Hasil pencarian
9592 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Persebaran Situs-situs Kecil di Pesisir Utara Jawa
SEBELUM Candi Borobudur atau Prambanan berdiri megah, situs-situs kecil yang tersebar di pesisir utara Jawa telah lebih dulu menerima pengaruh Hindu-Buddha. Namun, keberadaannya tak banyak diperhatikan. “Pemerintah juga turis lebih tertarik dengan situs besar, mungkin karena mudah dijual. Padahal, dari situs-situs kecil juga dapat diketahui bagaimana lingkungan sosial budaya masa Hindu-Buddha berlangsung karena situs-situs kecil itu lebih luwes menerima perubahan,” kata Veronique Degroot, arkeolog dan peneliti Lembaga Penelitian Prancis untuk Kajian Timur Jauh (EFEO) di IFI, Jakarta, Rabu (15/11). Veronique mengatakan pesisir utara Jawa lebih mungkin menjadi tempat persinggahan awal datangnya pengaruh India. Sebab, pesisir selatan Jawa memiliki ombak yang terlalu kencang. Itulah mengapa di utara banyak pelabuhan termasuk pada awal masa klasik. Pada 2012, Veronique bersama Agustijanto Indrajaya, arkeolog Puslit Arkenas (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional), melakukan survei lapangan berbekal foto zaman Belanda, arsip kepustakaan, dan arsip lokal. “Kami tidak berharap dapat situs sebesar Borobudur. Kami hanya ingin melihat landscape kebudayaan kala itu. Bagaimana India mempengaruhi Jawa,” kata Veronique. Survei itu berhasil menemukan 30-an situs yang tersebar dari Brebes hingga Rembang. Ini temuan baru, sebelumnya hanya sekira 8-11 situs. Misalnya, mereka menemukan batu candi dari abad 8-9 di Kepyar, Batang, Jawa Tengah. Sayangnya, penduduk setempat menggunakan batu itu sebagai nisan. Batu berelief dari candi ditemukan di Cebur, Semarang, namun dijadikan pot bunga. Bagian kemuncak ( ratna ) candi digunakan untuk menghias ujung-ujung pagar rumah. Bata kuno dari abad 9-10 di Bantarbolang, Tegal, dihancurkan untuk pengeras jalan dan jembatan menuju kebun tebu. Di Kentengsari, Kendal, batuan candi dijadikan pondasi sebuah rumah. Fragmen keramik Cina abad 9 hancur ketika warga menggarap ladangnya. “Kami terlambat sampai di sana. Tapi tak apa, tetap kami masukkan ke peta,” ujar Veronique. Mereka juga menemukan cukup banyak benda logam di Yosorejo, Pekalongan, yang berfungsi sebagai alat upacara. Ada tiga buah bel yang biasa digunakan pendeta dari sekira abad 11. Bukan cuma temuan lepas, ada beberapa titik yang potensial untuk diekskavasi. Setelah Veronique dan timnya mendapati gundukan tanah, Puslit Arkenas melakukan penggalian dan mendapati struktur pondasi candi di daerah Mijen, Semarang. Veronique juga menyaksikan bekas candi di tengah kebun di Lumbleng, Kendal, berupa fragmen makara dan umpak yang tergeletak begitu saja. “Ini jelas bagian candi. Saya harap Puslit Arkenas ekskavasi ini,” katanya. Permukiman Kuno Dari persebaran situs-situs kecil itu, terlihat kalau Hindu-Buddha tidak berkembang di satu area. Di Desa Sojomerto, Batang, sudah lama ditemukan Prasasti Sojomerto yang sangat penting karena menyebut nama Sailendra. Prasasti yang diperkirakan dari abad 7-8 itu bukan satu-satunya penanda kehidupan sosial di kawasan itu. Ada Balekambang yang dekat dengan pantai. Ada juga Pejaten dan Deles. Semua tempat itu berkaitan dan dihubungkan dengan sungai. Menariknya, tempat-tempat itu menyimpan bukti masa awal pengaruh India. Di Pejaten, terdapat arca Ganesha yang cirinya tak biasa. Ia tak bermahkota. Bukan karena rusak, tapi memang tak punya. Sikap duduknya, satu kaki menapak, kaki lainnya bersila. Sementara Ganesha di Jawa Tengah selalu ditemukan bermahkota. Sikap duduknya pun bersila. “Nah, seni awal di India abad 6-7 itu seperti yang di Pejaten. Ini pengecualian. Ini pun semasa dengan Sojomerto,” kata Veronique. Di Balekambang, Puslit Arkenas menemukan pemandian kuno. Situs petirtaan ini menggunakan saluran air dari batu. Di dekatnya ditemukan bekas candi. Ini petirtaan sakral yang banyak ditemukan di Jawa. Temuan di wilayah Batang juga memperlihatkan adanya permukiman kuno abad 7-9, di luar pusat ibukota di wilayah Magelang dan sekitarnya. Ditambah lagi dengan temuan fragmen keramik yang begitu padat pada kedalam 80 cm di dekat situs pemandian itu. “Ini permukiman abad 7-9. Jaraknya 2 km dari pesisir utara. Mungkin dulunya di sana ada pelabuhan kuno,” jelas Veronique. Sayangnya, belum bisa diketahui lebih jauh apakah kondisi sosial di kawasan itu berbeda dengan di pusat. Selain hanya sedikit prasasti yang ditemukan, tak banyak temuan situs permukiman sebagai perbandingan, khususnya era Mataram Kuno. Veronique mengakui penelitiannya belum selesai. Masih banyak yang perlu diungkap terkait tinggalan arkeologis Hindu-Buddha di wilayah pesisir utara Jawa. “Ini adalah awal dari penelitian situs-situs di pesisir utara Jawa,” katanya.*
- Apa Agama Cheng Ho?
SECARA simbolis Indonesia sudah memastikan Cheng Ho adalah pemeluk Islam melalui pembangunan Masjid Cheng Ho yang tersebar di pelbagai daerah. Namun, di China yang merupakan negeri asalnya, apa sebenarnya agama yang dianut laksamana Dinasti Ming itu, masih terus dipertanyakan oleh para sejarawan sampai sekarang.
- Membidani Industri Strategis Dalam Negeri
SEBAGAI rezim yang menahbiskan diri rezim pembangunan, Orde Baru memulai industrialisasi secara bertahap pada pertengahan 1970-an. Menteri Riset dan Teknologi BJ Habibie menginisiasinya dengan pendirian Divisi Advanced Technology dan Teknologi Penerbangan di Pertamina pada 1974. Dua tahun kemudian, divisi itu berkembang menjadi PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN). Pada tahun yang sama, pemerintah juga mendirikan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). “Berdasarkan perkembangan di bidang industri strategis dan juga kemajuan teknologi pada umumnya, pemerintah pun semakin memikirkan pola manajemen industri strategis yang lebih terintegrasi. Karena itu, mulai awal dasawarsa 1980-an, pemerintah membentuk Tim Pengkajian Industri Hankam (TPIH),” tulis Giri Suseno Hadihardjono, menteri perhubungan di Kabinet Pembangunan VII Soeharto, dalam Bermula dari Nol: Banda Aceh Sampai Los Palos, Perjalanan Pengabdian Seorang Bocah Gunung. Langkah itu diambil karena pada masa sebelumnya pembinaan dan pengelolaan industri strategis milik negara diserahkan kepada departemen teknis terkait dan berjalan sendiri-sendiri. Kerja TPIH lalu dilanjutkan Tim Pelaksana Pengembangan Industri Strategis (TPPIS) pada 1983. TPPIS mengkaji lebih detil prospek pendirian lembaga integral itu dan langkah yang mesti diambil pemerintah. Berdasarkan kajiannya, lima tahun kemudian TPPIS merekomendasikan pengintegrasian 10 perusahaan plat merah yang berkaitan dengan teknologi maju, alat berat, dan pertahanan. Kesepuluh perusahaan itu, sesuai Keppres No. 59/1989, nantinya bernaung di bawah Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS) yang dipimpin Menristek Habibie. “Mengkonsolidasikan ‘industri strategis’ ini di bawah penguasaan Habibie secara resmi diterangkan sebagai jalan untuk membuatnya lebih efisien dan kompetitif di pasar global,” tulis Ahmad D. Habir dalam “Konglomerat: Antara Pasar dan Keluarga” yang menjadi bagian Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi yang dieditori Donald K. Emmerson. Kesepuluh perusahaan itu adalah IPTN (bidang dirgantara), PT PAL Indonesia (bidang perkapalan), PT Pindad (bidang senjata dan pertahanan), Perum Dahana (bidang bahan peledak), PT Krakatau Steel (bidang industri baja), PT Barata Indonesia (bidang alat berat), PT Boma Bisma Indra (bidang permesinan), PT Industri Kereta Api/INKA (bidang industri perkertaapian), PT Inti (bidang telekomunikasi), dan Lembaga Elektronika Nasional sebagai lembaga kajian elektronika dan komponen. Menurut Giri, pendirian BPIS bertujuan agar Indonesia kelak bisa mandiri di bidang industri dan teknologi maju. BPIS bertugas mengupayakan percepatan proses alih teknologi dengan jalan progressive manufacture . Visinya, kelak Indonesia mampu mengembangkan produk teknologi untuk kepentingan sipil dan militer secara mandiri. “Konsep yang dikembangkan BPIS adalah 20 persen industri militer dan 80 persen industri sipil. Konsep ini dikembangkan pada saat negara tidak sedang dalam kondisi perang. Namun, jika negara sedang dalam kondisi perang, maka konsepnya harus dibalik,” tulis Giri, yang saat itu menjadi wakil kepala BPIS. Namun, pendirian BPIS justru mendapat pandangan miring dari TNI di awal. Para petinggi di tiga matra menganggap Habibie “mencaplok” beberapa industri yang mereka kelola. Militer juga kurang sreg pada rencana BPIS yang memprioritaskan pengembangan industri dan teknologi untuk kebutuhan sipil. Habibie bergeming, BPIS tetap jalan dengan konsepnya. Beberapa BUMN di bawah BPIS mampu menunjukkan kapasitasnya dengan produk berkualitas. IPTN dan INKA menjadi yang paling menonjol. IPTN berhasil mengembangkan pesawat N250 dengan menerapkan advanced turboprop fly by wire , yang merupakan teknologi tercanggih saat itu. Pesawat penumpang berkapasitas 50 orang yang dikembangkan dari rancangan asli IPTN itu ketika diluncurkan pada 1995 menjadi primadona di kelasnya. IPTN melanjutkan dengan pengembangan pesawat CN235 yang berteknologi sama tapi performa lebih baik. Untuk pengembangan CN235, IPTN bekerjasama dengan CASA Spanyol. Proses pengembangannya telah berjalan sejak awal 1980-an, sebelum IPTN dinaungi BPIS. Seakan tak mau kalah, INKA juga berinovasi lewat pengembangan kereta api eksekutif berkecepatan tinggi: Argo Bromo JS950. Pada pengembangan pertama, INKA memanfaatkan lokomotif produksi GE Transportation System, Amerika Serikat. Berkecepatan 100 km/jam, Argo Bromo diproyeksikan untuk melayani rute Jakarta-Surabaya dalam waktu sembilan jam. Argo Bromo dioperasikan pertamakali pada 31 Juli 1995 di Gambir. Keberhasilan KA Argo Bromo kemudian disusul dengan pengoperasian Argo Gede (Jakarta-Bandung), Argo Lawu (Surakarta-Jakarta), Argo Muria (Jakarta-Semarang), dan Argo Wilis (Bandung-Surabaya). Setahun kemudian, INKA dan GE bekerjasama mendirikan pabrik lokomotif GE-Lokindo di Madiun. Meski maju dalam penerapan teknologi dan produksi, secara ekonomis BPIS masih merugi. Hingga 1995, ketika produknya disambut hangat, IPTN malah masuk dalam daftar BUMN di bawah BPIS yang berkinerja buruk. PT PAL dan perusahaan lain yang memanfaatkan teknologi tinggi setali tiga uang. Hanya Krakatau Steel dan PT Inti yang kenerjanya lumayan baik. Menristek Habibie, yang juga kepala BPPT dan BPIS, beralasan bahwa kerugian itu bukan karena produknya jelek melainkan karena mekanisme pembayaran produknya yang harus tunai. Sementara, para pesaing perusahaan-perusahaan di bawah BPIS bisa menyediakan kredit ekspor. “Siapa sih dalam dunia penerbangan yang mau membeli pesawat dengan tunai. Begitu juga kapal, kereta api, atau telepon. Siapa yang mau beli tunai?” kata Habibie, dikutip Kompas , 21 Februari 1995. Toh , kondisi itu tak membuat BPIS mandek berinovasi. Bertepatan dengan terbang perdana N250, 10 November 1995, Presiden Soeharto mengumumkan proyek pengembangan pesawat jet N2130, yang prototipenya dirancang IPTN sendiri. Namun, krisis moneter yang menerpa Indonesia dua tahun kemudian membuat kesepuluh industri strategis rontok. Pemerintah tak mampu berbuat banyak. Untuk menyelamatkan keuangan negara, presiden menandatangani Letter of Intent (LoI) dengan International Monetary Fund (IMF) pada awal 1998. Salah satu klausul dalam LoI itu mensyaratkan pemerintah menghentikan pendanaan yang disertakan ke dalam BUMN industri strategis dan menambah nilai saham BUMN yang dilepas ke publik. DPR menyetujui klausul ini karena menurut mereka BUMN-BUMN di bawah BPIS sangat kesulitan memperoleh profit. Pemerintah tak bisa menolak. BPIS pun runtuh. Proyek pesawat N2130 yang telah berjalan dua tahun dan menelan biaya lebih dari 70 juta dollar langsung mandek. “BPIS kemudian benar-benar dibubarkan pada bulan Maret 1998 melalui PP No. 35/1998 mengenai pendirian PT Pakarya Industri, yang sekaligus membubarkan BPIS. PT Pakarya Industri bertindak sebagai holding company yang menaungi 10 BUMNIS yang selama ini dibina, dikelola, dan dikembangkan oleh BPIS,” kenang Giri Suseno dalam otobiografinya.
- Kisah Jurnal Tertua
Sebuah jurnal kedokteran yang terbit di Hindia-Belanda, Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië (GTNI), menguak sejarah perkembangan ilmu medis di Indonesia. Jurnal yang terbit berkala sepanjang 1852-1942 itu membahas pola penyebaran penyakit, wabah penyakit berikut pencegahan dan penanganannya, hingga perilaku para dokter di masa itu. Gani Ahmad Jaelani, Pengajar Departemen Sejarah dan Filologi Universitas Padjadjaran (Unpad) menjelaskan awalnya penelitian mengenai kesehatan di Hindia Belanda termotivasi akibat makin banyaknya orang Eropa yang bermigrasi. Untuk menetap di Hindia Belanda, mereka memerlukan jaminan apakah tempat baru itu cocok untuk ditinggali. "Makanya ada sejumlah penelitian medikal topografi untuk memastikan aman atau tidaknya (Hindia Belanda) ditinggali orang Eropa," kata Gani dalam peluncuran dan diskusi buku The Medical Journal of the Dutch-indies 1852-1942, di Perpustakaan Nasional, Kamis (16/11). Awalnya penelitian yang terhimpun dalam GTNI berkaitan dengan tingkat higienitas di Hindia Belanda. Pun soal bagaimana mempertahankan, merawat kesehatan dan meningkatkan kualitas hidup. Namun, semua itu kemudian berkembang menjadi lebih menyoroti pada penyebab lingkungan yang tak sehat. "Pada periode 1800-an penelitian GTNI lebih (difokuskan kepada) soal iklim yang tidak sehat, tapi lalu (menjadi) berkembang," ujar Gani. Pada tahun 1930, jurnal kedokteran tertua di Indonesia itu membahas pula soal kesehatan sosial, terutama terkait kesehatan para pekerja perkebunan. Di jurnal itu disebutkan jumlah kuli yang sakit dan berhasil disembuhkan serta berapa jumlah yang tak terselamatkan. Empat tahun kemudian, muncul institusi tentang nutrisi. Ini pun mendorong penelitian kualitas makanan yang dikonsumsi masyarakat. Berkembang pesatnya penelitian kesehatan di lingkungan Hindia Belanda tentunya berkaitan dengan munculnya lembaga-lembaga pengajaran medis ketika itu seperti Sekolah Pendidikan Dokter Hindia (STOVIA) di Batavia pada 1899 dan Sekolah Dokter Hindia Belanda (NIAS) di Surabaya pada 1913. Sjamsuhidayat, Guru Besar Ilmu Bedah Fakultas Kesehatan Universitas Indonesia (UI), menambahkan munculnya artikel GNTI pun tak bisa dilepaskan dari perkembangan ilmu kedokteran internasional. Beberapa tahun sebelum jurnal ini terbit, pada 1849 anestesi ditemukan. Kedokteran internasional juga mulai mengenal ilmu bakteriologi pada sekira tahun 1850. Lima Puluh Tahun kemudian metode transfusi darah mulai dikenal. Ketika akhir penerbitan jurnal pada 1942, ilmu kedokteran telah sampai pada penemuan antibiotik. “Kurun waktu yang dicakup buku ini menggambarkan juga kondisi dan pencapaian kedokteran dan dunia kesehatan di dunia (saat itu)” ungkap Sjamsuhidayat. Bukan hanya penyakit perorangan yang menjadi perhatian. Wabah juga mulai disoroti pemerintah Hindia Belanda. Sebelum 1920 pernah terjadi kasus beri-beri dan penyakit menular lainnya seperti pes dan TBC. Terlepas dari kebutuhan akan pengetahuan soal kesehatan, penelitian bidang kedokteran ini juga terdorong adanya kebijakan resmi dari pihak Kerajaan Belanda. Pada September 1901. Ratu Wihelmina dalam pidatonya menyebutkan bahwa sejatinya Kerajaan Belanda memiliki utang kehormatan terhadap Hindia-Belanda. Ratu menyadari bahwa karena hasil bumi Hindia-Belanda-lah yang menyebabkan negaranya menjadi kaya, sementara Hindia Belanda tetap miskin. “Jadi ada kebijakan resmi untuk membayar kembali utang kehormatan ini,” ujar Sjamsuhidayat.
- Gugurnya Jenderal Kedua
PERTEMPURAN Surabaya baru saja berjalan beberapa jam, ketika sebuah kabar bertiup kencang di medan perang: Brigadir Jenderal Robert Guy Loder Symonds (Komandan Detasemen Artileri Tentara Inggris di Surabaya) telah tewas. Menurut Kantor Berita Reuters , Symonds tewas akibat pesawat Mosquito yang ditumpanginya mengalami kecelakaan di landasan Lapangan Udara Morokrembangan, Surabaya pada Sabtu, 10 November 1945. Ikut tewas bersama sang jenderal seorang pilot RAF (Angkatan Udara Kerajaan Inggris) bernama Letnan Phillip Norman Osborne. Dalam rilis yang dikeluarkan oleh Mayor Jenderal E.C.Mansergh (Panglima Tentara Inggris di Jawa Timur) dikatakan bahwa Symonds mengalami kecelakaan saat tinggal landas di Lapangan Udara Morokrembangan tepat jam 09.50. “Pesawat yang ditumpangi oleh Brigadir Jenderal Symonds dan Letnan Osborne langsung terbakar dan menyebabkan keduanya tewas seketika,” ujar Mansergh seperti dikutip oleh Het Dagblad van Batavia pada 13 November 1945. Tapi benarkah Symonds dan Osborne tewas semata-mata karena kecelakaan? Dalam Pertempuran Surabaya November 1945 , Des Alwi menampik penjelasan pihak militer Inggris tersebut. Sebagai pelaku sejarah peristiwa Pertempuran Surabaya, Des lebih suka menyebut itu sebagai upaya Inggris menutupi “kekalahannya” di Surabaya. Secara pribadi, dia lebih mempercayai jika kedua perwira Inggris itu tewas akibat pesawatnya ditembak para pejuang Surabaya. Kepercayaan Des berkelindan dengan pernyataan Barlan Setiadidjaja dalam Merdeka atau Mati di Surabaya . Menurut Barlan, sesungguhnya Mosquito yang ditumpangi Symonds dan Osborne jatuh karena tembakan seorang anggota BPRI (Barisan Pemberontak Rakjat Indonesia) bernama Goemoen. Kisah itu dimulai saat Goemoen dan kawan-kawannya menemukan sepucuk meriam anti pesawat udara yang telah rusak di gudang senjata Don Bosco bekas milik tentara Jepang. Setelah diperbaiki sana-sini, meriam itu kembali dapat digunakan. Saat mereka menyiapkan peluru dan mencari sasaran untuk ditembakan, tetiba di atas Stasiun Wates melayang sebuah Mosquito milik RAF. “Pesawat nahas itu segera diputuskan untuk dijadikan sasaran percobaan,” tulis Barlan. Tanpa banyak bicara, Goemoen yang memegang meriam itu mengarahkan bidikan ke pesawat yang tengah baru tinggal landas tersebut. Blaarr! Begitu peluru dilepaskan langsung mengenai sayap pesawat sehingga Mosquito itu langsung oleng dan dalam kondisi terbakar lantas jatuh di landasan pacu Lapangan Udara Morokembangan. “Saya yakin itulah pesawat Mosquito yang ditumpangi Jenderal Loder Symonds,” ungkap Barlan yang juga merupakan veteran Pertempuran Surabaya. Gugurnya Symonds merupakan kehilangan jenderal yang kedua buat tentara Inggris di Surabaya. Sebelumnya pada 30 Oktober 1945, perwira tinggi yang lain yakni Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby gugur pula dalam suatu insiden berdarah di depan Gedung Internatio. Setelah sempat tertanam di bumi Surabaya, jasad Symonds kemudian dipindahkan ke Commonwealth War Cementry Blok V Menteng Pulo, Jakarta Selatan. Sang jenderal dimakamkan persis bersebelahan dengan makam jasad Letnan Osborne, pilot yang menerbangkan pesawat nahas tersebut.
- Atlet Berprestasi Dituduh PKI Bertransformasi Diri Jadi Laki-laki
KARNAH sumringah. Medali perunggu menggantung di lehernya. Gadis 18 tahun itu berhasil menjadi tiga besar dalam cabang atletik nomor lempar lembing putri Asian Games Tokyo 1958. Dia mengumpulkan total lemparan 45, 03. Nilai itu kalah 1,04 dari Elizabeth Davenport (India) dan 2,12 Yoriko Shida (Jepang). Karnah menjadi satu dari sedikit atlet yang menyumbang medali kepada kontingen Indonesia. Selain darinya, lima medali perunggu yang digondol Indonesia berasal dari cabang sepakbola putra, polo air putra, renang estafet putra nomor 400 meter, renang gaya bebas putra nomor 200 meter (Habib Nasution), dan renang gaya dada putri nomor 100 meter (Ria Tobing). Prestasi itu menjadi raihan terbaik kontingen Indonesia sejak keikutsertaannya di Asian Games I, New Delhi 1951 sebelum kemudian dipecahkan dalam Asian Games IV Jakarta. Saat menjadi tuan rumah, Indonesia menjadi runner up klasemen akhir –yang hingga kini masih menjadi prestasi terbaik Indonesia di Asian Games. Sumbangsih Anak Petani untuk Negeri Karnah Sukarta lahir di Ciamis, Jawa Barat pada 1 Februari 1940. Meski keluarganya hanya petani kecil, dia sangat aktif. Kesukaannya pada atletik, khususnya lempar lembing, terus diasahnya. Ketekunannya akhirnya membuahkan hasil. Karnah terpilih menjadi anggota kontingen Indonesia dalam Asian Games Tokyo. Di ajang olahraga multicabang terbesar Asia itu, dia berhasil menyumbang medali. Karnah dan para atlet kontingen Indonesia pun mendapat sambutan meriah sepulang ke tanah air. Bak pahlawan, mereka langsung diundang berbagai pejabat, mulai Presiden Sukarno hingga pejabat-pejabat daerah. Surat kabar Pikiran Rakyat, 5 Juli 1958, melaporkan, sekira 18 atlet kontingen Indonesia turut dielu-elukan di Bandung. Beragam kendaraan disiapkan untuk menjemput mereka, yang datang dengan kereta api dari Jakarta. Karnah pribadi diantar khusus oleh perwira Siliwangi Letkol Rivai dengan mobil Cabriolet Deluxe, diantar dari Stasiun Bandung ke Balai Kota tempat upacara penyambutan. Gempita penyambutan Karnah juga semarak di kampung halamannya, Ciamis. Iring-iringan kendaraan militer mengarak Karnah dari Tarogong, Ciamis sampai Pendopo Tasikmalaya. Warga kampung halamannya bahkan sampai mengeluarkan gagasan agar Karnah dijadikan tokoh Ciamis yang diabadikan dengan tugu peringatan. “Di kalangan penduduk Ciamis sekarang ini timbul keinginan supaya atlet wanita Karnah dijadikan tokoh Ciamis dan supaya untuk dirinya dibuat tugu peringatan. Keinginan tersebut sudah disampaikan kepada DPRD Swatantra II Ciamis. Jasa-jasanya menaikkan derajat nusa dan bangsa dalam bidang olahraga,” tulis Bintang Timur , 4 Juli 1958. Tuduhan Suap dan Antek PKI Sayang, prestasi Karnah di Asian Games 1958 jadi puncak kariernya. Setelah itu, Karnah tak pernah lagi mengusung nama negara lantaran setahun berselang dia diskors GABA (Gabungan Atletik Bandung). Pasalnya, Karnah diduga menerima suap. GABA melarang setiap atlet amatir menerima uang. Karnah memang mengakui pernah menerima sejumlah uang. Namun, katanya, uang itu bukan untuk suap dalam kompetisi tapi merupakan bantuan dari beberapa pihak untuk biaya pendidikannya di Sekolah Guru Pendidikan Djasmani (SGPD) Bandung dan kemudian dilanjutkan ke IKIP Bandung. “Karnah menyatakan bahwa apa yang telah diterimanya itu berupa uang, tidak ada hubungannya dengan keolahragaan, akan tetapi semata-mata karena dia sebagai murid yang terlantar hidupnya,” tulis majalah Aneka , 20 Oktober 1959. Karnah akhirnya memilih fokus ke kuliahnya di IKIP Bandung. Sejak 1962, sebagai mahasiswi serta anggota Dewan Mahasiswa (Dema) IKIP yang begitu mengagumi Bung Karno, Karnah menjadi aktivis dan acap memberi orasi. Dia bahkan dikabarkan sampai ikut Gerwani, organisasi perempuan yang kerap dianggap sayap PKI, di Kawali, Ciamis. Meletusnya Prahara 1965 membalikkan kehidupan Karnah. Sebagai loyalis Bung Karno, dia ikut kena ciduk. Dia digaruk di Banjaran awal November 1965 kemudian disel di Kebonwaru, Bandung. “Karnah dikenal di kampungnya di daerah Kawali, Ciamis Utara sebagai salah seorang anggota pengurus Gerwani setempat. Ia baru-baru ini kembali dari Bandung ke kampungnya dan karena timbul kecurigaan pada pihak berwajib, Karnah kemudian diamankan (Kepolisian Ciamis),” tulis Kompas , 8 November 1965. Caci-maki dan kebencian lalu mengalir kepadanya sebagai korban perubahan besar politik di tanah air. Rumah Karnah di Bandung sampai dibakar massa. Sejumlah piagam penghargaan dan sertifikat ikut hangus. Kehidupan rumahtangganya dengan Karya Natasasmita sejak 1962 juga hancur. Lantaran tak ingin suaminya ikut dikira antek PKI, Karnah memilih menceraikannya. Tapi Karnah tak sampai setahun di Kebonwaru, dia dibebaskan pada 1966. Penahanan itu bukan kali terakhir Karnah jadi penghuni hotel prodeo. Meletusnya Malari (Malapetaka 15 Januari) 1974, di mana Karnah juga ikut terlibat, membuatnya kembali dijebloskan ke penjara sampai 1978. Ganti Kelamin, Ganti Nama Usai menjadi tahanan Malari, Karnah menikah lagi. Namun, pernikahan dengan Ganda Atmadja hanya berlangsung selama setahun. Karnah terpaksa bercerai karena kejadian langka menimpanya. Karnah, tulis Poskota 8 Juni 2007, mengalami perubahan alat kelamin setelah berziarah ke makam Bung Karno pada 1979 dan bermimpi bahwa dia akan menikah dengan perempuan. Ajaibnya, lambat-laun fisiknya, termasuk alat kelamin, berubah. Karnah pun mengganti namanya menjadi Iwan Setiawan. Setahun kemudian, Iwan menikah dengan perempuan bernama Tuti Pudjiastuti. Mereka dikaruniai seorang putra. Terlepas dari kejadian ajaib –yang menurut medis, Karnah mengalami gangguan perkembangan seksual langka– itu, kehidupan Iwan dan keluarganya begitu memprihatinkan. Dia sempat menjadi buruh tani di Dusun Noong, Desa Sukahurip, Cisaga, Ciamis untuk menghidupi keluarganya. Penghargaan dari pemerintah baru datang pada 2007. Kementerian Pemuda dan Olahraga memberi bantuan uang dan rumah kepada Karnah alias Iwan Setiawan dan beberapa mantan atlet berprestasi Indonesia lainnya.
- Penemuan 16 Titik Kuburan Massal di Purwodadi
DINI hari, sekira pertengahan awal November 1965. Desa Toroh, daerah Purwodadi, Jawa Tengah, masih sangat sepi. Bulan purnama pun masih terang. “Saya dijemput empat orang polisi dari Purwodadi. Mereka sampai di rumah sekitar pukul 03.00 pagi. Sejak itu saya langsung dibawa ke Kamp Lusi, yang terkenal dengan nama Gudang Seng di Kota Purwodadi,” ujar Kandar Sumarno, 77 tahun, kepada Historia . Kandar mendekam di Kamp Gudang Seng sejak November 1965 hingga Januari 1966 tanpa proses hukum. Pada Februari 1966, dia menghabiskan masa hukuman 14 tahun di Penjara Nusakambangan, lepas pantai selatan Jawa Tengah. Selama di Kamp Gudang Seng, dia menyaksikan setiap malam truk-truk tentara mengambil sekira 50 orang kawan-kawannya untuk dieksekusi. “Kalo sejak 1965 sampai 1968 banyak yang dieksekusi di daerah Monggot. Kemudian antara 1968 hingga 1969, katanya banyak yang dieksekusi di daerah Waduk Simo,” ujar penyintas eks Barisan Tani Indonesia cabang Toroh ini. Lokasi pembantaian itu diamini Bedjo Untung, ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65) saat menggelar konferensi pers singkat di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Jalan Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat, (15/11). “Kedatangan saya ingin melaporkan penemuan kembali kuburan massal. Jadi, YPKP perlu menyampaikan tentang kuburan massal antara 1965-1969. Sekarang saya datang untuk menambah bukti kuburan massal yang semula ada 122 titik di Indonesia, kemudian ditambah lagi 16 titik di daerah Purwodadi. Dengan demikian menjadi 138 titik,” ujar Bedjo. Peristiwa pembantaian di Purwodadi ini dimuat di harian KAMI, 26 Februari 1969, bertajuk “Gelombang Pembantaian Selama Tiga Bulan di Purwodadi.” Pada hari sama, harian KAMI juga memuat wawancara dengan Haji J.C. Princen, anggota Lembaga Pembela Hak Asasi Manusia, yang telah melakukan perjalanan selama seminggu di Jawa Tengah. Mengenai kasus Purwodadi, Princen mencatat bahwa sekira dua ribu hingga tiga ribu penduduk Purwodadi yang terindikasi komunis sudah meregang nyawa. Pasca laporan itu, beberapa harian lain seperti Indonesia Raya dan Sinar Harapan menurunkan laporan serupa pada Maret 1969. “Laporan dari Princen itu memang menjadi acuan awal. YPKP pun mengumpulkan bukti baru dari kesaksian yang masih hidup di sana dan mengetahui lokasi-lokasi pembantaian dan menjadi kuburan massal di Purwodadi,” ujar Bedjo. Bedjo merilis untuk pertama kali 16 titik kuburan massal di daerah Purwodadi antara lain Kali Genjing, Kali Glugu, Pesantren Kali Aren, Bui Jati Pohon Kamp Takhrin, Jembatan Bandang, Waduk Simo, Pasar Kuwu, Waduk Langon, Sendang Tapak, Pangkrengan, Daplang, Tegowanu, hutan Monggot, Kedung Jati, hutan Sanggrahan, dan Mojo Legi. "Jumlah korban terbesar di daerah Monggot lebih dari 2000 orang. Jumlah seluruh korban mencapai 5000 orang," kata Bedjo. Saat konferensi pers berlangsung, di muka gedung Komnas HAM terparkir sebuah mobil komando lengkap dengan pengeras suara. Mereka menamakan diri Gerakan Pemuda Anti Komunis. “Buat komisioner Komnas HAM yang bertugas 2017-2022, kalo ente biarin itu Bedjo Untung dan kawan-kawan, maka enggak sampai 2022 ente . Ane gulingin ,” ujar Ade Selon, panglima Gerakan Pemuda Jakarta, yang berorasi di atas mobil komando. Tiga orang anggota aksi kemudian bersikeras menemui salahsatu komisioner Komnas HAM. Mereka diterima anggota komisioner Komnas HAM, Amiruddin Al Rahab, di ruang pengaduan. “Kami meminta komisioner untuk tidak memproses segala laporan apapun yang dilakukan YPKP dan Bedjo Untung, dan kami memandang tidak ada tempat lagi bagi komunis di negeri ini,” ujar Rahmat Himran, ketua umum Gerakan Pemuda Anti Komunis. “Kami menerima segala laporan. Jangan berprasangka negatif dulu, mari kita bekerjasama membenahi ini semua,” ujar Amir. Ketiga wakil pendemo kemudian keluar dari ruang pengaduan.
- Lelucon Para Kadet
HUBUNGAN perkawanan antara sesama kadet Akademi Militer Yogyakarta dan para instrukturnya, dikenal sangat erat dan kompak. Menurut Sajidiman Surjohadiprodjo, keadaan tersebut bukan saja menimbulkan perasaan senasib sepenanggungan, namun juga kisah-kisah lucu di kalangan mereka. “Terdapat banyak anekdot yang beredar di kalangan kami,” ujar kadet angkatan pertama di Akademi Militer Yogyakarta itu. Ada suatu cerita yang kerap dikenang oleh anak-anak Akademi Militer Yogyakarta angkatan awal yakni kisah celana pinjaman Aswawarmo, salah seorang instruktur di akademi militer tersebut. Kisah itu pernah ditulis oleh Daud Sinjal dalam Laporan Kepada Bangsa . Ceritanya, suatu hari Aswawarmo meminjam celana lapangan dari seorang kadet. Setelah dipakai beberapa kali oleh sang instruktur, celana itu lantas dipinjam oleh seorang “kadet tengil” bernama Acub Zainal (kelak menjadi Gubernur Irian Jaya). Namun karena kekuarangan makan, celana itu setelah dipakai Acub kemudian berpindah tangan ke tukang loak. Hasil dari penjualan itu lantas dipakai untuk pesta makan-makan oleh beberapa kadet dan instruktur termasuk Aswawarmo. Di akhir pesta, Aswawarno menanyakan kok tumben mereka bisa makan enak, duitnya dari mana? Tak ada jawaban, kecuali suara tawa dan rasa riang gembira dari semua kadet, termasuk sang pemilik celana. Salah seorang mantan instruktur Akademi Militer Yogyakarta kemudian menjadi perwira staf di MBAD (Markas Besar Angkatan Darat) dengan pangkat terakhir letnan kolonel. Hubungan dengan para perwira, bekas anak didiknya di Yogyakarta tetap berlangsung akrab. Itu dibuktikan dengan kerapnya mereka bertegur sapa secara informal tanpa peduli soal kepangkatan. Salah seorang eks kadet Yogyakarta bernama Sabrawi Istanto kemudian dinaikan pangkatnya menjadi kolonel. Namun eks instruktur itu pun seperti tak peduli. Suatu hari, dia bertemu dengan Sabrawi di gedung MBAD dan langsung menyapa akrab: "Wi!” Sabrawi yang tengah bangga-bangganya menyandang pangkat kolonel itu lantas meresponsnya dengan jawaban: "Wa, Wi, Wa, Wi …Kolonel kek, Bapak kek,” ujarnya. Memang sedikit bergurau. Eh, kala Acub Zainal diangkat menjadi Brigadir Jenderal, situasi itu kembali terulang. Namun kali ini, Sabrawi yang begitu berpapasan dengan Brigjen Acub, dia berseru, "Hei, Kub!" Acub langsung menjawabnya: “Kab, Kub, Kab, Kub…Jenderal kek, hormat kek…”
- Bunga dan Buah pada Zaman Kuno
HANOMAN, kera bermahkota dengan kain selutut mengobrak-abrik taman milik Rahwana yang ditumbuhi pohon asoka . Di taman itu pula Sinta dikurung setelah diculik dari suaminya, Rama. Potongan kisah Ramayana dalam relief Candi Panataran, Blitar itu, juga menggambarkan pemandangan alam. Asoka atau soka ( Ixora Javanica ) salah satu tanaman yang sering muncul dalam penggambaran alam Jawa Kuno, baik dalam relief maupun karya sastra kakawin. Hingga kini, bunga soka masih bisa ditemui. Ia memiliki bunga merah yang bergerombol, kayu kehitaman, dan berdaun lebat. Selain tanaman hias, dalam relief juga terdapat tanaman budidaya, seperti pohon aren ( Arenga pinnata) pada relief di pendopo teras Candi Panataran. Seniman pahat menggambarkannya: batang lurus menjulang, daun berhelai-helai, dan buah menggerombol dan menggantung. Pada batangnya bambu tergantung untuk menampung tetesan nira. Minuman tuak dari air nira digemari hingga kini. Pada relief Karmawibhangga di Candi Borobudur terdapat dua jenis tanaman. Jenis tanaman pertanian basah yaitu padi sementara tanaman pertanian kering antara lain jagung, sukun, pisang, tebu, nangka, mangga, dan aren. Aryo Sunaryo, dosen seni rupa Universitas Negeri Semarang (UNNES) dalam “Aneka Ornamen Motif Flora pada Relief Karmawibhangga Candi Borobudur,” Imajinasi Vol. VI No. 2 Juli 2010, mendata dari 160 panil relief Karmawibhangga, 32 panil menampilkan pohon mangga, motif jambu air sekira tujuh panil, dan pohon pisang tiga panil. Menurut Petrus Josephus Zoetmulder, pakar sastra Jawa, pohon dan bunga yang disebut dalam kakawin adalah hasil observasi penulis terhadap lingkungannya. Sang penulis atau kawi , biasanya mencari keindahan bagi tulisannya dan menemukannya di alam. Mereka biasanya tertarik pada pohon-pohon yang berbunga. Selain asana dan asoka, pohon yang sering disebut ialah andul ( rajasa ), wungu, dan campaka. Penyebutan tanaman dalam kakawin seringkali untuk membuat perumpamaan, khususnya untuk melukiskan kecantikan perempuan. Misalnya, pohon pakis diumpamakan sanggul perempuan. Bunga menur yang mirip melati berbentuk kecil dan putih menggambarkan burung-burung bangau yang berterbangan. “Untuk memahami analogi ini, orang harus cukup mengenal flora yang ada di Jawa,” tulis Zoetmulder dalam Kalangwan . Pohon andul ( rajasa ) disebut sampai mundur penuh rasa malu ketika melihat gusi seorang perempuan. Sebab, bunga pohon andul berwarna merah tapi kalah merah dibandingkan gusi perempuan yang cantik. Ada pula pohon wungu . Bunganya berumpun dan berwarna merah. Bentuknya menjulang dan meruncing ke pucuk. Karenanya, ia sering diserupakan dengan candi atau meru . Perumpamaan ini muncul dalam Kakawin Sumanasantaka yang menyebut seorang tokoh bernama Harini berharap jenazahnya dapat diperabukan dalam candi sebuah wungu. Sementara bunga tanjung yang kecil seringkali dirangkai menjadi hiasan sanggul dan perhiasan di belakang telinga. Bunga campaka dan asana yang berwarna kuning muda atau putih lebih sering dipakai perempuan sebagai hiasan. Sampai-sampai dalam lingkungan keraton, warna kedua bunga ini paling ideal bagi perempuan. “Ungkapan warna kulitnya menyerupai kulit bunga campaka sudah menjadi klise,” tulis Zoetmulder. Mengenai bunga asoka yang merah sering dipakai untuk hiasan rambut. Bunga ini juga dikagumi karena tangkainya yang lemah lembut sehingga diumpamakan pinggang perempuan yang langsing. Bukan cuma bunga, pohon bambu juga disebut dalam kakawin dengan istilah pring, petung, wuluh. Bambu ini sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari untuk membuat saluran air yang melintasi jurang, ruasnya untuk membawa air atau menanak nasi. Namun, bagi seorang kawi, bambu bisa menjadi inspirasi berbagai perumpamaan. Seperti dalam Nagarakrtagama disebutkan ketika seorang raja mangkat, mata pohon bambu bengkak karena tangisnya. Di telinga seorang penyair, suara pohon cemara ( camara ) yang digoyangkan angin, menyerupai keluh kesah, ratap tangis, bahkan sorak sorai. Menurut Zoetmulder, bambu, cemara, dan pohon kelapa memang tidak bisa dikagumi warnanya. Para kawi tetap melukiskan keindahan pohon-pohon ini melalui tumbuhan yang menjalari batangnya. Seperti katirah yang merah atau gadung yang kuning. “Sebuah tiang atau pohon yang dijalari oleh tanaman sering dipakai sebagai perumpamaan bagi dua orang kekasih yang berangkulan,” tulisnya. Meski begitu ada pula perumpamaan yang sulit dimengerti. Misalnya, bagian mana dari bunga pisang yang jatuh ke tanah bisa disamakan dengan pecahan kuku tangan? Hal semacam ini, kata Zoetmulder, perlu dipecahkan bersama oleh ahli filologi dan ahli botani Jawa .
- Timur Pane Pejuang yang Terbuang
Pertengahan Juli, 1947. Wakil Presiden Mohammad Hatta mengadakan perjalanan keliling Sumatera. Dia mengunjungi wilayah Tapanuli dan Sumatera Timur sebagai destinasi utama. Saat itu, keadaan di tempat-tempat tersebut sangat gawat. Di Pematang Siantar, ibu kota Sumatra Timur, Hatta bersua dengan seorang pimpinan laskar yang disegani: Timur Pane “….Sarwono telah ditangkapnya dan hendak dibunuhnya. Kupanggil Timur Pane ke tempatku menginap dan kuperintahkan supaya Sarwono jangan dibunuh,” kenang Hatta dalam otobiografinya, Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi . Nama Timur Pane kesohor sampai ke Jawa. Para bandit dinaungi di bawah pimpinannya untuk bertempur melawan tentara Belanda. Kendati demikian, pasukannya laskar “Naga Terbang” dikenal liar dan suka mengacau. Kadang-kadang suka merampas milik rakyat. Panglima Divisi Siliwangi saat itu, Abdul Haris Nasution mencatat, di Lubuk Pakam yang menjadi markas Naga Terbang, pasukan Timur Pane menduduki beberapa perkebunan. “Tindakan mereka tidak dapat dikendalikan oleh badan-badan pemerintah yang berwajib,” ujar Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 4: Periode Linggajati . Dijinakkan Bung Hatta Ekses-ekses perjuangan memicu perselihan antar laskar. Timur Pane yang tunduk kepada PNI daerah sedang bertentangan dengan suatu laskar lainnya yaitu Ksatria Pesindo di bawah Sarwono Sastro Sutardjo. Naga Terbang-nya Timur Pane adalah salah satu penentang terkeras Sarwono. Masalah ekonomi serta persaingan memperebutkan wilayah atau sumber-sumber uang yang mendasarinya. Hatta sampai turun tangan menengahi persoalan laskar di Sumatra Timur. Ketika berhadapan dengan Hatta, Timur Pane tak berani mendebat. Dia mematuhi Wakil Panglima Tertinggi Tentara Republik Indonesia itu. Untuk membuktikan diri, Timur Pane meminta persetujuan Hatta bagi pasukannya yang mau menggempur dan mengenyahkan Belanda dari Medan Area. Sontak para hadirin terperangah. Mereka meragukan kemampuan pasukan Timur Pane, terlebih sejak 1946 mereka lebih banyak di garis belakang. Dugaan mereka, Timur Pane hanya ingin memanfaatkan momen untuk mencari keuntungan karena mereka kerap meresahkan masyarakat. Namun Hatta mengizinkannya. “Aku menyuruhnya pergi ke Tapanuli, sebab ia bermaksud akan menggempur daerah Medan,” ujar Hatta. Menurut Hatta, di hari yang sama, Timur Pane langsung kembali dari Tapanuli membawa beberapa ratus senjata disertai beberapa golongan laskar. Timur Pane melaporkan kesiapan pasukannya untuk menyerang. Hatta segera memberi perintah memasuki daerah Belanda di sekitar Medan. Tanggal 27 Juli 1947, militer Belanda berkekuatan 500 orang prajurit mendarat di Pantai Cermin, lebih kurang 40 kilometer sebelah timur kota Medan. Perlawanan sengit berlangsung namun hasil akhir pertempuran di luar dugaan. Legiun Penggempur yang ditugaskan menghadang pendaratan tak kuasa membendung laju tentara Belanda. Pasukan Belanda bergerak terus ke arah Lubukpakam. Sementara rencana Timur Pane memasuki kota Medan dibatalkan. Pada saat pemerintahan Hatta mengeluarkan kebijakan Reorganisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra) tahun 1948, Legiun Penggempur termasuk salah satu badan perjuangan yang dilikuidasi. Semenjak itu, Timur Pane dicopot dari kedudukan militernya. Gelar jenderal mayor kebanggaannya dilucuti. Jenderal Mayor yang Hilang Kendati kehilangan jabatannya, Timur Pane masih punya banyak pengikut setia. Mereka dikumpulkan dalam barisan pengawan yang dinamakan “Sang Gerilya”. Kelompok pasukan tak resmi ini ditampung dalam Divisi Banteng Negara oleh Mayor Liberti Malau. Malau adalah komandan Sektor II Komandemen Sumatera yang meliputi wilayah Tapanuli Utara. Timur Pane dan Malau merupakan rekan seperjuangan ketika membentuk Brigade Marsose. Dalam suatu rapat di Samosir, Timur Pane berusaha agar Mayor Malau diganti sebagai komandan Sektor II. Gerakan Timur Pane menyebabkan kekacauan di Sektor II karena suka menghasut rakyat. Persoalan ini dibawa sampai kepada gubernur militer, Ferdinand Lumbantobing. Suatu pasukan ekspedisi dikerahkan untuk mengusir pasukan Timur Pane. Setelah keluar dari Divisi Banteng Negara, Timur Pane mengundurkan diri ke Sektor III di wilayah Dairi, komandemen Sumatera. Di sana, dia diterima oleh Mayor Selamat Ginting. Selamat Ginting tak sampai hati menangkap Timur Pane. “Rupanya perasaan setia kawan pada seorang teman seperjuangan sejak Medan Area mengikat kedua tokoh ini,” tulis buku Perjuangan Rakyat Semesta Sumatera Utara . Kendati demikian, Timur Pane lagi-lagi membuat gerakan. Maraden Panggabean dalam otobiografinya Berjuang dan Mengabdi menyebut, pasukan Timur Pane sering bertindak tanpa izin atau sepengetahuan Komandan Sektor III, Selamat Ginting. Timur Pane malah memilih bergabung dengan Gerakan Rakyat Murba Indonesia (Germi). Germi dipimpinoleh Tama Ginting yang berseteru dengan Selamat Ginting. Pasalnya, program penebangan kayu hutan untuk ekonomi rakyat yang digagas Germi dilarang oleh Selamat Ginting selaku pimpinan militer. Koalisi ini mendapuk Timur Pane sebagai panglima dan Sang Gerilya sebagai pasukan tempur. Dalam suatu operasi, Sang Gerilya berhasil melucuti pasukan Batalyon III dari Sektor III. Selamat Ginting memutuskan untuk menumpas aksi pasukan mantan kompatriotnya itu. “Pasukan Sang Gerilya akhirnya digempur habis-habisan sehingga pada saat pengkuan kedaulatan tidak kedengaran lagi mengenai Timur Pane dan pasukannya,” kata Maraden. Tak ada catatan lanjut mengenai akhir kiprah Timur Pane. Berita kematian atau di mana pusara nya juga tak diketahui. Dalam narasi sejarah, namanya kerap diidentikan sebagai bandit sekaligus pejuang yang melegenda. Pada 1987, sineas dan sutradara kenamaan Asrul Sani mengadaptasi kisah Timur Pane ke dalam layar sinema. Sosok Timur Pane dilakonkan sebagai Naga Bonar dalam film Naga Bonar .
- Timur Pane: Lakon Sang Bandit
Dia memiliki tubuh kecil dan pendek. Ada tanda kebiru-biruan di separuh muka bagian bawah.Matanya selalu awas dan menyorot liar. Demikian kesan M. Radjab tatkala bersua dengan Timur Pane. Radjab, wartawan Antara, utusan dari Kementerian Penerangan yang sedang bertugas mereportase perjuangan revolusi di Sumatera. Sementara Timur Pane, seorang pimpinan laskar yang punya reputasi: terkenal dan menggelisahkan di Sumatera Timur. Mereka bertemu di Prapat, kota tepi Danau Toba yang menjadi markas gerilya Timur Pane. “Katanya, ia sendiri sudah banyak menyembelih orang di medan pertempuran. Kenekatan inilah yang menjadikannya terkemuka, ditakuti dan namanya terkenal,” tutur Radjab dalam memoarnya Tjatatan dari Sumatera tertanggal 15 Juli 1947. Kepada Radjab, Timur Pane sesumbar. Dia mengaku sanggup merebut kota Medan yang dikuasai tentara Belanda dalam waktu 24 jam. Yang menggelikan, Timur Pane mengatakan punya persenjataan yang cukup untuk berperang selama delapan belas tahun. “Kadang-kadang saya mendapat kesan, bahwa omongannya melampaui garis kenyataan,” kenang Radjab. Jebolan Copet Sebelum merintis nama sebagai pejuang bersenjata, Timur Pane berkecimpung di lembah kriminal. Semula, dia adalah pedagang jengkol dan sayuran di pasar Sambu kota Medan. Karena lihai dan berani, Timur Pane menjadi jagoan kota dengan keterampilan khusus: mencopet. Pemuda-pemuda pengangguran yang tak punya pekerjaan tetap ditampungnya sebagai anak buah. Kebanyakan tak bersekolah. Mereka biasanya dicap sebagai bandit atau bajingan. “Sekalipun kebanyakan tidak mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi, pemuda-pemuda ini adalah unsur yang penting dalam pertempuran-pertempuran di tahun 1945 sampai 1947. Merekalah yang mengetahui setiap lika-liku jalan dan lorong di kota itu,” tulis buku Perjuangan Rakyat Semesta Sumatera Utara yang diterbitkan Forum Komunikasi Ex Sub Teritorium VII Komando Sumatera. Di masa Indonesia merdeka, Timur Pane ikut ambil bagian. Kelompoknya berafiliasi dengan Nasional Pelopor Indonesia (Napindo), barisan kelaskaran PNI di Sumatera Utara pimpinan Selamat Ginting. Setelah peristiwa di Jalan Bali, pasukan Selamat Ginting membutuhkan logistik persenjataan dalam jumlah besar. Persoalan ini dapat diatasi karena bantuan dari anak buah Timur Pane. Pencarian senjata menyasar gudang-gudang Jepang yang terletak di Tanjung Morawa, Lubuk Pakam, dan Sunggal. Cara mendapatkannya acapkali dilakukan dengan pencurian dan perampokan. Sejak Oktober 1945, kota Medan telah diduduki tentara Sekutu dan Belanda. Para barisan pejuang Republik turun ke fron untuk merebut kota. Perjuangan ini kemudian dikenal dengan Pertempuran Medan Area. Timur Pane turut mengorganisasikan pasukannya dengan nama kelaskaran baru: Napindo Naga Terbang. Meski membawakan nama Napindo, Timur Pane tak selalu mematuhi pimpinan Napindo. Hasrat kriminalnya ikut terbawa di medan laga. Dalam pertempuran Medan Area, misalnya. Naga Terbang lebih sering berada di garis belakang untuk mencari keuntungan materi. “Pasukannya lebih suka menjarah kaum Tionghoa dan India kaya ketimbang menghadapi Belanda,” tulis Anthony Reid dalam The Blood of The People: Revolution and the End of Traditional Rule in Northern Sumatra. Aksi Sesuka hati Selain penjarahan, penyelundupan juga menjadi andalan utama mereka. Karena tak mampu menembus kota Medan, pasukan Timur Pane beralih fron ke Deli-Serdang yang kaya hasil bumi. Pane memilih Perbaungan sebagai markasnya. Di sanalah Pane leluasa mengendalikan beberapa perkebunan (terutama karet) yang diselundukan ke Malaya melalui pelabuhan Pantai Labu dekat Lubuk Pakam. Kepiawaian berniaga itu membuat nama Naga Terbang menjadi besar dan kian tenar. “Pada pertengahan 1946, dia red.> red.> memimpin satu kekuatan bersenjata besar, yang dibangun dari sebuah geng Jalan Pemuda di Medan,” tulis Audrey Kahin dalam Regional Dynamics of the Indonesian Revolution: Unity from Diversity . Dengan kekayaan yang dimilikinya, Naga Terbang “menggoda” banyak badan perjuangan lain untuk bergabung. Kekayaan itu pula yang menjadi senjata Naga Terbang untuk melenyapkan rival, dengan jalan membeli persenjataan mereka. Menurut Audrey Kahin, pasukan Timur Pane, Naga Terbang, mungkin barisan laskar yang terbesar dan bersenjata terbaik. Pada Desember 1946, Timur Pane keluar dari Napindo. Dia kemudian membentuk pasukan Marsose yang anggotanya kebanyakan dari etnis Batak-Toba. Pasukannya menyingkir ke pedalaman dan membangun basis pasukan yang besar di Prapat. Secara sepihak, Timur Pane menyatakan dirinya berpangkat jenderal mayor. Beberapa anak buahnya juga diangkat sebagai kolonel dan opsir menengah lainnya. “Tentara Marsose yang dipimpin Jenderal Mayor Timur Pane ini menyatakan dirinya telah masuk menjadi TNI dan dari pemimpin sampai anak buahnya memakai tanda pangkat militer,” tulis buku Republik Indonesia: Propinsi Sumatera Utara yang diterbitkan Kementerian Penerangan tahun 1952. Tak sampai disitu, Timur Pane juga menuntut pengakuan resmi pemerintah atas pasukannya. Dia mendatangi Mr. S.M. Amin gubernur muda Sumatera Utara. Sebuah permintaan dilontarkan agar gubernur menganggarkan sebesar 120 juta gulden setiap bulan untuk pasukan Marsose. Timur Pane meninggalkan ancaman akan terjadi banjir darah bila permintannya tak dipenuhi. Ulah Timur Pane memantik perhatian Panglima Komandemen Sumatera, Jenderal Mayor Suhardjo Hardjowardojo. Sebagaimana perintah Presiden Sukarno untuk menyatukan laskar dan tentara, pasukan Timur Pane terpaksa dilebur ke dalam TNI. Timur Pane menyetujui gagasan penyatuan. Sedangkan Suhardjo awalnya enggan. Alasannya, kesatuan Timur Pane dikenal tak disipilin. Dan lagi, Timur Pane tetap mempertahankan pangkat sebagai jenderal mayor. Namun mengingat besarnya jumlah laskar yang tergabung didalamnya maka penyatuan dipandang perlu agar dapat dikendalikan. Pada 29 Juni 1947, Panglima Suhardjo membubarkan pasukan Marsose. Sepekan kemudian, dibentuk kesatuan Legiun Penggempur untuk mewadahi para mantan pasukan Marsose. Jenderal Mayor Timur Pane resmi menjadi panglima Legiun Penggempur Komandemen Sumatera.






















