan Cruyff juga nyaring jika bicara politik dan HAM. Dia blak-blakan menentang aksi pembersihan orang-orang kiri di Argentina semasa rezim Jorge Videla. Itu menjadi salah satu faktor Cruyff menolak ikut timnas Belanda ke Piala Dunia 1978 di negeri Tango. Setidaknya ada 11 maestro sepakbola lain yang berkarier sampai di milenium kedua serta tak alergi isu-isu politik dan akhirnya memilih jadi politisi. Ada yang sukses, ada pula yang gagal. Berikut nama-nama itu: George Weah Ikon sepakbola Liberia ini mulai menikmati kecemerlangan karier pesepakbola sejak bergabung di Liga Prancis bersama klub AS Monaco. Karier George Talwon Manneh Oppong Ousman Weah mencapai puncak setelah berseragam merah-hitam, warna kebesaran klub Serie A Italia AC Milan. Di tim asal kota mode itu, Weah bergelimang gelar. Selain dua gelar juara Serie A (1995-1996, 1998-1999), Weah mengoleksi gelar-gelar individu seperti Onze d’Or, Ballon d’Or (1995), dan Golden Foot Legends Award (2005). Setelah gantung sepatu, Weah terjun ke politik dan langsung berniat mencalonkan diri pada Pemilihan Presiden (Pilpres) Liberia 2005 menggunakan kendaraan Partai CDC (Partai Kongres untuk Perubahan Demokratik). Namun, Weah gagal. Menurut BBC News 13 November 2005, Weah dengan perolehan suara 40,6% kalah dari lawannya, Ellen Johnson Sirleaf, yang mendapat suara 59,4%. Pada pemilu 2011, Weah berkenan hanya menjadi calon wakil presiden bersama Winston Tubman. Sialnya, Weah kalah lagi dari Ellen Sirleaf asal Unity Party, 90,7%-9,3%. Weah maju lagi dalam pilpres Liberia 2017 melawan Joseph Boakai dan Charles Brumskine. Meski kalah dari Boakai, Weah lolos ke putaran kedua. Namun, putaran kedua yang sedianya digelar 7 November 2017, ditunda atas perintah mahkamah agung akibat protes Brumskine. Namun, gugatan itu ditolak mahkamah agung. Pada pemilihan putaran kedua Weah menang dan resmi menjadi Presiden Liberia. Pele Semasa menjadi pemain, Edson Arantes do Nascimento atau yang biasa disapa Pele terkesan jarang bicara politik. Maestro yang ibarat dewa bagi masyarakat Brasil ini hanya fokus mengukir prestasi di lapangan hijau bersama klub Santos, kemudian New York Cosmos dan timnas Brasil. Pele ikut mengukir prestasi ikonik Brasil tiga kali juara Piala Dunia (1958, 1962, 1970). Pun begitu, Pele pernah jadi menteri. Pada 1995, Pele ditunjuk Presiden Brasil Fernando Henrique Cardoso untuk menduduki jabatan Menteri Olahraga Luar Biasa. Semasa menjabat, Pele pernah mengajukan program pencegahan korupsi dalam sepakbola Brasil, dijuluki “Pele Law”. Pele, tulis BBC News 25 Maret 1998, mewajibkan klub-klub olahraga mengikuti prosedur dan hukum bisnis, serta menunaikan pajak dalam jangka waktu dua tahun. Pele juga mendesak program itu disetujui badan legislasi Brasil, di mana turut terdapat izin klub-klub mengorganisasi liga kecil yang otomatis memutus monopoli CBF (induk organisasi sepakbola Brasil). Program itu justru ditentang banyak organisasi olahraga. Pele mundur dari jabatannya pada 2001 setelah muncul tuduhan korupsi dana UNICEF 700 ribu dolar Amerika. Tuduhan itu tak pernah terbukti, UNICEF pun membantahnya. Romario Meski berjuluk baixinho atau si kecil, prestasi penyerang Brasil ini samasekali tak kecil. Karier Romario de Souza Faria meroket setelah bergabung dengan klub Eredivisie PSV Eindhoven. Prestasinya yang apik dan stabil membuatnya kemudian dipinang Barcelona. Romario juga melegenda buat para pecinta timnas Brasil. Bersama Selecao (julukan timnas Brasil), Romario mempersembahkan dua trofi Copa America (1989 dan 1997), trofi Piala Dunia 1994, dan gelar juara Piala Konfederasi 1997. Selepas pensiun, Romario terjun ke arena politik. Dengan kendaraan Partai Sosialis Brasil (PSB) di Pemilihan Legislatif 2010, Romario terpilih mewakili Negara Bagian Rio de Janeiro di Camara dos Deputados atau Kamar Perwakilan Rakyat Brasil. Media Brasil Globo4 melaporkan pada Oktober 2010, Romario mendapatkan kursi setelah menempatkan diri di urutan keenam dengan total suara 146.859. Jalan politik Romario kian mulus setelah pada Pemilu 2014 sukses terpilih di Senat Brasil, juga mewakili Negara Bagian Rio de Janeiro. Carlos Valderrama Nama Carlos Alberto Valderrama Palacio melesat sebagai salah satu pesepakbola terhebat Kolombia kala berseragam Deportivo Cali. Kariernya semakin mengkilap setelah merantau ke klub Prancis Montpellier HSC dan klub La Liga Real Valladolid. Di timnas Kolombia, Valderrama masih dihormati sebagai pemain dengan caps atau penampilan terbanyak, 111 laga. Dia menjadi capitan timnas Kolombia di tiga gelaran Piala Dunia (1990, 1994 dan 1998), serta lima turnamen Copa America (1987, 1989, 1991, 1993 dan 1995). Setelah gantung sepatu, pada 2014 Valderrama mencalonkan diri sebagai senat pada Pemilihan Parlemen lewat Partai Sosial Persatuan Nasional. Gianni Rivera Setelah meniti karier di klub medioker Alessandria, Gianni Rivera memahat nama besarnya bersama AC Milan. Tiga titel Serie A, empat gelar Coppa Italia, masing-masing dua trofi Winners Cup dan Piala Champions serta sebiji gelar Intercontinental Cup diraihnya bersama Rossoneri (julukan AC Milan). Adapun bersama Gli Azzurri (julukan timnas Italia), centrocampista (gelandang) kelahiran Alessandria, 18 Agustus 1943 itu memboyong Piala Eropa 1968. Setelah terjun ke dunia politik, karier Rivera sama moncernya. Dengan bendera Partai Demokrasi Kristen, dia merebut satu kursi Parlemen Italia pada Pemilu 1987. Dia terpilih lagi pada 1992 dan 1994 di bawah Pakta Segni. Dua tahun kemudian dia bergabung di Koalisi Uniti nell’Ulivo. Menurut Il Corriere della Sera edis 29 September 2014, Rivera lantas ditunjuk menjadi asisten sekretaris urusan pertahanan di bawah Pemerintahan Romano Prodi. Pada 2005-2009, Rivera duduk sebagai anggota Parlemen (Uni) Eropa.

  • Islamisasi ala Cheng Ho

    MASYARAKAT Indonesia begitu menghormati Laksamana Cheng Ho sebagai seorang muslim yang melakukan Islamisasi di Nusantara. Karenanya dia diabadikan sebagai nama masjid di berbagai daerah. “Itu bagian dari pencarian identitas yang didasarkan atas fakta sejarah. Sejarah digunakan untuk justifikasi dalam rangka formasi identitas Chinese moslem di Indonesia dan kawasan lain,” ujar Singgih Tri Sulistyono, sejarawan Universitas Diponegoro, kepada Historia . Cheng Ho yang bernama asli Ma Ho lahir pada 1371 dari orangtua Muslim etnis Hui di Yunan. Hui adalah komunitas Muslim campuran Mongol-Turki. Pada 1381, Jendral Fu Yu-te dan pasukan Dinasti Ming menduduki Yunan dan menangkapi semua anak lelaki dewasa dan dan anak-anak. “Mereka dipotong alat vitalnya sebagai teror agar tunduk pada negara. Ma Ho adalah salah satu anak yang dikebiri. Dalam perkembangannya, Ma Ho tampil seperti raksasa dengan tinggi lebih dari dua meter yang mungkin disebabkan defisiensi hormon lelaki akibat emaskulasi,” tulis Sumanto Al Qurtuby dalam Arus Cina-Islam-Jawa . Ma Ho membantu Ceng Chu merebut takhta Dinasti Ming dari keponakannya, Kaisar Kien Wen. Sebagai pelarian politik, Kien Wen konon bersembunyi di Palembang. Ceng Chu atau Kaisar Yun Lo memberi nama Cheng Ho dan menjabat pemegang komando tertinggi atas ribuan abdi dalem di Dinas Rumah Tangga Istana. Menurut Sumanto Kaisar Yung Lo mengganti diplomasi politik dari jalur darat menjadi jalur laut. Dia mengerahkan 62 kapal besar dengan 225 junk (kapal berukuran kecil) dan 27.550 orang perwira dan prajurit termasuk politisi, juru tulis, pembuat peta, tabib, ahli astronomi, ahli bahasa, ahli geografi, dan ahli agama. “Sebagai commander in chief -nya diserahkan kepada Cheng Ho lewat sebuah Dekrit Kerajaan dengan wakil Laksamana Muda Heo Shien (Husain), sekretaris Haji Ma Huan dan Fei Shin (Faisal), juru bahasa Arab selain Ma Huan adalah Hassan, seorang imam pada bekas ibukota Sin An (Changan),” tulis Sumanto. Selain mengemban misi menjalin persahabatan dengan negara-negara lain serta menunjukkan supremasi politik dan ekonomi bangsa Tiongkok, ekspedisi Cheng Ho juga membawa agenda tersembunyi ( hidden agenda ). Penempatan konsul, diplomat, dan duta keliling mesti dibaca dalam penegakan otoritas politik. Demikian pula penempatan konsul dagang mesti dilihat dari aspek ekonomi. “Juga persebaran para juru dakwah Islam di hampir setiap kota yang disinggahi adalah upaya melakukan misionarisme Islam (Islamisasi). Singkatnya, ekspedisi besar itu menyimpan hidden agenda baik untuk kepentingan pragmatis Kekaisaran Ming maupun kepentingan ‘primordial Islam’ Cheng Ho,” tulis Sumanto. Sumanto menguraikan di Palembang, Cheng Ho membentuk masyarakat Tionghoa Islam yang sudah sejak zaman Sriwijaya banyak didiami orang-orang Tionghoa. Dari situ, Cheng Ho membentuk komunitas Tionghoa Islam di Sambas. “Barangkali di Palembang-lah masyarakat Tionghoa Islam di Nusantara yang pertama, kemudian diteruskan di Jawa, Semenanjung dan Filipina,” tulis Sumanto. Kehadiran armada Cheng Ho di pesisir Jawa, terutama pada pelayaran pertama tahun 1405 dan ketiga tahun 1413, disambut cukup antusias oleh masyarakat Islam setempat terlebih para pemuka agamanya. Seperti Maulana Malik Ibrahim, tokoh muslim awal di Gresik, yang menyambut baik rombongan Cheng Ho dan Ma Huan. Cheng Ho kemudian meninggalkan juru dakwah Tionghoa dan pengikutnya yang berhasrat tinggal di Jawa untuk berbaur dengan komunitas Islam guna menyebarkan Islam. “Hampir di setiap pesisir Jawa sejak Sunda Kelapa, Cirebon, Semarang, Demak, Jepara sampai Tuban, Gresik dan Surabaya, Cheng Ho selalu menempatkan orang-orang Islam dari Tiongkok,” tulis Sumanto. Namun, Singgih berpendapat “saya belum pernah melihat bukti bahwa Cheng Ho memiliki misi Islamisasi meski dia seorang muslim. Misi pelayarannya untuk meneguhkan kekuasaan kekaisaran Tiongkok di kawasan laut selatan.” Meskipun demikian, Singgih tak menolak jika ada pengikut Cheng Ho yang turut melakukan pengislaman di pesisir Jawa. “Kalau itu (Islamisasi) bisa terjadi. Sebagian dari anak buah Cheng Ho tetap tinggal di pantai utara Jawa. Bagaimanapun juga ada diaspora Muslim Tionghoa pada periode itu untuk berdagang. Para pedagang ini yang mungkin menyebarkan Islam, karena tiap muslim punya kewajiban dakwah meski hanya satu ayat. Mereka berasal dari Mazhab Hanafi. Dengan demikian mereka berkontestasi dengan Mazhab Syafi’i yang dibawa dari India dan Timur Tengah. Lalu kalah,” ujar Singgih. Dari tahun 1405 hingga meninggalnya tahun 1433, Cheng Ho telah melakukan pelayaran tujuh kali dan mengunjungi 37 negara: dari Champa sampai India, sepanjang Teluk Persia serta Laut Merah hingga pesisir Kenya, termasuk Nusantara. “Prestasi besar ini menjadikan Cheng Ho diberi julukan oleh Kaisar Yung Lo sebagai Ma San Bao (Ma Si Tiga Permata). Pada masyarakat santun, julukan itu menunjuk pada Tri Ratna dalam Buddhisme. Sementara pada lingkungan yang bejat, julukan itu berarti bahwa Ma seorang prajurit jempolan meski tak punya zakar dan penis,” tulis Sumanto. Julukan Ma San Bao yang merujuk pada Tri Ratna (Buddha, Dharma, dan Sangha) seakan menyiratkan agama yang dianut Cheng Ho. Buddha adalah guru, Dharma adalah ajaran dan Sangha adalah para pendeta dan vihara . Kendati dijuluki Ma San Bao, Sumanto tetap yakin Cheng Ho adalah seorang muslim yang melakukan Islamisasi. Meyebut Cheng Ho bukan muslim bahkan dijadikan dewa yang disembah di berbagai kelenteng dengan sebutan Sam Po Kong oleh penganut Konfusianis di Tiongkok “adalah sebuah anakronisme (hal ketidakcocokan dengan zaman tertentu, red. ).”

  • Cara Bang Ali Menggunakan APBD

    WAKTU Ali Sadikin mulai kerja sebagai gubernur DKI Jakarta hampir tak tahu mesti mulai dari mana. Untungnya ada Rencana Induk Pembangunan Jakarta yang dibuat pada masa Gubernur Sudiro yang disusun oleh para ahli dari luar negeri. “Saya tahu sudah ada Rencana Induk Pembangunan Jakarta. Maka saya telaah rencana yang sudah dibuat oleh pendahulu saya itu, saya sesuaikan dengan perkembangan keadaan dan menjadikan rencana itu sebagai pedoman bagi pembangunan kota,” kata Ali Sadikin dalam memoarnya, Membenahi Jakarta Menjadi Kota yang Manusiawi karya Ramadhan KH. “Tentu saja penyesuaian-penyesuaian itu tidak asal saja. Semuanya harus diperhitungkan dengan cermat, dibahas secara teliti, baru diputuskan.” Bahkan, Ali tidak membenarkan terjadinya penyimpangan dari rencana itu. “Sebab kalau penyimpangan-penyimpangan itu kita biarkan, pasti tak ada gunanya lagi pedoman itu,” kata Ali. Ali membawa dan membahas rencana itu dengan DPRD-GR. Keluarlah surat keputusan DPRD-GR tanggal 3 Mei 1967 tentang Pengesahan Rencana Induk ( Master Plan ) DKI Jakarta 1965-1985. Rencana induk 20 tahun itu merupakan landasan pokok yang pertama ditetapkan untuk membangun Jakarta. Dan itulah salah satu prioritas utama dalam strategi dasar pemerintahan DKI Jakarta. “Maka, berjalanlah Pemda DKI Jakarta dengan pembangunannya, sementara biaya untuk itu sudah saya dapatkan dari usaha sendiri dengan kiat-kiat yang berani,” kata Ali. Kiat-kiat berani itu seperti mengizinkan perjudian dan memungut pajaknya. Sehingga, orang yang tak suka menjulukinya “gubernur judi” atau “gubernur maksiat.” Ali berhasil meningkatkan APBD DKI Jakarta dari Rp1.169.273.293 pada 1966/1967 menjadi Rp89.516.580.000 pada 1977/1978 atau kurang lebih 77 kali lipat dalam waktu sebelas tahun. Pada periode 1969/1970 sampai 1973/1974, anggaran digunakan untuk proyek-proyek pembangunan yang digolongkan menurut pembidangan: pemerintahan, keamanan dan ketertiban, kesejahteraan rakyat, prasarana, perekonomian, dan perbaikan kampung. Sejak 1971/1972 pembidangan kegiatan bertambah satu bidang yaitu PON VIII di Jakarta. “Melihat persentasenya anggaran pembangunan untuk masing-masing bidang bisa saya ingat bahwa untuk bidang prasarana adalah yang tertinggi, rata-rata lebih dari 40%,” kata Ali. Pada periode selanjutnya 1974/1975 terjadi perubahan dalam pembidangan pembangunan karena disesuaikan dengan pedoman yang dikeluarkan menteri dalam negeri. Sejak periode itu, pembidangan yang berlaku adalah bidang ekonomi sosial dan bidang umum yang mendapat anggaran terbanyak, sekira 60%. “Hal ini karena sarana kota waktu itu sudah membaik,” kata Ali. Dalam menggunakan anggaran, Ali berprinsip untuk mengutamakan anggaran untuk pembangunan. Sedangkan untuk anggaran rutin (biaya yang dikeluarkan bagi pelaksanaan umum pemerintahan di luar pembangunan dalam bentuk proyek) di bawah 50%. “Dalam menyusun anggaran RAPBD saya selalu berpedoman kepada ketetapan bahwa anggaran pembangunan harus lebih dari 50% dan anggaran rutin kurang dari 50% dari anggaran. Policy itu tetap saya pelihara, dari mulai saya jadi gubernur sampai selesai tugas (1966-1977),” kata Ali. Kendati anggaran rutin ditetapkan di bawah 50%, Ali tetap memperhatikan kesejahteraan pegawainya. Oleh karena itu, dia meningkatkan anggaran rutin dari Rp14.951.990.000 pada 1974/1975 menjadi Rp39.726.580.000 pada 1977/1978. “Hal ini antara lain disebabkan nafkah para pegawai patut saya naikkan. Dengan begitu kesejahteraan para pegawai Pemerintah DKI Jakarta naik. Penampilan mereka juga tambah menyenangkan. Harga diri mereka juga bertambah tinggi,” kata Ali.

  • Dihadang TKR di Dawuan

    STASIUN Cikampek, 21 November 1945. Sebuah pesan telegram diterima oleh petugas stasiun kereta api dari petugas telik sandi Resimen V di stasiun kereta api di Jakarta. Isinya pemberitahuan tentang keberangkatan satu formasi pasukan Inggris dari unit Gurkha Rifles yang mengawal kereta api logistik serta amunisi dari Jakarta. “Mereka bergerak menuju Bandung tanpa surat izin dari pemerintah Republik Indonesia," ujar Letnan Kolonel Moeffreni Moe’min dalam Jakarta-Karawang-Bekasi dalam Gejolak Revolusi: Perjuangan Moeffreni Moe’min karya Dien Madjid dan Darmiati. Komandan Resimen V Cikampek itu lantas memerintahkan jajarannya bersiap siaga melakukan penghadangan. Sebagai pengemban tugas adalah Batalyon Priyatna yang berkedudukan di Dawuan, terletak sekira 10 km dari Stasiun Cikampek. Hari menjelang siang saat dua puluh satu gerbong yang ditarik sebuah lokomotif itu bergerak menuju Bandung dari Stasiun Cikampek. Begitu melintas wilayah Dawuan tetiba kereta api yang tengah berjalan pelan, dihadang oleh satu unit pasukan TKR (Tentara Kemanan Rakjat). Beberapa dari mereka lantas meloncat ke atas lokomotif dan dalam bahasa Inggris yang fasih memerintahkan kereta api berhenti. “Kami minta surat izin untuk memasuki daerah kami dari pemerintah Republik Indonesia?" teriak salah satu dari anggota TKR tersebut. “Apa? Kami harus memakai surat izin? Sejak kapan petugas Allied Forces (Tentara Sekutu) yang ditugaskan ke Indonesia harus memakai izin? Tidak ada, kami tidak usah memakai surat izin!” jawab seorang letnan yang memimpin rombongan Sekutu tersebut. Adu mulut pun kemudian terjadi antara anggota Resimen V Cikampek dengan letnan tentara Inggris itu. Di tengah situasi tersebut, tiba-tiba terdengar rentetan tembakan dari salah satu jendela gerbong. Maka tak ayal lagi, tembakan itu disambut oleh salakan senjata dari ratusan prajurit Batalyon Priyatna. Pertempuran seru pun berlangsung. Mungkin karena kalah jumlah dan ketiadaan pengetahuan akan medan setempat, peleton tentara Inggris dari kesatuan Gurkha itu pun menyerah setelah sebagian besar serdadunya banyak yang tewas. “Seluruh isi gerbong kami sita dan empat orang Gurkha kami sisakan sebagai tawanan,” ujar Darminta, 89 tahun, veteran yang terlibat dalam adu senjata itu. Markas Sekutu di Jakarta lantas geger. Mereka lalu melaporkan soal itu kepada Pemerintah Republik Indonesia. Beberapa jam kemudian Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin menelepon Markas Resimen V Cikampek dan memerintahkan Moefreni untuk mengembalikan isi seluruh gerbong yang dirampas serta membebaskan para serdadu yang tertawan. Namun perintah itu ditolak oleh Moefreni. “Kalau kita terlalu mentolelir, lambat laun mereka akan menginjak kita dan kita akan kehilangan wibawa,” demikian alasan Moefreni. Akhirnya beberapa hari kemudian ditemukan jalan tengah: empat tawanan dari unit Gurkha itu akan ditukar dengan delapan tawanan Indonesia. Salah satunya adalah penyair Chairil Anwar. Sedangkan logistik yang sudah disita tidak akan dikembalikan karena sudah terlanjur dibagi-bagikan kepada semua anggota Resimen V Cikampek dan masyarakat sekitar Dawuan. Pihak Markas Besar TKR menugasi Letnan Kolonel A.E. Kawilarang sebagai wakil Republik yang mengurusi pertukaran tawanan tersebut. Menurut Ramadhan K.H. dalam Untuk Sang Merah Putih , begitu bertemu dengan keempat tawanan TKR itu di Stasiun Jatinegara, Kawilarang langsung disambut dengan teriakan "merdeka." Rupanya empat prajurit itu belajar kebiasaan pasukan TKR selama dalam tawanan di Cikampek. Untuk mencegah terjadinya insiden yang sama, selanjutnya dibuat kesepakatan baru bahwa pihak Sekutu akan melibatkan anggota TKR dari Jakarta dalam setiap misi pengiriman logistik via kereta api. Menurut R.H.A. Saleh dalam Mari Bung Rebut Kembali! , itu terjadi kali pertama pada 11 Desember 1945, saat satu kelompok kadet Akademi Militer Tangerang (AMT) pimpinan Daan Mogot ikut mengawal kereta api yang memuat kiriman logistik untuk para interniran di Bandung. Namun anehnya, hal tersebut tidak diterapkan Sekutu dalam misi pengiriman logistik yang memakai jalur darat lainnya. Kala pasukan dari TKR Jakarta mengawal misi-misi RAPWI via kereta api ke Bandung, di beberapa kota justru penghadangan-penghadangan tetap dilakukan. Salah satu penghadangan yang paling merepotkan militer Inggris terjadi di rute Bogor-Sukabumi-Cianjur-Bandung pada Desember 1945 dan Maret 1946.

  • Pendahulu Sriwijaya

    PADA 2008, tim Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) meneliti situs Air Sugihan, di pantai timur Palembang. Mereka menemukan sisa-sisa permukiman di lahan berawa dari awal abad masehi. Permukiman itu diperkirakan cikal bakal atau pendahulu Kerajaan Sriwijaya. Agustijanto Indrajaya, ketua tim peneliti, melihat adanya proses bertahap sebelum muncul Kerajaan Sriwijaya. Permukiman di situs Air Sugihan itu disebut Ko-ying dan Kan-t’o-li dalam sumber Tiongkok. “Kita lihat Sriwijaya saja sudah sangat kompleks (tata masyarakatnya, red. ), harusnya ada satu proses menuju ke sana, nah ini di sini,” kata arkeolog Puslit Arkenas itu saat ditemui usai diskusi buku Kebangkitan dan Kejayaan Sriwijaya karya O.W. Wolters, di Museum Nasional, Jakarta, Jumat (17/11). Menurut Wolters Ko-ying disebut dalam catatan Wan Chen, gubernur Wu untuk Tan, yang tak jauh dari Nanking sekarang. Sedangkan Kang T’ai, utusan pemerintahan Wu di selatan Cina ke Funan, menyebutnya Chia-ying. Kendati sebutan Ko-ying belum diketahui asalnya, catatan keduanya memberikan gambaran bahwa Ko-ying adalah kerajaan di Nusantara bagian barat, setidaknya berdekatan dengan Selat Malaka. Sekalipun hanya sepintas, sumber Tiongkok itu memberikan gambaran pertama tentang Nusantara bagian barat yang dikenali orang Tionghoa pada pertengahan abad ke-3. Menurut Wolters, mereka mengetahuinya karena telah berhubungan dengan Kerajaan Funan, di dekat Sungai Mekong, Vietnam, sehingga secara tak langsung mengenal daerah lain di Asia Tenggara. “Mungkin melalui para pedagang di Funan,” tulis Wolters. Sementara itu, Wolters menyebut Kan-t’o-li sebagai kerajaan dagang yang muncul pada abad ke-5 dan ke-6. Nama ini sering disebut dalam sumber Tiongkok. Ming Shih atau catatan sejarah Dinasti Ming (abad 14) menyebut Kan-t’o-li sebagai nama lama Sriwijaya. “Kan-t’o-li pada abad 5-6 sudah kirim duta ke Tiongkok, menjadi besar masuk ke masa Sriwijaya, makanya disebut itu pendahulu Sriwijaya,” kata Agustijanto. Sejauh ini, menurut Agustijanto, bukti mengenai Ko-ying dan Kan-t’o-li baru berdasarkan catatan orang asing. Sementara temuan prasasti Sriwijaya baru muncul dari abad ke-7. Wolters pun menyebutnya tanpa bukti arkeologis. “Sebenarnya tak hanya Ko-ying. Banyak kerajaan di Nusantara yang masih diperdebatkan lokasinya. Satu-satu kita coba liat. Pertama Ko-ying yang banyak disebut,” kata Agustijanto. Penelitian situs Air Sugihan menemukan banyak tinggalan arkeologis yang mencerminkan permukiman yang kompleks. “Kita bisa memperkirakan Ko-ying memang di pantai timur. Ternyata dari bukti arkeologisnya ada kesesuaiannya dengan berita Tiongkok abad 3-4,” lanjutnya. Agustijanto menjelaskan ada 74 situs yang ditemukan di kawasan Air Sugihan dalam radius 43 x 62 km. Situs itu diperkirakan berasal dari periode awal masehi sampai abad ke-3, lalu berlanjut sampai periode akhir Sriwijaya. Di sana ada sisa permukiman berupa tiang pancang dari kayu nibung. “Secara keruangan situs-situs di dekat muara lebih tua. Semakin ke hulu semakin muda. Secara kronologis sudah dihuni sekira abad 1-2 dan terus berlanjut sampai abad 12-13,” terangnya. Untuk menyebut kawasan Air Sugihan sebagai bekas suatu kerajaan, data yang ada masih terlalu minim. Namun, kemungkinan besar masyarakatnya telah melakukan kontak dengan wilayah luar. Mereka telah berlayar ke Funan. “Butuh data lebih banyak lagi untuk bilang kalau itu sebuah kerajaan,” tegas Agustijanto. Para peneliti menemukan manik-manik emas, batu dan kaca. Ini mirip dengan temuan di situs Oc-eo, lembah sungai Mekong. Situs ini adalah pelabuhan yang masuk wilayah Kerajaan Funan yang berdiri pada awal masehi hingga abad 6. Tak hanya berhubungan dengan Funan, di kawasan yang diduga wilayah Ko-ying ini banyak ditemukan tinggalan budaya terkait Tiongkok dan India. Seperti tembikar Arikamedu, manik-manik karnelian India Selatan, dan keramik Tiongkok dari Dinasti Sui (abad 5-6). “Pada masa itu penduduk Ko-ying sebelum Sriwijaya yang tampaknya hidup di rawa-rawa sudah ada hubungan dagang dengan Tiongkok, Dinasti Sui,” kata Bambang Budi Utomo, arkeolog Puslit Arkenas. Penghuni situs Air Sugihan tak membangun kota karena tanahnya berawa. Mereka pun membuka areal di pedalaman. Di pedalaman, mereka lebih leluasa mendirikan bangunan termasuk bangunan peribadatan. “Ini proses, abad 1-2 di muara, selanjutnya masuk ke Palembang. Jadi, memang pendahulu Sriwijaya di pantai timur,” ujar Agustijanto.

  • Sriwijaya Tak Berkuasa hingga Thailand

    PELAJARAN sejarah menyebutkan, Sriwijaya merupakan kerajaan maritim besar yang pernah ada di Nusantara. Wilayahnya membentang luas hingga Malaysia dan Thailand. Namun, hal itu tak berlaku bagi Bambang Budi Utomo, peneliti dari Pusat Penilitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas). Menurutnya, wilayah Sriwijaya hanya sepanjang Selat Malaka hingga pantai timur Sumatera. Hal itu dibuktikan dari temuan Prasasti Karangjati, Kedukan Bukit, dan Telaga Batu. Ketiganya menunjukkan wilayah inti kekuasaan Sriwijaya. Prasasti Kedukan Bukit (605 Saka) di kaki Bukit Siguntang, misalnya, berisi tentang perjalanan Raja Dapunta Hyang dari Koying untuk menemukan tempat baru sampai membangun kota di Kaki Bukit Siguntang, Palembang. Kota baru ini ditata menurut konsep ajaran Budha. Titik utara dirancang sebagai Gunung Meru, tempat tinggal dewa, dan selatan Jambu Dwipa yang letaknya di sebelah utara Sungai Musi. Para penduduk tinggal di wilayah Jambu Dwipa di tepian Sungai Musi. “Ada sisa bangunan keagamaan berupa fondasi bata ditemukan di dekat Rumah Sakit Caritas, Bukit Siguntang,” kata Bambang dalam diskusi buku Kebangkitan dan Kejayaan Sriwijaya Abad III-VII di Museum Nasional, Jumat (17/11/2017). Setelah berhasil membangun kota, Sriwijaya membangun taman pada 606 Saka. Berdasarkan Prasasti Talang Tuo, Sriwijaya membangun Taman Sriksreta di Bukit Siguntang. Temuan menarik yang diteliti Puslit Arkenas, serbuk sari yang ditemukan di sekitar situs sesuai dengan nama tanaman yang disebutkan di Prasasti Talang Tuo. Menurut Bambang, daerah di sekitar Bukit Siguntang memang memungkinkan untuk dibuat taman karena terdapat lembah dan sungai yang mengalir ke Kedukan Bukit. Prasasti Telaga Batu semakin menguatkan argumen bahwa Palembang merupakan ibukota Sriwijaya. Prasasti ini berisi sumpah seluruh penduduk kota untuk setia kepada raja karena sebelumnya ada kekhawatiran mereka akan mencelakai raja. “Mulai dari putra mahkota hingga tukang cuci disumpah,” kata Bambang. Pasalnya, merekalah orang-orang paling dekat dengan raja. Sebagai kerajaan maritim dan non-ekspansif, Sriwijaya hanya menguasai daerah-daerah strategis yang menguntungkan secara ekonomis. Dengan menguasai Selat Malaka, Sriwijaya bisa menguasai perdagangan dan pajak di wilayah tersebut. Terdapat aturan perdagangan di wilayah Selat Malaka bahwa barangsiapa yang ingin berdagang melalui Selat Malaka atau di wilayah teritori Sriwijaya, harus menyewa kapal dari Sriwijaya dan membayar pajak. Aturan ini mengakibatkan seringnya terjadi pemindahan muatan dari kapal asing ke kapal Sriwijaya. Kapal Sriwijaya cirinya bisa dilihat dari teknik papan ikat. Jenis ini banyak ditemukan di perairan Cirebon. Beberapa bangkai kapal yang ditemukan, membawa barang dari India, Cina, Sriwijaya dan lain-lain dalam satu kapal. Hal itu tak membuktikan bahwa kekuasaan Sriwijaya membentang sampai perairan Cirebon. Sebaliknya, itu membuktikan bahwa pada masa Sriwijaya ada singgungan dengan berbagai bangsa untuk tujuan dagang. “Sriwijaya itu fokus ke perdagangan. Mungkin kalau Sriwijaya asal dapat uang dari pajak perairan dan dagang, cukup. Dengan menguasai Selat Malaka ia bisa menguasai lain-lain. Jadi tidak harus sampai ke Madagaskar untuk menyebarkan pengaruhnya,” kata Bambang. Meski ada rasasti yang menyebutkan nama Sriwijaya sampai di Thailand, bukan berarti Thailand adalah wilayah yang pernah dikuasai Sriwijaya. Prasasti Ligor (775 Saka) menyebutkan, Rakai Panangkaran membangun Trisamaya Chaitya (tiga bangunan suci) di Thailand. Pembangunan tiga bangunan suci di Thailand tersebut rupanya bukan wujud kekuasaan Sriwijaya melainkan bantuan pembangunan. Menurut Bambang, alasan Sriwijaya mau membantu pembangunan kuil adalah untuk mengamalkan dharma sesuai ajaran Budha. Selain memberi bantuan ke Thailand, pada abad ke-12 Sriwijaya membantu pembangunan kuil di Kanton. “Arca dari Sriwijaya ada di Bidor, Malaysia (sejumlah) satu, di Thailand ada 2. Itu bukan berarti wilayah Sriwijaya sampai situ, tapi di situ ditemukan Prasasti Sriwijaya,” kata Bambang. Lebih lanjut dia mengatakan, meski ada penemuan prasasti Sriwijaya, juga harus memperhatikan isi prasasti agar tidak salah menafsirkan daerah kekuasaan.

  • Cara Cucu KH Noer Ali Menyelami Heroisme Sang Kakek

    RAUT wajah dan sorot mata pria itu menampakkan ketenangan bak air telaga. Namun, hatinya bergejolak. Setelah memberi pembekalan pada murid-muridnya, dia langsung memimpin mereka ke tempat penghadangan di Sasak Kapuk (kini Pondong Ungu, Kota Bekasi). Di sana, mereka akan menghadapi pasukan pemenang Perang Dunia II. Adegan itu menempati bagian awal perhelatan reka ulang Pertempuran Sasak Kapuk yang digelar Ikatan Abiturien Attaqwa dan Komunitas Sejarah Front Bekasi pada Sabtu, 18 November 2017. Acara yang dibuat untuk memperingati Hari Pahlawan itu berlangsung di Lapangan Pesantren Attaqwa, Ujungmalang, Bekasi. Gambaran fisik dan spirit Nur Ali, sang pemimpin, tadi mampu memancarkan gambaran sosok KH Noer Ali, pahlawan nasional yang memimpin rakyat Bekasi dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Bukan kebetulan bila hal itu bisa terjadi. Nur Ali merupakan salah satu cucu KH Noer Ali sang pahlawan. Ayah Nur Ali, KH Amin Noer –pendiri Yayasan Attaqwa, merupakan anak ketiga KH Noer Ali. Maka, Nur Ali amat bersemangat ketika memerankan sang kakek. Bermodal pistol Webley, dia ikut berjibaku ‘becek-becekan’ di lapangan bersama pasukannya yang diperankan 40 siswa Pesantren Putra Attaqwa Pusat. Itu merupakan cara Nur Ali menyelami heroisme kakeknya tentang masa-masa revolusi yang belum pernah didengarnya semasa sang kakek masih hidup. “Kesannya memerankan beliau itu luar biasa sekali. Ada rasa senang, namun juga ada harapan. Saya memang ingin tahu bagaimana menonjolnya sosok beliau (di masa perjuangan – red .),” ujar Nur Ali kepada Historia. Untuk memerankan sosok sang kakek, Nur Ali menyempatkan diri ikut latihan drama itu di sela-sela kesibukanya mengajar di Pesantren Attaqwa. Latihan itu sendiri berjalan hampir setiap hari sejak sebulan pra Hari H. “Kesulitannya ya mungkin karena memang saya enggak punya basic reka ulang atau drama. Apalagi kan peran utama ini sosok yang cukup dituakan dan juga kakek sendiri,” sambungnya. Nur Ali amat bangga bisa memerankan sosok kakeknya. Terlebih, sang ayah KH Amin Noer ikut memberi masukan padanya. Dan yang terpenting, Nur Ali bisa memetik keteladanan dari kakeknya, seorang ulama pejuang yang pada 2006 ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh pemerintah. “Yang bisa kita teladani dari KH Noer Ali tentang peristiwa ini (Pertempuran Sasak Kapuk – red .) adalah tekad yang bulat. Dia juga merupakan sosok pemimpin yang sayang kepada anak buahnya. Kita juga bisa meneladani strateginya yang matang (dalam berperang di masa revolusi),” tandas Nur Ali.

  • Gaya Kabur Koruptor dalam Sejarah

    KETUA DPR Setya Novanto mengalami kecelakaan dalam perjalanan menuju KPK, Kamis (16/11/17) malam. Mobil Fortuner hitam yang ditumpanginya menabrak tiang listrik, Novanto tak sadarkan diri. Sebelumnya, Novanto kembali ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 10 November. Sempat menghilang, KPK menyatakan bila pada pukul 21.30 Novanto tidak datang ke KPK, dia akan menjadi buron. Dalam beberapa bulan terakhir sejak masalah hukum menimpanya, Novanto seringkali tidak menghadiri panggilan KPK. Dia beralasan sakit. Namun begitu praperadilannya menang dan status tersangka tak lagi disandang, dia kembali sehat dan beraktivitas seperti biasa. Beberapa pihak menduga yang dilakukan Novanto merupakan jurus berkilah dari kejaran penyidik. Cara-cara menghindari kejaran penyidik korupsi sudah menjadi siasat para koruptor sejak lama. Berikut beberapa contoh kasusnya. Edi Tansil Edi Tansil menjadi buron setelah terbukti merugikan uang negara sebesar 1,5 triliun rupiah melalui kredit Bank Bapindo. Ketika pencairan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), dia merupakan petinggi Bank Bapindo sekaligus direktur utama Golden Key Group (GKG). Melalui Golden Key Group, dia meminjam uang pada Bapindo sebesar 565 juta dollar amerika atau setara 1,5 triliun rupiah. Edi kemudian dijatuhi hukuman 20 tahun penjara dan denda 30 juta rupiah, uang pengganti lima ratus miliar, dan mengganti kerugian negara sebesar 1,3 triliun rupiah pada 1996. Tak sampai 20 tahun menghuni Lembaga Permasyarakatan Cipinang, Edi melarikan diri pada 4 Mei 1996. Sejak itu, Edi menghilang. Menurut antaranews.com , kabar terakhir mengenai keberadaan Edi bisa dilacak di Tiongkok sejak 2013. Namun, hingga kini dia belum ditangkap. Lahir di Makassar pada 2 Februari 1953, Edi sukses sebagai pengusaha di bidang keuangann. Kredibilitasnya diakui secara nasional. Namun skandal GKG mencoreng nama baiknya. Ginandjar Kartasasmita Mantan menteri Pertambangan dan Energi semasa Orde Baru ini menjadi tersangka dalam kasus Bantuan Kontrak Teknis (BKT) antara Pertamina dan PT Ustrindo Petro Gas di mana Ginandjar bertanggungjawab atas penyetujuan proyek ini. BKT dimaksudkan untuk merekayasa sumur-sumur minyak yang sudah mati agar bisa menghasilkan minyak lagi. Namun dalam pelaksanaannya, sumur-sumur yang direkayasa adalah sumur aktif. Kasus ini merugikan negra sebanyak 24,8 juta dollar Amerika. Pada 2001, Kejaksaan Agung (Kejagung) sempat kesulitan menangani kasusnya lantaran Ginandjar menolak diperiksa dengan alasan sedang sakit. Kejagung lalu mengambil langkah dengan memeriksa kesehatan Ginandjar. Namun begitu dokter datang, dia kabur melalui lift. Mobil yang membawanya kabur berjalan dengan kecepatan tinggi, sampai menyerempet petugas keamanan di dekat pagar Kejagung. Selain aksi kabur itu, Ginandjar tak pernah hadir ketika berkali-kali dipanggil kejaksaan untuk menjadi saksi lantaran sedang berada di Belanda, AS, atau Jepang. Ginandjar akhirnya ditahan pada 6 Maret-6 Mei 2001 di rumah tahanan kejaksaan. Namun dia tak sendiri, para pengacaranya menemani di kamar tahanan. Sjamsul Nursalim Pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) ini mulai disebut dalam kasus korupsi setelah banknya mendapat kredit dari pemerintah pada 1997. Kucuran dana untuk menyehatkan BDNI yang sakit itu ternyata melebihi batas maksimum dan muaranya masuk ke kantong pribadi Sjamsul. Kejaksaan Agung lalu memeriksa Sjamsul atas penyimpangan penyaluran dan penggunaan dana BLBI. Kasus Sjamsul bertambah berat ketika BDNI mendapatkan Surat Keterangan Lunas BLBI dari Ketua BPPN Syafuddin Tumenggung pada 2004. Padahal, Sjamsul masih berutang 3,7 triliun rupiah kepada negara. Sjamsul menang banyak, sementara negara rugi sampai 6,9 triliun rupiah dan 96,7 juta dollar Amerika. Meski mendapat beberapakali panggilan dari penyidik, Sjamsul dan istrinya Itjih Nursalim tak pernah memenuhi panggilan tersebut. Kabar yang santer terdengar mengatakan mereka kabur dan menetap di Singapura. Samadikun Hartono Pemilik Bank Modern ini bermasalah dengan hukum sejak menyalahgunakan kucuran dana BLBI yang didapat pada 1998. Alih-alih menggunakan dana itu untuk menyehatkan banknya, Samadikun malah menyalahgunakannya untuk kepentingannya sendiri. Kontan negara menanggung kerugian sampai 169 miliar rupiah akibat ulah Samadikun. Samadikun lalu divonis empat tahun penjara. Namun sebelumnya, dia mengajukan izin untuk berobat ke Jepang. Kejaksaan mengabulkan. Samadikun diizinkan berobat selama dua minggu dengan menjadikan istrinya, Nelly Chandra, sebagai jaminan. Begitu di Jepang, Samadikun tak pernah kembali lagi dan buron hingga 13 tahun. Laman cnnindonesia.com menyebut Samadikun pernah tinggal di Apartemen Beverly Hills, Singapura dan memiliki pabrik film di China dan Vietnam. Dia akhirnya ditangkap pada 2016 selepas menyaksikan balap Formula 1 di Shanghai. Sudjiono Timan Direktur utama PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) periode 1995-1997 ini menjadi tersangka korupsi karena menyalahgunakan wewenang dengan memberikan pinjaman tanpa agunan kepada Kredit Asia Finance Limited (KAFL) dan Festival Co. Tindakan tersebut membuat BPUI dan Departemen Keuangan menderita kerugian 178,9 juta dollar Amerika dan lebih dari 600 miliar rupiah. Sudjiono terbukti bersalah dan dihukum 15 tahun penjara berikut denda 50 juta rupiah. Namun belum lagi kasusnya selesai, dia kabur ke Singapura. Pada 2013, istri Sudjiono mengajukan Peninjauan Kembali kasus suaminya. MA mengabulkan sehingga menuai kritik dari para ahli hukum. Bambang Sutrisno Sebagai salah satu bank yang dinyatakan tak sehat, Bank Surya mendapatkan kucuran dana BLBI. Dana itu merupakan pinjaman pemerintah untuk menyehatkan kembali usaha Bank Surya. Namun alih-alih menggunakan dana untuk menyehatkan bankya, Bambang Sutrisno selaku wakil presiden komisaris malah mengucurkan dana BLBI ke 103 perusahaan fiktif ( paper company ) miliknya. Negara dirugikan 1,5 triliun rupiah. Kejaksaan langsung menetapkannya sebagai tersangka. Namun, Bambang tak pernah memenuhi panggilan kejaksaan meski pemanggilan sudah berkali-kali dikeluarkan melalui surat pos atau media massa. Bambang dinyatakan buron. Kejaksaan dibuat pusing, sampai-sampai menggelar sidang kasus Bambang tanpa kehadiran si terdakwa atau kuasa hukumnya ( in absentia ). Dalam sidang pada 13 November 2002 itu, PN Jakarta Pusat memvonis Bambang bersalah dan mengganjarnya dengan hukuman penjara seumur hidup. Dwiyanto Prihartono, kuasa hukum Bambang, menolak pernyataan kalau Bambang kabur. Menurutnya Bambang sudah berada di luar negeri sejak 19 Juni 1997, sebelum dimulainya proses penyidikan kasus BLBI Bank Surya. Andrian Kiki Anriawan Sebagai mantan direktur utama Bank Surya, Adrian ikut menjadi tersangka dalam kasus pengemplangan dana BLBI. Bersama Bambang Sutrisno, dia disangka melakukan kejahatan dalam kurun 1989-1998. Akibat ulahnya, negara merugi sebesar 1,5 triliun rupiah. Sama seperti rekannya, Andrian mendapat hukuman penjara seumur hidup. Namun, dia berhasil melarikan diri ke Singapura dan Australia sebelum akhirnya ditangkap di Perth pada 2008. Tommy Soeharto Pada 1994, PT Goro Batara Sakti milik Hutomo Mandala Putra melakukan ruislag dengan Badan Urusan Logistik (Bulog). Tukar guling tanah gudang Bulog seluas 150 hektar yang berjalan atas restu Presiden Soeharto itu memuat banyak kejanggalan. Akibatnya, negara mengalami kerugian sebanyak 95 miliar. Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita memvonis putra bungsu Presiden Soeharto itu bersalah dan menjatuhkan hukuman 18 bulan penjara serta denda Rp.30 juta plus mengganti kerugian negara sebesar Rp.30,6 miliar pada 22 September 2000. Tommy, panggilan akrab Hutomo, lalu mengajukan grasi kepada Presiden Abdurrahman Wahid. Setelah grasinya ditolak, Tommy lalu buron. Dalam masa pelariannya itu, Tommy memerintahkan pembunuh bayaran menghabisi Syafiuddin, yang akhirnya meregang nyawa pada 26 Juli 2001. Pelarian Tommy akhirnya berakhir pada 28 November 2001. Tim Kobra Polda Metro Jaya yang dipimpin Kompol Tito Karnavian berhasil menggerebek dia di tempat persembunyiannya di Bintaro, Tangerang. Djoko Sugiarto Tjandra Djoko menjadi terdakwa dalam kasus korupsi Bank Bali pada 1999. Kasus bermula dari pengalihan tagihan utang (cessie) Bank Bali yang melibatkan PT Era Giat Prima (EGP), yang didirikan oleh Djoko dan Setya Novanto. Pada Januari 1999, terjadi perjanjian cessie antara Bank Bali dan PT EGP ke Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) dan Bank Umum Nasional (BUN). Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) meminta Bank Bali mentransfer 798 miliar rupiah ke rekening Djoko dan PT EGP. Namun setelah dana itu cair, EGP meminta BPPN agar memberi instruksi pada BUN untuk memberikan uang pada Bank Bali sejumlah 546 miliar rupiah untuk dibayarkan pada PT EGP. Dana 546 miliar inilah yang menjadi masalah hingga ke persidangan dan membuat Djoko menjadi tersangka. Djoko mendapat vonis hukuman 2 tahun penjara. Namun, dia berhasil melarikan diri ke Singapura. Belakangan diketahui, Djoko berpindah kewarganegaraan menjadi WN Papua New Guinea. Akibatnya, penyidik kesulitan mengekstradisinya. Setya Novanto Nama Novanto sedang ramai diperbincangkan beberapa bulan terakhir sejak dia ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus korupsi KTP-elektronik. Namun dalam catatan sejarah, kasus tersebut bukan kasus korupsi pertama yang melibatkan Novanto. Pada 1999, Setya Novanto disebut dalam kasus cassie PT Bank Bali kepada Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI). Namun kasus yang merugikan negara sebesar 546 miliar rupiah itu tak mampu menjerat Novanto. Dia tetap lolos dari jerat hukum. Kedua kasus tersebut hanyalah bagian dari banyak kasus yang menyeret nama Novanto. Ketua DPR ini antara lain terlibat dalam kasus penyelundupan beras Vietnam (2003), limbah beracun di Pulau Galang, Batam (2006), Proyek PON Riau (2012), dan yang terbaru kasus KTP-el. Kasus terakhir sempat melahirkan pemberitaan mengenai hilangnya Novanto sebelum akhirnya tertutup oleh pemberitaan kecelakaannya yang janggal di Permata Hijau, Jakarta Selatan.*

bottom of page