Hasil pencarian
9596 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Mohammad Noor, Gubernur Pertama Kalimantan
PRESIDEN Joko Widodo telah meresmikan pahlawan nasional tahun ini. Berdasarkan Keputusan Presiden tanggal 6 November 2008, gelar itu disematka kepada enam tokoh. Nama-nama baru ini menabalkan jumlah Pahlawan Nasional mencapai 179 orang. Mereka antara lain: Abdurahman Baswedan (D.I Yogyakarta), Hj. Andi Depu (Sulawesi Barat), Depati Amir (Bangka-Belitung), Kasman Singodimedjo (Jawa Tengah), Mohammad Noor (Kalimantan Selatan), dan K.H. Syam'un (Banten). Satu-satunya tokoh yang mewakili daerah Kalimantan adalah Pangeran Mohammad Noor. Bangsawan Kesultanan Banjar ini lahir di Martapura, Kalimantan Selatan, 24 Juni 1901. Noor punya jasa besar tatkala ditunjuk sebagai gubernur pertama Kalimantan (saat itu masih disebut Borneo). “Sebagai gubernur pertama (Noor) luar biasa. Beliau memiliki jasa besar mempersatukan pejuang di Kalimantan," ujar sejarawan Sulawesi Selatan,Taufik Ahmad kepada Historia. Kawan Kuliah Sukarno Karena seorang ningrat, Noor tak kesulitan mencecap pendidikan tinggi di zaman kolonial. Disebutkan Noor bersua dengan Sukarno tatkala mereka sama-sama berkuliah di Technische Hooge School (Sekolah Tinggi Teknik) di Bandung. Bila Sukarno mengambil jurusan arsitek, maka Noor getol mendalami teknik lingkungan. Di kampusnya, Noor aktif sebagai anggota Jong Islamieten Bond (Ikatan Pemuda Islam). Pada 1927, Noor meraih gelar insinyur sipil dan menjadi orang Kalimantan pertama yang berpredikat sarjana. Noor sempat menjadi pegawai kolonial dan lama menghabiskan waktunya di Jawa sebagai teknokrat. Setelah lulus kuliah, Noor diangkat sebagai insinyur sipil pada Departement Verkeer dan Waterstaat yang menangani persoalan irigasi di Tegal. Pada 1929, dia dimutasi ke Malang kemudian Batavia. Pada 1933, Noor kembali ke tanah kelahirannya, Banjarmasin. Selain mendedikasikan keahliannya membenahi irigasi, Noor juga terjun ke politik sebagai anggota Dewan Rakyat Hindia, Voolkraad menggantikan posisi ayahnya, Pangeran Ali. Memasuki masa pendudukan Jepang, Noor kembali ke Jawa. Noor menetap di Bondowoso sebagai Kepala Irigasi Pakalem-Sampean. Pada awal 1945, Noor diangkat menjadi wakil Sumobucho (setara sekretaris jenderal) Dobuko (Departemen Perhubungan/Pekerjaan Umum). Sebagai seorang tokoh kemerdekaan Indonesia, jejak Noor setidaknya teridentifikasi tatkaka dirinya menjadi salah satu anggota BPUPKI. Dalam buku Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 Mohammad Yamin mencatat nama “Tuan Mohammad Noor” atau tertulis “Mohd. Noor” yang mewakili wilayah Kalimantan. Ketika Sukarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, Noor ditunjuk menjadi gubernur Kalimantan. Rekomendasi Hatta Menurut Taufik, meski di masa muda saling berkawan, namun bukan Sukarno yang menunjuk Noor sebagai gubernur Kalimantan. Semula Sukarno lebih memilih tokoh Kalimantan yang lain, Anang Abdul Hamidhan yang dikenal sebagai jurnalis pejuang. Hamidhan menolak karena ingin tetap berjuang sebagai wartawan. “Satu-satunya gubernur pertama yang bukan orang Sukarno itu adalah Mohammad Noor. Beliau lebih dekat dengan Bung Hatta,” kata Taufik. Bisa jadi penunjukan Noor terjadi karena hubungan baiknya dengan Hatta. Kerjasama keduanya cukup akrab menjelang hari-hari genting setelah Jepang akan angkat kaki dari Indonesia. Noor dan Hatta secara apik berkordinasi menggalang dukungan rakyat Kalimantan di Banjarmasin untuk sekubu dalam Negara Republik Indonesia. Kesan-kesan dan persingungan terhadap Hatta dikisahkan oleh Noor dengan gamblang dalam otobiografinya Teruskan… Gawi Kita Belum Tuntung . Dari segi ide, Noor lebih banyak belajar kepada Hatta. Menanggapi sosok yang pantas sebagai pemimpin di Kalimantan, Hatta lantas mengusulkan Noor. “Karena sering sama-sama berdiskusi dan menemani perjalanan Bung Hatta ke Kalimantan sebelum proklamasi,” tutur Taufik. Memimpin dari Jawa Untuk sementara Noor, berkantor di Jakarta. Menjadi gubernur saat revolusi bergolak tentu bukan perkara mudah. Di Kalimantan, keadaan yang dihadapi Noor cukup pelik. Infrastruktur dan fasilitas yang menunjang roda pemerintahan sangat terbatas. Di sisi lain, Belanda berniat kembali berkuasa di Kalimantan yang kaya sumber daya alam. Persoalan makin bertambah karena Kalimantan terdiri atas beragam kelompok sosial dengan kepentingan yang beragam pula. Tak sedikit kelompok yang cederung menerima kembali Belanda. Noor sendiri kesukaran untuk menjangkau daerah yang dipimpinnya. Ketika hendak berangkat ke Banjarmasin melalui Surabaya pada Oktober 1945, kapal "Merdeka" yang ditumpanginya terperangkap pasukan Sekutu yang melancarkan serangan ke Surabaya. Situasi yang tak kondusif, praktis membuat Noor tak berada di Kalimantan selama revolusi. Dia memerintah dari Yogyakarta merangkap sebagai penasihat presiden dalam Dewan Pertimbangan Agung. Untuk membiayai perjuangan, Noor bahkan tak lagi mempunyai dana pribadi. Atas rekomendasi Hatta, Noor memperoleh pinjaman dari BNI sebesar dua juta rupiah. Hampir seluruh perjuangan yang diprakarsai Noor untuk Kalimantan dibiayai dari dana tersebut. Kebijakan Noor yang paling terkenal ialah pembentukan pasukan elite MN 100 (Mohammad Noor 1001). Mereka berasal dari pemuda-pelajar Kalimantan yang dipersiapkan terjun ke palagan Kalimantan. Pasukan MN 1001 merupakan kekuatan revolusi terbesar kedua setelah ALRI Divisi IV Kalimantan. Sebagai komandannya ditunjuk seorang putra Dayak, Tjilik Riwut. “Penunjukan Tjilik Riwut sebagai komandan pasukan MN 1001 adalah contoh terbaik untuk melihat upaya Pangeran Noor membangun prinsip multikulturalisme dalam perjuangan. Dalam sejarah, kedua etnik ini memperlihatkan kontestasi dari waktu ke waktu,” tulis Taufik Ahmad dalam “Pangeran Mohammad Noor: Imaji Kebangsaan di Kalimantan” termuat di kumpulan tulisan Gubernur Pertama di Indonesia . Dari MN 1001, Noor mencetuskan gagasan pasukan payung ( para troops ) untuk menembus blokade laut Belanda di Kalimantan. Pada 1947, Noor menginisiasi pembentukan armada ALRI Divisi IV yang dipimpin oleh Kolonel Zakaria Madun yang kemudian diteruskan Hassan Basry. Terakhir, Noor bersama Sukardjo Wirjopranoto dan Mr. Soepomo menerbitkan majalah Mimbar Indonesia . Segmen pembaca yang disasar Mimbar Indonesia adalah rakyat Indonesia yang berada di daerah pendudukan Belanda. Di wilayah yang dikuasai Belanda, rakyat terpecah, terutama setelah Perjanjian Linggadjati. Media ini berperan besar dalam menggaungkan seruan integrasi Republik serta menolak konsep negara federal warisan Belanda. Jabatan gubernur disandang Noor hingga 1950. Pada 1956-59, Noor sempat menjadi Menteri Pekerjaan Umum era Kabinet Ali Sastroamidjojo II. Di masa Orde Baru hingga akhir hayatnya, Noor berkhidmat sebagai wakil rakyat Kalimantan dalam DPR/MPR. Gubernur pertama Kalimantan ini wafat di Jakarta 15 Januari 1979. Dia dimakamkan di Komplek Pemakaman Sultan Adam, Martapura, Kalimantan Selatan. Ketika ditetapkan tahun 2018, Noor menambah deretan pahlawan nasional dari etnis Banjar setelah Pangeran Antasari, Hassan Basry dan Idham Chalid.
- Lukisan Gua Tertua di Kalimantan Timur Terbaik di Dunia
TEMUAN ribuan gambar cadas ( rock art ) di pedalaman Kalimantan Timur menarik minat para peneliti untuk melakukan kajian sejak 28 tahun silam. Sudah sejak lama dinding-dinding ceruk dan gua di kawasan pegunungan karst Sangkulirang-Mangkalihat itu diketahui menyimpan gambar purba, seperti stensil tangan manusia, hewan, simbol-simbol abstrak, dan motif-motif yang saling berhubungan. Dalam penelitian termutakhir diketahui kawasan itu menyimpan gambar cadas tertua di dunia. Penelitian ini dilakukan di enam lokasi gua, yaitu Liang Jeriji Saleh, Liang Ham, Liang Karim, Liang Tewet, Liang Banteng, dan Liang Sara. Dengan metode analisis penanggalan U-series Geochemistry terhadap sampel di Liang Jeriji Saleh diperoleh usia 40.000 tahun yang lalu. Sampel ini berupa gambar figur hewan yang diperkirakan banteng liar. Sementara gambar negatif tangan berusia 37.000 tahun yang lalu. Sebelumnya, Puslit Arkenas dan Griffith University mengungkap gambar cadas di kawasan pedesaan Maros, Sulawesi Selatan, berusia 39.900 tahun yang lalu. “Temuan ini (di Kalimantan Timur, red. ) penting, karena mengungkap rock art tidak hanya berhenti di Maros. Namun juga ada di Kalimantan, kemudian di Sumatra (Gua Harimau, red. ),” kata Pindi Setiawan, peneliti gambar cadas dari Institut Teknologi Bandung (ITB), dalam konferensi pers "Inovasi Leluhur sebagai Penguat Karakter Bangsa: Pembuktia Gambar Cadas Tertua di Dunia", di Kemendikbud, Jakarta, Kamis (8/11). Menurut Pindi, gambar cadas yang ditemukan di kawasan Sangkulirang merupakan salah satu yang terbaik di dunia. Hal yang menarik di antaranya adalah evolusi kreativitas masyarakat pendukung gua. Tiga Fase Gambar Cadas Gambar cadas di kawasan pegunungan karst Sangkulirang-Mangkalihat memiliki tiga fase kronologis. Gaya tertua menunjukkan usia 40.000 tahun yang lalu. Cirinya adalah figur binatang berwarna oranye kemerah-merahan yang sangat besar. Fase kedua biasanya diwakili stensil tangan. Gambar tangan sering diisi dengan motif titik atau garis yang membentuk gambar pohon. Ini mungkin merupakan simbol hubungan kekeluargaan. Terkadang stensil tangan warna oranye kemerahan yang lebih tua tampak dicat ulang dengan cat berwarna murbei dan dimasukkan ke dalam motif pohon. Tahap akhir, usia 4.000 tahun yang lalu. Cirinya berbentuk antropomorfik, kapal, dan motif geometris. Biasanya gambar-gambar itu berwarna hitam. Lukisan dinding gua di Sangkulirang-Mangkalihat juga menunjukkan kondisi ekosistem dan kultur pada masanya. Misalnya, ada penggambaran trenggiling raksasa yang telah punah 32.000 tahun yang lalu. Ada juga penggambaran hewan sejenis tapir yang punah sekira 6.000 tahun lalu. Ada juga lukisan tombak. Padahal, senjata ini biasanya dipakai di daerah savana. “Tombaknya beda dengan yang dipakai suku-suku sekarang, ini teknologi ketika banyak semak, jadi mereka lari mengikuti binatang, sudah dekat baru ditombak, kalau dulu berbeda,” jelas Pindi. Dari segi penggambaran, Pindi membagi dua jenis gambar berdasarkan warna merah dan ungu. Gambar berwarna merah memperlihatkan bentuk hewan atau tumbuhan sebagaimana aslinya. Sementara warna ungu, dia menyebutnya sebagai bentuk adisatwa. “Maksudnya semacam binatang jadi-jadian, kalau tumbuhan, ya tumbuhan aneh, jadi-jadian mungkin istilahnya,” kata Pindi. Dari bentuknya, boleh jadi sudah ada pergeseran tingkatan budaya, dari Paleolitik atau perburuan awal ke tingkat lanjut. “Binatang jadi-jadian biasanya budaya Neolitik, tapi belum punya bukti,” tambahnya. Sementara Pindi melihat ada kemungkinan kalau manusia pendukung gambar cadas telah menempatkan gambar-gambar tertentu sesuai dengan posisinya. Misalnya, gambar binatang adisatwa seakan itu sengaja diletakkan di atas garis mata. “Ini menariknya. Gambar cadas punya cara lihat, ini terkait dengan psikologis sebagaimana yang kini dipelajari dalam desain interior, misalnya lafadz Allah biasanya akan diletakannya di atas,” jelasnya. Bukan Asal Gambar Secara umum, Pindi menjelaskan, kecenderungan para pembuat gambar cadas, baik dari masa Paleolitik, Mesolitik, maupun Neolitik, sangat senang dengan kehadiran cahaya bulan dan matahari. Hanya dua persen gambar cadas yang ditemukan di lingkungan yang gelap. "Jadi, ini keputusan desain yang diperhitungkan matang. Bukan sekadar grafiti," kata Pindi. Namun, pernyataannya itu dengan catatan, tak ada jaminan, kalau kondisi yang ditemukan pada masa kini sama seperti masa lalu. Pasalnya, di Indonesia, kondisi gua yang gelap biasanya lembab. Ini memungkinkan gambar-gambar dinding gua tak mampu bertahan lama. Sementara, ada beberapa indikator bagi sebuah gua atau ceruk yang mungkin menyimpan gambar di dindingnya. Salah satunya adalah mulut gua yang luas. Pun bentuk lubang ceruk atau gua biasanya juga berpengaruh, karena terkait dengan faktor angin. Indikator lainnya adalah morfologi lantai gua yang halus. Kata Pindi, morfologi lantai tak banyak berubah dari masa ke masa. Meski ketebalan lapisan gua berubah, morfologinya tetap akan mengikuti lapisan yang lebih tua. “Dinding yang bersih biasanya juga, tapi belum tentu dinding 40 ribu tahun yang lalu begitu juga. Lalu ada aroma. Ini subjektif, siapa tahu ribuan tahun lalu tak begitu,” lanjutnya.*
- Wadah Pembahasan Arah Kebudayaan dari Beragam Masa
SETELAH 100 tahun sejak pertamakali diselenggarakan pada 1918, Kongres Kebudayaan akan kembali digelar pada 3-4 Desember 2018. Kongres ini selain berupaya mengingatkan kembali semangat persatuan, juga membahas kondisi budaya terkini dengan makin masifnya arus informasi dan gerak budaya. “Ada kebutuhan untuk merumuskan kembali arah gerak kebudayaan karena kondisi revolusi industri 4.0 saat ini dan keadaan dunia yang cepat berubah,” kata Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid dalam Konferensi Pers Kongres Kebudayaan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayan, Jumat (9/11). Persiapan kongres sudah dimulai sejak Maret lalu lewat kongres kecil di tingkat kabupaten/kota yang membahas berbagai bidang. Ada 27 rumusan dari masing-masing bidang, seperti wayang, kesehatan tradisional, infrastukrur dll. Tiap daerah menyusun pokok kebudayaannya sesuai masalah yang dialami masing-masing daerah. Hingga hari ini sudah ada 206 daerah yang mengirimkan rumusan pokok kebudayaan. Menurut Hilmar, strategi kebudayaan akan berjalan kalau perumusannya dirasakan kepemilikannya oleh publik. Maka dari itu, penyusunan kongres untuk pertama kali dilakukan dari bawah. “Perumusan yang dilakukan dari bawah merupakan buah dari kecerdasan kolektif, bukan hasil pikiran dari para ahli. Ini adalah upaya menghimpun pendapat yang sifatnya sangat masif dan menjadi perbedaan utama dari kongres sebelumnya,” kata Hilmar. Pada kongres-kongres sebelumya penelusuran gagasan tentang kebudayaan nasional dilakukan melalui penyampaian makalah. Penyampaian oleh para ahli ini, di satu sisi tidak menyentuh masalah di akar rumput. Di samping itu, ekspresi budaya yang beragam tidak bisa disampaikan hanya lewat tulisan dan lisan. Oleh karenanya, dalam kongres kali ini Direktorat Kebudayaan memberi ruang apresiasi berupa pentas seni oleh para seniman dari berbagai bidang. Lebih lanjut Hilmar mengatakan, hasil kongres akan mengeluarkan rumusan strategi kebudayan yang disusun oleh 17 orang, termasuk di dalamnya Menteri Pendidikan dan Kebudayan Muhadjir Effendy. Rumusan ini kemudian diserahkan pada presiden dan menjadi salah satu acuan dalam pembangunan nasional sesuai amanat UU No. 5 tahun 2017. Kilas Balik Kongres Pertama Diselenggarakan pertama kali tahun 1918, Kongres Kebudayan mulanya merupakan Kongres Bahasa Jawa yang diprakarsai intelektual bumiputera dan Belanda: Raden Sastrowijono, dr. Radjiman Wedyodiningrat, Pangeran Prangwadono, dan D van Hinloopen. “Jelas ada keperluan untuk menyelenggarakan Kongres Budaya pada 1918 karna saat itu sedang ada kebangkitan nasional sementara beberapa masyarakat masih terbagi-bagi dalam kelompok etnis,” kata Hilmar. Kehadiran tokoh luar Jawa, seperti Dr. Hoesein Djajadiningrat menambah usulan baru bahwa kongres sebaiknya tidak terbatas pada orang Jawa saja sehingga menjadi forum bagi para ilmuwan untuk membahas inisiatif baru tentang budaya. Dalam kongres yang diselenggarakan di Solo, 5-7 Juli 1918, Sastrowijono sebagai ketua panitia menyatakan keprihatinannya atas ketidaktahuan masyarakat bawah akan budayanya sendiri. “Sebuah bangsa baru akan mampu memiliki jatidirinya apabila bangsa itu bertumpu pada sejarah dan budayanya sendiri,” kata Sastrowijono, seperti yang termuat dalam Bianglala Budaya. Ia juga menekankan pentingnya pendidikan budaya untuk mengimbangi pengaruh dari kebudayaan Eropa di era kolonial. Perhatian tentang perkembangan budaya menjadi bahasan utama dalam kongres tersebut. Sastrowijono dalam pidatonya menghimbau seluruh rakyat Jawa baik mereka yang dari Sunda, Madura, atau Jawa Tengah agar bersama-sama membahas arah perkembangan budaya dalam cita-cita kemerdekaan.
- Butet, Nyanyian Pilu di Tengah Perang
Maraden Panggabean masih berpangkat mayor ketika Belanda melancarkan agresi militer pertama di Sumatera Utara, Juli 1947. Dalam waktu singkat, Belanda menduduki daerah strategis seperti Tanah Karo, Deli Serdang, Simalungun, dan Asahan. Imbasnya, terjadi gelombang pengungsian besar-besaran menuju pedalaman Tapanuli. Diperkirakan sebanyak sejuta orang pengungsi mengalir ke sana. Dalam memornya, Maraden menyaksikan para pengungsi yang terpaksa berjalan kaki membawa barang seadanya. Orang tua, anak-anak dan bayi turut serta. Mereka biasanya mengikuti pasukan Republik yang mengundurkan diri. Medan yang ditempuh cukup rawan dan membahayakan. Mulai dari jalanan perkebunan, jalan setapak, rawa-rawa, hutan belantara, hingga pegunungan. Terik matahari dan hujan tropis acap kali mengiringi. Mereka semua menderita. “Ini membuat seorang komponis mengarang lagu Butet yang sangat populer itu, yang menggambarkan semangat berkobar-kobar dari seorang ibu yang ditinggalkan sang suami untuk pergi bergerilya melawan musuh,” kenang Maraden dalam Berjuang dan Mengabdi . Di era Orde Baru, Maraden kelak menjadi panglima ABRI periode 1973—1978. Butet yang populer hingga hari ini masih berselubung misteri. Tak diketahui siapa nama pengarangnya. Namun yang pasti lagu tersebut lahir di tengah rakyat yang dirundung perang lantas berkembang dari mulut ke mulut. Derita Pengungsian Butet adalah lagu rakyat Batak yang dialunkan dengan tempo mendayu. Isi lagu itu berkisah tentang seorang ayah yang terpaksa meninggalkan istri dan putrinya karena harus berjuang dalam perang gerilya. Menilik liriknya, lagu ini berupa tuturan perasaan sang ibu kepada putrinya yang dinamai Butet. Butet sendiri merupakan sebutan dalam bahasa Batak terhadap anak perempuan, seperti halnya nduk di kalangan suku Jawa atau neng bagi orang Sunda Rizaldi Siagian, etnomusikolog Universitas Sumatera Utara (USU) mengatakan bahwa bentuk melodi lagu Butet masuk dalam kategori nyanyian “lamenta” atau ratapan. Dalam tradisi musik vokal Batak disebut andung . Menurut Rizaldi, bila memperhatikan teksnya, lagu Butet populer sesudah masa kemerdekaan. Meski demikian, sukar untuk mengklaim siapa pencipta maupun komponisnya. “Penciptanya N.N. ( no name ), tak dikenal,” kata Rizaldi kepada Historia . Beberapa sumber sejarah ataupun kesaksian mantan pejuang mencatat serpihan kisah mengenai ihwal lagu Butet . Namun itu belum cukup kuat membuktikan darimana muasalnya. Tapi yang jelas, lagu itu lahir dari suasana penderitaan yang timbul akibat kecamuk perang. Amran Zamzami, mantan veteran pertempuran Medan Area menyebutkan bahwa lagu Butet lahir dari pertempuran-pertempuran yang terjadi di front Tanah Karo jelang agresi militer Belanda ke II. Lagu itu, menurut Amran, mengenang keheroikan masyarakat Karo yang pantang menyerah. “Pertempuran demi pertempuran dan nasib keluarga pejuang itulah yang mengilhami seorang seniman menciptakan lagu Butet ,” tulis Amran Zamzami dalam Jihad Akbar di Medan Area . Sementara mantan wartawan senior kota Medan Edisaputra dalam bukunya Sumatera dalam Perang Kemerdekaan: Perlawanan Rakyat Semesta Menentang Jepang, Inggris, dan Belanda mencatat pengungsian rakyat menyebabkan banyak ibu-ibu yang melahirkan bayinya secara darurat. Persalinan kerap terjadi di hutan-hutan, lembah yang lembab tanpa bantuan bidan atau dukun beranak. Banyak diantaranya yang meninggal, baik ibu maupun bayi. Selesai melahirkan, selang beberapa jam harus berangkat lagi meneruskan perjalanan. “Peristiwa yang tragis ini mengilhamkan bagi beberapa seniman sehingga terciptalah lagu “ Butet ”, lagu yang sangat digemari dan populer dikalangan pejuang,” tulis Edisaputra. Tercipta di Gua? Satu pertanyaan belum terkuak. Siapa yang menciptakan lagu Butet ? Menurut Jason Gultom, wartawan senior Batak Post yang berdomisili di Tapanuli Tengah, proses terciptanya lagu Butet berkaitan dengan pencetakan Oeang Republik Indonesia Tapanuli (ORITA) di Sitahuis. Pada 2008, ketika menjadi wartawan Metro Tapanuli Jason menelusuri langsung Desa Sitahuis yang berjarak 16 km dari Sibolga, ibu kota Kabupaten Tapanuli Tengah. Dari pengakuan warga setempat diperoleh keterangan bahwa Butet merupakan lagu pengantar tidur ( lullaby ) yang dinyanyikan seorang ibu untuk putrinya. Lirik aslinya pun telah mengalami gubahan yang sedikit berbeda dari versi sekarang. Lagu Butet di mulai dengan lirik, “ Butet di pangungsian do amangmu ale Butet // Da margurilla da mardarurat ale Butet.” Artinya, “ Butet di pengungsiannya ayahmu oh Butet // Bergerilya dalam darurat oh Butet.” Maka lirik aslinya menurut tua-tua di Sitahuis berbunyi, “ Butet di Sitahuis do amang mu ale Butet // Da mancetak hepeng ORITA ale Butet .” Artinya, “ Butet di Sitahuisnya ayahmu oh Butet // Mencetak uang ORITA oh Butet.” “Jadi ( Butet ) itu semacam lagu nina bobo yang dinyanyikan begitu saja dan kemudian jadi viral kalau istilahnya sekarang” kata Jason Gultom kepada Historia lewat sambungan telepon. “Menurut tuturan orang tua di sana, lagu itu dinyanyikan oleh (perempuan) boru Lumban Tobing di Gua Naga Timbul waktu mau menidurkan anaknya. Tak tahu siapa nama aslinya.” Jason menjelaskan, di Tapanuli Tengah, Belanda punya misi khusus memburu mesin percetakan ORITA. Pasalnya, keberadaan ORITA sebagai alat tukar menyebabkan mata uang Belanda tak berlaku di karesidenan Tapanuli. Untuk menghindari kejaran Belanda, rakyat Sitahuis khususnya perempuan dan anak-anak bersembunyi di tengah hutan dalam lahan gua yang dinamai Naga Timbul. Sementara kaum pria bertahan di Sitahuis untuk bergerilya ataupun mencetak ORITA. Pencetakan uang juga sempat berlanjut di Gua Naga Timbul. Bila lagu Butet bertemali dengan keberlangsungan ORITA, maka kapan persisnya lagu itu tercipta beriringan dengan aktivitas pencetakan. Sosok Ferdinand Lumban Tobing, residen Tapanuli saat itu menjadi cukup penting. Dengan bubuhan tanda tangannya lah maka ORITA sah sebagai mata uang dan alat pembayaran. Dalam Riwayat Hidup dan Perjuangan Pahlawan Kemerdekaan Nasional Dr. Ferdinand Lumbantobing karya H. Afif Lumbantobing disebutkan pencetakan ORITA dilaksanakan di Aek Sitahuis. Kegiatan pencetakan dimulai pada 15 Agustus 1947. Lagu Butet sendiri kian mengkhalayak ke seantero tanah air setelah penyanyi kawakan, Emilia Contesa ikut memopulerkannya pada dekade 1970-an. Dari lagu rakyat, ia menjadi lagu yang digemari skala nasional. Hingga kini, lagu Butet kerap diperdengarkan di mana-mana, dengan berbagai aransemen. Di rumah, di acara pesta, hingga di lapo tuak, senandung Butet membuat haru terkesima siapa saja yang mendengarmya.
- Gagasan Awal Taman Mini Indonesia Indah
Pengelola Taman Mini Indonesia Indah (TMII) kalang kabut pada akhir Oktober 2018. Tiga plang pajak dari Pemerintah Kota (Pemkot) Administrasi Jakarta Timur tiba-tiba terpancang di tiga objek wisata di dalam kawasan TMII. Pemkot menyatakan pengelola TMII menunggak pajak. Tapi pengelola TMII mengatakan sedang mengurus pembayaran pajaknya. TMII merupakan salah satu lokasi wisata favorit di Jakarta. Ratusan ribu orang mengunjungi TMII pada hari raya Lebaran 2018. Jumlah pengunjung turun pada hari-hari biasa, tapi akan meningkat lagi memasuki akhir pekan dan libur panjang. Mereka menjejaki Indonesia mini di lokasi ini. Aneka wujud kebudayaan dari 34 provinsi Indonesia tersaji di sini. Gagasan menyajikan aneka wujud kebudayaan Indonesia dalam sebuah taman besar berasal dari Siti Hartinah, atau biasa dipanggil Ibu Tien Soeharto, istri Presiden Soeharto. Ibu Tien memperoleh gagasan itu setelah berkunjung ke Thai-in-Miniature di Thailand dan Disneyland di Amerika Serikat. Dua tempat ini berfungsi memamerkan dan mempromosikan kebudayaan, segi sosial, pendidikan, ekonomi, dan pariwisata dua negara tersebut. “Setelah mengunjungi kedua tempat tersebut, Ibu Tien menginginkan agar di Indonesia terdapat suatu objek wisata yang mampu menggambarkan kebesaran dan keindahan tanah air Indonesia dalam bentuk mini di atas sebidang tanah yang cukup luas,” tulis Suradi H.P. dkk., dalam Sejarah Taman Mini Indonesia Indah . Ibu Tien dalam Penjelasan tentang Projek Miniatur ‘Indonesia Indah’ berbagi pengalaman ketika berkunjung ke luar negeri. Indonesia sering dipandang kecil oleh bangsa lain. “Masih sering didengar anggapan sementara orang asing bahwa Indonesia hanyalah terdiri dari Bali saja,” tulis Ibu Tien. Dia ingin mengubah pandangan tersebut. Caranya dengan membangun tempat seperti Thai-in-Miniature dan Disneyland. Ibu Tien menyampaikan gagasan ini kali pertama pada pertemuan pengurus Yayasan Harapan Kita (YHK) di rumahnya, Jalan Cendana No. 8, Jakarta, pada 13 Maret 1970. Dia bilang ingin membangun sebuah tempat untuk menampilkan keanekaragaman Indonesia. Dalam pandangan Ibu Tien, pembangunan tempat untuk menampilkan keanekaragaman budaya Indonesia lebih menyasar kepada kebutuhan mental dan spiritual bangsa. Pelengkap pembangunan ekonomi untuk kebutuhan fisik dan jasmani bangsa. Ibu Tien membayangkan tempat ini akan mempunyai sebuah kolam besar berbentuk kepulauan Indonesia. Tetanaman hias dari antero Indonesia berada di sekitar kolam. Kemudian ada pula bangunan-bangunan khas dari tiap daerah di Indonesia. Lengkap dengan perabot, pakaian, dan senjata adatnya. “Di dalam rapat ditentukan bahwa proyek tersebut bernama Miniatur Indonesia Indah,” tulis Tim Penyusun Apa dan Siapa Indonesia Indah . Kebanyakan pengurus YHK merupakan istri dari kawan-kawan Presiden Soeharto. Mereka mengagumi gagasan Ibu Tien dan sepakat mendukungnya. Ibu Tien meminta keterlibatan YHK dalam membangun Miniatur Indonesia Indah (MII). Sebab dia memandang tujuan YHK sejalan dengan gagasan pembangunan MII. Tujuan YHK ialah meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia dengan memberikan bantuan kepada instansi masyarakat berupa pendirian bangunan atau rumah. Status YHK adalah yayasan swasta. Pengurus YHK bersedia membantu Ibu Tien mewujudkan gagasannya. Tetapi mereka mengatakan gagasan Tien harus dirundingkan dengan banyak pihak. Usai rapat, mereka menghubungi Pemerintah DKI Jakarta. Ali Sadikin, gubernur Jakarta 1966—1977, tertarik dengan rencana pembangunan MII. “Proyek Miniatur Indonesia Indah memiliki maksud dan tujuan yang serupa dengan sebuah proyek yang pernah diusulkan DPRD DKI Jakarta pada tahun 1968,” tulis Indonesia Raya , 7 Desember 1972. Ali Sadikin mengatakan proyek itu mirip dengan proyek Bhinneka Tunggal Ika. Karena itu, dia bersedia menjadi project officer pembangunan MII. Ali Sadikin membantu YHK mencari lahan untuk pembangunan MII. Dia mengusulkan lokasinya berada di dekat Hotel Indonesia (HI). Tetapi lahan di sana kurang dari 20 hektar. Terlalu kecil untuk MII dalam gambaran Ibu Tien. Mereka lantas beranjak ke wilayah timur kota, ke Cempaka Putih. Lahan di Cempaka Putih lebih luas daripada di dekat HI. Tetapi masih kurang memuaskan Ibu Tien. Bayangan Ibu Tien, pembangunan MII bakal bertahap dan mengalami perluasan. Cempaka Putih hanya cukup untuk pembangunan tahap awal. Ali Sadikin kemudian menawarkan daerah Pondok Gede. “Di Pondok Gede, Pemda DKI menyediakan lahan lebih kurang 100 hektar,” kata Ali Sadikin kepada Ramadhan K.H. dalam Bang Ali: Demi Jakarta 1966—1977 . YHK menerima tawaran Ali Sadikin. Di sinilah MII kelak dibangun. Langkah berikutnya ialah penggalangan dana. Melibatkan gubernur se-Indonesia Sekalipun berlabel ‘mini’, pembangunan MII memerlukan biaya besar. Kira-kira Rp10,5 miliar. Karena itu, YHK memerlukan bantuan selain Pemda Jakarta. Ibu Tien mengakui hal tersebut di hadapan gubernur se-Indonesia di Istana Negara pada 30 Januari 1971. Dia membagikan proposal kepada 26 gubernur. Maksudnya jelas, meminta dana dari gubernur se-Indonesia. Selesai berbicara dengan gubernur se-Indonesia, Ibu Tien beralih ke perusahaan konsultan pembangunan. Dia menunjuk Nusa Consultans sebagai penyusun master plan MII pada 11 Agustus 197. Master plan berisi peta rencana tata letak bangunan, telekomunikasi, listrik, transportasi, biaya, dan perhitungan mengenai manfaat yang diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan. Master plan MII menyebut YHK menanggung biaya pembangunan sebesar 25 persen. Sisanya dibebankan kepada daerah tingkat I (provinsi) sebesar 16 persen, investor sebesar 45 persen, dan badan lain sebesar 14 persen. Pelibatan gubernur dan daerah tingkat I untuk turut mengeluarkan dana dalam pembangunan MII cukup aneh. Mengingat pembangunan MII berasal dari inisiatif yayasan swasta, bukan lembaga pemerintah. Tetapi langkah-langkah Ibu Tien ini belum diketahui oleh khalayak. Tidak ada pemberitaan apapun di media massa hingga akhir 1971, ketika master plan MII rampung dikerjakan oleh Nusa Consultants. Khalayak mengetahui rencana pembangunan MII setelah Ibu Tien mengumumkannya pada akhir November 1971. Dia tampil sebagai ketua Badan Pelaksana Pembangunan dan Persiapan Pengusaahaan Proyek (BP5) Miniatur Indonesia Indah. Dia menjelaskan secara lengkap gambaran MII: dari ide awal, susunan organisasi, sampai master plan MII. Sehari setelah penjelasan Ibu Tien tersebar luas di media massa, keriwuhan terdengar dari sana-sini. Banyak pihak, utamanya mahasiswa, menolak rencana Ibu Tien di tengah kemiskinan sebagian besar rakyat Indonesia. Ibu Tien cukup terkejut dengan tanggapan mahasiswa. Dia tak mengira gagasannya memperoleh tentangan dari kelompok yang turut membantu suaminya naik menjadi presiden.
- Gambar Cadas Tertua di Dunia Ada di Kalimantan Timur
GAMBAR cadas tertua di dunia baru saja diidentifikasi dalam gua di Kalimantan Timur. Lukisan figuratif di pegunungan terpencil Semenanjung Sangkulirang-Mangkalihat Kalimantan Timur itu berusia 40.000 tahun. Para peneliti dari Puslit Arkenas, Griffith University, dan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang berhasil mengungkapnya. Hasil penelitian ini dipublikasikan dalam jurnal Nature, Rabu (7/11). Sebenarnya, sejak 1990-an diketahui gua-gua di atas pegunungan terpencil di Semenanjung Sangkulirang-Mangkalihat menyimpan serangkaian gambar purba. Termasuk penggambaran stensil tangan manusia, hewan, simbol-simbol abstrak, dan motif-motif yang saling berhubungan. Dari gambar-gambar itu, yang tertua penanggalannya adalah gambar seekor hewan yang tidak teridentifikasi. Namun, diperkirakan lukisan itu spesies banteng liar yang hingga kini masih ditemukan di pedalaman hutan Kalimantan. “Penanggalan minimumnya sekira 40.000 tahun yang lalu. Hingga saat ini merupakan yang tertua yang ditemukan di muka bumi,” kata Adhi Agus Oktaviana, peneliti utama dari Puslit Arkenas, dalam konferensi pers berjudul "Inovasi Leluhur Sebagai Penguat Karakter Bangsa: Pembuktian Gambar Cadas Tertua di Dunia," di Kemendikbud, Jakarta, Kamis (8/11). Sementara itu, kata Adhi, untuk gambar tapak tangan di Kalimantan diperkirakan berusia sama. Ini memberi kesan bahwa tradisi gambar cadas Zaman Paleolitik pertama kali muncul di Kalimantan sekira 52.000 dan 40.000 tahun yang lalu. Penemuan ini menegaskan gambar cadas tidak hanya berkembang di Eropa sebagaimana yang diketahui selama ini. Sebelumnya, lukisan yang diyakini tertua berasal dari El Castillo, Spanyol. Usianya sekira 37.300 tahun. Dengan demikian, dua penemuan gambar cadas tertua muncul pada masa yang hampir bersamaan di ujung-ujung terjauh dan terpencil pada masa Paleolitik Eurasia. Satu di Indonesia. Satu lagi di Eropa. “Hampir sepanjang zaman es Kalimantan merupakan ujung paling timur dari lempeng benua Eurasia, yang terpisah dari Eropa di ujung barat sejauh 13.000 km,” ungkap Adam Brumm, arkeolog dari Griffith University. Sebelumnya, Puslit Arkenas dan Griffith University mengungkap gambar cadas di Sulawesi berusia 39.900 tahun yang lalu. Penelitian ini dipublikasikan dalam jurnal Nature (2014). Sulawesi yang terletak di tepi Eurasia merupakan batu loncatan yang penting antara Asia dan Australia. Maxime Aubert, peneliti lain dari Griffith University, mengatakan penelitian ini memberikan pandangan, gambar cadas menyebar dari Kalimantan ke Sulawesi dan dunia-dunia baru lainnya di luar Eurasia. “Kemungkinan muncul bersamaan dengan orang-orang pertama yang mengkolonisasi Australia,” kata Maxime. Soal siapa manusia di balik gambar cadas di Kalimantan Timur itu, hingga kini masih merupakan misteri. “Untuk mencari barangkali manusia pendukung dari peradaban itu, saya kira ini kerja sama berikutnya. Ekskavasi untuk menemukan ini agar bisa direkonstruksi budaya sosial dan spirit ideologi dalam kaitannya dengan penemuan-penemuan lainnya,” ujar I Made Geria, kepala Puslit Arkenas.
- PC2, Radio Penjaga Eksistensi Indonesia
SAKING senangnya, Opsir Udara III Boediardjo dan beberapa kawannya melompat sambil tertawa girang. Mereka kemudian saling berpelukan. Tingkah-polah mereka pada dini hari 2 Maret 1949 itu membingungkan pemilik rumah, Pawirosetomo dan istri. “Kami terangkan, bahwa siaran kami berhasil,” kenang Boediardjo dalam memoarnya, Siapa Sudi Saya Dongengi . Siaran radio yang dimaksud Boediardjo bukan siaran dari stasiun radio untuk tujuan komersil, melainkan siaran radio dari PHB (Perhubungan Udara) Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI). Siaran radio itu mengabarkan sebuah peristiwa penting yang menentukan kelanjutan eksistensi Republik Indonesia. Siaran tersebut merupakan buntut dari rentetan peristiwa yang diawali dari pendudukan ibukota Yogyakarta oleh pasukan Belanda dalam Agresi Militer II, 19 Desember 1948. Akibat pendudukan itu, AURI tak hanya kehilangan kepala stafnya yang ditawan Belanda ke Bangka tapi juga terpaksa memindahkan markasnya ke luar Kota Yogyakarta tak sampai sebulan kemudian. Namun, agresi itu telah diantisipasi KSAU Suryadarma sejak jauh hari. Alhasil, komunikasi radio republik tetap bisa berjalan baik dengan kota-kota lain di Jawa, dengan Sumatra, maupun dengan Burma dan India meski ibukota telah diduduki. “Sesuai dengan pertimbangan dan rencana cadangan yang telah dipikirkan oleh Suryadarma sebelumnya, pada pertengahan Desember 1948, ketika tersebar informasi tentang pihak Belanda yang akan melakukan serangan besar-besaran dengan tujuan sasaran Ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta, AURI menyembunyikan radio-radio pemancar apabila terjadi evakuasi. Sedangkan Playen di daerah Gunung Kidul dipersiapkan sebagai stasiun PHB alternatif apabila Yogyakarta diduduki Belanda,” tulis Adityawarman Suryadarma dalam Bapak Angkatan Udara Suryadi Suryadarma . Upaya Suryadarma sejalan dengan pesan terakhir Wapres Moh. Hatta. Sebelum ditangkap pasukan Belanda, Hatta sempat mengirim pesan radio melalui stasiun PHB AURI yang memerintahkan agar perjuangan harus terus dilanjutkan tak peduli apapun yang akan terjadi pada dirinya dan para pemimpin lain. Perintah wapres dan KSAU itulah yang ditindaklanjuti para personil AURI. “Setelah itu markas besar AURI di Terban Taman terpaksa harus dibumihanguskan. Saya dan adik saya, Basuki, berboncengan naik sepeda melaksanakan pembumihangusan itu. Dari sana saya menyingkir ke luar kota, menghimpun kekuatan gerilya melanjutkan perjuangan melawan Belanda,” ujar Boediardjo. Di Dukuh Banaran, Kecamatan Playen, Gunung Kidul, Boediardjo (kepala Jawatan PHB AURI) lalu meminta izin tokoh setempat, Pawirosetomo, untuk mendirikan stasiun darurat PHB di rumahnya. Berbekal izin Pawirosetomo itulah dia dibantu beberapa personil AURI dari Lanud Gading memasang perangkat-perangkat yang telah mereka persiapkan. “Antenanya kami rentangkan di antara dua batang pohon kelapa, yang tiap malam kami kerek naik, dan kami turunkan keesokan hari. Pemancar dan penerimanya diletakkan di daam dapur keluarga petani, dekat kandang sapi. Pembangkit listriknya disembunyikan di luweng dalam tanah ditutupi kayu bakar.” Stasiun radio dengan call sign PC2 itu pun beroperasi. Jalinan kontaknya dengan lebih dari 20 PBH AURI lain yang masih selamat membuat komunikasi republik tetap terjaga. “Komunikasi terus terjalin antara Pemerintah Darurat RI di Sumatra dan Pulau Jawa, termasuk pula dengan pemimpin RI yang tengah berada di dalam pengasingan di Pulau Bangka. Suryadarma, yang pada saat itu termasuk dalam tahanan Belanda yang diasingkan di Pulau Bangka, tetap dapat melakukan kontak dengan para personil AURI, baik yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri (Rangoon, Burma) melalui stasiun PHB Kutaraja, Aceh,” tulis Adityawarman. “Jaringan radio AURI berporoskan Aceh-Yogya, meliputi stasiun radio dalam pengungsian Kotaraja, Tarutung, Bangkinang, Pasir Pangreyen, Kotatinggi. Stasiun mobil mengikuti PDRI di daerah Kerinci, Lubuk Linggau, Wonosari, dan Jamus (sekitar Gunung Lawu). Selain itu, ada juga hubungan radio ke luar negeri, dengan satuan AURI/Indonesina Airways yang berpangkalan di Burma, lewat Aceh,” tulis Irna HN Sowito dkk. dalam Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950 . Untuk mengamankan PC2, para personil PHB Playen beroperasi hanya pada malam hari dan sebentar. Mereka mengacak frekuensi yang digunakan. “Apabila sandi diketahui pihak Belanda, pihak RI sudah siap untuk beraksi, mengubah kode, pindah jam siaran, bahkan kalau perlu pindah tempat,” sambung Irna. Para personil PHB Playen juga mengganti identitas mereka dengan nama samaran. Pada 28 Februari, KSAP Kolonel TB Simatupang mendatangi PHB Playen. Dia memberi secarik kertas berisi teks mengenai Serangan Umum 1 Maret yang mesti diberitakan kepada Boediardjo. Sebelum pergi, Simatupang membrifing Boediardjo. “Diwanti-wanti untuk menyiarkannya besok malamnya setelah terjadi Serangan Umum yang akan dilancarkan pada waktu subuh tanggal 1 Maret 1949,” tulis Boediardjo. Maka ketika pasukan republik telah melakukan serangan umum, PHB Playen pun melakukan tugasnya. “PHB AURI di Playen, Wonosari pada tanggal 2 Maret dini hari, memberitahukan kepada PHB AURI di Bukittinggi bahwa pada tanggal 1 Maret, Yogyakarta diduduki kembali oleh TNI. Berita itu langsung dikirim ke Takangon, Aceh. Selanjutnya diteruskan ke Rangoon, Burma. Sore harinya, Kusnadi dan kawan-kawan sudah mendengar berita tersebut disiarkan oleh Radio di New Delhi, All India Radio menyiarkan berita kemenangan ini ke seluruh penjuru dunia, hingga sampai ke PBB. Siaran tersebut telah membuka kedok Belanda yang selalu menggembar-gemborkan berita bahwa TNI adalah gerombolan pengacau dan Republik Indonesia sudah tidak ada lagi,” tulis Irna. Akibat siaran PHB Playen, Belanda marah bukan kepalang. Satu batalyon langsung dikerahkan ke Wonosari untuk mencari keberadaan PC2 pada 10 Maret. Namun, upaya itu gagal karena Boediardjo dan kawan-kawan telah lebih dulu memindahkan PC2 ke Desa Brosot di Wates. Keberhasilan siaran PC2 membuat Boediardjo dan kawan-kawannya senang bukan kepalang. “Keluarga Pawirosetomo tidak mengerti, mengapa kami sampai melonjak-lonjak kegirangan, saling berpelukan seperti orang kesurupan,” ujar Boediardjo.
- Asal Usul Alat Tulis
PADA 5000 SM, manusia mulai mengenal huruf-huruf dalam sistem tulisan. Sejak itulah berbagai media tulisan digunakan untuk mengekspresikan pikiran. Di atas berbagai perabot rumah, tanah liat, batu, piramida, cangkang kerang, dan logam, manusia lampau ribuan tahun lalu menuangkan segala ide dan kisahnya dengan menggunakan alat tulis. Pada 4000 SM, alat tulis mulanya adalah perkakas sederhana yang runcing di bagian ujung. Terbuat dari batu, kayu, atau tulang hewan. Teknologi masa kini memanjakan manusia dengan komputer atau tablet yang mampu membantu proses menulis. Inilah perkembangan alat yang dipakai manusia untuk menggoreskan kata demi kata, dari masa ke masa. Batu Runcing Goresan pertama manusia pada masa prasejarah berada di dinding-dinding gua, tempat mereka tinggal. Asal goresan tersebut diperkirakan sejak akhir masa Plestosen. Alat untuk menggores dinding goa tersebut adalah batu runcing (gurdi). Gurdi ini berupa kepingan batu yang dihaluskan, yang biasanya dapat pula untuk melubangi kulit binatang. Pena Buluh Pada 3000 SM penduduk Mesir menggunakan buluh tebal atau bambu kecil sebagai pena. Buluh tersebut diruncingkan ujungnya supaya dapat digunakan menggores lempengan tanah liat. Dengan pena buluh ini, masyarakat Mesir mengembangkan aksara Hieroglyph. Pena buluh ini digunakan pula masyarakat Arab kuno untuk menulis perkamen. Kuas Alat berupa kuas mulai digunakan sebagai peranti menulis sejak 3000 SM. Orang-orang dari peradaban Mesir Kuno menggunakannya untuk menulis di atas papyrus. Kuas terbuat dari helai rambut, diikat menjadi satu, disertai tangkai. Sementara tintanya terbuat dari campuran arang pinus, minyak lampu, dan gelatin dari kulit binatang. Sejak 1200-an SM, Asia terutama Tiongkok, telah mengenal teknik sapuan kuas dalam menulis. Di berbagai peradaban dunia sapuan kuas dalam menulis juga menjadi seni yang indah. Pena Alang Alang Masyarakat Mesir pun tercatat menggunakan pena alang-alang untuk menulis di daun papyrus. Tak sembarang alang-alang. Batang alang-alang yang kecil dan kuat justru menjadi pilihan. Batang alang-alang tersebut kemudian disimpan di bawah timbunan pupuk kandang hingga berubah warna jadi hitam bercampur kuning serta menjadi keras dengan permukaan halus. Quill Quill atau alat tulis dari bulu, umumnya bulu angsa atau bulu ayam, dikenal sejak masa Mesir Kuno. Seorang juru tulis kerajaan di Mesir sekira tahun 3000 SM menggunakan bulu yang dikunyah ujungnya agar membentuk filamen sebagai penahan tinta. Di Eropa, quill digunakan sejak abad ke-6 pertama kali muncul di Sevilla, Spanyol. Dengan adanya quill, orang-orang Eropa lantas mengubah gaya tulisan jadi lebih kecil. Meski tak praktis karena harus dicelupkan berkali-kali ke dalam tinta. Alat tulis ini masih dipakai hingga abad ke-19. Stylus Adalah bangsa Romawi yang kali pertama menggunakan stylus, peranti menulis dari logam, pada 1300 SM. Stylus digunakan sebagai alat tulis pada media tablet kayu yang dilapisi lilin tipis. Stylus tak menggunakan tinta karena tajamnya ujung stylus mampu membentuk tulisan pada lilin. Ujung atas stylus biasanya lebih lebar karena digunakan untuk menggosok lilin yang dipakai menghapus tulisan. Serupa stylus tradisional, teknologi terkini menggunakannya sebagai alat bantu pada peranti layar sentuh. Pensil Pada 1564 seorang tak dikenal menemukan potongan-potongan hitam mengkilap di sekitar akar pohon yang tumbang di Borrowdale, Inggris. Potongan hitam yang kemudian dikenal sebagai grafit ini bikin gempar karena ternyata dapat digunakan untuk menulis dan menggambar. Mulanya grafit hanya dilekatkan pada sebilah kayu seukuran alat tulis. Pada 1795, seorang ahli kimia Prancis, Nicholas Conté, mematenkan temuannya untuk pembuatan pensil. Dia mencampur grafit dan tanah liat lalu membakarnya sebelum dislipkan di antara potongan kayu bercelah. Setelah itu, muncul beragam inovasi, dari pengaturan ketebalan hasil tulisan hingga pensil warna. Meski pensil kayu masih bertahan hingga kini, namun telah ditemukan pensil bentuk lain, yakni pensil mekanik yang mulai populer pada abad ke-19. Pemilik paten pensil mekanik adalah Sampson Mordan dan John Isaac Hawkins. Lantaran pensil ini selalu tajam tanpa harus diraut, maka banyak orang umumnya beralih menggunakan pensil mekanik. Pena Mulanya pena modern adalah semacam pena bulu yang ujungnya diganti logam tajam. Ujung pena masih harus dicelupkan ke dalam tinta sebelum menulis. Kemudian ditemukan pena pada 1702 yang mampu menyimpan tinta dan dapat diisi ulang tapi desainnya tak praktis. Lewis Waterman, seorang pialang asuransi, pada 1884, menciptakan pena dengan saluran yang memungkinkan udara dan tinta bergerak secara simultan. Kemudian beberapa tahun setelahnya ditemukan konsep ballpoint yang mampu menciptakan pena dengan tinta yang keluar hanya saat ditekan untuk menulis. Pada 1940-an Lazlo dan Biro menyempurnakan prinsip ballpoint . Sekitar 1980-an diciptakan roller ball pen yang menggunakan tinta lebih cair dibandingkan ballpoint biasa sehingga mengharuskan penggunaan tutup pada pena. Spidol Spidol dikenal sebagai alat tulis dengan beragam aplikasi. Spidol digunakan, misalnya untuk menulis di whiteeboard atau penulisan yang umumnya menginginkan beragam warna. Sementara anak-anak kerap menggunakan spidol sebagai alat mewarnai. Spidol dengan ujung lebih tebal seringkali digunakan sebagai penanda. Adalah Lee Newman yang kali pertama mematenkan spidol pada 1910. Alat tulis ini memiliki resapan tinta dan ujung pena dari serat. Sabak dan Grip ORANG berumur 70-an mungkin sudah tak heran dengan keberadaan PC tablet. Sebab, dalam ingatan masa kecil mereka saat sekolah, ada alat tulis yang menyerupai PC tablet, yaitu sabak dan grip. Sabak adalah media untuk menulis, sedangkan grip adalah alat tulisnya. Inilah asal-muasal kata doosgrip , tempat pensil. Kelebihan pengguna sabak dan grip adalah kemampuan daya ingat penggunanya. Bagaimana tidak, setelah sabak penuh tulisan maka harus dihapus. Hal yang lebih menarik adalah cara membuktikan seorang murid mendapatkan nilai. Setelah hasil ulangan di sabak diberi nilai oleh guru, biasanya dengan kapur tulis, nilai itu kemudian ditempelkan di pipi kanan atau kiri. Bekas nilai yang menempel di pipi itu kemudian diperlihatkan kepada orang tua di rumah. Beruntunglah jika nilainya bagus, namun jika jelek?
- Balada Freddie Mercury dalam Bohemian Rhapsody
STADION Wembley, London, musim panas 1985, amat bergemuruh. Puluhan ribu orang yang menyesakinya menanti performer paling dinanti. Live Aid, konser musik terbesar semuka bumi untuk tujuan amal, itu serasa lebih hidup saat band Queen bersama frontman -nya, Freddie Mercury, selangkah lagi masuk panggung. Momen penantian terhadap Queen di konser amal untuk bencana kelaparan di Ethiopia yang digelar bersamaan di London dan Philadelphia pada 13 Juli 1985 itu dipilih sutradara Dexter Fletcher untuk membuka biopik Freddie Mercury bertajuk Bohemian Rhapsody . Dengan adegan pembuka itu Fletcher seakan ingin memberi spoiler untuk klimaks di akhir film yang mau-tak mau meringkas perjalanan band Queen sejak berdiri dengan formasi awal Freddie Mercury (Rami Malek) di lead vocal , Brian May (Gwilym Lee) pada gitar, dan Roger Taylor (Ben Hardy) sebagai penggebuk drum. John Deacon (Joseph Mazzello) sebagai bassist menyusul kemudian via audisi . Setelah memberi potongan tanggung dari momen Live Aid, Fletcher lantas ingin memberi sedikit wawasan tentang dari mana Freddie Mercury berasal, bagaimana latar belakang rockstar bernama asli Farrokh Bulsara itu, hingga perjumpaannya dengan Brian May dan Roger Taylor yang baru bubar dari band Smile. Tak ketinggalan, bagaimana Freddie secara tersirat jadi nakhoda Queen –dia yang mencetuskan nama Queen dan membuat logonya berbekal kemahirannya menggambar dan pengetahuannya sebagai mantan mahasiswa jurusan seni dan grafis– meski dia tak pernah mengakui memimpin band itu. “Saya bukan pemimpin Queen, saya hanya pemimpin vokal Queen,” tegas Freddie dalam sebuah konferensi pers. Fletcher memanjakan penonton dengan drama pertengkaran di internal Queen maupun drama kehidupan pribadi Freddie. Meningkatnya tensi plot Bohemian Rhapsody tak lepas dari kekecewaan Mary Austin (Lucy Boynton), kekasih Freddie, pasca-pengakuan Freddie kalau dirinya seorang biseksual. “Tidak, Freddie. Kamu seorang homoseksual,” cetus Mary. Freddie lantas terjerumus pada kehidupan yang lebih gelap bersama Paul Prenter (Allen Leech), manajer pribadinya. Karakter Prenter yang seolah dijadikan “judas” oleh sineas menambah bumbu melodrama yang bikin jengkel penonton. Momen pertemuannya dengan Mary di bawah guyuran hujan bak adegan-adegan receh film-film India lalu membuat Freddie tersadar dari “kepingsanannya”. Freddie rindu Mary, rindu teman-temannya di Queen yang meninggalkannya. Kerinduan itu makin menyakitkan lantaran hadir di saat hidup Freddie tinggal menghitung waktu akibat mengidap AIDS. Singkat cerita, konser Live Aid dijadikan sineas jadi ajang reuni Freddie dengan May, Taylor, dan Deacon. Adegan Konser Live Aid, Juli 1985. (Twitter @BoRhapMovie) Di konser itu, Queen membawakan sejumlah hits yang mendongkrak angka sumbangan. Lirik-lirik dalam enam lagu yang disenandungkan Freddie sangat menggambarkan kegelisahan hidupnya. Paling jelas termuat dalam “Bohemian Rhapsody”: Too late, my time has come. Send shivers down my spine, body’s aching all the time. Good bye everybody, I’ve got to go. Gotta leave you all behind and face the truth . Mama, ooh…I don’t want to die. I sometimes wish I’d never been born at all. Lirik yang bikin bergidik bulu roma itu seakan jadi pamitan buat Freddie untuk keluarga, teman-teman, dan penggemarnya. Ini jadi klimaks dan jadi pembuktikan Freddie mengamalkan ajaran ayahnya: Good thoughts, good words, good deeds (niat, kata-kata, dan tindakan yang baik). Fakta di Balik Bohemian Rhapsody Tiada gading yang tak retak. Bohemian Rhapsody tentu mendapat kritik di sana-sini . Itu tak lepas dari penggantian sutradara. Fletcher merupakan sutradara pengganti yang di credit namanya dikompensasi sebagai produser eksekutif. Sutradara aslinya, Bryan Singer, dipecat di awal produksi meski namanya tetap dicantumkan dalam credit . Sebagaimana beberapa kritik yang datang, duduknya Fletcher pada akhirnya membuat Bohemian Rhapsody lebih banyak memberi porsi pada orientasi seksual Freddie dan dampak-dampaknya. Proses berkarya Queen justru mendapat porsi minim. Formasi Queen yang diperankan Rami Malek, Gwilym Lee, Joe Mazzello & Ben Hardy. (foxmovies.com). Faktor minus lain adalah alur dan konflik dalam film ini biasa saja. Penambahan beberapa adegan dan karakter fiktif juga menjadi nilai minus. Itu terlihat, misalnya, dalam karakter Ray Foster (Mike Myers). Andy Greene dalam rollingstone.com , 1 November 2018, menyoroti tentang karakter petinggi label EMI tersebut. “Perannya adalah mengatakan pada Queen untuk membuat musik yang lebih komersil. Dia (Foster) juga benci lagu ‘Bohemian Rhapsody’. Nampaknya karakter ini terinspirasi dari bos EMI Roy Featherstone. Memang aslinya Featherstone sedikit protes tentang durasi lagu yang terlalu panjang. Tapi adegan yang diperankan Foster tidak benar alias fiksi,” sebut Greene. Sementara, Richard Brody dalam The New Yorker , 5 November 2018, menyesalkan Bohemian Rhapsody tak menggambarkan lebih jauh dari mana awalnya Freddie gandrung pada musik . “Tak menghadirkan masa kecil Mercury di Zanzibar, masa sekolahnya di Bombay dan kegemaran awalnya pada musik rock and roll .” Faktor lain yang mendatangkan kritik adalah, beberapa detail dalam film ini tak sesuai fakta. Itu terlihat dalam scene John Deacon sang basis ada di konser pertama Queen tahun 1970. Padahal, menurut Mark Hodkinson dalam Queen: The Early Years , Deacon bukanlah bassist pertama Queen. Pos itu pertamakali diisi Mike Grose, lantas Barry Mitchell, dan Doug Wood Boogie sebelum Deacon jadi personel tetap pada 1971. Freddie juga digambarkan bertemu Mary Austin di malam yang sama kala Freddie memperkenalkan dan menawarkan diri jadi vokalis pada May dan Taylor. Mary sendiri aslinya mantan pacar May dan baru jadian sama Freddie setelah sang bintang jadi vokalis tetap Queen. Jim Hutton, pacar gay terakhir Freddie, dikisahkan pertamakali bersua Freddie dalam sebuah pesta di mansion Freddie. Hutton yang menjadi pelayan, digoda Freddie. Faktanya, Hutton sebelumnya seorang penata rambut di sebuah salon di Hotel Savoy. Pertemuan pertamanya dengan Freddie terjadi di sebuah klub malam, bukan di kediaman mewah Freddie. Konser Live Aid juga dilukiskan film sebagai reuni Queen setelah masing-masing personilnya berpisah. Faktanya, Queen sudah reuni dan menjalani sebuah tur dua bulan sebelum Live Aid. Lalu, di konser Live Aid pada 13 Juli 1985 Freddie dideskripsikan mengetahui dirinya positif mengidap AIDS dari seorang dokter di sela-sela latihan dan persiapan Queen jelang Live Aid. Faktanya, Freddie baru mengetahui dirinya terdiagnosa mengidap AIDS pada akhir April 1987. Namun, overall film ini begitu berarti bukan semata bagi para fans Queen tapi juga pecinta musik rock. Queen dengan kejeniusan masing-masing personilnya tetah menawarkan bentuk baru musik rock, baik dari sisi musikalitas maupun aksi panggung. Film ini juga wahana nostalgia yang dimainkan dengan apik oleh Rami Malek dkk. Lagu-lagu Queen yang jadi sisipan banyak memancing penonton ikut melantunkan lirik, menghentakan kaki, atau sekadar memainkan jari mengiringi lagu-lagu itu.
- Pelawak Zaman Kuno
PEMAIN widu bernyanyi bersama. Tangkil hyang mendongeng. Pirus dan menmen menceritakan lelucon cabul. Pemain wayang wong disambut tawa dan sorak sorai. Penampilan mereka di panggung luar biasa. Warga desa yang menonton bersuka ria, tertawa terpingkal-pingkal, dan berteriak. Pertunjukan di sebuah pesta pernikahan itu dilukiskan Mpu Monaguna, pujangga dari Kadiri pada abad ke-13 M dalam Kakawin Sumanasāntaka. Teks itu menggambarkan keberadaan pelawan sejak masa lalu. Dan lawakan cabul rupanya menjadi daya tarik penonton. Menurut arkeolog Supratikno Rahardjo dalam Peradaban Jawa keberadaan pelawak juga disebut dalam beberapa prasasti. Mereka dikenal dengan men-men sebagai pemain pertunjukkan keliling dan ijo-ijo sebagai pemain lawak. Istilah widu dalam Sumanasāntaka merujuk pada aktor, seperti penari, penyanyi, pelantun, dan pemimpin pertunjukan. Namun, menurut Petrus Josephus Zoetmulder, ahli sastra Jawa Kuno, tak jelas apakah yang dimaksud pertunjukan tertentu. Tampaknya, pertunjukan dicirikan oleh mangidung, mawayang, atau berkaitan dengan macarita. Arkeolog Puslit Arkenas, Titi Surti Nastiti dalam Perempuan Jawa menulis bahwa masyarakat Jawa Kuno menyebut pelawak dengan abanol atau mabano dan pirus atau mamirus. Bedanya, abanol mengekspresikan lawakannya dengan gerakan. Sementara mamirus atau pirus melalui pemakaian kata-kata lucu. Dalam Prasasti Wukajana dari masa Balitung disebutkan adanya pertunjukan mamidu oleh sang Tangkil Hyang. Si Nalu menceritakan kisah Bhimma Kumara sambil menari memerankan tokoh Kicaka, si Jaluk menceritakan Ramayana, si Mungmuk melawak dengan gerakan tubuh yang lucu, dan si Galigi mendalang untuk hyang dengan cerita Bhimma Kumara. Lalu dalam relief Karmawibhangga di Candi Borobudur tergambar pemusik jalanan yang meniup sepasang terompet. Di hadapannya, menurut Titi, berdiri seorang laki-laki dalam gerakan lucu. Para penonton pun tertawa melihatnya. Supratikno menduga pelawak tak hanya tinggal dan melakukan aktivitas di desa, pasar, dan daerah sima. Mereka juga sering melawak di istana. Dalam Kakawin Nagarakrtagama disebutkan pelawak hadir menghibur para tamu dalam pesta tahunan kerajaan setiap bulan Palguna di akhir tahun Saka. Seluruh warga Majapahit mengadakan pesta untuk menghormati Sang Prabu. Acara puncak perayaan dipusatkan di ibukota kerajaan. , seorang ronggeng menandak sambil melawak berpasangan dengan pejabat sepuh daerah. Kerena berbakat membadut, dia dengan kocaknya memperagakan isi kidung yang ditembangkannya. Dia berjalan berkeliling menjemput pejabat untuk menari dengannya. Pola tingkahnya menerbitkan gelak tawa. Dia sampai dipanggil Sri Paduka untuk minum bersama. Dia dianugerahi kain indah oleh beberapa pejabat.
- Menyambung Nyawa di Udara China
TEROR pemboman udara Jepang menghantui Kota Chongqing (Chungking) dan sekitarnya. Chongqing menjadi ibukota darurat Republik Cina di bawah pemerintahan nasionalis pasca-jatuhnya Nanjing (Nanking) akibat serbuan Jepang pada Perang Sino-Jepang II yang bermula pada 7 Juli 1937. Chongqing mulai jadi sasaran pemboman pesawat-pesawat Jepang pada 18 Februari 1938. Nyaris 300 serangan udara dengan ribuan ton bom tercatat digulirkan pesawat-pesawat Kaigun (Angkatan Laut) dan Rikugun (Angkatan Darat) Jepang. Sasarannya tak hanya basis-basis militer, namun juga sejumlah sekolah, rumahsakit, gereja, dan permukiman sipil. Kengerian invasi dan pemboman itu, yang diselingi beberapa rekaman asli, menjadi narasi pembuka film bertajuk Air Strike garapan sutradara Xiao Feng. Sang sineas ingin lebih dulu mengingatkan penonton akan keganasan agresi Jepang dan dampak-dampaknya yang tak terperikan sebelum menyajikan beragam plot dramatis dan heroik seputar tragedi berdarah di Chongqing. Premis film ini berfokus pada tiga sub-kisah yang lantas mengerucut di pertengahan film. Pertama , tentang sebuah skadron berisi para kadet muda Angkatan Udara (AU) Cina yang dipimpin penasihat militer Amerika Serikat (AS) Kolonel Jack Johnson (Bruce Willis). Kedua , tentang seorang opsir penerbang Xue Gang Tou (Liu Ye) yang punya misi menyelundupkan mesin kode buatan Inggris, dan ketiga, kisah seorang Paman Cui (Fan Wei) yang mewakili kegetiran hidup warga sipil Chongqing akibat teror pemboman. Tak ketinggalan, Air Strike juga menyisipi aktivitas rumahsakit dengan banyak tenaga medis asing, termasuk dokter asal Amerika Steve (Adrien Brody), yang kepayahan akibat terus kebanjiran pasien akibat pemboman. Adrien Brody (kanan) di suatu adegan dalam film Air Strike. (Lionsgate). Dalam kisah skadron yang berbasis di Pangkalan Udara Chongqing, Kolonel Johnson tak hanya direpotkan oleh minimnya alutsista tapi juga oleh inferiornya kekuatan AU Cina. Hanya dengan belasan pesawat tempur buatan Uni Soviet seperti Polikarpov I-15 (153) dan Polikarpov I-16, mereka mesti menghadapi kekuatan udara Jepang yang lebih superior dengan pesawat Zero dan pesawat Pembom Mitsubishi G3M-nya. Ego menggebu untuk membalas kekejaman Jepang para kadetnya acapkali juga merepotkan Johnson. Tak jarang mereka indisipliner dan sulit menerima keputusan-keputusan strategis. Satu per satu pilot Cina yang memberi perlawanan terhadap teror udara Jepang berguguran. Untung mereka gugur setelah memberi perlawanan sengit dengan manuver-manuver ciamik. Sementara, perjuangan Gang Tou, pilot yang di- grounded untuk mengawal misi penyelundupan mesin kode, juga tak kalah pelik. Dia berjibaku melindungi truk bermuatan penting itu dari Pelabuhan Yixi menuju markas pusat militer Cina di Chongqing. Bahaya tak semata berasal dari serangan udara Jepang, tapi juga dari mata-matanya. Adapun Paman Cui, yang remuk hatinya setelah tahu putranya tewas oleh serdadu Jepang, memilih mendarmabaktikan dirinya untuk kepentingan militer Cina. Uang yang didapatnya dari kontes burung dan permainan Mahjong, dia donasikan untuk militer dan jadi inspirasi buat warga lainnya untuk melakukan hal serupa. Bagaimana kelanjutannya? Baiknya Anda tonton sendiri. Film ini dirilis pada 26 Oktober 2018, setelah sempat beberapa kali ganti judul. Sebelum berjudul Air Strike , film ini hendak diberi judul The Bombing dan Unbreakable Spirit . Film bergenre fiksi action yang berangkat dari kepedihan semasa pendudukan Jepang ini tak hanya menampilkan drama tapi juga memanjakan para pecinta genre perang, khususnya pertempuran udara. Visual efek pertempuran udaranya cukup apik dan kualitasnya hanya sedikit di bawah film-film sejenis di era modern, seperti Hurricane (2018), Eternal Zero (2013), Red Tails (2012), The Red Baron (2008), For Those We Love (2007), Flyboys (2006), Pearl Harbor (2001), atau The Tuskegee Airmen (1995). Adegan duel udara Zero Jepang vs I-16 Polikarpov dari AU China. (Lionsgate). Fakta Film dan Sejarah Kendati suara tangis bayi dan anak-anak korban pemboman Jepang dalam berbagai adegan film berbujet 982 miliar rupiah ini terasa menusuk di hati, Air Strike “terpeleset” dalam beberapa detail. Satu di antaranya soal dialog. Kealpaan ini turut disayangkan kritikus Anthony Kao. Dalam cinemaescapist .com, 26 Oktober 2018, dia menyoroti dialog antara Kolonel Johnson dan An Ming Xun (Song Seung-heon), wartawati cantik Xinhua Daily , di markas skadron. “Tambah aneh dan tak logis sebenarnya adegan itu sendiri,” ujar Kao. Yang jauh lebih penting, sutradara menggarap film ini terlalu bernuansa Hollywood. Xiao Feng sama sekali tak menggambarkan atau sekadar menyinggung keberadaan pelatih maupun pilot-pilot Uni Soviet. Padahal faktanya, menurut John Erickson dalam The Soviet High Command: A Military-Political History, 1918-1941 , Soviet jadi penyokong pertama AU Cina dalam Perang Sino-Jepang II lewat pendirian Soviet Volunteer Group. Pilot-pilot sukarelawan Uni Soviet di suatu pangkalan di China pada 1938. (Wikimedia Commons). Sejak Desember 1937 sampai 1940, Soviet tercatat memberi bantuan 563 pesawat tempur dan 322 pesawat pembom yang tidak hanya untuk diterbangkan para pilot sukarelawan Soviet namun juga pilot-pilot Cina di berbagai pangkalan. Penggunaan pesawat Polikarpov I-153 dan I-16 di film ini menjadi buktinya. Memang, sejak ditandatanganinya Pakta Non-Agresi antara Jepang dan Soviet pada April 1941, para pilot sukarelawan Soviet ditarik dari Cina. Itu menyebabkan Cina mengalihkan permohonan bantuan pada Amerika, yang kemudian melahirkan American Volunteer Group (AVG) “Flying Tigers” di bawah komando Brigjen Claire Lee Chennault. Apalagi Xiao Feng mengklaim film fiksinya ini terinspirasi dari kisah nyata. Mestinya eksistensi sokongan Soviet tetap ditampilkan mesti porsinya secuil seperti, misal, dalam Hurricane yang lebih dulu rilis di tahun ini. Kendati yang jadi fokus pengisahannya adalah para pilot Polandia yang bertempur di angkasa Inggris, film itu tetap tak menyingkirkan fakta keberadaan seorang pilot Cekoslovakia dan instruktur asal Kanada di sebuah unit tempur yang sohor, Skadron 303. Satu “kepelesetan” lain yang patut disoroti dari film ini, adalah keberadaan sebuah pesawat tempur P-40 Warhawk. Entah bagaimana datangnya pesawat baru yang sekonyong-konyong jadi rebutan dua penerbang Cina ini. Mestinya, tak hanya ada satu pesawat yang jadi alutsista tambahan dari Amerika sejak menggantikan Soviet pada 1941. Dalam Army Air Forces in WWII: Vol. 1 , tercatat Amerika menghibahkan ratusan pesawat berbagai jenis hingga berakhirnya Perang Pasifik. Data Film Judul: Air Strike | Sutradara: Xiao Feng | Produser: Jian-Xiang Shi, Buting Yang | Pemain: Bruce Willis, Adrien Brody, Rummer Willis, Fan Bingbing, Liu Ye, Song Seung-heon, Fan Wei | Produksi: China Film Group Corporation, Origin Films, Shanghai Nangou Films, Hollywood International Film Exchange| Distributor: China Film Group Corporation, Blue Box International | Genre: Drama Perang | Durasi: 96 Menit | Rilis: 26 Oktober 2018.
- Cara Berpakaian Orang Jawa Kuno
TAK kalah menawan dengan Putri Indumati, ina dan uwa- nya, bersolek mengenakan baju merah. Keduanya belum terlalu tua. Rambut mereka bergelombang, diselingi warna kelabu. Lalu para dayang belia datang bagaikan dewi, mengenakan kemben kain wulang emas. Selendang emas murni yang mereka sampirkan pada bahu tampak berkilauan seperti sayap untuk terbang. Mereka masih keturunan bangsawan sahabat raja. Mereka tengah menghadiri sayembara memperebutkan Putri Indumati. Suasana itu diungkapkan oleh Mpu Monaguna, pujangga dari Kadiri pada abad ke-13 M lewat karyanya Kakawin Sumanasāntaka. Dari gambaran singkat itu terbayang bagaimana pakaian orang-orang pada masa lalu. Selain dari karya sastra, informasi itu juga muncul dalam relief candi dan prasasti. Menurut Petrus Josephus Zoetmulder, ahli sastra Jawa Kuno, kain wulang adalah perangkat busana perempuan saat seremonial. Bentuknya secarik kain dengan panjang sekitar lima belas kaki yang dililitkan pada batang tubuh. Wulang menutupi tubuh dari pinggang sampai batas atas payudara. Perlengkapan sandang yang dipakai pada abad ke-13 M itu sedikit berbeda dengan cara berpakaian empat abad sebelumnya. Inda Citraninda Noerhadi dalam Busana Jawa Kuna mengelompokkan jenis pakaian yang dijumpai dalam relief di kaki Candi Borobudur. Kebanyakan, khususnya perempuan, digambarkan tak menutupi bagian payudara. Pakaian perempuan paling sederhana hanya selembar kain. Panjangnya sebatas lutut. Cara pakainya diputar di badan dari arah kiri ke kanan dan berakhir di sisi kanan. Kain itu dipakai di bawah pusar. Mereka tak memakai perhiasan atau hanya anting-anting sederhana. Terkadang dilengkapi selendang atau kain kecil di bagian pinggang. Dalam relief itu, perempuan juga digambarkan memakai kain dari sebatas bawah pusar hingga mata kaki atau pergelangan kaki. Mereka biasanya pakai kalung, anting-anting, dan ikat pinggang berupa kain. Hiasan di kepala berupa rambut yang disusun ke atas atau disanggul. Sebagian yang lain, pakaiannya berupa kain panjang yang sama seperti sebelumnya. Namun, dihiasi dengan ikat di bagian pinggul dengan hiasan permata dua susun. Pakaiannya lebih kaya dengan beragam perhiasan, gelang, kalung, anting-anting, kelat bahu, gelang kaki. Dipakai juga semacam tali polos yang diselempangkan dari bahu kiri ke pinggang kanan. Hiasan kepalanya berupa susunan rambut yang diangkat tinggi dan diberi tambahan dengan hiasan permata. Sementara untuk pakaian pria, yang paling sederhana hanya memakai kain serupa cawat atau celana pendek. Ada pula yang memakai kain pendek sampai lutut atau kain panjang hingga mata kaki. Mereka memakai perhiasan seperti gelang, kalung dan anting-anting, ditambah ikat pinggang. Rambutnya disanggul dan diberi hiasan seperti bunga-bunga. Pakaian lengkap biasanya kain panjang dilengkapi ikat pinggang berhiasakan permata. Ikat dada, selempang kasta atau . Perhiasannya ramai, seperti gelang, kalung, anting-anting, kelat bahu, dan gelang kaki. Hiasan kepalanya berupa mahkota yang tinggi berhias permata. Kelas Sosial Berdasarkan gambaran relief itu, Inda melihat masyarakat biasanya tak memakai perhiasan. Mereka yang berkedudukan tinggi secara sosial seperti bangsawan yang mampu memakai beragam perhiasan, seperti mangkota, anting, kelat bahu, kalung, gelang, gelang kaki, dan sebagainya. “Pada masyarakat berstatus rendah pakaian fungsinya menutupi dan melindungi, sedangkan untuk yang berstatus tinggi berfungsi menghias tubuh,” jelas Inda. Beda lagi dengan kaum brahmana. Para pendeta digambarkan berjubah yang bahu kanannya terbuka. Dalam prasasti para pendeta diberi pakaian khusus yang disebut sinhel. Hal yang sama diungkapkan catatan Sejarah Dinasti Liang dari abad ke-6 M. Di Jawa, baik pria maupun wanita tidak ada yang mengenakan penutup dada. Namun, mereka mengenakan sarung katun untuk menutupi bagian bawah tubuh. Rambut mereka dibiarkan tergerai. Sementara kalangan bangsawan dan raja mengenakan kain bergambar bunga yang tipis (selendang) untuk menutupi bagian atas tubuh. Mereka pun mengenakan ikat pinggang emas dan anting-anting emas. “Gadis-gadis muda menutupi tubuh mereka dengan kain katun dan mengenakan ikat pinggang sulam,” ungkap catatan yang diterjemahkan W.P. Groeneveltdt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa itu . Tak cuma dari cara berpakaian. Jenis kain pun menunjukkan identitas sosial. Supratikno Rahardjo dalam Peradaban Jawa mengungkapkan berdasarkan data prasasti pakaian laki-laki biasanya disebut wdihan . Sedangkan pakaian untuk perempuan disebut kain atau ken. “Saat upacara sima , di awal rangkaian acara pimpinan desa, yang mendapat anugerah sima dari raja, membagikan harta kekayaannya kepada anggota masyarakat yang berasal dari berbagai lapisan sosial, salah satunya pakaian,” jelas Supratikno. Supratikno menyebutkan beberapa jenis kain yang dikenal dalam sumber-sumber Jawa Kuno. Kain yang masuk dalam jenis wdihan adalah ganjar haju patra sisi, ganjar patra sisi, ganjar haji, ganjar patra, jaro haji, jaro, bwat kling putih, bwat pinilai, pinilai, bwat lwitan, kalyaga, pilih angsit, rangga, tapis, siwakidang, bira/wira, jaga, hamawaru, takurang, alapnya, sularikuning, ragi, pangalih, ambay-ambay, lunggar, bwat waitan, cadar, lwir mayang, putih, raja yoga, pamodana, ron paribu, suswan, prana, sulasih, tadahan, dan syami himi-himi. Sementara yang termasuk ken/kain adalah jaro, kalagya, pinilai, bwat wetan, bwat lor, pangkat, bwat ingulu, kalangpakan, atmaraksa. kaki, putih, rangga, dan kalamwetan. Kain-kain itu, menurut Inda, diberikan kepada seseorang sesuai status sosialnya. Dalam Prasasti Rukam 829 saka (907 M) disebutkan kain jenis ganjar patra diberikan kepada , gelar untuk putra sulung raja. Sementara dalam Prasasti Tunahan 794 saka (872 M) ganjar patra diberikan kepada Sri Maharaja. Pilih maging dalam Prasasti Sangsang (829 saka) juga diberikan kepada Sri Maharaja. Sementara dalam Prasasti Lintakan (841 saka) kain yang sama diberikan kepada . “Di dalam Prasasti Poh (827 saka) wdihan kalyaga diberikan kepada , , , , ,” jelas Inda. Di dalam Prasasti Mulak 800 saka (878 M) disebutkan kain jenis wdihan rangga diberikan kepada . Dalam Prasasti Humanding 797 saka (875 M) wdihan angsit diberikan kepada . Wdihan bira dalam Prasasti Kwak I (801 saka) diberikan kepada pejabat , , , , dan sebagainya. Dalam Prasasti Gandhakuti (1042 M) disebutkan penerima hak istimewa diperbolehkan memakai apa saja yang biasa dipakai di dalam Mereka diperbolehkan memakai pakaian pola ringring bananten yang mungkin artinya kain halus, patarana benanten, kain berwarna emas, pola patah, ajon berpola belalang, berpola kembang, warna kuning, bunga teratai, berpola biji, kain dengan motif bunga teratai hijau, sadangan warna kunyit, kain nawagraha , dan pasilih galuh. “Contoh dalam kebudayaan Jawa (sampai sekarang, ) ternyata terdapat aturan menggunakan pakaian yang berkaitan dengan status sosial,” kata Inda. “Pada penggunaan kain batik, ada motif yang merupakan pantangan.”






















