top of page

Hasil pencarian

9597 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Kekecewaan Sutradara Film Pengkhianatan G30S/PKI

    PANGLIMA TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo memerintahkan kepada jajaran TNI AD untuk nonton bareng film Pemberontakan G30S/PKI. Film ini sebenarnya telah dihentikan penayangannya sejak 30 September 1998 atas permintaan masyarakat dan keluarga besar TNI AU. Film Pemberontakan G30S/PKI diproduksi oleh Produksi Film Nasional (PFN) yang dipimpin oleh Brigjen TNI Gufron Dwipayana, orang dekat Presiden Soeharto. Tokoh penting di balik film ini adalah sejarawan Nugroho Notosusanto. Dwipayana memilih Arifin C. Noer sebagai sutradara film yang awalnya berjudul Sejarah Orde Baru . “Pak Dipo (panggilan Dwipayana) memilih Arifin karena Arifin ini dipandang sebagai orang yang independen. Dia tidak memiliki afiliasi dengan organisasi mahasiswa manapun atau organisasi masyarakat apapun,” ujar Jajang C. Noer, istri mendiang Arifin C. Noer, kepada Historia beberapa waktu lalu. Arifin lahir pada 10 Maret 1941 di Cirebon. Dia menulis drama dan puisi sejak di Sekolah Lanjutan Pertama. Dia melanjutkan sekolah ke Solo dan bergabung dengan Himpunan Peminat Sastra Surakarta. Pada 1960, dia pindah ke Yogyakarta dan bergabung dengan Lingkaran Drama Yogya, kemudian masuk Teater Muslim. Setelah pindah ke Jakarta, dia mendirikan Teater Kecil. Pada 1972, naskah dramanya, Kapai Kapai memenangkan hadiah pertama sayembara penulisan naskah drama Dewan Kesenian Jakarta. Arifin mulai terjun ke dunia film sebagai penulis skenario Pemberang pada 1971 . Dia kemudian menulis skenario film Melawan Badai, Rio Anakku, Sanrego, Senyum di Pagi Bulan Desember, Kenangan Desember, dan Kugapai Cintamu . Arifin menyutradarai film pertamanya, Suci Sang Primadona (1978) yang memberi Piala Citra untuk Joice Erna. Namanya melambung setelah menyutradarai film Serangan Fajar yang meraih penghargaan sebagai film terbaik Festival Film Indonesia (FFI) 1982 dengan menyabet lima Piala Citra. “Arifin kembali meraih gelar penulis skenario terbaik melalui film Pengkhianatan G30S/PKI ,” tulis Suara Karya , minggu ketiga Agustus 1992. Film Pengkhianatan G30S/PKI dikerjakan selama dua tahun dengan biaya terbesar saat itu, yaitu Rp800 juta. Setelah selesai, film ini ditayangkan dalam sidang kabinet dan semuanya setuju. Film berdurasi lebih dari tiga jam ini ditayangkan di bioskop dan TVRI sebagai tontonan wajib anak-anak sekolah dan pegawai pemerintah. Ternyata, Arifin kecewa setelah melihat hasilnya. Dia mengungkapkan kekecewaannya kepada Eros Djarot, sutradara, penulis lagu, dan politisi. “Hingga menjelang turunnya Soeharto hanya ada satu versi untuk melihat peristiwa G30S, yakni versi film Pengkhianatan G30S/PKI garapan Arifin C. Noer, sebuah rekonstruksi visual yang agaknya dicomot langsung dari kepala Soeharto, superhero satu-satunya dalam film tersebut,” tulis Eros Djarot, dkk., dalam Siapa Sebenarnya Soeharto: Fakta dan Kesaksian Para Pelaku Sejarah G-30-S/PKI . “Berbicara soal film yang sangat ‘luar biasa’ mengultuskan pribadi Soeharto sebagai tokoh penyelamat bangsa ini, saya jadi ingat Mas Arifin C. Noer. Betapa kecewanya Mas Arifin sebagai sang sutradara ketika melihat hasil akhir keseluruhan film yang dibuatnya sendiri itu. Sebab, berdasarkan pengakuannya, sebagai sutradara film ternyata dia telah dipaksa tunduk pada seorang sutradara politik yang bertindak sebagai pengarah film sesungguhnya,” kata Eros Djarot, sutradara film fenomenal Tjoet Nja’ Dhien (1988). Setelah membuat film Pengkhianatan G30S/PKI , Arifin ingin berhenti membuat film. Mungkinkah karena kekecewaan terhadap film itu? Dia menyampaikan keinginannya itu dalam surat tanggal 10 Februari 1984 kepada Ajip Rosidi, sastrawan yang berdiam di Jepang pada 1980-2002. Ajip membalas surat itu pada 17 Februari 1984. “Keputusan untuk tidak membuat film lagi tentu keputusan yang penting. Buat saya, juga mengagetkan. Sayang dalam surat itu kau tidak memberi alasan yang lebih terperinci. Kau mengatakan bahwa selama 5 tahun membuat film merupakan tahun-tahun yang percuma. Dari segi apa? Dalam arti apa?” tulis Ajip dalam buku kumpulan surat-suratnya, Yang Datang Telanjang. Ajip memberikan penilaian terhadap film-film karya Arifin dan memintanya agar mempertimbangkan lagi keputusan untuk berhenti membuat film. Ajip menyebut bahwa Arifin sepertinya punya masalah dengan PFN (Produksi Film Negara). “Baik sekali kau mempertimbangkan hubunganmu dengan PFN. Tetapi jangan hendaknya karena itu kau lantas memutuskan mau berhenti membuat film. Sebab, kalau begitu, maka dunia perfilman Indonesia akan terus hanyut dalam selera Indo –atau Cina,” kata Ajip yang berharap “filmmu akan membuat tradisi, atau baik disebutkan: melanjutkan tradisi film pribumi seperti yang dibuat oleh Usmar Ismail.” Akhirnya, Arifin pun urung berhenti bikin film. Setelah Pemberontakan G30S/PKI , dia membuat film Matahari Matahari (1985), Biarkan Bulan Itu (1986), Taksi (1990), dan terakhir, Bibir Mer (1991). Film Taksi yang dibintangi Meriam Bellina dan Rano Karno terpilih menjadi film terbaik FFI 1990 dan menyabet enam Piala Citra. Arifin C. Noer meninggal dunia pada 28 Mei 1995.

  • Jalan Berliku Lembaga Bantuan Hukum

    Gedung Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dikepung massa pada Minggu (17/09) hingga Senin (18/09). Gegaranya, LBH menyelenggarakan acara yang berkaitan dengan peristiwa 1965. Melalui rilisan pers yang diterima Historia, LBH Jakarta menulis, “Massa meneriakkan ancaman mengerikan, melakukan stigma dan tuduhan-tuduhan tidak berdasar, serta mencoba masuk, melempari dengan batu dan melakukan provokasi, serta mencoba membuat kerusuhan.” Padahal, YLBHI saat itu sedang menyelenggarakan acara yang menampilkan pertunjukan seni dengan nama #AsikAsikAksi. Ancaman terhadap LBH sesungguhnya tidak hanya terjadi pada hari ini saja. Pada era Orde Baru (Orba), ancaman dan tekanan juga pernah mereka alami. Kendati pada awal pembentukannya, LBH didukung pemerintah namun belakangan pemerintah Soeharto menunjukkan ketidaksukaannya kepada LBH. Demikian menurut Adnan Buyung Nasution dalam Demokrasi Konstitusional: Pikiran & Gagasan. Buyung menyebutkan, pada 1974 Ali Moertopo pernah memerintahkan untuk menangkap dirinya saat terjadi peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari (Malari). Buyung lantas ditahan selama dua tahun tanpa proses peradilan karena dituduh sebagai dalang Malari. “Semua pengacara LBH masuk dalam daftar hitam pemerintah. Kantor, rumah, dan kendaraan mereka sering dirusak. Bahkan ada yang diancam akan ditahan,” ungkap Buyung. LBH sendiri merupakan lembaga bantuan hukum yang digagas Buyung pada 1969. Dalam otobiografinya, Adnan menceritakan tentang awal mula pendirian LBH. Dia bercerita bahwa pada mulanya ide tentang pendirian LBH dia kemukakan dalam kongres Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) III pada 18-20 Agustus 1969. Ternyata, ide ini didukung oleh kongres kemudian ditindaklanjuti oleh Adnan. Selain dukungan politis dari Peradin, Buyung juga mendapat dukungan moril dari mahasiswa dan cendekiawan. Agar LBH "tidak digebuk", Buyung melakukan "siasat ala Jawa" untuk sekadar kulonuwun kepada pemerintah dengan menemui Ali Murtopo untuk meminta persetujuan pendirian LBH. Secara personal, Buyung mengenal Ali sejak aktivis-aktivis kesatuan aksi pengganyangan PKI sering berkumpul di markas Kostrad. Pangkostrad Kemal Idris memperkenalkan Ali sebagai orang kepercayaannya. “Wah saya gembira sekali, saya akan mendukung,” kata Ali. Tidak cukup sampai Ali Moertopo, Buyung juga menyiapkan uraian tertulis mengenai pembentukan LBH untuk Presiden Soeharto. “Pak Harto sudah baca, katanya bagus, teruskan ide ini,” kata Ali kepada Buyung. Setelah mendapat persetujuan dari pemerintah, Buyung mencari dukungan dari pemerintah DKI Jakarta yang dipimpin Gubernur Ali Sadikin. Buyung mengenal Ali Sadikin sebagai orang yang mendukung para seniman dan budayawan dengan membangun Taman Ismail Marzuki. Buyung optimis mendapat dukungan dari Ali Sadikin. Dalam otobiografinya, Buyung menulis bahwa Ali Sadikin memiliki peran besar dalam pembentukan LBH. Bersama seorang aktivis sosial Nani Yamin, Buyung menemui Ali Sadikin di Rumah Sakit Ciptomangunkusumo. Sekretaris Gubernur Kris Hutapea ikut dalam pertemuan tersebut. “Negara hukum tidak bisa ditegakkan hanya dengan pidato, tapi dengan tindakan nyata, yaitu membela rakyat. Supaya rakyat sadar akan hak dan kepentingan hukumnya... Ini termasuk pelayanan negara kepada rakyat yang butuh bantuan di bidang hukum... Dalam pembangunan Jakarta saya lihat bidang pelayanan hukum ini bagian yang belum digarap Bang Ali,” ujar Buyung. “Wah, saya setuju dah, setuju! Saya mau. Buyung bikin proposalnya ya,” jawab Ali Sadikin. Selain membuat proposal, Buyung juga diminta untuk melampirkan SK organisasi. Namun, Buyung tidak memiliki organisasi. Ali Sadikin lantas mengusulkan untuk melampirkan SK yang dibuat oleh Peradin untuk pendirian LBH. Permintaan Buyung tentang SK ini sempat membuat bingung Lukman Wiradinata. Lalu dia disarankan untuk pergi menemui S. Tasrif. “Ya sudah, Pak Tasrif, sekjen suruh bikin SK.” Dengan sedikit mengomel akhirnya S. Tasrif membikin SK pembentukan LBH yang dibuat Peradin. Setelah syarat pembentukan LBH lengkap, perngurus LBH dilantik pada 28 Oktober 1970 di Balai Kota oleh Ali Sadikin. Frans Hendra Winata dalam Pro Bono Publico menyebut langkah Buyung sebagai awal gerakan perkembangan bantuan hukum di Indonesia. Pada peresmian kantor LBH di Jalan Ketapang, Ali Murtopo memberikan sumbangan lima sepeda motor untuk operasional. Banyak orang-orang yang mengkritik keputusan Buyung menerima bantuan Ali Murtopo. Namun Buyung menjawab bahwa dia percaya pada itikad baik Ali Murtopo. Sayangnya, pemberian motor itu hanya bagian dari politik kosmetik pemerintah Soeharto. Dia ingin membangun citra bahwa pemerintah Orba mendukung demokrasi, hukum, dan HAM. Padahal, kenyataannya tidak demikian. Hal ini bisa dilihat dari keputusan Orba untuk menahan Buyung selama dua tahun tanpa peradilan dengan tuduhan sebagai dalang Malari. Tidak hanya itu, para pengacara LBH juga sering menerima ancaman ketika menangani kasus. Kasus yang diangkat umumnya melibatkan orang kurang mampu yang terintimidasi oleh militer. Misalnya, membela orang-orang yang tanahnya diambil untuk pembangunan Simprug, kasus Tanjung Priok, pembangunan TMII, buku putih ITB, dan Kasus Waduk Kedungombo. Beragam tantangan dan ancaman terhadap LBH datang dari dulu hingga kini. Buyung menyebut bahwa tantangan paling ringan berupa upaya penyuapan hingga intimidasi dan ancaman kekerasan. “Namun, lama-kelamaan pengacara kami kebal dengan ancaman, terutama dalam kasus penting,” kata Buyung.

  • Film Pengkhianatan G30S/PKI dan Fakta Sejarah

    PADA era Orde Baru (Orba), tiap tanggal 30 September, stasiun televisi nasional TVRI selalu menayangkan film Pengkhianatan G30S/PKI . Saat kali pertama rilis pada 1984, film ini bahkan wajib ditonton oleh para siswa SD (Sekolah Dasar), SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan SMA (Sekolah Menengah Atas) di seluruh Indonesia. Sejak Presiden Soeharto lengser pada 1998, film garapan Arifin C Noer itu berhenti ditayangkan TVRI. Itu terjadi atas desakan sebagian kalangan masyarakat dan pihak TNI AU, yang menganggap film itu tidak sesuai dengan kejadian sebenarnya. Setidaknya, ada beberapa adegan di film itu yang berlawanan dengan fakta sejarah. DN Aidit Perokok Dalam suatu adegan pada film tersebut, digambarkan sosok pemimpin CC PKI (Comite Central Partai Komunis Indonesia), sebagai seorang perokok. Padahal kenyataannya Aidit bukan bukan seorang pecandu tembakau. Alih-alih menggilai rokok, Aidit justru menganjurkan kawan-kawannya untuk meminimalisir rokok demi kesehatan finansial partainya. Dalam isi "Resolusi Dewan Harian Politbiro CC PKI" tertanggal 5 Januari 1959, Aidit menyerukan teman-temannya untuk menghentikan kebiasaan merokok atau setidaknya mengurangi ketergantungan pada rokok. Aidit mengatakan akan lebih bermanfaat jika uang untuk membeli rokok, dialihkan untuk dana Kongres ke-6 PKI. Murad Aidit, adik DN Aidit, mengatakan bahwa dalam keluarga kami tak ada yang merupakan pecandu rokok. Begitu pula ayah kami pun tak pernah atau jarang sekali merokok. "Dalam film itu diperlihatkan seolah-olah DN Aidit merupakan pecandu rokok yang hebat. Aku dan teman-temanku selalu tersenyum kalau melihat adegan ini, karena DN Aidit merupakan orang yang tak pernah merokok," kata Murad dalam Aidit Sang Legenda. Perlakuan Bengis terhadap Para Jenderal Secara gamblang, film Pengkhianatan G30S/PKI melukiskan bagaimana para perwira tinggi Angkatan Darat (AD) yang diculik ke Lubang Buaya, digambarkan mengalami penyiksaan hebat. Tubuh mereka disayat-sayat dan diperlakukan secara biadab, sebagaimana dideskripsikan diorama yang terpampang di kompleks Monumen Pancasila Sakti, Jakarta. Bisa jadi, gambaran itu terinspirasi dari laporan-laporan berita yang dimuat Berita Yudha pada 9 Oktober 1965. Koran milik tentara itu bahkan menyebut tentang para jenderal yang dicukil matanya serta alat-alat kelamin mereka dipotong oleh para aktivis Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), sebuah organ perempuan yang menjadi bagian dari PKI. Kenyataanya tidak seperti itu. Dalam laporan visum et repertum yang didapat sejarawan Ben Anderson dan diungkapkan dalam "How did the General Dies?" jurnal Indonesia, April 1987, disebutkan bahwa keadaan jenazah hanya dipenuhi luka tembak. Dari hasil visum yang dilakukan tim yang terdiri dari dr. Lim Joe Thay, dr. Brigjen Rubiono Kertopati, dr. Kolonel Frans Pattiasina, dr. Sutomo Tjokronegoro dan dr. Liau Yan Siang itu dijelaskan tidak ada bekas penyiksaan seperti penyiletan, pemotongan alat kelamin atau pencungkilan mata. Semua organ tubuh para perwira tinggi AD itu utuh sama sekali. Bung Karno Jatuh Sakit Di film itu Presiden Sukarno dikisahkan tengah sakit keras. Bung Karno (yang diperankan oleh Umar Khayam) juga digambarkan selalu berjalan bolak-balik layaknya orang yang tengah kebingungan. Fakta sejarah yang sebenarnya Bung Karno kala itu sehat-sehat saja. Memang sempat ada isu beredar bahwa Bung Karno sedang sakit keras, namun kehadiran Si Bung dalam sejumlah kegiatan seremonial (seperti pembukaan Musyawarah Nasional Teknik di Istora Senayan Jakarta pada 30 September 1965) menafikan isu itu lebih jauh beredar. Bung Karno baru benar-benar sakit setelah dijadikan tahanan rumah di Wisma Yaso, Jakarta. Perawatan yang tidak intensif membuatnya tutup usia pada Juni 1970. Tarian Aktivis Gerwani Salah satu adegan yang paling banyak diingat khalayak dari film itu adalah adanya "pesta besar" di Lubang Buaya lengkap dengan tarian-tarian erotis para aktivis Gerwani. Menurut penelitian Saskia Elionora Wieringa, sejatinya penggambaran itu merupakan sebentuk propaganda yang dilakukan oleh media-media cetak milik tentara yakni Berita Yudha dan Harian Angkatan Bersenjata . Dalam penelitian yang kemudian dibukukan berjudul Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia , Saskia mengungkapkan bahwa Gerwani sendiri, walau punya kaitan yang sangat dekat dengan PKI, tidak terlibat langsung dalam tragedi tersebut. Dalam kesaksian Suharti, salah satu eks Gerwani yang dituliskan Saskia, Gerwani sejak awal 1965 memang sering berada di Lubang Buaya bersama sejumlah organisasi pemuda lain. Termasuk pemuda Nahdlatul Ulama (NU), Perwari, Wanita Marhaen, Wanita Islam dan Muslimat, untuk pelatihan dalam rangka persiapan konfrontasi dengan Malaysia. Pun begitu dengan kesaksian Serma Bungkus, eks anggota Resimen Tjakrabirawa yang penculik para jenderal. Dalam buku Gerakan 30 September, Antara Fakta dan Rekayasa: Berdasarkan Kesaksian Para Pelaku Sejarah , Bungkus menyatakan bahwa tidak ada tarian atau pesta yang diiringi nyanyian-nyanyian di Lubang Buaya. Peta di Ruang Kostrad Ada pemandangan "unik" dan membingungkan dalam adegan yang menggambarkan Letnan Jenderal TNI Soeharto tengah memimpin operasi pemulihan keamanan pasca-terjadinya G30S di ruangan Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Adalah peta Indonesia di ruangan tersebut jadi penyebabnya karena sudah memasukkan Timor Timur sebagai wilayah Indonesia. Sejarawan Asvi Warman Adam dalam Membongkar Manipulasi Sejarah: Kontroversi Pelaku dan Peristiwa menuliskan bahwa tahun 1965/1966 Timor Timur belum terintegrasi ke dalam NKRI. “Jadi peta yang ada di sana bersifat anakronis,” ujar Asvi.

  • Di Balik Penghentian Penayangan Film Pengkhianatan G30S/PKI

    Film Pengkhianatan G30S/PKI menjadi film wajib pada masa pemerintahan Presiden Soeharto. Setelah Orde Baru berakhir, film ini secara resmi tidak ditayangkan lagi di televisi sejak 30 September 1998. Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam melacak siapa yang berperan di balik penghentian penayangan film itu. "Dari Purnama Suwardi, wartawan senior TVRI , saya beroleh informasi, film itu tidak diputar lagi atas permintaan masyarakat," kata Asvi dalam  Menguak Misteri Sejarah. Asvi kemudian mendapat informasi penting bahwa tokoh yang meminta penghentian penayangan film Pengkhianatan G30S/PKI  adalah Laksamana Madya Udara TNI (Purn.) Sri Mulyono Herlambang, mantan KSAU (1965-1966) yang menjabat ketua Persatuan Purnawirawan Angkatan Udara Republik Indonesia (PP AURI). Namun, Asvi tidak menemukan arsip surat pada sekretariat Persatuan Purnawirawan AURI. Selain dari PP AURI, permintaan penghentian penayangan film Pengkhianatan G30S/PKI juga datang dari Marsekal TNI (Purn.) Saleh Basarah, mantan KSAU (1973-1977). Saleh menelepon Menteri Penerangan Letjen TNI (Purn.) Yunus Yosfiah dan Menteri Pendidikan Juwono Sudarsono, meminta agar film itu tidak ditayangkan lagi karena menyudutkan TNI AU. "Saya mendengar pengakuan dari Saleh Basarah bahwa pada tahun 1998 dia menelepon Menteri Penerangan Yunus Yosfiah dan Menteri Pendidikan Juwono Sudarsono agar film Pengkhianatan G30S/PKI tidak diputar lagi. Di dalam film tersebut terkesan bahwa 'Halim adalah sarang pemberontak'," kata Asvi. Asvi mendengar pengakuan itu ketika dijamu makan siang di rumah Saleh Basarah pada 2 Mei 2009 dalam rangka persiapan peluncuran biografi Saleh Basarah berjudul  Perjalanan Hidup dan Pengabdianku . Menurut Asvi, TNI AU berkepentingan agar film propaganda itu tidak ditayangkan lagi karena TNI AU dituding terlibat dalam Gerakan 30 September 1965. Menteri/Panglima Angkatan Udara Laksamana Madya Udara TNI (Purn.) Omar Dani dipenjara selama 29 tahun karena dituduh terlibat G30S. "Akibatnya, sepanjang Orde Baru stigma negatif itu melekat pada korps ini. Peluang untuk meluruskan sejarah AURI baru terbuka setelah kejatuhan Soeharto," kata Asvi. Permintaan mantan KSAU itu disambut baik oleh Yunus Yosfiah, seorang jenderal TNI AD dan veteran perang di Timor Timur. Dia memutuskan film Pengkhianatan G30S/PKI tidak akan ditayangkan lagi mulai 30 September 1998.

  • Anak Pahlawan Revolusi Kecewa Film Pengkhianatan G30S/PKI

    PADA 1986, keluarga Nani Nurrachman Sutojo kembali ke Indonesia dari penugasan di Amerika Serikat. Nani adalah anak dari Mayjen TNI (Anumerta) Soetojo Siswomihardjo, salah satu dari tujuh perwira tinggi Angkatan Darat yang menjadi korban pembunuhan pada dini hari 1 Oktober 1965. Saat itu, sedang marak pemutaran film Pengkhianatan G30S/PKI karya Arifin C. Noer. Setiap tanggal 30 September, film ini diputar di televisi dan menjadi tontonan wajib segala usia. Pada 30 September 1986, Nano anak bungsu Nani yang berusia delapan tahun menonton dengan tekun seluruh film berdurasi tiga jam itu. Nani mendampinginya. Alangkah terkejutnya Nani ketika selesai nonton, Nano menanyakan, “ Ma…what is a communist? Was it them who killed Eyang Tojo? ” Nani terdiam, berpikir keras, apa yang harus dikatakan kepada anaknya, sementara dia sendiri belum memiliki jawaban untuk diri sendiri. “Tunggu ya, No. Pertanyaan itu sama sulitnya dengan pelajaran Matematika kamu di sekolah. Sampai kamu menyebutnya ‘mati-matian’. Tunggu sampai kamu cukup umur untuk bisa mengerti apa yang nanti Ibu jelaskan,” kata Nani dalam Kenangan Tak Terungkap: Saya, Ayah dan Tragedi 1965 suntingan Imelda Bachtiar. Malam harinya, Nani salat dan menangis. Dia menyadari bahwa dialah yang sebenarnya ditanya oleh Tuhan: sudahkah engkau selesai dengan dirimu? Sebab bagaimana bisa menjelaskan dengan baik bila belum bisa menyelesaikan trauma diri sendiri. Nani terus terang bahwa film ini menerbitkan gundah: apakah seperti ini informasi yang akan kita wariskan kepada generasi anak-cucu tentang Peristiwa Gerakan 30 September 1965? Apa sebetulnya yang ingin disampaikan film ini? Film ini panjangnya luar biasa, tetapi tidak berhasil mengangkat situasi sosial yang sedang terjadi saat itu. Nani mengira film ini juga menggambarkan gejolak sosial masyarakat saat itu yang tidak terlepas dari peristiwa 1965. Semacam film sejarah yang menukik. “Saya kecewa. Ternyata film ini jauh dari bayangan saya tentang sebuah tuturan sejarah. Malah berlebihan menonjolkan Pak Harto. Bukan saya tidak setuju pada peran Soeharto sebagaimana digambarkan melalui film itu, hanya film itu tidak menceritakan konteks sosial yang lebih dalam. Penonton, apalagi generasi muda yang lahir setelah peristiwa itu meletus pasti tidak akan paham karena gambarannya tidak utuh,” kata Nani. “Kata ‘pengkhianatan’ pada judulnya juga mengundang tanda tanya besar untuk saya dan tentunya juga siapa pun yang menonton dengan kritis, ‘pengkhianatan kepada siapa?’ semakin berat dan semakin sulit jawabannya, karena sekali lagi, tak ada konteks sosial di dalamnya, baik sebelum atau sesudah peristiwa 1965,” kata Nani. Nani berusaha keluar dari trauma dan melakukan rekonsiliasi. Dia dan mereka yang orangtuanya terlibat dalam sejarah gelap bergabung dalam wadah rekonsiliasi bernama Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB) yang didirikan pada 25 Mei 2003. Dalam FSAB terdapat keluarga Pahlawan Revolusi, anak dan cucu tokoh PKI, DI/TII, PRRI/Permesta, korban konflik bersenjata sampai mereka yang dulu ayah atau kakeknya saling berseberangan ideologi politik. “Kami berhasil berkumpul dalam suasan akrab dan tanpa prasangka, malah mampu mengahasilkan tekad untuk berhenti mewariskan konflik dan berhenti membuat konflik baru,” kata Nani.

  • Belanda Mulai Teliti Agresi Militernya ke Indonesia

    SEORANG pria, kelihatan lebih dari 70 tahun, berdiri meminta waktu bicara, memperkenalkan diri sebagai veteran perang Belanda. Tidak ada pertanyaan darinya kecuali pernyataan keberatan istilah yang berulang kali digunakan oleh para pembicara: kejahatan perang ( oorlogsmisdaden ). Kamis malam tadi, pukul 20:00 waktu Belanda, veteran serdadu tersebut hadir di gedung Pakhuis De Zwijger, Amsterdam bersama sekitar duaratus orang peserta acara peluncuran program penelitian dekolonisasi lainnya. Remy Limpach, penulis buku De Brandende Kampongs van Generaal Spoor (Kampung-kampung yang Ter(di)bakar Jenderal Spoor) yang berhasil mengungkap kekerasan masa agresi militer Belanda di Indonesia tampil sebagai salah satu pembicara. Temuannya itu menggemparkan Belanda. Foto-foto kekerasan serdadu Belanda di Indonesia kurun tahun 1946 sampai 1949 yang ada dalam bukunya, terpampang di berbagai media massa. Mendorong para politikus Belanda membawa topik tersebut sebagai perdebatan di dalam parlemen dan, akhir tahun lalu keluar keputusan pemerintah untuk mendanai penelitian besar tersebut. Tiga lembaga bakal menjadi pelaksana proyek penelitian itu, Lembaga Kerajaan untuk Bahasa, Sejarah dan Kebudayaan (KITLV), Lembaga Belanda untuk Dokumentasi Perang, Holocaust dan Genosida (NIOD) dan Lembaga Belanda untuk Sejarah Militer (NIMH). Penelitian yang disponsori oleh pemerintah Belanda tersebut memperoleh dana 4,1 juta euro atau sekitar 60 milyar rupiah lebih dan akan dilakukan selama empat tahun ke depan. Ireen Hoogenboom, kordinator penelitian untuk wilayah Indonesia, dalam keterangannya mengatakan proyek ini juga melibatkan pihak Indonesia. “Ada dua sejarawan dari Universitas Gadjah Mada yang akan terlibat di dalam penelitian ini, sejarawan Bambang Purwanto dan Abdul Wahid,” kata Hoogenboom dalam presentasinya semalam. Proyek penelitian ini mengundang kontroversi karena banyak hal tentang perang Belanda di Indonesia yang akan terungkap, termasuk praktik kekerasan di dalamnya. Gert Oostindie, pemimpin proyek ini, menyampaikan kepada publik bahwa perang Belanda di Indonesia adalah perang terbesar yang pernah terjadi pada masa sejarah modern mereka. Frank van Vree, direktur NIOD, membeberkan lebih lanjut sembilan proyek penelitian yang akan dilakukan. Termasuk di dalamnya tiga proyek yang melibatkan Indonesia, yaitu periode Bersiap, kajian regional di pelbagai wilayah Indonesia dan laporan para saksi mata. Di Belanda periode Bersiap dikenal sebagai periode kekerasan yang dialami oleh orang-orang Belanda, kalangan Indo berdarah campuran dan warga minoritas lain. Pelaku kekerasan itu menurut mereka adalah orang-orang Indonesia. Tetapi menurut Remy Limpach situasi selama periode Bersiap ini lebih rumit lagi. Menyebutnya sebagai perang saudara, peneliti keturunan Belanda Swis ini melihat waktu itu kekerasan juga terjadi di kalangan orang Indonesia sendiri, antara mereka yang pro kemerdekaan dan pro kembalinya Belanda. Yang jelas istilah kekerasan kalangan Indonesia sudah muncul dalam jumpa pers Perdana Menteri Mark Rutte awal Desember 2016 ketika dia mengumumkan dukungan pemerintah bagi penelitian besar ini. Menurut Rutte penelitian ini tidak hanya mengarah pada ulah kalangan militer, tetapi juga peran kalangan politik, pemerintahan dan kehakiman. Dia berlanjut, “Juga kekerasan Indonesia dalam apa yang disebut periode Bersiap, termasuk keputusan di Den Haag dan kejadian setelah 1949.” Pada saat itu Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia. Silang pendapat tajam juga terjadi dalam diskusi semalam. Penyelenggara dinilai tidak berhasil mendatangkan para pengkritik rencana penelitian besar ini. Nama Jeffry Pondaag berkali-kali disebut, dia adalah aktivis komite hutang budi Belanda yang menggugat pemerintah Belanda atas pelbagai pelanggaran hak-hak asasi manusia semasa perang kemerdekaan. Bersama pengacara Liesbeth Zegveld ahli waris korban itu sekarang memperoleh ganti rugi, seperti diputuskan oleh pengadilan. Begitu selesai, ketika keluar hadirin disodori selebaran yang mengkritik penelitian ini. Kalau pemerintah Belanda ingin meneliti periode Bersiap, bagaimana dengan Perang Aceh dan perang-perang lain di Hindia Belanda? Mengapa itu diabaikan? Koran terkemuka di Belanda, NRC Handelsblad , menulis proyek penelitian ini sebagai upaya untuk melihat sejarah dengan cara yang lain ( Een andere kijk op de geschiedenis ). Semenjak perang usai, sebagian besar publik Belanda menerima versi sejarah pemerintahnya yang menyebut kedatangan serdadu mereka ke Indonesia sebagai “aksi polisionil”. Ini berbeda dengan apa yang publik Indonesia pahami bahwa aksi tersebut merupakan agresi militer ke negara yang sudah merdeka dan berdaulat.

  • Riwayat Panggilan Hormat Pada Pejabat

    Arteria Dahlan, anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi PDIP, protes tidak dipanggil dengan sebutan “Yang Terhormat” oleh pimpinan KPK dalam Rapat Dengar Pendapat pada 11 September 2017. Dia menyebut bahwa Presiden Joko Widodo dan Kapolri Jenderal (Pol.) Tito Karnavian juga memanggil anggota DPR dengan sebutan “Yang Terhormat” bahkan Tito Karnavian terkadang menyebut “Yang Mulia.” Publik menilainya negatif dan menyebut anggota DPR “gila hormat.” Dalam sejarah Indonesia, pernah ada panggilan Paduka Yang Mulia, Yang Mulia, dan Padukan Tuan. Jenderal Polisi (Purn.) Awaluddin Jamin, mantan Kapolri (1978-1982), mengalami masa ketika sebutan tersebut digunakan dalam rapat-rapat pemerintahan. “Saya menjadi Kepala Seksi Umum dari 1955 sampai 1959, di bawah Kapolri Said Soekanto. Saya mendampinginya saat rapat, lalu mencatat apapun yang disampaikannya. Saat itu ya, kalau rapat, Soekanto dipanggil oleh anak buahnya Paduka Tuan Soekanto. Kan dulu berlaku panggilan Paduka Yang Mulia Presiden, Yang Mulia Menteri, dan Paduka Tuan. Kalau Soekanto memanggil bawahannya dengan sebutan tuan-tuan,” kata Awaluddin kepada Historia . Sejarawan Peter Kasenda yang banyak menulis buku tentang Sukarno mengatakan bahwa panggilan Paduka Yang Mulia muncul dari orang-orang di sekitar Sukarno. Hal ini berbeda dengan panggilan yang muncul pasca Demokrasi Terpimpin, yakni Pemimpin Besar Revolusi. “Pemimpin Besar Revolusi itu dari Sukarno sendiri. Dalam pidato-pidatonya dia sering bilang kalau dia adalah penyambung lidah rakyat. Tapi kalau penyebutan Paduka Yang Mulia itu menurut saya dari orang-orang sekitar istana,” kata Peter Kasenda kepada Historia . Sebutan Pemimpin Besar Revolusi disahkan melalui TAP MPRS No. II/MPRS/Mei 1963 sekaligus menetapkan Sukarno sebagai presiden seumur hidup. Namun, menurut Barlan Setiadijaya dalam 10 November 1945: Gelora Kepahlawanan Indonesia , sebutan Paduka Yang Mulia dan sebagainya merupakan warisan feodalisme Jepang. Kebiasaan menambah san (tuan), kan (paduka tuan), kaka (yang mulia) digunakan sejak awal kemerdekaan. Tapi pada 6 September 1945, Presiden Sukarno membuat pengumuman di media massa terkait sebutan Paduka Yang Mulia, sebagai berikut: “Ketjoeali dalam oeroesan jang resmi-resmi benar mengenai NEGARA REPOEBLIK INDONESIA, maka saja minta didalam seboetan sehari-hari diseboet ‘BOENG KARNO’ sadja, djangan ‘PADUKA JANG MOELIA’. Djakarta, 6 September 1945. ttd. SOEKARNO.” Sebutan Paduka Yang Mulia, Yang Mulia dan Paduka Tuan digunakan selama masa Orde Lama dalam acara-acara resmi pemerintahan. Sampai-sampai Soetedjo menciptakan lagu Oentoek PJM Presiden Soekarno pada 1963 dan dinyanyikan oleh Lilis Suryani. Sebutan Paduka Yang Mulia, Yang Mulia, dan Paduka Tuan dihapuskan melalui TAP MPRS No. 31/1966 karena mencerminkan feodalisme dan kolonialisme serta tidak egaliter. Penggantinya dengan sebutan Bapak/Ibu atau Saudara/Saudari.

  • Syariat dalam Batu Bersurat

    Telah lama batu itu diletakkan di depan masjid. Ia digunakan sebagai pijakan untuk masuk ke dalam masjid. Setiap orang yang akan masuk masjid menyeka kakinya sehingga merusak beberapa bagian batu itu. Melihat tulisan pada batu itu, imam masjid menyuruh orang-orang untuk memindahkannya ke sungai. Pada 1889, seorang pedagang Arab dan peneliti timah, Sayid Husain Ibn Ghulam al-Bukhari menemukan batu itu di Sungai Teresat, dekat Kuala Berang, sekira 32 km dari muara Sungai Terengganu. Dia mempersembahkan batu kepada Sultan Zainal Abidin I, pendiri kembali Kesultanan Terengganu pada paruh pertama abad 18. Sekarang, batu yang disebut Batu Bersurat itu tersimpan di museum negara Terengganu. Penelitian terbaru dilakukan Ludvik Kalus, profesor dari Universitas Paris IV-Sorbonne. Dia melontarkan pendapat yang mengejutkan bahwa dilihat dari model tulisannya, Batu Bersurat berasal dari Kairouan, Tunisia, yang dibawa para pedagang Muslim sebagai jangkar kapal. Menurut Ayang Utriza Yakin, dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, penemuan Batu Bersurat menunjukkan bahwa Islam telah ada dan mapan di Kesultanan Terengganu. Dua sumber menyebut Islam masuk ke Terengganu dari Samudera Pasai atau Champa. Batu Bersurat menjadi salah satu penemuan terpenting di Asia Tenggara dan contoh paling tua tulisan Arab-Melayu (Jawi). Ia juga menunjukkan telah ada tradisi menulis di Terengganu. “Kalau ada orang mengatakan hukum Islam tanpa melampirkan sumber bukti, kayanya hanya mimpi di siang bolong. Kita sebagai sejarawan harus bicara sumber. Hampir semua sejarawan sepakat bahwa Batu Bersurat merupakan bukti tertulis tertua mengenai hukum pidana Islam di Nusantara,” kata Ayang yang merampungkan master dan doktor di bidang sejarah, filologi, dan hukum Islam dari Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS) Paris, Prancis. Dia membahas Batu Bersurat dalam bukunya, Sejarah Hukum Islam Nusantara Abad XIV-XIX . “Hal paling penting dari Batu Bersurat itu adalah dekrit seorang raja Muslim yang memberlakukan hukum Islam kepada para penduduknya,” tulis Ayang. “Kita mungkin dapat mengatakan bahwa raja itu sangat berambisi untuk menyebarkan keyakinan barunya.” Hukuman Bagi Pezina Ayang melakukan alih aksara dari Jawi ke Latin dan membagi Batu Bersurat ke dalam tiga bagian: pembukaan (muka A), hukum yang diundangkan (muka B dan C), dan penutup (muka D). Pada bagian pembukaan, Raja Mandalika yang membuat undang-undang memerintahkan kepada Sri Paduka Tuhan untuk membangun dan memelihara keteraturan di Terengganu. Hukum yang diundangkan (muka B dan C) terdiri dari sembilan pasal: pasal 1-3 hilang, pasal 4-5 tentang hukum utang-piutang, pasal 6-7 tentang hukum zina, pasal 8 tentang saksi palsu dengan hukuman denda, dan pasal 9 tentang klausul umum untuk penghentian pembayaran denda. Pada bagian penutup (muka D), undang-undang menuntut kepatuhan semua penduduk Terengganu. Barang siapa yang tidak patuh akan dilaknat oleh Allah. Undang-undang tersebut diberlakukan pada 4 Rajab 702 H atau 22 Februari 1303 sebagai undang-undang negara. “Berdasarkan tarikh yang tercatat pada buku itu juga menunjukkan bahwa negeri Terengganu merupakan negeri terawal yang mempunyai undang-undang Islam secara tertulis,” tulis Zaini Nasohah dalam Pentadbiran Undang-undang Islam di Malaysia: Sebelum dan Menjelang Merdeka . Menurut Ayang, Batu Bersurat menunjukkan kepada kita adanya mata rantai hukum, yaitu Dewata Mulia Raya (Allah), Raja Mandalika, dan sepuluh hukum. Mandalika kemungkinan besar adalah salah satu dari keturunan Raja Telanai yang pernah memerintah Terengganu. Nama Mandalika masih terus eksis hingga awal abad 16. Dari sepuluh hukum hanya pasal 6-7 yang paling jelas yaitu hukum tentang zina. Ada dua jenis zina, yaitu muhsan dan gayru muhsan . Muhsan yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang telah menikah dengan orang merdeka, sedangkan gayru muhsan yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang belum menikah atau budak. Setiap orang yang melakukan zina dihukum dengan hukuman hadd , yaitu sanksi atas perbuatan yang dilarang yang hukumannya telah ditentukan di dalam Alquran. Perbuatan tersebut dilihat sebagai kejahatan melawan agama. Keempat mazhab hukum Islam Suni (Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali) sepakat bahwa hadd zina bagi muhsan adalah dirajam dengan batu atau apa pun hingga mati. Sementara hadd bagi gayru muhsan adalah 100 cambukan bagi orang merdeka dan 50 cambukan bagi budak. Hukuman tersebut berdasarkan Alquran dan Hadis. Terkait hukuman rajam untuk muhsan , Nabi Muhammad Saw. bersabda yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim: “…Jika ia mengaku telah melakukan zina, maka rajamlah.” Adapun bagi gayru muhsan berdasarkan Alquran: “Bagi pezina perempuan dan pezina lelaki, cambuklah masing-masing 100 kali cambukan.” “Di sini kita melihat bahwa hukum yang ke-6 dari Batu Bersurat itu benar-benar merujuk pada hukum Islam,” tulis Ayang. Kendati demikian, Ayang menegaskan bahwa undang-undang itu membedakan antara orang biasa dan bangsawan, seperti keluarga raja. Tampaknya hukum Islam diterapkan hanya untuk orang-orang biasa, sementara untuk kelas elite, maka hukum adat yang diterapkan. Hukuman zina untuk masyarakat umum adalah cambuk dan rajam, sementara untuk bangsawan dan keluarganya hanyalah hukuman denda. “Hukuman di dalam Batu Bersurat jelas diambil dari hukum adat, yaitu membayar denda, yang tidak ditemukan sama sekali contoh hukuman seperti itu di dalam hukum Islam. Dengan demikian, batu itu menandakan peralihan dari hukum lama, yaitu hukum adat yang dipengaruhi Hindu-Budha ke hukum adat dan hukum Islam,” tulis Ayang. Bukti Penting Dalam Batu Bersurat terlihat jelas adanya diskriminasi dalam penerapan hukum Islam. Ayang melihatnya dalam konteks politik bahwa penerapan hukum Islam itu harus perlahan. Mungkin saat itu keluarga kerajaan baru menerapkannya untuk masyarakatnya tidak untuk kalangan bangsawan. Sebab, kalau ia diterapkan untuk kalangan bangsawan akan terjadi kekacauan di tengah kerajaan yang dapat berujung pada usaha menumbangkan kekuasaan. Batu Bersurat merupakan contoh terbaik dari sebuah hukum yang diundangkan oleh masyarakat Terengganu pada abad 14. Hukum tersebut merujuk pada dua hukum, yaitu hukum adat dan hukum Islam. “Hukum Islam tampak hanya sebagai pelengkap hukum adat dan hukum alternatif,” kata Ayang. Ayang memang tidak menemukan bukti adanya pengaruh Batu Bersurat terhadap undang-undang di Nusantara seperti Undang-Undang Malaka pada abad 15. Namun, yang ingin dia tunjukkan bahwa Batu Bersurat merupakan bukti penting penerapan hukum Islam. “Walaupun undang-undang itu pendek, namun ia merupakan contoh sangat penting untuk sejarah hukum Islam di Nusantara,” pungkas Ayang.

  • Budak Merdeka dari Hindia

    NAIKAI Florestan, demikian nama yang diberikan oleh sang penulis Joss Wibisono untuk karakter utama di dalam buku cerita pendeknya, Naikai, yang diluncurkan hari Minggu , 10 September lalu di Quaker Centrum, Amsterdam. Naikai, sebagaimana diceritakan oleh Joss, seorang budak yang berasal dari Flores dan diperdagangkan di Bali. Setelah dibeli oleh tuannya, dia dibawa ke Batavia. Kemudian si tuan beranjak tua dan semakin ringkih. Sebagai seorang trekker atau orang Belanda yang tak berniat menetap selamanya di Hindia Timur, dia harus pulang. Namun perjalanan pulang ke Eropa pada awal abad ke-19 memakan waktu berbulan-bulan. Sang tuan butuh pengawal sekaligus pelayan. Maka Naikai turut pergi dibawanya pulang ke negeri sang tuan. Menjelang ajal, sang tuan memberikan kemerdekaan padanya. Semenjak itu dia menjadi manusia bebas yang meniti karier sebagai penyanyi opera dan terkenal seantero Eropa. Tak seorang pun tahu ihwal muasal Naikai yang berasal dari Hindia. Namanya mengundang keheranan sebagian orang, karena tak satu pun orang Belanda memiliki nama sepertinya: Naikai Florestan. Bahkan ada yang mengira dia datang dari Friesland, wilayah utara Belanda tempat di sebagian warga berbahasa Belanda dengan dialek tersendiri. Joss piawai merajut cerita: mengalir berkelak-kelok. Sebagai seorang wartawan yang telah tinggal di Amsterdam selama puluhan tahun, dia hapal betul setiap sudut kota tersebut dan memindahkannya sebagai latar belakang tempat di dalam ceritanya itu. Kalau pembaca datang dari kota lain, mungkin butuh peta google untuk mencari tempat-tempat yang disebutkan olehnya. Tapi itu fiksi. Bagaimana kisah sebenarnya dari Naikai? Joss menutukan kalau Naikai adalah tokoh historis. Dia ada dan pernah hidup. Karakter Naikai dalam sosok aslinya bernama Wange Ricard van Bali. Nama Van Bali merujuk kepada Bali, tempat dia dibeli oleh tuannya. Lahir pada 1798 dan dibawa ke Belanda pada 1813. Setelah merdeka, Wange bekerja sebagai portir pada kementerian perang di Delft. Kisah Naikai hanya satu dari sekian cerita yang ditulis oleh Joss mengenai orang-orang Hindia Timur yang datang dan kemudian melewati hidupnya di negeri yang dingin ini. Dalam buku kumpulan cerita lain, Rumah Tusuk Sate di Amsterdam Selatan , Joss meriwayatkan tentang orang-orang Indonesia yang ikut melawan Nazi ketika menduduki Belanda dalam Perang Dunia Kedua. Dua tokoh sentral dalam cerita itu adalah Irwan dan Setiadji. Dikabarkan dalam ceritanya, mereka adalah dua mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda namun perang datang mendera sehingga terpaksa mereka tak bisa lagi nyaman berkuliah. Mereka pun bergabung dengan perlawanan bawah tanah, membuat pamflet-pamflet propaganda yang menggalang solidaritas menentang pendudukan Nazi. Mereka bekerja diam-diam, demi menghindari para moffen , sebutan kepada serdadu Jerman yang menguasai Belanda. Resiko tertinggi dari perlawanan itu adalah mati. Dan itulah yang terjadi kepada Irwan yang kepergok tentara Jerman dan ditembak mati ketika berusaha lari dari mereka. Ini juga fiksi. Tapi lagi-lagi fiksi yang bersandar pada kisah historis. Irwan, saya duga, adalah Irawan Soejono. Mahasiswa Universitas Leiden anak Raden Adipati Soejono, seorang Jawa yang pernah jadi menteri dalam kabinet pemerintahan Belanda di pengasingan di London saat Nazi menduduki Indonesia. Irawan tewas ditembak serdadu Nazi ketika bersepeda membawa mesin cetak stensil di Leiden, 13 Januari 1945. Namanya diabadikan sebagai jalan di Amsterdam dan beberapa lalu dinobatkan sebagai pahlawan kota Leiden. Dalam kisah satu ini Joss berhasil “menghidupkan” Irawan dan juga suasana mencekam ketika Nazi menduduki Belanda. Gambaran yang penuh ironi karena tak berapa lama setelah perang usai, Belanda mengirim serdadu-serdadunya ke Indonesia dengan alasan untuk membebaskan negeri koloni mereka dari cengkeraman fasisme Jepang. Sebagaimana mereka juga alami ketika Jerman menguasai negeri mereka. Dari ini benang merah sejarah bisa direntangkan. Menarik hubungan nasib satu negeri dengan negeri lainnya dalam situasi yang rumit. Belanda pernah menjajah, juga pernah dijajah. Indonesia pernah dijajah, tapi pula pernah menduduki Timor Leste dengan segala macam alasan di baliknya. Masing-masing, dengan itikadnya dan caranya masing, ingin terbebas dari beban masa lalunya. Baru-baru ini bahkan pemerintah Belanda menggelontorkan 4,1 juta euro untuk menyokong penelitian sejarah mengungkap periode dekolonisasi. Ada banyak kontroversi. Mungkin bagi orang Belanda periode itu penuh oleh memori kelam yang belum sepenuhnya terungkap, sebagaimana juga orang Indonesia memandang peristiwa genosida politik 1965-1966.

  • Gereja Belanda Kutuk Tentara Belanda

    PADA 19 Februari 1949, Tentara Kerajaan Belanda masuk ke Desa Peniwen, Kecamatan Kromengan, Malang, Jawa Timur, yang mayoritas masyarakatnya beragama Kristen Protestan. Mereka terperangkap oleh tembakan mitraliur dan tekidanto (mortir Jepang) dari pasukan KCKS (Kesatuan Comando Kawi Selatan) yang dipimpin Letkol J.F. Warrouw. Mereka kehilangan lebih dari 12 orang. “Karena sangat marah, mereka mengambil 12 pasien yang dirawat di rumah sakit kecil di desa Peniwen. Kedua belas pasien yang semuanya sipil orang sipil itu dijajar di tembok Rumah Sakit dan semuanya ditembak mati,” kata Hario Kecik dalam Pemikiran Militer 2: Sepanjang Masa Bangsa Indonesia . Saat itu, Hario Kecik yang bernama asli Soehario K. Padmodiwirio berpangkat mayor dan menjabat Kepala Staf Security KCKS. Wim Banu, saksi hidup yang saat itu berusia 14 tahun, mengatakan bahwa Rumah Sakit Panti Husodo itu menempati bangunan Sekolah Rakyat sejak 1947. Ayahnya pernah mengajar di sekolah itu yang terletak di seberang rumahnya. “Dikira Belanda, rumah sakit itu markas tentara Republik. Kira-kira Sabtu sore, jam 3-4, mereka datang dan perintahkan semua orang keluar. Dikumpulkan di halaman depan dan saya dengar jelas, ada suara tembakan satu per satu,” ujar Wim Banu kepada Historia . Sebanyak 12 anggota Palang Merah Remaja (PMR) dan lima pasien rakyat sipil ditembak mati tentara Belanda. Dua di antaranya adalah kakak kandung Wim Banu, Suyono Inswihardjo dan iparnya, Slamet Ponidjo. Pada monumen peringatan Peniwen Affairs nama-nama korban disebutkan: “ Telah gugur di sini para pahlawan remaja PMI : Matsaid, Slamet Ponidjo, Suyono Inswihardjo, Sugiyanto, JW Paindono, Roby Andris, Wiyarno, Kodori, Said, Sowan, Nakrowi, Soedono. Rakyat yang gugur : Wagimo, Rantiman, Twiandoyo, Sriadji, Pak Kemis.” Henri Beer, Sekjen Liga Palang Merah Internasional, mengunjungi Monumen Peniwen. (Majalah Komunikasi No. 55 Tahun VII Agustus 1986). Menurut Wim sebenarnya korban rakyat enam orang. “Ada satu warga lainnya yang ditembak begitu saja oleh tentara Belanda. Jadi jumlahnya enam yang dikuburkan bersama-sama,” kata Wim. Setelah membantai, tentara Belanda kemudian beristirahat di rumah orang tua Wim Banu. “Tentara Belanda datangi rumah saya. Sebentar bicara dengan ayah saya yang memang bisa berbahasa Belanda. Masih ingat betul saya. Sempat disuruh-suruh dengan teriakan cari kayu bakar buat mereka masak,” kata Wim yang kini berusia 82 tahun. Keesokan harinya, serdadu Belanda itu angkat kaki dari Desa Peniwen. Tidak hanya membantai anggora PMR dan rakyat sipil, mereka juga merampok keperluan medis dan melakukan pemerkosaan. “Seluruh persediaan obat-obatan yang tersedia dibawa pergi. Segala macam perabotan poliklinik dirusak dan dibakar habis. Tiga wanita anggota gereja diperkosa, sedangkan para suami dan tunangan korban ditembak mati di tempat,” tulis Julius Pour dalam Doorstoot naar Djokja: Pertikaian Pemimpin Sipil-Militer. Rumah sakit itu milik zending dari Kristen Protestan. Pendetanya melaporkan kejadian keji itu ke Misi Gereja Pembaharuan di Malang yang meneruskannya ke pembesar mereka di Oestgeest, Belanda, dengan tembusan ke pimpinan KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) di Jakarta, Komisi Tiga Negara bentukan PBB, dan Dewan Gereja Dunia di Swiss. “Tidak lama kemudian berita itu disiarkan oleh suratkabar di Malang dan Surabaya, malahan ada yang disiarkan suratkabar di luar negeri, Amerika dan Inggris sebagai ‘Skandal Pembunuhan Peniwen’ besar yang dilakukan oleh tentara Belanda usai Perang Dunia II,” kata Hario Kecik. Menurut Julius Pour, dampak laporan itu bagai bola salju. Laporannya tambah bermakna karena bukan sebuah berita desas-desus yang dikutip wartawan dari sumber tidak jelas. Melainkan datang dari sebuah laporan resmi pimpinan tertinggi Gereja Pembaharuan Belanda. “Sehingga disimpulkan, jika kepada saudara-saudara seiman saja tentara Belanda tega memperkosa dan melakukan pembunuhan, tidak bisa dibayangkan bagaimana tindakan mereka kepada orang lain,” tulis Julius Pour. Pimpinan Tentara Kerajaan (KL) meminta maaf dan mengirim tim penyelidik, sekaligus berjanji akan menghukum mereka yang terbukti bersalah, dan memastikan kejadian itu tidak akan terulang lagi. Akan tetapi, permintaan maaf secara resmi dari Belanda baru datang pada 2011 berbarengan dengan permintaan maaf terhadap tragedi pembantaian Rawagede. Palang Merah Belanda menyampaikan surat permintaan maaf pada 5 April 2016, setahun setelah Jaap Timmer, perwakilan Palang Merah Belanda menemui Wim Banu. Isinya permintaan maaf secara resmi yang bersifat pribadi kepada keluarga Wim Banu yang keluarganya menjadi korban, serta pernyataan bahwa mereka akan bekerja sama dengan Palang Merah Indonesia cabang Kabupaten Malang untuk memugar monumen pembantaian di Peniwen.*

bottom of page