top of page

Hasil pencarian

9585 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Ziarah Sejarah ke Petamburan (2)

    BERANJAK ke bagian belakang TPU Petamburan, kita akan menemukan salah satu makam yang cukup megah. Meski tak semegah mausoleum Oen Giok Khouw, makam ini tampak bersepuh marmer berwarna hitam sepenuhnya. Nisannya juga besar sehingga memuat banyak keterangan tentang siapa sosok yang dimakamkan. Sayang, bingkai kaca tempat memuat foto di sudut atas kanan nisan retak. Sehingga, potretnya pun tak terlihat jelas.

  • Soe Hok Gie dan Para Penyusup di UI

    Aksi kartu kuning Ketua BEM Universitas Indonesia (UI), Zaadit Taqwa, menjadi perbincangan. Pasalnya, protes simbolik itu dilayangkan kepada Presiden Jokowi ketika menghadiri sidang Dies Natalis Universitas Indonesia ke-68, (2/2). Meski mendapat dukungan karena dianggap berani, tak sedikit pula yang mengecam perbuatan mahasiswa jurusan Fisika fakultas MIPA tersebut. Cercaan bahkan datang dari sesama almamater. Tersiar kabar bahwa Zadit membawa muatan kepentingan dari partai politik tertentu dalam sepak terjangnya di kampus. Cuitan dari Saifulloh Ramdani, Ketua BEM FIB UI periode 2013, misalnya. Dalam serangkaian twit- nya , Saifulloh membeberkan adanya penyusupan kader-kader PKS (Partai Keadilan Sejahtera) di kampus UI yang telah menggeliat sejak lama. Kepentingan politik tertentu yang dibawa oknum-oknum mahasiswa UI memang telah berlangsung lama. Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa UI Angkatan ’66 tak tutup mata akan masalah itu. Dalam artikelnya berjudul “Wajah mahasiswa UI yang bopeng sebelah” (dimuat dalam harian Indonesia Raya, 22 Oktober 1969) Gie membongkar prilaku tersebut. “Sebagai aktivis mahasiswa saya ‘kenyang’ dengan pengalaman ini. Di ‘republik kecil’ saya (UI), saya pernah menjadi ‘gubernur’ (ketua senat) dan saya kira saya cukup tahu betapa tidak sehatnya kehidupan kemahasiswaan di tempat saya. Di ‘republik kecil’ yang bernama Universitas Indonesia kita bisa jumpai segala macam kejorokan-kejorokan yang biasa kita temui dalam republik yang lebih besar – dalam Republik Indonesia,” ungkap Gie. Gie tak mengetahui persis ada berapa ormas yang menempatkan UI sebagai project utamanya. Istilahnya: “menggarap UI”. Namun tak dimungkiri, beberapa tokoh mahasiswa telah “dititipkan” membawakan misi organisasi. Melawan Tiran di Kampus Pada pertengahan 1968, Gie masih mengingat bagaimana pimpinan mahasiswa UI geger karena mendapatkan dokumen HMI (Himpunan Mahasiswa Islam – red ) mengenai pengambilalihan Dewan Mahasiswa UI oleh PB HMI. “Pernah soal ini dikonfrontir secara lisan, tetapi jawabannya berbelit-belit, walaupun tidak disangkal,” tulis Gie. HMI diduga kuat mempunyai kaitan erat dengan Masjumi, partai politik Islam yang dilarang pada 1960. Selain itu, pada waktu pembentukan Dewan Mahasiswa, senat-senat tak didekati dan dimintakan pendapatnya. Yang didekati adalah komisariat-komisariat ormas dari PMKRI (Perkumpulan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia), dan lainnya. Gie dan mahasiswa-mahasiswa lain yang bukan anggota ormas menyaksikan bahwa aktivis-aktivis ormas bermaksud mendominasi Dewan Mahasiswa. Pihak yang paling dirugikan adalah golongan mahasiswa independen yang berorientasi intra kampus. Kelompok ini banyak terkonsentrasi di Fakultas Sastra, Fakultas Psikologi, dan Fakultas Kedokteran Gigi. Ketiga fakultas tersebut memiliki sentimen anti ormas yang sangat kuat. Para ketua senat ketiga fakultas, pada Juni 1969 kemudian membentuk Koordinasi Kegiatan Kemahasiswaan (KKK) untuk menarik diri dari manipulasi ormas yang menjangkiti kampus. Pertemuan antara ketiga ketua senat yang membangkang itu dengan Rektor Sumantri Brodjonegoro gagal mencapai penyelesaian tentang komposisi Dewan Mahasiswa. Seminggu setelah pertemuan itu, Dewan Mahasiswa malah melarang KKK-UI berikut program kegiatannya. “Ormas-ormas sering berpretensi bahwa mereka adalah ‘pemilik’ dari UI. Soal ini amat menyakitkan hati orang yang tidak berormas,” tulis Gie dalam Indonesia Raya . Kebobrokan lain yang disoroti Gie adalah penyalahgunaan dana infrastruktur kampus. Dalam catatan hariannya, 23 Oktober 1969, Gie mengungkap korupsi di mesjid kampus yang mencapai jutaan rupiah setiap tahun. Gie mengilustrasikan, jika ada yang bilang tak ada korupsi di UI, maka ada dua kemungkinan: ia bodoh sekali sehingga tak dapat mencium bau korupsi atau apatis karena menganggapnya sebagai urusan internal UI. Dalam berbagai media massa, beberapa kali Gie mengangkat persoalan dan carut-marut yang terjadi di UI. Artikel Gie ditulis dengan kemarahan bercampur muak. Dia menyalahkan ormas-ekstra atas kebuntuan dalam masalah kemahasiswaan di UI. Khawatir kritiknya bisa menjadi batu sandungan, Gie sempat mengajukan pengunduran diri sebagai dosen muda di Fakultas Sastra. Namun pengajuan itu ditolak oleh Harsja Bachtiar, Dekan Fakultas Sastra. Secara tersirat, Harsja tak melarang Gie untuk bersuara. “Sekali-kali mereka juga harus digituin agar mereka juga giat memperbaiki situasi keuangan,” kata Harsja Bachtiar sebagaimana dikutip Gie dalam catatan hariannya tertanggal 22 Oktober 1969 yang kemudian dibukukan Catatan Seorang Demonstran . “Saya merasa hormat atas sikap Harsja yang begitu etis dan jujur,” tulis Gie. Menurut John Maxwell, Soe Hok Gie telah terlibat dalam pergolakan politik sepanjang dasawarsa 1960-an, tetapi ia merasa bahwa konflik di kampusnya sendiri adalah pengalaman yang paling menyedihkan. “Tidak hanya menentang lawan-lawannya di lembaga mahasiswa, ia juga menjadi lawan para pemimpin senior universitas,” ujar Maxwell dalam disertasinya yang dibukukan Soe Hok-Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani . “Tetapi ia merasa bahwa ia tidak mempunyai pilihan lain kecuali memancing opini publik terhadap masalah ini.”*

  • Prajurit Keraton Ikut PKI

    WOENTOE dan Tombeng merupakan dua pemuda asal Minahasa yang menjadi tentara kolonial Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL). Keduanya bertugas di Batalyon Infanteri ke-15 di Cimahi, Bandung. Pada pertengahan 1927, keduanya berada di Semarang entah karena sedang bertugas atau ada kegiatan lain non-tugas. Ketika di Semarang itu lah pada 13 Juli 1927 Woentoe dan Tombeng bertemu seorang Kopral Wakidi alias Prawirosoengoto dari Legiun Mangkunegara. Ketiganya lalu membicarakan politik.  Algemeen Dagblad  tanggal 26 Juli 1927 menyebut, selain membicarakan tentang Rusia dan Tiongkok yang bergolak, mereka bicara soal “pemerintahan asing dan kaum kapitalis.”     Kopral dari pasukan keraton Mangkunegara itu kemudian kembali ke Solo. Legiun Mangkunegara merupakan hulptroepen  (pasukan bantuan) bagi militer Belanda. Ketika itu yang berkuasa di keraton Mangkunegaran adalah Kanjeng Pangeran Aria Adipati Mangkunegoro VII (Raden Soerjo Soeparto).   Woentoe dan Tombeng kemudian juga pergi ke Solo naik mobil. Kedua orang Minahasa itu menuju tangsi tentara kavaleri di Solo guna mereka mencari prajurit kavaleri KNIL bernama Rangkap. Ternyata Rangkap baru saja dari Manado.   Rangkap amat senang bertemu Woentoe dan Tombeng. Suasana hangat menyelimuti pertemuan mereka bertiga. Rangkap lalu diajak ikut dalam sebuah pertemuan di rumah Atmodikromo, yang juga serdadu Mangkunegara, pada Jumat (15 Juli 1927) malam.   Atmodikromo alias Soekarmin berpangkat soldaat   schoenmaker  (prajurit pengurus sepatu) di Legiun Mangkunegara. Ia bawahan dari Wakidi. Di sana, Rangkap berkenalan dengan pria yang tampak hebat di matanya dengan lencana kopral di seragamnya. Wakidi lalu bercerita soal pangkatnya.   “Saya telah melakukan yang terbaik dan belum lama ini diangkat menjadi kopral juru tulis," terang Wakidi kepada Rangkap.   Usia Wakidi alias Prawirosoengoto ketika itu 44 tahun. Sedangkan Soekarmin masih 33 tahun.   Singkat kata, Rangkap tertarik ikut gerakan yang dihelat di rumah Soekarmin itu. gerakan yang dimaksud adalah gerakan politik. Orang Minahasa dalam KNIL punya catatan setidaknya tiga kali memberontak terhadap Belanda di abad ke-20. Rangkap lalu diberi uang 500 gulden dan diminta mengajak prajuarit-prajurit kavaleri lain di kesatuannya untuk mendukung gerakan rahasia mereka. Rangkap setidaknya hendak membujuk 36 prajurit kavaleri di Solo untuk ikut dalam gerekan. Pun Kopral Prawirosoengoto, juga terus mencari kawan di kesatuannya.   “Dalam bulan ini, akan ada pemberontakan komunis, dan saat itu kau tidak boleh menembak mereka,” terang Kopral Prawirosoengoto.    Di masa itu, prajurit yang terlibat dalam komplotan itu makan mie yang cukup enak dan tak lupa mengajak orang-orang yang mau ikut untuk makan enak pula. Rangkap juga suka berbagi uang kepada kawan-kawannya di kesatuannya yang orang Madura. Masing-masing 5 gulden.   Namun, tiada rahasia yang benar-benar aman di dalam kesatuan militer. Dua di antara kawannya itu lalu melapor kepada Kapten Gaerlings di garnisun Solo tentang adanya gerakan makar. Kerusuhan yang direncanakan terjadi pada 17 dan 18 Juli 1927 di Solo itu akhirnya mati sebelum lahir. Pembersihan dengan cepat dilakukan. Rangkap jelas diperiksa komandan kesatuannya, Letnan Dua Fockema. Kopral Prawirosoengoto dan Atmodikromo juga kena gulung.   Rencana pemberontakan militer itu kerap dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada 13 November 1926, orang sipil banyak terlibat pemberontakan yang terkait dengan PKI pula. Seperti orang sipil yang terlibat pemberontakan PKI pada 13 November 1926 di Jawa, Atmodikromo dan Wakidi juga diberi hukuman yang sama. De Indische Courant tanggal 20 Juli 1928 memberitakan, Kopral Prawirosoenggoto alias Wakidi dan Prajurit Atmodikromo alias Soekarmin lalu dibuang ke Boven Digoel. Keduanya adalah propagandis Sarekat Rajat Baroe yang tinggal di Surakarta. Kedua bekas Legiun Mangkunegaran itu pun menjalani isolasi di tengah belantara Papua yang sunyi dan sulit untuk melarikan diri.*

  • Harrison Ford dan Kepedulian Lingkungan

    SUATU hari di sebuah supermarket di San Carlos, California, Amerika Serikat, Harrison Ford mengelilingi hampir setiap lorongnya didampingi Lefcadio Cortesi, aktivis lingkungan Rainforest Action Network. Dengan menenteng keranjang belanja, mereka mencermati banyak produk yang komposisinya mengandung minyak sawit.

  • Banjir Besar di Jakarta

    MENJELANG akhir tahun, sejumlah daerah di Indonesia rawan banjir, termasuk Jakarta yang berstatus ibu kota negara. Siklus banjir di Jakarta sudah seperti bencana berkala. Selain macet, banjir menjadi momok yang ditakuti warga Jakarta, namun sialnya masih belum teratasi hingga kini. Banjir yang melanda Jakarta pada 1977 barangkali termasuk banjir paling besar sepanjang sejarah. Pada hari Rabu, 19 Januari 1977, hujan deras mengguyur sepanjang hari. Akibatnya, sejumlah kawasan terendam air. Banjir ini disebut-sebut yang terbesar di Jakarta sejak 1892. “Sedikitnya 100.000 jiwa terungsikan,” lansir Kompas , 20 Januari 1977. Daerah paling parah terdampak banjir adalah tiga kecamatan di Jakarta Pusat, antara lain Senen, Cempaka Putih, dan Gambir. Hujan yang turun sedari pagi menyebabkan sejumlah kantor meliburkan pegawainya. Menjelang sore, sepanjang Jl. Thamrin dari bundaran air mancur ditutup untuk lalu-lintas karena ketinggian air mencapai satu meter. Kendaraan-kendaraan yang melintasi jalanan tersebut tak dapat bergerak sehingga terpaksa ditinggalkan pemiliknya. Banjir betul-betul membuat lalu-lintas Jakarta lumpuh. Taksi pasang tarif tinggi untuk jarak dekat dan tidak mau membawa penumpang melintasi rute yang tergenang banjir. Banyak mobil mogok karena mesinnya kemasukan air. Mobil Gubernur Ali Sadikin bahkan tidak mampu menembus ketinggian air hingga mogok di depan Gedung PLN. Sementara itu, para gelandangan aji mumpung menawarkan jasa dorong mobil dengan memasang harga mahal. “Bahkan ada yang minta dengan kekerasan jumlah ribuan rupiah. Rp3.000 (kini setara Rp142.000, red ) untuk seorang pendorong. Para pemilik kendaraan banyak yang lapor mengenai hal ini. Mereka tidak berdaya karena jumlah para ‘penjual jasa’ itu banyak sekali,” sebut Kompas . Banjir di Jakarta pada 1977, menurut sejarawan Restu Gunawan, bukan merupakan banjir kiriman karena curah hujan mencapai 240 milimeter setelah hujan selama sepuluh jam. Ini merupakan curah hujan tertinggi sejak 1892 yang saat itu mencapai 286 milimeter. Di Jakarta Selatan, daerah Pondok Karya dan Kebayoran Baru juga kebanjiran. “Sementara itu, di Jakarta Utara, banjir melanda Cilincing, Sunter, Lagoa, Rawa Badak, Muara Karang, Kapuk Muara, Penjaringan, Kamal, dan Pejagalan. Di bagian timur, akibat Sungai Sunter meluap, daerah yang dilanda banjir adalah Cempaka Putih dan Sunter,” tulis Restu dalam Gagalnya Sistem Kanal: Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa . Kawasan elite seperti Jl. Medan Merdeka dan Silang Monas termasuk titik terparah yang terendam banjir. Tugu Monas yang menjulang megah tampak kontras dengan pemandangan sekitarnya yang tampak seperti kali. Padahal, Presiden Soeharto dan Ibu Tien Soeharto direncanakan untuk meninjau diorama Supersemar dalam Museum Monas pada hari Jumat, 21 Januari 1977. Keadaan banjir tidak memungkinkan kunjungan Presiden Soeharto. Agendanya dibatalkan. Menurut berita Sinar Harapan , banjir menerjang masuk sampai ke ruangan diorama Museum Monas. Sebanyak delapan mobil sedot tinja dikerahkan guna menyedot air dari ruang-ruang museum. Diperkirakan ketinggian air yang merendam Museum Monas mencapai 60 cm. “Akibat hujan yang turun sejak tengah malam beberapa tempat di ibukota lagi-lagi tergenang air. Kawasan Monas dan Medan Merdeka dekat Istana tidak luput dari gangguan air tersebut. Nampak Museum Monas di ruangan diorama dengan genangan air yang sebagian sudah disedot oleh 8 mobil tinja. Menurut rencana Presiden dan Ny. Tien Soeharto Jumat pagi akan mengadakan peninjauan dalam musim ini, kunjungan tersebut dibatalkan,” diwartakan Sinar Harapan , 20 Januari 1977. Dari rencana semula meninjau Museum Monas, kegiatan Presiden Soeharto lantas dialihkan untuk meninjau banjir. Dengan menumpang pesawat helikopter milik Pertamina, Soeharto dan Ibu Tien berangkat dari Parkir Timur Senayan menuju daerah industri Pulogadung, Cakung, Grogol, Pulomas, dan Jalan Jakarta Bypass . Selama peninjauan ini, Soeharto beberapa kali mengabadikan daerah terdampak banjir dari udara dengan kameranya. Selain itu, Soeharto memberikan bantuan 50 ton beras setiap daerah walikota yang terkena banjir. Seperti diterangkan dalam Jejak Langkah Pak Harto 27 Maret 1973—23 Maret 1978 , Soeharto kemudian memanggil sejumlah pejabat tinggi ke kediamannya di Jl. Cendana 8, Menteng, Jakarta Pusat. Antara lain Menteri Perdagangan ad interim J.B. Sumarlin, Kepala Bulog Bustanil Arifin, Dirut Pertamina Piet Harjono, dan Direktur Pembekalan Dalam Negeri Pertamina Yudo Sumbogo. Soeharto menginstruksikan langkah-langkah menjaga kelancaran arus barang-barang kebutuhan pokok seperti gula dan minyak. Dia berharap harga barang-barang kebutuhan pokok dapat dikendalikan. “Pesta air” yang melanda Jakarta, seperti disebut laporan Tempo , 5 Februari 1977, menyebabkan sekira 40 persen wilayah DKI Jakarta tergenang. Persentasi ini meningkat drastis dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai 17 persen. Namun, kecekatan petugas-petugas Pemprov DKI Jakarta dalam menyelamatkan para korban banjir cukup diapresiasi sehingga mereka tak menderita lebih parah. Barangkali karena sudah cukup berpengalaman dari peristiwa-peristiwa serupa sebelumnya. Sementara itu, Gubernur Ali Sadikin mengatakan, diperlukan biaya sebesar 1 miliar dolar AS untuk mengatasi banjir di Jakarta. “Kalau biaya itu harus dibebankan kepada DKI, sampai kiamat tak akan ada uangnya. Padahal, dengan banjir baru-baru ini warga ibukota sudah merasa seperti kiamat sudah datang,” tandas Ali Sadikin seperti dikutip Tempo . Pada Februari 1977, Jakarta kembali diguyur banjir. Namun, dampaknya tidak sebesar seperti di bulan Januari sehingga relatif teratasi. Sementara itu, agenda Soeharto meninjau diorama Supersemar di Museum Monas baru dilaksanakan pada 18 Maret 1977. Soeharto bersama Ibu Tien berkunjung ke Monas didampingi Kepala Pusat Sejarah ABRI Nugroho Notosutanto. Soeharto menyetujui diorama di museum sejarah Monas yang menggambarkan suasana menjelang terbitnya Surat Perintah 11 Maret 1966, sebagai awal berdirinya Orde Baru.*

  • Tarik-Ulur Karet KB

    SELEPAS meraih gelar doktor antropologi dari Australian National University (ANU), Masri Singarimbun memutuskan menetap di Australia. Dia bekerja sebagai pembantu Atase Militer KBRI di Canberra sekaligus research fellow di ANU.

  • Siasat Bakker di Maluku

    SEORANG calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membuat kehebohan di Maluku. Surat ajakan untuk memilih partainya beredar luas dan mengundang protes dari guru-guru Gereja Protestan Maluku dan pegawai-pegawai yang berasal dari Ambon. Dianggap mengandung kebencian, penghinaan, dan fitnah terhadap suku-suku Ambon.

  • Sekolah Islam ala Hamka

    LEPAS Ashar pada pertengahan 1952, Gazali dan Salim dari Yayasan Pesantren Islam (YPI) berkunjung ke rumah Hamka di Gang Toa Hong II. Mereka meminta saran Hamka tentang rencana YPI membangun masjid dan gedung kuliah di wilayah Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Masalahnya dana YPI hanya cukup untuk membangun salah satunya. Mereka bertanya, “Manakah yang harus didahulukan?”

  • Riwayat Bola Sodok

    RICKY Yang Han Tjong memulai break  di babak ketujuh. Badannya membungkuk, matanya membidik sasaran. Stik di genggamannya bergerak maju-mundur mengunci tikaman. Dan… prakkk! Kumpulan bola bercerai membentuk skema. Satu per satu bola diantarkannya ke lubang, tanpa memberi seterunya, pebiliar tuan rumah, Jeffry De Luna mencicipi tikaman.

  • Pecah Kongsi Perkawinan S.K. Trimurti dan Sayuti Melik

    KEDUA remaja ini kerap bertukar pikiran dan perdebatan. Yang dibahas bukan soal sepele; teori, strategi, dan siasat perjuangan. Kadang sengit. Masing-masing mempertahankan pendapatnya. Tak mau kalah atau mengalah. Tapi masing-masing menghargai pendapat lawan. “Saya senang sekali bertukar pikiran dengannya, dan terus terang, tak pernah terpikir bahwa dialah yang akan menjadi suami saya di kemudian hari,” tulis S.K. Trimurti.

  • Meraih Makna Perintah Tuhan

    SETIAP selesai salat subuh dilanjutkan wirid dan doa, jemaah laki-laki dan perempuan di mesjid, yang kemudian bernama Mesjid Agung Al-Azhar, membentuk halakah atau melingkar. Kepada mereka, Hamka memberikan pengajian tafsir Al-Qur’an, sejak tahun 1958. Para jemaah terkadang payah mengingat kembali tafsir-tafsir itu sehingga perlu untuk mengumpulkannya. Tafsir itu kemudian direkam dengan tape recorder .

  • Liku Langkah Menuju Takhta

    BERTIE, nama panggilan Raja Edward VII di Inggris, menulis dalam buku hariannya pada Rabu, 4 Mei 1910: Raja bersantap malam sendiri .

bottom of page