Hasil pencarian
9594 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Penumpasan PKI di NTT dalam Dokumen Rahasia AS
DI Pulau Rote, ujung paling selatan Indonesia, seorang antropolog AS, James J. Fox, menyaksikan praktik penumpasan PKI. Dia menetap di Rote sejak 1965 untuk kepentingan studinya di Universitas Oxford, Inggris. Bersama istrinya, dia melaporkan situasi yang terjadi selama masa pembersihan berlangsung kepada Kedubes AS di Jakarta. Kedubes kemudian menerbitkannya dalam laporan berjudul “Conditions and Attitudes in East Nusatenggara” (Kondisi dan Sikap di Nusa Tenggara Timur). Laporan ini menjadi salah satu dari 39 dokumen rahasia AS yang dideklasifikasi pada 17 Oktober 2017. Fox melaporkan bahwa satu detasemen AD tiba di Rote pada Januari atau Februari 1966. Misi tentara memburu Sukirno, kader PKI dari Jakarta yang ditugaskan memimpin PKI di Rote, beberapa minggu sebelum 30 September 1965. Tentara mundur karena tak menemukan yang dicari. Mereka kembali lagi ke Rote pada pertengahan Maret 1966. “Kunjungan ini menghasilkan eksekusi sebanyak 40 sampai 50 orang komunis di Rote ditambah 30 orang lainnya dari pulau tetangga, Sawu,” tulis telegram bernomor A-65 tanggal 3 Agustus 1966. Kunjungan tentara yang ketiga terjadi pada Juni 1966. Satu atau dua orang anggota PKI dieksekusi yang sebelumnya menghindari penangkapan. Fox melakukan perjalanan melalui Timor untuk berbicara dengan sebanyak mungkin masyarakat setempat. Informasi yang digalinya menyimpulkan sekira 800 orang atau paling banyak 1000 orang telah dieksekusi di Timor, Sumba, Alor, Rote, Sabu dan di pulau kecil lainnya. Alor merupakan basis PKI terkuat dengan 105 orang dieksekusi. Sementara untuk Flores, dia tidak mengetahui persis namun diperkirakan jauh lebih banyak. Sebagai antropolog, Fox mengamati implikasi sosial yang ditimbulkan oleh operasi tentara. Alih-alih menuai simpati, aksi pembersihan ternyata menodai citra tentara di mata masyarakat Rote. Daerah ini sebagian besar beragama Kristen dan berisi beragam orang non-Jawa. Sementara, ketika tentara datang, “mereka sebagian besar terdiri dari orang-orang Muslim dari Jawa dan nampaknya penduduk setempat menjadi korban pendudukan orang asing,” kata Fox. Menurut Fox, tentara melakukan pesta mewah hari demi hari dengan mengorbankan harta milik penduduk, yang mengakibatkan populasi ternak (kambing) menipis. Di Kupang, korupsi yang dilakukan tentara diperkirakan meningkat sepuluh kali lipat. Beberapa muatan kapal dari luar negeri yang dibongkar di Kupang, naik ke tangan tentara dan hanya bisa dibeli oleh penduduk dengan harga selangit. Hal ini sempat menimbulkan ancaman kelaparan bagi masyarakat setempat. Kesaksian Pembanding Wartawan senior asal Pulau Sawu, Peter A. Rohi meyakini kebenaran dokumen laporan Fox tersebut. Menurutnya, yang disebut PKI yang dibantai di Timor termasuk Pulau Rote dan Sawu adalah anggota-anggota nonaktif. Mereka kebanyakan petani buta huruf dan nelayan kecil yang berlangganan di koperasi PKI. “Mereka yang masih menganut agama lokal pun disamakan dengan atheis dan atheis itu komunis. Para aktivis yang selama masa itu selalu bertentangan dengan kebijakan pemerintah juga digolongkan komunis. Petani dan nelayan-nelayan itu sama sekali tak mengerti Marxisme. Bagi mereka yang penting kebutuhan mereka tersedia di koperasi yang ternyata milik PKI,” kata Peter. Bahkan, Peter mengungkapkan saudara sepupu ibunya beserta anak sulungnya yang pulang melaut langsung ditangkap tanpa diberi kesempatan pulang ke rumah. Keduanya kreditur jaring di koperasi milik PKI lantas dibunuh bersama banyak orang lain yang PKI atau di-PKI-kan. Seorang hakim di Ende, Flores, bernama Soedjono ditangkap massa dan dibunuh hanya karena namanya sama dengan seorang buronan PKI di Jawa. Setelah itu, baru diketahui dia bukanlah Soedjono yang dicari. “Pokoknya histeria massal saat itu terjadi karena selebaran-selebaran hoax seakan-akan PKI akan membunuh semua ulama dan pendeta, pastor, para pejabat resmi, serta tokoh masyarakat yang berpengaruh yang namanya tercantum dalam selebaran itu,” kata Peter. Pengalaman senada juga dikisahkan Ben Mboi dalam memoarnya Memoar Seorang Dokter, Prajurit, Pamong Praja . Menurut dokter yang saat itu berdinas di Flores dan Ende, kehadiran PKI di desa-desa bertumbuh karena PKI diplesetkan menjadi Partai Koperasi Indonesia, dan seterusnya. Keanggotaan PKI pun diimingi-imingi naik haji bagi petani kecil, atau pedagang keliling, dan sebagainya. Ketika situasi politik berbalik menekan PKI, tragedi kemanusiaan yang memilukan pun tak terelakkan. Gerakan kontra PKI berjalan cepat dan kejam sekali. Aksi pengganyangan menyala-nyala dan tak manusiawi. “Tokoh-tokoh komunis disiksa, dipukuli sampai luka-luka, dikirim ke rumah sakit, dikembalikan lagi, disiksa lagi, dikirim lagi ke rumah sakit, sampai persediaan alat balut yang sudah terbatas itu makin terkuras saja,” kata Mboi yang kemudian menegur kepala Kodim setempat. Di Ende, keadaan tak jauh berbeda. “Ada orang PKI yang disiksa lalu ditembak, ada yang disiksa sambil berjalan sampai mati, ada yang dibakar hidup-hidup.” Mboi juga menyaksikan ada dua guru yang dipenggal dan diarak massa keliling kota Ende, lalu dipamerkan di tugu tengah kota. Kedua jenazah baru dikuburkan setelah kepala seksi satu Kodim mendapat teguran. Menurut Mboi, korban keganasan epilog G30S di Flores terbesar kedua setelah Bali. Selain PKI, anggota-anggota PNI kubu Ali-Surachman juga menjadi korban. Keganasan tak lebih ringan dari yang dialami PKI, malahan lebih ganas, oleh karena ada motif pribadi. “Masa ini benar-benar merupakan the blackest and the bleakest months of my life (paling gelap dan paling suram dalam hidupku), dan sampai hari ini pun bayangan bulan-bulan itu masih terpatri dalam ingatan seperti baru terjadi kemarin saja!” kenang Mboi yang meninggal pada 23 June 2015.
- Perempuan Melawan Jerman
Pearl Witherington Cornioley bangun dari duduknya. Dia menuju pintu belakang pesawat lalu merebahkan tubuhnya di dinding pesawat. Tiba-tiba pesawat pembom Halifax yang ditumpanginya bermanuver tajam. Jantungnya berdegup kencang. Matanya terus menatap petugas pemberi aba-aba untuk terjun. Misi penerjunan ke Prancis pada 15 September 1943 itu menjadi puncak mimpinya selama beberapa tahun belakangan. Pendudukan Jerman membuat Pearl dan keluarganya terpaksa keluar dari Prancis. Dia kembali ke Prancis setelah bergabung dengan Special Operation Executives (SOE), badan intelijen yang dibentuk pemerintah Inggris untuk membantu perjuangan bawah tanah negara-negara yang diduduki Jerman. Ketika Halifax mengurangi ketinggian sampai 500 kaki, perasaan Pearl campur aduk antara senang, bangga, dan khawatir. Kekhawatirannya makin bertambah karena perintah terjun tak kunjung datang. Ketidakpastian itu baru usai setelah pilot mengumumkan: misi dibatalkan. Pearl kecewa. Pearl merupakan anak diplomat Inggris di Prancis. Lahir dan besar di Prancis, dia menganggap Prancis sebagai rumahnya. Itulah yang membuatnya amat marah ketika Prancis diduduki Jerman dalam Perang II. “Yang membuatku sangat marah adalah pendudukan. Dan itu adalah sesuatu yang tak bisa membuatku tinggal diam,” kata Pearl dalam memoarnya, Code Name Pauline: Memoirs of a World War II Special Agent yang ditulis bersama Kathryn Atwood. Saat pendudukan Jerman, Mei 1940, Pearl belum lama bekerja di kantor Atase Udara Kedutaan Inggris di Paris. Dia menjadi tulang punggung keluarga lantaran ayahnya terjerembab dalam alkohol. Dia menyerahkan semua gaji kepada ibunya, sementara untuk uang saku dia memberi les bahasa Inggris. Lantaran dianggap sebagai staf lokal, pemerintah Inggris tak mengevakuasi Pearl dan keluarganya. Dia terpaksa bersusah payah untuk membawa ibu dan ketiga adik perempuannya keluar Prancis. Sayang, di Normandy mereka tertinggal kapal menuju Inggris. Dia terpaksa kembali ke Paris. Mereka baru berhasil ke Inggris pada akhir tahun lewat Portugal lalu Gibraltar. Tak lama setelah kedatangannya di Inggris, Pearl mendapat pekerjaan di Kementerian Udara. Tapi dia tak puas hanya duduk di balik meja. Hasratnya untuk membantu Prancis keluar dari pendudukan tetap membara. Melalui seorang teman, dia lalu bergabung dengan SOE pada 8 Juni 1943. Dia mengikuti pelatihan intens, termasuk terjun payung, selama beberapa pekan. Pada 15 September 1943, Pearl dan agen-agen SOE mendadak batal diterjunkan ke Prancis. Penyebabnya, “Hector”, kepala jaringan SOE yang sedianya membawahi Pearl, ditangkap Gestapo, polisi rahasia Nazi-Jerman. Saat pesawat Halifax hendak menerjunkan Pearl dan kawan-kawan, Hector tepat berada di bawah pesawat. Lima hari kemudian, Pearl kembali ke Prancis menggunakan pesawat angkut dari Lapangan Udara Hazells Hall, dekat Pangkalan RAF Tempsford. “Ini adalah kesempatan terakhir saya, kesempatan terakhir saya,” kata Pearl dalam hati, dikutip Carole Seymour-Jones dalam She Landed by Moonlight: The Story of Secret Agent Pearl Witherington . Pearl bekerja dalam jaringan SOE bernama “Wrestler” yang dipimpin Maurice Southgate. Dengan nama samaran Marie Verges, dia berperan sebagai kurir. Dia mengantar pesan ke banyak orang dan melaporkannya ke London. Untuk menjalankan tugas itu Pearl menyamar sebagai agen kosmetik. Pada Mei 1944, Southgate ditangkap Gestapo dan dimasukkan ke Kamp Buchenwald. Pearl mengambilalih kepemimpinan Wrestler. Dia dan tunangannya, Henri Cornioley, sempat tertangkap Gestapo dan hampir dibunuh. Keduanya melarikan diri ke lembah Sungai Cher, Prancis Tengah, dan bersembunyi di rumah penjaga perkebunan. Pearl dan Henri mengubah struktur Wrestler menjadi kelompok kecil perlawanan dan mengganti metode kerjanya. Pearl berganti nama menjadi Pauline. Rumah penjaga perkebunan menjadi markasnya. Mereka merekrut penduduk setempat yang kebanyakan petani. Dalam waktu singkat, pengikutnya mencapai 1500 orang dibagi menjadi empat subregu. Selain mengumpulkan informasi, mereka melakukan sabotase yang meningkat menjelang D-Day. “Saat menerima pesan aksi D-Day di BBC , Maquis (kaum perlawanan Prancis, red .) Pearl mulai menebangi pohon di jalan-jalan dan memutus kabel telepon,” tulis Marcus Binney dalam The Women Who Lived for Danger . Setelah Juni, Pearl menyerukan kelompoknya angkat senjata. Dia dan Henri melatih mereka menggunakan senjata modern yang disuplai SOE. “Tampaknya pertandingan tak setara: petani melawan Nazi. Tapi orang-orang Indre, yang baru dipersenjatai oleh Pearl dengan senjata asing, senjata api dan peluncur roket, mampu belajar dengan cepat,” tulis Carole Seymour. Maquis pimpinan Pearl makin sering merepotkan lawan sehingga kian dikenal. Bahkan Jerman sampai membanderol kepala Pearl sebesar satu juta Franc. “Pearl menyanyi saat dia memimpin sekelompok orang Prancis memasuki pertempuran. Lagu yang dia pilih, Avec mes Sabots , juga merupakan lagu marching Joan of Arc. Bagi teman-teman Pearl, Henri Cornioley, Mayor Clutton dari Jedburgh, dan mungkin pasukannya, kepemimpinan visioner Pearl dalam rentang waktu Mei-September 1944 mengingatkan orang pada kepemimpinan Joan,” tulis Carole Seymour. Pada subuh lima hari setelah D-Day, sekira dua batalyon Jerman menyerang Maquis di Les Souches. Pertempuran sengit berlangsung hingga malam. Pearl tak ikut bertempur karena harus menyelamatkan uang operasional yang didrop SOE. Nyawanya hampir melayang saat masuk ke ladang jagung untuk mengambil uang. Hampir bersamaan pasukan Jerman membakar gudang yang merembet ke kebun. Dia merangkak keluar dari ladang sembari menghindari para personel Jerman. Dia selamat karena pasukan Jerman hanya membakar dan istirahat. “Beberapa orang Jerman yang sudah lelah perang hanya tinggal di rumah pertanian terdekat, termasuk pondok tempat Pearl dan Henri tidur, dan meminta makan,” tulis Binney. Serangan Jerman membuat Pearl dan mayoritas anggotanya terdesak terus mundur ke arah timur hingga Doulcay. Mereka ditampung suami istri petani, Trochet. Tak lama kemudian sekira 45 personel Jerman mendatangi tempat itu. Namun, mereka salah memberikan nama buruan sehingga Pearl dan pasukannya selamat. “Sejak saat itu, kami tidur di hutan dan makan dari pertanian,” kata Pearl dikutip Binney. Menjelang 24 Juni 1944, Maquis Pearl mendapatkan banyak kiriman senjata api, ransum dan pakaian. Perlawanan kembali menguat. Pada 18 Agustus 1944, mereka melakukan penyergapan heroik. Sekira 30 personel Maquis menyerang satu detasemen SS di Reuilly. Dalam pertempuran satu setengah jam, Maquis hanya kehilangan seorang prajurit sementara Jerman kehilangan 20 personel. Delapan hari kemudian, satu kelompok Maquis di sub-sektor lain menyerang konvoi 128 kendaran pasukan Jerman. Selain memaksa mereka memutar balik, serangan itu memakan korban jiwa 150 personel Jerman. Pada akhir perang, Maquis Pearl berhasil menewaskan setidaknya seribu personel Jerman dan melukai ribuan lainnya. Mereka juga berperan dalam penyerahan 18 ribu Jerman di sektor Issoudun, yang selanjutnya dikirim ke Orleans, Amerika Serikat. Meski pemerintah Inggris merendahkan peran Pearl dan Maquis-nya, Jenderal Eisenhower menganggap mereka justru berkontribusi besar. “Berkat mereka, Jerman kehilangan kendali atas posisi belakang mereka selama Overlord, dan lelaki maupun perempuan dari kaum perlawanan yang membebaskan Prancis di selatan Loire,” kata Ike, sapaan akrab panglima tertinggi Sekutu di Eropa Barat semasa PD II itu. Dan Pearl merupakan satu-satunya agen SOE yang memimpin pasukan mengangkat senjata.
- Tuan Holla dari Belanda Sahabat Orang Sunda
RUDOLF Kerkhoven baru saja tiba di Jawa dari Belanda. Mengikuti jejak keluarga besarnya, dia hendak mengelola kebun teh di Priangan. Tetapi, itu hal yang sepenuhnya baru dalam hidupnya. Karenanya dia butuh belajar kepada sepupu-sepupunya yang telah lebih dulu terjun ke bisnis teh di Priangan Timur. Salah satu sepupu yang dia kunjungi adalah Karel Holle. Di antara keluarga besarnya, Holle paling luas pengetahuannya tentang masyarakat Sunda. Di sebuah villa di tengah perkebunan teh Parakan Salak, Holle memberi beberapa petuah kepada sepupu mudanya. Salah satunya soal bagaimana dia harus bersikap kepada warga lokal. “Kau barangkali pernah mendengar bahwa orang-orang Sunda itu malas, tetapi jangan percaya itu. Yang perlu kau lakukan adalah berusaha sedikit untuk memperlihatkan dengan jelas pada mereka, keuntungan-keuntungan apa yang akan mereka dapat dari metode bertani yang terbaru. Mereka belum menyadari keuntungannya yang luar biasa untuk jangka panjang,” kata Karel Holle kepada Rudolf. Percakapan itu bagian dari novel Sang Juragan Teh karya Hella S. Haasse. Itu sebuah fiksionalisasi tentang seluk beluk kehidupan para juragan perkebunan teh di Priangan Timur pada masa kolonial. Ceritanya berpusar pada sosok Rudolf Eduard Kerkhoven, pendiri perkebunan teh Gambung. Sementara Karel Holle hanyalah figuran. Tetapi, di masanya, juragan teh ini jamak dikenal orang Sunda sebagai mitra noe tani , sahabat petani. Karel Frederik Holle lahir di Amsterdam pada 9 Oktober 1829. Dia pertama kali menginjakkan kaki di Jawa pada 1843. Awalnya dia bekerja sebagai juru tulis di kantor pemerintah kolonial. Lepas sepuluh tahun berdinas, dia memutuskan pensiun dan membuka Perkebunan Teh Waspada di Cikajang, Garut. Beriring dengan mengurus perkebunan itu, dia menyalurkan minat besarnya akan kebudayaan Sunda terutama melalui penerbitan naskah-naskah wawacan. Dibandingkan orang-orang Belanda pada umumnya kala itu, Holle memang dikenal sangat dekat dengan orang-orang bumiputra. Terlebih, dia dikenal bersahabat kental dengan Haji Moehamad Moesa, seorang penghulu lokal dan sastrawan Sunda terkemuka. Persahabatan itulah yang membuka jalan bagi minatnya kepada kebudayaan literer Sunda yang kaya. Tuan Holla, sebagaimana orang-orang Sunda di sekitanya menyapanya, kemudian menginisiasi usaha penerbitan naskah-naskah wawacan untuk pendidikan dan penyuluhan pertanian. Ia bahkan sudah mulai merintisnya sejak masih berdinas di pemerintahan. “Karel Frederik Holle mulai mendukung pendidikan masyarakat Sunda setelah 1851, ketika dia dan saudaranya Andriaan Walraven Holle menerbitkan buku fabel,” tulis Mikihiro Moriyama dalam Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19 . Fabel berjudul Tjarita koera-koera djeng monjet itu kemudian menjadi pelopor buku pegangan siswa di Jawa Barat. Buku itu disusun dalam bahasa Sunda yang umum di kalangan petani. Agaknya itu cukup mendapat perhatian dari sekolah-sekolah di Priangan. Moriyama mencatat bahwa pada 1861 pemerintah memberi dana sebesar 1.200 gulden kepada Holle untuk mempersiapkan penerbitan buku-buku bacaan dan diktat sekolah berbahasa Sunda. Berkat usaha Holle itu, penerbitan buku-buku bacaan berbahasa Sunda menjadi bergairah. Bahkan perlahan menggeser buku-buku berbahasa Melayu. “Dalam daftar buku-buku yang tersedia, nyata sekali bahwa semua buku pelajaran baca-tulis ditulis dalam bahasa Sunda dengan aksara Latin dan Jawa,” tulis Moriyama. Tak hanya itu, Holle juga menjadi semacam pengarah bagi penulis-penulis lokal Sunda. Karya-karya sastrawan Sunda yang masyur seperti Haji Moehamad Musa, Adi Widjaja, dan Hasan Mustapa kebanyakan hadir atas dorongannya. Penulis-penulis yang diorbitkan Holle terutama berasal dari lingkaran persahabatannya di Limbangan, Garut. Sehingga muncul apa yang disebut Moriyama sebagai “lingkaran Holle”. Tetapi, nama besar Holle lebih karena perannya dalam memperkenalkan cara-cara baru dalam pertanian di tanah Priangan Timur. Dia menulis wawacan tentang cara bertani dan mendorong para petani menerapkannya. Seperti diungkap oleh sejarawan Universitas Padjadjaran Fadly Rahman dalam Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia . Di antaranya Holle menerbitkan serial budidaya padi, jagung, kelapa, aren, waluh, dan labu dalam Tijdschrift voor Nijverheid en Landbow van Nederlandsch-Indie . Seri artikel ini diterbitkan di bawah tajuk De Vriend van den Landman pada 1871. “Karena tulisan Holle dinilai bermanfaat, dibukukanlah semua ini dalam seri De Vriend van den Landman sejak 1874 hingga 1899 sebanyak belasan jilid. Yang lebih penting di balik proyek pembukuan itu adalah penerjemahannya ke berbagai bahasa daerah meliputi Jawa, Sunda, Madura, Melayu, Bugis, dan Makassar,” tulis Fadly. Usaha Holle itu berangkat dari pemikiran bahwa Priangan dianugerahi potensi tanah yang subur. Tetapi kontras dengan kehidupan penduduknya, terutama para petani yang hidup ala kadarnya. Jika lahan subur itu berhasil diolah dengan baik tentu rakyat Priangan akan bisa mencukupi kebutuhan pangannya sendiri. Cara-cara pertanian baru itu disusun oleh Holle setelah melalui pengamatan di desa-desa sekitar Garut. Dia juga melakukan uji coba di perkebunannya sendiri. “Pengujian yang dilakukan di perkebunannya berupa pembuatan teras-teras di pelerengan, mengatur penyuburan lahan, menabur benih di lahan-lahan kosong seperti padi, bahan-bahan makanan yang menguntungkan, sayur-sayuran dll, mengerjakan pembudidayaan ikan dll, semua itu kini menjadi berarti dan penting bagi penduduk Pribumi,” tulis C.W. Janssen dalam biografi Karel Holle, sebagaimana dikutip Fadly dalam bukunya. Karya tentang teknik pertanian lain yang juga disusun oleh Holle adalah Handleiding voor de Koffiecultuur (Pedoman Penanaman Kopi), Handleiding voor het uit zaaien van padi (Pedoman Penyebaran/Pembibitan padi), dan Nota betreffende de padicultuur (Ikhtisar tentang Penanaman Padi). “Sehingga sejak itu, para petani tidak lagi menanam padi dengan cara menebarkan benih begitu saja. Bibit padi terlebih dulu disemai di persemaian, baru kemudian dipindahkan. Mereka menamakan sistem bercocok tanam padi tersebut dengan sistem holle ,” tulis Her Suganda dalam Kisah Para Preanger Planters . Atas usaha-usaha itulah kemudian ia dikenal sebagai “Tuan Holla sahabat para petani”. Pemerintah kolonial juga memanfaatkan jasanya dengan menjadikannya Adviseur Honorair voor Inlands Zaken alias Penasihat Kehormatan untuk Urusan Pribumi. Tetapi, kedekatan Holle dengan bumiputra dan usaha-usahanya memajukan pertanian di Priangan itu dipandang sinis oleh sesama orang Belanda. Dia dianggap terlalu dermawan kepada bumiputra. Terlepas dari pandangan negatif itu, Tuan Holla dikenang sebagai sosok penting yang berjasa dalam pengembangan kebudayaan dan pertanian orang Sunda. Dia meninggal pada 3 Mei 1896 dan kemudian dimakamkan di daerah Tanah Abang, Batavia. Tak lama setelah kematiannya, masyarakat Garut menghormatinya dengan mendirikan tugu peringatan di alun-alun kota itu pada 1899.
- Penyebab Johan Cruyff Absen di Piala Dunia 1978
HENDRIK Johannes "Johan" Cruyff tertoreh dalam tinta emas sebagai salah satu jagoan si kulit bundar sepanjang masa. Namanya senantiasa diingat orang sebagaimana Pele, Diego Maradona atau Franz Beckenbauer. Sayangnya, dia hanya sekali mengorbit di perhelatan terakbar Piala Dunia. Satu-satunya Piala Dunia yang diikuti Cruyff pada 1974 di Jerman. Itu pun hanya mampu membawa tim nasional Belanda sebagai finalis. Di partai puncak, De Oranje ditundukkan 1-2 oleh Jerman. Padahal, karier Cruyff di level klub bergelimang gelar. Baik kala memperkuat Ajax Amsterdam, Barcelona, hingga Feyenoord Rotterdam. Titel individu juga menghiasi lemari prestasinya: mulai dari tiga Ballon d’Or (1971-1974), Bola Emas Piala Dunia 1974, hingga Don Balon (1977, 1978). Selain serangkaian prestasi, dalam karier Cruyff juga terpendam satu misteri, yaitu absennya Cruyff di timnas Belanda pada Piala Dunia 1978 di Argentina. Padahal, dia masih dalam masa keemasan. “Pada Oktober 1977 Johan Cruyff mengumumkan bahwa dia pensiun dari sepakbola internasional dan takkan berangkat ke Argentina dengan skuad Belanda. Dia tak pernah membeberkan alasannya. Publik sepakbola Belanda geger,” tulis Adrian Durham dalam Is He All That? Great Footballing Myths Shattered . Tanpa Cruyff, Belanda terpaksa gigit jari lagi dan harus puas sebagai finalis. Belanda dipukul tuan rumah Argentina, 1-3 di Estadio Monumental, Buenos Aires. Barangkali hasilnya akan berbeda andai kata terdapat nama Cruyff di skuad besutan koets (pelatih) Ernst Happel itu. Banyak “teori” dan opini yang mengudara terkait absennya Cruyff. Salah satunya, konon Cruyff memilih mundur dari skuad timnas Belanda demi memboikot rezim junta militer Jorge Videla yang ketika itu berkuasa di negeri Tango. Sebagaimana diketahui, Cruyff memang ceplas-ceplos jika sudah bicara tentang politik. “Beberapa bulan sebelum perhelatan (Piala Dunia 1978, red ), pemain hebat bernomor punggung 14, pemimpin Clockwork Orange (julukan Belanda), mundur untuk memrotes pelanggaran HAM Jenderal Videla. Sayangnya hanya Cruyff (pesepakbola) yang bersuara dan mempertahankan prinsipnya,” tulis Fernando Fiore dalam The World Cup: The Ultimate Guide to the Greatest Sports Spectacles in the World . Spekulasi lainnya adalah tekanan keluarga. Carles Rexach, legenda Barcelona dalam bukunya, menuliskan bahwa Cruyff tidak lagi merumput atas desakan istrinya, Danny Coster. Rumor, isu, gosip, hingga spekulasi terkait teka teki Cruyff bertahan hingga tiga dasawarsa. Akhirnya, delapan tahun sebelum tutup usia, sang maestro buka suara. Pada April 2008, Cruyff menyingkap alasan kenapa dia absen di Piala Dunia 1978 dalam wawancaranya dengan Antoni Bassas, jurnalis Catalunya Radio . Cruyff mengatakan pada medio 1977, kediamannya di Kota Barcelona disatroni segerombolan penjahat bersenjata. Akan tetapi keadaan mencekam itu tidak berlangsung lama lantaran Cruyff dan keluarganya berhasil meloloskan diri. “Kepala saya ditodong senjata. Saya dan istri diikat di depan anak-anak di flat kami di Barcelona,” kata Cruyff tanpa menguraikan lebih jauh bagaimana dia dan keluarganya bisa lolos. Soal ini masih jadi misteri yang dibawanya ke liang kubur setelah wafat pada 24 Maret 2016. “Untuk bisa tampil di Piala Dunia, Anda harus berada dalam kondisi 200 persen. Ada sejumlah momen di mana nyawa menjadi lebih penting nilainya. Itu momen saya meninggalkan sepakbola dan saya tak bisa bermain di Piala Dunia setelah kejadian itu,” kata Cruyff. Motif kelompok penjahat itu juga sampai sekarang belum diketahui. Entah ada hubungannya dengan rezim Argentina yang sering dikecamnya atau tidak. Yang pasti, kediaman Cruyff terpaksa dijaga ketat polisi selama empat bulan.*
- Menanti Janji Restorasi dari Gubernur DKI
DARI Jalan Sawah Lio, Jembatan Lima, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat, masjid itu mencolok dengan warna hijau. Menara silinder bertingkat empat berwarna hijau yang nampak uzur menjulang dari sebelah kanan masjid. Catnya mengelupas di beberapa bagian. Kayunya pun keropos. Tak ada halaman luas di depan masjid itu. Dari jalan aspal masuk pintu pagar langsung turun ke serambi masjid yang tak lebar, pun penuh debu jalanan. “Makanya sering kebanjiran. Air bisa sampai sebetis. Itu karena jalan lebih tinggi dibanding sini,” ujar Cholis NS, sekretaris Masjid Jami Al Mansur, sambil menunjuk ke lantai masjid, ketika ditemui di kantor sekretariatnya. Bahkan, kata Cholis, masjid pernah tak bisa menyelenggarakan salat Jumat karena bajir pada 2012. Pada Februari lalu, ruangan imam, mihrab, dan ruang utama kembali terendam. Air menggenang sedalam 60 cm. “Sekarang sih tidak segitunya,” kata Cholis. Melewati pintu utama masjid, kekunoannya kian terasa. Daun pintu utama masih seperti aslinya, sebelum masjid dipugar di sana-sini. Di dalam ruang utama, masih dengan dominasi warna hijau, ada empat tiang utama (soko guru) yang lebih lebar dari pelukan tangan satu orang dewasa. Bagian bawah pilar bersegi delapan. Di atasnya ada pelipit genta, kemudian diikuti pelipat penyangga. Barulah diikuti pilar silinder pada batang utamanya. Di tengah ketinggian soko guru tadi, balok-balok kayu berpagar melintang menyambung keempat pilar. Balok-balok kayu tadi gunanya menopang tangga menuju loteng. Di atasnya ada atap berbentuk limasan bertingkat tiga. “Menaranya sudah hampir lapuk, takutnya jatuh kena orang. Di dalam masjid kayunya juga sudah keropos nanti bisa kena jamaah,” jelas Cholis. Cholis dan pengurus pun begitu berharap ketika akhir pekan lalu Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berjanji memprioritaskan renovasi masjid yang berulang tahun ke-300. Sejauh ini tak banyak perhatian untuk kelestarian masjid itu. Meski sudah ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya (BCB) sejak 1988, masjid ini baru sempat direnovasi pada 2015. Itu pun hanya perbaikan bagian langit-langitnya yang terlihat kumuh. Dananya didapat dari sumbangan donatur dan jamaah yang berhasil dihimpun pengurus masjid. “Berharap itu bisa mendorong Pemda memberikan kontribusi besar. Setelah statement Pak Anies disaksikan banyak orang, semoga ini terealisasi dengan cepat,” harap Cholis. Mengenang Muhammad Mansur Masjid yang dulunya bernama Masjid Jami Kampung Sawah termasuk dalam jajaran masjid tertua di Jakarta bahkan Indonesia. Masjid ini dibangun pada 1717 oleh Abdul Muhith, anak Pangeran Tjakrajaya, Tumenggung Kerajaan Mataram yang datang ke Batavia untuk melawan Belanda. Pada 27 Agustus 1767, sepulang menuntut ilmu di Mekah sekaligus berhaji Imam Muhammad Arsyad Banjarmasin singgah di Batavia. Bersama sahabatnya, Abdul Shomad Al-Palembangi dan Abdul Rahman Al-Mashri, dia memperbaiki letak mihrab masjid. Pembetulan arah kiblat itu dilakukan bersama para ulama setempat. Baru pada 1937, Muhammad Mansur, buyut Abdul Muhith, mengadakan perluasan bangunan. Demi menjaga terpeliharanya masjid dan makam para ulama yang ada di halaman barat masjid, di sekitar wilayah itu dibuatkan pagar tembok, sekarang menjadi pagar besi. Untuk kedua kalinya, masjid kembali diperluas dan dipugar pada 1960-an. Cholis menjelaskan, Masjid Jami Al Mansur mempunyai peranan di masa perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pada masa pimpinan Muhammad Mansur, masjid ini dijadikan pusat pembangunan mental rakyat. Basis perjuangan masyarakat mempertahankan proklamasi kemerdekaan juga terjadi di sana. “Pada 1948, Jakarta kembali diduduki Belanda, Muhammad Mansur berani melawan Belanda, tetap mengibarkan bendera merah putih di menara masjid,” jelasnya. Belanda menyuruh untuk menurunkan bendera itu. Namun, kakek buyut ulama kondang, Yusuf Mansur itu menolak mentah-mentah. Menara itu ditembaki serdadu Belanda. Muhammad Mansur pun ditangkap. Muhammad Mansur juga dikenal sebagai ulama yang konsisten menyebarkan keilmuannya tanpa dipengaruhi orang lain, terutama soal perhitungan hisab. “Sampai sekarang kami masih pakai hisab -nya, misalnya pemerintah berbeda kami nggakngikutin pemerintah kami ngikutin perhitungan beliau,” terang Cholis. Setelah Muhammad Mansur meninggal pada 12 Mei 1967 Masjid Jami Kampung Sawah berubah nama. Masjid ini dinamai dengan nama sang tokoh untuk mengenang jasanya. Hingga kini berbagai tokoh nasional pernah mengunjungi masjid ini, seperti Sukarno, Adam Malik, A.H. Nasution, Hasyim Asyari, Ahmad Dahlan, dan Hamka. “Kami berharap beliau bisa dijadikan tokoh Jakarta, Jakartawi. Kalau sebutan Betawi kan katanya agak kolonialis ya,” kata Cholis. Restorasi Tak Mudah Menyoal janji Anies Baswedan merenovasi Masjid Jami Al Mansur, nampaknya tak mudah. Pasalnya, menurut Chandrian Attahiyat, arkeolog senior di Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Pemprov DKI Jakarta, hanya BCB yang masuk dalam aset milik DKI Jakarta yang dapat dianggarkan melalui APBD. Artinya, bangunan milik masyarakat atau perusahaan tidak boleh menggunakan anggaran Pemprov DKI Jakarta. “Kalau bukan (milik Pemprov, red ) tidak boleh dianggarkan. Ini bisa jadi pelanggaran,” ujar Chandrian kepada Historia . Chandrian sendiri sebenarnya menyayangkan ketentuan itu yang berakibat banyak BCB terbengkalai. Sebab, tak semua masyarakat pendukung suatu BCB memiliki kemampuan pendanaan yang mencukupi untuk melakukan restorasi. Makanya, karena sulitnya pendanaan bagi BCB yang bukan masuk aset pemerintah, lahirlah beberapa yayasan seperti Yayasan Lingkar Warisan Kota Tua. “Jadi, perlu ada yayasan seperti ini lagi, yang bisa membantu bangunan yang memerlukan,” kata Chandrian. Chandrian menilai perlu untuk diatur kembali mengenai penganggaran pemugaran. Bangunan masyarakat pun bisa milik perorangan, bisa pula milik publik. Tempat ibadah, seperti gereja, klenteng, masjid, dan bangunan yang digunakan bersama oleh masyarakat, seperti sekolah semestinya perlu bantuan dari anggaran pemerintah. Sepuluh tahun lalu bisa dianggarkan, namun sekarang sulit dilakukan karena adanya pengetatan anggaran. “Secara logika memugar milik orang lain buat siapa? Kan dia punya duit juga. Padahal bisa dilakukan masyarakat dengan bikin paguyuban pemilik BCB. Mereka bisa menggalang dana,” kata Chandrian. Meski begitu, ada cara lain. BCB milik masyarakat tetap bisa dipugar dengan cara memanggil investor seperti bangunan-bangunan di Kawasan Kota Tua. Di sana, banyak BCB bukan milik Pemprov DKI Jakarta. “Bisa dilakukan kerja sama dengan public privat partnership, antara investor dan pemilik bangunan. Nanti terserah buat apa,” jelas Chandrian. Menurut Chandrian, bagi BCB yang bukan aset Pemprov DKI Jakarta tetap bisa diajukan untuk direstorasi melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Pengajuan dilengkapi dengan rekomendasi izin dari tim sidang pemugaran. Pemohon akan diminta presentasi mengenai keinginan mereka itu. “Bukan pemiliknya (yang presentasi, red ), tapi arsitek perencananya,” kata Chandrian. Konsultasi dilakukan dengan pihak arsitek perencanaan. Dari sana didapat masukan sampai gambar perencanaan. Untuk konsultasi ini tidak diminta biaya apapun. Rekomendasi untuk lampiran perizinan bisa keluar setelah dua atau tiga kali persidangan. Sejauh ini, khususnya bangunan masjid kuno memang tidak semua terawat dengan baik. Apalagi yang letaknya di tengah permukiman warga kelas menengah ke bawah. Di DKI Jakarta, ada 17 masjid yang sudah berstatus BCB di lima wilayah: Jakarta Utara dan Jakarta Pusat masing-masing empat masjid, tujuh masjid di Jakarta Barat, di Jakarta Timur dan Jakarta Selatan masing-masing satu masjid. Dari 17 masjid kuno itu, Masjid Angke yang paling tua, dibangun sekira tahun 1761. “Rata-rata usianya di atas 50 tahun. Ada yang paling muda Masjid Istiqlal, tapi karena dia punya nilai sejarah, budaya, dan membanggakan negara, bisa diangkat menjadi cagar budaya,” tambah Chandrian .
- Misteri Insiden Kwini
JAKARTA, Oktober 1964. Kawasan sekitar asrama Korps Komando Angkatan Laut (KKo AL) di Kwini, dicekam ketakutan senja itu. Bunyi tembakan kerap terdengar, diselingi teriakan-teriakan dari para lelaki berambut cepak. Sebagian berseragam hijau, sebagian lagi memakai pakaian preman. Kedua kelompok itu rupanya terlibat dalam suatu perkelahian massal yang seru. Di tengah situasi tegang tersebut, Mayor L.B. Moerdani alias Benny Moerdani diam-diam memarkir jip-nya di satu sudut Pasar Senin. Ia kemudian bergerak ke arah gedung RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat). Setelah menyaksikan belasan prajurit Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) dan KKo AL bergeletakan dengan bermandikan darah, ia lantas bergerak ke asrama KKo. Begitu sampai di pintu gerbang asrama pasukan elit Angkatan Laut itu, ia menyaksikan puluhan anggota KKo memakai seragam Tjakrabirawa tengah siap-siap mengokang senjata, sebagian terlihat mengatur posisi tempur masing-masing. Namun seolah tak peduli, Benny yang masih berseragam olahraga (karena baru pulang main tenis di Senayan), tanpa ragu-ragu tetap melangkah masuk. Alih-alih disambut hardikan, beberapa prajurit Tjakrabirawa itu malah dengan sigap segera memberi hormat. Rupanya mereka adalah anggota KKo yang dulu pernah menjadi anak buahnya di palagan Irian Barat. “Siap Pak, bisa saya bantu?” kata salah satu dari mereka. ”Mana Komandanmu?” jawab Benny singkat. “Siap Pak, silahkan tunggu…” Para anggota KKo yang tidak mengenal Benny, terlihat tegang. Sebagian saling berbisik dari kejauhan. Mereka heran menyaksikan seorang sipil berpakaian olahraga berani masuk asrama militer yang tengah bersiaga. Tidak sampai dua menit, seorang perwira KKo datang dan langsung menghampiri Benny. Dialah Mayor Saminu, wong Solo kenalan lama Benny. “Piye iki? Kok, malah dadi ngene kabeh, Ben?” serunya. “Yo wis -lah, sing penting sekarang jaga pasukanmu agar jangan keluar asrama. Saya akan tertibkan anak-anak. Kalau kamu diserang, yaaa …Sudah silahkan, mau ditembak atau apa, terserah saja. Tapi saya minta jangan ada anggotamu keluar asrama.” jawab Benny. “ Yo, wis beres,” jawab Saminu sambil terus membuat perintah-perintah kepada para bawahannya. Menyaksikan komandannya ada di dalam lingkungan asrama Kwini, isu segera menyebar di kalangan anak-anak RPKAD. Beberapa berteriak: “Pak Benny ditangkap! Pak Benny ditangkap KKo!” Sontak mereka lantas segera berebutan menuju asrama perawat putri RSPAD yang ada persis di samping asrama Kwini: mendudukinya dan langsung membuat formasi tempur. Di lantai atas asrama perawat tersebut, terlihat seorang prajurit RPKAD sudah mengarahkan sepucuk bazoka ke asrama KKo. Suasana hening menyelimuti kawasan Kwini. Tak ada satupun orang-orang sipil yang berani lewat wilayah tersebut. Mobil-mobil memilih memutar kembali, dari balik toko-toko sekitar Senen yang sebagian segera ditutup, orang-orang menahan nafas, membayangkan lingkungan mereka sebentar lagi akan menjadi ajang berseliwerannya peluru tajam. Sementara itu, sambil menunggu datangnya perintah tembak, para anggota RPKAD sudah siap-siap menyerbu asrama Kwini. Alih-alih muncul perintah menyerbu, yang ada malah mereka mendengar teriakan galak Benny: “Sudah! Sudah! Pulang kalian semua!” ujar Benny yang tiba-tiba muncul dari arah pintu gerbang asrama Kwini. Sambil mengibas-ngibaskan tangannya, Benny memerintahkan semua anggota RPKAD yang tengah siaga untuk mundur dari wilayah sekeliling Kwini. Mendengar teriakan komandan mereka, para prajurit komando berpakaian sipil itu menurut. Namun ada beberapa dari mereka yang terlihat “agak tidak terima” untuk mundur. Nah prajurit-prajurit ini yang tubuhnya kemudian didorong oleh Benny dan dengan tegas diperintahkannya untuk naik ke atas truk masing-masing dan pulang kembali ke asrama mereka di Cijantung. Demikian pemaparan Insiden Kwini versi Benny, seperti yang dia sampaikan kepada Julius Pour dalam Benny Moerdani, Profil Prajurit Negarawan. Lantas bagaimana versi prajurit KKo AL yang pernah terlibat dalam insiden tersebut? Kepada Historia , Kopral (Purn) Ali Mutaqiem (79) menampik cerita Benny. Alih-alih menyetujui Benny sebagai penengah, Ali malah menyebut Benny justru datang ke Kwini berlaku sebagai pemimpin para penyerbu. Dengan mata kepala sendiri, Ali menyaksikan Benny turun dari sebuah panser kecil di salah satu sudut asrama Kwini dan langsung melakukan gerakan memanjat pagar asrama. “Dia sebenarnya sudah masuk dalam teleskop Prajurit Soekandar, penembak runduk kami…” ungkap anggota KKo AL yang pada 1972 mengajukan pensiun dini itu. Saat beberapa detik lagi picu pelatuk akan ditarik, tetiba seorang perwira KKo AL bernama Kapten Munarto berteriak,” Jangan tembak! Biarkan saya yang menangkap dia!” Benny kemudian ditangkap. Dia digelandang ke depan pos penjagaan, bergabung dengan beberapa anak buahnya yang berhasil pula ditangkap oleh para prajurit KKo. Tak lama kemudian Mayor Saminu (Komandan Batalyon II Tjakrabirawa dari KKo AL) datang. Ia lantas mendekati Benny dan bertanya dalam nada agak keras. “Ben, mereka ini anak buahmu kan?!” Hening. Benny tak menjawab. Singkat cerita, Benny dan anak buahnya kemudian dilepaskan. Beberapa hari kemudian, Mayor Benny dan Mayor Saminu dipanggil oleh Presiden Sukarno ke Istana Negara. Di depan mereka lantas dijejerkan baret merah menyala milik RPKAD dan baret merah darah milik Resimen Tjakrabirawa. Presiden menyilakan semua untuk melihat sendiri, apakah kedua baret yang menjadi pangkal masalah itu, warnanya sama? Kasus kemudian dianggap selesai. Sebagai bentuk perdamaian, pihak Markas Besar ABRI kemudian mengundang prajurit-prajurit dari kedua belah pihak untuk datang ke Gedung Bulutangkis Senayan. Menurut Benny, mereka disuguhi pertunjukan lawak dari S. Bagio cs. Semua berpelukan, semua menyatakan masalah telah selesai. “Tapi tetap saja pas pulang dari acara itu, kami terlibat kembali perang botol,” ujar Ali sembari tertawa.
- Sosok di Balik Corong AD dalam Dokumen Rahasia AS
PADA 1967, Elliot Haynes, ketua Business International Corporation (BIC), menemui 40 tokoh Indonesia untuk mendiskusikan mengenai kemungkinan investasi modal asing di Indonesia. Hasil pertemuannya dituangkan dalam tulisan bertajuk “Elliott Haynes ‘Indonesian Diary’”, satu dari 39 dokumen rahasia AS yang telah dideklasifikasi pada 17 Oktober 2017. Salah satu tokoh penting yang ditemui Heynes adalah Kolonel Inf. Djojopranoto S, BA. Pertemuan berlangsung pada sore hari tanggal 27 November 1967 di Jalan Medan Merdeka 13, Jakarta. Dalam tulisannya, Haynes menyebut Djojopranoto sebagai pemimpin redaksi harian Angkatan Bersendjata merangkap anggota parlemen untuk keamanan, pertahanan, dan urusan luar negeri. “Kolonel (Djojopranoto) pemimpin redaksi surat kabar yang merupakan juru bicara resmi untuk seluruh militer. Dalam skala nasional memiliki sirkulasi 40.000 tiras sedangkan terbitan lokal mencakup 200.000 tiras. Terbitan ini masuk ke tentara, polisi, dan veteran,” tulis Heynes. Kepada Heynes, Djojopranoto menyebut pimpinan Angkatan Darat yang berbakat: Jenderal Soeharto. Heynes menggambarkan bagaimana peran dan efektivitas media Angkatan Darat membentuk opini publik. “Jenderal Soeharto memberi kata ‘A’ dan Kolonel (Djojopranoto) akan mencatat ‘A’. Para tentara membacanya dan mengulangi ‘A’. Masyarakat akan melihat kepada tentara, bertanya apa yang terjadi, kemudian percaya dan mengulangi ‘A’,” ungkap Heynes. Dalam penutup laporan itu, Djojopranoto menyarankan kepada Heynes untuk menemui beberapa orang yang dapat memberikan informasi penting antara lain wartawan senior Rosihan Anwar, Hatta, Dahlan Ranuwihardjo, pemimpin dan pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dan Achmad Sukarmadidjaja, pemimpin IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia), partai politik bentukan Jenderal TNI AH Nasution. Sejarawan Asvi Warman Adam mengatakan bahwa harian Angkatan Bersendjata (bersama Berita Yuda ) merupakan media Angkatan Darat yang tidak dilarang terbit pada 2 Oktober 1965. Hal itu menjadikan Angkatan Bersendjata sebagai mesin propaganda yang ampuh sekaligus menempatkan kontrol media di bawah pengaruh militer. Menurut Asvi kampanye Angkatan Bersendjata dalam memberitakan Gerakan 30 September 1965 dilakukan dengan tiga cara. Pertama, kekejaman yang luar biasa sebagaimana berita tentang penganiayaan para jenderal Angkatan Darat yang terbunuh di Lubang Buaya. Kedua, tindakan amoral seperti tarian Harum Bunga yang dilakukan Gerwani. Ketiga, penodaan agama. “Propaganda itu dilakukan terus-menerus bahkan sampai saat ini tetap dipakai,” ujar Asvi kepada Historia . Asvi juga melihat kemungkinan Angkatan Bersendjata mempunyai jaringan dengan media asing di luar negeri. Ini dikaitkan dengan berita Angkatan Bersendjata, 25-26 April 1966 yang menyudutkan Tionghoa di bawah rezim Mao Tse Tung atas peristiwa Gerakan 30 September 1965. Berita itu ternyata disadur dari surat kabar terbitan Hongkong yang kontra terhadap pemerintahan Beijing. Angkatan Bersendjata juga beberapa kali mengutip artikel yang terbit di Singapura dalam waktu yang berdekatan. “Dari mana mereka mendapat berita yang begitu cepat dengan jaringan yang luas?” tanya Asvi. Menurutnya perlu tinjauan lebih lanjut apakah ada kaitannya Angkatan Bersendjata dengan CIA atau RAND Corporation, lembaga think thank AS yang mengkaji tentang Indonesia termasuk upaya membendung komunisme. Dilansir majalah Pers Indonesia, 1975, Djojopranoto lahir pada 6 September 1925 dan mengenyam pendidikan sarjana muda publisistik. Dia disebut sebagai perwira menengah ABRI yang berdwifungsi di kalangan pers. Setelah menjadi pemimpin redaksi Angkatan Bersendjata , dia menjadi pemimpin umum/redaksi Mimbar Kekaryaan ABRI di Jakarta. Dia kemudian diangkat menjadi anggota DPR/MPR dari ABRI. Djojopranoto tercatat sebagai anggota PWI sejak tahun 1966. Namun, kartu anggotanya No. 1690/A66/75. LB belum sempat diambil. Dia tutup usia pada 24 Juli 1975 meninggalkan istri dan seorang anak. Dia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.
- Masa Silam Cerita Binatang
Pada sebuah panil relief di dinding utara Candi Sojiwan, Klaten, Jawa Tengah, terdapat seekor kera terlihat naik di atas punggung buaya. Panil lain menggambarkan seekor kura-kura diterbangkan dua ekor angsa. Kura-kura itu disuruh menggigit kayu. Gambar semacam ini juga ada di dinding Candi Mendut, Magelang. Dwi Pradnyawan, arkeolog Universitas Gadjah Mada, menjelaskan pada periode Jawa Tengah selain ditemukan di Candi Sojiwan dan Candi Mendut, cerita binatang juga ada di Candi Borobudur, Candi Mendut, Candi Morangan, dan Candi Gampingan. Sedangkan pada periode Jawa timur, cerita binatang dapat ditemukan di Candi Surawana, Candi Tegawangi, Candi Panataran, dan candi-candi di Gunung Penanggungan. Pada percandian periode Jawa Tengah, sumber ceritanya lebih banyak mengambil dari Jataka yang banyak menampilkan hewan sebagai perwujudan masa lalu Buddha. Hewan yang menjadi tokoh utama di Jataka lebih banyak bersifat protagonis. "Hewan yang memiliki sifat mulia berinkarnasi menjadi Buddha. Kancil, singa, monyet, angsa, banyak di cerita itu mereka mengrbankan diri untuk kepentingan mulia. Sama dengan kebudhaan," jelas Dwi. Dalam Kidung Tantri Kediri , filolog Revo Arka Giri Soekatno mencatat jumlah cerita Jataka mencapai 547. Di samping Jataka , sumber cerita binatang lainnya berasal dari India, yaitu Pancatantra . Cerita binatang pada candi periode Jawa Timur lebih terlihat perpaduan cerita Jataka dan Pancatantra . “Di Jawa Timur memang kaitannya ada dengan dua naskah, tapi belum tahu mana yang lebih dominan,” ujar Dwi. Johannes Hertel, Indolog dari Jerman, percaya naskah Pancatantra dibuat oleh Wisnusarman, seorang brahmana, di Kashmir sekira 200 SM. “ Katanya ini sudah sejak masa weda,” kata Dwi. “Wisnusarman diperkirakan mengambil banyak tradisi lisan di kehidupan masyarakat. Bisa dari kalangan elite, bisa pula dari kalangan lebih luas. Mereka mengumpulkan lalu menulis dalam bentuk Pancatantra , dari cerita rakyat tradisi lisan.” Dari segi cerita, tak jauh berbeda dengan Jataka yang lahir pada masa Buddhisme. Perbedaannya, ajarannya terdiri atas lima buku atau lima ajaran ( Pancatantra ). Ciri khas Pancatantra terutama ialah bahwa ceritanya dikisahkan dalam bentuk cerita bingkai yang disebut Kathamukha. Cerita-cerita ini kemudian dianyam menjadi satu dengan yang lain. Setiap cerita biasanya berbentuk prosa, moral cerita diringkas dalam bentuk seloka. Ketika Buddha masuk, cerita ini kemudian dikemas dengan bingkai Buddhisme. Beberapa cerita dimodifikasi, sampai kemudian tersebar saat tradisi Hindu-Buddha masuk ke Jawa. “Sejauh ini bagaimana kaitannya dengan cerita lokal tidak tahu. Yang jelas sumbernya (cerita binatang dalam relief, red ) dari kerangka besar Pancatantra dan Jataka,” kata Dwi. Murti Bunanta, pakar dongeng dari Universitas Indonesia, mengatakan tak semua cerita binatang datang dari Indonesia. Sulit mengatakan dongeng binatang tertentu asli dari Indonesia. Pasalnya, di berbagai belahan dunia pun dikenal model cerita yang sama. “Banyak cerita mirip tapi tokoh lain, misalnya tokoh penipu di seluruh dunia sepertinya ada. Seperti di Jawa kita kenal kancil, di Eropa ada rubah,” ujar Murti kepada Historia . Menurut Murti cerita binatang sejak dulu hingga kini selalu berbicara soal moralitas. Penyampaiannya baik lisan maupun tulisan. Namun, pendengar dongeng pada masa lalu kemungkinan dari segala usia berbeda dengan sekarang yang dibedakan antara penikmat dewasa dan anak-anak. “Ibaratnya kalau dulu seperti sedang menonton wayang. Anak-anak dan dewasa juga bisa ikut nonton. Dulu, ya campur saja,” kata Murti. Murti menilai tak ada perbedaan signifikan antara menyampaikan pesan moral lewat cerita binatang dengan cerita yang bertokoh manusia. “Itu tergantung, tidak selalu cerita binatang lebih menarik anak-anak, misalnya. Tersampaikannya pesan juga sama saja,” lanjut Murti.
- Penumpasan PKI di Surabaya
HANYA dalam hitungan hari, sejak Gerakan 30 September (G30S) 1965 meletus, nasib Partai Komunis Indonesia berubah drastis. Anggota dan simpatisannya diuber-uber tentara dan massa untuk dibersihkan. Propaganda anti-PKI pun dilancarkan ke berbagai kota, termasuk Surabaya. Pada 31 Oktober 1965, Mayor Basuki Rahmat, komandan Batalyon 16 Brigade Ronggolawe Divisi Jawa Timur, mengeluarkan edaran yang membandingkan G30S dengan pemberontakan Madiun tahun 1948. “Gambar-gambar besar mengenai kondisi tubuh keenam jenderal yang meninggal dipasang di sudut-sudut kota, dengan keterangan bahwa Gestapu dan Madiun adalah sama,” tulis telegram bernomor 164 yang dikirim tanggal 4 November 1965 dari Konsulat AS di Surabaya ke Kedubes AS di Jakarta. Istilah Gestapu atau Gerakan September Tiga Puluh adalah upaya psywar dari tentara untuk menyamakan G30S dengan Gestapo atau dinas polisi rahasia Nazi-Jerman era Adolf Hitler. Di Surabaya, menurut Antonius Sumarwan dalam Menyeberangi Sungai Air Mata: Kisah Tragis Tapol ‘65 dan Upaya Rekonsilias, aksi dimulai pada 16 Oktober 1965 dengan pawai akbar dan tindakan terorganisir untuk menghancurkan dan membakar kantor Comite Daerah Besar PKI di Jalan Pahlawan. “Kemudian walikota sementara, Kolonel Sukotjo, membersihkan staf pemerintahan, Rukun Kampung (RK) dan Rukun Tetangga (RT) dari unsur PKI. Penculikan dan pembantaian dilaksanakan oleh kelompok agama,” tulis Sumarwan. Sukotjo, komandan Kodim 0830/Kota Surabaya, menggantikan Moerachman sebagai walikota Surabaya yang ditangkap karena memiliki hubungan dengan PKI. “Keterangan yang ada menyebutkan walaupun beliau bukan PKI, tetapi memiliki hubungan yang dekat dengan partai yang pada Pemilu 1955 ini memperoleh suara terbanyak di Kota Surabaya,” tulis Sarkawi B. Husain dalam Negara di Tengah Kota: Politik Representasi dan Simbolisme Perkotaan: Surabaya, 1930-1960. Sukotjo lahir di Tulungagung pada 1921 dan bersekolah di HIS, MULO, dan AMS. Karier militernya dimulai dengan menjadi anggota Pembela Tanah Air (Peta) pada masa pendudukan Jepang. Pada 1949, dia menjadi staf dalam Kompi Dekking Komando Brigade S dari Batalyon Sabirin kemudian menjadi Batalyon Sikatan di bawah Soekadji Hendrotomo. Kompi ini bertugas di daerah Gunung Wilis, Jawa Timur. Pada 19 Februari 1949, Sukotjo dan anak buahnya yang berjaga di Desa Selopanggung, Kediri, menangkap seseorang yang kemudian dikenali sebagai Tan Malaka. “Sukotjo memerlukan sedikit waktu sebelum mengambil keputusan: Tan Malaka seorang komunis yang berbahaya, yang terhadapnya harus diberlakukan hukuman militer. Sukotjo memberikan perintah, dan orang yang ditugasi menembak adalah Suradi Tekebek,” tulis Harry A. Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia jilid IV. Selain membersihkan staf pemerintahan Kota Surabaya dari unsur PKI hingga ke tingkat RT, Sukotjo juga mencoba menurunkan harga beras. Pada 22 November 1965, seperti ditulis dalam telegram nomor 183 yang diterima Kedubes AS di Jakarta pada 26 November 1965, Sukotjo memerintahkan kepada segenap pengusaha Tionghoa yang berbisnis beras untuk membuka toko dan menurunkan harga hingga 30 persen. Beberapa hari sebelumnya, banyak toko milik Tionghoa tutup lantaran beredar kabar bahwa tanggal 17 dan 18 November 1965 akan datang serangan dari Ansor, organisasi sayap pemuda Nahdlatul Ulama. Pasukan dari Angkatan Darat di Kota Surabaya juga bertambah. Pada 20 November 1965, Batalyon 507 atau dikenal sebagai Batalyon Sikatan dari Divisi Brawijaya berlabuh di pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. “Batalyon ini akan digunakan untuk ‘penumpasan Gestapu’ di Jawa Timur,” tulis telegram nomor 183 yang menjadi bagian dari 39 dokumen rahasia AS yang telah dideklasifikasi.
- Persija dan PSMS Berbagi Trofi Juara
SEPAKBOLA nasional di dekade 1970-an, seolah hanya milik dua tim adidaya: Persija Jakarta dan PSMS Medan. Hanya Persebaya Surabaya yang mampu “menyempil” sebagai juara perserikatan tahun 1978. Sisanya (1971-1979), juaranya bergantian antara Persija dan PSMS. Malahan pada musim 1975, Persija dan PSMS harus berbagi trofi juara perserikatan. Ini juara bersama yang pertama dan terakhir hasil keputusan kontroversial Ketua Umum PSSI Bardosono. Macan Kemayoran dan Ayam Kinantan harus bentrok di partai puncak. Ini kali pertama mereka bertemu di momen pamungkas penentu gelar. Stadion Senayan (kini Gelora Bung Karno) jadi saksi bisu partai final pada 8 November 1975 yang mencatat rekor jumlah penonton mencapai 125 ribu orang. Rekor ini terpecahkan sepuluh tahun kemudian oleh laga final PSMS melawan Persib dengan 150 ribu penonton yang belum terpecahkan hingga sekarang. Suporter PSMS sudah berloncatan di bangku penonton saat pertandingan yang dipimpin wasit Mahdi Talib asal Malang baru berjalan 10 menit. Melalui kerja sama dengan Nobon dan Mariadi, Parlin Siagian mengubah papan skor 1-0 setelah menyarangkan bola ke gawang Persija yang dikawal Sudarno. Tempo permainan berangsur meningkat. Persija yang terhenyak oleh gol pembuka lawannya, berusaha keras mengejar ketertinggalan. Akhirnya, pada 19 menit jelang turun minum, papan skor berubah menjadi imbang 1-1. Surat kabar Pikiran Rakyat , 10 November 1975, menggambarkan proses terciptanya gol itu: sebuah umpan manis dari Iswadi disambut sundulan apik Sofyan Hadi hingga berbuah gol ke gawang Pariman yang mengawal mistar PSMS. Skor imbang 1-1 kian memanaskan situasi di lapangan. Sejumlah kontak fisik terjadi lebih sering. Termasuk di menit ke-29 ketika wasit Mahdi, memberi tendangan bebas bagi Persija. Tak terima keputusan Mahdi, para pilar PSMS mengerubungi sang pengadil karena merasa pemain Persija melakukan diving . “Menit ke-29 terjadi pelanggaran atas Andi Lala dan kiri luar Persija ini secara agak dibuat-buat, jatuh terpelanting. Wasit memberikan tendangan bebas untuk Persija. Keputusan ini tidak memuaskan para pemain PSMS. Mereka mengerumuni wasit dan beberapa di antaranya mendorong-dorong Mahdi Talib,” tulis Kompas , 10 November 1975. Dua menit berselang, terjadi tindakan kasar dari Sarman Panggabean terhadap pemain Persija, Junaidi Abdillah. Padahal, insiden itu terjadi ketika sedang tidak ada bola. Hanya saja tiba-tiba Junaidi harus tergeletak sembari meringis setelah perutnya ditendang Sarman. Wasit hanya mengganjar Sarman dengan kartu kuning. Tak terima dengan keputusan itu, para punggawa Persija membalas dengan mengincar para pemain PSMS. Iswadi Idris melayangkan pukulan kepada Nobon dan Suwarno. Iswadi dikartumerah, sementara korbannya dilarikan ke rumah sakit. Keadaan semakin memanas dan nyaris meletus perkelahian besar di lapangan. Wasit menyetop laga pada menit ke-40. Setelah berembuk dengan Komisi Pertandingan, partai final resmi dihentikan. PSSI lantas memutuskan kedua finalis dinyatakan juara bersama, lantaran pertandingan tak lagi bisa diteruskan dengan keadaan seperti itu. Persija dan PSMS berbagi trofi yang ditetapkan dengan SK Ketum PSSI Nomor 95 Tahun 1975 tentang Dwi Juara Nasional PSSI 1973/1975 tanggal 8 November 1975. Ketetapan ini pula yang memaksa para pemain PSMS dan Persija mau menerima medali. Trofinya sendiri diserahkan Bardosono untuk diusung bersamaan oleh kedua kapten, Oyong Liza dari Persija dan Yuswardi mewakili PSMS.
- Burung Besi Terbang Tinggi
MANUSIA tak pernah berhenti untuk membuat “burung besi” yang bisa mengangkut banyak penumpang dan terbang jauh lebih cepat, nyaman, dan aman. Berikut ini sejarah perkembangan pesawat terbang. Biplane Terpacu keberhasilan Zeppelin terbang dengan mesin dan kemudi, Orville dan Wilbur Wright, dua bersaudara asal Amerika Serikat, merancang pesawat sayap ganda dengan mesin setara 12 tenaga kuda. Mereka menyebutnya Flyer. Wright mengundang pers dan khalayak umum menyaksikan uji terbang pada 17 Desember 1903 di bukit Kitty Hawk. Dengan seorang pilot yang berbaring di bawah sayap, pesawat itu mampu terbang setinggi 36 meter selama 12 detik. Keberhasilan ini dianggap tonggak baru perkembangan pesawat bersayap dengan mesin dalam “penerbangan-lebih-berat-daripada-udara”. Sayap-Tetap Sebuah karya tulis mengenai konsep sayap-tetap pesawat terbang modern terbit di Jerman pada 1904. Karya Profesor Ludwig Prandtl ini dianggap sebagai tonggak baru teknologi aerodinamika (ilmu yang bertalian dengan gesekan udara pada benda padat). Sayap-tetap adalah konsep yang memungkinkan pesawat dapat terbang tanpa menggerakkan sayapnya karena mampu menyeimbangkan gesekan udara. Dengan teknologi itu, pesawat mempunyai daya angkat yang lebih kuat. Triplane Empat tahun setelah terbitnya karya tulis Prandtl, pesawat bersayap tiga diperkenalkan di Prancis. Tambahan satu sayap dimaksudkan untuk menambah tenaga dan memudahkan pengendalian. Sayangnya, ketika diterapkan dalam Perang Dunia I, teknologi itu tak membantu. Justru menyulitkan pilot bermanuver. Hanya dua tipe pesawat bersayap tiga yang diproduksi untuk Perang Dunia I. Pesawat sayap ganda lebih diminati karena kelincahannya. Fabre Hydravion Untuk kali pertama dalam sejarah, pesawat bermesin dengan sayap tunggal mampu tinggal landas dari permukaan air pada 1910. Pesawat ini disebut Fabre Hydravion, diambil dari nama pembuatnya, Henri Fabre. Pada saat bersamaan, Eardley Billing memperkenalkan mesin simulasi pesawat pertama. Dengan alat ini, seseorang tak perlu langsung terbang selama belajar mengendalikan pesawat. Boeing 247 Berakhirnya Perang Dunia I membuat teknologi pesawat berkembang pesat, terutama pesawat berpenumpang lebih dari dua orang. Boeing, perusahaan pembuat pesawat terbang asal Amerika Serikat, memperkenalkan pesawat penumpang komersial pertama pada 1933. Dua pilot diperlukan untuk mengudarakan dan mendaratkan pesawat ini. Pesawat ini bermesin ganda dengan sayap tunggal. Meski begitu, pesawat ini mampu menampung 10 orang. Heinkel HE 178 Hingga 1937, semua pesawat terbang modern masih menggunakan baling-baling meski mesin jet sudah ditemukan sejak 1930 oleh Frank Whittle, seorang Inggris. Pada 1937, pesawat bermesin jet mulai dikembangkan. Dua tahun kemudian, pesawat bermesin jet mampu terbang. Pemakaian mesin jet mengubah bentuk sayap. Sayap tak lagi persegi panjang. Agak lonjong di ujungnya dan berada tepat atau di bawah badan pesawat. Pesawat itu dikenal dengan Heinkel HE 178. Supersonik Pesawat ini mampu terbang melebihi kecepatan suara. Bell X1 menjadi pesawat supersonik pertama. Penerbangan perdananya terjadi pada 14 Oktober 1947 oleh Chuck Yeager, pilot Amerika Serikat. Pesawat supersonik tersohor adalah Concorde, pesawat hasil patungan Inggris dan Prancis. Pesawat Jet Komersial Usai Perang Dunia II, Inggris mengembangkan pesawat jet untuk tujuan komersial. Dengan sokongan perusahaan pembuat pesawat terbang, De Havilland, Inggris berhasil membuatnya. De Havilland Comet, nama pesawat itu, terbang kali pertama pada Juli 1949 dari London menuju Afrika Selatan. Fokker 28 Pesawat ini pernah menjadi tulang punggung penerbangan regional (jarak pendek dan menengah dengan kapasitas 35-100 penumpang) di Indonesia sejak 1971. Diterbangkan kali pertama pada 9 Mei 1967, pesawat ini cepat menarik perhatian khalayak. Beberapa maskapai dunia meminatinya, termasuk Garuda Airways. Fokker 28 dinilai cocok dengan karakter landasan udara di Indonesia yang belum teraspal sempurna. Pesawat ini mengudara terakhir kali di Indonesia pada 2001. Boeing 747 Melihat kesuksesan Perusahaan Fokker Aircraft, Boeing tak mau kalah. Pada 1969, pesawat berpenumpang terbesar di dunia diperkenalkan. Dengan panjang 70 meter dan lebar 59 meter, pesawat ini disebut jumbo jet. Pesawat penumpang ini terbagi atas dua dek/lantai. Berkapasitas 400 penumpang, 747 bertahan sebagai pesawat penumpang paling lama digunakan. Airbus A380 Sebagai seteru Boeing, Airbus tak mau kalah. Setelah memproduksi B-707 yang terbesar di zamannya pada 1969, Boeing memproduksi B-747 pada 1970 yang berukuran lebih besar lagi dan menjadi pesawat komersial terbesar sepanjang sejarah hingga 2005. Setelah itu Airbus memproduksi pesawat raksasa A380 yang versi standarnya memiliki 854 kursi penumpang atau 525 penumpang jika didesain untuk tiga kelas: eksekutif, bisnis, dan ekonomi.






















