Hasil pencarian
9599 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Leluhur Orang Papua
Ada dua ras berbeda yang mendiami Kepulauan Nusantara. Ras Mongoloid menempati bagian barat dan utara. Sementara di timur dan selatan ditinggali ras Australomelanesid. Secara fisik, keduanya dengan mudah dapat dibedakan. Orang Papua mewakili ras Australomelanesid. Sementara orang Melayu mewakili ras Mongoloid. Namun, leluhur orang Papua yang tertua tiba di Nusantara. Keberadaannya bisa ditarik mundur sampai masa Homo sapiens atau manusia yang secara anatomis modern, bermigrasi keluar dari Afrika. Harry Widianto, kepala riset Balai Arkeologi Yogyakarta, menjelaskan berdasarkan bukti paleoantropologis, sampai kini benua Afrika masih dipercaya sebagai sumber asal dan tempat evolusi hominid. Homo sapiens diperkirakan mulai menyebar keluar dari benua itu sejak 100.000-300.000 tahun yang lalu. Dengan menyusuri garis pantai dari Afrika, mereka berjalan kaki hingga kawasan Asia Tenggara. Secara berkelompok mereka menyusuri garis pantai dari Afrika sampai Nusantara dengan memanfaatkan jembatan darat yang menggabungkan Sumatra, Kalimantan, dan Jawa. Mereka lalu bergerak ke Halmahera sampai ke wilayah Papua. Merekalahyang kemudian disebut ras Melanesia. “Ini garis keturunan langsung dan bertahan sampai sekarang. Cirinya rambut merah, keriting. I ni diturunkan sampai sekarang di Papua dan Halmahera,” kata Harry yang ditemui dalam diskusi “Jejak Manusia Nusantara” di Museum Nasional, Jakarta, Selasa (5/11/2019) . Bukti penjelajahan manusia modern awal itu di Nusantara ditemukan di Lida Ajer, Sumatra Barat berupa gigi dari 73.000-63.000 tahun yang lalu. Kemudian di Indonesia bagian timur berupa alat-alat batu berumur 45.000-20.000 tahun yang lalu. “Manusia modern awal ini yang kemudian menurunkan ras Australomelanesid yang segera menyebar ke seluruh Kepulauan Nusantara sejak 15.000 tahun yang lalu,” kata Harry. Populasi ras Melanesia awalnya menjelajah dari kawasan inti mereka di sekitar Nugini, termasuk di Kepulauan Bismarck di pantai timur laut Nugini, Samudra Pasifik, hingga sampai ke Australia Tenggara. Populasi ini hidup di Australia sampai 30.000 tahun yang lalu. Dari sana barulah beberapa bermigrasi sampai ke Nusa Tenggara, Jawa, dan Kalimantan pada 15.000-5.000 tahun yang lalu. Mereka inilah ras Australomelanesid. “Cirinya berbadan kekar, kepala lonjong, gigi maju. Mereka menghuni gua lalu hilang pada 5.000 tahun lalu,” jelas dia lagi. Ras Australomelanesid segera menguasai hampir seluruh wilayah Kepulauan Nusantara hingga 5.000 tahun yang lalu. Menrut Harry, mereka kemudian menjadi satu ras yang cukup besar, Mereka hidup di gua-gua Jawa Timur, Jawa Tengah, DIYogyakarta, Sumatra, Kalimantan, Nusa Tenggara Barat, dan Timur. Orang-orang ini juga punya kebiasaan menguburkan kerabatnya yang mati dengan sistem penguburan terlipat. “Seperti janin di dalam perut ibu,” kata Harry. Masyarakat Wamena, Papua, Indonesia. (Sergey Strelkov/123rf). Peter Bellwood dalam Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia juga menjelaskan Daratan Sunda, Wallacea, dan Daratan Sahul merupakan wilayah yang bisa dikatakan sebagai kawasan Melanesia Lama. Populasi yang dulunya menempati kawasan itu merupakan leluhur orang-orang di Australia dan Melanesia modern. Melanesia mencakup gugus kepulauan yang memanjang dari Papua dan Aru lalu ke timur sampai Pasifik bagian barat, serta utara dan timur laut Australia. “Jadi orang Papua itu justru keturunan manusia modern yang 70.000 tahun lalu tiba di Nusantara yang kemudian menghasilkan Australomelanesid,” kata Harry. “Sementara orang Nusa Tenggara adalah keturunan langsung dari Papua. Papua itu sulung. Paling tua (leluhurnya, red. ).” Populasi awal yang mendiami Nusantara kala itu pun terus menerus berevolusi menjadi kelompok yang beragam. Mereka mengalami perubahan tertentu, yaitu semakin mungilnya wajah dan tengkorak. “Saya curiga bahwa perubahan karena tekanan seleksi setempat mungkin juga berperan penting, walaupun proses ini tak terekam dalam perubahan budayanya,” tulis Bellwood. Kendati begitu, kelompok itu secara fenotip tetap Australomelanesid. Beberapa di antaranya bahkan tetap bertahan hingga kini. Mereka adalah orang-orang Indonesia yang menghuni bagian timur. Sementara pada 5.000 tahun yang lalu sekelompok manusia modern lainnya datang dari utara menuju Kepulauan Nusantara. Merekalah ras Mongoloid, atau yang secara khusus disebut para penutur Austronesia. Mereka berpindah ke selatan dari Taiwan pada 5.000 tahun yang lalu dan tiba di Nusantara dan Filipina pada 4.000 tahun yang lalu. Mereka lalu menduduki daerah-daerah yang sudah pernah ditinggali populasi Australomelanesid. Populasi ras Mongoloid itu kemudian bercampur dengan sebagian ras Australomelanesid yang masih bertahan. Mereka terutama yang hidup di wilayah Wallacea, seperti Sulawesi dan Nusa Tenggara. Karenanya kini orang-orang di wilayah Nusa Tenggara merupakan hasil percampuran Australomelanesid dan Mongoloid. “Tentu saja sebaiknya kita senantiasa ingat bahwa semua bukti ini menunjukkan bahwa banyak di antara populasi Mongoloid yang sekarang tinggal di Indonesia dan Malaysia juga mempunyai banyak warisan genetik Australomelanesid,” tulis Bellwood. Bukti lain bahwa Australomelanesid masih bertahan ketika ras Mongoloid datang adalah temuan di Gua Harimau, Sumatra Selatan. Dari 82 rangka manusia yang ditemukan, 77 di antaranya adalah ras Mongoloid dan lima lainnya Australomelanesid. “Di situ hidup bersama, co-habitation namanya, di Gua Harimau pada 3.500 tahun lalu. Ini membuktikan bahwa ras Australomelanesid masih bertahan di Sumatra ketika Mongoloid datang. Tapi mereka tidak berkawin. Karena di situ terpisah ditemukannya, tidak seperti penduduk Nusa Tenggara sekarang,” kata Harry. Pada perkembangannya, Mongoloid, yaitu penutur Austronesia, menghuni kawasan Indonesia barat. Sementara Austromelanesid bergeser sedikit demi sedikit menghuni kawasan Indonesia timur. Kendati begitu, desakan migrasi penutur Austronesia itu tidak sampai kepedalaman Papua. Karenanya karakter Melanesia yang lebih asli masih dijumpai di pedalaman Papua. “Papua dan Nusa Tenggara secara genom berlainan dari kita. Jadi kalau sekarang fisiknya lain. Tapi kita semua kalau dibedah ya sama, asalnya dari pohon evolusi yang sama, Homo sapiens yang bergerak keluar dari Afrika,” lanjut Harry.
- Mula Rumah Sakit untuk Pribumi
Seorang dukun mengunyah prum dan sirih. Sejurus kemudian, kunyahannya dia semburkan ke tubuh pasiennya yang luka. Kandungan antiseptik pada daun sirih efektif untuk menyembuhkan luka. Demikianlah gambaran pengobatan di Nusantara pada masa pengobatan medis belum masuk ke kalangan pribumi. Keahlian dukun menyembuhkan penyakit tak diragukan masyarakat. Penghormatan pada mereka pun tinggi. Ketika wabah cacar melanda, para dukun berkeliling rumah untuk membagikan jeruk sebagai usaha menangkal cacar kendati hasilnya tak sesuai harapan. Data dari Almanak Nederlansch Indie pada 1850, di Jawa tercatat ada lebih dari seribu dukun, dua ratus-an sinse (tabib Tionghoa). Sementara, jumlah petugas medis Eropa tidak sampai seratus orang. Alhasil, layanan medis Barat pun terbatas meski p ada tahun-tahun pertama setelah VOC runtuh layanan kesehatan sudah diambilalih pemerintah kolonial. B Sama seperti masa sebelumnya, layanan kesehatan di negeri jajahan mayoritas dikerjakan oleh ahli bedah dan dikhususkan untuk pasien Eropa. Ada tiga jenis layanan yang diberikan, yakni rumah sakit umum, rumah sakit kota yang kebanyakan tinggalan VOC, dan layanan kesehatan di pedalaman desa untuk pribumi. Jenis layanan terakhir muncul setelah kemunculan dokter Djawa di pedalaman. Sebelum itu, pasien pribumi berobat ke dukun lantaran pemerintah kolonial tidak memberikan layanan medis untuk prbumi karena dianggap tidak menguntungkan. Pemerintah bahkan mengatakan tidak bertanggung jawab atas ketersediaan layanan medis untuk pribumi biasa. Perhatian untuk menyediakan layanan kesehatan bagi pribumi baru muncul ketika wabah cacar menyerang Banyumas hingga menewaskan banyak buruh perkebunan. Pemerintah lalu mendirikan Sekolah Dokter Djawa pada Oktober 1847 atas usulan Kepala Miliataire Geneeskundige Dienst (Dinas Kedokteran Militer) Dr. William Bosch pada Gubernur Jenderal J.J. Rochussen. Sekolah yang bertempat di Weltevreden, Batavia ini memberi masa studi dua tahun. Dalam Healers on the Colonial Market, Liesbeth Hesselink menyebut, sebagian besar guru hampir tidak memiliki pengalaman dengan pasien pribumi. Para lulusan dari sekolah inilah yang ditugaskan menangani pasien pribumi dengan pengawasan dokter Eropa. Setelah lulus, siswa sekolah dokter Djawa dikirim sebagai mantri vaksin dalam epidemi yang menyerang buruh perkebunan. Selain mengatasi cacar, pemerintah juga memberikan layanan kesehatan untuk pekerja seks yang terkena sifilis. Pembentukan layanan kesehatan sifilis ini juga bermula dari alasan ekonomi, yakni Belanda tak ingin rugi karena buruh-buruhnya mati atau berkurang. Di layanan kesehatan semacam inilah pasien pribumi biasanya ikut berobat. Bukan hanya sifilis atau cacar, tapi segala penyakit yang sulit disembuhkan dukun. Lambat laun, kepercayaan masyarakat pada layanan dokter Djawa membaik. Mereka akhirnya membuka ruang konsultasi yang kemudian berubah menjadi klinik yang menangani pribumi. Laporan Direktur Layanan Publik pada 1877 menyebut ada 35 rumah sakit untuk masyarakat sipil umum. Rumah sakit ini menerima layanan untuk pasien pribumi, termasuk merawat pasien sifilis. Karena layanan kesehatan ini makin ramai didatangi pasien pribumi, pemerintah kolonial memperbesar layanan dari yang mulanya hanya melayani satu jenis penyakit itu. Koloniale Verslagen (KV) 1879 menyebut ada pembahasan mengenai status layanan kesehatan untuk pribumi di pedalaman. Para ahli medis dan para kepala Pemerintahan Daerah akhirnya sepakat meningkatkan status layanan kesehatan sifilis yang menerima pasien pribumi dan beberapa klinik yang dibuka oleh dokter menjadi rumah sakit pribumi. Rumah sakit pribumi ini pun menerima subsidi dari pemerintah. Pada 1879, pemerintah Hindia Belanda mendata ada empat rumah sakit untuk warga sekitar Pasuruan, Probolinggo, Wonosobo, dan Gombong. Rumah sakit ini diakui oleh penguasa setempat sehingga petugas kesehatan yang diterjunkan pun ditunjuk oleh pemerintah. Bukti lain tentang keberadaan rumah sakit untuk pribumi tercatat dalam Koloniaal Verslag yang keluar tahun 1902. Laporan tersebut mencatat ada 88 rumah sakit pribumi di Jawa dan luar Jawa. Menurut Sjoerd Zondervan dalam Patients Of The Colonial State, ada sedikit kesimpangsiuran tentang jumlah rumah sakit pribumi dalam catatan. Petugas medis dan pegawai sipil setempat kadang tidak bisa membedakan antara rumah sakit pribumi, rumah sakit penanganan sifilis untuk perempuan ( syphilitische vrouwen ), atau kombinasi keduanya yang juga melayani penjara lokal. Hal ini tentu disebabkan oleh pembentukan rumah sakit pribumi yang tadinya pusat perawatan sifilis. Hingga 1900, ada 59 rumah sakit pribumi di Jawa.
- Sejarah Lajur Khusus Sepeda di Indonesia
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menggencarkan pembuatan lajur khusus untuk pesepeda pada November 2019 sepanjang 69 kilometer. Lajur itu menyatu dengan jalan aspal kendaraan bermotor. Hanya dipisahkan oleh garis tak putus berwarna putih. Selain cat putih, terdapat pula cat hijau, kuning, dan merah sebagai penanda lajur itu. Anggaran pembuatan lajur khusus untuk pesepeda sebesar Rp73 miliar. Anggota DPRD mempertanyakan jumlah anggaran itu. Sebaliknya, para penggiat transportasi massal dan alternatif mendukung pembuatan lajur itu. Terlepas dari besaran anggarannya. Mereka menilai pembuatan lajur itu sudah mendesak dan berkaitan dengan keselamatan semua pengguna jalan. Lajur khusus untuk pesepeda sangat jarang ada di kota-kota besar Indonesia. Begitu pula dengan sejarah pembuatannya. Padahal dulu kala pemerintah kolonial telah membagi jalan untuk macam-macam pengguna jalan. Berbagi Lajur Sedikit catatan tentang pembagian lajur itu termaktub dalam Atoeran Mempergoenakan Djalan Raja karya Mr. Dr. F.J.W.H. Sandbergen terbitan 1939. Buku ini mengandung maklumat penggunaan jalan raya. Salahsatunya untuk pesepeda. “Kereta angin sekali-kali tidak boleh lalu di tengah-tengah jalan,” catat Sandbergen. Kereta angin adalah sebutan untuk sepeda pada masa itu. “Kencang, cepat seperti angin,” begitu kesan almarhum Pramodya Ananta Toer, pengarang sekaligus arsiparis yang tekun mengumpulkan kliping berita dari media massa, dalam novel Anak Semua Bangsa. Novel ini mengambil latar waktu awal 1900-an di Hindia Belanda. Sepeda mulai muncul di Hindia Belanda pada awal abad ke-20. “Sepeda awal digunakan oleh pegawai kolonial dan para bangsawan, selanjutnya juga oleh para misionaris dan saudagar kaya,” ungkap Hermanu dalam Pit Onthel . Sepeda sebermula menjadi lambang gengsi kelompok elite. Harganya mahal. Tetapi nilai sepeda menurun ketika auto atau kendaraan bermotor masuk Hindia Belanda pada 1920-an. Sepeda berubah menjadi milik orang banyak. Jalanan kota-kota besar Hindia Belanda seperti Batavia, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, dan Medan pun ramai oleh pesepeda. Bahkan Yogyakarta berjuluk kota sepeda. Pesepeda melaju di lajur kiri jalan di Bandung pada 1933. ( geheugenvannederland.nl ). Kartu pos lawasan koleksi Olivier Johannes Raap yang dibukukan menjadi Kota di Djawa Tempo Doeloe menunjukkan pembagian lajur pengguna jalan. Lajur paling kiri tersedia untuk pejalan kaki. Gerobak sapi atau kerbau melintas di samping kanan pejalan kaki. Lalu di sebelah kanannya, lajur untuk pesepeda. Kemudian lajur untuk sado atau delman. Lajur paling kanan digunakan pengendara bermotor, roda dua ataupun empat. Tidak ada marka pembatas di jalan. Tapi pembagiannya jelas. Dari paling lambat menuju paling cepat. “Tiap-tiap macam kendaraan mesti berjalan di bagian jalan yang ditentukan bagi masing-masing,” tulis Sandbergen. Dia menambahkan, pembagian itu untuk menjamin keteraturan dan keselamatan semua pengguna jalan. Pengguna jalan dilarang saling menyerobot lajur lainnya. “Dalam hal itu di jalan kereta angin hanya orang yang naik kereta angin saja boleh lalu,” catat Sandbergen. Tetapi seringkali pesepeda melaju di lajur kanan, lajur kendaraan bermotor. Biasanya lantaran aspal di lajur pesepeda berlubang. Bersepeda di lajur untuk kendaraan bermotor adalah pelanggaran lalu-lintas. Tak peduli dalih pesepeda, polisi menyemprit dan menghentikan pesepeda. “Penunggang sepeda tak henti-hentinya diperbal dan didenda,” catat P.K. Ojong dalam Kompas , 7 April 1969. Diperbal merupakan istilah polisi koloial untuk menginterogasi pelaku tindak pidana ataupun pelanggar lalu-lintas. Jika terbukti bersalah, pelanggar lalu-lintas terkena denda. Menurut Ojong, banyaknya pesepeda masuk ke lajur kendaraan bermotor menjadi perhatian serius harian Het Dagblad . Dalam pandangan Het Dagblad , pemerintah kurang memperhatikan kepentingan pesepeda. Het Dagblad meminta pemerintah kolonial agar memperbaiki lajur untuk pesepeda. Tetapi Ojong tidak menyebut tanggal pasti terbitan harian tersebut sehingga mempersulit penelusuran lebih lanjut tentang fenomena itu. Kota Kehilangan Pesepeda Ojong menjelaskan pula tentang terulangnya fenomena masuknya pesepeda ke lajur untuk kendaraan bermotor pada 1969. Ini terjadi di Jakarta pada sekitar Jalan Sudirman. Pesepeda enggan menggunakan lajur mereka tersebab aspalnya berlubang dan bergelombang. Saat itu, kendaraan bermotor mulai merajai jalanan. Ali Sadikin, Gubernur Jakarta 1966—1977, menekankan moda transportasi pada kereta api, bus, taksi, dan bemo. Tetapi rencana pengembangan ini kalah oleh kebijakan pemerintah pusat dengan program pengembangan industri otomotif. Hasilnya jumlah kendaraan bermotor pribadi melesat pesat di Jakarta pada 1970-an. Lajur sepeda menyatu dengan jalan kendaraan bermotor di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat. (Fernando Randy/Historia). Almarhum Firman Lubis, penulis buku Jakarta 1970-an , menyebut dekade 1970-an sebagai era menghilangnya pesepeda. “Sejak ramainya kendaraan bermotor, orang mulai tidak berani naik sepeda di jalan umum karena cukup membahayakan,” terang Firman. Keterangan Firman senada dengan cerita seorang pesepeda dalam Mingguan Midi , 13 Juli 1974. Pesepeda kerapkali kena semprot atau senggol pengendara bermotor. Mereka sudah berjalan agak ke kiri. Tetapi pengendara bermotor hampir menabraknya. “Lu mau ke mana?” teriak pengemudi sedan kepada pesepeda. “Apakah bapak bisa menolong? Sebaiknya saya lewat jalur mana? Jalur ini khusus untuk bus kota, bemo, helicak. Tidak disebutkan sepeda. Apa lewat jalur cepat. Saya berpikir ke sana, tetapi bapak menebak saya lewat jalur bus kota. Kita selesaikan dengan pak polisi. Bisa kita tanyakan,” kata pesepeda tak mau kalah. Pengemudi sedan enggan berurusan panjang. Dia tancap gas. Kisah tadi menggambarkan tidak ada lagi pembagian lajur untuk pesepeda. Semua lajur dikuasai oleh kendaraan bermotor. “Jakarta adalah kota untuk orang yang punya mobil. Orang yang naik sepeda atau berjalan kaki hampir-hampir tidak diakui kehadirannya di jalan-jalan raya kota ini,” kata Mochtar Lubis dalam “Jakarta Kota Penuh Kontras,” termuat dalam Prisma No 5, Mei 1977. Keadaan pesepeda di kota besar lainnya pun serupa Jakarta. Medan, salahsatu kota dengan pesepeda terbanyak di Indonesia, mulai kehilangan pesepeda hari demi hari. Pesepeda terakhir kali menguasai jalanan pada 1960-an. “Jalur-jalur itu masih dipelihara sampai sekitar tahun 1960-an. Yaitu di beberapa jalan utama Kota Medan, seperti Jalan Kesawan, Jalan Pemuda, Hakka, Sutomo, Kapten Palang Merah, dan semua jalan penghubung inti-kota,” catat Ahmad Arif (editor) dalam Melihat Indonesia dari Sepeda . Tapi pertumbuhan kendaraan bermotor mengubah komposisi pemakai jalan di Medan. Pesepeda pun tersingkir. Merancang Ulang Gairah bersepeda muncul kembali pada akhir dekade 1980-an. Mirip dengan era awal kehadiran sepeda di Hindia Belanda, dekade ini ditandai dengan kepemilikan sepeda pada orang-orang kelas atas. Kelompok ini membeli sepeda-sepeda mahal. Harganya setara atau bahkan di atas kendaraan bermotor. Rangkanya berlapis emas. Penggunaannya pun bukan untuk harian, melainkan sebatas simbol prestise atau kegiatan melobi kolega bisnis. Sehingga tak ada tuntutan dari mereka kepada pemerintah untuk menghadirkan lajur khusus untuk pesepeda. Memasuki era 2000-an, komunitas pesepeda bermunculan. Antara lain bike to work dan bike to campoes di Jakarta dan Depok Mereka menggunakan sepeda sebagai kebutuhan transportasi harian. Karena itu mereka meminta pemerintah menyediakan fasilitas pendukung untuk pesepeda seperti parkir dan lajur khusus. Jalur khusus untuk pesepeda. Terpisah dari jalan kendaraan bermotor di kawasan Gelora Bung Karno, Jakarta. (Fernando Randy/Historia) Beberapa perkantoran di wilayah segitiga emas (Gatot Subroto-Rasuna Said-Sudirman dan Thamrin) mulai membuat parkir khusus sepeda. Sementara kampus Institut Pertanian Bogor dan Universitas Indonesia mulai menyediakan lajur dan parkir khusus sepeda sejak 2007. Arkian lajur khusus untuk pesepeda muncul di kota Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, Jakarta, Palembang, Bogor, Balikpapan, dan Bandung. Desainnya berlainan. Ada yang menyatu dan ada pula yang terpisah dengan lajur kendaraan bermotor. Tetapi lajur-lajur itu kurang dibuat secara konseptual dan terkesan ala kadarnya. Belakangan ini, sejumlah pemerintah kota mulai menggagas ulang konsep pembuatan lajur sepeda. Pembuatannya dirancang lebih terintegrasi dengan moda transportasi lain. Juga dengan penerapan aturan perlindungan untuk para pesepeda seperti denda bagi pengendara bermotor jika menerabas lajur pesepeda.
- Perang Pidato Aidit-Sukarno
AWAL 1965. Wajah Menteri Agama Saifuddin Zuhri tetiba mengeruh. Pernyataan Presiden Sukarno yang memberitahukan bahwa pemerintah berencana akan membubarkan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) sama sekali tak bisa diterimanya. Ketika ditanya alasannya, Bung Karno menyebut HMI merupakan organisasi antirevolusi. “Kadar anti revolusinya sampai di mana, Pak?” tanya Zuhri seperti dikisahkannya dalam Berangkat dari Pesantren . “Yah, mereka suka bersikap aneh, tukang kritik, bersikap liberal, seolah-olah hendak mengembalikan adat kebarat-baratan dan lain-lain,” jawab Sukarno. Zuhri lantas menolak tuduhan itu. Dia secara halus menyebut presiden hanya akan jatuh kepada tindakan berlebihan jika membubarkan HMI. Sukarno menukasnya dan terjadilah “perdebatan” sengit. “Kalau Bapak tetap hendak membubarkan HMI, artinya pertimbangan saya bertentangan dengan gewetan (perasaan hati) Bapak, maka tugas saya sebagai pembantu Bapak cukuplah hanya sampai di sini,” ujar Zuhri. Sukarno terdiam. “Ooohhh, jangan berkata begitu. Saya tetap memerlukan saudara untuk membantu saya,” katanya kemudian. Setelah perdebatan itu mereda dan kedua pihak sempat terdiam, tetiba Bung Karno berkata memecahkan kesunyian: “Baiklah! HMI tidak saya bubarkan. Tetapi saya minta jaminan HMI akan menjadi organisasi yang progresif. Kau bersama Nasution, Ruslan Abdulgani dan Syarif Thayeb harus membimbing HMI.” Batalnya pembubaran HMI oleh pemerintah menjadikan organisasi-organisasi yang berafiliasi ke PKI berang. Aksi pengganyangan HMI pun tetap berlanjut dengan pengerahan demonstrasi-demonstrasi di berbagai daerah oleh Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dan organ-organ kiri lainnya. “Dapat dipahami jika situasi kemudian menjadi panas. Generasi Muda Islam (Gemuis) pada 13 September 1965 lantas mengadakan demonstrasi (tandingan) di Jalan Merdeka Barat dalam rangka solidaritas terhadap HMI,” tulis Sulastomo dalam Hari-Hari yang Panjang 1963-1966 . Di kampus UI Salemba, terjadi kekisruhan. Seorang pemimpin mahasiswa yang dikenal pro PKI diturunkan secara paksa oleh para aktivis HMI pimpinan Fahmi Idris. Gegaranya sang pimpinan mahasiswa itu menyerukan aksi pengganyangan HMI di UI. Puncak kekisruhan terjadi pada 29 September 1965. Malam hari, CGMI mengadakan rapat umum “menuntut pembubaran HMI” yang dihadiri puluhan ribu anggota PKI di Istana Olahraga Senayan, Jakarta. Seperti diceritakan oleh Ganis Harsono dalam Cakrawala Politik Era Sukarno , kegiatan itu juga menghadirkan para tokoh, di antaranya Presiden Sukarno, Menteri Perguruan Tinggi & Ilmu Pendidikan Johannes Leimena, Menteri Penerangan Achmadi, dan Ketua CC PKI D.N. Aidit. Sikap pemerintah sendiri awalnya akan disampaikan oleh Menteri Penerangan Achmadi. Namun begitu berdiri di depan mikrofon, teriakan-teriakan “bubarkan HMI” dari puluhan ribu peserta rapat umum seolah tak mau berhenti. Karena tak berhasil menenangkan massa, Achmadi merasa kesal lalu turun dari podium. Gagal menyampaikan sikap, pidato lantas dilanjutkan oleh Leimena. Dengan berteriak sekeras-kerasnya, sang menteri berkata: “Pemerintah tidak mempunyai niat untuk membubarkan HMI! HMI adalah organisasi yang nasionalistik, patriotik dan loyal kepada pemerintah. Pemerintah banyak mendapatkan sokongan dari HMI dalam perjuangan melawan Nekolim.” Usai Leimena, tibalah giliran Presiden Sukarno. Seperti biasanya dengan suara mengguntur, Si Bung berkata di hadapan lautan manusia yang ada di depannya: “Saudara-saudara! Sebelum memulai pidato, saya ingin menyampaikan hal berikut ini. Saudara-saudara baru saja mendengar tentang kebijakasanaan pemerintah yang disampaikan oleh Pak Leimena mengenai kedudukan HMI. HMI tidak akan dibubarkan! Karena saudara-saudara telah mendengarkan kebijaksanaan pemerintah, mungkin saudara-saudara ingin pula mengetahui sikap Ketua Partai Komunis Indonesia, saudara Aidit. Dia hadir sekarang di sini. Walaupun dia tidak tercantum dalam daftar yang akan berpidato malam ini, ada baiknya kalau kita mendengar bagaimana sikapnya sebelum saya melanjutkan dengan pidato saya, setuju?!” Massa menjawab ajakan Bung Karno dengan teriakan “setuju”. Saat dipanggil namanya, menurut Ganis, Aidit sendiri terlihat agak malas saat naik ke atas podium. Namun dia akhirnya berpidato juga di hadapan para anggotanya. “Kalau pemerintah tidak akan membubarkan HMI, maka janganlah kalian berteriak-teriak menuntut pembubaran HMI! Lebih baik kalian bubarkan sendiri! Dan kalau kalian tidak mampu melakukannya, lebih baik kalian jangan pakai celana lagi tapi tukar saja dengan sarung!” Seterusnya pidato Aidit tidak terbendung. Bukan hanya memprovokasi pembubaran HMI, dia pun memperingatkan kepada para anggotanya tentang bahaya pemimpin-pemimpin palsu yang merampok uang rakyat dan memelihara istri hingga sampat empat dan lima. Jelas-jelas dia sudah menantang Presiden Sukarno dalam “perang pidato” itu. Sukarno sendiri berusaha untuk tampil elegan dan tak terpancing oleh pidato Aidit. Sebelum meninggalkan Senayan, dengan lantang dia menegaskan bahwa tidak ada pembubaran terhadap HMI. Soal organisasi kontra revolusioner, dia mengatakan sudah pasti soal itu akan ditangani oleh pemerintah. “CGMI pun apabila ternyata kontra revolusioner, juga akan dibubarkan!” kata Bung Karno. Ketegangan pun terus berlangsung. Gegara soal HMI, hubungan Sukarno-Aidit memburuk. Hingga terjadi Gerakan 30 September dua hari kemudian.*
- Sontani, Pelopor Pelarian dari Kamp Boven Digul
“Son! Tok! tok! tok! Sontani…!” “Hai, siapakah itu?" “Sssst! Lupakah kau? Aku Saleh.” “O, ya…! Silahkan masuk! Tunggulah sebentar!” “Mengapa, tadi tidak bersedia lebih dulu?” “Mana boleh, tidak bersedia lebih dulu. Lihatlah ini, sudah mulai tadi aku berpakaian, waktu tidur masih juga bersepatu.” Semua perlengkapan telah disiapkan. Parang panjang dan botol minum di pinggang. Bekal telah terbungkus karung. Topi dikenakan dan kapak besar dipanggul. “Mari!” kata Sontani kepada Saleh. Mereka pun bergegas menuju ke belakang rumah dan masuk ke dalam hutan rimba. Maka dimulailah perjalanan Sontani dan Saleh, kabur dari Boven Digul! Kisah pelarian Sontani dan Saleh, dua Digulis itu terdapat dalam Minggat dari Digul yang termuat dalam buku Cerita dari Digul yang disunting oleh Pramoedya Ananta Toer. Selain Minggat dari Digul , Pram juga memuat empat cerita lainnya yakni Rustam Digulist oleh D.E. Manu Turoe, Darah dan Air-Mata di Boven Digul oleh Oen Bo Tik, Pandu Anak Buangan oleh Abdoe'l Xarim M.S.,dan Antara Hidup dan Mati atau Buron dari Boven Digul oleh Wiranta. Namun, Minggat dari Digul merupakan satu-satunya yang tidak disertakan nama penulisnya, hanya tertera ‘Tanpa Nama’. Pram menambahkan bahwa cerita itu diterbitkan oleh PERSBUREAU ‘AWAS’, Solo, tanpa tahun. Sosok Sontani Pada 23 Mei 1965, surat kabar Harian Rakjat menerbitkan artikel tentang Sontani, tokoh dalam Minggat dari Digul yang juga sekaligus dijelaskan sebagai penulis kisah tersebut. Diceritakan, Sontani merupakan cucu dari Ronggopermadi, pejuang yang turut dalam barisan Diponegoro yang gugur di Gentingan. Ia lahir di Desa Modinan, Sleman, kemungkinan pada tahun 1895. Sontani tamat sekolah desa 3 tahun di Desa Modinan. Pernah bekerja sebagai buruh kereta api, kernet, tukang besi, hingga buruh pabrik gula. “Pengalaman-pengalaman revolusionernya dimulai sejak ia memasuki organisasi buruh gula, Sarekat Islam, VSTP. Sebagai buruh ia mengalami berbagai perlakuan-perlakuan yang kasar sampai pemecatan tanpa alasan dari majikannya,” tulis Harian Rakjat , 23 Mei 1965. Pada suatu ketika, terjadi sabotase di sekitar onderneming tebu di Beran, Yogyakarta. Pembakaran kebun-kebun tebu berhasil memusnahkan berhektar-hektar areal tebu. Sontani nampaknya turut dalam serangkaian aksi tersebut dan tertangkap pemerintah kolonial ketika hendak meledakkan gudang mesiu di Kotabaru, Yogyakarta. Tidak diketahui kapan ia bebas. Namun, ketika pemberontakan PKI meletus pada 1926, Sontani kembali ditangkap di Modinan saat sedang tidur. “48 orang polisi mengepungnya dan sebelum ia sadar dan sempat menggunakan pistolnya, tangannya telah diborgol lebih dahulu. Ia dibawa ke tahanan, disimpan di WO, lalu kemudian dipindahkan ke sel Wirogunan,” tulis Harian Rakjat. Di penjara Wirogunan, ia bertemu dengan Sadiun, seorang pejuang yang dihukum 40 tahun penjara. Sontani berhasil membuat duplikat kunci sel sehingga ia dapat keluar sel tiap malam dengan sembunyi-sembunyi menjumpai Sadiun. Namun tak lama, kesempatan Sontani keluar masuk sel untuk menemui kawan barunya itu berakhir. Pada 21 Juni 1927, Sontani diangkut ke pengasingan di Tanah Merah, Digul. Pelarian Pertama dan Terlama Kamp Tanah Merah letaknya jauh di pedalaman hutan Papua, di kawasan atas aliran Sungai Digul. Kala itu, kota terdekat yaitu Merauke yang jaraknya kira-kira 160 km. Jika naik sampan melewati sungai yang penuh buaya itu, bisa menghabiskan empat malam perjalanan. Meski demikian, nampaknya pengalaman Sontani sebelum dibuang ke Digul menjadi bekal yang berharga. Bersama Saleh, ia berbulat tekad untuk melarikan diri dari kamp pengasingan itu. Dalam masa pelariannya, Sontani dan Saleh kemudian bertemu beberapa pelarian lain yang kemungkinan menyusul kabur setelah mereka. Di pedalaman hutan, seorang kawannya yang bernama Abas tewas ketika melawan serangan suku Kaya-kaya. Sementara itu, kawan lainnya yang bernama Partatjeleng justru dirawat suku Kaya-kaya yang lain karena sakit. Bahkan setelah ia sembuh, ia juga kawin dengan gadis suku tersebut dan tinggal bersama suku. Namun, suatu ketika ia ditangkap dan dibawa kembali ke pengasingan. Istrinya dan anaknya kemudian menyusul Partatjeleng ke Tanah Tinggi. Harian Rakyat menyebut Sontani adalah tahanan yang memelopori pelarian pertama sekaligus yang terlama dari pelarian-pelarian yang pernah dilakukan di Digul. Sontani dan kawan-kawan berhasil kabur 11 bulan lamanya sampai kemudian mereka ditangkap di Kota Bowen, Australia. Mereka pun harus kembali merasakan pengasingan di Boven Digul. Menurut Molly Bondan dalam Spanning a Revolution , Kisah Mohamad Bondan, Eks Digulis dan Pergerakan Nasional Indonesia, aksi kabur Sontani dan kawan-kawan terjadi pada Maret 1929. Namun, cerita versi Molly yang didapat dari eks Digulis bernama Dulrachman sedikit berbeda dari cerita Sontani. Menurut Sontani sendiri, tulisannya memang perlu diperbarui karena ada beberapa bagian tidak sesuai kenyataan. Hal itu dilakukan untuk menghindari sensor pemerintah kolonial saat itu. Sontani menulis kisah itu ketika masih di Digul. “Kisah itu ditulisnya selama satu setengah bulan dalam 3 buah buku tulis yang tebalnya 32 halaman dengan tulisan tangan kecil-kecil, setiap baris buku dijadikan dua, dengan begitu berarti menjadi 6 buku tulis X 32 halaman,” tulis Harian Rakjat . Dari Digul, tulisan Sontani dibawa ke Jawa oleh Siswomintardjo, tahanan dari Surakarta. Tulisan itu kemudian dapat diterbitkan dalam bentuk buku yang berjudul Minggat dari Digul . Buku inilah yang membuat Utuy Tatang, sastrawan kelahiran Cianjur, menyematkan nama Sontani di belakang namanya menjadi Utuy Tatang Sontani. Dalam bukunya, Di Bawah Langit Tak Berbintang , Utuy mengaku mendapat buku Pelarian dari Digul (judul versi lain) dari seorang eks Digulis bernama Wiranta yang menulis Boeron dari Digoel . Tokoh Sontani membuatnya terkesan dan ia pertama kali menggunakan nama Sontani ketika mengirim cerita pendek ke surat kabar Sinar Pasundan . Menurut Harian Rakjat , selain Minggat dari Digul Sontani juga pernah menulis buku Perintis Djalan Menudju Marxisme , Twaalfstellingen , dan Political Economy . Dalam Citra dan Perjuangan Perintis Kemerdekaan: Seri Perjuangan Ex Digul , hingga tahun 1977, Sontani masih hidup dan bertempat tinggal di Yogyakarta.
- Wartawan Historia Raih Penghargaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Martin Sitompul, reporter Historia.id , memperoleh penghargaan dari Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga, Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dalam malam “Apresiasi Pendidikan Keluarga Tahun 2019” di Balai Kartini, Jakarta (6/11/2019). Penghargaan itu diberikan setelah Martin menulis artikel berjudul “Gila Baca Pendiri Bangsa”. Melalui artikel ini, Martin mengangkat kebiasaan membaca buku para tokoh pergerakan nasional seperti Sukarno, Hatta, RA Kartini, Abdul Rivai, HOS Tjokroaminoto, dan Tan Malaka. Artikel Martin berangkat dari diskusi publik bertajuk “Literasi Kita, Masa Depan Bangsa” di Perpustakaan Nasional, Jakarta (31/07/2019). Tapi Martin tak berhenti hanya mengutip keterangan narasumber diskusi. Martin mengatakan, dia menelusuri kembali biografi dan sumber sejarah lain tentang kegemaran tokoh-tokoh pergerakan nasional terhadap buku. Dia menemukan pengakuan unik Hatta tentang buku. Dalam surat bertanggal 20 April 1934, Hatta menulis dia bisa hidup di mana saja asalkan bersama buku. Sekalipun itu di penjara. Ketika itu, Hatta sedang menjalani hukuman di Penjara Glodok, Batavia. Martin menemukan surat itu dimuat oleh suratkabar Daulat Ra’jat , 10 Mei 1934. Dari kebiasaan membaca buku, para tokoh pergerakan nasional mampu merangkai gagasannya sendiri tentang beragam hal: kemanusiaan, kemerdekaan, agama, ideologi, politik, filsafat, emansipasi wanita, dan identitas. Inilah alasan Martin mengambil tema tentang kebiasaan membaca tokoh pergerakan nasional untuk artikelnya. “Secara khusus (artikel ini) mengulik bagaimana minat dan budaya membaca membentuk gagasan para pendiri bangsa,” kata Martin. Tokoh pergerakan nasional juga mengenal dunia dan pikiran-pikiran terhebat dari membaca buku. “Kendati hidup di dunia kolonial, Sukarno telah membayangkan akan kemerdekaan bangsanya dan menjadi bangsa yang digdaya,” tulis Martin. Sementara itu, HOS Tjokroaminoto, pendiri Sarekat Islam sekaligus salah satu guru politik Sukarno, berupaya mengawinkan gagasan sosialisme dengan nilai-nilai Islam setelah melahap banyak buku. Menurut Martin, eksplorasi gagasan itu bisa mewujud sebab Tjokro sama sekali tidak alergi dengan buku-buku beraliran kiri. Sikap Tjokro ini bertolak belakang dengan sikap sekelompok masyarakat hari ini. Razia terhadap buku-buku tanpa membacanya terlebih dulu semakin merajalela di beberapa kota Indonesia. Bagi Martin, ini cukup aneh. Seperti ada keterputusan kultur literasi di masyarakat. “Padahal kultur literasi ini sudah disemai oleh para pendiri bangsa yang umumnya bibliofil (pecinta buku),” kata Martin. Dia berharap artikelnya bisa menjadi refleksi betapa pentingnya budaya membaca buku. Senada dengan Martin, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terus menerus menekankan pentingnya kebiasaan membaca buku. Kementerian menginginkan kebiasaan ini berakar dan bertumbuh dari lingkungan keluarga. Dari pemikiran tersebut, Kementerian mencanangkan program Gerakan Literasi Nasional (GLN) melalui Direktorat Pendidikan dan Keluarga. “GLN diharapkan menjadi pendukung keluarga, sekolah, dan masyarakat mulai dari perkotaan sampai wilayah terjauh untuk berperan aktif dalam menumbuhkan budaya literasi,” kata Dr. Sukiman, Direktur Pembinaan Pendidikan Keluarga. Salah satu strategi GLN ialah menumbuhkan budaya literasi keluarga melalui penghargaan jurnalistik. Penghargaan ini diwujudkan dalam Lomba Jurnalistik Pendidikan Keluarga. Lomba ini terbagi atas dua kategori: feature dan opini. Untuk menyeleksi artikel karya jurnalis, panitia mengundang juri dari beragam kalangan. Mulai pakar pendidikan, organisasi profesi wartawan, pegiat pendidikan keluarga, sampai orang dalam Kementerian. Juri telah menyeleksi 72 artikel feature di media daring terkait budaya literasi keluarga. Dari hasil seleksi itu, artikel Martin dianggap sebagai salah satu artikel yang layak memperoleh penghargaan. Selain kepada Martin, Kementerian juga memberikan penghargaan kategori Feature untuk Hari Setiawan dari jemberpost.net dan Susanto dari suaramerdeka.com . Harris Iskandar, Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat, mewakili Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, mengatakan karya para jurnalis ikut mendukung program literasi Kementerian. Menurutnya, jurnalis juga mempunyai pengaruh dalam masyarakat dan berperan layaknya pendidik. “Para jurnalis ini juga adalah pendidik, pendidik bagi masyarakat. Influencer yang memberikan pengaruh pada masyarakat,” ungkap Harris.
- Layar Terkembang PSM Makassar
SEJAK menduduki jabatan sebagai CEO PSM Makassar pada 2016, Munafri Arifuddin alias Appi menelurkan sejumlah gebrakan. Ia punya visi yang terang soal bagaimana sepakbola modern dikelola. Hal itu dia ungkapkan secara bernas pada Historia di ruang VIP Stadion Andi Mattalatta usai kemenangan timnya atas Arema FC pada laga tunda pekan ke-23 Liga 1, Rabu, 16 Oktober 2019. Pria kelahiran Majene (kini Sulawesi Barat) 44 tahun lampau itu punya visi untuk tidak hanya membawa PSM kembali disegani di persepakbolaan Indonesia, namun juga kancah internasional. “Ini tim yang punya nama besar. Tim yang sangat legendaris, didukung oleh suporter yang begitu fanatik dan punya cerita panjang dalam persepakbolaan. Makanya jadi tantangan buat saya bagaimana membawa PSM kembali ke level yang harus disegani dan memberikan prestasi,” imbuhnya. Pasang-Surut Juku Eja Klub yang baru berdirgahayu ke-104 pada 2 November lalu itu terakhir mencicipi gelar hampir dua dasawarsa lewat, yakni juara Liga Indonesia VI (1999-2000). Juara liga itu jadi yang keenam buat PSM setelah bernaung di bawah PSSI sejak 1951. Sebelumnya, PSM jadi kampiun Perserikatan pada musim 1956-1957, 1957-1959, 1964-1965, dan 1991-1992. Hingga sekarang, prestasi 19 tahun lalu itu belum bisa diulangi tim berjuluk “Juku Eja” itu. Padahal, sejak 1991 PSM sudah ditopang sederet pengusaha. Artinya, dari segi finansial PSM tak punya masalah lantaran juga masih mendapat suntikan APBD. PSM Makassar menuntaskan dahaga gelar domestik 19 tahun dengan merebut Piala Indonesia pada Agustus 2019 (Foto: pssi.org ) Saat juara liga terakhir itu, PSM dipegang pengusaha agen perjalanan dan umrah Ande Latief. Kala itu, PSM disebutkan bisa juara karena beruntung lantaran lolos ke putaran enam besar hanya lewat keunggulan selisih gol. Keunggulan itu didapat setelah Persegres Gresik kalah 0-1 dari Persema Malang. Kompas 1 Maret 1992 menggambarkan kemenangan PSM atas PSMS Medan di final kompetisi Perserikatan 1991/1992 itu sebagai “foto kopi sebuah keberhasilan patriotisme atas idealisme.” “Persib Bandung yang secara teknik lebih unggul disingkirkan di semifinal. Kemudian Medan yang memilih bermain cantik dan menghilangkan ciri khas permainan kerasnya, disikat pula. Keduanya, Persib dan PSMS, dihantam PSM dengan skor yang sama 2-1,” ungkap Kompas. Meski tetap berlayar dengan gagah hingga partai puncak Perserikatan 1993, PSM dikaramkan Persib 0-2. Memasuki 1994, PSM dipegang Nurdin Halid. Untuk mengembangkan layar PSM di Liga Indonesia 1995, Nurdin menghadiahi tiga pemain asing: Marcio Novo, Jacksen F. Tiago, dan Luciano Leandro. Hasilnya? Tidak sesuai harapan. Harapan besar sempat muncul di musim 1997-1998. Namun sial, huru-hara Mei 1998 mengguncang negeri. “Ketika itu kita ada di posisi pertama (Divisi Timur). Tapi kompetisi stop karena ada masalah (kerusuhan) 1998 itu,” kenang Luciano. Sementara di pentas Asia, PSM yang ikut Piala Winners Asia 1997/1998 babak belur. Bahkan, mengalami kekalahan terburuk dibantai wakil Korea Selatan Suwon Samsung Bluewings 12 gol tanpa balas. Setelah kondisi negeri pulih dan kompetisi bergulir, di musim 1999/2000 PSM melaju kencang. PSM yang kala itu diperkuat banyak pemain timnas, tak terbendung. Mewakili Indonesia, PSM Makassar jadi kampiun Ho Chi Minh City Cup 2001 (Foto: thenurdinhalidinstitute.com ) Selain juara, hebatnya PSM hanya dua kali kalah dari total 31 laga yang dimainkan sejak babak penyisihan Wilayah Timur hingga final. Masa keemasan PSM itu mencapai klimaks dengan menjuarai Ho Chi Minh City Cup 2001. Di final, laskar ayam jantan dari Timur itu mengandaskan tim tuan rumah, Ho Chi Minh XI, 1-0. Di Liga Champions Asia 2001, PSM berhasil mencapai babak perempatfinal. Sebetulnya, PSM punya kesempatan mentas lagi Champions Asia 2004 sebagai runner-up Liga Indonesia. Namun, manajemen klub memilih menolak kesempatan itu karena alasan finansial. “Padahal PSM tak perlu melalui kualifikasi, langsung masuk babak penyisihan grup yang diikuti 32 klub elit Asia. PSM mengaku pihaknya dilanda kesulitan finansial. Sponsor utama tim, PT Semen Bosowa, mengurangi jatah pendanaan PSM. Mungkin menurut pemikiran PSM turun di Asia adalah sesuatu yang sia-sia, sekadar formalitas,” ungkap Eko Nurhuda dalam Sepakbola Itu Lucu: Kumpulan Kejadian-Kejadian Menggelikan dalam Sepakbola . Kala itu PSM baru setahun dipegang Bosowa Corp. sebagai sponsor utama, menggantikan Reza Ali. Kebijakan pengurangan dana oleh manajemen tak hanya membuat PSM gagal ikut Liga Champions Asia, tapi juga menunggak gaji pemain beberapa bulan. PSSI turun tangan. PSM “dipaksa” tetap tampil. Akibatnya, PSM “setengah hati” dengan menurunkan tim kelas duanya di event itu. Alhasil, PSM jadi juru kunci Grup F di bawah Krung Thai Bank (Thailand), Hoang Anh Gia Lai (Vietnam), dan Dalian Shide (Cina). Di Bawah Panji Bosowa Seiring keluarnya kebijakan bahwa klub tak lagi disuntik dana APBD untuk tata kelola klub yang lebih baik, PSSI mempersyaratkan agar klub peserta Liga Super Indonesia 2008 harus berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT). Aturan itu mendorong PSM per 2008 membentuk (PT). Mengutip Antara , 27 Januari 2008, pembahasannya digodok sebuah forum bernama “Tim Lima” yang berisi sejumlah pengusaha dan pejabat daerah. Mulanya ada tiga opsi untuk pengelola PSM, yakni perusahaan daerah, yayasan, atau PT. “Kami memilih PT sekaligus mengadopsi pengelolaan klub-klub profesional di Liga Eropa yang menjadi tulang punggung pendanaan bagi PSM pada setiap pergantian musim kompetisi,” tutur Ketua Harian PSM Kadir Halid. Lantas disepakati, PT dengan modal awal Rp10 miliar dari KONI Makassar itu dinamakan PT Paggalona Sulawesi Mandiri (PT PSM). Tim PSM Makassar tengah berlatih di Stadion Andi Mattalatta-Mattoanging (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Namun, carut-marut kondisi persepakbolaan nasional yang bersumber dari kisruh di tubuh PSSI membuat PSM membelot dari Liga Super. PSM memilih ikut ke kompetisi tandingan, Liga Primer Indonesia (LPI). Alasannya PSM hanya ingin berlaga di kompetisi yang lebih bersih dan profesional. Meski sejak 2005 diponsori PT Semen Bosowa (Bosowa Corp.), manajemen PSM baru benar-benar dipegang perusahaan raksasa Sulawesi Selatan itu 10 dekade berselang. Tepatnya pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) klub, 23 Januari 2015. Bosowa melalui Bosowa Sport Indonesia mengambilalih saham mayoritas PT PSM, 51 persen, sekaligus mengubah susunan dewan komisaris dengan mengisi sejumlah petinggi Bosowa seperti Sadikin Aksa, Solihin J. Jalla, dan Andi Suruji. Posisi CEO kala itu masih dipegang Rully Habibie. Orang Bosowa, Munafri Arifuddin, baru menggantikannya pada RUPS 29 Januari 2016. Tugas berat langsung menanti Appi. Kompetisi Torabika Soccer Championship (TSC), kompetisi pengganti yang diadakan karena PSSI tengah disanksi FIFA, jadi yang pertama. Setelah itu, dia mesti membenahi klub agar memenuhi persyaratan standar internasional. “Setelah liga diadakan lagi habis tak lagi disanksi FIFA, kami berhasil dapat jatah Asia lagi. Tapi saat itu seluruh aspek yang menyangkut Club Licensing AFC kami di- reject . Dari pelajaran itu kami mendapat gambaran yang jelas, seperti apa seharusnya tatanan pengelolaan sepakbola yang benar,” terang Appi. Ada sekitar enam pilar pembangunan yang digulirkan Appi. Antara lain, akademi muda, pembinaan sepakbola putri, dan pembenahan stadion. Untuk itulah klub rela merogoh kocek ratusan juta rupiah untuk memasang sendiri rumput dan lampu penerangan berstandar internasional. Di tahun keduanya, Appi mengganti nama PT dan logo klub. “Saya mencoba merombak tim dan manajemen. Di tahun kedua, setelah melalui banyak diskusi hingga perdebatan dengan para senior dan pemain-pemain legenda PSM, saya melakukan perubahan yang revolusioner. Saya mengganti nama PT (Paggolona Sulawesi Mandiri menjadi Persaudaraan Sepakbola Makassar),” tambah Appi. Sejak 1959, PSM memakai logo Pemerintah Kota Makassar. Logo baru dibuat agar, menurut Appi, membawa PSM keluar dari kesan milik pemda. Hanya gambar kapal phinisi dan warna merah yang masih dipertahankan dalam logo baru itu. Logo baru itu sendiri merupakan penyempurnaan dari logo pemenang sayembara yang diadakan manajemen pada 2015. Munafri Arifuddin menakhodai PSM Makassar sejak 2016 (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Dengan sejumlah gebrakan itu, Appi berharap PSM bisa menyemai prestasi yang lebih bergengsi ketimbang Piala Indonesia pada Agustus 2019. Di bawah Appi, PSM berhasil menuntaskan puasa gelar 19 tahunnya dengan menjuarai Piala Indonesia pada 6 Agustus lalu di Stadion Andi Mattalatta. PSM menang 2-0 atas Persija di final leg kedua, sekaligus memutar agregat 2-1 setelah di leg pertama di Jakarta kalah 0-1. Prestasi itu jelas baru awal dari jalan panjang yang mesti dilalui PSM. Butuh modal besar, tekad kuat, dan waktu yang panjang untuk bisa memapankan diri dalam industri sepakbola modern. “Saya cuma mau membangun kembali kekuatan sepakbola, menata kembali sistem sepakbola yang lebih profesional. Kalau tidak dimulai, itu tidak akan pernah bergerak dari pakemnya, tetap ada di bottom. Harus digerakkan. Kalaupun rugi mungkin setahun, dua tahun, tiga tahun, empat tahun. Pada suatu saat nanti, kalau nanti, di ujungnya akan menjadi industri sepakbola yang baik,” ujar Appi. Appi mencontohkan, Bali United sudah melalui proses semestinya sebagai sebuah klub dalam industri sepakbola modern. “Klub asal Pulau Dewata itu mencatatkan diri sebagai klub sepakbola pertama yang turun ke lantai bursa saham. Artinya ada harapan besar terhadap sepakbola di Indonesia.”
- Sukarno Murka Jika Ada Orang Mengusik Hatta
HASJIM Ning, keponakan Bung Hatta yang menjadi pengusaha nasional berjuluk “Raja Mobil Indonesia”, menyaksikan bagaimana banyak “serigala” di sekitar Presiden Sukarno ketika si bung berkuasa. Demi mencari muka dan tempat di hati presiden, para “serigala” itu saling memangsa kendati di permukaan terlihat selalu mesra. “Tradisi yang menjadi anggapan umum itu juga menjadi pedoman kerja para petugas intel dari berbagai instansi keamanan dan juga bagi instansi yang mengeluarkan izin, izin apa saja. Terutama oleh kalangan entrepreneur yang tidak mempunyai dukungan kekuatan politik, kondisi itu akan sama dengan penempatannya sebaga ‘mangsa’ yang setiap saat akan diserbu oleh para serigala yang kelaparan, yang sudah lama mengintai waktunya untuk melahap,” kata Hasjim dalam otobiografinya Pasang Surut Pengusaha Pejuang . Sikap menjilat itulah yang membuat orang-orang non-politik yang bersabahat dengan Sukarno seperti Hasjim kerap jadi korban. Meski persahabatannya dengan presiden murni secara personal, Hasjim tak aman dari “terkaman” para serigala lantaran sebagai keponakan Bung Hatta, yang sering dianggap lawan politik pemerintah. Hasjim kerap ketiban sial oleh intrik atau insinuasi orang-orang yang tak suka pada dirinya ataupun Bung Hatta. “Suatu hari aku ‘terkena larangan’ menemui Bung Karno. Yang melarangku masuk dan menemui Bung Karno ke Istana adalah Kolonel Sabur, ajudan presiden sendiri,” sambung Hasjim. “Saudara tidak dibenarkan lagi masuk Istana, karena Suadara keponakan Hatta, lawan presiden,” kata Sabur sebagaimana dikutip Hasjim. Akibat larangan itu, enam bulan Hasjim tak pernah lagi ke Istana dan bertemu Sukarno. Keduanya baru kembali bertemu setelah menghadiri makan siang bersama antara presiden dan IPKI, partai politik yang ikut disokong Hasjim pada awal 1950-an. Sukarno kaget ketika di antara penyambutnya terdapat Hasjim. Saat berjabat tangan, Sukarno langsung menanyakan kenapa Hasjim tak pernah lagi ke Istana. Pertanyaan itu dijawab Hasjim dengan pemberitahuan bahwa dirinya dilarang Kol. Sabur. Jawaban Hasjim jelas membuat Sukarno kaget. Dia langsung marah pada Sabur yang berada di dekatnya. “Siapa yang kasih perintah sama kamu?” kata Sukarno bertanya kepada ajudannya. Sabur yang ketakutan pun menjawab sambil gelagapan bahwa larangan yang dikeluarkan terhadap Hasjim diambil atas inisiatifnya karena Hasjim merupakan keponakan Bung Hatta yang saat itu merupakan lawan politik Sukarno. Jawaban Sabur membuat presiden makin naik pitam. “Jangan kamu campur adukkan masalahku dengan Bung Hatta. Betul aku tidak suka pada sikap politiknya, tapi dia adalah sahabat baikku, tahu?” Sabur langsung mengambil sikap sempurna dan menyatakan kesiapannya begitu mendengar perkataan Sukarno. “Aku tidak suka kamu larang-larang Hasjim datang ke Istana. Kapan dia suka, dia boleh datang!” Begitulah Sukarno yang diketahui Hasjim. Ia hampir selalu “berkelahi” dengan Bung Hatta dalam soal politik, namun tak pernah terima bila kehidupan pribadi Hatta diusik orang. Saking pahamnya terhadap Sukarno, Hasjim langsung menemui sang presiden begitu mendengar di masyarakat terlontar isu Bung Hatta akan ditangkap tak lama setelah Bung Hatta mengkritik penguasa lewat tulisannya, “Demokrasi Kita”. “’Demokrasi Kita’ ditulis Bung Hatta pada tahun 1960 dan dimuat dalam Pandji Masjarakat, dengan Buya Hamka sendiri sebagai pengawas pencetakannya, meneliti sampai titik-komanya, tidak boleh ada salah cetak sedikitpun, untuk menyesuaikan dengan kebiasaan Bung Hatta yang selalu correct,” tulis Sri Edi Swasono dan Fauzie Ridjal dalam Satu Abad Bung Hatta: Demokrasi Kita, Bebas Aktif, Ekonomi Masa Depan . Tulisan itu membuat Sukarno marah. Hasjim melihatnya sendiri ketika bertemu di Istana. “Hai, Hasjim, Hatta itu mau apa sebenarnya menulis begitu?” kata Sukarno, dikutip Hasjim. Namun karena Hasjim tak tahu dan menyuruh Sukarno bertanya langsung pada pamannya, kemarahan Sukarno pun reda dan keduanya kembali bercanda. Yang pasti, tulisan itu dijadikan lawan-lawan politik Hatta untuk mencari simpati politik presiden. “Semua media massa yang memuat tulisan Bung Hatta itu diberangus oleh pemerintah. Sesungguhnya aku tidak percaya Bung Karno sampai mau memerintahkan pemberangusan itu. Meski tahu beberapa di antara media massa itu sangat tidak disukainya, aku percaya bahwa ada kekuatan politik tertentu yang meniup-niupkan api agar pemberangusan terjadi sehingga ketika yang berwenang melakukan pemberangusan itu, Bung Karno membiarkannya saja,” kata Hasjim. Maka begitu bertemu Sukarno di Istana, Hasjim langsung menanyakan benar-tidaknya isu penangkapan Bung Hatta. “Bapak, aku tahu bahwa Bapak tidak pernah bertindak keliru dalam hal-hal yang prinsipil,” kata Hasjim membuka pembicaraan. “Jadi, sekarang jij percaya bahwa aku telah melakukan kekeliruan?” jawab Sukarno untuk mendapatkan kejelasan maksud pertanyaan Hasjim. “Ya, kalau Bapak menangkap Bung Hatta,” kata Hasjim. Jawaban itu membuat Sukarno terperanjat. “Gila kamu bisa berpikir begitu. Tidak ada orang yang bisa berani-berani menangkapnya,” kata Sukarno setengah berteriak.
- Kisah Penculikan Sjahrir
PASCA 1945, Republik Indonesia belum menemukan arah politik yang jelas. Sekalipun partai-partai politik seperti Masyumi, Partai Sosialis, Partai Nasional Indonesia, dan sebagainya telah dibentuk, pendirian serta pandangan yang diambil sangat berbeda satu sama lain. Akibatnya, setiap wilayah memiliki sikap tersendiri dalam menjaga tempat bernaungnya. Bangsa ini tidak bisa sedikitpun disebut ajeg. M.C. Ricklefs dalam A History of Modern Indonesia Since C.1200 menggambarkan situasi Indonesia pertengahan tahun 1946. Situasinya cukup tidak menentu. Terutama setelah Belanda kembali mencoba peruntungannya menguasai Indonesia. Sejumlah daerah dibuat bergolak karenanya. Sementara itu di ranah politik terjadi beberpa peristiwa penting, di antaranya pembentukan Kabinet Sjahrir II, penangkapan Tan Malaka, dan peristiwa Tiga Daerah di Pekalongan. Mengetahui keadaan semakin genting, Perdana Menteri Sutan Sjahrir terus mengusahakan perundingan dengan pihak Belanda. Dia bersikeras agar Belanda mengakui kekuasaan Indonesia secara de facto dan menghentikan pendaratan bala tentaranya ke tanah air. Memang sejak dari perundingan di Hooge Veluwe tidak ada usulan baru yang diajukan Sjahrir, tetap pada persoalan hubungan baik antar dua negara berdaulat. Menurut Rosihan Anwar dalam Soebadio Sastrosatomo: Pengemban Misi Politik usul perundingan antara Sjahrir dengan pihak Belanda diberitakan secara seenaknya oleh pers Belanda di Jakarta sehingga terjadi salah persepsi di antara para pembaca. Pemerintah Sjahrir pun dituduh oleh rakyatnya sendiri telah menjual negara kepada Belanda. “Karena Sjahrir berdiam diri, maka kecurigaan terhadap pemerintah makin meningkat,” tulisnya. Rupanya sikap Sjahrir tersebut dinilai oleh sejumlah pihak sebagai sikap yang lemah. Dia dianggap tidak tegas dalam mendukung upaya kemerdekaan. Mohammad Hatta dalam otobiografinya, Untuk Negeriku , menyatakan dirinya pernah mencoba untuk mengendalikan suasana dengan memberi penjelasan tentang isi usul balasan Indonesia pada sebuah rapat raksasa di Yogyakarta. Namun, tokoh-tokoh seperti Mr. Soebardjo, Chaerul Saleh, Iwa Kusumasumantri, dan Dr. Buntaran tetap menilai Sjahrir perlu “diamankan” agar proses melepaskan diri dari Belanda dapat berjalan lancar. Kelompok yang tergabung dalam Persatuan Perjuangan ini dikenal sebagai oposisi pada era Kabinet Sjahrir. Mereka menginginkan Indonesia bebas sepenuhnya, tanpa intervensi Belanda sedikitpun. Dan penangkapan Sjahrir diyakini dapat mengubah politik diplomasi terhadap Belanda. Sebetulnya ada alasan lain mengapa Sjahrir ditangkap. Rosihan menyebut para oposisi menginginkan Tan Malaka yang tengah ditahan di Madiun dibebaskan dan kembali ke gelanggang politik. Mereka lebih memilih Tan Malaka ketimbang Sjahrir karena dianggap terlalu lemah dalam membangun Indonesia yang baru merdeka. Berbekal surat penangkapan dari Mayjen TNI Sudarsono, Mayor Abdul Kadir Yusuf berangkat ke Solo, ditemani sejumlah lakon oposisi lainnya. “Mereka mengetahui hari itu PM Sjahrir berada di Solo dalam perjalanan inspeksi kembali dari Jawa Timur.” Pada 27 Juni 1946 rencana berhasil dijalankan. Pemerintah dilanda kepanikan. Keadaan darurat pun langsung dikeluarkan presiden. Proses Penangkapan Dikisahkan salah seorang kepercayaan Sjahrir, Soebadio Sastrosatomo, penangkapan terjadi di Javasche Bank, Solo. Saat itu dirinya sedang bersama dengan Sjahrir, Menteri Dalam Negeri Dr Sudarsono, Soemitro Djojohadikusumo, Mayjen Sudibjo, dan Darmawan Mangunkusumo. Sjahrir yang baru pulang dari Jawa Tengah, menginap di Javasche Bank. Sementara Soebadio sendiri telah lebih dahulu berada di Solo. Sekira pukul 11.16 malam, kata Soebadio, Mayor AK Yusuf bersama empat orang masuk ke dalam gedung Javasche Bank. Sambil menodongkan senjata, mereka memaksa Sjahrir untuk ikut ke dalam mobil yang telah mereka siapkan. Sang perdana menteri sempat protes dan berdebat dengan nada keras. Namun ancaman senjata membuat Sjahrir tak berdaya. Akhirnya rombongan itu menuruti apa kemauan AK Yusuf. Namun ternyata tidak semua orang berhasil diamankan. Soebadio dan Sudarsono yang melihat gelagat aneh sesaat setelah perdebatan dimulai segera pergi melepaskan diri. “Saya yang melihat gelagat itu meloloskan diri dengan menggunakan bambu melompat dan mencebur ke dalam kali yang mengalir di sekitar Hotel Merdeka. Dengan menyamar sebagai rakyat biasa, kami naik kereta api di stasiun Gowok menuju Yogyakarta. Setibanya di Yogya saya lapor pada kabinet,” terang Soebadio saat diwawancarai Rosihan Anwar pada 8 Oktober 1994. Dalam biografinya itu, Soebadio menyebut Sjahrir dibawa oleh rombongan AK Yusuf ke Desa Paras, sebuah daerah yang dahulu digunakan Pakubuwono X sebagai tempat meditasi. Di sana dia dititipkan kepada Mayor Soekarto. Menurut keterangan Sutrisno, salah seorang perwira yang bertugas di Paras, ketika penangkapan terjadi, para penjaga di sana tidak mengetahui kalau yang dibawa oleh rombongan AK Yusuf adalah Perdana Menteri Sjahrir. “Dikiranya seorang pembesar yang mau istirahat, makanya Sjahrir diterima dengan baik dan ditempatkan di sebuah pesanggrahan kepunyaan Susuhunan. Kini gedung itu sudah digusur,” ucap Sutrisno sewaktu diwawancarai Rosihan Anwar pada 10 Oktober 1994. Upaya Pembebasan Menurut Sejarawan Ricklefs setelah mendengar kabar penculikan Sjahrir, Sukarno berusaha secepatnya membuat siaran radio. Baginya kejadian itu merupakan peristiwa yang dapat membahayakan persatuan bangsa. Untuk itu, demi menjaga pemerintahan tetap berjalan baik, Sukarno langsung melakukan pengambilalihan kekuasaan. Pada 28 Juni pemerintahan RI di Yogya belum mengetahui dengan jelas lokasi penahanan Sjahrir. Sukarno lalu melakukan siaran radio pada malam 29 Juni. Dia sangat mengecam aksi orang-orang yang melakukan penculikan tersebut. Sukarno juga menuntut pembebasan secepatnya. Si Bung ingin Sjahrir ada di Solo dalam keadaan baik. “Saya tidak ingin menjadi diktator! Saya ingin adanya satu pemerintahan yang berdasarkan kedaulatan rakyat. Saya oleh karena itu hanya untuk sementara waktu saja mengambil segala kekuasaan negara di tangan saya sendiri. Kepada segenap rakyat berpikiran sehat, saya minta ikut berusaha untuk mengembalikan Perdana Menteri Sutan Sjahrir, Menteri Kemakmuran Ir. Darmawan Mangunkusumo, Mayor Jenderal Sudibjo dan lain-lain yang turut kena culik dengan selamat kepada kami. Ini adalah kewajiban tiap-tiap warga negara Republik Indonesia yang cinta pada Republiknya," demikian isi sebagian pidato Presiden Soekarno tersebut. Setelah mendengar siaran radio Sukarno, orang-orang di Paras mulai menyadari bahwa tamu di tempat mereka adalah Perdana Menteri Sjahrir. Di saat yang bersamaan, AK Yusuf datang untuk membawa kembali Sjahrir. Namun permintaan itu segera ditolak oleh para penjaga di Paras. Mereka yang telah mengetahui identitas Sjahrir ingin mengembalikannya sendiri. Pengawalan Sjahrir dilakukan hingga rombongan tiba di Istana Negara di Yogyakarta pada 30 Juni dini hari. “Bung Karno dibangunkan dan waktu melihat Sjahrir dia langsung merangkul Sjahrir. Ibu Fatmawati juga bangun dan segera membuatkan kopi untuk pasukan yang mengawal rombongan Sjahrir,” tulis Rosihan.*
- Pengkhianatan Sang Besan
Kertanegara bimbang. Di hadapannya ada mantan patih, Ragananta dan patih penggantinya, Mahisa Anengah. Ragananta berusaha mengingatkan sang raja tentang pengkhianatan yang mungkin terjadi dari dalam negeri sementara ia sibuk memikirkan politik luar negerinya. Sang patih tua berpikir adanya kemungkinan balas dendam dari salah satu raja bawahan, Jayakatwang terhadap Singhasari. “Sudah agak lama Jayakatwang tak berseba di Singhasari,” ucap sang bekas patih dalam Kidung Harsawijaya . Namun, Patih Mahisa Anengah punya pendapat berbeda. Semestinya, kata dia, Jayakatwang berutang budi pada Kertanegara. Tadinya dia cuma juru pengalasan di pura Singhasari. Tapi Kertanegara mengangkatnya menjadi raja Kadiri di bawah kuasa Singhasari. “Atas semua itu, beliau tak akan memberontak pemerintahan Yang Mulia,” kata Patih Mahisa Anengah. Apalagi mengingat hubungan mereka. Prasasti Mulamalurung mencatat Turukbali, istri Jayakatwang, adalah saudara Kertanegara. Saudara ipar Kertanegara ini juga rupanya masih sepupunya. Ditambah lagi, menurut Prasasti Kudadu, Jayakatwang kemudian berbesan dengan Kertanegara. Ardharaja diambil mantu oleh Kertanegara. Melihat itu, rasanya tak mungkin Jayakatwang memberontak. Kertanegara pun merasa kemungkinan itu tak masuk akal. Ia menjadi tenang kembali. Ia pun menolak pendapat bekas Patih Ragananta. Ia segera melanjutkan rencananya mengirim utusan ke negeri Malayu untuk mengantar hadiah Arca Amoghapasa. Kerajaan pun kosong. Kekosongan itu dimanfaatkan oleh Arya Wiraraja, penguasa di Madura. Slamet Muljana dalam Menuju Puncak Kemegahan menjelaskan, pada masa Kertangera, Wiraraja menjabat sebagai demung atau demang. Tapi kemudian ia dilorot dari kedudukannya dan ditempatkan sebagai Bupati Sumenep. Karenanya Wiraraja tak senang kepada Kertanegara. “Ia merasa diserikkan hatinya. Ia dilorot dari demung dan dipindahkan ke Sumenep sebagai adipati. Ketika datang kesempatan membalas dendam, segera ia gunakan,” jelas Muljana. Wiraraja lalu bermaksud menggunakan Jayakatwang untuk melancarkan kesumatnya itu. Putranya ia utus untuk menyampaikan surat. Baik Kidung Harsawijaya maupun Kidung Panji Wijayakrama , memaparkan isi surat Wiraraja kepada Jayakatwang yang senada. Isinya adalah isyarat tentang kondisi istana Kertanegara. Bahwa Kertanegara telah memecat menteri-menterinya dan menggantinya dengan yang baru. Rakyat dianggap tak puas dengan sikap Kertanegara. “Jika Tuanku hendak berburu ke tegal lama sekaranglah saatnya…,” tulis Wiraraja dalam suratnya. Jayakatwang juga terpa n tik perkataan patihnya kalau moyangnya, Dandang Gendhis atau Kertajaya, binasa karena pemberontakan buyut Kertanegara, Ken Angrok. Kadiri dan bala tentaranya pun musnah akibat dijajah Singhasari. “Padukalah yang mempunyai kewajiban membangun Kerajaan Kadiri dan membalas kekalahan Prabu Kertajaya,” kata sang patih. Setelah membaca surat Wiraraja dan pendapat patihnya, Jayakatwang segera memerintahkan Patih Kebo Mundarang untuk membagi dua tentara Kadiri. Sebagian pasukan di bawah Sinapati Jaran Guyangditugaskan menyerang Singhasari dari utara. Sisa pasukannya di bawah Patih Mundarang menyerang dari selatan. “Segenap pulau tunduk kepada kuasa Raja Kertanegara, tetapi raja Kadiri, Jayakatwang, membuta dan mendurhaka,” tulis Prapanca dalam Nagarakrtagama. “Raja bawahan bernama Jayakatwang, berwatak terlalu jahat, berkhianat karena ingin berkuasa di wilayah Kadiri.” Dendam Lama Bersemi Kembali Selama ini selalu dikatakan bahwa runtuhnya Kerajaan Singhasari akibat serangan raja Jayakatwang dari Kadiri. Pemantiknya adalah dendam Jayakatwangatas kematian buyutnya, Kertajaya yang ditumpas oleh buyut Kertanegara, Ken Angrok. Menurut Nagarakrtagama, sejak Kertajaya ditumbangkan Sang Rajasa, sudah ada tiga raja yang menggantikannya. Atas perintah Rajasa, raja Jayabasa naik menjadi raja di Kadiri. Ia memerintah selama 36 tahun. Lalu digantikan Raja Sastrajaya yang memerintah 13 tahun. Setelahnya Jayakatwang memerintah di Kadiri. Soal siapa sebenarnya Jayakatwang, dikisahkan berbeda-beda oleh banyak sumber. Nagarakrtagama mengisahkannya sebagai Raja Kadiri, Pararaton mencatatnya sebagai Raja di Daha. Begitu juga Kidung Panji Wijayakrama yang menceritakannya dengan nama Jayakatong sebagai raja di Daha. Sementara Kidung Harsawihaya menyebutnya dengan jelas sebagai raja di Daha, keturunan Dandang Gendhis. Ada juga dalam Prasasti Kudadu yang diterbitkan masa pemerintahan Wijaya sebagai peringatan penetapan sima sekaligus balas jasanya kepada Desa Kudadu. Prasasti ini mengisahkan Sri Jayakatyeng dari Gelang Gelang yang menyerang Sri Kertanegara. “Ia bertindak sebagai musuh, melakukan perbuatan hina, mengkhianati sahabat, mengingkari perjanjian, ingin membinasakan Kertanegara di negara Tumapel,” catat prasasti itu. Mirip dengan pernyataan prasasti, berita Catatan Dinasti Yuan menyebut Jayakatwang sebagai raja dari Kalang. Namanya disebut dengan Haji Katang. Namun setelah ia berhasil membunuh raja Jawa, Haji Gedanajiala (Kertanegara), ia bertakhta di Daha. Di Daha pulalah terjadi pertempuran akhir antara pasukan Mongol di bawah Shibi, Ike Mese, dan Gao Xing yang dibantu pasukan Wijaya melawan pasukan Jayakatwang. Melihat itu, kata ahli epigrafiBoechari, dalam Melacak Sejarah Kuno Lewat Prasasti, wajar kalau beberapa sumber, termasuk Kidung Harsawijaya, mencatat alasan pemberontakan Jayakatwang kepada besannya karena dendam. Namun rupanya ada alasan lain yang membuat hubungan keluarga tak lagi berarti. Petunjuknya ada dalam Prasasti Mulamalurung (1255). Prasasti itu antara lain mencatat anak-anak Raja Wisnuwardhana, ayah Kertanegara, yang ditetapkan sebagai penguasa wilayah. Salah satunya disebutkan wilayah Gelang Gelang yang dikuasai Turukbali, putri Wisnuwardhana,istri Jayakatyang yang juga kemenakan Wisnuwardhana. Sementara Nararya Murdhaja, putra Wisnuwardhana yang bergelar Kertanegara dinobatkan di Daha. Ia menguasai wilayah Kadiri. “Jadi, Jayakatwang adalah pangeran dari Gelang Gelang, menyerang dari Gelang Gelang dan setelah berhasil menggulingkan Kertanegara ia menguasai Daha,” jelas Boechari. Sekali lagi, Jayakatwang adalah cucu buyut Kertajaya, raja Kadiri yang dikalahkan Ken Angrok. Ia bisa saja merasa tak senang wilayah kekuasaan moyangnya, yaitu Kadiri, justru diambil raja untuk diberikan kepada putra mahkota. Sementara ia hanya diambil mantu dan mendampingi istrinya sebagai penguasa Gelang Gelang. “Mungkin ini adalah sebab yang lain mengapa ia memberontak terhadap Kertanegara,” kata Boechari. Artinya, kendati sudah diikat hubungan perkawinan sedemikian rupa, Jayakatwang masih menyimpan sakit hati terhadap Kertanegara sejak lama. Namun, sejak menerima surat Wiraraja hingga akhirnya menyerang, ia membutuhkan waktu 38 tahun. Menurut Boechari mungkin Jayakatwang tengah menanti saat yang tepat. Pun ia mungkin juga dilema karena terikat perjanjian damai dengan penguasa Singhasari. “Ia ipar sekaligus besan Kertenegara,” kata Boechari. Karenanya tak berlebihan jika Prasasti Kudadu mengatakan kalau Jayakatwang telah mengkhianati sahabat dan mengingkari janji waktu ia menyerang Kertanegara. Pada akhirnya menyatukan keluarga lewat perkawinan politik juga tak cukup memperoleh koalisi permanen.
- Di Balik Upaya Penangkapan Kolonel Simbolon
LETNAN KOLONEL Soegih Arto bersekongkol dengan dengan orang-orang kepercayaannya: Komandan Komando Militer Kota Besar (KMKB setara Kodim), Kapten Kavaleri Cuk Soewondo, dan Letnan Satu Suharto. Mereka punya misi menangkap Panglima Kodam Bukit Barisan Kolonel Maludin Simbolon. “Selama bertugas di Medan, peristiwa demi peristiwa terjadi, ada yang agak serius, ada pula yang menjurus ke makar, pemberontakan terhadap pemerintah pusat,” tutur Soegih Arto dalam memoarnya Sanul Daca: Pengalaman Pribadi Letjen (Pur) Soegih Arto . Pada 22 Desember 1956, Simbolon memproklamasikan berdirinya Dewan Gajah di depan corong RRI. Dalam deklarasinya, Simbolon menyatakan pemutusan hubungan dengan pemerintah untuk sementara waktu. Simbolon juga menyatakan tidak mengakui Kabinet Ali II (Ali-Roem-Idham). Untuk melegitimasi kedudukan, Simbolon mengambil alih pemerintahan di teritorium Sumatra Utara. Soegih Arto menangkap gelagat bahwa Simbolon akan melancarkan pemberontakan. Sebagai perwira paling senior di kalangan pendatang, Soegih Arto didapuk menjadi pemimpin gerakan penangkapan Simbolon. Soegih Arto sempat perang batin karena ketakutan meringkus atasan sendiri. Tapi anak buahnya merongrong karena sudah ada perintah dari Panglima Tertinggi (Presiden Sukarno). “ Overste memimpin gerakan ini, atau Overste tidak akan meninggalkan ruangan ini hidup-hidup. Memimpin gerakan atau mati. Bulat sudah telad kami,” kata Letnan Satu Suharto kepada Soegih Arto dalam sebuah rapat di asrama kavaleri. Setelah urun rembug, rencana esksekusi Simbolon akhirnya ditentukan: 26 Desember. Pada hari itu, Simbolon mengundang semua perwira teras ke rumahnya dalam sebuah jamuan makan malam perayaan Natal. Soegih Arto datang dengan hati kalut. Sementara itu, dia telah mengerahkan pasukan anti Simbolon sekira satu batalyon banyaknya mengepung Kota Medan, termasuk ke Jalan Walikota No. 2, alamat kediaman Simbolon. Dalam acara jamuan makan itu, suasana sukacita begitu diperlihatkan oleh tuan rumah. Aneka penganan lezat dan hidangan khas Batak berjejal di meja makan. Pesta Natal merupakan hari raya bagi Simbolon sekeluarga. Simbolon sesekali meninggalkan ruangan makan karena harus menerima laporan anak buahnya via telepon. Kendati demikian, Soegih Arto mengenang tawa selalui menghiasi wajah Simbolon pada malam itu. Namun bagi Soegih Arto, situasi sungguh genting dan tidak menentu. Makanan enak terasa hambar di lidahnya. Dia takut kalau gerakan bocor. Bisa-bisa, Soegih Arto jadi tawanan di tengah jamuan makan malam. “Begitu kacau pikiran saya, sampai makan pun kesasar ke tempat khusus yang disediakan untuk perwira Batak, karena di situ disajikan sayur anjing!” kenang Soegih Arto. Rupanya Simbolon keburu mengendus gerakan pasukan yang menentangnya sedang berjalan menuju Medan. Tapi Simbolon tidak menyadari komplotan Soegih Arto yang hendak meringkus dan menghadapkannya ke petinggi di Jakarta. Jamuan makan di rumah Simbolon akhirnya ditutup lebih awal. Semua perwira diperintahkan kembali siaga ke posnya masing-masing. Soegih Arto menyusut siasat mengepung Simbolon sampai menyerah. Namun dia terlambat, Pagi-pagi buta, Simbolon sekeluarga mengungsi ke arah Tapanuli Utara. Simbolon keluar dari Kota Medan dengan kawalan 400 orang tentara dari Kapten Sinta Pohan yang memihak Simbolon. Dengan lolosnya Simbolon, maka gagallah upaya kelompok Soegih Arto, setelah komandannya sempat hampir kecele memakan daging anjing.






















