top of page

Hasil pencarian

9584 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Baghdad, Islam dan 1001 Kehancuran

    KETIKA pasukan gabungan Amerika Serikat (AS) dan Inggris menyerang Irak pada penghujung Maret 2003, kiamat seolah melanda Baghdad. Bukan hanya puluhan ribu nyawa manusia telah melayang akibat penyerangan ilegal tersebut, namun ribuan artefak dan manuskrip sejarah penting peninggalan Kekhalifahan Abbasiyah musnah dilumat rudal dan dicuri para penjarah dari Museum Nasional Irak. Sejak itulah Baghdad yang dulu dikenal sebagai “kota 1001 malam” berubah menjadi kota 1001 kehancuran. Situasi yang menyebabkan Robert Fisk, salah seorang saksi hidup penyerangan Amerika dan Inggris ke Irak, berang. ”Kehancuran total itu menjadi bencana dan simbol paling memalukan dari upaya pendudukan (yang dilakukan AS dan Inggris) terhadap kota yang pernah melahirkan peradaban dunia tersebut,” ujar Fisk dalam The Independent, 17 September 2007 . Jurnalis perang itu memang benar adanya. Baghdad adalah aset sejarah dunia. Sebagian ahli sejarah menyebut Baghdad—yang berarti hadiah Tuhan—sudah ada ada sejak 4000 SM. Tercatat berbagai bangsa yang silih berganti menguasai ranah nan subur di pinggiran Sungai Tigris itu. Mereka terdiri dari bangsaPersia, Yunani, Romawi hingga Arab. Islam sendiri masuk ke Baghdad pada 637 M. Saat itu pasukan Kekhalifahan Arab Islam pimpinan Panglima Besar Saad ibn Abi Waqqash berhasil menguasai seluruh wilayah Kerajaan Persia termasuk ibu kota Ctesiphon. Mereka kemudian mendirikan pusat penerintahan di Kufah dan Basrah. Kenapa tidak memilih Baghdad? Bisa jadi selain belum ramai, saat itu Baghdad masih merupakan perkampungan kecil belaka. Baghdad baru dilirik 125 tahun kemudian, saat Khalifah al Manshur dari Dinasti Abbasiyah meletakan batu pertama pembangunan sebuah ibu kota baru. Pemilihan Baghdad didasarkan pada beberapa alasan. Selain letaknya strategis secara militer, al Manshur juga melihat Baghdad memiliki Sungai Tigris. Itu faktor penting karena bisa menjadi sarana penghubung dengan Tiongkok sekaligus mengeruk hasil makanan dari Mesopotamia, Armeniadan daerah sekitarnya.  Untuk membangun Baghdad, menurut Al-Thabari (sejarawan Arab klasik termashur),  al Manshur sampai merogoh kocek sebesar 4.883.000 dirham dan mempekerjakan sekitar 100.000 arsitek, pengrajin, dan kuli yang berasal dari Syiria dan Mesopotamia. Sejak 762 M, Dinasti Abbasiyah memusatkan pemerintahannya di Baghdad. Berbeda dengan para pendahulunya para khulafaur rasyidin, khalifah-khalifah Abbasiyah terasing dari rakyatnya. Kebersahajaan dan informalitas lama yang menjadi ciri khalifah yang empat (Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib) tergantikan oleh gaya hidup glamor dan hedonistik. “Dalam keseharian, para khalifah Abbasiyah dikelilingi para tukang jagal. Itu seperti sebuah bentuk pemberitahuan tersirat kepada khalayak bahwa mereka memiliki kekuasaan atas hidup dan mati,” tulis Karen Armstrong dalam  Islam, A Short History. Lebih dari 500 tahun, para khalifah dinasti Abbasiyah hidup dalam kejayaan dan kemewahan. Di bawah pemerintahan mereka,Baghdad yang awalnya hanya sebuah kampung kecil telah berubah menjadi pusat fashion laiknya Paris, Milan dan New York saat ini.Berbagai prilaku dan gaya pakaian keluarga besar khalifah bahkan menjadi acuan mode dunia kala itu. Salah satu selebritis mode itu adalah Ulayyah,salah seorang adik perempuan Khalifah Harun Al Rasyid (786-809). “Ulayyah pernah coba menutupi sebuah goresan kecil di dahinya dengan memakai pengikat kepala yang berhiaskan emas permata. Ikat kepala ala Ulayyah tersebut lantas menjadi trend dunia mode pada zaman itu,” ungkap Philip K. Hitti dalam  History of the Arabs . Namun tidak hanya trend mode dan kemewahan, ilmu pengetahuan pun mengalami kemajuan yang sangat pesat di Baghdad. Kala itu, hampir di setiap sudut kota terdapat perpustakaan dan laboratorium penelitian. Bahkan bisa dikatakan hampir sebagian besar masyarakat Baghdad memiliki minat besar mempelajari matematika, fisika, kedokteran, seni dan filsafat.Sejarawan Prancis Gustave Le Bon,menyebut situasi tersebut sebagai ironi bagi dunia Barat. Mengapa?   ” Karena saat pusat-pusat Islam Baghdad (dan Spanyol) sedang berada di puncak kecemerlangannya,pusat-pusat intelektual di Barat hanyalah berupa benteng-benteng perkasa, yang dihuni oleh para bangsawan semi barbarik yang merasa bangga atas ketidakmampuannya membaca,” tulis Le Bon dalam  The World of Islamic Civilization . Kendati demikian, sejarah tidak selamanya berpihak pada sebuah bangsa. Di tengah gaya hidup mewah yang sudah malampaui batas,Baghdadpada akhirnya didatangi malapetaka. Bulan Februari 1258, sekitar 200.000 prajurit Mongol pimpinan Jenderal Hulago Khan menyerbu Baghdad. Menghadapi serangan tersebut, alih-alih bertahan, tentara Abbasiyah yang secara moril sudah miskin keberanian dan semangat itu malah lari kocar-kacir.  Ibnu Katsir melukiskan ketidak-berdayaan para tentara Abbasiyah tersebut. Menurut sejarawan Arab itu, Baghdad yang mewah dan indah dibuat jadi lautan darah oleh para prajurit Hulago Khan. ”Tentara Tartar (Mongol) mengejar pasukan khalifah dan rakyat biasa hingga ke lorong-lorong kota. Mereka dengan biadab membantai tanpa ampun tentara, anak-anak, perempuan dan orang tua. Baghdad menjadi samudera darah dan penderitaan,” tulis Ibnu Katsir dalam  al-Bidayah an-Nihayah . Setelah berhari-hari bertahan di istananya yang megah, Khalifah al-Mu’thasim (1243-1258) beserta 300 pejabat dan keluarga istana akhirnya menyerahkan diri pada Jenderal Hulago Khan. Sepuluh hari kemudian para tawanan itu dipancung satu persatu, termasuk al Mu’tashim beserta dua puteranya. Syahdan sepeninggal khalifah, Baghdad dibakar dan dijarah habis-habisan. Ribuan artefak dan manuskrip sejarah pun berubah menjadi abu. Selain kepada emas, rupanya tentara Mongol sama-sekali tidak tertarik pada aset sejarah dan ilmu pengetahuan. Sebuah sikap yang pada zaman sekarang terbukti dimiliki juga oleh militer Amerika Serikat dan Inggris saat menyerang Irak.

  • Ketika Rumah Menteri Pekerjaan Umum Kena Gusur

    Pembangunan Jalan Tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu (Becakayu) Jakarta Seksi 2B akan menggusur rumah pribadi Basuki Hadimuljono, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Demikian kabar itu keluar dari akun twitter Mahfud MD, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, pada 14 Mei 2019. Meski kabar itu belum pasti benar, perhatian khalayak telah banyak tertumpuk pada Basuki Hadimuljono. Sang menteri pun bilang penggusuran rumah pribadinya sebagai konsekuensi pembangunan. Mahfud MD memuji sikap Basuki. Sebab banyak pejabat tak rela memberikan pengorbanan untuk kepentingan masyarakat. Rencana penggusuran rumah Basuki mengingatkan pada sosok Martinus Putuhena. Dia pernah menjabat sebagai Menteri Pekerjaan Umum pada masa revolusi. Rumah kecilnya di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, kena gusur proyek pelebaran jalan pada 1976.  “Kamar tamu terpotong sama sekali,” tulis Leentje Hendrika Betsy Wattimena alias Putuwati dalam Ir. Martinus Putuhena Menteri Pekerjaan Umum di Masa Revolusi. Putuhena lahir di Ihamuha, Saparua, Maluku, pada 27 Mei 1901. Dia menghabiskan masa kecil dan pendidikan dasarnya di Ihamuha. Dia pindah ke Tondano, Sulawesi, untuk meneruskan pendidikan menengah pertama pada 1916. Lulus sekolah di Tondano, dia menuju Yogyakarta untuk menempuh pendidikan menengah atas pada 1920. Kemudian dia memilih Techinische Hoge School di Bandung sebagai tempat pendidikan tingginya selama 1923—1927.     Generasi Insinyur Pertama Putuhena termasuk generasi tukang insinyur pertama dari golongan anak negeri bersama Sukarno, Hudiono, Sutoto, Rooseno, dan Sutedjo. “Sampai proklamasi kemerdekaan Indonesia hanya terdapat sekitar 20 orang insinyur Indonesia,” catat R.Z. Leirissa dalam Ir. Martinus Putuhena Karya dan Pengabdiannya . Putuhena turut bergabung dalam Algemeene Studie Club Bandung, sebuah kelompok diskusi mahasiswa tentang persoalan politik, nasionalisme, dan filsafat, pada 1925. Dia cukup dekat dengan Sukarno dan mengemban tugas khusus selama bergabung di Studie Club. “Kalau rapat sedang berlangsung dia harus berada di pekarangan kantor untuk mengawasi kalau-kalau ada orang di sekitar tempat itu. Terutama untuk mengawasi oknum-oknum intel dari pemerintah Belanda yang sangat berbahaya,” tulis Putuwati. Tetapi setelah Putuhena menikah dan Sukarno dibuang pada 1930-an, kedekatan itu merenggang. Dia juga menjauhi politik konfrontatif terhadap Belanda dengan menerima tawaran kerja di Verkeer en Waterstaat (Pekerjaan Umum dan Tenaga). Kerja di sana cukup menyenangkan bagi seorang anak negeri. Fasilitas dan tunjangan kerja tersedia untuk mereka. Perhatian pokok Putuhena masa itu pada bagaimana memanfaatkan pengetahuannya untuk kepentingan masyarakat luas. Dia berbeda dari tokoh pergerakan asal Maluku lainnya seperti dr. J. Leimena dan Mr. J. Latuharhary. Keduanya aktif berorganisasi dan menyebarkan gagasan melalui tulisan. Putuhena tidak meninggalkan tulisan dalam majalah, harian, dan lain-lain. “Maka kesadaran nasionalnya di masa penjajahan memang tidak bisa diketahui,” catat Putuwati. Ketika awal Jepang menduduki Indonesia pada 1942, Putuhena telah mencapai kedudukan tinggi di Dinas Pekerjaan Umum dan Tenaga (Verkeer en waterstaat) di Lombok. Dia punya catatan bekerja sama dengan Belanda, tetapi tidak ditangkap oleh Jepang. Dia tidak termasuk golongan gelijkgesteld alias orang Indonesia berstatus hukum setara dengan orang Eropa. Golongan inilah incaran tentara Jepang untuk ditawan. Ditangkap Jepang Putuhena tetap bekerja sebagai tenaga ahli dalam Dinas Pekerjaan Umum. Tapi segala fasilitasnya telah sirna. Jepang mengambil-alih rumah dinasnya yang besar. Dia tersingkir ke pinggiran kota. Di sini dia mengetahui perilaku kejam tentara Jepang. Dia mulai tidak suka pada Jepang dan menolak bekerja. Pilihan sikapnya berujung penangkapan oleh tentara Jepang selama beberapa hari. Masa awal kemerdekaan, Putuhena menjabat sebagai Menteri Pekerjaan Umum dalam Kabinet Sjahrir sejak 14 November 1945 hingga 3 Juli 1947. Seluruh Kabinet Sjahrir harus terdiri dari orang-orang bersih dari cela kerja sama dengan Jepang demi meredam pandangan Sekutu bahwa Indonesia negara bentukan Jepang. Putuhena bisa dinyatakan memenuhi syarat. Selain syarat bersih diri itu, Putuhena juga memenuhi kualifikasi pengalaman dan kemampuan teknis. “Dia pernah mencapai pangkat yang cukup tinggi dalam bidang ini di masa penjajahan. Dengan demikian pengetahuan teknisnya dapat diandalkan,” catat Leirissa. Selama di Kementerian Pekerjaan Umum, Putuhena bertugas merehabilitasi infrastruktur. Banyak infrastruktur hancur pada masa pendudukan Jepang. Antara lain jalan umum. Tapi perbaikan itu sulit terwujud. Mengingat ongkos pekerjaan sangat minim, peralatan tidak memadai, dan tenaga ahli kurang. Masalah umum seperti kementerian lainnya. Sebagai gambaran betapa susahnya keuangan kementerian, lihatlah cerita perjalanan dinas Putuhena ke Purworejo pada suatu hari. Ban mobil dinas Putuhena pecah di tengah jalan. Mobil itu tak punya ban cadangan. Tiada anggaran untuk menyediakan ban serep di tiap mobil dinas. Ban kempes itu lalu diisi rumput supaya mengurangi goncangan hingga tiba di tujuan. Aktivitas politik Putuhena selama masa revolusi fisik tidak banyak menonjol. Dia memang tercatat sebagai seorang anggota Partai Kristen Indonesia sejak 1947. Dia seangkatan dengan dr. Leimena. Tetapi peranannya kurang berpengaruh dalam pengembangan partai. Usai menjabat sebagai Menteri Pekerjaan Umum, Putuhena menjadi kepala bagian gedung-gedung Kementerian Pekerjaan Umum di Yogyakarta. Sebab ibukota telah pindah ke Yogyakarta sejak Juli 1947. Salah satu tugasnya ialah menyusun rencana pembangunan kota Yogyakarta meliputi kampus Universitas Gajah Mada di wilayah Bulaksumur.  Putuhena beranggapan perkembangan teknologi di Indonesia bisa mendapat banyak manfaat dari kerja sama yang harmonis dengan kekuatan Barat yang memiliki budaya teknologis yang tinggi. Dia percaya kemampuan diperoleh melalui pendidikan. Maka dia bentuk Akademi Teknik Pekerjaan Umum dan Tenaga (PUT) di Bandung pada 1951. Dia juga merancang pengiriman insinyur ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikan. Jalan Beton Putuhena turut menghadiri kongres jalan raya dunia ke-9 di Lisabon Portugal. Kongres membahas penggunaan beton untuk jalan raya. Teknik ini masih langka di Indonesia. Ada pula bahasan tentang konstruksi jalan by-pass . Kelak pembangunannya berlangsung pada dekade 1960-an, merentang dari Tanjung Priok hingga Cawang di Jakarta. Putuhena pulang ke Jakarta. Tapi tak lama. Dia pergi lagi ke Paris untuk menghadiri Sidang Umum PBB. Di sela-sela acara tersebut, dia bertemu dengan ahli bidang pengairan asal Prancis. Obrolannya seputar kemungkinan proyek pengairan di Indonesia. Kelak salah satunya terwujud dalam Waduk Jatiluhur, Jawa Barat, dan pembangunan instalasi air bersih di Pejompongan, Jakarta. Sentuhan Putuhena juga berjejak dalam pembangunan kampus Universitas Indonesia di Rawamangun, Jakarta Timur. Daerah ini begitu lengang. Sampai orang masa itu bilang “tempat jin buang anak”. Harga tanah sangat murah. Melalui pembangunan kampus baru UI itu, jalan pun dibuat dan diperbagus. Lalu tumbuhlah permukiman di sekitarnya sehingga menyebabkan perkembangan wilayah ini. Meski berkiprah jauh dari kampung halaman, Putuhena tidak lantas mengabaikan tanah kelahirannya. Dia peduli dengan Maluku. Dia ingin menghapus sentimen sebilangan orang Maluku terhadap Republik Indonesia. Caranya dengan membangun infrastruktur. Hal terpenting di Maluku adalah menyentuh orang dengan agamanya. Sentuhan itu berupa pembangunan gereja. Berbagai macam kelompok terlibat dalam pembangunannya. Pada 1951—1953. Setelah pensiun pada 1956, Putuhena bekerja di perusahaan swasta. Tapi perusahaan ini kemudian bangkrut dan pekerjanya kena PHK. Dia harus menjual rumahnya di Teluk Betung, Jakarta Pusat, demi meneruskan hidup. Dari hasil penjualan rumah tersebut, dia membeli rumah lebih kecil di Tebet Timur Dalam, Jakarta Selatan. Kepindahan Putuhena masih berlanjut pada masa pensiunnya. Dia menempati rumah kecil lagi di wilayah Pasar Minggu. Di rumah inilah penggusuran sebagian rumahnya terjadi. Justru ketika dia telah memperoleh penghargaan Bintang Mahaputra Utama dari Presiden Soeharto pada 13 Agustus 1976. “Untunglah pada waktu itu Gubernur Ali Sadikin berbaik hati untuk menyumbangkan sejumlah dana untuk memperbaiki rumah itu,” tulis Putuwati. Di rumah yang sempat tergusur inilah Putuhena melewati sisa hidupnya. Dia wafat pada 20 September 1982 di Jakarta.

  • Srikandi Dunia Telekomunikasi

    TELEPON selular (ponsel) kini jadi barang “wajib” bagi hampir semua orang. Maraknya penggunaan ponsel ini bermula dari inisiatif Telkomsel untuk meliberalisasi perangkat sejak berdiri pada 1995. Harga ponsel yang semula selangit, turun jadi terjangkau. Kala itu, Telkomsel satu-satunya perusahaan yang memisahkan bisnis layanan telekomunikasi dengan penjualan perangkat sebelum liberalisasi telekomunikasi dilakukan besar-besaran oleh pemerintah pada awal 2000. Di balik turunnaya harga ponsel itu, ada seorang perempuan yang duduk di tataran elite. Dialah Koesmarihati, direktur utama (dirut) Telkomsel pertama. Marie, begitu ia disapa, menjabat posisi dirut pada 1995 hingga pensiun pada 1998 ketika usianya 56 tahun. Lahir di Bogor, 9 Oktober 1942, Koesmarihati merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara. Ayahnya, Koesnowarso, bekerja sebagai inspektur kehutanan Provinsi Jawa Barat. Sebagian masa kecil Marie dihabiskan di Bandung, di rumah dinas ayahnya. Begitu ayahnya meninggal pada 1951, Marie sekeluarga pindah ke Madiun. Di Madiun, mereka tinggal di rumah nenek. Lantaran uang pensiun ayahnya tidak kunjung cair selama beberapa tahun, ibunya, Koesmarlinah, jungkir-balik membiayai tujuh anaknya. Koesmarlinah bekerja sebagai penjilid buku di percetakan milik saudaranya. Tiap pulang sekolah, Marie dan saudara-saudaranya membantu ibu menyortir halaman-halaman yang akan dijilid dan mengoleskan lem. Melihat ibu dan neneknya bahwa perempuan mampu dan aktif pantang menyerah untuk terus bergerak, Marie mencontoh. Langkah pertamanya, Marie berhasil menyelesaikan SMA sebagai lulusan terbaik kedua se-Kota Madiun pada 1961. Prestasi itu membawanya mendapat beasiswa Colombo Plan, yang mengambil siswa terbaik di tiap kota. Dari Madiun, Marie terpilih bersama rekannya yang rangking 1, Sungkowo. Selain Marie, ada satu siswi lain yang terpilih dalam beasiswa itu, yakni Trismiati asal Kediri. Gadis keturunan Tionghoa itu kemudian jadi sahabat Marie setelah tinggal di tempat yang sama, saat sama-sama kuliah di jurusan Teknik Elektro, Universitas Tasmania, Australia. “Tapi Tris tidak bekerja di Indonesia. Mungkin karena ada sentimen Tionghoa, maka agak lebih sulit dapat pekerjaan,” kata Koesmarihati pada Historia . Di Australia, Marie juga seangkatan dengan Jonathan L Parapak, direktur utama Indosat periode 1976-1980. Marie, Tris, dan Jonathan lulus tahun 1966. Marie kemudian bekerja sebagai teknisi Kelas 1 di Hydro Electric Commission. Setelah itu, dia bergonta-ganti pekerjaan baik di Indonesia maupun Australia, mulai dari Laboratorium PLN, Telcom Australia, sampai Nederlandse Kabel Fabriek (NKF). Pada 1975, NKF bekerjasama dengan Kabelindo untuk merencanakan pembangunan kabel jaringan Telkom di Jabodetabek. Marie terlibat dalam proyek ini mewakili NKF. Pada 1976, Marie bergabung dengan Telkom Indonesia. Di hari pertamanya bertugas di Telkom, Marie langsung diminta memimpin rapat. Orang-orang NKF yang sebelumnya bekerja dengannya keheranan. “NKF ada di situ, bengong semua ujug-ujug aku yang mimpin rapat,” katanya. Usai rapat, salah satu rekan Marie di NKF menanyakan alasannya pindah ke Telkom. Rekannya itu juga meledek keputusan Marie yang bakal membuatnya kurus lantaran tak bisa lagi makan enak. “Katanya, nanti kalau aku nggak bisa makan steak lagi, mau ditraktir di Hotel Indonesia,” sambungnya. Karier Marie di Telkom dirintis dari posisi staf dalam proyek Telekomunikasi Nusantara untuk menyambung kabel jaringan se-Jabodetabek. Pada 1978, Marie naik jadi kepala teknik jaringan hingga proyek itu kelar tahun 1980. Ketika itu, Telkom masih menggunakan kabel tembaga. Ketika teknologi fiber optic mulai digunakan untuk sambungan telepon pada 1977 di Amerika, Marie mulai memikirkan agar Telkom ikut menggunakan teknologi mutakhir itu. Ide Marie diterima, dia pun ditunjuk menjadi kepala PilotProject pembangunan fiberoptic sepanjang Jatinegara-Gambir pada 1980. Proyek inilah yang mempelopori penggunaan kabel fiber optic dalam sistem telekomunikasi di Indonesia dan memberi Marie anugerah Satya Lancana Pembangunan pada 1996. Koesmatihati bersalaman dengan Menparpostel Soesilo Sudarman Ketika teknologi telepon seluler makin dikembangkan, pada 1993 Marie ditunjuk menjadi Direktur Pembangunan Telkom. Divisinya bertugas merancang masa depan telepon seluler dan membangun teknologi GSM. Sementara, pilotproject pembangunan BTS dikepalai Garuda Sugardo. “Kami ditantang, sebelum ayam berkokok 1 Januari 1994 GSM harus sudah mengudara,” kata Marie. Kerja keras semua akhirnya tak sia-sia, proyek percontohan itu berhasil. Pada sore 31 Desember 1993, Marie menjajal komunikasi GSM pertama itu. Keberhasilan itu dilanjutkan Telkom, dengan membangun sarana lanjutan untuk calon anak perusahaan telekomunikasi selulernya, Telkomsel. Proyek kelar menjelang akhir 1994. Menristek Habibie meresmikannya dengan menjajal teknologi baru itu untuk menghubungi beberapa duta besar Indonesia di luar negeri. Kesuksesan proyek ini mengantarkan Marie jadi Direktur Utama Telkomsel pada 1995 sekaligus jadi perempuan pertama yang duduk sebagai pemimpin di dunia telekomunikasi. Sementara, Garuda Sugardo duduk di jajaran direksi. Dalam 1,5 tahun, Telkomsel berhasil mambangun BTS di seluruh ibukota provinsi. Bukan hanya itu, lewat strategi yang hanya menjual layanan jaringan –sedangkan penjualan ponsel diserahkan ke pasar atau distributor– Telkomsel berhasil membuat harga ponsel turun dari 15 juta-an rupiah jadi empat juta-an. Model pemasaran itu berbeda dari NMT, AMPS, dan Satelindo yang menjual perangkat dan nomor sekaligus dengan harga selangit. Gebrakan Telkomsel membuat para pesaingnya kelimpungan. Pernah dalam sebuah rapat, Telkomsel diminta untuk mengeluarkan daftar resmi merek perangkat GSM yang bisa dipilih masyarakat. Telkom menolak dan tetap tegas untuk tidak ikut campur dalam penjualan ponsel. “Kertasnya disobek-sobek sama Pak Garuda,” kata Marie. Usai pensiun dari Telkomsel, Marie tetap aktif di dunia telekomunikasi sebagai konsultan, pengawas, dan terkahir sebagai penasihat Badan Aksesbilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) Kominfo. Atas ketelatenannya di dunia telekomunikasi, Marie mendapat gelar kehormatan honoris causa dari Universitas Tasmania pada 2009. “Tidak ada masalah perempuan memimpin. Saya pun tak pernah merasa dunia teknik atau telekomunikasi itu maskulin kalau kesempatan yang diberikasan sama. Perempuan sangat bisa terjun,” kata Marie.

  • “Say Cheese, Mr. Aidit!”

    D.N. Aidit pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) dikenal anti Amerika Serikat (AS), negara adikuasa yang berideologi kapitalisme. Ketika Amerika membentuk pakta pertahanan Asia Tenggara (SEATO), Aidit mengecam keras kebijakan itu. SEATO sendiri dibentuk pada 1954 untuk membendung pengaruh komunisme di Asia Tenggara. Beberapa negara tetangga Indonesia seperti Filipina dan Thailand bergabung di dalamnya. “Dengan dukungan Amerika, negara-negara ini telah membentuk sebuah persekongkolan subversif di antara kekuatan imperialis dan kekuatan reaksioner yang ada di Indonesia untuk merongrong pemerintah Indonesia dan menariknya ke kubu mereka,” kata Aidit dalam pidatonya “Untuk Kemenangan Front Nasional dalam Pemilihan Umum” termuat di Pilihan Tulisan Jilid 1 . Seruan itu disampaikan Aidit di hadapan Pertemuan Paripurna Ketiga Komite Sentral  PKI, 7 Agustus 1955. Aidit juga menyerang sikap Presiden Dwight Eisenhower yang mendukung kekuasaan Belanda atas Irian Barat. Dalam sebuah rapat Komite Sentral PKI, Aidit menyerukan segenap kadernya untuk menghadapi kekuatan Blok Barat. Bukan hanya Belanda yang bercokol di Irian Barat, melainkan sebuah kekuatan yang lebih besar dan lebih keji di belakangnya, yakni imperialisme Amerika. Meski anti dengan ideologinya, Aidit punya pengalaman unik dengan negeri Paman Sam itu. Dalam lawatan Presiden Sukarno ke markas PBB di New York untuk mengikuti sidang majelis umum, Aidit ikut serta. Selain Aidit, menurut Juru Bicara Departemen Luar Negeri, Ganis Harsono, beberapa pejabat negara lain menyertai kunjungan Sukarno pada 30 September 1960. Mereka antara lain: Jenderal TNI Abdul Haris Nasution, Menteri Luar Negeri Soebandrio, Ali Sastroamidjojo, dan Sekretaris Jenderal Dewan Pertimbangan Agung (DPA) Roeslan Abdulgani. Menjelang pukul 3 sore, rombongan Presiden Sukarno bersiap memasuki ruang sidang. Kerumunan wartawan dan juru foto segera menghampiri. Mereka menyerbu ke tengah-tengah ruangan sidang tempat delegasi Indonesia duduk. Hanya ada tiga orang yang menjadi pusat perhatian: Presiden Sukarno, Jenderal Nasution, dan siapa lagi kalau bukan Aidit. Para awak media dari berbagai kantor berita Amerika dengan antusias membidikan lensa kameranya kepada ketiga orang ini.   “Tujuh menit lamanya mereka membidik Presiden Sukarno, Jenderal Nasution, dan pemimpin komunis Aidit,” tutur Ganis Harsono dalam memoarnya Cakrawala Politik Era Sukarno. “Say cheese, Mr. Aidit!” kata seorang wartawan, dan Aidit pun menurut menyunggingkan senyum. Para jurnalis foto tersebut memberikan perhatian istimewa kepada Aidit. Wajar belaka, Aidit adalah orang komunis Indonesia pertama yang diizinkan masuk ke Amerika Serikat.*

  • Ketika Hatta Menolak Papua

    BERBEDA dengan mayoritas anggota  BPUPKI yang menginginkan Indonesia merdeka meliputi seluruh negeri Hindia Belanda, Malaya, Borneo Utara, Timor Portugis, dan Papua, Hatta adalah kekecualian. Menurutnya Indonesia cukup meliputi negeri Hindia Belanda saja. Adapun Papua – yang di sebut-sebut kaya dan punya ikatan sejarah dengan Nusantara – tidaklah masuk dalam keluarga besar Republik Indonesia. “Saya sendiri ingin mengatakan bahwa Papua sama sekali tidak saya pusingkan, bisa diserahkan kepada bangsa Papua sendiri. Bangsa Papua juga berhak menjadi bangsa merdeka,” kata Hatta pada sidang BPUPKI 11 Juni 1945  yang tercatat dalam Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 29 Mei 1945—19 Agustus 1945. Menurut Hatta memasukan Papua yang secara etnis berbeda dapat menimbulkan prasangka bagi dunia luar. Bertolak dari hukum internasional yang berlaku, tuntutan atas wilayah ini akan memberi kesan Indonesia memiliki nafsu imperialistis. Kecuali rakyat Papua sendiri yang menginginkan untuk bergabung, Hatta tidak menolak.   “Jadi jikalau ini diterus-teruskan, mungkin kita tidak puas dengan Papua saja tetapi (kepulauan) Salomon masih juga kita minta dan begitu seterusnya sampai ketengah laut Pasifik. Apakah kita bisa mempertahankan daerah yang begitu luas?,” tanya Hatta kepada hadirin sidang. Hatta juga menentang pandangan Yamin yang bersikukuh mengatakan Papua bagian dari Indonesia sejak zaman kerajaan Nusantara. Yamin secara panjang lebar menguraikan pendapatnya soal Papua lewat analisis historis, politik, dan geopolitik. Bagi Hatta, semua itu omong kosong. “Kalau sudah ada bukti, bukti bertumpuk-tumpuk yang mengatakan bahwa bangsa Papua sebangsa dengan kita dan bukti-bukti itu nyata betul-betul, barulah saya mau menerimanya. Tetapi buat sementara saya hanya mau mengakui, bahwa bangsa Papua adalah bangsa Melanesia, ” kata Hatta. Ketimbang Papua, Hatta lebih cenderung mempertimbangkan Malaya dan Borneo Utara. Pasalnya, rakyat di kedua wilayah  ini  - yang kini menjadi negeri Malaysia – sama-sama beretnis serumpun Melayu seperti halnya Indonesia. Oleh karena itu, Hatta mempertahankan usulannya agar wilayah Indonesia terdiri dari Hindia Belanda dan Malaya minus Papua. Akhir kata dalam sidang, Hatta menghimbau rekan-rekannya di BPUPKI agar bersikap realistis dalam membangun bangsa dan negara. Ini menurut Hatta, penting sebagai teladan bagi generasi muda. Menghilangkan nafsu ekspansi ke luar dan mengubahnya untuk mempertahankan kedaulatan. “Marilah kita mendidik pemuda kita, supaya semangat imperialisme meluap ke dalam, membereskan pekerjaan kita ke dalam, yang masih banyak harus diperkuat dan disempurnakan,” pungkas Hatta.   Sayangnya, gagasan Hatta harus kandas dalam pemungutan suara. Konsep kesatuan gagasan Yamin dan Sukarnolah yang diterima dengan perolehan suara terbanyak. Meski kalah dalam BPUPKI, Hatta tetap konsisten dalam pendapatnya soal Papua. Ini pun disampaikan Hatta kepada Menteri Luar Negeri Belanda, Dirk Stikker, dalam sebuah perundingan pada November 1948. Sejarawan Belanda, Pieter Drooglever mencatat, Hatta mengulangi kepada Stikker pendiriannya yang bertahun-tahun silam sudah diutarakan dalam BPUPKI, yaitu bahwa ia tidak berminat terhadap Papua, karena tidak termasuk Indonesia. Bagi Stikker, pernyataan Hatta ini merupakan ucapan penting. “Ia segera menarik kesimpulan dari situ, bahwa wilayah ini dapat direservasi untuk Belanda,” tulis Drooglever dalam Tindakan Pilihan Bebas: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri . Sikap Hatta tidak berubah ketika memimpin delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) pada Oktober 1949 di Den Haag, Belanda. Hatta tampak enggan beradu klaim menghadapi Menteri Urusan Negeri Hajahan Belanda, Henricus van Maarseven yang begitu menginginkan Papua. Hatta bersedia menangguhkan status kepemilikan wilayah itu dan membicarakannya lagi setahun kemudian. Hatta kembali pulang ke Indonesia membawa oleh-oleh pengakuan kedaulatan. Namun Papua masih jauh dari genggaman Republik - sebagaimana yang dipesankan oleh Sukarno. “Dalam keadaan semacam itu, jalan sebaiknya ialah menunda penyelesaian. Orang yang berpendirian semuanya harus tercapai 100% sekaligus, tentu tidak puas dengan cara begitu. Tapi adakah jalan untuk mencapai tuntutan itu sekarang juga?,” kata Hatta di depan Badan Pekerja KNIP, 25 November 1949 dikutip Soebandrio dalam Meluruskan Sejarah Irian Barat . Menurut Mavis Rose dalam Indonesia Free: A Political Biography of Mohammad Hatta, Hatta tahu mengapa Belanda ngotot mempertahankan kekuasaannya di Papua. Alih-alih meneruskan tuntutan, Hatta lebih memilih untuk menyelesaikan perundingan lewat kompromi. Misi pengakuan kedaulatan menjadi yang terpenting sedangkan masalah Irian Barat dapat diselesaikan di kemudian hari. Bagi Hatta, revolusi telah selesai dengan memperoleh kedaulatan politik meski tanpa Papua. Seiring dengan itu, tibalah saatnya membangun negara. Namun tidak demikian halnya dengan kaum Republiken lain yang mendambakan kekuasaan Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Kendati sudah menjadi bagian dari Republik Indonesia, siapa nyana soal Papua malah menjadi batu sandung Indonesia dalam pergaulan internasional hingga kini.

  • Akhir Tragis Alutsista Legendaris

    LEMPENGAN logam sepanjang lebih dari satu meter itu tegak berdiri di Heritage Room Lanud Atang Sanjaya (ATS), Semplak, Bogor. Warnanya putih sudah kusam, namun kondisinya masih baik. Lempengan itu persis seperti yang terdapat di ekor helikopter yang menjadi latar belakang dalam foto Marsda (Purn.) Tatang Kurniadi, penerbang TNI AU yang kala itu masih berpangkat kapten di Skadron 6. “Ini (foto Mi-6 era 1970-an) sebelum dibongkar. Dulu kepingin juga menerbangkan tapi ya memang ditugaskannya di heli lain (Sikorsky UH-34-D “Sea Horse”, red),” tuturnya kepada Historia. Lempengan itu merupakan bekas rotor ekor helikopter buatan Uni Soviet Mi-6 Hook milik Angkatan Udara Repubik Indonesia (AURI). “Iya, ini satu-satunya sisa dari Mi-6 itu. Heli raksasa yang kalau kita istilahkan seperti (pesawat) Hercules dikasih baling-baling,” terang Kadispers Lanud ATS Letkol (Pnb) Sigit Gatot Prasetyo. Di masanya, Mi-6 merupakan heli angkut berat terbesar di dunia dengan dimensi panjang 33 meter dan tinggi 9,86 meter. Ia lahir dari Pabrik Helikopter Mil di Moskva pada 1957. Heli pertama bertenaga turboshaft itu ditenagai dua mesin Soloviev D-25V. Kecepatan maksimalnya 300 kilometer per jam. Ia mampu mengangkut 90 orang dan beban maksimal 12 ton. AURI mendatangkannya sekira 11 unit (beberapa sumber menyebut sembilan dan enam unit) pada 1960-an. Untuk mewadahinya, lebih dulu dibentuk Skadron Helikopter Mi-6 Persiapan melalui SK Menpangau Nomor 12 tahun 1965 tertanggal 11 Februari 1965. Kelak, skadron ini beralih menjadi Skadron 8 di bawah naungan Wing Operasi 004. Danskadron pertamanya Mayor Udara Imam Suwongso. Mayor Udara Imam Suwongso, Komandan Skadron 8 pertama (Foto: Dok. Lanud ATS) Kedatangan rombongan pertama Mi-6 pada 29 Juli 1966 memakan korban perwira teknik AURI Mayor –kemudian dinaikkan secara anumerta menjadi letnan kolonel– Atang Sendjaja. Kala itu, Mayor Atang hendak memimpin konvoi dua unit Mi-6 menuju Lanud Halim Perdanakusuma untuk dirakit, sebelum dikandangkan di Pangkalan Angkatan Udara (PAU) Semplak (nama lama Lanud ATS). “Kakek meninggal ketika bawa heli itu dari Tanjung Priok ke Halim. Saat itu kakek ada di dalam heli ketika buntut helinya terkena kabel listrik sebelum masuk Halim,” kenang Fajar Anugrah Putra, salah satu cucu Atang Sendjaja, kepada Historia . Nama Atang kemudian diabadikan menjadi nama PAU Semplak. Hingga akhir masa tugasnya pada 1968, tulis T. Djohan Basyar dalam Home of Chopper: Perjalanan Sejarah Pangkalan TNI AU Atang Sendjaja 1950-2003 , heli-heli Mi-6 turut serta dalam operasi-operasi (masa-masa akhir) Trikora, hingga Dwikora dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia di Kalimantan. Namun dampak politik pasca-Peristiwa 1965 dan transisi rezim Orde Lama ke Orde Baru menyebabkan ketiadaan suku cadang heli tersebut. Armada Mi-6 akhirnya di- grounded pada 1968 dan Skadron 8 sendiri dibekukan pada 1971. Satu-satunya peninggalan heli Mi-6 berupa sebilah baling-baling belakang di Heritage Room Skadron 8 Lanud ATS (Foto: Randy Wirayudha/Historia) “Efek dari kejadian 1965 itu kan hampir semua alutsista dari Rusia di- grounded dan baru nantinya digantikan heli-heli dari Amerika. Sisa-sisanya semua di- scrap , dipereteli. Ada yang jadi panci, penggorengan, ya perabotan rumah tanggalah. Sedih sih ceritanya. Satu-satunya peninggalan ya tinggal ini,” ujar Letkol Sigit sembari menunjukkan sisa sebilah tail-rotor itu. Marsda Tatang Kurniadi juga masih ingat nasib heli Mi-6 nan tragis laiknya armada jet bomber Tupolev Tu-16 Badger atau kapal penjelajah berat KRI Irian milik ALRI. Semua disingkirkan lantaran alasan politis. “Sekitar 1975 saya lihat dari hanggar Skadron 6 di kejauhan. Di seberang grass-strip (landasan rumput, red. ) di deretan Mi-6 diparkir, ada kegiatan bongkar Mi-6. Malah beberapa waktu kemudian terlihat ada unggun api membakar bagian-bagian heli tersebut. Jumlahnya sekitar 4-5 heli,” kenangnya.

  • Stunting dan Sejarahnya di Indonesia

    Aktif mengikuti Historia di media sosial Twitter mengantarkanTriawan (24 tahun) ke acara Ngobras (Ngopi Bareng Rasa Sejarah) pada 16 Mei 2019. Acara yang diadakan Historia bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika ini berlangsung di Beranda Coffee, Jakarta Selatan. Ngobrasedisi kali ini mengangkat tema “Stunting dan Sejarahnya di Indonesia”, dengan menghadirkan para pakar kesehatan di Indonesia, di antaranya Agus Setiawan, Ph.D (dosen sejarah kesehatan Universitas Indonesia), dan dr. Dermawan C. Nadeak, Sp.GK (dokter spesialis gizi klinik). “Tema yang diangkat menarik. Jarang ada bahasan tentang stunting di sejarah kesehatan,” ucap mahasiswa sejarah UNJ itu. Antusiasme para peserta Ngobras begitu besar. Terbukti dari banyaknya pertanyaan dan tanggapan tentang materi stunting ini. Kendati kursi telah habis, mereka rela berdiri demi dapat mendengarkan pemaparan dari para pemateri. Gizi dan Stunting Permasalahan kesehatan gizi, lebih lanjut dapat menjadi stunting , telah menjadi momok bagi dunia kesehatan Indonesia. Stunting terjadi manakala seorang bayi tidak tumbuh secara optimal akibat asupan gizi pada 1000 hari pertama kehidupannya tidak terjaga. “Dampak jangka panjang dari stunting ini cukup mengkhawatirkan. Misal meningkatkan risiko penyakit, postur tubuh tidak optimal, produktivitas yang tidak maksimal, dan sebagainya,” kata Dermawan. Sejak masa kolonial, pemerintah sudah memberikan fokus terhadap persoalan gizi buruk tersebut. Agus mengatakan bahwa bentuk nyata dari perhatian pemerintah Hindia Belanda terhadap permasalahan kesehatan dilakukan dengan membangun banyak fasilitas kesehatan. Namun awalnya hanya untuk menjaga kesehatan para tentara. “Perhatian pemerintah kepada sipil ini malah belakangan mendapat prioritas karena tentara kolonial menjadi ujung tombak pemerintah Hindia Belanda,” ujar Agus. Masalah kesehatan terburuk dialami oleh rakyat Indonesia sejak diberlakukannya kebijakan Tanam Paksa pada 1830. Terjadi kelaparan besar-besaran di berbagai daerah di Indonesia. Jangankan gizi, pangan pun tidak tercukupi. “Orang-orang Indonesia itu jangankan untuk mendapatkan nutrisi yang cukup, untuk mendapatkan bahan pangan dasar saja sudah sangat terbatas,” kata Agus. Kasus gizi buruk di masyarakat terus meningkat, terlebih sejak terjadinya krisis ekonomi tahun 1930. Pemerintah Hindia Belanda kemudian melakukan penanggulangan dengan mendirikan Instituut Voor de Volkvoeding (IVV) pada 1934. Melalui lembaga riset ini, pemerintah mencoba membuat solusi terkait permasalah gizi. Seorang konsultan pertanian untuk pendidikan, G.A. van de Mol, dalam tulisannya Gezonde Voeding (Makanan Sehat), menyerukan agar orang Eropa yang tinggal di Hindia untuk beralih ke pangan “pribumi”, yang lebih kaya sayuran dan buah-buahan ketimbang daging, sebagai alternatif. Namun, kesulitan harus dihadapi masyarakat Indonesia. Upaya perbaikan gizi kembali terhalang saat masa pendudukan Jepang. Kebijakan yang mengharuskan rakyat menyetor hasil pertanian membuat mereka kekurangan pangan. Rakyat harus hidup dengan makanan seadanya. Dalam bukunya Mobilisasi dan Kontrol, Aiko Kurasawa menjelaskan keadaan yang dialami rakyat Indonesia saat menghadapi krisis tersebut. Untuk mengatasinya, diperkenalkanlah resep-resep makanan baru pengganti beras. “Salah satunya adalah ‘bubur perjuangan’, yang terbuat dari campuran ubi, singkong, dan katul,” tulis Aiko. Pada masa pendudukan Jepang segala lembaga kesehatan dan hasil-hasil riset yang telah dibangun oleh Belanda dikuasai sepenuhnya untuk kepentingan militer Jepang. Tidak sedikit pun mereka memberi ruang bagi pembangunan kesehatan masyarakat Indonesia. “Satu kata untuk masa pendudukan Jepang ini: gizinya sangat buruk,” kata Agus. Agus kemudian menulis dalam makalahnya bahwa setelah Indonesia merdeka, Kementerian Kesehatan segera dibentuk atas usulan panitia kecil (Sukarno, Hatta, Agus Salim, Achmad Subardjo, dll). Setelah itu kementerian kesehatan bergerak cepat mengatasi permasalah kesehatan ini. Pada 1950, dibentuk Lembaga Makanan Rakyat (LMR), kelanjutan dari IVV pada masa Belanda. Lembaga pimpinan Poorwo Soedarmo ini merintis berbagai program gizi nasional, seperti penyuluhan, penanggulangan, dan pendidikan untuk para ahli gizi. Tetapi bukan persoalan mudah bagi LMR menjalankan misinya. Keadaan ekonomi yang belum stabil, ditambah tidak meratanya pemahaman masyarakat tentang kesehatan membuat LMR harus bekerja sangat keras. Pada 1951, LMR mendirikan Sekolah Juru Penerang Makanan. Hal itu dilakukan untuk mencetak ahli-ahli gizi di Indonesia. LMR juga menginisiasi diadakannya Hari Gizi Nasional pertama pada pertengahan 1960-an. Untuk mempercepat program kerja LMR, Poorwo kemudian membuat slogan “4 Sehat 5 Sempurna”. Hasilnya, kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga keseimbangan makanan terus meningkat. “Kalau saya pribadi sebagai dokter gizi mengatakan bahwa 4 sehat 5 sempurna ini sudah lebih gampang diterima,” ucap Dermawan. Pada 1999, pemerintah mulai mengeluarkan kebijakan desentralisasi untuk urusan kesehatan ini. Mereka memberikan wewenang penuh kepada pemerintah daerah untuk mengatasi berbagai persoalan kesehatan di wilayahnya, termasuk urusan gizi. Namun, hal itu sangat memberatkan. Pemerintah daerah yang kekurangan fasilitas dan tenaga kesehatan kesulitan menanggulangi perosalan gizi tersebut. Acara Ngobras diakhiri dengan pemaparan dari perwakilan Kominfo, Irawan, mengenai program-program yang telah dijalankan dalam persoalan stunting . “Sejak tahun 2014, Kominfo diberi kepercayaan untuk mengkampanyekan stunting di Indonesia,” terang Irawan. Sebagai langkah nyata, Kominfo kemudian membentuk sebuah gerakan yang dikenal sebagai “Genbest” (Generasi Bersih dan Sehat). Gerakan ini ditujukan untuk menyelesaikan persoalan gizi di berbagai daerah di Indonesia. Caranya dengan penyuluhan langsung pada masyarakat, terutama generasi-generasi muda.

  • Di Bawah Simbol Banteng

    FOTO usang itu menyiratkan kegagahan. Sekelompok pemuda dengan takeyari (bambu runcing) terhunus berbaris rapi.  Wajah-wajah mereka terlihat keras seolah siap menghancurkan musuh yang datang menghadang. Sementara  salah satu dari pemuda itu memegang panji bersimbol siluet kepala banteng.  Siapakah mereka? “Anak-anak muda itu adalah anggota sebuah lasykar ternama di era revolusi, namanya BBRI (Barisan Banteng Republik Indonesia),” ungkap sejarawan Rushdy Hoesein. Kendati didirikan oleh kaum nasionalis  dan kerap dihubungkan dengan PNI (Partai Nasional Indonesia), pada kenyataannya  BBRI bukanlah “milik seutuhnya” dari partai kaum nasionalis tersebut. Menurut Kemal Asmara Hadi, pada awal pendiriannya loyalitas BBRI lebih cenderung ditujukan kepada Sukarno. “ Wajar karena sebagian besar pimpinannya seperti dr. Moewardi dan Soediro adalah kader Bung Karno,” ungkap salah satu putra dari tokoh BBRI, Asmara Hadi itu BBRI memang salah satu milisi terkuat di Indonesia pasca proklamasi. Menurut George McTurnan Kahin dalam Nationalism and Revolution in Indonesia , pada akhir 1945, anggotanya melampaui angka 20.000 orang. Suatu jumlah yang hanya bisa dikalahkan oleh Hizboellah (Masyumi), Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) dan Lasjkar Rakjat (Murba). Awalnya Barisan Pelopor Di tengah gelora permusuhan terhadap Sekutu yang ditiupkan oleh pemerintah militer Jepang, kaum nasionalis Indonesia mengajukan permohonan untuk membentuk suatu badan semi militer. Menurut Rushdy Hoesein, permohonan itu direspon secara cepat oleh Chuo Sangi In (Dewan Pertimbangan Pusat). Maka  pada 1 November 1944 didirikan sebuah organ bernama Barisan Pelopor ( Syuisyintai ) yang ada di bawah kendali  Djawa Hokokai. “Sebagai pimpinan diangkatlah Ir. Sukarno, sedangkan tiga wakilnya adalah R.P. Suroso, Otto Iskandardinata dan dr. Buntaran Martoatmojo serta dr.Moewardi selaku pimpinan Barisan Pelopor cabang Jakarta,” ungkap Rushdy. Kendati disiapkan untuk menjalankan bela negara, namun dalam kenyataannya kegiatan Barisan Pelopor (BP) hanya difokuskan kepada upaya menggalang massa aksi dan upaya pengamanannya saat berlangsung pidato-pidato para tokoh nasionalis. Namun, struktur dan pengorganisasian BP bisa disebut sangat baik. Itu dibuktikan dengan berdirinya cabang-cabang BP hingga tingkat kawedanaan bahkan sampai tingkat kelurahan. “ Jumlah anggotanya diperkirakan meliputi 60.000 orang…” tulis Nugroho Notosusanto dan Marwati Djoened Poesponegoro dalam Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI . Sejarah mencatat peran besar BP dalam proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Selain mengurusi hal-hal teknis, mereka pun terlibat dalam pengamanan Sukarno-Hatta.  “Para komandannya terdiri dari mahasiswa-mahasiswa radikal yang aktif di grup Menteng 31,” ujar Rushdy. Terbentuknya Barisan Banteng Pada 16 Desember 1945, di bawah dr.Moewardi BP merubah namanya menjadi BBRI. Walaupun jumlah anggotanya melorot tajam dibanding saat masih bernama BP, namun BBRI dikenal sebagai milisi yang memiliki persenjataan lengkap dan jaringan paling kuat di pelosok Jawa dan Sumatera. Wajar dengan kondisi seperti itu BBRI bisa bicara banyak di berbagai palagan, baik saat menghadapi militer Inggris maupun ketika berhadapan dengan militer Belanda. Salah satu contoh, pada  awal 1946, BBRI pimpinan Soeroso secara heroik  sempat membuat kalangkabut Batalyon 3/3 Gurkha Rifles di palagan Cianjur.  “ Padahal yang mereka hadapi adalah pasukan elite milik Inggris, pemenang Perang Dunia II…” ujar Letnan Kolonel (Purn) Eddie Soekardi, salah satu sesepuh Divisi Siliwangi. Namun menurut Kahin, melimpahnya persenjataan dan keberanian mereka kerap tidak dibarengi dengan penerapan disiplin yang bagus. Terlebih di BBRI, jumlah komandan yang cakap secara militer sangatlah sedikit. Otomatis itu menimbulkan lebih banyak masalah di lapangan. “ Akibatnya, semangat tempur dan kekuatan politik BBRI perlahan mengecil,”ujar pakar sejarah revolusi Indonesia asal Amerika Serikat itu. Akhir April 1946, BBRI terlibat dalam kericuhan di Surakarta. Berawal dari adanya tuntutan PNI Surakarta yang meminta agar kekuasaan Sunan dicabut dan provinsi yang ia kuasai dimasukan ke dalam Republik dengan tingkat pemerintahan yang sama sebagaimana wilayah yang diperintah secara langsung. Beberapa hari kemudian, pasukan BBRI mengepung kepatihan dan gudang logistik milik Sunan. “ Aksi ini dilakukan bersama Rono Marsono, seorang pemimpin serikat buruh lokal yang kuat tetapi bejat,” ungkap Kahin. Akibat kejadian tersebut,pada Mei 1946, Pemerintah Sjahrir menangkapi 12  pemimpin PNI dan BBRI, termasuk dr.Moewardi.  Tentu saja BBRI tidak menerima penangkapan itu. Mereka lantas melakukan demonstrasi besar-besaran di Solo guna menuntut pembebasan pemimpin-pemimpin mereka. Aksi tersebut ditanggapi secara positif oleh pimpinan TRI (Tentara Republik Indonesia) Jenderal Soedirman dengan membebaskan 12 orang itu. Tanpa Kompromi S ecara politik, BBRI menganut  pendirian “tak mengenal kompromi dengan Belanda”. Pilihan ini jelas membuat milisi bersimbol banteng kekar tersebut bersimpangan jalan dengan PNI, yang mendukung Perundingan Linggarjati dan Perundingan Renville laiknya sang patron: Presiden Sukarno. “Di sinilah simpang jalan itu, Moewardi melihat PNI dan Sukarno mulai “tidak konsisten” terhadap garis perjuangan semula,” kata Rushdy Hoesein. Sebaliknya pendirian BBRI itu justru bertemu dengan para pendukung Tan Malaka yang berprinsip: Indonesia harus merdeka 100%. Maka bertempat di Surakarta, pada 25 Januari 1948,terbentuklah GRR (Gerakan Revolusiener Rakyat), suatu aliansi antara para nasionalis yang ada di BBRI dengan para murbais (pendukung ide-ide politik Tan Malaka) dan kaum komunis di luar PKI (Partai Komunis Indonesia) pimpinan Musso. Pembentukan GRR memantik konflik dengan FDR (Front Demokrasi Rakyat) yang di antaranya disponsori oleh PKI dan Pesindo. Puncak perseteruan terjadi kala dr.Moewardi (yang saat itu sudah menjadi Ketua GRR) diculik oleh sekelompok orang bersenjata pada 13 September 1948. “Karena BBRI dan GRR menuduh pelakunya adalah orang-orang Pesindo, mereka lantas memberikan ultimatum agar mengembalikan secepatnya dr.Moewardi,” ujar sejarawan Harry A.Poeze dalam Madiun 1948:PKI Bergerak . Hingga insiden di Madiun pecah enam hari kemudian, Moewardi tak kunjung muncul jua. Maka terjadilah “persekutuan aneh” saat secara bahu membahu GRR bersama Divisi Siliwangi (pasukan yang ditugaskan Hatta menumpas gerakan Musso cs) menghabisi kubu FDR tanpa ampun. Usai Insiden Madiun 1948, nama BBRI secara perlahan mulai sirna dari pentas revolusi kemerdekaan. Itu terjadi karena sebagian anggotanya banyak bergabung dengan TNI (Tentara Nasional Indonesia). Sedang sisanya, mendirikan milisi-milisi lokal yang secara sentimentil masih terhubung dengan ide-ide BBRI, seperti Banteng Ketaton di wilayah Purwakarta atau Lasykar Napindo (Nasionalis Pelopor Indonesia) di Sumatera Timur.

  • Perubahan Wajah Manusia

    Wajah manusia masa kini telah berubah dari wajah milik spesies manusia lainnya yang telah punah. Pun dengan kerabat terdekat manusia secara evolusioner, seperti bonobos dan simpanse, wajah kita berbeda. Kenapa begitu? Arkeolog dari Universitas Flinders, Ian Moffat dalam The Conversation menulis spesies Homo erectus adalah nenek moyang pertama manusia yang secara fisik sudah mulai menyerupai manusia masa kini. Mereka lebih tinggi dan otak mereka lebih besar dari spesies hominin sebelumnya seperti Australopithecus sp. atau Homo habilis . “Namun, mereka memiliki wajah yang agak berbeda dengan kita, yaitu datar dengan alis yang lebih menonjol,” tulisnya. Bukti fosil menunjukkan, wajah manusia telah banyak berubah dalam 20.000 tahun terakhir. Menurut Paul O’Higgins, profesor anatomi University of York di Inggris, pola makan, fisiologi pernapasan, iklim, dan lingkungan adalah faktor utama yang membentuk wajah. Tengkorak hominin selama 4,4 juta tahun terakhir. (Rodrigo Lacruz) Seperti disebutkan dalam Phys , pola makan secara mekanis, khususnya, telah membuat wajah manusia makin mengecil sejak lebih dari 100.000 tahun yang lalu. Pasalnya kemampuan manusia untuk mengolah makanannya membuat kerja mekanis lebih ringan. Mereka tak butuh banyak waktu untuk melumat makanannya. Proses penyusutan wajah ini menjadi sangat terlihat sejak revolusi pertanian, saat manusia beralih dari pemburu dan pengumpul makanan menjadi petani. Bentuk Alis Baru-baru ini, dalam jurnal Nature Ecology and Evolution , O'Higgins bersama para peneliti lainnya menyampaikan gagasan lain, yaitu kombinasi pengaruh biomekanik, fisiologis, dan sosial telah membentuk wajah manusia modern. Faktor-faktor itu mengubahnya dari bentuk mirip kera menjadi morfologi yang lebih lembut dan lebih halus. Dia mengungkapkan perubahan kemampuan sosial manusia merupakan hal penting yang mampu mengubah bentuk wajah manusia. Peralihan gaya hidup ke bertani memberikan manusia lebih banyak kesempatan untuk membentuk komunitas. Dengan itu, wajah manusia telah menyusut secara signifikan dalam ukuran, menjadi lebih ramah dan seperti bayi. Sementara temuan fosil menunjukkan, Neanderthal dan hominin terkait lainnya tampak sangat mirip dengan manusia modern. Namun, mereka memiliki wajah yang sangat besar dengan tonjolan alis yang mencolok. Mereka punya hidung besar, alis besar dan rahang besar yang terdorong ke depan. "Gagasan baru adalah bahwa ekspresi sosial itu penting. Kita, sebagai manusia modern, sangat bergantung pada pembacaan ekspresi wajah," kata O'Higgins, seperti dikutip CBC Radio . Perubahan bentuk wajah membantu manusia dalam hal komunikasi sosial. “Perubahan ini didorong kebutuhan kita akan kemampuan sosial yang baik,” kata O'Higgins. Selama 80.000 tahun terakhir, ketika manusia pindah dari Afrika, mereka harus semakin bergantung satu sama lain untuk bertahan hidup di lingkungan baru. Untuk melakukannya, penting bagi mereka untuk mampu mengkomunikasikan perasaannya. "Wajah kita berkurang kesan kekarnya dan lebih seperti bayi melalui evolusi. Itu membuka peluang untuk komunikasi. Orang-orang lebih cenderung berkomunikasi dengan makhluk yang tampangnya empatik daripada agresif," papar O’Higgins. Transisi ke bentuk alis yang lebih kecil dengan dahi yang rata membebaskan alis untuk bergerak ke atas dan ke bawah. Ini penting untuk mengekspresikan semua jenis emosi. Perubahan itu memungkinkan manusia untuk mengekspresikan lebih dari 20 jenis emosi termasuk emosi yang halus seperti pengakuan dan simpati. “Itu membuatnya mudah bagi kita untuk bekerja bersama dalam suatu komunitas, yang mana itu menjadikan kita sangat sukses sebagai spesies yang bertahan hidup hingga sekarang,” kata O'Higgins. Di masa depan, O'Higgins percaya bahwa wajah manusia akan terus berubah. Dia memperkirakan wajah manusia akan menjadi lebih seperti bayi dengan makanan yang semakin diproses dan gaya hidup yang tidak banyak bergerak. “Tetap ada batas seberapa banyak wajah manusia dapat berubah, misalnya bernapas membutuhkan rongga hidung yang cukup besar, tetapi evolusi wajah manusia kemungkinan akan berlanjut selama spesies kita bertahan, bermigrasi dan menghadapi kondisi lingkungan, sosial, dan budaya baru," jelasnya.

  • Awas Cacar Monyet

    Untuk pertama kalinya terjadi kasus cacar monyet ( monkeypox ) di Singapura. Penderitanya seorang warga Nigeria yang tiba di Singapura pada 28 April 2019. Lelaki 38 tahun itu positif terjangkit virus cacar monyet pada 8 Mei. Sebelum ke Singapura, dia menghadiri pernikahan di Nigeria. Dia mungkin mengonsumsi daging hewan liar, yang bisa menjadi sumber penularan virus cacar monyet. “Bulan Mei 2019 dilaporkan seorang warga negara Nigeria menderita monkeypox , saat mengikuti lokakarya di Singapura. Saat ini pasien dan 23 orang yang kontak dekat dengannya diisolasi untuk mencegah penularan lebih lanjut,” kata dr. Anung Sugihantono, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, dalam rilis yang dimuat di depkes.go.id . Kementerian Kesehatan meminta masyarakat tidak panik dengan cacar monyet yang kemungkinan dapat masuk ke Indonesia. Meski demikian, masyarakat diimbau untuk waspada dan menjaga kebersihan. “Sampai saat ini belum ditemukan kasus monkeypox di Indonesia,” kata Anung. Cacar monyet adalah penyakit akibat virus yang ditularkan melalui binatang ( zoonosis ). Penularan dapat terjadi melalui kontak dengan darah, cairan tubuh, atau lesi pada kulit atau mukosa dari binatang yang tertular virus. Penularan pada manusia, menurut Anung, terjadi karena kontak dengan monyet, tikus gambia dan tupai, atau mengonsumsi daging binatang yang sudah terkontaminasi. Inang utama dari virus ini adalah rodent (tikus). Penularan dari manusia ke manusia sangat jarang. Menurut drh. Soeharsono dalam Zoonosis, Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia Volume 2 , kasus cacar monyet pada manusia pertama kali ditemukan di laboratorium primata di Kopenhagen, Denmark, tahun 1958. Setelah temuan pertama itu, pada 1970, penyakit menyerupai small pox ( small pox-like disease ) ditemukan pada manusia di Zaire, Afrika Barat. Penelitian lebih lanjut membuktikan bahwa penyakit tersebut bukan small pox melainkan cacar monyet. Sejak saat itu, kejadian cacar monyet beberapa kali ditemukan sebagai zoonosis di desa-desa yang terletak di dekat hutan tropik Afrika Barat dan Afrika Tengah (Zaire, Republik Afrika Tengah, Nigeria, Pantai Gading, Liberia, dan Sierra Leone). Soeharsono menjelaskan bahwa sumber penyakit cacar monyet adalah monyet Afrika. Sejauh ini belum diketahui keberadaan cacar monyet pada satwa primata di luar Afrika.Penularan dari monyet ke manusia terjadi secara kontak langsung. Berhubung ada beberapa kasus penyakit yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan monyet, timbul dugaan bahwa nyamuk kemungkinan berperan sebagai vektor penyakit. Berbeda dengan cacar manusia, daya tular cacar monyet ke manusia relatif sulit. “ Oleh karena itu, penyebaran geografik cacar monyet di alam, terbatas di Afrika Barat dan Tengah, terutama di Zaire. Dalam kurun waktu 1970-1986 hanya ditemukan sekitar 400 kasus cacar monyet pada manusia. Kejadian cacar monyet di laboratorium primata Kopenhagen bersifat terbatas dan tidak berlanjut,” tulis Soeharsono. Anung menyebut bahwa cacar monyet pernah menjadi Kejadian Luar Biasa di beberapa wilayah. Tahun 1970 terjadi KLB pada manusia pertama kali di Republik Demokratik Kongo. Tahun 2003 dilaporkan kasus cacar monyet di Amerika Serikat, akibat kontak manusia dengan binatang peliharaan prairie dog yang terinfeksi oleh tikus Afrika yang masuk ke Amerika. Tahun 2017 terjadi KLB di Nigeria. Menurut Anung cacar monyet dapat dicegah dengan cara menerapkan hidup bersih dan sehat seperti cuci tangan dengan sabun; menghindari kontak langsung dengan tikus atau primata; menghindari kontak fisik dengan orang yang terinfeksi atau material yang terkontaminasi; menghindari kontak dengan hewan liar atau mengkonsumsi daging yang diburu dari hewan liar ( bush meat ). Anung berpesan kepada pelaku perjalanan yang baru kembali dari wilayah terjangkit cacar monyet agar segera memeriksakan diri jika mengalami gejala-gejala demam tinggi yang mendadak, pembesaran kelenjar getah bening dan ruam kulit, dalam waktu kurang dari tiga minggu setelah kepulangan, serta menginformasikan kepada petugas kesehatan tentang riwayat perjalanannya. Gejala dan Tanda Masa inkubasi (interval dari infeksi sampai timbulnya gejala) cacar monyet biasanya 6-16 hari, tetapi dapat berkisar dari 5-21 hari. Gejala yang timbul berupa demam, sakit kepala hebat, limfadenopati (pembesaran kelenjar getah bening), nyeri punggung, nyeri otot dan lemas. Ruam pada kulit muncul pada wajah kemudian menyebar ke bagian tubuh lainnya. Ruam ini berkembang mulai dari bintik merah seperti cacar ( makulopapula ), lepuh berisi cairan bening, lepuh berisi nanah, kemudian mengeras. Biasanya diperlukan waktu hingga tiga minggu sampai ruam tersebut menghilang. Cacar monyet biasanya dapat sembuh sendiri dengan gejala yang berlangsung selama 14-21 hari. Kasus yang parah lebih sering terjadi pada anak-anak dan terkait dengan tingkat paparan virus, status kesehatan pasien, dan tingkat keparahan komplikasi. “Kasus kematian bervariasi tetapi kurang dari 10% kasus yang dilaporkan, sebagian besar di antaranya adalah anak-anak. Secara umum, kelompok usia yang lebih muda lebih rentan terhadap penyakit monkeypox ,” kata Anung. Tidak ada pengobatan khusus atau vaksinasi yang tersedia untuk infeksi virus cacar monyet . Pengobatan simptomatik dan suportif dapat diberikan untuk meringankan keluhan .

  • Rabeg, Santapan Sang Raja

    SETIAP mengunjungi kota Serang, Toni selalu menyempatkan diri singgah ke restoran milik Haji Naswi di seberang Rutan (Rumah Tahanan) Serang. Di sana ada satu menu yang selalu dia incar yakni rabeg, makanan yang sulit didapatkan di luar Banten. “Sejak kali pertama mencicipinya pada 2003, saya jadi tergila-gila pada makanan ini,” ujar jurnalis lepas asal Jakarta itu.   Rabeg memang makanan asli Banten. Berbahan dasar daging sapi atau kambing, rupanya nyaris sama seperti semur. Selain rasa manis yang berasal dari kecap, cita rasa rabeg juga diperkaya dengan berbagai bumbu dasar seperti bawang merah, bawang putih dan lada. Ada rasa pedas juga di dalam rabeg. Itu berasal dari campuran rempah-rempah seperti biji pala, jahe, lengkuas, cabe rawit dan kayu manis. Dipercaya semua campuran bumbu tersebut merupakan obat untuk menghangatkan tubuh sekaligus penetralisir kandungan lemak yang dibawa oleh daging sapi maupun kambing. Pembuatannya Mudah Kendati rasanya sangat enak dan khas, pembuatan rabeg bisa dibilang tidak terlalu susah. Terlebih bagi siapa pun yang terbiasa  mengolah makanan. Sebagai catatan, bahan dasar yang sebenarnya paling pas adalah daging kambing. Namun jika anda tidak menyukai daging kambing maka bisa diganti dengan daging sapi.   Cara pembuatannya, kali pertama tentu saja anda harus memilih daging terbaik sebagai bahan utama. Setelah direbus, daging dicincang dalam potongan kecil-kecil lantas dimasukan ke dalam tumisan bumbu yang sudah dihaluskan. Tambahkan kaldu, bekas rebusan daging ke dalam tumisan daging. Biarkan hingga air rebusan menjadi kental dan menyatu dengan potongan daging. Guna mengantisipasi bau khas daging (terutama daging kambing) yang kadang terasa anyir, maka daun salam dan bunga lawang yang beraroma harum bisa dijadikan “penutup”  bau tersebut. Makanan Sultan Tidak banyak penyuka rabeg tahu bahwa makanan tersebut memiliki sejarah yang panjang. Menurut Gagas Ulung dan Deerona dalam Jejak Kuliner Arab di Pulau Jawa , sesungguhnya rabeg tidak akan pernah ada di Banten andaikan salah seorang raja di Kesultanan Banten tidak melakukan muhibah ke tanah Arab. Tersebutlah Sultnan Maulana Hasanuddin alias Pangeran Sabakinking (1552-1570) yang tengah menunaikan ibadah haji ke Mekah. Setelah berbulan-bulan berlayar dari Nusantara maka sampailah sultan dan rombongannya ke suatu pelabuhan bernama Rabigh (terletak di tepi Laut Merah). Rabigh adalah sebuah kota kuno yang sebelumnya bernama Al Juhfah dan saat ini masuk dalam wilayah Jeddah, Arab Saudi. Pada awal abad ke-17, sebuah tsunami besar menghancurkan kota tersebut. Namun beberapa waktu setelah kejadian itu, Al Juhfah dibangun kembali dan malah menjadi sebuah kota yang sangat indah. Sultan Maulana Hasanuddin sangat kagum dengan keindahan kota Rabigh. Dia pun kerap menghabiskan waktu untuk berkeliling kota tersebut. Saat menikmati suasana kota Rabigh, Sultan Maulana Hasanuddin sempat mencicipi satu makanan yang bahan dasarnya terbuat dari daging kambing. Dia ternyata berkenan dengan kuliner khas Rabigh itu. Singkat cerita, Sultan Maulana Hasanuddin pun selesai menunaikan ibadah haji dan kembali ke tanah air. Namun kenangan akan Rabigh tidak pernah hilang dari benaknya, terutama kelezatan olahan daging kambingnya. Untuk mengobati kerinduannya, maka dia memerintahkan juru masak istana untuk membuat masakan yang serupa dengan santapan yang dia nikmati saat di Rabigh. Merasa kesulitan dengan permintaan itu, maka sang juru masak menciptakan resep sendiri yang didasarkan pada makanan-makanan khas tanah Arab. Kendati tidak sama persis dengan masakan khas Rabigh, saat dihidangkan Sultan Maulana Hasanuddin menyukainya. “Sejak itulah, makanan yang terinspirasi dari negeri Arab itu, menjadi menu wajib di Istana Kesultanan Banten,” ujar Gagas Ulung dan Deerona. Kalangan istana lalu menamakan makanan eksklusif  santapan raja tersebut sebagai rabigh. Seiring waktu, resep rabigh bocor ke khalayak kemudian menyebar ke seluruh Banten. Hingga akhirnya kata “rabigh” berubah menjadi “rabeg”, yang  kerap dinikmati Toni setiap singgah di kota Serang.

bottom of page