Hasil pencarian
9585 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Jepang Datang, Tentara Belanda Lari Tunggang Langgang
LETNAN Didi Kartasasmita (kemudian panglima Komandemen I Jawa Barat) bingung. Setelah susah payah membawa pasukannya berlayar 18 jam dari Bula ke Ambon, dia tak mendapat penjelasan apa-apa dari komandan batalionnya, Letkol Kapitz. “Saya sudah mulai bingung, sebab tidak tahu apa yang mesti dilakukan. Saya terus menunggu perintah dari komandan teritorial,” ujarnya dalam otobiografi Didi Kartasasmita: Pengabdian Bagi Kemerdekaan karya Tatang Sumarsono. Pada hari kedatangannya di Ambon, 29 Januari 1942, suasana kota sepi. Kabar bakal datangnya balatentara Jepang begitu kuat berembus sejak akhir tahun sebelumnya. Banyak keluarga mengungsi ke luar pulau Ambon. KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) seperti tak sungguh-sungguh mempersiapkan perlawanan terhadap invasi Jepang. Ambon hanya dijaga sekira 4.000 personel KNIL. Itu pun termasuk pensiunan tapi dipanggil dinas kembali. Beruntung mereka dapat bantuan 1.600 pasukan Australia. Dalam hal persenjataan, KNIL tak punya persenjataan berat pertahanan udara, hanya beberapa meriam, senapan mesin ringan, dan sebuah pesawat terbang. “Itu pun akhirnya ditembak jatuh oleh kapal terbang Jepang,” ujar Didi. Di tengah kondisi memprihatinkan itu, Didi harus tetap bisa membangkitkan moril pasukannya yang kala itu sudah hampir runtuh. Belum lagi, tak seperti pasukan lain yang sudah mendapatkan stelling (tempat tugas), pasukan Didi belum tahu tempat mana yang akan menjadi tugas mereka. Informasi yang coba dia cari juga tak kunjung tiba. Ketidakpastian itu berlangsung hingga akhirnya Jepang membombardir melalui laut dan udara pada 31 Januari 1942. Letkol Kapitz memerintahkan pasukan Didi bergerak ke Kampung Kudamati untuk menahan pendaratan pasukan Jepang. Tanpa peta topografi, Didi hanya mengandalkan ingatan akan tempat tugasnya berupa kampung di pantai bertebing curam di timur laut Ambon, untuk menyusun taktik. Setelah berjalan sejauh tiga kilometer melewati semak-semak, mereka tiba-tiba didatangi seorang sersan Belanda yang menyarankan agar jangan melanjutkan perjalanan. Di Karangpanjang, baku tembak sudah terjadi antara pasukan Jepang dengan pasukan KNIL dan pasukan Australia di Gunung Nona. Di sanalah KNIL-Australia menempatkan artilerinya. Jepang berupaya keras mematahkan perlawanan di Gunung Nona karena bila menang jalan menuju Ambon terbuka. Pasukan Australia pun sama, mereka lebih baik melawan ketimbang menjadi tawanan. Itu menjadi pemicu tekad Kompi B dan C untuk melawan. Pasukan Didi kembali melanjutkan perjalanan setelah suara tembakan mereda 30 menit kemudian. Mereka terlambat. Pasukan Jepang sudah ada di tebing-tebing curam yang menjadi stelling mereka. Jarak di antara mereka tak lebih dari 300 meter. Bersama mereka, tak jauh dari pasukan Didi, pasukan Kapten Turner dari Kompi B Mayor Westley asal Australia ikut bertempur mempertahankan Kudamati. Tembak-menembak pun meletus. Beberapa pasukan KNIL tertembak. Korban dari pihak Jepang tak diketahui pasti. Sekira 30 menit kemudian, tembakan dari Jepang mereda dan kemudian hilang. Kemungkinan mereka hanya pasukan pengintai yang tak lebih dari 30 personel. “Setelah terjadi kontak senjata yang berlangsung singkat itu, mungkin mereka menganggap bahwa tugasnya telah selesai, lalu kembali ke induk pasukannya,” terang Didi. “Menurut perhitungan militer, di sana tidak akan ada pendaratan pasukan Jepang secara besar-besaran.” Namun, ketika pasukan KNIL baru istirahat, seorang sersan dari markas teritorial datang menyusul. Markas memerintahkan pasukan Didi kembali dan melapor. Pasukan pun buru-buru kembali. Nahas menimpa mereka. Markas teritorial tak seberapa jauh lagi, tapi pasukan Jepang keburu menyergap mereka. “Kami sudah tidak ada lagi kemauan untuk melawan, sebab moril pasukan sudah habis,” kenang Didi. Mereka lalu dilucuti dan dikumpulkan dengan pasukan KNIL lain yang menyerah juga. Setelah itu mereka ditahan di berbagai tempat di dalam kota. “Jepang menyerang Ambon pada 31 Januari, dan dalam tiga hari berhasil mengalahkan garnisun Belanda dan Australia,” tulis David Murray Hommer dan Robert John O’Neill dalam World War II: The Pacific . Berbeda dari pasukan Australia yang mati-matian bertempur, pasukan KNIL memilih menyerah. Di sektor Amahusu, KNIL menyerah sementara pasukan Australia terus melawan Jepang hingga tiga hari dan jumlah personelnya tinggal sedikit. Atasan Didi, Letkol Kapitz, sendiri melarikan diri setelah Didi dan pasukannya bergerak. Perwira Australia Letnan George Russell mengetahuinya setelah mendapat informasi dari asistennya, seorang pemuda Toorak berusia 25 tahun yang menjadi penghubung dengan markas tentara Belanda. Menurut pemuda itu, Kapitz mulai menghilang bersamaan dengan kemunculan beberapa tentara Jepang. Dari situlah pasukan Austalia baru menyadari bahwa KNIL amat lembek. Russell mendapati kantor markas tentara Belanda kosong. Dia segera menghancurkan semua peta dan kertas yang ditinggalkan pasukan Belanda karena terburu-buru melarikan diri. Kepada komandannya, Letkol William Scott, dia lalu melaporkan bahwa kota Ambon telah ditinggalkan Belanda. “Pasukan-pasukan KNIL yang seharusnya menjadi pertahanan paling hebat sudah kocar-kacir dan menyerah hanya dalam satu malam pertempuran,” kenang Des Alwi dalam Bersama Hatta, Sjahrir, dr. Tjipto dan Iwa R Sumantri di Banda Naira .*
- Asal-Usul Batas Usia Minimal dalam UU Perkawinan No.1/1974
SEORANG gadis berusia delapan tahun dinikahkan secara agama kepada seorang lelaki tua yang lebih pantas jadi ayahnya ketimbang suaminya. Pernikahan itu berlangsung di Mekkah sekira 1937, ketika si gadis dibawa pergi haji oleh ayah kandungnya. Dikisahkan, ayah kandung si gadis tersebut berutang pada lelaki tua itu. Tak sanggup membayar utangnya, si ayah menawarkan anak gadisnya sebagai gantinya. Kelak, apabila si anak sudah mendapatkan haid pertamanya, lelaki tua tadi boleh menggaulinya sebagai mana mestinya suami-istri. Setelah dinikahkan, anak dan ayah itu pulang ke Jawa. Selang tiga tahun kemudian, tepat saat si gadis berusia 12 tahun, saudagar tua tadi datang menyusul, menagih janji si ayah untuk menyerahkan anaknya. “Sang ayah sedia untuk merayakan perkawinan anaknya, pada waktu itu si gadis barulah melihat wajah suaminya dan ia tidak mau ikut dengan si orang kaya itu karena tidak cinta padanya,” tulis Maria Ullfah dalam artikelnya “Soal Kawin Gantoeng” yang dimuat di Istri Indonesia , Januari 1941. Menyadari kesalahannya, akhirnya si ayah mengajukan gugatan cerai kepada lelaki tua itu. Celakanya, dia tak kunjung menjatuhkan talak pada istrinya itu. Malah sebaliknya, si saudagar tua itu menagih lagi uang yang dipinjam si ayah gadis tadi. Maria yang saat itu sudah dikenal sebagai pengacara pembela kaum perempuan, disambangi paman si gadis. Dia memohon tolong agar persoalan itu bisa diselesaikan. Maria memutuskan untuk membawa kasus tersebut ke muka hakim pengadilan agama. Setelah melalui proses panjang, akhirnya pihak keluarga si gadis setuju untuk membayar pihak suami dengan sejumlah uang yang menurut istilah Maria disebut “menebus talak”. Kasus tersebut menjadi catatan bagi Maria Ullfah dan gerakan perempuan saat itu untuk menetapkan batas usia pernikahan. Batas Usia Minimal dalam Undang-Undang Persoalan pernikahan paksa dan pernikahan di bawah umur ini telah menjadi isu besar dalam gerakan perempuan di Indonesia. Setelah Kongres Perempuan Indonesia ketiga pada 1939, Ny. Sri Mangunsarkoro mengagas berdirinya Badan Perlindungan Perempuan dalam Perkawinan (BPPIP). Maria Ullfah ketuanya. Tugas lembaga tersebut mengumpulkan bahan-bahan untuk menyusun undang-undang perkawinan. Perjuangan untuk menyusun undang-undang yang melindungi perempuan dalam soal perkawinan sudah dimulai sejak Kongres Perempuan Indonesia kedua di Batavia, 20-24 Juli 1935. Usaha itu sempat terhenti pada zaman Jepang. Kembali diteruskan pada era kemerdekaan. Pada 1950 atas desakan gerakan perempuan, pemerintah kembali meneruskan penyusunan Undang-Undang Perkawinan. Untuk keperluan itu, pemerintah membentuk Panitia Penyelidik Peraturan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk. Dua hal yang paling sering diperdebatkan dalam panitia ini adalah tafsir terhadap poligami dan usia minimal pasangan untuk menikah. Maria dan gerakan perempuan yang tergabung di dalam konfederasi Kongres Wanita Indonesia (Kowani) mengusulkan agar usia minimum pasangan calon pengantin adalah 18 tahun bagi perempuan dan 21 tahun bagi laki-laki. Dalam wawancara proyek dokumentasi arsip sejarah lisan Arsip Nasional Republik Indonesia, Maria menuturkan pada 1 Desember 1952 panitia sudah menyampaikan RUU Perkawinan. Dalam RUU itu disebutkan usia minimal menikah adalah 18 tahun untuk laki-laki dan 15 tahun untuk perempuan. Rancangan tersebut merupakan hasil kompromi dengan berbagai pihak. Menurut Cora Vreede-De Stuers dalam Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian panitia penyusunan undang-undang itu berkepentingan untuk menyusun sebuah peraturan perkawinan yang berlaku umum bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa perkecualian dengan berdasar pada Pancasila. Pada April 1954 setelah melewati berbagai perdebatan soal usia minimal dan poligami, panitia menyampaikan rancangan kepada menteri agama. Namun RUU perkawinan itu kembali macet. Baru pada September 1957, Ny Soemarie, anggota DPR, berinisiatif membawa rancangan itu ke parlemen. Usia minimal pernikahan tetap 15 tahun untuk perempuan dan 18 tahun untuk laki-laki. Semenjak 1957, lagi-lagi pembahasan UU Perkawinan macet. Ditambah suasana politik dalam negeri yang tak kunjung reda dari pergolakan. Setelah rezim berganti dari Sukarno ke Soeharto, gerakan perempuan kembali membahasnya. Pada 19 dan 24 Februari 1973, tokoh-tokoh Kowani termasuk Maria Ullfah menemui DPR. Pokok pembicaraan dalam rapat dengar pendapat itu menyepakati bahwa perkawinan harus hasil kesepakatan sukarela antara calon suami dan istri. Ini menghindari adanya kemungkinan kawin paksa dari pihak-pihak di luar pasangan tersebut. Batas usia perkawinan disepakati sekurangnya 21 tahun untuk laki-laki dan 18 tahun untuk perempuan. Peserta rapat sepakat bahwa perkawinan berasas monogami dan persamaan hak di dalam pengajuan gugatan cerai baik pada istri maupun suami. Setelah hampir 30 tahun berjuang memiliki sebuah Undang-Undang Perkawinan, akhirnya pada 22 Desember 1973, tepat pada peringatan Hari Ibu, DPR mengetuk palu pengesahan RUU Perkawinan. Pada 2 Januari 1974, RUU Perkawinan disahkan menjadi UU Perkawinan No. 1/1974. Namun UU Perkawinan itu tidak mengakomodasi usulan gerakan perempuan tentang usia minimal dalam perkawinan, yakni 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Menurut Maria, pembatasan usia itu tidak lagi ideal, bahkan untuk era tahun 1970-an pun. Pada 18 Juni kemarin Mahkamah Konstitusi menolak gugatan Yayasan Kesehatan Perempuan untuk menaikkan batas usia minimal bagi perempuan. Penolakan MK tersebut sekaligus melanggengkan pembatasan usia minimal yang bahkan pada era 1970-an tidak lagi ideal.
- sah Pinah, Babu Bumiputra yang Bikin Belanda Gempar
PINAH hanya bisa pasrah. Tak bisa baca tulis, tak punya uang, dan tak punya kenalan, famili, atau teman di negeri Belanda membuatnya tak punya pilihan selain tetap tinggal bersama majikannya yang “buas.” Sebagai babu (pembantu rumah tangga) yang didatangkan langsung dari Jawa, gadis berusia sepuluh tahun itu harus siap sedia 24 jam. Majikannya memperlakukannya dengan kasar. Dia hanya mendapat roti kering dan air dingin meski musim dingin. Sandangan pun hanya kebaya dan sarung yang dibawa dari kampung halaman. Berita Pinah yang malang sampai ke banyak telinga. Beberapa orang bersimpati meminta izin untuk merawatnya, namun majikannya malah marah. Alasannya, dia mengeluarkan banyak uang untuk mendatangkan Pinah. Oleh karena itu, Pinah harus merasakan dirinya sebagai budak. Pinah salah satu dari ratusan bumiputra yang menjadi babu di negeri Belanda. Banyak dari mereka dibawa oleh majikan yang pulang atau sekadar liburan. Keintiman dan kepercayaan di antara keluarga majikan dan babunya yang membuat para majikan lebih memilih membawa babu mereka ketimbang mencari babu baru yang belum mereka kenal. “Di mata anak-anak Eropa, pengabdian baboe untuk mereka adalah tak terbatas,” tulis Frances Gouda dalam Dutch Culture Overseas. Namun, tak sedikit pula babu yang didatangkan ke Belanda. Tak punya kekuatan hukum, status mereka tak ubahnya budak. “Dalam banyak hal orang-orang pribumi itu diperlakukan dengan cara yang mengingatkan orang pada Zaman Pertengahan di Eropa, ketika tuan budak dapat melakukan apa saja terhadap para budaknya,” tulis A. Muhlenfeld, seorang amtenar Hindia Belanda, dalam artikelnya sebagaimana disitir Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah . Alpanya perhatian pemerintah salah satunya karena tak adanya catatan sipil para babu itu. Para majikan atau agen tak mendaftarkan mereka ke dinas sipil lantaran mereka biasanya tinggal hanya untuk sementara. Kantor-kantor pemerintah pun membiarkan dan enggan mencatat karena hampir semua babu itu tak tahu tanggal kelahiran dan tak punya nama keluarga. Akibatnya, selain jumlah para babu tak diketahui pasti, status plus hak mereka pun tak jelas. Hal itu menimbulkan celah bagi para majikan untuk memperlakukan mereka sewenang-wenang. Seorang yang bersimpati kepada Pinah lalu berkirim surat kepada Muhlenfeld, pegawai pemerintah Hindia Belanda yang punya perhatian pada nasib bumiputra yang kebetulan pada Maret 1916 sedang cuti ke Belanda. Dia langsung mendatangi C. Th. van Deventer, penggagas Politik Etis, untuk meminta masukan. Van Deventar tak memberinya solusi, justru memintanya mencari pemecahan masalah yang sudah sering didengarnya itu. Selain mengirimkan sepucuk nota yang menerangkan keadaan pilu para babu di Belanda kepada Kementerian Penjajahan, Muhlenfeld juga membawa persoalan tersebut ke publik. Artikelnya di majalah KolonialeStudien, “Nasib Para Babu Pribumi yang Tinggal di Nederland”, bukan hanya membuat majikan Pinah kena “tembak”, tapi mata para birokrat juga terbelalak. Selama ini para birokrat membiarkan kasus yang mereka ketahui itu sehingga Pinah dan ratusan babu lain harus menjalani hari-hari yang berat. Dalam artikelnya, Muhlenfeld mengusulkan beberapa langkah perlindungan para babu. Di antaranya pendirian penampungan sementara para babu yang menganggur dan sedang mencari pekerjaan. Dengan begitu, mereka tak mesti susah payah cari tumpangan sebelum mendapat tempat menetap atau pulang ke kampung halaman. Jauh sebelumnya, pada 1898 usul itu pernah berhasil untuk menampung para pelaut Jawa yang bekerja di maskapai pelayaran Belanda. Usul Muhlenfeld menarik dukungan kaum etis. G.J. Oudemans, utusan pemerintah yang menangani urusan pribumi di Belanda, mendukung penuh usulan tersebut. Pada Mei 1916, dia mulai menjalankan usahanya yang dia sebut tempat perawatan orang Hindia yang sementara tinggal di Belanda. Selain mendorong pendataan pribumi dan Tionghoa oleh pemerintah Belanda, Oudemans juga mengadvokasi pasangan suami-istri Soekantadisastra-Itji asal Sunda. Pasangan itu menjadi pesakitan lantaran tak mendapatkan hak penginapan dan pakaian sesuai yang tertera dalam kontrak. Namun advokasi itu tak berhasil meski sudah ada gugatan ke pengadilan. Seusai Soekantadisastra keluar rumah sakit akibat TBC, mereka pulang ke Hindia pada Februari 1920. Seminggu setelah tiba, Soekantadisastra meninggal. Istrinya lalu kerja menjadi babu pada sebuah keluarga Belanda di Nice, Prancis. Perhimpunan Oost en West pun terpantik mewujudkan cita-citanya yang sudah lama diimpikan. Dengan bantuan pemerintah, pada 1919 lembaga itu mendirikan persinggahan untuk menampung dan menolong para babu di Belanda. Nasib Pinah mulai berubah setelah masalah babu muncul ke publik. Majikannya menitipkan dia ke rumah sanak-famili di luar negeri, di mana dia mendapatkan perlakuan baik. Ketika dia kembali ke majikannya dan mendapat perlakuan tak manusiawi, kejaksaan Amsterdam tak lagi tinggal diam. Melalui Dewan Perwalian Amsterdam II, Pinah lalu dipindahkan ke Lembaga KR Santo Joseph-Nazareth di Venlo. Meski tak bisa mendapatkan kesempatan pulang ke Hindia, di sana Pinah mendapatkan perlakuan manusiawi dan mendapat pendidikan singkat untuk dipersiapkan sebagai tenaga babu atau pelayan toko.
- Riwayat Kontes Keroncong
KERONCONG jadi raja sehari. Ia terdengar di banyak tempat saat hari ulang tahun ke-488 Jakarta. Stasiun Gambir, radio, dan televisi memperdengarkan keroncong. Sehari kemudian, keroncong sunyi lagi. Ia hanya karib dengan orangtua dan segelintir pengolah keroncong. Padahal hampir seabad lampau, keroncong pernah mencapai puncak popularitasnya. Keroncong wujud akulturasi kebudayaan orang Portugis dan anak negeri pada abad ke-17. Keroncong semula hanya berkembang di wilayah Tugu, Batavia. Melalui jasa seniman sandiwara keliling, keroncong menyebar ke pelbagai penjuru Hindia Belanda dan Malaya pada akhir abad ke-19. Keroncong kian menancap di sanubari rakyat dengan semaraknya konkurs (kontes) keroncong. Konkurs hadir di taman-taman kota Batavia pada 1910-an. “Di park-park seperti Deca Park, Lunapark, dan sebagainya senantiasa ada pertandingan keroncong,” tulis W. Lumban Tobing, penulis musik produktif pada 1950-an, dalam “Musik Krontjong,” Aneka , 20 Oktober 1954. Konkurs keroncong semula bertujuan memanjakan telinga penyuka alunan alat musik petik. Siapa sangka konkurs justru menumbuhkan minat masyarakat pada keroncong? “Konkurs ini mempopulerkan keroncong dan mengarahkannya ke dunia bisnis,” tulis Peter Keppy dalam “Keroncong, Concours, and Crooners” termuat di Linking Destinies: Trade, Towns, and Kin in Asian History editan Peter Boomgaard, Dick Kooiman, dan Henk Schulte Nordholt. Masyarakat dari beragam kelas sosial tumplek blek menyaksidengarkan konkurs keroncong. “Pertandingan-pertandingan tadi tetap dikunjungi beribu-ribu penonton Indonesia asli,” tulis Lumban Tobing. Masyarakat meninggalkan kepercayaan bahwa keroncong musik kelas melarat dan menjauhkan diri dari pikiran bahwa keroncong cuma pantas terdengar dari gang-gang sempit. A. Th. Manusama, penulis buku Krontjong Als Muziek instrument, Als Melodie en als Gezang ( Keroncong Sebagai Instrumen musik, Melodi, dan Lagu , terbit pada 1919), menyebut konkurs keroncong sebagai pijakan kebangkitan keroncong. Dari jumlah penonton, konkurs keroncong berhasil mengungguli konkurs musik Hawaiian pada periode bersamaan. Demam Jazz pada 1920-an pun tak menyurutkan perhatian masyarakat pada konkurs keroncong. Konkurs keroncong memiliki sejumlah keunikan ketimbang konkurs Hawaiian dan Jazz. “Lagu dihadirkan dalam bentuk pantun tradisi Melayu, penuh makna tersirat, dan seringkali menyerempet hal-hal seksual,” tulis Peter Keppy. Laki-laki dan perempuan boleh ikut konkurs keroncong. Mereka kadangkala bertanding antar sesama jenis, kala lain malah bercampur. Tak ada pemisahan pasti. Mereka bisa memenangkan konkurs jika berhasil menciptakan pantun kreatif. Para pemenang bakal menyandang gelar jago atau kampioen . Selanjutnya ketenaran, uang, dan tawaran bergabung ke orkes keroncong akan menghampiri para pemenang. Melihat ketenaran konkurs keroncong, penyelenggara Pasar Gambir, pasar malam tahunan di pusat kota Batavia untuk memperingati kelahiran Ratu Belanda, memasukkan konkurs keroncong ke program wajib Pasar Gambir sejak Agustus 1924. Konkurs keroncong tak lagi hanya adu jago berkeroncong secara personal, melainkan juga secara berkelompok. Peserta datang dari Bandung, Semarang, Sala, dan Surabaya. “Dapat pembaca bayangkan betapa meriahnya peristiwa ini,” kata Rudi Pirngadi, saksi mata konkurs keroncong 1924-1939, kepada Ekspress , 14 Juli 1972. Konkurs menghasilkan keuntungan bagi penyelanggara pasar malam. Kaum pergerakan nasional bersikap berbeda terhadap konkurs keroncong. Mereka menggunakannya untuk menebar benih kebangsaan. Tanpa embel-embel kepentingan bisnis. Armijn Pane dan pendiri Perikatan Perhimpoenan Radio Ketimoeran menggelar konkurs keroncong di Schouwburg, gedung teater prestisius di Batavia, pada awal 1941. Kedatangan Jepang pada 1942 mengubah lagi tujuan konkurs keroncong. Mereka menggunakannya untuk propaganda anti-Barat. Setelah Indonesia merdeka, konkurs keroncong kehilangan pesona. Ia tenggelam cukup lama.
- Membersihkan Najis dari Film
MENYAMBUT Ramadan, stasiun televisi dan bioskop menayangkan film-film bertema Islam. Film-film itu menyampaikan ajaran Islam melalui ide cerita yang beragam. Kesamaan film-film itu terletak pada gagasan bahwa film hanya berupa media dan Islamlah pesannya. Berpuluh tahun lampau, orang mempertentangkan dua hal ini. Film masuk ke Hindia Belanda pada 1900. Khalayak Hindia Belanda menerima kehadiran film. Hari demi hari, film berkembang makin menarik. Dari bisu menjadi bersuara. Semula hanya dokumenter kemudian beranjak mempunyai jalan cerita. Omongan sehari-hari penduduk Hindia Belanda pun mesti bersinggah pada perihal film. Lalu selingkar orang berpaham kaku mengkhawatirkan perkembangan film dalam masyarakat. Menurut mereka pergi ke bioskop menonton film perbuatan tak berfaedah. Film mulai menampilkan adegan percumbuan, pergaulan lelaki dan perempuan bukan muhrim, cerita fantasi, dan mempertontonkan lekuk tubuh perempuan. Orang berpaham kaku akhirnya memvonis film sebagai perusak moral masyarakat, barang berbahaya. Menghadapi vonis terhadap film, ulama Islam belum bersikap. “Hingga saat ini, saya belum membaca satu karangan dari seorang pemimpin agama Islam di Indonesia yang menjatuhkan hukum terhadap film dengan secara radikal,” tulis Soerono, seorang redaktur majalah Islam, dalam Pertjatoeran Doenia dan Film , 1 Djuli 1941. Soerono mencoba meredakan vonis sepihak terhadap film. Dia menggagas pemanfaatan film untuk kepentingan umat Islam. Dia mengambil film Hollywood buat contoh. “Dari Hollywood kita kerap sekali dibikin tercengang dengan pertunjukan filmnya yang 100% berisi propaganda agamanya,” tulis Soerono. Soerono tahu masyarakat Indonesia mempunyai khazanah cerita Islam berlimpah. Menurutnya, pembuat film bisa mengambil cerita itu untuk film. Soerono juga menyarankan pembuat film berdiskusi dengan pemimpin pergerakan Islam. Tujuannya membedakan film dari ceramah agama dan menghindari salah paham dalam menjabarkan Islam. “Demikian itulah yang saya kehendakkan dengan film propaganda agama. Bukannya terang-terangan satu film dengan titel ‘Masuklah Islam’, ‘Jadilah Orang Islam’, dan sebagainya. Cukup dalam cerita dicantumkan satu dua peristiwa suruhan agama,” tulis Soerono. Soerono yakin film bertema Islam bakal segera hadir dan penonton bisa menjadikan kegiatan ke bioskop lebih berfaedah. “Agar sekalipun mereka berada di gedung bioskop dengan mendengar musik-musik, tetapi jiwanya masih tetap berada dalam semangat suasana keislaman,” tulis Soerono dalam Pertjatoeran Doenia dan Film , 1 Desember 1941. Tapi Soerono harus memendam keyakinannya beberapa lama. Sebab pembuat film belum mampu menghadirkan film bertema Islam. Catatan Khrisna Sen, pakar kajian media dan Indonesia kontemporer, menunjukkan film bertema Islam mulai semarak pada 1960-an. Situasi politik mengharuskan para seniman menunjukkan warna kultural dan politiknya. Muncullah film Badja Membara pada 1961. “Film ini menunjukkan Islam sebagai cahaya perubahan,” tulis Khrisna Sen dalam Indonesian Cinema : Framing the New Order . Asrul Sani, Usmar Ismail, dan Djamaludin Malik melanjutkan pembuatan film bertema Islam. Mereka membuat Tauhid . “Film mempunyai nilai keislaman, dan juga menampilkan elan vital revolusioner saat itu, sebagaimana Sukarno dengung-dengungkan,” tulis Hairus Salim dalam “Indonesian Muslim and Cultural Networks” termuat di Heirs to World Culture editan Jennifer Lindsay dan Maya HT Liem. Usaha Usmar Ismail dan kawan-kawan mendapat serangan. Sekelompok orang berpaham kaku menajis-najiskan film. Usmar pun membalas, “Buruk baiknya sebuah film bukanlah bergantung kepada filmnya, tetapi kepada orang yang membikinnya,” tulis Usmar dalam “Siapa yang Najis, Film atau Pembikinnya?” termuat di Usmar Ismail Mengupas Film . Sekarang serangan terhadap film berkurang. Agama dan film bisa muncul bersamaan.
- Gedung De Locomotief Belum Masuk Daftar Bangunan Bersejarah
MESKI berada di kawasan Kota Lama, bangunan eks kantor harian De Locomotief yang baru-baru ini roboh, ternyata tak tercatat dalam daftar inventarisasi bangunan bersejarah yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Semarang. Dengan demikian, status bangunan itu belum dilindungi oleh Surat Keputusan Wali Kota Semarang. Hasil penelusuran Historia menunjukkan, bangunan di Jalan Kepodang Nomor 20-22 Semarang itu tak tercatat dalam dua buku inventarisasi bangunan bersejarah yang diterbitkan pemerintah kota bersama Lembaga Penelitian Universitas Diponegoro. Inventarisasi pertama dilakukan pada tahun 1994-1995. Adapun inventarisasi kedua pada 2006. Anehnya, di kedua buku itu, kantor harian De Locomotief justru disebut berada di Jalan Kepodang Nomor 34, yang saat ini menjadi Kantor Bank Mandiri. Padahal di lembaran koran De Locomotief tertulis dengan jelas alamat kantor redaksi koran penyokong kebijakan politik etis itu: “N.V. Dagblad De Locomotief van Hoogendorpstraat 20-22 Semarang.” Sampai sekarang, penomoran gedung di jalan yang sekarang bernama Jalan Kepodang itu tidak berubah. Kasi Tata Tuang dan Lingkungan Hidup Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Semarang, Nik Sutiyani, mengakui adanya kesalahan dalam proses inventarisasi bangunan bersejarah yang dilakukan oleh lembaganya. Dia berjanji akan merevisi kesalahan itu dan memasukkan bangunan lama di Jalan Kepodang 20-22 ke dalam daftar inventarisasi. “Kalau ada kesalahan itu wajar, karena data tentang bangunan lama di Semarang sangat minim. Yang penting kita akan terus merevisi dan menambah daftar bangunan bersejarah secara berkala,” ujar Nik.
- Bekas Kantor Redaksi De Locomotief di Semarang Dihancurkan
SATU lagi bangunan yang punya nilai penting bagi sejarah pers dan pergerakan nasional Indonesia menemui ajal. Bangunan bekas kantor redaksi harian De Locomotief di Jalan Kepodang (dulu van Hogendorpstraat ), Semarang itu diduga hancur karena sengaja dirobohkan oleh pemiliknya. Pantauan Historia di lapangan (Jumat, 19/6) bangunan yang roboh bernomor 20. Adapun bangunan bernomor 22 yang berada di sebelahnya, dan masih bagian dari kantor redaksi koran tersebut, dalam kondisi rusak. Menurut Stn, tukang parkir di Jalan Kepodang, bangunan berlantai dua itu roboh sekitar tiga pekan lalu. Gedung itu roboh setelah sehari sebelumnya, pemilik membongkar balok-balok kayu penopang lantai dua. Tindakan pemilik, ujar Stn, didasari oleh kejengkelan terhadap ulah pencuri di gedung itu. “Sebelum sengaja dibongkar, papan-papan yang jadi alas lantai II dipreteli pencuri. Kejadiannya sampai dua kali. Mungkin karena jengkel dan khawatir kayu-kayunya diambil semua oleh pencuri, pemilik memutuskan untuk ‘menyelamatkannya’ sendiri. Balok-balok penopang diambil, sehingga bangunan yang tak punya kekuatan itu roboh pada keesokan hari,” kata Stn. Namun menurut Stn, perobohan bangunan itu diduga dilakukan atas sepengetahuan pihak berwenang. Informasi tersebut dia dapatkan dari informasi orang kepercayaan pemilik bangunan. Stn mengaku kerap melihat orang kepercayaan itu datang ke lokasi sambil membawa bendel kertas yang dia duga berkas perizinan pembongkaran. Menurut Abdurrachman Surjomihardjo, dkk., dalam Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia , setelah Batavia (Jakarta) dan Surabaya, Semarang merupakan kota ketiga yang penting bagi kelahiran pers Belanda dengan korannya De Locomotief . Awalnya bernama Semarangsch Advertentieblad yang terbit pada 1851 (sumber lain menyebut 1845), kemudian berganti nama menjadi De Locomotief pada 1863. Setelah terbit mingguan, dalam waktu singkat De Locomotief dapat terbit dua kali seminggu, dan akhirnya menjadi harian pada 1879. Dalam waktu 15 tahun, koran ini berpindah tangan dua kali, tetapi peredarannya makin bertambah. Sejak 1866, surat kabar ini tidak mendapat saingan dari surat kabar lain di sekitar Semarang. Beberapa surat kabar yang muncul kalah bersaing, dan akhirnya malah dibeli oleh De Locomotief . Meski terbit di daerah, De Locomotief punya jangkauan pembaca di seantero Hindia Belanda. Tak hanya itu, ia juga punya pengaruh kuat di lapangan politik. De Locomotief merupakan penyokong utama politik etis di Hindia Belanda. “Ia merupakan surat kabar yang besar pengaruhnya bagi pembaruan politik kolonial,” tulis Abdurrachman. “ De Locomotief adalah pembawa suara ‘politik etika’ yang terutama didukung oleh gabungan perusahaan perdagangan impor. Sebaliknya, para eksportir dan kantor-kantor administrasi perkebunan menolak gagasan peningkatan kemakmuran penduduk bumiputra. Mereka lebih suka membaca Soerabajaasch Handelsblad .” Sedangkan, menurut mantan wartawan dan kurator Jim Supangkat, pembaca De Locomotief beragam mulai dari para pedagang, pengusaha perkebunan, industrialis, masyarakat pribumi terpelajar, dan para pegawai di kalangan pemerintahan. “Pengaruh ini membuat visi De Locomotief diakui sebagai visi masyarakat Hindia Belanda pada waktu itu,” tulisnya dalam CP Biennale 2005: Urban/Culture . Pieter Brooshooft, redaktur utama De Locomotief adalah seorang reformis yang peduli pada hak-hak pribumi, khususnya hak-hak para petani dan buruh perkebunan. Dia melihat mereka sebagai masyarakat yang berjasa mendatangkan keuntungan, namun diabaikan kesejahteraannya. “Brooshooft adalah pencetus gagasan Politik Etis,” tulis Jim. Istilah Politik Etis berasal dari tulisan Brooshooft: “Die Etische Koers in de Koloniale Politiek” (1901). Dasar pemikiran Politik Etis sudah bergulir sejak cultuur stelsel (tanam paksa) dikritik dan dianggap sebagai penindasan. Politik Etis merupakan kelanjutan pemikiran ini, suatu penyusunan konsep politik yang menurut pendukungnya harus dijalankan Kerajaan Belanda sebagai tanggung jawab moral. De Locomotief –yang berusia lebih dari seabad (1851-1956)– menjadi media massa pertama yang berani secara terus menerus mempersoalkan hak-hak pribumi.
- Saat Bajak Laut Prancis Menguasai Padang
Pernah sekali Padang “ditawan” selama dua minggu lebih oleh Prancis. Bukan oleh tentaranya, tetapi segerombolan bajak laut. Dipicu perang Revolusi Prancis, wilayah pantai barat Sumatra menjelma menjadi teater pertempuran. Corsairs , bajak laut yang diberi izin oleh Prancis untuk merampok musuh-musuh Prancis, bermunculan dan menebar teror. Salah satunya adalah Francois-Thomas Le Meme. Le Meme lahir di Saint-Malo, barat laut Prancis, pada 13 Januari 1764. Dia mulai berdagang di Hindia pada 1791. Dari pelabuhan di Mauritius, sebelah timur Madagaskar, dia berdagang ke Jawa dan Sumatra sebagai kapten kapal Hirondelle . Ketika perang Revolusi Prancis berkobar di Eropa, jiwa revolusionernya terpanggil. Hirondelle diubahnya menjadi kapal bajak laut. Per Juli 1793, Hirondelle meneror kapal dagang Inggris (EIC) dan Belanda (VOC) di pantai barat Sumatra. “Sebulan sesudah itu dia merampok kapal VOC di Selat Sunda yang kebetulan sedang dalam perjalanan dari Batavia ke Padang. Hari itu juga direbut lagi dua kapal dagang kepunyaan orang Tionghoa dan besoknya sebuah lagi kepunyaan Belanda. Le Meme mendapat banyak barang rampasan yang tinggi harganya,” tulis Rusli Amran dalam Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang Volume 1 . Keberhasilan merampok kapal Inggris, William Thesied , pada 25 Agustus 1793 membuat Le Meme dipromosikan ke kapal Ville de Bourdeaux . Dia mengarahkan awaknya berlayar ke Padang, kota dagang VOC yang penting di pantai barat Sumatra. Sudah sejak 1663, VOC bercokol di sana dan memonopoli berbagai komoditas, terutama emas. Meski begitu pertahanan Padang lemah. Ketika Ville de Bourdeaux yang berawak 200 orang dan dipersenjatai 32 meriam itu melego jangkarnya di sana, tak ada perlawanan yang cukup berarti. P.F. Chassen, Opperkoopman (kepala pedagang) VOC menyerah. Gerombolan Le Meme menyatakan sejak itu juga Padang dan daerah lain di pantai barat Sumatra yang dikuasai VOC menjadi daerah taklukan Prancis. Padang diduduki selama 16 hari. Saat itu pertengahan Desember 1793. “Pernyataan itu ditandai dengan pengumandangan lagu Marseillaise serta pengibaran bendera tricolor di Padang,” tulis Gusti Asnan dalam Memikir Ulang Regionalisme: Sumatera Barat Tahun 1950-an . Padang dijarah. Namun untuk ukuran perompak, sikap gerombolan Le Meme terbilang baik. Kecuali meminta makan, mereka tidak banyak berbuat onar. Ketika penduduk Padang hanya mampu menyediakan 25.000 ringgit dari ransum sebesar 70.000 ringgit yang dituntutnya, Le Meme tidak menghukum mereka. “Singkatnya, Le Meme tidak semata-mata datang sebagai perampok atau bajak laut, tetapi masih dipengaruhi oleh cita-cita besar revolusi (rakyat) yang baru saja terjadi di negeri mereka,” tambah Rusli. Namun ulah orang-orang Tionghoa yang menolak patungan ransum akhirnya membuat Le Meme naik pitam juga. Dibantu penduduk lokal yang sama kesalnya, dia memerintahkan untuk membakar rumah orang-orang Tionghoa dan mengusir mereka keluar kota. Di hari ke-16, Le Meme meninggalkan Padang dan kembali ke Mauritius. Karir perompaknya kian melonjak. Namanya dielu-elukan di Prancis. Pun sepeninggal Le Meme, serangan corsairs lainnya tidak berhenti. “Di tahun yang sama, tiga corsairs dari Mauritius sudah menyerang tiga pos Inggris di Bengkulu dan Natal. Pada 1794, Natal dan Tapanuli sempat diduduki lagi oleh para corsairs ,” tulis Anthony Reid dalam The French in Sumatra and the Malay World, 1760-1890 . Petualangan Le Meme berakhir. Dia tertangkap dan meninggal pada 30 Maret 1805 di kapal Waltherstow , yang tengah membawanya ke Inggris untuk diadili. Ketika Mauritius berhasil dikuasai Inggris pada 1810, aktivitas para corsairs terhenti. Padang berada di bawah pemerintahan Inggris ketika perang Napoleon berkobar di Eropa pada 1803, sebelum akhirnya dikembalikan lagi ke Belanda melalui Konvensi London pada tahun 1814.
- Misteri Lenyapnya Mayor Muller, Utusan Belanda di Kalimantan
DI perbatasan antara Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur terdapat Pegunungan Muller. Keanekaragaman hayatinya penting untuk menjaga kelestarian tiga sungai terbesar di Kalimantan: Kapuas, Barito, dan Mahakam. Penjelajah Belanda, Anton Willem Niewenhuis adalah orang yang pertama kali menamai pegunungan itu dengan nama Muller pada 1894. Siapakah Muller? Georg Muller lahir di Mainz, sekarang wilayah Jerman, pada 1790. Karir militernya dimulai di pasukan Austria pada 1807. Muller menjadi perwira zeni pasukan Napoleon Bonaparte ketika Prancis menyerbu Rusia. Ketika Napoleon kalah, dia pergi ke Hindia Belanda pada 1817 untuk bergabung dengan Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL). Dia terlibat dalam penyerangan Belanda ke Kesultanan Sambas pada 1818, bahkan diangkat sebagai acting residen di sana. Sempat bekerja sebagai petugas inspeksi pala di Banda Neira, Maluku, pada 1820. Dua tahun kemudian dia kembali ke Kalimantan Barat sebelum terpilih untuk mewakili Belanda ke Kesultanan Kutai Kertanegara. Dengan ambisi untuk mengontrol arus perdagangan di sepanjang sungai Mahakam, Belanda bermaksud meneken kontrak politik dengan sultan Kutai, Salahuddin. Belanda mengutus Muller beserta 20 prajurit Jawa, ke Kutai pada 8 Agustus 1825. “Ditetapkan bahwa perjanjian perdamaian mengharuskan Belanda untuk memberi perlindungan kepada Kutai dan menyediakan upah tahunan sebesar 8000 gulden untuk kesultanan sebagai syarat persetujuan,” tulis Burhan Djabier Magenda dalam East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy . Setelah meneken perjanjian dengan Salahuddin, Muller berambisi menelusuri pedalaman Kalimantan –dari Kutai di timur menuju Sambas atau Pontianak di barat– untuk mengeksplorasi alam Kalimantan yang disebut para penjelajah Belanda sebagai terra incognita atau “wilayah tak diketahui.” “Meski sultan enggan mengizinkan Muller masuk lebih jauh ke dalam wilayah kekuasaannya, dia tetap pergi ke Mahakam dengan pasukan Jawanya. Hanya satu dari rombongan itu yang berhasil dengan selamat di pantai Barat,” tulis Bernard Sellato dalam Innermost Borneo: Studies in Dayak Cultures . Muller dan pasukannya diyakini dibunuh oleh suku Dayak di hulu Kapuas. Hal ini kemudian dibenarkan oleh John Dalton, petualang Inggris yang mengunjungi tempat kejadian perkara tiga tahun kemudian dan menemukan benda-benda peninggalan Muller dan timnya, seperti tertera dalam artikel seabad peringatan hilangnya Muller (20 Januari 1826-20 Januari 1926) oleh De Indische Courant . Kesimpulan itu diragukan dan ada kecurigaan keterlibatan sultan, seperti diungkap artikel “Massacre of Major Mullen and His Party,” Singapore Chronicle , Mei 1831, termuat dalam Notices of the Indian Archipelago and Adjacent Countries suntingan J.H. Moor. Artikel itu menyebutkan bahwa ternyata Muller meneken perjanjian bukan dengan sultan, melainkan syahbandar bernama Saib Abdullah. Saib mengaku bernegosiasi di bawah ancaman Muller; atau justru Muller yang ditipu oleh sang syahbandar. Skenario manapun membuat sultan tidak senang karena harus menyerahkan kekuasaannya kepada Belanda, dan satu-satunya cara membatalkan perjanjian itu dengan cara melenyapkan Muller. “Akan tetapi ada beberapa orang yang mau memberikan informasi sesungguhnya apabila mereka dijamin keselamatannya. Salah satunya budak sultan, seorang Jawa, bernama Seredin, yang menyebut sang syahbandar sebagai otak dibalik peristiwa tersebut,” tulis artikel tersebut. Entah mana yang benar, faktanya Muller dan timnya lenyap, dan tak ada konfirmasi resmi soal siapa yang bertanggungjawab. Setidaknya sampai 1950-an, orang-orang Belanda masih terus menggali kebenaran misteri lenyapnya Muller.*
- Awal Mula Profesi Calo Angkot
LAJU kendaraan bermotor di depan pusat belanja Depok Town Square, Jawa Barat, terhambat. Sebuah angkot mendadak banting setir ke kiri untuk berhenti menunggu penumpang. Seorang pemuda menghampiri angkot dan berteriak, “Ayo, Bang! Pal… Pal. Ayo, Bang! Pal… Pal… Jalan duluan!”Angkot pun penuh penumpang. Pemuda menyuruh sopir lekas tancap gas. Sopir memberi pemuda itu Rp2.000. Pemuda mencatat waktu ke berangkatan angkot di buku. Para sopir menyebut si pemuda sebagai timer . Tokoh ini jamak terjumpa di terminal bayangan bus dan angkot di kota-kota besar. Mereka kali pertama muncul di Jakarta pada dekade 1950-an. Bersamaan dengan penggunaan angkutan umum bermotor di Jakarta seperti oplet, taksi, dan bus. “…Pangkalan oplet dan taksi di Jakarta tentu mesti ada calok,” tulis Sunday Courier , 2 Agustus 1953. Majalah Sunday Courier menjadi media pertama yang menggunakan kata “calok” dalam pemberitaan tentang profesi tersebut. Sementara itu Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Dialek Jakarta karya Abdul Chaer menulisnya “calo” tanpa huruf “k”. Calo beroperasi di pangkalan Harmoni, Kebon Jeruk, Sawah Besar, dan Jatinegara. Mereka bekerja dalam kelompok. Bergantian dari pagi hingga malam. Kebanyakan mereka pengangguran. Tekanan ekonomi menjadi alasan mereka menempuh laku sebagai calok. Calo berarti memanggil. “Istilah ini tentu asing buat orang di luar Jakarta. Memang istilah calok cuma spesifik Jakarta… Perkataan sehari-hari orang Jakarta,” tulis Minggu Pagi , 10 Mei 1959. Calo mengandalkan teriakan lantang untuk memanggil penumpang naik oplet. Kesempatan ini terbuka lantaran oplet tak menyediakan papan petunjuk trayek. Calo memandang dirinya sebagai penolong sopir dan penumpang. Sopir terbantu mendapat penumpang, dan penumpang terhindar tersasar atau salah naik angkutan umum.Atas jasa itu, calok meminta bayaran dari sopir. Sopir biasanya menarik ongkos lebih dari penumpang untuk menutup ongkos calo. Kadangkala penumpang menolak membayar ongkos lebih. Ini berarti sopir harus merelakan sebagian penghasilannya untuk calo. Penghasilan calok mencapai Rp50 per hari atau sepertiga dari penghasilan sopir. Calo berkuasa menentukan kapan bus, oplet, dan taksi harus jalan. “Calok berhak menunjuk oplet mana yang harus diisi penuh dulu,” tulis Minggu Pagi. Sopir mesti menurut. Jika melawan, calok bakal memboikot angkutan umum berhenti atau mengambil penumpang di wilayahnya. Calo punya banyak rekan untuk memboikot sopir. Mereka tak segan pakai pendekatan fisik. Sopir angkutan umum dan penumpang menilai kehadiran calo meresahkan. “Lalu-lintas akan lebih aman tanpa calok. Uang pun tidak mesti terbuang ke saku calok, sebab itu bukan semata-mata uang sopir, melainkan uang penumpang juga,” tulis Djaja , 27 April 1963. Menghadapi protes sopir dan penumpang, calo membela diri. “Mesti ada calok, sebab tanpa calok penumpang tidak akan tahu mana bemo yang ke Priok, mana yang Mester atau Harmoni!” tulis Djaja . Pihak berwenang berusaha menghapus calok dengan memberi angkutan umum papan petunjuk trayek. Tapi calok masih bermunculan. Pihak berwenang menempuh cara lain. Mereka menangkap para calo di pangkalan angkutan umum. Lagi-lagi calo bisa berkelit. Calo memindahkan wilayah operasinya. “Di pinggiran kota, misalnya rute Grogol-Tangerang, pemeras-pemeras itu masih merajalela. Bukan saja bus dan oplet, tapi bahkan juga truk-truk menjadi makanan empuk bagi calok yang enak saja menyetop kendaraan dan kemudian menggantikan kenek..,” tulis Kompas , 11 Mei 1968. Memasuki 1990-an, istilah calo berganti timer . “ Timer bermunculan di terminal serta pangkalan kendaraan angkutan umum dalam kota Bekasi,” tulis Kompas , 6 September 1991. Perubahan istilah menandai pula perubahan cara kerja mereka. Tak lagi hanya berteriak memanggil penumpang, melainkan juga mencatat waktu keberangkatan tiap angkutan umum.
- Sepuluh Fakta di Balik Pembangunan Jalan Daendels dari Anyer ke Panarukan
Herman Willem Daendels menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda selama tiga tahun (1808-1811). Dalam waktu relatif singat itu, dengan tangan besinya berhasil membangun di berbagai bidang, baik untuk kepentingan ekonomi maupun pertahanan karena ditugaskan mempertahankan Pulau Jawa dari serangan Inggris. Namun, pembangunan monumental dan melekat padanya adalah Jalan Anyer-Panarukan atau Jalan Raya Pos yang panjangnya mencapai seribu kilometer. Kendati menyebut proyek Jalan Anyer-Panarukan sebagai genosida karena menelan ribuan korban, sastrawan Pramoedya Ananta Toer mengakui, dibandingkan pada masanya jalan itu sama dengan jalan Amsterdam–Paris. Pembangunannya yang hanya setahun (1808-1809) satu rekor dunia pada masanya. “Sejak dapat dipergunakan pada 1809 telah menjadi infrastruktur penting, dan untuk selamanya,” tulis Pram dalam Jalan Raya Pos, Jalan Daendels. Berikut ini 10 fakta yang belum banyak diketahui orang tentang pembangunan Jalan Anyer-Panarukan. 1. Nol (0) Kilometer Anyer-Panarukan Di sekitar Mencusuar Anyer yang terletak di Desa Tambang Ayam, Kecamatan Anyer, Serang, Banten, terdapat tapal yang menandai titik awal pembangunan Jalan Anyer-Panarukan. Tidak diketahui pasti siapa dan kapan pembuatannya. Sejarawan Universitas Indonesia, Djoko Marihandono, merasa heran dengan tapal tersebut. “Saya masih mempertanyakan nol kilometer yang ada di Anyer Banten sebagai titik awal pembangunan Anyer-Panarukan,” kata Djoko kepada Historia . Selain itu, Djoko yang menulis disertasi tentang sentralisasi kekuasaan Daendels di Universitas Indonesia pada 2005, juga merasa prihatan karena dalam tapal tersebut “tahunnya saja salah.” Pada tapal persegi empat itu tertulis: “0 KM Anjer-Panarukan 1806 AKL.” Padahal, Daendels baru mendarat di Anyer pada 5 Januari 1808. Dari Anyer ke Batavia, Daendels menempuh perjalanan selama empat hari. Pada musim hujan, jalan-jalan itu tidak layak dilewati. Sementara jalur laut tidak mungkin dilaluinya karena ancaman armada Inggris yang sudah mengepung pulau Jawa. Rute jalan Anyer-Batavia (Anyer-Cilegon-Serang-Tangerang-Batavia) sudah ada sebelumnya. Sehingga Daendels hanya memerintahkan untuk memperkeras dan memperlebarnya. Setelah diperkeras dan dilebarkan, Anyer-Batavia dapat ditempuh dalam waktu sehari. “Pekerjaan ini mudah saja karena medannya datar. Hambatan hutan-belantara sepanjang lebih kurang 40 km dapat diatasi tanpa kesulitan berarti. Demikian juga dengan ruas jalan Batavia-Buitenzorg (Bogor),” tulis Pram. 2. Kepentingan Ekonomi, Lalu Militer Menurut Pram, bukan kebetulan bila Daendels memerintahkan pembangunan jalan Anyer-Batavia sebagai prioritas utama. Dengan adanya jalan ini secara teoritis tentaranya akan segera dapat didatangkan dari Batavia bila Inggris menyerbu. Namun, menurut Djoko, pembangunan jalan Anyer-Panarukan lebih termotivasi oleh kepentingan ekonomi, selanjutnya militer. “Daendels mengeluarkan besluit (keputusan) bahwa tujuan pembangunan jalan itu untuk dua kepentingan, yaitu membantu penduduk dalam mengangkut komoditas pertanian ke gudang pemerintah atau pelabuhan dan untuk kepentingan militer. Tapi, dia mendahulukan kepentingan pertama karena memang daerah di sekitar Bogor sangat subur dan menguntungkan bagi pemerintah kolonial. Namun, jalan dari Batavia hanya sampai Cisarua, dari Cisarua hanya jalan kecil, banyak belokan, dan sebagainya,” ujar Djoko. Selain mempertahankan Jawa dari Inggris, Daendels juga harus mendanai pemerintahannya terlebih bisa setor ke kas pemerintah di Belanda. Dan komoditas andalannya adalah kopi yang ditanam di Priangan. Daendels memang berhasil mengamankan jalur hubungan antara Bogor dan Batavia sebagai pelabuhan produk-produk ekspor. Setelah Inggris memblokade jalur ke pelabuhan Batavia, dia mencari alternatif pelabuhan lain yaitu di Cirebon dan Tegal. Namun, pengangkutan kopi dari Bogor lewat Batavia menuju Cirebon terkendala pemberontakan Bagus Rangin yang berkobar di Cirebon karena penetrasi ekonomi Tionghoa dan pembuangan Sultan Kanoman oleh VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur). Dari hasil pemantauannya, Daendels mendapati jalan yang ada antara Bogor-Cirebon hanya sebatas jalan kecil dan tidak memungkinkan untuk pengangkutan komoditas dalam jumlah besar. Dia kemudian menugaskan komandan pasukan zeni Kolonel von Lutzow untuk melakukan pemetaan jalur Bogor-Cirebon. Hasilnya, jalur pembangunan Bogor-Cirebon yang akan ditempuh: Cisarua-Cianjur, Cianjur-Rajamandala, Rajamanadala-Bandung, Bandung-Parakanmuncang, Parakanmuncang-Sumedang, dan Sumedang-Karangsembung. Sebagian besar proyek pembangunan jalan raya ini ditujukan untuk memperbaiki dan menghubungkan jalan-jalan desa yang telah ada. 3. Kerja Upah Daendels memutuskan pembangunan jalan Bogor-Cirebon yang berjarak 150 km pada 25 April 1808 dan pengerjaannya dimulai awal Mei 1808. “Dalam membuat jalan yang sulit dan menembus gunung-gunung tinggi ini dikerahkan 1.100 tenaga kerja paksa,” tulis Pram. Namun, menurut Djoko, pekerjaan pembuatan jalan raya Bogor-Cirebon dilakukan atas dasar kerja upah karena Direktur Jenderal Keuangan Van Ijsseldijk menyiapkan dana untuk upah pekerja dan mandor, peralatan, dan konsumsi atau ransum. “Untuk membangun jalan dari Cisarua, Bogor sampai Cirebon, Daendels menyediakan dana sebanyak 30.000 ringgit ditambah dengan uang kertas yang begitu besar,” kata Djoko. Pemberian upah didasarkan pada beratnya lokasi yang ditempuh seperti batuan padas, hutan lebat, lereng bukit atau gunung, keterjalan lokasi dan sebagainya. Rinciannya antara lain rute Cisarua-Cianjur (10 ringgit perak per orang/bulan), Cianjur-Rajamandala (4 ringgit perak per orang/bulan), Rajamanadala-Bandung (6 ringgit perak per orang/bulan), Bandung-Parakanmuncang (1 ringgit perak per orang/bulan), Parakanmuncang-Sumedang (5 ringgit perak per orang/bulan), dan Sumedang-Karangsembung (4 ringgit perak per orang/bulan). Selain upah, para pekerja juga mendapatkan beras dan garam. “Sistem pembayarannya, pemerintah memberikan dana kepada para prefek (jabatan setingkat residen) lalu diberkan kepada para bupati. Ini buktinya ada. Sedangkan dari bupati ke para pekerja, tidak ada buktinya. Bisa jadi ada tapi belum saya temukan. Apakah para bupati membayarkannya atau tidak kepada pekerja, itu urusan lain. Jadi bukan kerja paksa karena diberi upah,” ungkat Djoko. 4. Pekerja dari Luar Bogor-Cirebon Rincian pekerja untuk pembangunan jalan Bogor-Cirebon antara lain Cisarua-Cianjur (400 orang), Cianjur-Rajamandala (150 orang), Rajamanadala-Bandung (200 orang), Bandung-Parakanmuncang (50 orang), Parakanmuncang-Sumedang (150 orang), dan Sumedang-Karangsembung (150 orang). Perbedaan jumlah pekerja tersebut disesuaikan dengan panjangnya jalan dan beratnya medan. “Sebagian besar para pekerja tersebut dikerahkan dari luar daerah Bogor-Cirebon, terutama dari Jawa karena penduduk sekitar sudah diberikan tugas untuk meningkatkan produksi kopi,” kata Djoko. Daendels menaruh perhatian besar terhadap kopi sampai-sampai dia mengangkat inspektur jenderal khusus tanaman kopi yang dijabat oleh Von Winckelman. Selain kopi, dia juga memperhatian padi. Kendati bukan komoditas ekspor, padi sangat diperlukan untuk menjamin pasokan pangan bagi masyarakat terutama di kota-kota besar seperti Batavia dan Surabaya. Oleh karena itu, menurut Pram, Daendels memerintahkan pembangunan jalan Bogor-Cirebon sehabis panen kopi dan padi. Jauh sebelumnya wajib tanam kopi ( koffie stelsel ) telah dikenakan di Priangan dan harus menjualnya kepada Kompeni untuk membiayai pemerintahannya. “Priangan paling cocok tanaman kopi. Dan untuk melancarkan perekonomian Kompeni, jalan ekonomi perlu ditingkatkan. Digabungkan dengan keperluan pertahanan, jalan ekonomi juga dibuat jadi prasarana militer,” tulis Pram. 5. Di Bawah Pimpinan Militer Mulanya proyek jalan Bogor-Cirebon ini akan diserahkan kepada Komisaris Urusan Pribumi, namun Daendels menyadari medannya tidak mungkin bisa ditangani oleh pekerja biasa. Peralatan yang dibawa para kuli tidak memadai, terlebih banyak batuan padas di lereng-lereng bukit sehingga tidak mungkin bisa dihancurkan dengan peralatan pertukangan. Selain itu, para pekerja juga terancam binatang buas. Oleh karena itu, Daendels memutuskan proyek ini akan ditangani oleh militer dengan penanggungjawab Kolonel von Lutzow. Komandan zeni ini bertanggungjawab menyediakan peralatan dan persenjataan berat seperti meriam untuk meruntuhkan batuan-batuan padas maupun alat pengangkutnya. 6. Dimulainya Kerja Wajib Setibanya di Karangsembung, timbul persoalan. Selain dana habis untuk membayar pekerja maupun untuk perbaikan dan perawatan jalan, sebagian dari tanah-tanah di sekitar Karangsembung yang akan dijadikan jalan, milik Sultan Cirebon. Daendels kemudian menekan Sultan agar menyerahkan tanahnya demi kepentingan pembangunan jalan. Sultan membebaskan tanahnya karena Daendels menjanjikan jalan itu bisa digunakan untuk mengangkut kopi yang juga memberikan pemasukan kepada Sultan. Namun, menurut Pram, residen Cirebon sendiri juga “mengajukan permohonan agar pekerjaan diteruskan melewati karesidenannya. Selanjutnya demikian pula halnya dengan Residen Pekalongan. Dan jalan Raya Pos pun semakin panjang, hanya sekarang memantai.” Untuk menyiasati kehabisan dana, Daendels mengumpulkan semua penguasa pribumi termasuk para bupati di Jawa Tengah dan Jawa Timur, di rumah residen Semarang. Dia menyampaikan maksudnya untuk melanjutkan pembangunan jalan raya dari Cirebon sampai Surabaya. Daendels meminta kepada mereka agar menyediakan tenaga kerja dengan menggunakan sistem kerja yang berlaku pada masyarakat yaitu heerendiensten, kerja wajib untuk raja. “Prinsip kerja wajib itu karena penduduk menempati tanah milik raja, maka wajib hukumnya untuk memberikan upeti kepada raja. Ini dipakai oleh Daendels untuk memerintahkan para bupati agar mengerahkan penduduknya untuk bekerja,” kata Djoko. Jalur Cirebon-Surabaya yang akan ditempuh di sepanjang pantai utara Jawa dengan pertimbangan bahwa semua itu adalah tanah-tanah pemerintah, sehingga tidak akan mengganggu wilayah raja-raja pribumi. Atas kesediaan para bupati, proyek penggarapan jalan itu dilanjutkan. 7. Mengapa ke Panarukan? Ketika berkunjung ke Surabaya pada awal Agustus 1808, Daendels melihat bahwa jalan dari Surabaya perlu diperpanjang ke timur. Tujuannya bahwa wilayah Ujung Timur ( Oosthoek ) merupakan daerah yang potensial bagi produk tanaman tropis selain kopi, seperti gula dan nila. Di samping itu ada kemukinan perairan di sekitar selat Madura memberikan peluang bagi pendaratan pasukan Inggris. Untuk itu, dia memerintahkan F. Rothenbuhler, pemegang kuasa (gesaghebber) Ujung Timur sebagai penanggungjawab pembangunan jalan Surabaya sampai Ujung Timur yang dimulai pada September 1808. Titik akhir jalan di Ujung Timur terletak di Panarukan, dan tidak dibangun hingga Banyuwangi. Pertimbangannya Banyuwangi dianggap tidak memiliki potensi sebagai pelabuhan ekspor. Sedangkan Panarukan dipilih karena dekat daerah lumbung gula di Besuki dan dengan tanah-tanah partikelir yang menghasilkan produk-produk tropis penting. 8. Tonggak atau Paal Daendels telah memerintahkan pembangunan jalan dari Ujung Barat (Anyer) sampai Ujung Timur (Panarukan) yang jaraknya mencapai 600 paal (1 pal = 1,5 km) atau hampir 1.000 kilometer. Direncanakan jalan ini mencapai lebar dua roed (1 roed = 3,767 m2) atau jika medan memungkinkan lebarnya 7,5 meter. Setiap 400 roed (1 roed = 14,19 meter) harus dibuat satu tonggak (paal) . Menurut Pram, setiap jarak 150,960 meter harus didirikan tonggak untuk jadi tanda jarak dan juga tanda kewajiban bagi distrik (kawedanaan) dan penduduknya untuk memeliharan jalan tersebut. “Jalan-jalan yang sudah selesai diberi tanda dengan ukuran paal. Makanya di daerah-daerha yang dilewati jalan ini kebanyakan namanya berawalan Pal seperti Pal Merah, Pal Meriam, Pal Sigunung,” kata Djoko. 9. Peraturan Jalan Raya Pos Setelah Jalan Anyer-Panarukan selesai, Daendels mengeluarkan tiga peraturan terkait dengan pengaturan dan pengelolaan jalan raya ini. Peraturan pertama dikeluarkan pada 12 Desember 1809 berisi aturan umum pemanfaatan jalan raya, pengaturan pos surat dan pengelolaannya, penginapan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan kereta pos, komisaris pos, dinas pos dan jalan. Peraturan kedua keluar pada 16 Mei 1810 tentang penyempurnaan jalan pos dan pengaturan tenaga pengangkut pos beserta gerobaknya. Peraturan ketiga tanggal 21 November 1810 tentang penggunaan pedati atau kereta kerbau, baik untuk pengangkutan barang milik pemerintah maupun swasta dari Jakarta, Priangan, Cirebon, sampai Surabaya. 10. Genosida Daendels Pembangunan Jalan Anyer-Panarukan hingga kini masih menjadi perdebatan. Di satu pihak pembangunan Jalan Raya Pos itu sangat dipuji, tetapi di lain pihak juga dicaci karena mengorbankan banyak nyawa manusia. Pram menegaskan bahwa pembangunan Jalan Anyer-Panarukan adalah salah satu genosida dalam sejarah kolonialisme di Indonesia. “Menurut sumber Inggris hanya beberapa tahun setelah kejadian Jalan Raya Pos memakan korban 12.000 orang,” tulis Pram. Menurut Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 1 , musuh-musuh Daendels membandingkan pembangunan Jalan Anyer-Panarukan dengan Piramida Mesir. Dampak jalan raya itu ternyata jauh melampaui perkiraan Daendels. Jalan ini telah memenuhi harapan Daendels sebagai sarana ekonomi kolonial. Meski tidak memungkinkan untuk menahan pendaratan Inggris, namun jalan ini mengubah secara besar-besaran kondisi ekonomi dan kehidupan di Jawa. Jalan ini mempersingkat waktu tempuh: Batavia-Surabaya dapat ditempuh dalam lima hari; pengiriman pos Batavia-Semarang hanya memerlukan 5-6 hari, sebelumnya memakan 14 hari di musim kemarau atau tiga minggu sampai sebulan di musim hujan. Jalan ini memunginkan pengembangan dan komersialisasi produk-produk perkebunan. Jalan ini juga menciptakan sebuah kelompok sosial penting, yaitu kaum pedagang perantara. Terakhir dan terutama, jalan raya ini menimbulkan pergerakan penduduk yang berpengaruh ke segala bidang.
- Para Pemuda Indonesia yang Melawan Nazi
Hari ini, 15 Mei 77 tahun silam, pemerintah Belanda secara resmi menyerah kepada Nazi-Jerman. Keputusan tersebut diambil setelah pihak Belanda pesimis memenangkan pertempuran melawan pasukan Jerman dan menghindari korban sipil lebih banyak. Lima hari sebelumnya, pasukan Jerman memulai serangannya terhadap kota pelabuhan Rotterdam. Begawan ekonomi Indonesia Soemitro Djojohadikusumo ingat betul hari ketika serangan Jerman itu dimulai. Saat itu dia sedang menggarap disertasi di kamar kosnya. Tak berapa lama kemudian, pesawat-pesawat Luftwaffe Jerman membombardir kota. Bukan hanya kamar kos beserta isinya yang hancur berantakan akibat pemboman itu, nyawa Soemitro juga nyaris melayang. Menurut Richard Overy dalam The Bombing War: Europe, 1939-1945, “Prioritas Jerman adalah merebut bandara-bandara Belanda dan titik-titik kunci komunikasi, yang secara umum tercapai, meski dengan bayaran tinggi.” Mereka menggunakan taktik yang bertumpu pada tiga kekuatan: bombardir udara, serangan pasukan para, dan serangan darat. Akibat serangan kilat Jerman itu, Rotterdam luluh lantak. “Seperti pemboman Warsawa, operasi terhadap Rotterdam memakan korban sipil sangat banyak karena tentara Belanda memilih untuk mempertahankan wilayahnya ketimbang mendeklarasikan ′kota terbuka′ atau menyerah. Dalam dua hal, kerusakan dan kematian amat besar, juga disebabkan oleh tembakan artileri,” tulis Overy. Tak hanya warga Belanda, orang-orang Indonesia yang tinggal di sana pun ikut susah. Selain komunikasi dengan orangtua di tanah Hindia Belanda terputus, mereka juga tak lagi dapat jaminan sosial. Keamanan diri mereka juga terancam dan mereka juga jadi dihinggapi rasa takut. Anak Agung Made Djelantik merasakan betul bagaimana ketakutan membuatnya tersiksa. Dia dan teman-temannya harus berpindah-pindah tempat untuk menghindari penangkapan Gestapo, dinas rahasia Nazi, yang membuat kuliahnya berantakan. Ancaman penangkapan itu merupakan buah dari penolakan Djelantik dan teman-temannya menerima formulir kesetiaan kepada Hitler. Ketakutan terbesarnya datang saat dia berusaha menyelamatkan seorang temannya yang Yahudi. Pada gerbong keretapi yang dia dan temannya tumpangi, tiga personil Gestapo naik dari sebuah stasiun. Mereka duduk tepat di seberang Djelantik. Tubuhnya langsung bergetar hebat. Ketika kereta berhenti di stasiun berikutnya, Djelantik akhirnya turun dan disusul temannya yang sepanjang perjalanan dengan pura-pura membaca koran untuk menutupi wajahnya. Keduanya selamat. Namun solidaritas pada bangsa Belanda yang diduduki Nazi-Jerman justru mendorong sebagian pemuda-pemuda Indonesia melancarkan perlawanan terhadap tentara fasis itu. Mereka seakan lupa kalau Indonesia, bangsa mereka, justru sedang menghadapi penjajahan Belanda. “PI (Perhimpunan Indonesia, red ) sebagai wakil dari pergerakan nasional Indonesia melihat perjuangan hak untuk menentukan kemerdekaan Indonesia berhubungan dengan perjuangan melawan kekuatan totaliter di Eropa dan di Asia. Oleh sebab itu PI mengadakan perlawanan terhadap Nazi Jerman dengan bekerjasama erat dengan gerakan perlawanan Belanda,” tulis Soebadio Sastrosatomo dalam Perjuangan Revolusi. Bentuk perlawanan mereka beragam, mulai spionase hingga perlawanan bersenjata. Soemitro, yang kesal terhadap Nazi karena disertasinya berantakan, bergabung dengan gerakan bawah tanah bersama teman-temannya di kelompok studi mereka, seperti Zairin Zain dan Kusna Puradireja. Selain kerap melakukan sabotase, mereka juga menerbitkan brosur propaganda melawan fasisme sembari juga memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Selain Soemitro, ada Irawan Soedjono yang seorang mahasiswa Universitas Leiden (baca Pemuda Indonesia Berperang Melawan Nazi). Putra Raden Adipati Ario Soedjono itu selain aktif menerbitkan surat kabar anti-fasis De Bevrijding juga ikut angkat senjata melawan fasis dengan bergabung ke dalam pasukan bawah tanah bernama Barisan Mahasiswa Indonesia. Dua kali dia berhasil lolos dari razia pasukan Jerman. Namun, dia akhirnya tewas ditembak pasukan Jerman setelah berusaha melarikan diri menggunakan sepeda sambil membawa mesin stensil pada 13 Januari 1945. Jusuf Muda Dalam (wakil ketua Perhimpunan Indonesia semasa kepemimpinan Maruto Darusman, di kemudian hari menjabat Menteri Urusan Bank Sentral di pemerintahan Sukarno) juga melakukan hal yang sama dengan Irawan, angkat senjata. Mahasiswa Handelhogeschool, Rotterdam itu yang terkenal pemberani itu bertugas sebagai penembak senapan mesin. Menurut Soemitro, sebagaimana ditulis Soe Hok Gie dalam Orang-orang Kiri di Persimpangan Kiri Jalan , Jusuf pernah menembaki konvoi pasukan Jerman. Soeripno memegang peran penting dalam perjuangan bersenjata pemuda Indonesia di Belanda. “Ia seorang yang brilian, aktif, sopan, dan simpatik. Ia adalah seorang idealis dan berasal dari keluarga ningrat,” tulis Gie. Selain aktif menerbitkan publikasi bawah tanah Bevrijding bersama Nazir Pamuncak, Soeripno juga mendapat kepercayaan memimpin perlawanan fisik. Dia lalu mendirikan Barisan Mahasiswa, pasukan paramiliter yang terdiri dari empat regu –tiap regu berisi sepuluh pemuda. Meski dia mengundurkan diri dua minggu kemudian, pasukan bentukannya tetap utuh dan terus melawan fasis. “Para anggota kelompok itu menamakan dirinya dari nama pahlawan nasional Untung Soerapati, sedangkan kesatuannya diberi nama Knokploegen (KP) atau Barisan Tangan Besi,” tulis Hendri F Isnaeni dalam “Takdir Si Henk dari Pembebasan”. Atas jasanya membebaskan Belanda dari pendudukan Jerman, beberapa mahasiswa seperti Soemitro ataupun LN Palar diberi kehormatan pemerintah Belanda dengan jabatan sebagai anggota parlemen atau anggota delegasi resmi ke rapat PBB. Sementara itu Irawan Soedjono namanya diabadikan menjadi nama jalan. Setelah Jerman kalah perang banyak dari mereka, seperti Palar, menolak “hadiah” itu karena berlanjutnya kolonialisme Belanda atas Indonesia . “Sejalan dengan ucapan gamblang dan janji yang khidmat dari Paduka Yang Mulia Ratu, dan bertolak dari putusan yang diambil oleh Kongres Rakyat Indonesia tahun 1939 bahwa dengan demikian suara dari seluruh gerakan nasional diwakili, maka Perhimpunan Indonesia menyatakan harapan dengan tegas, baik di Negeri Belanda maupun Indonesia, agar status kolonial secara definitif ditiadakan,” ujar pengurus Perhimpunan Indonesia dalam pernyataan resminya kepada pemerintah Belanda, sebagaimana dimuat Harry Poeze dalam buku Di Negeri Penjajah .





















