top of page

Hasil pencarian

9588 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Solidaritas untuk Massa Aksi

    SEMASA demonstrasi massif menolak RKUHP beberapa waktu lalu, Ananda Badudu menggalang solidaritas dengan membuka donasi lewat akun Twitter -nya. Dana yang terkumpul kemudian ia gunakan untuk keperluan medis dan logistik mahasiswa yang berdemo di depan DPR pada 23 dan 24 September 2019. Demonstrasi oleh mahasiswa di Jakarta. (Foto : Fernando Randy/Historia) Maka begitu mendapat laporan lewat Twitter bahwa ada mahasiswa yang kekurangan air, ia langsung mengirimkan air tak berapa lama kemudian. Begitu pula bila ada mahasiswa yang tumbang karena terus ditembaki gas air mata oleh polisi, Ananda akan langsung mengirimkan tim medis. Namun, aksi kemanusiaan itu hanya berlangsung beberapa hari. Pada 27 September dini hari, Ananda ditangkap polisi di rumahnya. Penangkapan itu memicu protes dari masyarakat. Ananda dibebaskan pada sore harinya dengan status saksi. Selain Ananda, para ibu pedagang minuman dan pedagang buah di Jalan Colombo Yogyakarta pun tak ingin ketinggalan membantu aksi. Mereka membagikan sebagian dagangan mereka pada para pendemo. Upaya penggalangan solidaritas untuk gerakan massa juga terjadi pada demonstrasi mahasiswa 1998. Sejumlah ibu bahu-membahu menyediakan nasi bungkus untuk para mahasiswa yang sedang menduduki DPR. Suara Ibu Peduli (SIP) menjadi salah satu gerakan dari para perempuan aktivis. Dalam artikelnya “Politik Representasi Suara Ibu Peduli”, inisiator SIP Gadis Arivia menyebutkan, sebelum membantu logistik mahasiswa pendemo, SIP lebih dulu membuka bazar susu murah. Penjualan susu dan penggalangan dana dari masyarakat untuk aksi mahasiswa itu berhasil mengumpulkan dana lebih dari satu miliar rupiah. Dengan dana itu, para ibu menyalurkan 70.576 nasi bungkus yang mayoritas merupakan nasi padang yang dibeli dari warung di hampir seluruh Jakarta. Selain nasi, mereka menyalurkan pula 1.947 kardus air mineral, 2.811 kardus snack, dan ribuan buah. Jumlah tersebut belum termasuk sumbangan masyarakat berupa bahan makanan seperti telur dan ayam hidup. Selain menyiapkan logistik, SIP juga memberi sumbangan pada newsletter mahasiswa Bergerak dan kaos dengan tulisan “Reformasi Total”. Solidaritas untuk mengirim logistik ke massa aksi juga dilakukan para ibu rumah tangga. Aksi solidaritas ini bisa berjalan berkat hubungan baik yang sudah terjalin ketika rush sembako pada krisis moneter 1997. Kala itu, Tim Relawan Kemanusiaan (TRK) yang terdiri dari berbagai LSM, salah satunya Kalyanamitra, membentuk koperasi sembako. “Lokasi koperasinya di Kalyanamitra, di Rawa Jati, Kalibat. Tapi itu pekerjaan kolektif dari berbagai organisasi,” kata Ruth Indiah Rahayu yang kala itu tergabung dalam Kalyanamitra, kepada Historia . Dengan memotong jalur distribusi yang panjang, semisal membeli beras langsung ke petani, TRK berhasil menyediakan sembako ke masyarakat dengan harga jauh lebih murah. Harga beras di pasaran saat itu berkisar 2000-2500 rupiah per kilogram . Sementara di koperasi harnya 1000 rupiah per kilogram. Agar penjualan sembako murah tidak salah sasaran, TRK meminta bantuan pada para RT untuk mendata keluarga miskin kota yang tidak mampu membeli sembako. Mereka yang tersaring kemudian diberi kartu. Tiap minggu, antrian koperasi dibuka. “Wah ya orang antri untuk jadi anggota koperasi. Waktu itu yang didata ialah nama ibu, bukan nama bapak,” kata Ruth. Ruth menjelaskan lebih jauh dalam artikelnya “The Women’s Movement in Reformasi Indonesia”, pembuatan koperasi bukan berarti mendomestifikasi perempuan. Sesuatu yang domestik ketika dijadikan gerakan politik justru akan menjadi politis. Ruth menyebutnya politik logistik. Pilihan TRK untuk mendaftar perwakilan tiap keluarga dengan nama ibu pun karena alasan politis. Dari kegiatan koperasi sembako TRK inilah uang untuk membiayai kegiatan dapur umum di didapat. Lebih jauh, Kalyanamitra jadi punya kedekatan dengan ibu-ibu di kampung sekitar. Para ibu dari keluarga miskin-kota-anggota-koperasi inilah yang bekerja di dapur umum Kalyanamitra pada demonstrasi 1998. “Para ibu ini bukan aktivis. Itu aksi kolektif politik para ibu,” sambung Ruth. Nasi bungkus untuk mahasiswa-demonstran dikirim tiga kali sehari. Bahan mentahnya, seperti beras, diambil dari barang-barang koperasi. Makanan ini diolah secara bergantian oleh ibu-ibu di kampung sekitar Kalyanamitra. Tugas memasak dibagi menjadi tiga shift: pagi, siang, dan sore. Ada yang berbelanja kebutuhan seperti kertas nasi dan minuman kemasan, ada juga yang bertugas  mengantarkan makanan ke DPR dan membagikannya. Politik ibuisme yang dijalankan Soeharto membuat para ibu itu aman ketika mengirimkan makanan ke para mahasiswa pendemo. Sumbangan obat-obatan juga diberikan untuk mahasiswa yang tumbang. “Makin hari yang daftar mau ikut masak makin banyak. Mereka ingin memberikan kontribusi politik dalam perubahan,” kata Ruth.

  • Cinta Amangkurat I

    CINTA Amangkurat I kepada perempuan satu ini begitu dalam. Pesonanya  yang memikat hingga menyebabkan Amangkurat I rela melakukan berbagai cara demi memperistrinya. Kisah keduanya bahkan terlukiskan dalam berbagai narasi tradisional dan sumber-sumber Belanda. J.J. Meinsma dalam Babad Tanah Jawi: Javaanse Rijskroniek menyebut pertemuan pertama raja dengan perempuan pujaannya itu terjadi saat ia mengeluarkan titah mencari seorang perempuan untuk diperistri. Amangkurat I lalu diperkenalkan oleh Pangeran Blitar dengan putri Ki Wayah, seorang dalang wayang gedog terkemuka. Parasnya yang amat cantik langsung memikat hati sang raja. Ia pun segera mempersiapkan segala keperluan untuk mempersuntingnya. Namun sayang perempuan ini telah menikah dengan Kiai Dalem (Ki Dalang Panjang Mas), yang berprofesi sama dengan ayahnya. Ia pun sedang mengandung dua bulan dari hasil pernikahannya itu. Meski demikian, Amangkurat I tetap bersikukuh memboyong perempuan tersebut ke istana. Raja lalu memberikan gelar “Ratu Wetan” kepadanya. Ratu baru ini disebut-sebut merusak rumah tangga di kerajaan. Peneliti HJ De Graaf dalam Runtuhnya Istana Mataram menyebut meski tidak membuat raja melupakan istrinya yang lain, perhatiannya jadi lebih banyak dialihkan kepada istri barunya ini. “Itulah sebabnya ia disebut orang Ratu Malang (yaitu yang melintang di jalan)”. Sekitar tahun 1649, putra Ratu Malang dari pernikahan sebelumnya lahir. Meski bayi itu darah daging Kiai Dalem, Amangkurat I tidak sedikitpun kehilangan cintanya. Setelah kelahiran putra tirinya, demi menghindari masalah  yang tidak diinginkan, raja mengeluarkan perintah untuk membunuh Kiai Dalem. Di dalam teks Babad Tanah Jawi , saat akan memperistri Ratu Malang, Amangkurat I disebut secara paksa merebut perempuan itu dari tangan suaminya. Maka tidak heran jika ia ingin melenyapkan pria yang sangat dicintai istrinya itu. Namun menurut catatan pemerintah Belanda, Daghregister 1677, yang didapat dari penuturan salah seorang pengawal istana, Kiai Dalem tidak meninggal karena dibunuh Amangkurat I melainkan meninggal secara wajar. Kemudian setelah menjadi janda, wanita itupun dipersunting oleh raja. De Graaf meragukan pernyataan yang kedua ini. Menurutnya Amangkurat I telah melakukan dosa yang terlalu banyak, sehingga cara pertama bukanlah sesuatu yang mengherankan. “Karena perbuatan jahat Sunan Mangkurat memang sudah terlalu banyak, maka tidak ada gunanya lebih mementingkan cerita tutur yang belakangan daripada berita pejabat istana yang lebih dahulu dan selayaknya lebih dapat dipercaya,” tulis De Graaf. Mengetahui Kiai Dalem tewas dibunuh Amangkurat I, Ratu Malang menangis siang dan malam. Ia sangat meratapi kematian pria yang pernah jadi suaminya itu. Ia pun lalu jatuh sakit dan meninggal tidak lama kemudian. Namun raja melihat ada kejanggalan dalam kematiannya. Karena sebelum meninggal sang ratu mengeluarkan banyak cairan dari dalam tubuhnya, seperti gejala keracunan. Amangkurat I yang murka segera menyeret dayang-dayang dan pelayan istana yang selama beberapa waktu dekat dengan Ratu Malang. Ia curiga ada orang yang sengaja membunuh ratunya itu karena raja mulai mempertimbangkan untuk memberikan takhta kepada putra Ratu Malang yang bahkan bukan darah dagingnya. “Dapat dimengerti bahwa Sunan curiga ketika istrinya meninggal dengan memperlihatkan gejala-gejala aneh. Ia menjadi risau sendiri terhadap hal-hal remeh. Andai kata peracunan yang menjadi penyebab maka si pelaku tentunya harus dicari di kalangan terdekat si korban, yaitu para dayang yang pernah sekali berkomplot dengan Putra Mahkota pembangkan itu (Pangeran Dipati) untuk melawan raja,” ucap De Graaf. Akibat kecurigaan itu, Amangkurat I mulai berlaku liar. Thomas Stanford Raffles dalam karya fenomenalnya History of Java menggambarkan bagaimana raja amat marah kepada dayang-dayangnya. “… raja mengurung 60 orang dayang-dayang istrinya di dalam sebuah kamar gelap dan tidak diberi makan sampai mereka mati semua”. Kematian Ratu Malang menjadi pukulan yang amat berat bagi Amangkurat I. Dalam laporan pejabat Belanda, raja sampai tidak bisa menjalankan pemerintahannya dengan baik hingga 4-5 tahun setelahnya. Bahkan saat pejabat tinggi negeri Belanda berkunjung ke Mataram, Amangkurat I tidak hadir menyambut utusan itu. Sambil menjelaskan keadaannya, para menteri kerajaan sementara menggantikan tugas-tugas sang raja. Jenazah sang ratu dibawa ke Gunung Kelir untuk dipusarakan. Dalam bukunya, De Graaf menyebut kalau selama beberapa hari liang lahat Ratu Malang tidak ditutup atas permintaan raja. Siang dan malam sambil membawa serta putranya, Amangkurat I diam di dekat makam itu meratapi tubuh perempuan pujaannya yang telah terbujur kaku. Kepergian raja menimbulkan kekacauan di keraton. Keluarga dan pejabat kerajaan terus berusaha membujuknya agar kembali pulang. “Suatu malam Sunan mendengar dalam mimpinya bahwa Ratu Malang telah menemani kembali suaminya, Kiai Dalem. Setelah terbangun, dilihatnya jenazah Ratu Malang sudah tidak berbentuk manusia lagi. Setelah itu ia kembali ke keraton dan dengan marah diperintahkannya agar menutup liang lahat. Setelah itu suasana kembali tenang,” tulis De Graaf. Menteri negeri Belanda Francois Valentijn juga sampai membuat sebuah tulisan, dalam Oud en Nieuw Oost-Indien , yang menggambarkan keadaan Amangkurat I pasca ditinggalkan Ratu Malang. “Ketika wanita itu pada suatu waktu meninggal, Sunan menjadi sedemikian sedihnya sehingga ia mengabaikan masalah kerajaan. Setelah pemakaman istirnya, diam-diam ia kembali ke makam tanpa diketahui seorang pun. Begitu kasihnya kepada wanita itu sehingga ia tidak dapat menahan diri, dan turut mebaringkan dirinya di dalam kuburan”.

  • Ragam Keluhan Rakyat Bali Kuno Pada Penguasa

    Rakyat mengadu pada penguasa sudah biasa dilakukan sejak era kerajaan- kerajaan kuno di Nusantara. Keluhan mereka tercatat dalam prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh para raja. Misalnya, masyarakat Bali Kuno pada abad ke-10 hingga ke-11 di bawah penguasa Paduka Haji Sri Dharmmodaya Warmmadewa (1011) hingga para penggantinya : Sang Ratu Sri Sang Ajnadewi (1016), Paduka Haji Sri Dharmmawangsa Wardhana Marakatapangkajasatanottunggadewa (1022-1026), dan Paduka Haji Anak Wungsu (1050-1078). I Wayan Ardika, Guru Besar Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, dalam tulisannya “Pengambilan Keputusan Raja-Raja Bali Abad X-XI”,di PIA III , menyebutkan bahwa paling tidak ada 19 prasasti yang memuat berbagai kasus di dalam masyarakat Bali Kuno. Berikut ini kasus-kasus itu: Pengukuhan kembali prasasti Kasus permintaan masyarakat untuk mengukuhkan kembali prasasti paling dominandi antara 19 prasasti. Sembilan prasasti di antaranyamencatat aduan masyarakat yang berharap agar prasasti di desanya dituliskan kembali di atas tembaga. Sebagian besar terjadi pada masa pemerintahan Raja Anak Wungsu, terutama berkenaan dengan prasasti yang merupakan anugerah dari raja-raja sebelumnya. Contoh kasusnya dalam Prasasti Batunya A II di sebutkan penduduk Baturan menghadap raja untuk memohon dengan hormat agar isi dan ketentuan yang termuat dalam prasasti anug e rah raja yang dicandikan di Banu Madatu dikukuhkan kembali. Mereka meminta agar terkait kewajiban yang harus dipenuhi dan yang telah dibebaskan dituliskan pada tembaga. “Kabur dan rusaknya daun lontar yang memuat hak dan kewajiban penduduk rupanya sering menjadi penyebab timbulnya konflik dalam masyarakat,” tulis Ardika. Sebagaimana muncul dalam Prasasti Kintamani E dari 1122 Saka (1200). Dikisahkan penduduk Cintamani memohon dengan hormat agar prasastinya dituliskan pada tembaga karena prasasti daun lontarnya sudah rusak. Rusaknya prasasti daun lontar yang memuat hak dan kewajiban penduduk berpotensi disalahgunakan. “ Mungkin para petugas pemungut pajak sengaja melanggar ketentuan yang telah ditetapkan sebelumnya,” tulis Ardika. Seperti muncul dalam sebuah prasasti dari masa Raja Anak Wungsu. Ardika menjelaskan, para pekerja di daerah perburuan pada masa pemerintahan Raja Udayana telah diberi keringanan pajak,dari 9 suwarna mas (emas) menjadi 7 suwarna 7 masaka. Rupanya ketentuan itu dilanggar oleh pejabat kerajaan pada masa Raja Anak Wungsu. Akibatnya rakyat mengadukannyapada raja. Keringanan pajak Kasus menonjol lainnya adalah beratnya beban pajak. Prasasti Air Hawang (1011) memberitakan beratnya beban pajak tangkalik, laki langkah , kerja bakti, haywahaywan membuat penduduk meninggalkan desanya. Ardika menjelaskan bahwa tangkalik adalah kuda , ternak yang penting bagi masyarakat Bali Kuno. Ia dikenai pajak khusus karena mungkin dijadikan alat transportasi. Laku langkah kemungkinan adalah pajak perjalanan. Sedangkan haywahaywan semacam pajak atau kewajiban yang harus diserahkan oleh penduduk kepada pemerintah. Kasus serupa ditemukan dalam prasasti dari masa Sang Ratu Sri Sang Ajnadewi. Disebutkan ada yang datang mengadu pada sang ratu kalau penduduk desanya tercerai berai, pergi ke desa lain . Akibatnya, dari 300 kepala keluarga tersisa 50 kepala keluarga. “Demikianlah karena mereka tidak mampu membayar pajak sepenuhnya, dan juga karena banyak kerjabakti dan segala macamnya, itulah yang menyebabkan mereka semua merasa keberatan,” catat prasasti itu. Kala itu pajak tak dikenakan per kepala keluarga tapi dibebankan per desa atau per unit teritorial. Karenanya makin sedikit orang yang bermukin di suatu desa, makin berat beban pajaknya. Membeli tanah milik raja Adapula kasus penduduk yang berharap bisa membeli hutan perburuan milik raja. Misalnya dalam prasasti Bwahan B (1025) dari masa Raja Marakata. Hutan perburuan milik raja yang ingin dibeli masyarakat letaknya dekat dengan desa mereka. Hutan itu dibeli seharga 10 suwarna mas dan pilih mas -nya 10 masaka. Dalam prasasti itu dijelaskan alasan penduduk membeli hutan raja karena mereka kekurangan lahanuntuk mencari makan bagi sapi mereka dan mengambil kayu. “Meningkatnya kebutuhan manusia akan sumber-sumber alam adalah satu sebab timbulnya keresahan dalam masyarakat,” tulis Ardika. Memisahkan diri dari desa lain Ada lagi kasus pemisahan desa yang tercatat beberapa kali dalam prasasti. Misalnya, pada masa pemerintahan Paduka Bhatara Guru/Paduka Sri Mahaguru (1324). Disebutkan Desa Campaga senantiasa diganggu oleh Desa Tumpuhyang. Mereka dirampok, rumah mereka dibakar, ternaknya ditawan oleh orang-orang Tumpuhyang. Raja yang mengetahui hal itu akhirnya memisahkan kedua desa. Masing-masing diberi sebuah prasasti yang memuat hak dan kewajiban mereka. Kasus lain pemisahan desa atas permintaan penduduk. Masyarakat di daerah pinggiran Danau Batar, yaitu Desa Bwahan, berharap menjadi desa yang berdiri sendiri, tak menyatu dengan Desa Kdisan. Cerita itu muncul dalam Prasasti Bwahan C (1146). Namun, tak diketahui dengan pasti mengapa Desa Bwahan ingin berpisah dengan Desa Kdusan. Ingin dan tak ingin menjadi pemuja bangunan suci Permohonan rakyat kepada penguasa juga termasuk hal yang berkaitan dengan kepercayaan. Misalnya, dalam Prasasti Dawan yang dikeluarkan oleh Raja Anak Wungsu pada 1053. Disebutkan penduduk Desa Lutungan menghadap raja untuk menyerahkan diri menjadi pemuja Bhatara di Antakunjarapada dan menjadi pemelihara bangunan suci di sana. Sebaliknya, ada masyarakat yang memohon kepada raja agar diizinkan berhenti memuja Bhatara Mandul di Sukhawana. Permohonan yang dicatat dalam prasasti masa Anak Wungsu pada 1061 itu , diajukan oleh penduduk Pacanigayan. “Mungkin karena beratnya pajak yang harus mereka bayar, atau mungkin didasari fanatisme daerah, mereka tak perlu memuja Bhatara Mandul yang ada di Desa Sukhawana karena di desanya sendiri telah ada Bhatara Bukit Humintang,” tulis Ardika. Raja menanggapi berbagai permohonan dan aduan dari rakyat nya . Prasasti membuktikan kalau raja senantiasa memperhatikan aduan masyarakat nya . Pun dari semua permohonan itu, raja-raja Bali Kuno rupanya tak bersikap sewenang-wenang. Mereka memusyawarahkannya dengan para pejabat tinggi kerajaan dan penasihatnya. Keputusan raja akan dianggap sah kalau telah didiskusikan dengan para pejabat tinggi lainnya. Bahkan dalam Prasasti Batur Pura Abang A dari masa Raja Udayana (1011) ditunjukkan bahwa sebelum keputusan diambil, pemerintah melakukan pengecekan ke lapangan. “Karena itu perintah beliau agar memusyawarahkan dengan sang Senapati ser dan pemimpin di pakirakiran I jro terutama para pendeta Siwa dan Buddha… Kemudian beliau saling membantah tentang apa yang dipercayainya, hendak melihat penduduk di desanya,” catat prasasti itu.

  • Jejak Kaum Intelektual Era Kesultanan Aceh

    SEJAK awal abad ke-15, pelabuhan-pelabuhan di utara Sumatera telah menjadi pusat pertukaran kebudayaan dari seluruh dunia. Situasi tersebut merupakan imbas langsung semakin terbukanya jaringan dagang internasional kala itu. Keterbukaan itu pun  dimanfaatkan secara baik oleh masyarakat Aceh untuk menyerap pengetahuan seluas-luasnya dan menerapkan nilai-nilai baru yang positif di negerinya. Karena keuletan orang-orang Aceh itu, sejak era Kesultanan Samudera Pasai, Aceh banyak melahirkan kaum ulama. Kepandaian mereka pun terkenal di kalangan negeri-negeri Melayu. Seorang ahli budaya Melayu Richard Olaf Winstedt pernah menulis di dalam penelitiannya, A History of Malaya , tentang seorang alim dari Pasai yang diberi hadiah emas dan budak perempuan muda berkat pengetahuan yang dimilikinya. Saat itu Sultan Malaka Mansur Syah (wafat 1477) mengirim seorang utusan ke Pasai untuk mencari jawaban atas keresahan yang sedang dihadapinya. Sambil membawa beberapa peti hadiah, si utusan menyerahkan sepucuk surat dari Sultan kepada seorang alim Pasai. Surat itu berisi pertanyaan: ‘apakah sekali orang masuk neraka atau surga, ia harus tinggal di sana untuk selama-lamanya?’ Sang alim awalnya menjawab, berdasarkan dalil al-Qur’an, bahwa manusia akan tinggal di sana selamanya. Namun itu kemudian diralat karena menurut salah seorang muridnya, Sultan Mansur Syah tidak akan puas dengan jawaban tersebut. “Panggilah utusan itu dan terangkan kepadanya bahwa anda tadi tidak dapat memberikan keterangan esoteris di depan umum, tetapi bahwa secara tersendiri bisa”. Setelah melakukannya sang alim pun pulang dengan membawa emas dan budak-budak yang dijanjikan Sultan. Kemunculan Kaum Bidah Kepandaian orang-orang Pasai memang telah diakui oleh negeri-negeri di sekitarnya. Pengetahuan dan budaya di sana masuk melalui jalur perdagangan. Namun bagi masyarakat, keberadaan pengetahuan asing itu memberikan dampak yang terlampau besar. Banyak alim yang mulai mencampurkannya dengan kehidupan sehari-hari, bahkan keyakinan mereka. Sejarawan Denys Lombard dalam Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) menjelaskan bahwa pada abad ke-16 wilayah Sumatera mulai dipenuhi orang-orang pandai yang terpengaruh oleh pemikiran India dan Neo-Platonisme, yang juga berkembang di banyak tempat suci keagamaan seperti Hindustan. Dalam literatur Barat, mereka disebut sebagai  ‘kaum bidah’. Kaum ini  menganggap segala perbedaan antara Tuhan dan makhluknya harus dihilangkan. Sehingga bagi mereka kewajiban manusia bukan lagi menjalankan sembahyang setiap hari –lima waktu dalam Islam– tetapi lebih mendalami rasa di balik keberadaan manusia, dunia, dan Tuhan sebagai penciptanya. Lombard mencatat ada dua tokoh yang sedikit banyaknya telah membawa pengaruh yang cukup besar terhadap pemikiran Barat di Sumatera. Mereka adalah Faḍl Allāh al-Burhānpūrī dari Burhānpūr (India) dan Ahmad Kushāshi yang mengajar di Madinah. Nama keduanya disebut dalam banyak literatur tentang Sumatera karya peneliti-peneliti Barat. Satu di antaranya dapat dijumpai dalam Orang Aceh: Budaya, Masyarakat, dan Politik Kolonial karya C. Snouck Hurgronje. “Di samping pengaruh-pengaruh ini, sebenarnya perlu ditetapkan bagian mana dari pemikiran itu merupakan sumbangan yang orisinal,” tulis Lombard. Melahirkan Pemikir Besar Orang Sumatra pertama yang diketahui terpengaruh asing dan menyebarkan pemikiran-pemikirannya adalah Hamzah Fansuri dari Barus. Ia mengarang sebuah uraian pendek, Asraru’l-arifin fi bayan ‘ilm al-suluk wa’l-tawhid ,  tentang inti sifat-sifat dan karya-karya Tuhan menurut teologi Islam. Tulisan Hamzah Fansuri disebut turut mempengaruhi pemikiran ulama besar Aceh Syamsuddin As-Sumatrani (Syams ud-Din). Sebagai alim penting Kesultanan Aceh, pemikiran Syamsuddin turut mempengaruhi perkembangan teologi di Aceh. Dalam Hikayat Aceh: Kisah Kepahlawanan Sultan Iskandar Muda , Teuku Iskandar menggambarkan Syamsuddin sebagai pemimpin rohani rakyat. Dialah yang memimpin banyak upacara keagamaan di Kesultanan Aceh, termasuk menerima laporan dari peziarah yang baru kembali dari Mekkah. Syamsuddin mengasihlkan banyak karya fenomenal yang banyak dibaca di negeri-negeri Melayu. Beberapa di antaranya, meski bukan hasil karyanya, mencerminkan pengaruh dari pemikirannya. Karya yang paling terkenal ialah Mirat al-Muminin (Cermin Kaum Beriman), berbentuk tanya jawab yang dikarang pada awal abad ke-17. “Persoalan yang agaknya paling ditekuni pemikir tersebut ialah kehidupan yang sekaligus dipahami sebagai keanekaragaman dan dirasakan sebagai kesatuan,” ucap Lombard. Dalam kesehariannya, Syamsuddin lebih menekankan pada ajaran zikir dan tauhid. Ia meyakini bahwa setiap orang harus memiliki seorang guru rohaniah untuk diikuti dan menyerap segala ajarannya. Akan tetapi setelah kematian Syamsuddin, mulai bermunculan pemikir-pemikir yang menentang ajarannya tersebut. Satu di antaranya Nuruddin al-Raniri, pengarang Bustan us-Salatin , yang diperintahkan oleh Sultan Iskandar Thani membuat karya tandingan agar rakyat Aceh kembali ke ajaran tradisional dan terlepas dari belenggu Barat. “Semua karyanya ditulis terdorong oleh keinginan memberantas gagasan-gagasan Hamzah dan Syam ud-Din, dan terutama paham mereka mengenai kesatuan,” tulis Lombard. Salah satu karya terbesar Nuruddin adalah Siratal Mustakim , yang ditulis dalam bahasa Melayu dan  menjadi salah satu sastra Melayu yang paling banyak dibaca di Nusantara. Bahkan dalam Hikayat Merong Mahawangsa disebutkan Siratal Mustakim telah dibaca hingga ke negeri Kedah, Malaysia. Memasuki pertengahan abad ke-17 Aceh kembali melahirkan seorang pemikir besar. Ia adalah Abdurrauf as-Singkili (Abd al-Rauf al-Sinkili). Di dalam karyanya, ‘Umdat al-Muhtajin , Abdurrauf mengatakan bahwa ia pergi menuntut ilmu hingga ke Madinah, Mekkah, dan Jiddah. Ia mengaku diajari oleh 15 orang guru, 27 orang pandit, dan 15 orang Sufi. Meski bagi pandangan sebagian pemikir, Abdurrauf telah banyak dipengaruhi pemikiran Barat, seperti Hamzah Fansuri dan Syamsuddin tetapi ia lebih dapat diterima oleh para alim ulama Aceh. Bahkan ajarannya banyak yang bertentangan dengan para pendahulunya tersebut. Para pemikir Aceh menyebarkan ajarannya tidak hanya di Sumatra dan negeri-negeri Melayu. Hingga akhir abad ke-17 telah banyak alim ulama Aceh yang berkhotbah hingga ke Makassar dan Siam. Hal itu menjadi bukti kemajuan pengetahuan di negeri Aceh. “Meskipun Aceh sudah jelas hampir langsung dipengaruhi oleh perdebatan pemikiran di Barat dalam abad-abad ke-16 dan ke-17, namun perlu dikemukakan pula pengaruh guru-guru Aceh ke timur supaya peranannya sebagai perantara dapat dihargai selayaknya,” tulis Lombard.

  • Salam Olahraga! Apa Kabar Ary Sudarsono?

    KENDATI usianya nyaris kepala tujuh, sosok presenter olahraga populer RCTI era 1990-an itu bicaranya masih lugas. Terlebih jika membicarakan bola basket, olahraga yang mengorbitkan namanya, dia jadi berapi-api. Lama menghilang dari sorotan publik, Ary Sudarsono, pria tadi, berkenan menerima Historia di sebuah kedai teh tarik Aceh di Bintaro, Tangerang Selatan. Mengenakan pakaian serba hitam plus peci berwarna sama, Ary bicara banyak soal dunia basket dan kiprahnya di dalamnya. “Basket memang sudah dari SD, jadi enggak mungkin saya lupain,” ujarnya. Menurutnya, dia masih ingin mendarmabaktikan hidupnya buat basket kendati usianya tak lagi muda. Bakti itu dia wujudkan dengan menggagas Liga Bocah Indonesia (LBI). Untuk mewujudkan kompetisi basket setingkat Sekolah Dasar (SD) itu, Ary menggandeng institusi-institusi pendidikan. Ide itu, kata Ary, terinspirasi dari kebijakan Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy yang menetapkan olahraga kompetitif dimasukkan ke dalam kurikulum wajib sebagai bentuk dukungan institusi pendidikan. “Jadi program gue di LBI itu student athlete , kayak Kennedy dulu. Harus ada kerjasama dengan sekolah-sekolah. Agar si murid bisa jago olahraga tapi rapor juga enggak jelek. Itu sejak 2017, tapi sampai sekarang belum terwujud. Saya sudah coba sampaikan ke Erick (Thohir, Dewan Kehormatan PP Perbasi) tapi enggak didukung,” sambungnya. Antara Basket dan Sepakbola Kendati cinta basket, beragam olahraga pernah Ary jajal. “Olahraga itu sebenarnya hobi keluarga. Bapak gue sempat jadi Ketua PASI (Persatuan Atletik Seluruh Indonesia) dan KONI (Komite Olahraga Nasional Indonesia) Jakarta Pusat. Bapak, sebagaimana ibu, juga mantan atlet korfball,” kata Ary. Ary lahir dari pasangan Sudarsono Brotomidjojo dan Tini Ambar Suarti di Jakarta, 20 Juli 1951. Ia anak sulung dari tujuh bersaudara. Sebagai anak pengurus olahraga, Ary ingin pula jadi atlet. Skill basketnya pun terus dia asah hingga di kemudian hari Ary berhasil masuk timnas basket Perbasi sebagai point guard . Di masa senjanya Ary Sudarsono masih berusaha mendarmabaktikan diri di basket nasional (Foto: Fernando Randy/HISTORIA) Semasa SMA, Ary punya tiga pilihan cabang olahraga untuk masa depannya: basket, sepakbola, dan judo. Namun, pada akhirnya Ary memilih basket lantaran itu olahraga pertama yang membuatnya ingin berkiprah di jalur olahraga meski belum tentu bisa menunjang masa depannya. Ary akhirnya berhasil menjadi anggota timnas basket. Di liga, Ary merupakan pemain klub Indonesia Indonesia Muda (IM). Saat sudah mantap di basket dengan rutinnya mengikuti latihan IM itulah Ary digoyahkan pendiriannya. Ajakan berkecimpung di sepakbola mendatanginya. Adalah pelatih legendaris Endang Witarsa yang mengajaknya. “Waktu SMA saya dilihat oleh Endang Witarsa. Dia ajak saya jadi kiper. Dia juga yang melatih saya. Saya tanya, kenapa saya jadi kiper? Kata dia, tangkapan saya bagus. Posisi badan juga bagus, nangkep bolanya bener. Toh karena saya juga pemain basket, kan,” ujar Ary berkisah. Namun sepakbola bukan satu-satunya olahraga lain yang menarik hatinya. Majalah Jakarta Jakarta edisi 1989 mencatat, Ary pernah jadi juara nasional judo yunior pada 1970, hingga diikutkan ke kejuaraan-kejuaraan mancanegara. “Beladiri judo juga sejak kecil. Namanya anak laki, harus punya beladiri. Tapi dari judo saya juga terhindar dari cedera latihan bola. Dari teknik judo saya bisa terbang dan berjatuhan nangkap bola dengan posisi jatuh yang benar,” tambahnya. Ketidakfokusannya itu membuat sang ayah komplain, terlebih saat tahu Ary dilirik pelatih tim PSSI Yunior Djamiat Dalhar. Sang ayah yang saat itu menjabat Ketum PASI, khawatir pendidikan Ary terganggu jika terlalu banyak aktivitas olahraga. Sang ayah mewanti-wantinya bahwa olahraga tak menjamin masa depan cerah. “Bapak saya komplain. Dia lari ke Ketua PSSI, Pak Kosasih (Poerwanegara, red .). Dia tanya, ‘ Broer , ini anak saya elo mau jadiin apa? Masa depannya gimana kalau jadi kiper?’ Pak Kosasih jawabnya, ‘Wah, kalau sampai ke situ saya enggak bisa ngomong apa-apa. Beginilah olahraga Indonesia’,” kata Ary mengenang dialog ayahnya dan Kosasih. Bukan hanya ke PSSI, ayah Ary juga mendatangi Menpora R. Maladi seraya membawa Ary untuk dikenalkan ke sang menteri. “Pesannya sama, ‘Coba dikaji lagi, Dek. Kalau bisa sekolahnya yang benar. Contoh Sarengat. Setelah juara Asian Games dia ambil sekolah dokter’,” tambah Ary. Walhasil, terjadi benturan ambisi antara Ary yang menginginkan olahraga dan ayahnya yang ingin Ary lebih menseriusi pendidikan. Ary mengakui, kesibukannya di dunia olahraga bikin pendidikannya di SMA Perguruan Cikini keteter . Namun, ia memantapkan tekad untuk jalan terus di jalur olahraga. “Ayah saya kasih warning . Siap-siap ya, di olahraga tuh enggak akan jadi apa-apa, katanya. Tapi saya bilang, setiap manusia hidup sudah ada garisnya. Mungkin garis saya di sini (olahraga),” sambungnya. Sang ayah akhirnya luluh. Ary dibebaskan menentukan pilihan hidupnya dengan syarat tak boleh setengah-setengah menjalaninya dan siap menanggung risiko yang bakal menimpa. Seiring perjalanan waktu, Ary akhirnya mesti memilih satu dari kiprahnya di dua cabang. “Suatu saat saya terpilih antara timnas basket dan PSSI Yunior. Ada dua agenda, satu Kejuaraan Asia Yunior di Manila tinggal sebulan lagi, bersama tim PSSI Yunior; satu lagi Kejuaraan Asia untuk basket yang dua bulan lagi. Pak Djamiat enggak mau saya ke basket,” kenangnya. Ary Sudarsono punya alasan memilih basket ketimbang sepakbola dan judo di masa mudanya (Foto: Fernando Randy/HISTORIA) Setelah memikirkan masak-masak, Ary pilih basket. Dengan berat hati ditinggalkannya sepakbola. Ia pun kena omel pelatih Djamiat Dalhar dan Endang Witarsa. “Dasar kamu tampang sinyo, otak pacul, katanya. Kenapa enggak pilih bola? Karena kalau habis latihan kiper, saya enggak bisa belajar. Drill -nya kan gila, bisa babak belur sampai muntah-muntah. Tangan gemetar habis nahan tendangan-tendangan,” ujar Ary. Alasan lain yang bikin Ary menyisihkan sepakbola adalah atmosfernya. Bagi Ary, atmosfer di basket jauh lebih terasa lantaran jarak antara penonton dan lapangan berdekatan. “Interaksi sama penonton terasa sama kita. Meningkat semangat ingin jadi hero di lapangan. Kalau di bola, paling kalau bola kemasukan saja terdengar ‘ Woy , kiper goblok’, hahaha …,” sambung  pria tampan yang selalu ceria itu. Keputusan Ary ternyata betul. Dalam kurun 1970-1978, dia selalu menjadi bagian dari timnas basket Indonesia. Popularitas namanya pun merambah ke luar negeri. Setelah pensiun, Ary tak ingin hidup jauh dari basket. Sempat terpilih menjadi wasit internasional FIBA (federasi basket internasional) pertama dari Indonesia, Ary terus bersemangat mengabdi di basket dengan masuk Perbasi. Di situlah dia gigih mempopulerkan basket ke kalangan muda lewat Indonesian Basketball League (IBL) (kini NBL) hingga Liga Basket Mahasiswa Indonesia (LMI, kini LIMA). Upaya untuk mempopulerkan basket di tanah air juga dilakukan Ary dengan menegosiasikan siaran NBA, dan berhasil dengan bukti disiarkannya NBA di sebuah stasiun tv swasta pada 1990-an. Anda para fans NBA tanah air tentu tak asing dengan wajah dan suara khas Ary yang selalu muncul sebelum pertandingan dimulai dan setelah usai. Dari menjadi presenter NBA itulah Ary kemudian “laku keras” sebagai presenter yang khas dengan jargon “Salam Olahraga!”-nya. Tidak hanya basket, ternyata ia juga jempolan bicara olahraga lain macam sepakbola sampai judo. Selain pernah jadi ring announcer tinju, curriculum vitae -nya penuh dengan beragam julukan: Mr. Golden Whistle, Mr. NBA Asia, Mr. Nike, Mr. FILA, hingga Mr. Showtime. Setelah pensiun basket sebagai pemain dan wasit, nama Ary Sudarsono mengorbit sebagai presenter olahraga legendaris (Foto: Fernando Randy/HISTORIA) Di luar dunia olahraga, Ary juga “melek” politik. Itu dibuktikannya dengan pernah  menjadi kader Partai Amanat Nasional (PAN) meski tak lama. Hanya satu bidang yang tidak dikuasai pria multitalenta itu. “Ya paling berdagang (bisnis) saja yang gue enggak bisa, hahaha …,” celetuknya. Dari basketlah nama Ary populer di masyarakat. Dari olahraga itu pula beragam penghargaan diterima Ary. “Penghargaan-penghargaan dari luar (negeri) itu rata-rata kata-katanya hampir sama. Apresiasi dalam pengembangan basket. Tapi di Indonesia penghargaan gue cuma dua, Lifetime Achievement Award dari SIWO sama Panasonic Award sebagai presenter olahraga terbaik (pria, 2000),” tutur Ary.

  • Mendengar Peristiwa 1965 di Udara

    HARI itu, 2 Oktober 1965. Letda Udara (kini kolonel purnawirawan) Pramono Adam mendapati hal tak biasa ketika sedang di udara. Kala itu, Pram, sapaan akrab Pramono, sedang menerbangkan helikopter Mi-6 dari Lanud Husein Sastranegara, Bandung menuju Lanud Atang Senjaya, Bogor. Informasi radio begitu ramai di cockpitnya. Informasi itu ternyata menyangkut politik dan menentukan jalannya sejarah bangsa. Kendati perwira, Pram selaku perwira AURI mengaku "buta" politik. Saat itu mayoritas personil AURI “buta” politik. “Memang jaman itu tentara sebetulnya nggak boleh berpolitik, apalagi Angkatan Udara. Kita hanya jadi technology savior . Jadi boleh ngomong hanya soal pesawat, politik nggak ada,” ujarnya kepada Historia.ID. Ketidaktahuan politik itu membuat Pram menjalani hari-hari sejak 30 September hingga 2 Oktober 1965 seperti hari-hari sebelumnya di Wings Operasi 004 Lanud Atang, tempatnya bertugas, kendati situasi politik di pusat tengah bergejolak. Pada 1 Oktober, Pram bersama rekannya seorang penerbang AURI harus menerbangkan heli Mi-6 ke Bandung. “Kita lagi me- repair ramp door -nya, itu rusak,” ujar Pram. Sebelum berangkat, dia dan beberapa personil AURI di Lanud Atang sempat mendengarkan pidato Letkol Untung Sjamsuri tentang gerakan kontra-revolusioner Gerakan 30 September dari siaran radio RRI . “Kita cuma mendengarkan saja, nggak ngerti apa-apa. Kita diam saja.” Tak ada perubahan situasi di Lanud Atang. Maka penerbangan Pram ke Bandung tak ubahnya penerbangan-penerbangan sebelumnya. Situasi di Lanud Husein pun tak ada yang berbeda. Rutinitas berjalan seperti biasa. Pram dan rekannya sibuk memperbaiki pintu Mi-6 bersama teknisi setempat. Setelah selesai, Pram dan rekannya kembali ke Bogor keesokannya. Baru setelah heli mengudara, Pram mendapati suasana berbeda. “Di atas, ramai (informasi radio, red .). Nggak boleh ke sana, nggak boleh ke sini. Nggak boleh ke Halim, Halim udah diduduki oleh Angkatan Darat,” kata Pram menirukan suara radio. “Ternyata terjadi itu, G30S.” Larangan pesawat-pesawat AURI mendarat di Lanud Halim Perdanakusuma dikeluarkan lantaran pada 1 Oktober sore pasukan RPKAD (kini Kopassus) mulai mendatangi lanud tersebut. Keesokannya, pasukan RPKAD berhasil menguasai Halim karena mengira AURI akan mengebom markas Kostrad. Larangan pertama keluar pada 2 Oktober dini hari, ditujukan pada lima pesawat AURI dari Wing Ops 002 Abdulrachman Saleh. “Untuk menghindari segala kemungkinan yang mencurigakan, Komandan PAU Husein Sastranegara, Bandung melalui menara PLLU, memerintahkan kelima pesawat dari Wing Ops 002 itu mendarat di PAU Husein. Namun sebuah B-25 Mitchell terlanjur mendarat di PAU Halim Perdanakusuma, yang kemudian digembosi bannya oleh pasukan RPKAD yang sudah masuk di pangkalan,” tulis Aristides Katoppo dan kawan-kawan dalam Menyingkap Kabut Halim 1965 . Akibat larangan mendarat di Halim itu, Lanud Atang kebanjiran pesawat AURI. “Pesawat Hercules yang nggak boleh mendarat di sana, mendaratnya di sini. Pesawat Albatros yang nggak boleh ke Halim, ditolak, mendaratnya di sini. Mustang juga ada yang ke sini, itu Pak Ashadi (Tjahjadi, red .).” kata Pram. Kolonel Udara Ashadi Tjahjadi, komandan Lanud Husein Sastranegara, datang ke Atang untuk menghadiri rapat dengan presiden di Istana Bogor pada 2 Oktober. “Dengan pertimbangan ada rapat menteri/panglima di Bogor, maka Kolonel Ashadi Tjahjadi mengambil keputusan untuk menunggu Men/Pangau di Semplak, Bogor. Dalam penantian, Ashadi Tjahjadi melihat Laksda Udara Sri Moeljono Herlambang turun dari helikopter bersama dengan Komodor Udara Dewanto, Kolonel Sarwo Edhie dan seorang mayor RPKAD yang kemudian dikenalnya sebagai Mayor Goenawan Wibisono. Kemudian petang hari sekitar pukul 15.00 bertolak ke Bogor untuk menghadiri rapat dengan presiden,” tulis Aristides dkk. Kedatangan Kol. Sarwo Edhie itulah yang membuat Pram dan para personil AURI di Atang sedikit “melek” tentang apa yang terjadi di ibukota. “Pak Sarwo (Edhie) Wibowo juga kita anter ke sini (istana). (Kami) ketemu dengan Sarwo Edhie Wibowo, (dia) ngomong macem-macem,” ujar Pram. Situasi yang berubah sejak 1 Oktober, ditambah pernyataan Men/Pangau Laksdya Omar Dani yang mendukung gerakan tersebut, membuat AURI jadi tersudut secara politik. “Di Jakarta saja, kadang-kadang ada orang TNI AU yang rumahnya nggak di asrama diganggu-ganggu di jalanan. Dikira keterlibatannya (terhadap G30S, red .).” "Makanya Omar Dani dicela sama Bung Karno, 'Habis kerja kamu cuma ngitungi jam terbang doang, nggak ngerti politik'.” Situasi tak mengenakkan itu membuat Danlanud Atang Kolonel Udara Soewoto Soekendar mengambil keputusan yang ditujukan kepada para bawahannya. “Kita ya cuma stand by di rumah. Kalau malem disuruh konsinyir,” sambungnya. Beruntung apa yang dialami para personil AURI di Jakarta dan kota-kota lain tak dialami Pram dan para personil AURI lain di Lanud Atang. Hal itu dikarenakan adanya kerjasama baik antara pihak Lanud dan Kodam Siliwangi yang dipimpin Mayjen TNI Ibrahim Adjie. “Pak Ibrahim Adjie juga ngomong AU tidak terlibat secara institusional. Kalau ada paling oknum. Dengan kita (Adjie) sudah sering ketemu, jadi tau situasi yang sebenarnya. Maka terus hubungan kita dengan Pak Ibrahim Adjie baik sekali,” ujar Pram.*

  • Melumpuhkan Gerombolan G30S tanpa Peluru

    SERMA purnawirawan Edi B. Somad, veteran Pertempuran Bekasi semasa Perang Kemerdekaan yang dikaryakan di Yonavet Koramil 07 Tambun, Bekasi,selalu ingat kejadian yang dialaminya pada 3 Oktober 1965 saat sedang piket. Kejadian itu merupakan kelindan dari peristiwa 1 Oktober yang terjadi di ibukota. “(Tengah) malam 1 Oktober itu saya sedang piket di Koramil Tambun. Danramilnya Pak Sadikin. Sama kawan-kawan saya dikonsinyir sampai pagi. Tapi sebelum saya pulang siangnya, saya dikasih info sama kawan-kawan lain bahwa di Jalan Kalijambe (Tambun Selatan, red. ) ada gerombolan tentara seragam loreng-loreng pada ngaso ,” ujar Edi kepada Historia. Ternyata yang diinfokan itu adalah pasukan Yon 454/Raiders yang melarikan diri setelah terlibat baku tembak dengan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD, kini Kopassus) di Pondok Gede dekat PAU Halim Perdanakusuma pada 3 Oktober pagi. Mengutip Julius Pour dalam Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang , pasukan Raiders itu sebagian sudah dikonsolidasikan setelah terjadi gencatan senjata yang “dimediasi” perwira Angkatan Udara. “Sedangkan sisanya yang masih ikut petualangan mengundurkan diri ke Tambun. Pengejaran segera dilakukan, hasilnya 237 orang menyerah tanpa membawa korban,” tulis Pour. Info tentang pasukan yang diterima Edi dan kawan-kawannya itu lalu diteruskan ke danramil. Tak lama setelah itu, Edi ditugaskan mendatangi dan membujuk gerombolan tentara tadi agar merapat ke markas Koramil Tambun yang saat itu bertempat di Gedung Tinggi Tambun (kini Gedung Juang Tambun). Jantung Edi sempat berdegup kencang saat tiba di depan gerombolan itu dan disambut dengan kokangan senjata. Setengah mati ia berupaya menenangkan diri agar dapat menjalankan misi dan menjaga supaya jangan sampai memicu letusan senjata. “Siapa itu?” tanya seorang dari gerombolan, sebagaimana ditirukan Edi. “Saya Edi, dari Koramil.” “Ada apa?” “Saya ada perintah dari danramil, Pak Sadikin, bahwa kalian tidak bersalah. Hanya terbawa-bawa (perintah provokatif). Jadi bagaimana, kalian mau melarikan diri tapi tak ada tujuan atau bisa kami koordinir? Nanti bisa dikembalikan ke kesatuan,” kata Edi. Edi B. Somad mengisahkan bagaimana ia dan rekannya di Koramil Tambun melucuti gerombolan pasukan liar terafiliasi PKI tanpa pertumpahan darah (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Tidak langsung memberi jawaban, gerombolan itu “meraba-raba” apakah tawaran Edi itu jebakan atau bukan. Untuk membuktikan bahwa tawaran itu bukan jebakan, dua perwakilan dari mereka lalu ikut Edi ke markas Koramil. Di sana mereka diberi tahu bahwa mereka akan dijamin, tidak hanya keamanannya, namun juga makanan dan rokok. “Mereka akhirnya setuju. Syarat dari kita, semua senjata supaya dikumpulkan di gudang markas. Pas masuk ke markas, kita jelaskan lagi bahwa kita tentara semua kawan. Itu senjatanya ada (senapan mesin) Bren, senapan otomatis (Chung), Thompson, senjata anti-tank. Andaikata waktu itu kita frontal, wah Tambun bisa jadi lautan api sama dia. Orang kita di koramil juga cuma enam orang. Mereka senjatanya komplit,” sambung Edi. Pimpinan mereka pun dipertemukan dengan Sadikin di kantornya. Setelah itu, Edi diperintahkan mengontak Kodim 0507 Bekasi untuk kemudian meneruskan info itu ke Kodam Jaya. Edi dan kelima kawannya lalu mengupayakan pengadaan logistik yang mereka janjikan. “Ya rokok, makanan, semua kita minta bantuan warga sekitar saja. Nasi, lauk, kita minta masakin warga. Saya telefon Kodim Bekasi untuk minta bantuan dikontak ke Kodam. Minta truk 40, untuk mengangkut anggota pasukan PKI yang sudah dilumpuhkan,” ujarnya. Namun, Edi dan komandan Sadikin kaget. Sekira pukul 5 sore bantuan yang datang bukannya truk untuk mengangkut personel, malah konvoi pasukan RPKAD dengan pansernya. “Pak Sadikin marah. Komandan pansernya dilabrak. ‘Saudara jangan unjuk gigi di sini! Kalau mau unjuk gigi, tadi tuh waktu senjata mereka masih di tangan. Sekarang tinggal orangnya doang, senjata sudah dilucuti, malah ditakuti’,” kata Edi menirukan kemurkaan komandannya. Gedung Juang Tambun yang pada 1965 dipakai sebagai Markas Koramil Tambun (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Sementara, melihat kedatangan pasukan RPKAD yang mereka hadapi di Halim di pagi harinya, gerombolan Yon 454/Raiders yang sedang mengaso itupun kocar-kacir melarikan diri. Hanya sekira 200-an sisanya yang bisa ditahan di markas Koramil. Baru ketika malam, tiba truk-truk yang diminta untuk membawa sisa gerombolan itu ke Jakarta. Para personil yang kabur lalu –diketahui kemudian bahwa tidak hanya berasal dari Yon 454/Raiders saja tetapi juga dari Tjakrabirawa dan Brigif I Kodam Jaya– meneruskan perjalanan dan dikabarkan menyerahkan diri di Markas Corps Polisi Militer (CPM) di Cirebon karena kelaparan. “Setelah melapor di Cirebon, laporan CPM Cirebon diteruskan ke markas Resimen Tjakrabirawa. Mereka lalu dijemput Resimen Tjakrabirawa dan kemudian dimasukkan kembali ke asramanya (Kala Hitam) di Jalan Tanah Abang D, sebelum dijebloskan ke Penjara Salemba,” ujar Maulwi Saelan dalam memoarnya, Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66: Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa.

  • Yang Dikenang Ary Sudarsono tentang Bung Karno

    ARY SUDARSONO, legenda bola basket Tanah Air, punya kenangan tersendiri terhadap sosok Presiden Sukarno. Dalam sejumlah kesempatan formil, Ary seringkali tampil mengenakan busana resmi ditambah songkok hitam khas Sukarno. Dia memakainya agar tampak seperti Bung Karno, idolanya sejak belia. Karena itulah sesekali ia memperlihatkan foto-foto Sukarno yang tersimpan di galeri foto smartphone -nya, termasuk foto kamarnya yang dihiasi satu potret besar Bung Karno. Ary mengakui, sikapnya terhadap Bung Karno itu berkebalikan dari ayahnya, Sudarsono Brotomidjojo. “Ya bapak gue yang ikut pasang meriam ke Istana (Peristiwa 17 Oktober 1952) tuh. Waktu jadi tentara ikut Pak Nas (Abdul Haris Nasution). Meskipun dia akui Sukarno orang hebat,” ujar Ary kepada Historia.id. Ngapel ke Istana Dijemput Tjakrabirawa Kekagumannya pada Sukarno beriringan dengan keterpesonaannya pada putri bungsu Bung Besar, Sukmawati Soekarnoputri. Sejak Sekolah Rakyat (SR) hingga SMA di Perguruan Cikini, Ary jadi teman satu sekolah Sukma. Witing tresno jalaran soko kulino , Ary pun kepincut Sukma. Pada 1963, Ary jadi satu dari sekian ABG yang mengais cinta anak keempat Sukarno itu. “ Gue dulu hampir jadi mantunya Sukarno. Pacaran sama Sukma, kita satu sekolah dulu. Sebenarnya belum pacaran serius. Suka-sukaan aja gitu. Ya cinta monyet lah. Tapi karena gue suka telepon, diajak main dong ke Istana. Dulu di sekolah paling cakep dia, primadonanya di sekolah,” kenangnya. Ary sering ngapel  ke Istana meski hanya bisa di hari Minggu. Pasalnya, setiap Sabtu Bung Karno lebih sering ke Istana Bogor menemui istri ketiganya, Hartini. Saat ke Istana pun, Ary harus dijemput pasukan Tjakrabirawa karena tak sembarang orang bisa masuk Istana. Ary Sudarsono mengidolakan Bung Karno sejak remaja. (Fernando Randy/ Historia.id ). “Kalau malam Bung Karno pulang dari Bogor, diajak makan malam. Biasanya makan bareng. Ada Rahma (Rachmawati Soekarnoputri) sama pacarnya, Mega (Megawati Soekarnoputri) juga ada pacarnya. Gue yang paling bertahan lama karena gue suka olahraga. Bung Karno paling senang sama orang yang suka olahraga,” tutur Ary mengingat masa belianya. Kala itu, Ary Sudarsono memang sudah menggeluti basket. Ia juga menggandrungi judo. Ia pun mengaku sering diberi Bung Karno wejangan soal olahraga yang berkaitan pembangunan karakter bangsa mengingat di tahun itu si Bung bikin Ganefo (Games of the New Emerging Forces). “Karena sering ketemu Bung Karno itu gue diindoktrinasi soal nation character building lewat olahraga. Dia juga pernah kasih wejangan, ‘Buatlah kalimat sampai dengan titik’, katanya. Karena dulu masih muda banget, gue tanya artinya ke bapak. Katanya, artinya elo harus menjadi generasi penerus, berbuat sesuatu untuk bangsa sampai benar-benar jadi. Lewat bidang apapun, selesaikan sampai tuntas,” paparnya. Namun, Prahara 30 September 1965 memporak-porandakan Bung Karno dan keluarganya. Hubungan Ary dengan Sukmawati pun kena imbas. Namun, Ary tetap menjaga pertemanannya hingga kini. “Pernah beberapa kali bertemu habis itu, lalu enggak pernah lagi karena gue enggak tahu mereka diungsikan ke mana. Enggak boleh tahu juga,” katanya. Ary mengaku tak mengerti betul apa yang terjadi dengan Sukarno. Ia masih pelajar SMP, belum melek politik. Bertanya pada sang ayah pun, Ary tak mendapat jawaban yang memuaskan. “Susahnya punya bapak yang tidak Sukarnois. Dia bilang, ‘ elo pelajarin sendiri aja deh. Orang gue ikut pasang meriam ke Istana, malah elo tanya gue !’ Tapi dari mana-mana gue cari tahu sendiri. Ya kesalahannya Bung Karno cuma satu. Dia enggak mau bubarin komunis. Ya itu keyakinan seseorang sih ya, Bung Karno ingin kasih lihat negara lain bahwa Nasakom bisa bersatu. Tapi itu yang ditentang orang-orang termasuk Angkatan Darat,” tutur Ary. Ary Sudarsono pernah terpilih memerankan Sukarno dalam Haul ke-100 Bung Karno di Istana Bogor. (Fernando Randy/ Historia.id ). Ritual di Istana Bogor Juni 2001 di Istana Bogor menjadi momen tak terlupakan dalam hidup Ary. “Itu waktu di Istana Bogor, Haul ke-100 Bung Karno. Dipanggillah beberapa artis, seperti Ferdi Hasan, Anjasmara. Tapi dari kuncen istananya, malah saya yang ditunjuk. Waktu itu gue tampil membawakan adegan Sukarno memberi wejangan. Aduh, gue lupa waktu itu wejangan apa yang gue dialogkan,” kenang Ary. Untuk keperluan itu, Ary diminta menginap sebelum acara. Ia lalu diinstruksikan oleh bagian rumahtangga istana untuk berjalan keliling istana tanpa sehelai pakaian pun. “Disuruh ritual dulu. Jam 12 malam gue telanjang. Jalan mengitari istana. Terus putaran ketiga, gue naik ke atas. Sampai di atas balik badan lihat jalanan. Ada suara macam-macam, termasuk suara Bung Karno dengan bahasa Belanda. Dari atas gue lihat arah jalanan juga ngelihatnya banyak lampu warna-warni kayak karnaval. Setelah itu kata kuncennya, ‘besok Anda tampil sudah akan seperti Bung Karno sungguhan’,” tandas Ary.

  • Amuk Baret Hijau di Leuncang

    DEN HAAG, 1952. Letnan Kolonel Soegih Arto, tengah menjadi salah seorang peserta sebuah kursus militer yang diadakan oleh Fakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Suatu hari, sopirnya selama di Belanda, mengajak Soegih untuk berkunjung ke rumahnya. “Saya ingin memperlihatkan sesuatu,” ungkap letnan Korps Pasukan Khusus Angkatan Darat Kerajaan Belanda (KST) berkebangsaan Timor tersebut. Singkat cerita, Soegih Arto memenuhi undangan itu. Saat di rumahnya, sang letnan memperlihatkan sejumlah foto yang terkait dengan operasi-operasi militer yang pernah dia ikuti di Indonesia. Di antaranya adalah foto-foto yang memperlihatkan jasad Mayor Abdrurrachman Natakoesoema dan Kapten Edi Soemadipradja, yang terlihat baru saja dieksekusi. “Saya sedih sekali melihat foto mayat kedua rekan seperjuangan itu,” ungkap Soegih Arto dalam biografinya, Saya Menulis Anda Membaca (Sanul Daca): Pengalaman Pribadi Letnan Jenderal (Purn) Soegih Arto. Siapakah sebenarnya Mayor Abdurrachman Natakoesoema dan Kapten Edi Soemadipradja? Bagaimana mereka bisa gugur di tangan sebuah unit khusus tentara Belanda? *** Sumedang, tiga tahun sebelumnya. Samyi tengah bekerja sebagai buruh tani di Sampora ketika rentetan tembakan terdengar dari arah Leuncang. Kendati kedua kampung itu  sama-sama masuk wilayah Desa Cibubuan, Kecamatan Conggeang, tapi jaraknya cukup berjauhan: sekira 4 km. Orang-orang kemudan ramai mengabarkan: Leuncang diserang tentara Belanda. Sejenak dia terhenyak. Terbayang wajah orangtua dan saudara-saudaranya. Kendati mengkhawatirkan kondisi mereka, Samyi dicegah majikannya untuk meninggalkan Sampora. “Tapi karena merasa tak tenang terus, sore harinya saya nekat pulang ke Lencang,“ kenang Samyi, berusia 87 tahun, kepada Historia . Sesampai di Lencang, Samyi menemukan suasana mencekam. Dari kawan-kawannya, terbuhul kisah: sejak pagi buta hingga siang, tentara Belanda mengobrak-abrik Leuncang. Belasan orang menjadi korban, termasuk Mayor Abdurachman Natakoesoema, Komandan Bataliyon II Tarumanegara Divisi Siliwangi. *** Selepas long march (perjalanan panjang dari Jawa Tengah dan Yogyakarta ke basis semula di Jawa Barat) awal 1949, kedudukan Markas Besar Divisi Siliwangi berada di Kecamatan Buah Dua, Sumedang. Karena wilayah itu wewenang Batalyon II Tarumanegara di bawah Mayor Abdurachman Natakoesoema, keamanan Panglima Divisi Siliwangi Letkol Sadikin dan jajarannya menjadi tanggungjawab pasukan itu. “Pengawalan dari Yon II dilaksanakan Kompi III yang dikomandani oleh Kapten Edi Soemadipradja,” tulis Amirmachmud dalam otobiografinya Prajurit Pejuang Namun militer Belanda yang berkedudukan di Sumedang kota sudah mencium keberadaan Letkol Sadikin. Setelah mendapat konfirmasi dari para telik sandi-nya, mereka menyusun rencana operasi perburuan. Sebagai eksekutor dipilihlah Kompi Eric , suatu unit kesatuan Baret Hijau (KST)yang dikenal ganas terhadap para pejuang Indonesia. “Saya tidak pernah memelihara tawanan perang, saya memburu mereka memang untuk dibunuh,” ujar Letnan Satu Henk Ulrici, komandan Kompi Eric, dikutip Haagse Post edisi Agustus 1965. Kompi Eric memulai aksinya awal April 1949. Dalam catatan Letkol J.J. Malta, selama beberapa hari mereka bersiap di sekitar kaki Gunung Tampomas, tempat terdekat ke Buah Dua. “Dengan berjalan kaki, mereka mengatasi medan berat Gunung Tampomas yang saat itu sering dilanda hujan dan menunggu kesempatan baik untuk melakukan serangan mendadak,” tulis J.J. Malta dalam De Geschiedenis van 4-3 R.I. in Indonesie (Sejarah Yon 4-3 Resimen Infantri di Indonesia). Meskipun sudah berupaya menjalankan operasi senyap, gerak-gerik Kompi Eric ternyata terpantau jua oleh telik sandi Yon II Tarumanegara. Berdasarkan informasi itu, Mayor Abdurachman segera mengevakuasi Letkol Sadikin dan jajarannya ke wilayah Kompi II pimpinan Kapten Komir Kartaman di Sumedang Timur. Hari-H evakuasi: Senin, 11 April 1949 jam 03.00. Menurut Oyo Salya Sukatma, Mayor Abdurachman menugaskan ajudannya, Letnan II Dadang Mirtaatmadja, untuk menyertai rombongan Letkol Sadikin. ”Dia memimpin satu seksi pasukan lengkap untuk memperkuat satu seksi pengawal khusus panglima yang dipimpin oleh Letnan II R. Otje Djundjunan,” ujar Oyo Salya Sukatma, penulis buku Sejarah 11 April . Abdurachman tak ikut rombongan karena penyakit malarianya sedang kambuh. Tanpa ajudan dan pasukan pengawal, dia memutuskan beristirahat di kampung Leuncang dan berencana akan menyusul begitu malarianya reda. Seiring keberangkatan rombongan panglima Divisi Siliwangi, dari hutan Gunung Tampomas, Kompi Eric diam-diam bergerak menuju Leuncang. Tujuan utama mereka melakukan serbuan kilat sekaligus meringkus Letkol Sadikin. *** Minggu, 10 April 1949. Sepucuk surat dari pos terdepan Yon II di Conggeang (yang bertetangga dengan Buah Dua) diterima Soemawidjaja (Kepala Desa Cibubuan) di Leuncang. Isinya pendek saja: harap waspada, sekitar satu kompi Baret Hijau terlihat di sekitar Conggeang. Namun entah lupa atau “mengecilkan” informasi itu, Soemawidjaja tak menyampaikannya kepada Kapten Edi atau Mayor Abdurachman. Keesokan paginya Cibubuan didera hujan rintik-rintik. Di tengah udara subuh yang membekap tulang sumsum, ratusan prajurit Baret Hijau mengepung Leuncang. Mereka bergerak cepat namun nyaris tanpa suara. Sementara itu, di pinggir kampung, sejumlah bocah tanggung tengah memeriksa jebakan belut yang mereka pasang. Salah satunya bernama Yasin, anak angkat Kapten Edi. Begitu melihat sekelompok tentara bergerak di kegelapan, sang bocah mengira mereka sebagai rekan-rekan bapak angkatnya. “Eh, Jang. Kamu tahu rumah Pak Edi Soemadipradja dan Pak Abdurachman?” tanya salah seorang anggota Baret Hijau bumiputra dalam bahasa Sunda. “Tahu, Pak…,” jawab Yasin dengan wajah sumringah. “Kamu beri tahu ya.” Yasin mengangguk. Dia membimbing “rombongan teman-teman bapaknya” itu ke arah kampung dan menunjuk satu persatu rumah yang didiami anggota Yon II. Begitu situasi medan terkendali, Letnan Ulrici memberikan aba-aba penyerangan. Dari segala arah, berhamburanlah prajurit-prajurit Kompi Eric sambil menembakkan senjata. Beberapa prajurit Yon II langsung tewas di tempat, sebagian lagi bertahan sebisanya, sebelum akhirnya mundur dari Leuncang. Setelah beberapa jam, pertarungan tak seimbang itu pun usai. Dalam nada keras, para prajurit Baret Hijau memerintahkan semua laki-laki keluar dan berkumpul di halaman Balai Desa Cibubuan. Adang salah seorang warga Leuncang ada dalam kumpulan tersebut. Kepada Oyo Salya, dia mengisahkan situasi mencekam kala itu. “Seperti yang lain, saya disuruh berjongkok di pinggir jalan depan Balai Desa,” ujarnya. Matahari baru saja terbit saat dari arah utara, Adang dan puluhan tawanan lainnya menyaksikan sekumpulan prajurit Kompi Eric menggiring Mayor Abdurachman beserta dua ajudannya: Sersan Sobur dan Kopral Karna. Ketiganya hanya mengenakan pakaian dalam dengan ibu jari terikat seutas tali ke belakang. “Pak Mayor berjalan dengan todongan pistol di pelipisnya,” ujar Adang. Tepat di depan Adang, Abdurachman diperintahkan berhenti. Sementara Sobur dan Karna disuruh berdiri di pintu masuk Balai Desa. “Mereka ada dalam posisi membelakangi Pak Mayor,” ujar Adang. Abdurachman diberondong berbagai pertanyaan. Seorang Baret Hijau bumiputra secara kasar menanyakan keberadaan Letkol Sadikin. Alih-alih buka suara, Abdurachman diam seribu bahasa. Pertanyaan diulang sekali lagi. Namun sang mayor tetap bungkam. Letnan Ulrici naik pitam. Tanpa banyak bicara, dia membidik kepala Kopral Karna dari arah belakang dengan pistolnya. Dor! Karna terpental ke depan dan tak berkutik lagi. “Mayor, silakan Anda sebut di mana posisi Overste Sadikin?!” teriak Ulrici. Hening. Tak ada jawaban. Dengan kasar, Letnan Ulrici menarik Sersan Sobur ke depan Mayor Abdurachman lalu menempelkan laras pistolnya. Dor! Darah muncrat dan membasahi halaman Balai Desa. Seolah kurang puas, seorang anggota Baret Hijau memberondong kedua jasad itu dengan Owen-nya. Ratusan pasang mata terbelalak ngeri menyaksikan pemandangan itu. Sebagian malah memalingkan muka. Diiringi seorang pengawalnya yang bersenjata Brengun, Ulrici menggiring Abdurachman ke arah selatan. Sekitar 100 meter, mereka berhenti di depan rumah milik Madkosim. Menurut kesaksian Sahlan, salah seorang warga yang lolos dari pembersihan dan sembunyi di rumahnya, dia sempat mengintip saat Ulrici memaksa Abdurachman duduk di tangga pintu masuk. “Mayor! Apakah Anda akan memilih diam terus?!” teriaknya. “Tembak saja saya!” jawab Abdurachman. Pelan namun terdengar tegas. Ulrici terlihat geram. Dia lalu menempelkan moncong pistol ke dahi Abdurachman. Dor! Peluru menembus batok kepala sekaligus menghabisi nyawa Abdurachman seketika. Pengawal Ulrici lalu memeriksa jasad Abdurachman. Setelah dipastikan tak bernyawa lagi, dia lantas menembakkan Brengun-nya ke angkasa, seolah merayakan kematian sang mayor. Setelah mengikat kaki dan tangan jasad Abdurachman, Ulrici memanggil seorang pemuda kampung bernama Sabja. Dia memerintahkan Sabja membawa jasad Abdurachman kembali ke Balai Desa. Sesampai di sana, jasad Abdurachman diletakkan dalam posisi duduk di bawah panji Yon II Tarumanegara yang sudah terkoyak, sementara darah terus mengucur dari kepalanya, membasahi kaos dalam putih yang dikenakannya. “Jasad Pak Mayor lalu difoto-foto oleh salah seorang dari Baret Hijau,” kenang Adang. Sekitar pukul 10.00, pasukan Baret Hijau menggiring tawanan, termasuk Kapten Edi dan dua pengawalnya, Sersan Roni dan Prajurit Saleh, ke arah Buah Dua. Saat melintas di Kampung Buganggeureung, tiga prajurit Yon II Tarumanegara itu dieksekusi dan mayat mereka dilempar ke selokan. Operasi militer Belanda ke Leuncang memang bisa dikatakan gagal. Panglima Divisi Siliwangi Letnan Kolonel Sadikin berhasil lolos dari perburuan. Namun itu harus dibayar mahal, karena Siliwangi harus kehilangan 8 anggota Yon II Tarumanegara , termasuk Danyon Mayor Abdurrachman Natakoesoema dan Danki Kapten Edi Soemadipradja. Selain prajurit TNI, Kompi Eric secara brutal membantai juga 4 rakyat sipil. Sebagian dari mereka dieksekusi setelah disiksa dengan tusukan bayonet dan hantaman popor senjata.

  • Serba-serbi Demonstrasi 1966

    PULUHAN ribu mahasiswa turun ke jalanan. Mereka tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI). Para demonstran itu menyampaikan tuntutan: bubarkan PKI, rombak kabinet, dan turunkan harga. Tiga tuntutan tersebut kelak dikenal sebagai Tritura (Tri Tuntutan Rakyat). “Sejak 10 Januari 1966, puluhan ribu mahasiswa berdemonstrasi di jalanan selama lima hari berturut-turut,” kenang Jusuf Wanandi tokoh KAMI dari Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) dalam Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965—1998 .). Puncak demonstrasi terjadi pada 15 Januari 1966. Ketika itu Sukarno mengadakan sidang kabinet di Istana Bogor untuk menanggapi demonstrasi mahasiswa dan tuntutannya. Hingga Maret mahasiswa masih getol menyerukan agar rezim Sukarno turun. Di balik suasana  panasnya situasi politik saat itu terselip beragam kisah dalam aksi-aksi demonstrasi mahasiswa yang kelak dikenal sebagai  “Angkatan 66” itu. Berikut kisahnya.   Makanan dari Masyarakat Demonstrasi tentu menyita tenaga dan bikin perut keroncongan. Para mahasiswa demonstran Angkatan 66 yang tergabung dalam KAMI pun mengalaminya. Di tengah rasa lapar dan dahaga, ada saja yang berbaik hati memberikan suguhan pengisi perut.   “Ibu-ibu, anak-anak remaja dan berbagai kalangan datang silih berganti mengantarkan nasi bungkus, buah-buahan dan makanan kecil kepada mahasiswa yang berkumpul di markas setelah kembali dari demonstrasi,” kenang Cosmas Batubara dalam Cosmas Batubara: Sebuah Otobiografi Politik . Cosmas adalah aktivis PMKRI yang menjabat sebagai Ketua Presidium KAMI. Menurut Cosmas mendapat suguhan makanan dan minumuman dari masyarakat adalah sebuah kenikmatan bagi rekan-rekannya sesama demonstran. “Apalagi, kalau disughi nasi bungkus,” katanya, “lengkaplah sudah kenikmatan itu.” Tentara Melindungi Mahasiswa Pada bulan Januari 1966, situasi politik semakin memanas. Demonstrasi mahasiswa semakin menjadi-jadi dalam melancarkan agitasi dan propaganda anti-pemerintah. Beredar isu bahwa sebagian kekuatan Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan sebagian Angkatan Darat, terutama Resimen Tjakrabirawa (pasukan pengawal presiden) tidak senang dengan gerakan mahasiswa. Hanya beberapa kesaruan Angkatan Darat khususnya dari Kostrad dan RPKAD yang siap sedia melindungi mahasiswa.  Menurut Jusuf Wanandi, setelah KAMI dibubarkan pada 25 Februari 1966, Tjakrabirawa mencoba menangkap pentolan demonstran. Adik Jusuf, Sofyan Wanandi bersembunyi di Markas Komando Tempur II  Kostrad pimpinan Letkol Ali Moertopo yang terletak di Jalan Kebon Sirih. KAMI juga sekalian memindahkan markasnya ke sana. Yang paling melindungi mahasiswa adalah Brigjen Kemal Idris, Kepala Staf Kostrad. Kemal memimpin semua pasukan Kostrad yang ada di Jakarta. Dengan wewenang komando yang ada padanya, Kemal kerap membantu dan mengamankan gerakan mahasiswa. “Beberapa anggota saya, saya tempatkan di Markas KAMI,” tutur Kemal Idris dalam otobiografinya Kemal Idris: Bertarung dalam Revolusi . “Strategi yang saya lakukan itu sangat menunjang jalannya gerakan mahasiswa dan pengamanan yang dikehendaki pada masa itu,” Usaha Kemal melindungi demonstran inipun direstui oleh Panglima Angkatan Darat Letjen Soeharto. Terutama supaya jangan jatuh korban di pihak mahasiswa.    Istilah “Info” dan “Briefing” Aksi demonstrasi mahasiswa Angkatan 66 dalam perkembangannya melahirkan istilah yang hanya dimengerti para demonstran. Istilah yang dimaksud adalah “info” dan “briefing”. Menurut Salim Said, yang pada 1966 jadi wartawan junior koran Angkatan Bersendjata , kodefikasi dua lema ini berkaitan erat dengan logistik. “Begitu membudayanya kata ‘info’ dan ‘briefing’, kata Salim Said dalam Gestapu 65 , “kata ‘info’ berubah makna menjadi suplai makanan, sedangkan ‘briefing’ berarti kumpul untuk makan.” Hal senada juga diungkapkan Cosmas Batubara. Menurutnya info adalah kata ganti yang merujuk kepada ketersediaan makanan. “Nah, kita makan. Jadi, di sana, teriaknya, bunyinya itu info. Info sudah datang, berarti makanan sudah datang,” kata Cosmas dalam Pengumpulan Sumber Sejarah Lisan: Gerakan Mahasiswa 1966 dan 1998 . Menteri Kocar-Kacir Untuk mengatasi carut marut keadaan politik, Presiden Sukarno merombak Kabinet Dwikora yang disempurnakan. Susunan menteri yang berjumlah banyak membuat kabinet ini disebut sebagai Kabinet 100 Menteri. Mahasiswa menolak karena Sukarno masih menyertakan menteri-menteri yang dicurigai terlibat Gestapu. “Pada 24 Februari, aksi massa turun ke jalan secara besar-besaran kembali meledak di Jakarta. Demonstrasi dilakukan sebagai upaya KAMI menggagalkan acara pelantikan kabinet baru yang terus-menerus dicemoohkan sebagai Kabinet 100 Menteri,” tulis Julius Pour dalam Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang . Lalulintas di Jakarta hari itu macet total. Istana Merdeka dikepung oleh demonstran. Sejumlah  mahasiswa militan menggembosi ban mobil menteri. Walhasil para calon menteri kocar-kacir menuju Istana. Ada yang datang berjalan kaki bahkan ada yang nekat naik sepeda menembus barikade mahasiswa. Pelantikan tetap berlangsung setelah pihak Istana mengerahkan helikopter untuk menjemput calon menteri ke Istana.    Penunggang Gelap Usai mengganggu acara pelantikan kabinet, gelombang aksi mahasiswa masih belum berhenti. Ketika sidang kabinet berlangsung pada 11 Maret 1966, Mahasiswa kembali bikin rusuh. Soebandrio yang menjabat Wakil Perdana Menteri I merangkap Menteri Luar Negeri dalam kesaksian mencatat kejadian hari itu. “Pagi-pagi sekali sebelum sidang dibuka ribuan mahasiswa datang berbondong-bondong menuju Istana. Mereka mendesak masuk ke halaman Istana. Menurut Soebandrio aksi mahasiswa itu tidak dilakukan sendiri. Ada pasukan liar yang ikut menunggangi. Mereka mengenakan seragam loreng dan bersenjata lengkap namun tanpa tanda pengenal. Siapa mereka? Dalam majalah TSM No. 21 Tahun II/Maret 1989, Kemal Idris membenarkan bahwa pasukan-pasukan liar itu di bawah komando dan pengendaliannya. Kemal mengirimkan sekira sepeleton pasukan RPKAD ke sekeliling istana. Operasi itu ditujukan untuk meringkus Soebandrio. Isu keberadaan pasukan liar ini terdengar oleh Presiden Sukarno. Karena gusar dan panik Sukarno segera menghentikan sidang kemudian menyelamatkan diri ke Istana Bogor. Dari kejadian inilah lahir Surat Perintah 11 Maret 1966 yang mengakhiri kekuasaan Sukarno.

  • Olga Melawan Nazi

    MUSIM dingin datang lebih awal di Eropa. Pada 6 November 1943, seorang ibu muda ditahan Brigades spéciales (BS2), kempeitai ala Nazi, di Paris, Prancis. Namanya adalah Olga Bancic. Ia dipisahkan dari suami dan putri sulungnya yang baru berumur 4 tahun. Apa yang telah dilakukan Olga hingga ditahan BS2 yang terkenal keji menyiksa tahanan? Olga Bancic lahir tahun 1912 di kota Chișinău/Kichinev (saat ini ibukota Moldova), yang saat itu merupakan bagian dari Rusia, sebelum jadi bagian dari Rumania. Sejak muda, ia bergabung dengan Partai Komunis Rumania, yang saat itu terlarang dan ditekan Rusia. Ia juga kerap ikut pemogokan di pabrik kasur tempatnya bekerja dan dibui. Saat berusia 17 tahun, ia menikahi Solomon A. Jacob (di kemudian hari jadi penulis ternama dengan nama pena Alexandru Jar) yang berusia 18 tahun. Keduanya kemudian pindah ke Paris. Olga masuk sekolah jurusan Sastra. Keduanya membantu gerakan Brigade Internasional dalam Perang Sipil (1936-1939) di Spanyol melawan tentara pimpinan Francisco Franco. Setahun di Paris, ia melahirkan seorang putri yang diberi nama Dolorès. Nama ini dipilihnya sebagai penghormatan atas Dolores Ib á rruri, seorang pejuang perempuan dalam Perang Sipil di Spanyol. Ketika Prancis jatuh ke tangan Jerman pada 1940, Olga tak mau berdiam diri. Ia bergabung dengan gerakan bawah tanah di Paris dan punya nama samaran: Pierrette (dalam bahasa Prancis berarti: badut perempuan). Ia aktif di dalam Francs-tireurs et partisans – main-d'œuvre immigrée  (FTP-MOI), kelompok perlawanan yang terdiri dari orang-orang asing non-Prancis. Kelompok ini terkenal garang karena tak ragu angkat senjata melawan tentara Nazi. Olga ditangkap karena menyimpan persediaan senjata untuk gerakan bawah tanah. Ia ditahan bersama 22 anggota perlawanan di Paris yang dipimpin Missak Manouchian –sehingga dikenal sebagai “groupe Manouchian” (regu Manouchian). Mereka terdiri dari delapan orang Polandia, lima orang Italia, tiga orang Hungaria, tiga orang Prancis, dua orang Armenia, seorang Spanyol, dan seorang Rumania (yakni Olga!). Olga adalah satu-satunya perempuan dalam kelompok ini. Olga dan 22 orang lainnya diadili pengadilan militer bikinan Nazi Jerman. Pengadilan dimulai tanggal 15 Februari 1944 dan, seperti diduga, hakim menjatuhkan hukuman mati. Pada 21 Februari, mereka ditembak mati; kecuali Olga. Hukum Prancis masa itu melarang hukuman mati atas perempuan, sehingga Olga tak ditembak mati. Ia dideportasi ke Stuttgart (Jerman) lalu dipancung pada 10 Mei 1944. Batu peringatan bagi warga sipil yang gugur selama perang 1939-1945 di kota Sèvres, Prancis. Ada nama sejumlah perempuan yang ikut gerakan perlawanan dan dideportasi ke kamp konsentrasi Nazi untuk dieksekusi. Perempuan Melawan Nazi Sejarah perlawanan menghadapi Nazi bukan melulu kisah heroik ala tentara. Ada banyak warga sipil yang bergerak dan memimpin perlawanan terhadap tentara Nazi. Baik di Prancis maupun negara-negara Eropa lain yang diduduki Nazi. Berbagai kisah perlawanan itu tersimpan di museum di banyak kota seperti: Verzetsmuseum di Amsterdam, Belanda; Norges Hjemmefrontmuseum di Oslo, Norwegia; Musée de la Résistance nationale di Champigny-sur-Marne, Prancis; dan Musée de Libération di Paris, Prancis. Peran perempuan juga tak diabaikan. Memang tidak banyak. 15-20 persen anggota gerakan perlawanan di Prancis adalah perempuan. Sayangnya, kisah mereka kerap luput dari perhatian umum. Ada berbagai sebab. Pertama , sejarah perlawanan umumnya menonjolkan peran laki-laki (terlebih, tentara). Hal ini karena sejarah masih dominan ditulis laki-laki. Mereka kerap mengecilkan atau mengabaikan peran perempuan dalam sejarah perlawanan. Kedua , memang jarang perempuan memanggul senjata dan ikut bertempur di dalam perang. Seringkali para perempuan merasa apa yang mereka lakukan adalah hal “kecil” atau “remeh-temeh” karena tak membahayakan jiwa ketimbang panggul senjata. Sehingga mereka tidak merasa perlu mencatat atau merekam andil mereka di dalamnya. Ketiga , pemahaman kritis atas sejarah nasional baru berkembang selama 20-30 tahun terakhir. Peran perempuan dalam gerakan perlawanan yang sebelumnya dianggap sebagai “kisah pinggiran” baru akhir-akhir ini saja mendapat perhatian yang layak dan semestinya. Pengakuan atas peran perempuan ini butuh waktu panjang. Misalnya di Prancis, dari sekitar seribu orang yang diakui negara sebagai “ Compagnons de la Libération ” (Sahabat Pembebasan) setelah perang usai pada 1946, hanya ada enam perempuan. Germaine Tillion (paling kanan) mangkat tahun 2008, diakui masuk Panthéon tahun 2015. Baru pada abad ke-21 ini, ada pengakuan yang luas nan layak. Prancis mengakui jasa dua perempuan anggota gerakan bawah tanah, yakni Geneviève de Gaulle-Anthonioz (mangkat 2002) dan Germaine Tillion (mangkat 2008). Beberapa tahun setelah mereka mangkat, keduanya diakui layak untuk dikuburkan dalam Panthéon , makam para pahlawan nasional di kota Paris.  Selain itu, ada beberapa kisah yang menonjol dan diangkat ke layar lebar. Misalnya, kisah Sophie Scholl, seorang siswi anti-Nazi di München, yang diangkat menjadi film Sophie Scholl: Die letzten Tage (2005). Kisah Rosa Valland, seorang kurator museum di Paris, dalam film The Monuments Men (2014). Juga kisah Marie Kovárníková, seorang perempuan muda Cekoslowakia, dalam film Anthropoid (2016). Mengenang Olga Olga Bancic hanyalah satu dari sekian banyak perempuan yang melawan Nazi. Lantas, apa yang membedakan Olga dari pejuang perempuan lainnya? Dari catatan sejarah, ada Nancy Wake, kelahiran Selandia Baru dengan suami Prancis, yang menjadi mata-mata gerakan perlawanan. Ada juga Noor-un-Nisa Inayat Khan, seorang prajurit Inggris yang diterjunkan untuk membantu gerakan perlawanan di Paris. Berbeda dari kedua pejuang perempuan ini, Olga bergabung dalam gerakan perlawanan karena kesadarannya sendiri, bukan karena ada perintah atasan, komando militer, ataupun sekadar ikut-ikutan. Apa yang dilakukan Olga Bancic bagi gerakan perlawanan tak dilupakan penduduk kota Paris. Di bekas flat kediamannya (114 rue du Château), terdapat plakat kenangan atas namanya. Isi plakat tersebut: “Di sini pernah hidup Olga Bancic, anggota perlawanan F.T.P-M.O.I, anggota regu Manouchian, yang dieksekusi oleh Nazi di Stuttgart pada tanggal 10 Mei 1944, saat berusia 32 tahun, yang mangkat untuk Prancis dan untuk Kebebasan.” Plakat kenangan di bekas flat kediaman Olga Bancic di Paris. Selain itu, sejak 2013, sebuah taman kecil di kota Paris diberi nama “Square Olga Bancic” (Pojok Olga Bancic). Pula, di dalam Museum Pembebasan di Paris ( Musée de Libération ), ada satu panel khusus tentang perannya dalam gerakan bawah tanah melawan Nazi. Nama Olga Bancic dikenang di kota Paris tapi ironisnya hampir terlupakan di kota kelahirannya maupun di Rumania. Ini mungkin sama seperti Irawan Soejono yang diabadikan sebagai nama jalan di kota Amsterdam tapi tiada dikenal di Indonesia.

  • Sikap PKI Atas Papua

    Wajah D.N Aidit, Ketua Central Comite (CC) PKI nongol di televisi Uni Sovyet. Saat itu, dia diwawawancarai oleh Georgi Afrin, eks Koresponden TASS (Kantor Berita Uni Soviet) di Jakarta. Kepada Afrin, Aidit menerangkan tugas-tugas pokok PKI yang sedang digencarkan. “Mempersatukan dan memobilisasi rakyat Indonesia guna membebaskan wilayah negerinya yang masih dijajah oleh kaum kolonialis Belanda, yaitu Irian Barat,” kata Aidit kepada Afrin, dikutip Harian Rakjat , 24 Oktober 1961.   Wawancara itu terjadi di sela Kongres ke-12 Partai Komunis Uni Soviet. Aidit hadir sebagai ketua delegasi PKI. Momentum itu memantik perhatian dunia, khususnya bagi negara-negara berideologi kiri. Pernyataan Aidit jadi agenda partai komunis sedunia guna memperjuangkan antikolonialisme dan penghapusan feodalisme. PKI Turun Tangan  Itu bukanlah kali pertama Aidit bicara lantang menyoal konflik Irian Barat. Ketika resolusi Indonesia untuk penyelesaian Irian Barat kandas dalam sidang Majelis Umum PBB, Aidit pun pernah bersuara. Pada 12 Desember 1954,  dia mengutarakan kejengkelannya perihal hasil pemungutan suara sekitar masalah Irian Barat. “Amerika Serikat yang secara resmi tidak memberikan suara (abstain), sebenarnya adalah pemimpin komplotan gelap yang menentang resolusi-resolusi tentang Irian Barat,” kata Aidit dikutip diplomat Uni Soviet Gavriil Leonidovich Kesselbrenner dalam Irian Barat: Wilayah Tak Terpisahkan dari Indonesia. Sejak 1954 hingga 1957, upaya diplomasi Indonesia di Majelis Umum PBB selalu mentok. Permintaan Indonesia untuk membicarakan masalah Irian Barat gagal menarik dukungan dua pertiga negara anggota dalam pemungutan suara. Menurut Aidit hasil itu membuktikan betapa PBB tunduk kepada Amerika dan negara-negara blok Barat lainnya. Sejauh apa kebenaran tuduhan Aidit? Di balik sikap netralnya, Amerika nyatanya memang lebih cenderung memihak Belanda. Keberpihakan terhadap Belanda dipengaruhi oleh pejabat Kementrian Luar Negeri dan CIA yang berpandangan Eropasentris dalam pemerintahan Presiden Dwight David Eisenhower. Mereka menyadari dukungan terhadap klaim Indonesia akan merenggangkan hubungan Amerika dengan Belanda. Padahal, Amerika sangat membutuhkan keikutsertaan Belanda dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).   “Masalah  Irian Barat tetap menjadi dilema bagi pemerintahan Eisenhower pada periode pasca-pemberontakan,” tulis Baskara Tulus Wardaya dalam Indonesia Melawan Amerika: Konflik Perang Dingin 1953--1963 . Menyusul kegagalan di forum internasional, sentimen anti Belanda di Indonesia kian meningkat. Pada 16 Oktober 1957, Perdana Menteri Djoeanda Kartawidjaja membuat keputusan untuk membentuk Komite Aksi Pembebasan Irian Barat di tiap penjuru Indonesia. Di Jakarta, telah berlangsung demontrasi pemuda yang diikuti sekira 100.000 orang. Mereka menuntut pembebasan Irian Barat. Aksi serupa juga terjadi di berbagai kota lainnya.   Bak gayung bersambut, PKI merespon positif Komite Aksi Pembebasan Irian Barat. Aidit menyerukan bahwa PKI mendukung sepenuhnya tindakan-tindakan yang ditujukan ke arah pembebasan Irian Barat. Sebagai penutup, Aidit mengatakan, “Bahwa Asia sekarang adalah Asia bangsa-bangsa merdeka, yang tidak akan membiarkan kaum imperialis menginjak hak-hak rakyat Indonesia.” Amerika Ketakutan Memasuki 1960, persoalan Irian Barat memperuncing hubungan Indonesia dengan Belanda. Puncaknya terjadi manakala Presiden Sukarno memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda. Angkatan Perang RI dimodernisasi sedemikian rupa dengan bantuan Uni Soviet sebagai persiapan merebut Irian Barat. Kendati penyelesaian lewat perundingan terus diupayakan, peluang terjadinya pertempuran terbuka dengan Belanda tetap besar.     Di dalam negeri, kekuatan radikal mulai terlibat dalam penggalangan massa aksi. Harian Rakjat , 13 Oktober 1961 melansir bahwa Front Pemuda Pusat yang didominasi PKI, menyerukan lebih dari 10 juta anggota organisasi pemuda telah siap untuk membentuk milisi umum. Di luar negeri, Aidit membicarakan soal Irian Barat dalam Kongres Partai Komunis Uni Soviet di Moskow. Aidit sebagaimana diberitakan Harian Rakjat , 31 Oktober 1961 menjelaskan sikap rakyat Indonesia dan tekad pemerintah untuk membebaskan Irian Barat dengan jalan apapun. Aidit juga memberikan informasi mengenai Irian Barat dalam forum kongres. Kampanye Aidit berhasil. Dia bersepakat dengan Paul de Groot, pimpinan Partai Komunis Belanda, yang menyatakan berada di sisi rakyat Indonesia apabila pecah perang antara Indonesia dengan Belanda. Dukungan tidak resmi juga diperoleh dari Partai Komunis Australia yang diwakili sekjennya, Lancey Sharkey. Pada 11 November 1961, Presiden Sukarno menyatakan persiapan militer sudah rampung. Perintah terakhirnya bagi perang pembebasan Irian Barat hanya tinggal menunggu keputusan PBB. Puncaknya terjadi ketika Sukarno mengumandangkan Tri Komando Rakyat pembebasan Irian Barat pada 19 Desember 1961 di Alun-Alun Yogyakarta. PKI bereaksi cepat terhadap komando terakhir Sukarno itu. Pada 21 Desember 1961, seluruh serikat buruh yang bernaung di bawah PKI mengeluarkan seruan bersama. Dalam Harian Rakjat, 23 Desember 1961 dikatakan bahwa “Kaum buruh Indonesia telah siap untuk membentuk pasukan sukarela kaum buruh.” Kepada Sukarno, Aidit menyarankan agar perusahaan Belanda di Indonesia disita dan diambil alih. “Retorika menakjubkan Presiden dan kemampuan luar biasa PKI memobilisasi massa, memastikan kedua pihak ini kian naik daun saja saat menentukan tujuan dan taktik yang terkait dengan konfrontasi terhadap kekuatan Belanda,” tulis Rex Mortimer dalam Indonesia Communism Under Sukarno: Ideology and Politics 1959—1965 . Di Washington, pemerintah Amerika di bawah rezim John. F. Kennedy memantau penuh was-was. Para penasihat Kennedy untuk Urusan Keamanan Nasional (NSA) menyaksikan dengan cemas sikap Indonesia yang semakin mengeras. Mereka menyarankan Kennedy untuk bertindak cepat dan sesegera mungkin.  “Cepat atau lambat, orang Indonesia akan mendapatkan Irian Barat,” demikian disampaikan Walt Whitman Rostow, Deputi Asisten Khusus Kepresidenan untuk Urusan Luar Negeri, kepada Presiden Kennedy seperti termuat dalam arsip departemen luar negeri Amerika, Foreign Relations of the United States, 1961–1963, Volume XXIII, Southeast Asia , Document 205 . Rostow menambahkan, “Jika ini memang jalannya, mungkin penting bagi kita untuk bekerja dengan tujuan tersebut, menggunakannya untuk keuntungan bersama, daripada membiarkan komunis untuk terus mengeksploitasi masalah ini untuk menekan Indonesia lebih dekat ke Blok Komunis.” Memasuki tahun 1962, Amerika mengubah kebijakannya terhadap persoalan Irian Barat. Mereka mulai bergerak ke arah tengah dengan mulai tampil sebagai mediator yang aktif. Sengketa Irian Barat memasuki babak baru menuju penyelesaian.

bottom of page