top of page

Hasil pencarian

9594 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Ajaran Amal untuk Ilmu Kebal

    KISAH perjuangan revolusi kemerdekaan di Indonesia seringkali berlumur bumbu mistis. Ganasnya peperangan melawan Belanda membuat para pejuang mencari berbagai cara untuk bertahan dalam pertempuran. Menjadi kebal adalah salah satunya. Menurut Kapten Soegih Arto, di masa revolusi banyak sekali pemuda pejuang yang berusaha memperoleh jimat. Benda bertuah itu diharapkan akan membuat mereka kebal dari tembakan pelutu ataupun tikaman bayonet. Beberapa dari mereka ada yang mencari sendiri atau mendapatkannya dari kiai maupun “orang pintar”. Ada yang dikalungkan di leher. Ada yang harus diikatkan di kepala. Ada harus dipakai sebagai sabuk, dan lain sebagainya. “Apakah mereka dapat dipersalahkan? Saya rasa tidak,” tutur Soegih Arto dalam otobiografinya Sanul Daca: Pengalaman Pribadi Letjen (Pur.) Soegih Arto . “Mereka telah ikut berjuang dengan caranya sendiri sesuai dengan kemampuannya.”     Soegih Arto mahfum terhadap fenomena tersebut. Pada 1946, dia merupakan komandan batalion yang bermarkas di Cibatu, daerah Garut, Jawa Barat. Soegih Arto sendiri pernah ditawari ilmu kebal oleh tetangganya di Cibatu bernama Dendadikusuma. Pak Denda –panggilan akrabnya– dikenal sebagai orang pintar yang menurut Soegih Arto setaraf dengan Dr. Sosrokartono, kakak R.A. Kartini. Agar menjadi kebal, Pak Denda mengajukan sejumlah syarat ringan yang mesti dipenuhi. Syaratnya adalah puasa tujuh hari berturut-turut. Puasa dilakukan pada siang hari. Kalau tiba waktu malam, boleh buka puasa. Setelah selesai puasa tujuh hari, maka harus menghadap Pak Denda lagi untuk menerima syarat lanjutan. Soegih Arto menjalani puasa dengan penuh semangat berharap akan memperoleh kekebalan yang diidam-idamkannya. Ketika bertemu kembali dengan Pak Denda setelah sepekan berpuasa, Pak Denda menanyakan ilmu kebal seperti apa yang diinginkan. Kebal kasar atau kebal halus. Kebal kasar membuat si penganutnya tidak terluka sekalipun ditembak atau dibacok. Sementara kebal halus, orang yang berniat jahat terhadap si penganutnya hanya akan mentok di niat saja. Soegih Arto memilih kebal halus. Pak Denda sangat gembira mendengar pilihan itu. Orang lain biasanya memilih kebal kasar karena khasiatnya tahan dari segala senjata sehingga kesaktiannya akan tersiar kemana-mana. Kalau kebal halus, maka tidak ada orang lain yang bisa mengetahui keampuhannya. Pun demikian dengan  kehebatan pemakainya yang tidak akan ditakuti atau disegani orang sebagaimana penganut kebal kasar. Pak Denda melanjutkan syarat berikutnya untuk menggapai ilmu kebal. Katanya, untuk kebal halus, kita harus berlaku sopan santun dan berbudi luhur terhadap sesama manusia. Inilah kunci kebal halus. Soegih Arto masih menanti syarat lanjutan tetapi hanya itulah wasiatnya. “Rasa kecewa tidak tertahan. Saya diam menunduk kesal. Tujuh hari saya berpuasa dan apa hasilnya? Nol besar,” gerutu Soegih Arto. Soegih Arto pulang dari rumah Pak Denda tanpa pamit. Dia merasa tertipu. Setelah merasa tenang, Soegih Arto mencoba merenungkan kembali perkataan Pak Denda. Lambat laun, pikiran Soegih Arto jadi terbuka dan akhirnya dapat menerima wasiat tersebut. “Kalau kita terapkan kata-kata ini, siapa yang akan memusuhi kita? Siapa yang tidak akan suka kepada kita? Kalau semua senang, tentunya tidak akan ada musuh. Kalau tidak ada musuh, siapa yang akan jahil kepada kita? Dalam benar ajaran itu,” kenang Soeigh Arto. Menyesal telah berburuk sangka, Soegih Arto kembali mendatangi Pak Denda untuk minta maaf. Tidak luput ucapan terimakasih dari Soegih Arto atas wejangan Pak Denda. Di dalam hatinya, Soegih Arto berikrar untuk menerapkan “ilmu” yang sudah diperolehnya.*

  • Akar Sejarah Yogurt

    Kata ‘yogurt’ berasal dari bahasa Turki, bermakna ‘yang akan dibekukan atau digumpalkan’. Berkembang ke seantero jagad karena dipandang sebagai makanan sehat.

  • Suara Angklung dari Timur

    DI bawah guyuran hujan, ratusan pelajar dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas adu kebolehan di atas panggung. Mereka berusaha tampil atraktif dan penuh semangat dalam memainkan angklung. Berlompatan di atas panggung, atau melompat sambil memukulkan dua kentongan bambu sehingga menghasilkan tampilan unik.  Bukan hanya permainan musik yang rancak. Mereka juga beradu menebak dan menembang gending  (lagu) asli Banyuwangi seperti Thong-thong Bolong, Padang Ulan, Mak Ucuk, Pethetan, Bang Cilang-Cilung, Peteg-peteg Suku, dan Untring-untring. Tak ketinggalan pula jogedan dan celotehan-celotehan lucu yang mengocok perut penonton. Para penonton pun senang dan tertawa menyaksikan aksi para peserta Festival Angklung Caruk Pelajar di Gesibu, Banyuwangi, awal 2018. Angklung caruk adalah salah satu kesenian khas yang tumbuh di masyarakat Banyuwangi. “Caruk” artinya bertemu. Sekurang-kurangnya dua kelompok saling caruk  untuk bertanding memainkan angklung. Mereka juga memiliki suporter untuk memberi dukungan jagoannya dan menjatuhkan mental lawan. Festival Angklung Caruk merupakan salah satu acara yang masuk dalam agenda wisata tahunan Banyuwangi Festival.   Setelah angklung caruk, beberapa bulan kemudian giliran Festival Angklung Paglak digelar di hamparan hijau Bandara Banyuwangi. Dalam festival ini, para pemusik berusaha menghasilkan alunan musik yang terbaik. Mereka unjuk kemahiran memainkan angklung di atas paglak atau menara bambu. Semakin kencang pukulannya, menara bambu ikut bergoyang kian kencang. Inilah ciri khas kesenian ini. ”Angklung paglak adalah salah satu kesenian tertua di Banyuwangi. Ini kearifan lokal warga yang luar biasa. Kita ingin menunjukkan bahwa kearifan lokal bukan masa lalu, tapi masa depan,” ujar Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas di laman Pemkab Banyuwangi. Ekspresi Pak Tani Banyak orang mengenal angklung berasal dari daerah Jawa Barat. Alat musik bambu yang kini terdaftar sebagai Warisan Budaya Dunia UNESCO ini lekat dengan orang Sunda. Namun, angklung ternyata juga berkembang di ujung timur Jawa. Jika angklung Sunda dijinjing dan digoyang untuk memainkannya, angklung Banyuwangi harus diletakkan atau disangga dengan perut dan dimainkan dengan cara dipukul. Ukurannya juga lebih besar dan terdiri dari dua angklung yang berpasangan. Penyangganya berukir naga atau kepala Gatotkaca. Tak diketahui sejak kapan angklung muncul, baik di tatar Sunda maupun Banyuwangi. Alat musik bambu memang telah digunakan dalam berbagai kebudayaan Nusantara pra-Hindu. Berkembang di berbagai daerah dan menemukan bentuknya sendiri. Paul Arthur Wolbers dalam “Gandrung and Angklung from Banyuwangi: Remnants of a Past Shared with Bali” di jurnal Asian Music Vol. 18 No. 1 tahun 1986 menyebut instrumen bambu di Banyuwangi awalnya berbentuk seperti kentongan yang dipasang pada paglak . Kentongan ini digunakan sebagai alat komunikasi antardesa serta untuk mengusir harimau dan hantu. Bambu sebagai alat musik tampaknya kemudian digunakan dalam upacara panen padi. Perkusi bambu menjadi pengiring ritual sekaligus hiburan bagi para petani. Sedangkan dari bentuknya, Wolbers menyebut angklung Banyuwangi memiliki hubungan dengan gamelan angklung dari Bali. “Beberapa xilofon bambu ada di Jawa, tapi tak ada yang mendekati bentuk keseluruhan dari angklung Banyuwangi. Satu-satunya instrumen yang terlihat mirip adalah grantang langka dari Bali,” sebut Wolbers. Grantang pernah memainkan peran dalam angklung gamelan Bali yang dapat dibandingkan dengan orkestra angklung dari Banyuwangi. Kemunculan kesenian angklung tak bisa dipisahkan dari kebiasaan masyarakat Osing saat musim panen. Alat musik dari bambu dimainkan di atas paglak sebagai undangan dari pemilik sawah kepada warga agar ikut membantu sekaligus menghibur para petani. Selain itu, alunan musik angklung juga berguna untuk mengusir burung. Menurut Budhisantoso dkk dalam Pola Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Using di Kabupaten Banyuwangi Propinsi Jawa Timur , masyarakat Osing menyebut tradisi saat panen itu sebagai upacara “ngampung”. Para petani yang mampu biasanya nanggap kesenian “angklung sawahan” atau istilah yang lebih populer angklung paglak. “Kesenian ‘angklung sawahan’ ini dipertunjukkan di lokasi sawah yang sedang panen sehingga menambah suasana gembira dan semangat kerja bagi pemanen,” tulis Budhisantoso dkk. Ragam Angklung Dari permainan yang sederhana, angklung berkembang menjadi sebuah kesenian yang bisa digunakan untuk mengiringi sebuah tarian. Di Desa Kemiren, terdapat dua jenis kesenian angklung, yakni angklung pelangi sutra dan angklung caruk. Angklung pelangi sutra menampilkan tarian yang dibawakan beberapa orang dan diselingi lawakan –juga sandiwara bila diminta. Sedangkan angklung caruk mempertandingkan kebolehan para pemain dari sekurang-kurangnya dua kelompok seni. Dalam angklung caruk juga disajikan tarian seperti tari jangeran, tari gandrungan, cakilan, hingga kuntulan. Menurut Wolbers, latar belakang angklung caruk dapat ditemukan dalam beberapa tradisi yang telah punah. Salah satunya adalah tarian tarung menggunakan tongkat rotan yang dimainkan selama musim kemarau di beberapa daerah di Jawa Timur. Permainan ini diiringi oleh sekolompok pemusik. Di dekat Banyuwangi, pernah pula terdapat gitikan , hiburan yang menampilkan dua lelaki berusaha saling memukul dengan cambuk panjang terbuat dari serat daun kelapa. Pertunjukan itu diiringi oleh dua angklung yang repertoar musiknya sama dengan gandrung . “Kebiasaan lain yang mungkin telah berkontribusi pada angklung caruk ditemukan dalam apa yang Pigeaud sebut prang desa , ‘perang desa’," sebut Paul Arthur Wolbers dalam “Account of Angklung Caruk July 28, 1985” di jurnal Indonesia April 1987. Ayu Sutarto dalam makalahnya pada acara Jelajah Budaya berjudul “Sekilas tentang Masyarakat Using” menyebut angklung caruk berasal dari kesenian legong Bali. “Kecepatan irama musik dan lagu-lagu yang dimainkannya sangat dipengaruhi oleh nuansa musik angklung ritmis dari Bali. Namun dalam kesenian ini terdapat juga perpaduan antara nada dan gamelan slendro dari Jawa yang melahirkan kreativitas estetik,” tulis Ayu. Namun, Ayu memasukkan angklung caruk sebagai bagian dari apa yang disebut sebagai “angklung daerah” yang bisa dipakai untuk mengiringi gending (lagu) dan tari. Jenis angklung daerah adalah angklung paglak, angklung caruk, angklung tetak, angklung dwi laras, dan angklung Blambangan. Angklung tetak merupakan pengembangan dari angklung paglak, dengan perubahan pada bahan instrumen dan nada. Angklung dwi laras merupakan pengembangan dari angklung tetak. Disebut angklung dwi laras karena angklung jenis ini menggabungkan komposisi dua nada, yaitu laras pelog dan laras slendro. Sementara angklung Blambangan merupakan pengembangan terakhir angklung di Banyuwangi. Ada beberapa gending yang biasa dimainkan dalam angklung daerah. Antara lain Jaran Ucul, Tetak-tetak, Gelang Alit, Mak Ucuk, Sing Duwe Rupo, Congoatang, Ulan Andung-andung, Mata Walangan, Ngetaki, Selendang Sutera, dan Padhang Ulan. Angklung dan Genjer-genjer Ada varian kesenian angklung yang pernah berkembang pada 1950-an. Ia disebut angklung modern tapi lebih dikenal sebagai genjer-genjer. Nama ini bukan hanya merujuk pada judul lagu Genjer-genjer. Melainkan digunakan sebagai sebutan untuk setiap gubahan dari sebuah kelompok angklung bernama Sri Muda. Bahkan Sri Muda sebagai kelompok musik pun sering disebut sebagai Genjer-genjer. Dalam Lekra Tak Membakar Buku, Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan menyebut, Sri Muda merupakan kelompok angklung modern yang populer pada 1950-an hingga 1960-an. Ia bermula dari organisasi yang bergerak di bidang khusus angklung caruk yang dibentuk tahun 1954 dengan nama Sri Tanjung. Dari Sri Tanjung, lahir konsepsi musik angklung baru. Kematangan revolusioner Sri Tanjung kian meluas dan membumi. Mereka mendorong para pemuda untuk menggunakan angklung sebagai senjata dalam bermusik. “Sri Tanjung pun lebur menjadi Sri Muda (Seni Rakyat Indonesia Pemuda). Lagu-lagu yang dibawakannya, terutama ciptaan Arief (Muhammad Arief, pencipta lagu Genjer-genjer, -red ), masih disukai. Bukan saja karena iramanya yang khas, tapi juga isinya progresif,” sebut Rhoma dan Muhidin. Lagu Genjer-genjer menjadi yang paling populer. Dari situlah Genjer-genjer bergeser menjadi sebutan konsepsi angklung modern Sri Muda dan sebutan untuk Sri Mudanya sendiri. Pada 1960-an berkembang pula tarian padangulan atau kadang disebut tari angklung. Diciptakan dari kebiasaan masyarakat Banyuwangi, terutama yang berdiam di sekitar pantai, beramai-ramai keluar rumah dan berjalan-jalan di pantai bila bulan purnama. Gerak dasar tarian banyak mengambil unsur pada pertunjukan gandrung, baik dari penari gandrung maupun pemajunya. Ditarikan anak laki-laki dan perempuan dengan perpasangan. Jumlah pasangan tidak terbatas. Menurut buku Ensiklopedi Tari Indonesia , t arian padangulan dipopulerkan tahun 1964. Semula digarap Wim Arimaya, seorang penari di daerah itu. Pada mulanya banyak mengambil unsur-unsur gerak tarian Melayu. Lalu disempurnakan hingga mencapai bentuknya sekarang oleh seniman-seniman tari muda, antara lain Sumitro Hadi. Setelah 1965, stigma negatif membuat redup dunia perkembangan kesenian angklung di Banyuwangi. Namun perlahan ia kembali muncul dan populer sebagai hiburan atau tontonan pada acara hajatan seperti perkawinan, khitanan, atau perayaan lainnya. Kini, lebih dari setengah abad setelah masa kejayaan angklung modern, berbagai festival angklung diadakan di Banyuwangi. Dari Fertival Angklung Caruk Pelajar hingga Festival Angklung Paglak yang dimainkan di atas menara bambu paglak diadakan untuk membangkitkan kembali tradisi angklung dari timur ini. Angklung paglak khas Banyuwangi yang telah mendarah daging nantinya juga melahirkan kesenian musik lokal semacam Kendang Kempul.

  • Berpacu dalam Kendang Kempul

    SIAPA tak kenal Ikke Nurjanah? Penyanyi dangdut bersuara merdu dan berpenampilan sopan ini pernah kondang di blantikan musik Indonesia. Sejak usia remaja, dia memang sudah menjadi penyanyi profesional dan meluncurkan sejumlah album. Namun, sebelum dikenal sebagai penyanyi dangdut, Ikke identik dengan lagu-lagu Jawa. Hal ini tak bisa dilepaskan dari kesuksesan album Ojo Lali . Bahkan berkat album itu pula namanya melejit. Setelah itu sederet album Jawa pun dirilisnya. Salah satunya album Gelang Alit . Album Gelang Alit diproduksi MSC Records dan dirilis tahun 1996 saat Ikke masih kuliah. Menariknya, di album ini, Ikke mencoba menginterpretasi lagu berbahasa Osing dari Banyuwangi berjudul “Gelang Alit” karya Fatrah Abal atau Faturahman Abu Ali. Kendati liriknya sudah diubah ke dalam bahasa Indonesia, aransemennya masih kental nuansa Banyuwangi. Tumbuh indah di taman hati Laut Ketapang airnya keruh Pinggir kota Banyuwangi Siang malam kurindu Hati rasa setiap hari Album Gelang Alit cukup mendapat sambutan dari penggemar musik tanah air. Album itu juga mengangkat kembali musik etnik Banyuwangi ke ranah musik nasional. “Dan Ikke Nurjanah, penyanyi dangdut, memiliki hit nasional pada 1997 dengan sebuah lagu kendang kempul, yang merupakan sumber kebanggaan utama bagi banyak orang di Banyuwangi,” tulis Bernad Arps dalam “Osing Kids and the banners of Blambangan” di jurnal Wacana , April 2009. “Tampaknya ini adalah ungkapan keinginan untuk sebuah pengakuan.” Kendang kempul adalah sebutan untuk musik etnik yang lahir dan berkembang di Banyuwangi, Jawa Timur. Dari Gandrung Musik kendang kempul tumbuh dan berkembang dari kesenian gandrung Banyuwangi. Alat musik yang digunakan pun dipakai pada kesenian gandrung. Ada yang menyebut kendang kempul telah ada dan berkembang pada 1920-an dengan munculnya lagu-lagu yang diciptakan untuk mengiringi kesenian gandrung. “Musik kendang kempul pada awalnya disebut dengan kendang gong, yakni seni musik yang tumbuh dan berkembang dari tradisi kesenian gandrung,” tulis Ginanjar Wahyu Raka Siwi dalam tugas akhirnya di Institut Seni Indonesia Yogyakarta dengan judul “Musik Populer Kendang Kempul Banyuwangi”. Namun, lagu-lagu gandrung dirasa kurang memanjakan telinga. Maka, sejumlah seniman mulai menciptakan lagu-lagu bertema alam dan rakyat kecil. “ Nah, setelah itu mulai berkembang lagu-lagu Banyuwangi dengan iringan angklung,” ujar Hasan Singodimayan, mantan aktivis Himpunan Seniman dan Budayawan Islam yang berafiliasi dengan partai Masyumi, dikutip Ikwan Setiawan dalam artikel “Merah Berpendar di Brang Wetan: Tegangan Politik 65 dan Implikasinya terhadap Industri Musik Banyuwangen”. Salah satu lagu yang kemudian populer adalah Genjer-genjer, diciptakan musisi Mohamad Arief, pada 1953. Lagu ini menggambarkan kesulitan hidup pada masa pendudukan Jepang sehingga memaksa penduduk di Banyuwangi makan genjer yang dianggap pakan ternak –karenanya ada yang menyebut lagu ini diciptakan masa Jepang. Sejak gabung Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), Mohammad Arief mendirikan grup angklung Srimuda (Seni Rakyat Indonesia Muda). Pada 1960-an, ketika singgah di Banyuwangi dan disuguhi pertunjukan angklung dengan lagu penutup Genjer-genjer, petinggi PKI dan Lekra Njoto berucap: “Lagu ini pasti akan segera meluas dan menjadi lagu nasional!” Terbukti lagu itu populer. Disiarkan RRI dan TVRI . Dinyanyikan penyanyi-penyanyi nasional. Selain Mohammad Arif, ada banyak seniman Banyuwangi era itu yang menulis lagu seperti Andang C.Y., Nasikin, B.S. Nurdian, Mahfud Hariyanto, Endro Wilis, A.K. Armaya, dan Fatrah Abal. Mereka umumnya bergabung dengan lembaga-lembaga kebudayaan yang berafiliasi dengan partai politik saat itu. “Musik lokal Banyuwangi pada awalnya adalah kreativitas para seniman musik yang didorong oleh kepekaan sosial. Realitas sosial yang terjadi pada masyarakat Banyuwangi yang diungkapkan oleh seniman dalam bentuk syair lagu,” tulis Hervina Nurullita dalam “Stigmatisasi terhadap Tiga Jenis Seni Pertunjukan di Banyuwangi” di Jurnal Kajian Seni , November 2015. Perkembangan musik lokal Banyuwangi surut setelah Peristiwa 1965. Lekatnya lagu Genjer-genjer dengan PKI berimbas pada stigma kiri terhadap semua musik Banyuwangi. Beberapa seniman yang selamat mengalami stigma, trauma, dan ketakutan. Kendang kempul berkembang dari kesenian gandrung Banyuwangi. (Dok. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi).  Adaptif Pada 1970-an, A.K. Armaya kembali ke Banyuwangi dari perantauannya di Jakarta. Dia mendapati suasana ketakutan masih membayangi para seniman untuk membuat lagu-lagu Banyuwangi. Sementara masyarakat Banyuwangi lebih familiar dengan musik-musik beraliran pop hingga dangdut. Armaya berhasrat untuk menghidupkan kembali lagu-lagu Banyuwangi. Inisiatifnya mendapat dukungan dari Bupati Joko Supaat Slamet. “Hingga pada tahun 1975-an Banyuwangi sudah mulai berani merekam lagu-lagu berbahasa Osing namun dengan pengawasan dan fasilitas dari pemerintah,” tulis Akbar Satria Putra Mahendra dan Agus Trilaksana dalam “Musik Kendang Kempul Tahun 1980-2008” di jurnal Avatara , Oktober 2018. “Pelukan mesra pendopo”, begitu istilah yang dipakai Ikwan, berwujud merekam lagu-lagu Banyuwangen karya mantan seniman Lekra maupun bukan dengan instrumen yang mengkolaborasikan angklung dan gandrung karena kedua jenis instrumen tersebut sangat populer. “Dipakainya lagu-lagu ciptaan para seniman kiri menandakan bahwa persoalan stigma politis untuk sementara bisa diatasi, meskipun kontrol memang masih begitu ketat,” tulis Ikwan. Terlepas dari kontrol rezim terhadap perkembangan kesenian Banyuwangen, lanjut Ikwan, nyatanya para seniman punya mekanisme sendiri untuk mengembangkan kesenian tradisi-lokal di Banyuwangi. Mereka tetap berkarya, meskipun harus bersiasat terus-menerus. “Industri rekaman yang dibina oleh Pendopo, ternyata mempunyai peran strategis untuk menyemarakkan kembali kesenian beraroma rakyat di tengah-tengah masyarakat,” tulis Ikwan. Sebenarnya, setelah 1965, dunia musik di Banyuwangi tetaplah semarak. Menurut Akbar dan Agus, sejarah musik di Banyuwangi pasca 1965 berawal dari grup orkes Gavilas yang digadang-gadang sebagai pionir orkes musik Melayu di Banyuwangi. Grup ini juga populer saat itu. Eksistensi Gavilas mendorong munculnya grup orkes lainnya. Salah satunya Arbas (Arek Banyuwangi Asli) pimpinan Sutrisno. Pada 1980-an Sutrisno dan teman-temannya mempopulerkan kendang kempul namun dengan balutan musik yang berkembang saat itu. Mereka menggabungkan unsur instrumen dalam gandrung dengan peralatan musik modern untuk mendapatkan warna baru yang nantinya akan menjadi identitas khas Banyuwangi. Nama kendang-kempul diambil karena dalam musik yang dibuat ada kendang dan kempul sebagai instrumen utama. Alat musik itulah yang membedakannya dari musik etnik lainnya. Kemudian ditambahkan organ, biola, dan gitar yang merupakan alat musik modern. Kekuatan utamanya terletak pada lirik-lirik lagunya yang berbahasa Osing. Ini pula yang membuat kendang kempul bisa diterima, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Pada dasarnya, ujar Sutrisno kepada Ikwan, kendang kempul itu orkes versi Osing dengan memasukkan kendang dan kempul. Upaya Sutrisno dan kawan-kawan rupanya mendapat tempat di hati masyarakat Banyuwangi. “ Ketika sekitar 1980 kendang Kempul dibuat kira-kira dalam bentuknya yang sekarang, yaitu musik pop, ini adalah langkah yang cukup radikal,” tulis Arps. Eksistensi kendang kempul di pentas nasional mencuat setelah “Ratu Kendang Kempul” Mbok Sumiati membuat album dengan pelawak kenamaan Jakarta, Doyok dan Cahyono. “Walaupun mereka dari background komedi, namun untuk masalah olah vokal, mereka tak kalah dengan penyanyi dangdut papan atas. Warna vokal dan basa Osing Mbok Sumiati lah tetap yang mendominasi keunikan dari lagu-lagu yang mereka bawakan. Sebagai contoh, lagu Kenal Lare Osing yang dibawakan Doyok dan Sumiati dalam album Cinta Modal Sepeda ,” tulis Akbar dan Agus. Perkembangan ini kian menyemarakkan dunia musik Banyuwangi. Industri rekaman lokal pun tumbuh. Album rekaman dalam format VCD dibuat dan didistribusikan ke lapak-lapak penjual. Penjualannya pun lumayan. Lagu-lagunya, sebagian besar bertema cinta meski ada juga bermuatan “patriotisme”, mewarnai siaran-siaran radio di wilayah Banyuwangi. Bahkan pada 1990-an lagu-lagunya digemari untuk karaoke, baik pada perayaan maupun kontes. “Bernyanyi kendang kempul adalah hobi populer di kalangan anak sekolah menengah. Saya telah berbicara dengan beberapa orang yang pikirannya menjadi salah satu ciri utama menjadi Laré Using adalah dapat menyanyikan kendhang kempul dan mengetahui lagu tersebut,” ujar Arps. Namun badai melanda industri musik di manapun karena adanya perkembangan teknologi informasi, terutama internet. Akibatnya penjualan VCD turun. Mau tak mau, para produser rekaman pun merambah dunia digital. Siasat lain dilakukan dengan bergeser ke genre dangdut koplo yang lagi tren. Maklum, masa keemasan lagu Banyuwangi sempat turun pada 2006. Sandi Record, misalnya, berkreasi dengan mengkolaborasikan musik Banyuwangi dengan berbagai genre seperti koplo, house dan disco. Kreasi Sandi Record ternyata diterima pasar. Album-album yang diproduksinya kembali meledak. Selain menggarap lagu-lagu Banyuwangi, dia mulai merambah pasar dangdut. Sandi Record membidik diva dangdut seperti Elvi Sukaesih dan Ikke Nurjanah untuk rekaman. “Lagu dangdut ini untuk nutupin kalau lagu Banyuwangi sepi,” ujarnya, dikutip Lokadata .  Kendati muncul kritik, kecenderungan semacam itu menunjukkan betapa dinamisnya musik Banyuwangi. Hal itu pula yang membuat kendang kempul bisa bertahan. Bagaimanapun, kendang kempul sudah didapuk sebagai musik daerah Banyuwangi. Upaya untuk melestarikan dan mengembankannya pun terus dilestarikan. Antara lain melalui Festival Gending Osing yang kembali digelar Pemkab Banyuwangi pada akhir tahun lalu. “Kami semua sangat bersyukur musik Banyuwangi terus berkembang. Dan yang paling penting, tak hanya bergema di daerahnya, bahkan musik Banyuwangi mudah kita temui di daerah lain. Surabaya contohnya. Saya itu kerap terdengar musik Banyuwangi diputar atau dimainkan musisi jalanan jika berkunjung ke wilayah Jawa Timur lain,” kata Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, dikutip laman Pemkab Banyuwangi. Yuk, ikut berdendang.

  • Serangan Aktivis Kiri di Bandara Lod Israel

    HARI ini, 30 Mei , 48 tahun silam, Pablo Tirado-Ayala mendapati kenyataan amat berbeda di Bandara Lod (kini Bandara Internasional Ben Gurion), Tel Aviv, Israel. Alih-alih mendapatkan kebahagiaan spiritual dengan mengikuti wisata religi ziarah ke “Tanah Suci” itu, pria Puerto Riko yang menjadi warga negara Amerika Serikat tersebut justru tak pernah mendapatkannya karena hanya bisa sampai bandara. Kerusuhan mengerikan di bandara itu tak “mengizinkannya” sampai ke “Tanah Suci” dan justru membawanya ke fase kehidupan berbeda yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. “Pablo tak mau bicara, di rumah ia hampir selalu berada di kamarnya, ia hanya akan keluar selama beberapa menit, dan dia tak akan bicara, dan dia akan kembali ke kamarnya,” ujar Angel Ramirez Colon, anak angkat semata wayang pasangan Pablo dan Antonia, dalam kesaksiannya tentang sang ayah yang diutarakan dalam persidangan di United States District Court for the District of Puerto Ricopada 2008, dimuat di laman osenlaw.com . Pablo mengalami gangguan jiwa berat akibat terluka oleh tembakan tak lama setelah pesawatnya mendarat di Bandara Lod, dikenal dengan Pembantaian Bandara Lod (Lod Airport Massacre). Kerusuhan itu dilakukan tiga teroris Jepang anggota Japanese Red Army (JRA), organisasi ultra-kiri pecahan Red Army Faction (FAR) yang didirikan Fusako Shigenobu. Menurut Sara Dissanayake dalam “Japan” yang termuat di buku Handbook of Terrorism in the Asia-Pasific , FAR beroperasi dengan tujuan menggulingkan pemerintah dan monarki di Jepang serta menggerakkan revolusi di dunia. “Anggota kesatuan itu terlibat dalam berbagai tindakan kriminal di Jepang, termasuk serangan terhadap kantor polisi dan serangan bank. Pada 31 Maret 1970, sembilan anggota RAF membajak sebuah penerbangan Japan Airlines dan memerintahkan pilotnya menerbangkan pesawat ke Korea Utara, di mana mereka diberi perlindungan dan tempat tinggal,” tulis pakar terorisme itu. Akibatnya, pemerintah Jepang mengambil tindakan keras. Tindakan keras pemerintahan Jepang terhadap kelompok kiri pada 1970-1971 dan adanya persaingan sengit antar-kelompok kiri memaksa Shigenobu dan beberapa anggota militan lain menyingkir ke luar negeri. Mereka memilih Lebanon, tempat Popular Front for the Liberation of Palestine (PFLP) bermarkas, sebagai tempat pelarian. Shigenobu dan kawan-kawan disambut hangat rekan internasionalnya dalam perjuangan melawan imperialisme itu. “Kedatangan Shigenobu di Timur Tengah amat tepat sesuai dengan keinginan yang tumbuh dalam orang-orang Palestina untuk mencari dukungan luar kegiatan anti-Israel mereka. Meskipun Palestina telah lama berjuang melawan Israel, mereka melakukannya dengan sedikit keberhasilan,” tulis Aileen Gallagher, investigator lepas dan penulis, dalam The Japanese Red Army .    Kekalahan Arab dalam Perang Arab-Israel 1967 membuat para pemimpin perjuangan Palestina mengubah taktik. Perang konvensinal tak mungkin mereka lakukan lagi karena Israel terlalu kuat dengan dukungan AS. “Terorisme dan perang gerilya kini dianggap satu-satunya harapan warga Palestina untuk menyingkirkan Israel dari tanah yang mereka anggap milik mereka. Orang-orang Palestina mulai mencari inspirasi dan bantuan dari kelompok lain di seluruh dunia yang telah berjuang untuk menggulingkan pemerintah,” sambung Aileen. Setelah Shigenobu mendirikan JRA di Lembah Bekaa, kerjasama para militan kiri Jepang itu dengan PFLP kian intensif. Satu aksi penting yang mereka rencanakan adalah menyerang bandara Lod di ibukota Israel. “Serangan itu sebenarnya dikoordinir PFLP tetapi dieksekusi oleh tiga anggota JRA,” kata Sara. Pemilihan anggota JRA sebagai eksekutor diusulkan Shigenobu untuk menghilangkan kecurigaan pihak keamanan bandara Israel yang sedang gencar mengawasi pendatang Arab. Meski sempat meragukan, pimpinan PFLP akhirnya menerima usulan Shigenobu. “JRA adalah semangat kekeluargaan sempurna dan mitra yang sukarela,” tulis Aileen. Setelah perencaan dibuat, mereka mencari eksekutor. Salah satu yang bersedia, Kozo Okamoto. Setibanya di Beirut setelah beberapa bulan menjalani penerbangan estafet dari Tokyo via Amerika, Okamoto menjalani pelatihan sembilan minggu.   Misi dijalankan oleh tiga eksekutor: Kozo Okamoto, Takeshi Okudaira (suami Shigenobu), dan Yasuyuki Yasuda. Mereka menyamar sebagai turis Jepang. Mereka hanya membawa sedikit koper, berisi senapan semi-otomatis dan granat. Setelah pelesir ke Paris, mereka tur ke Roma. Tiga hari di Roma, mereka lalu terbang ke Tel Aviv menggunakan pesawat Air France dengan nomor pererbangan 132 dari Paris yang transit di Roma. Pada saat-saat itulah Pablo Tirado-Ayala di Amerika amat bahagia karena waktu wisatanya ke “Tanah Suci” makin dekat. “Itu adalah topik utama obrolan di rumah. Antonia tidak mau bergabung dengan Pablo karena Angel masih di rumah (pada saat itu berusia 16) dan dia tidak ingin meninggalkannya sendirian,” kata Angel Ramirez, anak-angkat Pablo. Pablo akhirnya berangkat ke Tel Aviv bersama 16 wisatawan-peziarah lain dari Puerto Rico. Mereka tiba di Bandara Lod pada 30 Mei. Begitu turun dari pesawat, mereka mengantri di ruang bagasi untuk mengambil barang-barang bawaan. Saat itulah, tulis Aileen, “Tiga lelaki Asia mengambil tas dan pindah ke dinding yang jauh, berpura-pura mencari sesuatu di koper mereka. Tiba-tiba, tembakan memenuhi ruangan itu.” Ketiga teroris terus memberondongkan senapannya secara membabi buta ke arah kerumanan orang di ruang bagasi bandara. Salah satu teroris lalu melemparkan granat ke beberapa kelompok orang yang berkerumun. Mereka tak puas dan memperluas wilayah ke serangan ke ruang tunggu di luar. Okudaira bahkan memasuki landas-pacu dan memberondong sebuah pesawat. Ketika pelurunya habis, dia melemparkan granat yang tersisa dan tubuhnya hancur bersamaan dengan kepingan-kepingan granat itu. Banyak orang menganggap itu sebagai aksi bom-bunuh dirinya, namun banyak saksi mengatakan dia terpeleset dan jatuh ke arah granat yang dilemparnya. Teroris kedua, Yasuda, tewas tertembak tak lama berselang. Sebagian saksi menyatakan dia terkena friendly fire , namun banyak saksi meyakini dia tertembak oleh aparat keamanan bandara. Sementara, Okamoto, lari keluar untuk melemparkan granat ke arah pesawat setelah kehabisan peluru. Okamoto tak melawan saat dibekuk petugas keamanan. Dia bahkan berharap dihukum mati aparat keamanan Israel meski hal itu tak pernah dikabulkan. Meski hanya beberapa menit, serangan tiga teroris JRA itu menewaskan 26 orang. Salah satunya, Profesor Aharon Katzir, ahli bio-fisika Israel. Sementara, 80 orang lain mengalamai luka-luka akibat serangan itu. “Misi ini akan tercatat dalam sejarah sebagai tindakan paling berdarah JRA, yang akan menempatkannya di antara organisasi teroris yang paling ditakuti di dunia,” tulis Aileen. Salah satu korban adalah Ros Sloboda. Perempuan asal London yang saat itu bekerja di Tel Aviv itu tertembak salah satu kakinya. Dia bahkan sempat yakin dirinya bakal tewas ditembak lebih lanjut oleh salah seorang teroris yang dilihatnya. Namun, keyakinan itu meleset. Nyawanya selamat. Meski nyawanya juga selamat, Pablo mengalami gangguan mental berat. Dia berhasil pulang ke Puerto Rico, namun tidak pulang sebagai Pablo sebelumnya yang ceria, ramah, perhatian, dan penyayang. Gangguan mental berat membuatnya murung dan mengurung diri sepanjang hari di kamarnya. Dia tak bisa tidur tanpa minum obat. Di tengah tidurnya, dia sering terbangun dan berteriak. Upaya pengobatan yang dilakukan Antonia istrinya dengan membawanya ke instalasi perawatan mental selama sebulan, tak banyak membantu. Pembantaian Bandara Lod telah mengubah kepribadian Pablo. “Dia tak mudah didekati lagi seperti sebelumnya,” kata Angel. Perubahan itu juga amat menyedihkan Antonia. “Karena dia tempat diajak bicara, yang akan menghabiskan waktunya bersama kami, orang yang mengajak kami pergi, seorang penyedia utama, (tapi) dia tak ada lagi,” ujar Antonia.

  • Kisah Asmara Dua Perwarta

    Sekembalinya dari Amerika Serikat untuk belajar ilmu jurnalistik di Bernard College, Columbia University, Siti Latifah Herawati Latip langsung meniti karier sebagai wartawan. Ia bekerja sebagai stringer (perantara) untuk wartawan Filipina yang ingin melakukan liputan di Hindia Belanda. "Wartawan itu Carlos Romulo yang beberapa tahu kemudian menjabat Menteri Luar Negeri negaranya,"  katanya dalam autobiografinya Kembara Tiada Berakhir. Ketika masa pendudukan Jepang, Herawati bekerja sebagai penyiar yang membacakan surat dari para tahanan perang di Radio Hosokyoku. Ia menerima pekerjaan ini setelah dibujuk sahabat ayahnya, dr. Latip, yang bernama Bahrum Rangkuty. Meski awalnya sempat menolak, Herawati mau menerima pekerjaan ini lantaran ada sisi kemanusiaan di dalamnya. Ia mulai bekerja pada April 1942 dan di sinilah ia bertemu Burhanudin Mohamad (B.M.) Diah yang kelak jadi suaminya. Pemuda Berkumis Tipis Benih cinta Herawati pada BM Diah mulai muncul pada suatu hari ketika sang pria menawarkan bantuan padanya. “Inilah aku, tidak punya gelar. Sekolahku sedang-sedang saja. Bolehkah aku mengangkat kopormu, Miss Latip?” kata B.M. Diah yang kala itu berusia 25 tahun. Kata-kata B.M. Diah itu menyentuh hati Herawati. Meski latar belakang dan gaya hidup dua pewarta ini amat berbeda, Herawati yakin pemuda Burhanudin kelak bisa menjadi kebanggaan keluarganya. B.M. Diah, pria Aceh keturunan Barus sudah yatim piatu, kala itu di Batavia tak punya sanak saudara. Sementara, Herawati datang dari keluarga terpandang keturunan Jawa. Ayahnya seorang dokter dan di keluarganya banyak orang berpangkat. Namun, pemuda berkumis tipis itu tak patah arang. Ia keluarkan keahliannya mengolah kata. Ia kirimkan puisi-puisi gombalnya dalam bahasa Inggris untuk meluluhkan hati si gadis yang pernah berkuliah di Amerika. Love is ageless Written about, words are limitless Love knows no extremity Either boundary Lewat Soetomo Satiman yang memperhatikan gerak-gerik si pemuda berkumis tipis itulah Herawati makin yakin untuk melanjutkan hubungan. “Soetomo Satiman, sepupu saya yang juga bekerja di Hosokyoku tidak suka bicara banyak. Rupanya ia memperhatikan tingkah laku dan tindak tanduk rekannya, Burhanudin Diah, yang mulai mengakrabkan diri terhadap saya…. Menurut pengakuannya pada saya, ‘Diah oke.’ Saya pun tidak ragu lagi,” kata Herawati seperti ditulis Toeti Kakilatu dalam BM Diah, Wartawan Serba Bisa. BM Diah juga menuliskan kisah pertemuannya dengan Herawati dalam sebuah puisi berjudul Nature Boy. There was a boy A very strange and chatter boy They say he wandered very far, very far Over land and sea A little shy and sad of eye But very wise was he And the one day A magic day he passed my way And while we spoke of many things Poors and kings Just he said to me The greatest thing You ever learned Is just to love And be loved, in return Pernikahan Herawati dan B.M. Diah. Makin luluhlah hati Herawati dikirimi puisi penuh gombalan dari B.M. Diah hingga memutuskan menikahi pria itu. Namun, ada saja hal yang terjadi sebelum pernikahan berlangsung. B.M. Diah ditangkap Kenpeitai 10 hari sebelum pernikahan karena berkerja di dua tempat, Hosokyoku dan suratkabar Asia Raya. Penangkapan itu membuat keluarga dr. Latip amat panik. Undangan sudah disebar, dekor, rias, dan katering sudah dipesan, tapi pengantin pria malah ditahan Kenpeitai. Dengan bantuan Pemimpin Redaksi Asia Raya Sukarjo Wirjopranoto dan Meester R. Sujono (kakak ipar Herawati), Diah dibebaskan tiga hari sebelum hari pernikahannya. Ia ditahan selama seminggu dan tidak mendapat perlakuan kasar (berbeda dari tahanan lain yang dipukuli hingga babak belur). Selama tiga hari menanti hari pernikahan, Herawati dan B.M. Diah dilarang berjumpa oleh Siti Alimah, ibunda Herawati. Namun dua sejoli ini tetap berkirim kabar lewat telepon dan selalu menggunakan bahasa Inggris. Diah pun selalu menyapa Herawati dengan, “How are you Miss Latip?”. Mereka pun akhirnya menikah. Resepsi pernikahan dihadiri Sukarno dan Hatta yang baru keluar dari pengasingan. Dari pihak Herawati, hadir Muhammad Amin, Haji Agus Salim, dan Mohammad Isa. Dari pihak Diah, hadir keluarga Daan Anwar. Ijab-kabul pun dilaksanakan. Penghulu menuntun mempelai pria mengikuti ucapannya. Burhanudin bin Mohamad Diah dinikahkan dengan Siti Latifah Herawati bin Latip dengan mas kawin seratus ringgit dibayar… utang.

  • Sejarah Panjang Kopi Lanang

    NGOPI di kafe itu biasa. Tapi menikmati secangkir kopi di tengah perkebunan yang sejuk berbalut pemandangan indah tentu jauh lebih nikmat. Apalagi jika di tempat itu tersedia kopi lanang yang memiliki rasa lebih lembut, tekstur padat, dan aroma harum. Jika Anda ingin mencobanya, datanglah ke Banyuwangi, Jawa Timur. Di sana ada Wisata Kuliner Kopi Lanang, destinasi yang menggabungkan konsep wisata alam sekaligus edukasi, yang berada di tengah perkebunan Malangsari. Anda bisa menikmati kopi premium kualitas ekspor. Selain itu sajian kuliner yang diolah dengan aroma kopi lanang. Dari wedang ronde hingga es degan. Dari watu lempit hingga getuk gulung rasa. Gagasan Wisata Kuliner Kopi Lanang yang berlokasi di Dusun Ledoksari, Desa Kebunrejo, Kecamatan Kalibaru ini muncul setelah acara ekspor perdana kopi robusta Malangsari ke sejumlah negara. Seperti diketahui, perkebunan Malangsari adalah salah satu sentra penghasil kopi robusta terbaik di Nusantara. Produknya sudah diekspor ke Italia, Jepang, Inggris, hingga Swiss. “Pada kesempatan yang sama, wisata ini menawarkan edukasi petik hingga penyajian kopi bersama para pakar. Sehingga wisata ini menjadi pusat edukasi yang lengkap bagi wisatawan dan para pelajar,” kata Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, dikutip laman  Dinas Koperasi, Usaha Mikro dan Perdagangan Kabupaten Banyuwangi, akhir tahun lalu. Anas mengaku senang Wisata Kuliner Kopi Lanang akhirnya bisa dibuka lewat kerjasama dengan Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara XII (PTPN XII). Pembukaan tempat ini bagian dari upaya bersama untuk mengembalikan citra Banyuwangi sebagai penghasil kopi berkualitas. Kopi Robusta Kopi berakar kuat di Banyuwangi. Banyuwangi kaya kopi. Sejak zaman Belanda kopi sudah dikembangkan di perkebunan-perkebunan kopi milik penjajah Belanda. Biji kopi pertama di Banyuwangi berasal dari Clement de Harris, residen pertama Besuki, pada 1788. Besuki terdiri atas empat afdeeling (kabupaten): Jember, Bondowoso, Situbondo, dan Banyuwangi. Dari keempatnya, Banyuwangi mempunyai pegunungan luas bernama Ijen. Cocok untuk pertumbuhan kopi. De Harris pun menanamnya di Sukaraja, utara Banyuwangi –kini masuk wilayah Kecamatan Giri . Masa tanam paksa 1830-1870 mendorong perluasan kebun-kebun kopi di Banyuwangi ke arah selatan. Wilayah itu mencakup Songgon, Wongsorejo, Glagah, Licin, Kalipuro, Pesanggaran, Glenmore, dan Kalibaru (Malangsari). Wilayah ini pun mulai dikenal sebagai penghasil kopi di Jawa selain wilayah Priangan di Jawa Barat. Menurut Upik Wira Marlin Djalins dalam “Subject, Lawmaking and Land Rights: Agrarian Regime and State Formation in Late-Colonial Netherlands East Indies”, disertasi di Universitas Cornell tahun 2012, di bawah pengawasan kepala desa, kebun-kebun kopi ditanam dan dirawat penduduk setempat dan menghasilkan keuntungan yang besar bagi Belanda. Kopi Banyuwangi bahkan terkenal di Belanda dan sangat dicari. “Kemasyhuran kopi Banyuwangi menarik perhatian para pengusaha yang bercita-cita tinggi dan tersebar di wilayah Jawa Timur,” tulis Upik. Sejumlah pengusaha mencoba peruntungan dengan membuka perkebunan kopi. Terlebih setelah penghapusan Sistem Tanam Paksa yang memungkinkan budidaya kopi dikelola swasta. Pada 1959 dan 1960, perusahaan perkebunan milik Belanda dinasionalisasi. Mereka dimasukkan dalam satu wadah dan kini menjadi PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XII. Mulanya banyak perkebunan menanam varietas kopi arabica. Namun berjangkitnya penyakit tanaman kopi menyebabkan penurunan produksi kopi secara drastis. Maka, diperkenalkanlah varietas kopi robusta di Jawa yang lebih tahan penyakit dan produktivitasnya tinggi. Hasilnya, pertumbuhan kopi robusta melampaui produksi kopi Arabica. “Introduksi kopi robusta ini ternyata telah menjadi titik awal dari perubahan sejarah industri kopi di Indonesia. Penanaman dan pengembangan kopi jenis ini bukan saja telah mengubah negeri kita dari produsen kopi arabika menjadi produsen kopi robusta, tetapi lebih penting lagi jenis kopi ini telah menyelamatkan kelangsungan negeri ini sebagai salah satu penghasil kopi dunia,” tulis Latifatul Izzah dalam Dataran Tinggi Ijen: Potongan Tanah Surga untuk Java Coffee. Kopi robusta merupakan salah satu komoditas utama perkebunan Malangsari. Malangsari menempati lahan seluas 2.665,92 hektar yang mencakup delapan wilayah: Besaran, Watulempit, Mulyosari, Kampung Tengah, Tretes, Gunungsari, Pacurejo, dan Ledoksari. Kopi robusta kerap dibilang kopi kelas dua. “Lebih pahit dan sedikit asam daripada jenis Arabica. Kadar kafeinnya juga lebih banyak,” ujar Jaenal Arifin, alumnus program studi sejarah Universitas Jember, yang pernah meneliti tentang perkebunan kopi Malangsari. Namun siapa sangka dari kopi robusta muncul kopi bernilai tinggi yang dikenal dengan sebutan kopi lanang . Mendongrak Gairah Perluasan kebun kopi mempengaruhi perilaku orang-orang di Banyuwangi. Mereka bukan saja mengenal budidaya kopi, tapi juga bagaimana menghayati kopi dengan caranya sendiri. Kopi merekatkan mereka. “Sekali seduh, kita bersaudara,” demikian slogan mereka turun-temurun. Tapi produksi dan budaya kopi di Banyuwangi belum cukup untuk mendongkrak citra kopi Banyuwangi. Padahal sejak lama Banyuwangi merupakan salah satu sentra produksi kopi di Jawa. Rasa kopi Banyuwangi juga cukup khas. Misalnya saja kopi lanang Malangsari. Kopi ini disebut lanang lantaran bentuk bijinya berbeda dari kopi lainnya. Bentuknya tunggal dan bulat, sedangkan biji kopi lainnya terbelah dan berbiji dua (dikotil). Bentuk kopi lanang juga lebih kecil. Lanang berasal dari bahasa Jawa, artinya lelaki. Di pasar internasional ia biasa disebut peaberry coffee .  Kopi lanang terbaik muncul dari pohon kopi robusta berumur 10 tahun ke atas. Pohon itu harus tumbuh di tanah yang gembur, subur, mengandung banyak humus, berjenis andosol atau latosol, dan bertekstur baik. Genealogi pohon kopi tersebut berasal dari kebun percobaan di Kaliwining pada 1930-an. Anakannya tahan terhadap parasit Pratylenchus coffee dan Radopholus similis serta kekeringan. Ketinggian tempat ikut berpengaruh terhadap kualitas robusta. Pegunungan Meru Betiri mempunyai ketinggian 450-700 meter di atas permukaan laut. Perkebunan kopi menghadap ke timur sehingga memperoleh sinar matahari pagi yang lebih dari cukup. Selain itu, perkebunan kopi memperoleh angin laut dari selatan. Kondisi ideal untuk robusta. Menurut tuturan orang tempatan, kopi lanang diperoleh secara tidak sengaja. Para pekerja semula mengira kopi lanang sebagai kopi gagal. Bentuknya berbeda dari kebanyakan kopi. Tapi setelah dikumpulkan, jumlahnya 2-5 persen dari total panen. Sayang kalau dibuang. “Kopi gagal” itu pun diolah. Rasanya ternyata lebih nendang daripada sebagian besar kopi panenan. Sejak itu penelitian tentang kopi lanang muncul. Setelah diadakan penelitian oleh Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jember, kopi itu justru jadi komoditas unggulan Perkebunan Malangsari. Kandungan kafein kopi lanang lebih tinggi 2,1 persen dibandingkan kopi lain. Rasanya mirip kopi luwak dengan aroma kuat dan agak asam. Mitosnya, kopi lanang mampu meningkatkan stamina dan gairah seksual lelaki. Biji kopi lanang mengandung senyawa tribulus terrestris untuk meningkatkan testoteron dan dehidroepiandrosteron (DHEA), sejenis steroid alami yang ada dalam tubuh orang. Tapi ini bukan berarti kopi lanang hanya cocok dikonsumsi lelaki. Perempuan pun bisa mengonsumsinya untuk menambah stamina bekerja. Untuk memperoleh kopi lanang perlu penyortiran dari hasil panen kopi robusta yang berbiji bulat dan tunggal. “Karena kelangkaan dan kerumitan pengolahannya itulah yang membuat kopi lanang lumayan mahal harganya,” ujar Jaenal Arifin. Pengembangan Kopi Lanang Belakangan ini, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi dan PTPN XII bertekad mengangkat citra kopi lanang dengan berbagai program. Antara lain ekspor kopi lanang ke Italia dan pembukaan wisata kuliner kopi lanang. Kopi lanang dianggap bisa bersaing dengan kopi dari daerah lain. Harganya Rp150-160 ribu per kilogramnya. Lebih mahal daripada kopi robusta biasa. Sebab, untuk memperolehnya, butuh usaha lebih. Puluhan ribu biji kopi disortir tiap kali panen. Hasilnya 2-5 persen saja yang dipilih sebagai kopi lanang. Dari 2.100 ton kopi, hanya 110 ton yang termasuk kopi lanang. Sisanya dijual sebagai robusta. Kebanyakan pekerja penyortiran adalah perempuan dengan menggunakan tempeh, ayakan bulat dari bambu. Para pengunjung wisata kuliner kopi lanang dapat melihat langsung penyortiran itu. Kalau Anda belum tergoda dengan destinasi wisata di Malangsari, cobalah menjajal rasa kopi lanang dan membuktikan sendiri mitosnya.

  • Petaka Tempe Bongkrek

    Jika pernah membaca novel Ronggeng Dukuh Paruk  karya Ahmad Tohari atau menonton film adaptasinya Sang Penari , tempe bongkrek barangkali sudah tak asing lagi. Makanan inilah yang menyebabkan orang-orang Dukuh Paruk beserta ronggengnya keracunan hingga meninggal. Kejadian itu juga mengawali kisah Srintil, anak pembuat tempe bongkrek, yang menjadi ronggeng di kemudian hari. Tempe bongkrek merupakan makanan yang populer di tempat asalnya, Banyumas, Jawa Tengah. Tak seperti tempe biasa, tempe bongkrek terbuat dari campuran kedelai dan ampas atau bungkil kelapa yang kemudian difermentasi. Karena murah, tempe bongkrek menjadi salah satu makanan yang digemari masyarakat. Namun dalam sejarahnya, seperti pada novel Ahmad Tohari, tempe bongkrek pernah menyebabkan keracunan dan kematian massal secara berkala. Wabah keracunan tempe bongkrek pertama kali dicatat oleh otoritas Belanda pada 1895. Kemudian pada 1902, ilmuan Belanda, Adolf G. Vorderman, juga telah menggambarkan beberapa jenis tempe bongkrek. Ia mencatat pula bahwa tempe bongkrek menyebabkan keracunan makanan yang fatal. Keracunan massal yang lebih jelas perkaranya kemudian tercatat pada 1931 hingga 1937. Ketika itu Hindia Belanda dilanda depresi ekonomi. Penduduk desa kemudian membuat tempe bongkrek sendiri daripada membeli dari pembuat tempe berpengalaman. Hal ini menyebabkan banyak orang keracunan. Per tahun, tempe bongkrek beracun menyebabkan 10–12 orang meninggal. “Hanya sedikit yang selamat. Penduduk desa setempat percaya bahwa keracunan itu disebabkan oleh roh jahat atau oleh Dewi Samudera Hindia yang sedang marah!” sebut William Shurtleff dan Akiki Aoyagi dalam History of Tempeh, a Fermented Soyfood From Indonesia . Sejak awal 1930-an, W.K. Mertens dan A.G. van Veen dari Eijkman Institute di Batavia telah menyelidiki penyebab keracunan tempe bongkrek. Pada 1933, mereka menemukan bahwa penyebab munculnya racun pada tempe bongkrek adalah bakteri Pseudomonas cocovenenans . Bakteri inilah yang menghasilkan asam bongkrek dan toksoflavin. “Permulaan penyakit terjadi dalam beberapa jam setelah konsumsi makanan yang terkontaminasi dan kematian dapat terjadi hanya dalam waktu 20 jam,” tulis J. David Owens dalam Indigenous Fermented Foods of Southeast Asia. Menurut Arbianto Purwo dalam “Bongkrek food poisoning in Java” seperti dilansir Shurtleff dan Aoyagi dalam History of Tempeh and Tempeh Product, dari 1951 hingga 1975, sebanyak 7.216 orang keracunan tempe bongkrek. Dari jumlah tersebut, 850 orang di antaranya meninggal dunia. Hal ini menunjukan 11,8% dari mereka yang keracunan berakhir meninggal atau rata-rata 34 orang meninggal dalam setahun. Sementara itu, pada 1975 tampaknya menjadi tahun terburuk kasus keracunan tempe bongkrek. Sebanyak 1.036 orang keracunan dan 125 orang meregang nyawa. Kemudian pada 1977, meski jumlahnya menurun, lebih dari 400 orang keracunan dan lebih dari 70 korban meninggal. Sebenarnya, pada 1958 telah diketahui bahwa daun asam dari spesies  Oxalis  yang tumbuh sebagai gulma di Banyumas, dapat mencegah toksisitas pada tempe bongkrek. Namun, penggunaan daun asam ini tidak diadopsi. Pada 1962, pemerintah Indonesia telah melarang produksi tempe bongkrek. Namun, larangan ini tidak berhasil dan keracunan terus terjadi hingga 1980-an. Tercatat pada 1988, racun tempe bongkrek memakan korban 37 orang di Banyumas.

  • Legenda Kota Suci Demak

    Konon, para wali mendirikan Masjid Agung Demak hanya dalam satu malam. Empat tiang utama,  soko guru,  ditegakkan untuk menyokong atapnya. Yang tiga terbuat dari balok kayu utuh. Satu lagi adalah tiang yang disusun Sunan Kalijaga dengan potongan-potongan balok yang tersisa dari pekerjaan wali lainnya. Malam itu sang wali datang terlambat. Karenanya ia pun tak dapat membuat tiang dengan kayu yang utuh. Di masjid itu pula Sunan Kalijaga memperoleh baju wasiat “Antakusuma”. Kabarnya, secara ajaib baju “Antakusma” jatuh dari langit di dalam masjid ketika para wali sedang bermusyarawah. Baju “Antakusuma” kemudian menjadi salah satu pusaka raja-raja Jawa. Panembahan Senopati, raja Mataram pertama, mendapatkan baju itu dari ahli waris Sunan Kalijaga, seorang pandita di Kadilangu. Berkat baju gaib itu, Senopati bisa mengalahkan Pangeran Madiun. Baju Antakusuma membuatnya kebal. Kisah ini seolah mengatakan wahyu raja-raja Mataram dan Jawa Tengah lahir di Masjid Agung Demak. Mukjizat lain terjadi pada Ki Ageng Selo yang dimuliakan sebagai moyang keluarga raja Mataram. Suatu hari ketika berada di ladang, ia menangkap petir lalu membawanya ke Masjid Agung Demak atau kepada Sultan Demak. Kisah Ki Ageng Selo menangkap petir diabadikan dalam ukiran pada  Lawang Bledheg  atau pintu petir di Masjid Agung Demak.  Lawang bledheg  sekaligus menjadi sengkalan memet  (kronogram) yang dibaca “ naga mulat salira wani ” atau menunjukkan tahun 1388 Saka (1466). Konon, pada tahun itulah Masjid Agung Demak didirikan. Menurut sejarawan Belanda, H.J. de Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud dalam  Kerajaan Islam Pertama di Jawa,  legenda dan cerita-cerita tradisi tadi mengungkapkan betapa pentingnya Masjid Demak di alam pikiran orang Jawa Islam. Khususnya pada abad ke-17 sampai ke-19.  De Graaf dan Pigeaud menyebut bahwa Masjid Agung Demak adalah pusat kerajaan Islam pertama di Jawa Tengah. Bahkan, hingga abad ke-19 Masjid Agung Demak menjadi pusat bagi muslim kuno di kawasan itu. Kalau menurut  Babad Jaka Tingkir  Masjid Agung Demak adalah pusat dari seluruh pusaka para raja Jawa. “Mungkin sekali raja-raja Demak menganggap Masjid Demak sebagai simbol kerajaan Islam mereka. Masjid Demak pada abad-abad berikutnya menjadi penting sekali dalam dunia Jawa,” tulis De Graaf dan Pigeaud. Kekuasaan Imam Masjid Masjid Agung Demak berdiri saat perkembangan Islam di Jawa mencapai puncak pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16. Ditandai dengan munculnya Kerajaan Islam Demak. Kemunculan Kerajaan Demak bersamaan dengan keruntuhan Kerajaan Majapahit. Lalu muncul kekuatan-kekuatan baru di daerah pesisir utara Jawa Tengah dan Jawa Timur yang secara bertahap menggantikan kedudukan Kerajaan Hindu kuno itu. “Kekuatan baru ini adalah Kerajaan Demak,” tulis arkeolog Hasan Djafar dalam  Girindrawarddhana dan Beberapa Masalah Majapahit Akhir . Babad Tanah Jawi  mengisahkan pendirian kerajaan itu dimulai dari hutan bernama Bintara. Sunan Ampel Denta (Surabaya), tempat Raden Patah dan saudaranya, Raden Husen berguru, adalah tokoh yang memberi petunjuk pembukaan hutan itu. Di situlah Raden Patah bertempat tinggal. Tak lama setelahnya banyak orang datang ikut membangun rumah di sana, membabat hutan, dan mendirikan masjid. Pembangunan Masjid Agung Demak dan munculnya jamaah di sana, merupakan permulaan pengislaman Pulau Jawa. Masjid pun menjadi salah satu pusat keislaman. Kedudukan ulama atau para wali pun menjadi lebih besar. Menurut guru besar sejarah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra dalam  Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII , itu terdorong oleh kebutuhan para penguasa yang baru masuk Islam untuk menerjemahkan beberapa doktrin syariat ke dalam organisasi sosiopolitik dalam kerajaan.  Begitu pula di Kerajaan Demak, para imam masjid kemudian mendapatkan kekuasaan lebih. Itu berawal dengan jalan memimpin salat wajib lima waktu. “Kekuasaan rohani para imam masjid ini sudah sejak zaman awal penyebaran agama Islam meluas meliputi bidang kehidupan masyarakat,” jelas De Graaf dan Pigeaud. Cerita tentang lima imam Masjid Agung Demak termuat dalam  Hikayat Hasanuddin  yang berisi sejarah singkat raja Banten. Kelima imam itu menjabat selama pemerintahan tiga atau empat raja Kerajaan Demak. Mereka adalah Pangeran Bonang (1490–1506/1512), Makdum Sampang (1506/1512–1515), Kiai Pambayun (1515–1521), Penghulu Rahmatullah (1521–1524) yang dilantik oleh Adipati Sabrang Lor, dan Sunan Kudus (1524–?) yang dinobatkan oleh Syekh Nurullah yang kemudian menjadi Sunan Gunung Jati.   Imam keempat yang pertama diberi sebutan penghulu. Menurut De Graaf dan Pigeaud, itu mungkin dapat dihubungkan dengan pergantian fungsi. Dengan gelar itu, raja mungkin hendak menambahkan tanggung jawab lain. Di Jawa para imam masjid hampir selalu disebut penghulu. Kata ini di tanah Melayu berarti “kepala” tanpa arti khusus di bidang rohani. Ini menunjukkan sejak masa awal perkembangan Islam di Jawa, jabatan pemangku hukum syariat dan imam masjid berhubungan erat. “Gelar penghulu yang sudah dipakai oleh imam-imam di Demak mungkin suatu bukti betapa besarnya kekuasaan yang mereka peroleh, juga di bidang hukum,” jelas De Graaf dan Pigeaud. De Graaf dan Pigeaud menyimpulkan, kedudukan imam amat bergantung pada raja-raja Demak, pelindung mereka. Mungkin waktu kekuasaan duniawi mereka atas jamaah di sekitar masjid makin bertambah besar, mereka bersikap agak lebih bebas. “Yang disebut paling akhir dari daftar imam itu, menurut cerita tradisi Jawa, memegang peranan penting dalam merebut kota Kerajaan Majapahit,” tulis De Graaf dan Pigeaud.  Kendati begitu keberadaan para imam tak disebutkan dalam catatan pelaut Portugis, Tomé Pires dan catatan Belanda pada masa kemudian. “Cerita tradisi membuktikan bahwa pada zaman itu masjid beserta para pengurusnya sangat terpandang,” tulis De Graaf dan Pigeaud. Kesetiaan Kepada Para Wali Legenda dan cerita tradisi banyak menghubungkan Masjid Agung Demak dengan Wali Songo .  Ada Pangeran Kudus dan dua sanak keluarganya yang lebih tua, Sunan Ngampel Denta dan Sunan Bonang. De Graaf dan Pigeaud menyebut legenda-legenda itu memang tercipta untuk menghormati orang-orang suci itu. Terutama Sunan Kalijaga sebagai wali dan pelindung generasi penguasa Jawa Tengah. Menurut De Graaf dan Pigeaud dalam  Islamic States in Java 1500–1700  orang Jawa yang saleh pada abad ke-17 dan masa kemudian, percaya kalau Islam disebarkan di Jawa oleh Wali Songo   yang berpusat di masjid suci Demak. Karenanya tak heran, kesetiaan yang berurat terhadap para wali itu membuat Masjid Demak tetap merupakan pusat kehidupan agama di Jawa Tengah. Meskipun kekuasaan raja-raja Demak jatuh pada paruh kedua abad ke-16. Saking pentingnya, ada anggapan kalau mengunjungi Kota Demak dan makam orang-orang suci di sana dapat disamakan dengan naik haji ke Makkah. Di banyak daerah di tanah Jawa rasa hormat muslim pada Masjid Demak masih bertahan sampai abad ke-19. Kota Demak dipandang sebagai tanah suci. “Itulah yang terutama menyebabkan nama Demak dalam sejarah Jawa tetap tidak terlupakan di samping nama Majapahit,” tulis De Graaf dan Pigeaud.

  • Mengembara Mencari Ilmu

    Pada masa awal penyebarannya di Nusantara, agama Islam diajarkan secara informal. Anak-anak dan orang dewasa belajar membaca dan menghafal Al-Qur’an dari orang-orang kampung yang telah lebih dulu menguasainya. Sejarawan Martin van Bruinessen menjelaskan bahkan sebelum abad ke-20 di Kalimantan, Sulawesi, dan Lombok belum ada lembaga semacam pesantren. Jadi, kalau ada seorang haji atau pedagang Arab mampir ke suatu desa di pulau-pulau itu, ia akan diminta singgah beberapa hari. Kemudian ia akan mengajarkan kitab agama di masjid seusai salat. “Ulama setempat di beberapa daerah juga memberikan pengajian umum kepada masyarakat di masjid,” tulis Martin dalam Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat . Murid-murid yang sangat berminat akan mendatangi ulama itu di rumahnya dan bahkan tinggal di sana untuk belajar agama. Sementara murid-murid yang ingin belajar lebih lanjut, biasanya pergi mondok ke Jawa. Bahkan, jika memungkinkan mereka akan langsung belajar ke Makkah. “Itulah juga kiranya situasi yang ada di Jawa dan Sumatra selama abad-abad pertama penyebaran Islam,” jelasnya. Datang Berguru Martin menduga pesantren belum ada sebelum abad ke-18. Penyiaran agama Islam di Jawa awalnya dilakukan lewat  paguron  atau  padepokan . “ Serat Centhini  yang kadang membicarakan perguruan, tidak menyebutnya pesantren melainkan  paguron  atau  padepokan ,” tulis Martin. Dikisahkan sebuah perguruan terkenal di Banten bernama Karang. Letaknya mungkin di sekitar Gunung Karang, sebelah barat Pandeglang. Seorang pertapa, Danadarma, belajar di Karang selama tiga tahun di bawah bimbingan Seh Kadir Jalena. “Mungkin maksudnya ia belajar ilmu yang dikaitkan dengan sufi besar Abd Al-Qadir Al-Jailani,” jelas Martin. Tokoh lain, Jayengresmi atau Among Raga juga belajar di Karang. Ia dibimbing seorang guru Arab bernama Syaikh Ibrahim bin Abu Bakar, yang lebih dikenal dengan Ki Ageng Karang. Dari Karang, Jayengresmi pergi ke paguron besar lainnya di sebuah desa di Jawa Timur. Perguruan itu dipimpin oleh Ki Baji Panutra. Sang guru dikisahkan menguasai kitab-kitab ortodoks dengan sangat mendalam. Namun, Jayengresmi menurut  Serat Centhini  hidup sezaman dengan Sultan Agung Mataram, yaitu paruh pertama abad ke-17. Sedangkan serat ini baru disusun pada awal abad ke-19. Serat Centhini  ditulis atas perintah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amengkunegara III yang memerintah Surakarta (1820–1823). Ia adalah putra Pakubuwono IV (1788–1820). Penyusunannya dipimpin Ki Ngabehi Ranggasutrasna, didampingi Raden Ngabehi Yasadipura dan Raden Ngabehi Sastradipura. Mereka dibantu Pangeran Jungut Mandurareja dari Klaten, Kiai Kasan Besari dari Panaraga, dan Kiai Mohammad Mindad dari Surakarta. “Gegabahlah menganggap bahwa keterangannya benar untuk masa jauh sebelum  Serat Centhini  disusun,” jelas Martin. Soal keberadaan kegiatan keagamaandi Karangitu, kata Martin, dibahas pula dalam primbon Jawa dari Kabupaten Banyumas. Namun yang disebutkan hanya keberadaan guru di Karang. Dikisahkan Seh Bari Karang (Seh Bari ing Kawis) yang konon telah menyebarkan ajaran para wali Jawa. “Naskah dari Banyumas itu tidak menyinggung sebuah perguruan. Hanya menyebutkan sang syaikh,” kata Martin. Alih-alih perguruan, baik di Karang maupun di tempat lain, sumber  Sajarah Banten  yang disusun pada abad ke-17 justru menyebut adanya tempat yang banyak didatangi orang untuk bertapa. Satu-satunya pengajaran agama yang disebutkan di kitab ini adalah pendidikan pribadi putra mahkota di tangan Kiai Dukuh dan qadhi kesultanan. “Jadi pada abad ke-16 dan ke-17 yang ada adalah guru yang mengajarkan agama Islam di masjid atau istana dan ahli tasawuf yang berpusat di tempat pertapaan atau di dekat makam keramat,” jelas Martin. Dai Kelana Selain murid yang mencari guru, dai kelana juga memainkan peran dalam mengislamkan dan mengajar penduduk. Menurut Guru Besar Sejarah UIN Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra, dalam Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII , mereka kebanyakan adalah orang sufi. Kedatangan para dai di Sulawesi jauh lebih akhir dibandingkan dengan bagian barat Nusantara. Guru keliling dari Aceh, Minangkabau, Kalimantan Selatan, Jawa, Semenanjung Melayu, dan Timur Tengah, datang ke Sulawesi pada awal abad ke-17. “Mereka mengislamkan sejumlah besar penduduk Sul a wesi, mencapai keberhasilan jauh lebih besar setelah para penguasa setempat memeluk Islam,” tulis Azyumardi. Salah satunya adalah Yusuf al-Makassari. Ia memperoleh pendidikan dari para dai kelana. Pada waktu itu, Islam sudah mengakar kuat di Sulawesi Selatan. Mulanya, Yusufbelajar membaca Al-Qur’an dengan guru Daeng ri Tasammang. Ia lalu belajar bahasa Arab, fikih, tauhid, dan tasawuf dengan Sayid Ba‘Alwi bin ‘Abd Allah al-‘Allamah al-Thahir, seorang dai Arab yang tinggal di Bontoala, wilayah di Makassar. Ketika umur 15 tahun, Yusuf melanjutkan pelajarannya di Cikoang, sebuah desa di Sulawesi Selatan. Ia belajar kepada Jalal al-Din al-Aydid, seorang guru keliling. “Guru keliling yang diriwayatkan datang dari Aceh ke Kutai, Kalimantan, sebelum akhirnya menetap di Cikoang,” kata Azyumardi. Seusai belajar dari para guru itu, Yusufkemudian menuntut ilmu ke Timur Tengah. Ia berguru pada banyak ulama terkemuka di berbagai negara. Transmisi keilmuan tak berhenti sampai di sana. Banyak murid yang berkeliling mencari ilmu nantinya akan menjadi pengajar. Menurut Azyumardi, sumber-sumber Gowa menyebut Yusuf di Makkah telah mulai mengajar. Ia kemudian membawa ilmunya ke Nusantara hingga ikut membesarkan keislaman di Kesultanan Banten. “Ketika al-Makassari kembali dengan membawa keunggulan keilmuan, Sultan Ageng Tirtayasa dengan segala cara termasuk lewat tali perkawinan, berusaha menahannya di Banten,” jelas Azyumardi. Abdurrauf as-Singkili kemudian dikenal sebagai ulama terkemuka di Aceh. Namun, sebelumnya ia meninggalkan Sumatra sekira 1642 dan mengembara mencari ilmu di banyak tempat di Timur Tengah. Hal itu membuatnya tak pulang selama 20 tahun. Menurut Carool Kersten, dosen senior Studi Islam dan Dunia Islam di King’s College London, dalam Mengislamkan Indonesia, Sejarah Peradaban Islam di Nusantara , ulama ini kemudian membangun reputasinya sebagai penyambung jejaring ulama yang memperoleh ilmu agama yang luas dan mendalam. Itu lewat puluhan tahun perjalanan dan pembelajaran di pusat-pusat pendidikan Islam di seluruh dunia. “Asia Tenggara maritim sudah terintegrasi ke dalam jejaring intelektual dunia Islam yang lebih luas,” kata Kersten. Utamanya Aceh, pada awal abad ke-17 adalah pos terdepan di zona Samudera Hindia. Ia telah mendapat reputasi sebagai pusat pendidikan Islam dan tempat berkumpulnya para ulama. Bukan hanya dari tempat di sebelah timur namun juga dari barat. Model transmisi keilmuan itu masih berlanjut hingga abad-abad berikutnya. Ini nantinya merangsang kemunculan sistem lembaga pendidikan Islam awal di Nusantara. Sementara itu, menurut Azyumardi Azra dalam  Surau Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modern, sistem pengajaran agama di Sumatra Barat berkembang dari Surau. Salah satu yang terkenal berada di Batuhampar, Payakumbuh, Sumatra Barat. Awalnya didirikan oleh kakek Mohammad Hatta, Syaikh Abdurrahman (1777–1899) setelah 48 tahun berkelana menuntut ilmu kepada berbagai ulama terkemuka di Sumatra. Di sana, ia mengajarkan membaca Al-Qur’an. Banyak murid mendatanginya karena telah dikenal sebagai qari terkemuka. Murid-muridnya berdatangan dari dalam maupun luar Minangkabau, seperti Jambi, Palembang, dan Bangka. Banyaknya murid memunculkan gagasan untuk membangun kompleks pendidikan Islam dengan fasilitas memadai. Kersten menyimpulkan bahwa kontak antarulama yang ikut serta dalam jejaring yang melintasi Samud e ra Hindia menimbulkan interaksi antarulama yang makin intens. Ini pun merangsang pertukaran ilmu Islam. Pertukaran itu ikut mengembangkan budaya menulis muslim baru di Asia Tenggara menggunakan bahasa lokal. Lalu merangsang cara baru melegitimasi kekuasaan politik dan patronase kerajaan untuk pendidikan agama. Jejaring ulama itu kemudian ikut memunculkan pula sistem pendidikan Islam, seperti pesantren. Azyumardi berpendapat, berkembangnya pendidikan Islam juga terdorong oleh keyakinan bahwa pendidikan atau pengajaran merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Banyak ayat Al-Qur’an, termasuk ayat pertama, menjelaskan kewajiban muslim menuntut pendidikan dan pengajaran di mana pun dan kapan pun. “Karenanya dalam sejarah kaum muslim tradisi pengajaran selalu menempati posisi sangat penting,” katanya .

  • Sang Jenderal Jadi Tukang Nasi

    SEJAK tahun 1960, Mayor Jenderal Ibrahim Adjie kerap wara-wiri Bandung-Bogor-Jakarta. Statusnya sebagai panglima Komando Daerah Militer VI Siliwangi (Kodam VI Siliwangi) mengharuskan dirinya kapan pun siap dipanggil oleh Presiden Sukarno. “Ada saja perintah untuk datang jika kebetulan Bung Karno sedang ada di Riung Gunung Puncak atau Istana Bogor bahkan tak jarang juga dipanggil langsung ke Jakarta,” ungkap Kiki Adjie, salah satu putra dari Ibrahim Adjie. Menurut Kikie, di tengah perjalanan itulah Ibrahim kadang minta berhenti di sebuah kawasan yang sangat strategis dan pemandangannya indah. Dia akan turun di sana sekadar untuk menikmati suasana. “Kadang lama juga ayah saya diam di situ,” ujar Kikie. Rupanya kebiasaan berhenti di kawasan Puncak itu diam-diam memunculkan ide bisnis di benak sang jenderal. Belasan tahun kemudian, saat sudah pensiun sebagai tentara, dia mendirikan Rindu Alam, restoran legendaris yang mulai beroperasi sejak 1979. Sejak kemunculannya, Rindu Alam langsung diminati banyak orang. Begitu ramai-nya, hingga tak jarang Ibrahim pun turun langsung melayani para pengunjung. Kikie masih ingat, ayahnya tak segan berpakaian layaknya pramusaji ketika ikut melayani para pelanggan. “ Enggak  apa-apa. Ayeuna mah jenderal-na oge jadi tukang sangu euy  (Sekarang jenderal-nya juga sudah jadi tukang nasi),” katanya suatu hari saat beberapa pegawainya risih dan secara sopan mengingatkan Ibrahim bahwa dia adalah eks Panglima Kodam Siliwangi. Ada suatu kejadian lucu. Suatu hari, seorang perwira menengah dari Kodam Siliwangi datang bersama keluarganya mengunjungi Rindu Alam. Mereka memesan banyak makanan yang tentunya harus melibatkan lebih dari dua orang untuk menyajikannya. “Dengan memakai celemek, ayah saya pun memutuskan untuk langsung turun tangan dengan ikut membawa beberapa hidangan,” kenang Kikie. Begitu tahu yang menghidangkan makanan untuk dia dan keluarganya adalah seorang eks Panglima Kodam Siliwangi, sang perwira pun dengan sigap langsung berdiri tegap seraya memberikan hormat secara militer. Ibrahim hanya tertawa dan menyuruh sang perwira kembali duduk. “Tidak usah begitu. Sekarang kamu jadi raja buat saya, jadi kamu duduk saja yang enak,” ujar Ibrahim. Ibrahim memang termasuk santai dalam menghadapi para bawahannya. Dia lebih banyak berlaku layaknya seorang bapak dibandingkan seorang komandan tentara. Tak aneh jika di kalangan anak buahnya, nama Mayor Jenderal TNI Ibrahim Adjie begitu populis. Begitu dekatnya, hingga Adjie tak segan-segan turun langsung ke palagan sekalipun. “Waktu Operasi Pagar Betis pada awal 1960-an, ayah saya tak jarang menyertai langsung para prajurit yang tengah menghadapi gerilyawan Darul Islam pimpinan Kartosoewirjo di hutan-hutan Jawa Barat,” ujar Kiki Adjie. Kendati seorang panglima, Ibrahim tak pernah berlaku sok berwibawa. Alih-alih  jaim , ia justru sangat berbaur dan berusaha “tak berjarak” dengan para prajuritnya. Adjie sadar, para prajurit adalah garda terdepan saat menghadapi musuh-musuh negara. Karena itu apresiasi dan penghargaan seorang komandan mutlak harus dijalankan kepada mereka. Ada lagi sebuah kisah yang mencerminkan kedekatan Adjie dengan para anak buahnya. Ceritanya, pada 1962, Adjie mengundang semua atase militer asing di Jakarta untuk melihat Jawa Barat. Kegiatan itu dilakukan sebagai upaya pembuktian kepada perwakilan negara-negara di dunia bahwa wilayah Jawa Barat sudah aman dari gangguan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Rute perjalanan rombongan panglima dan para atase militer asing itu dimulai dari Bandung lalu sampai ke Pangandaran. Jalan yang masih jelek berbatu menjadikan hampir sebagian besar anggota rombongan kelelahan. Mengetahui itu, begitu sampai di Kalipucang, Ibrahim memerintahkan rombongan untuk beristirahat sejenak. Nasi berbungkus daun pisang lantas dibagikan kepada pengawal dan anggota rombongan termasuk panglima Divisi Siliwangi yang juga mendapat sebungkus. Acara makan dilakukan secara bersama-sama. Tak ada batas antara perwira, bintara dan tamtama, semuanya menyatu. Saat acara makan baru dimulai, Ibrahim menengok bungkus nasi salah seorang prajurit pengawal yang sedang asyik menyantap jatah nasi bungkusnya. “ Geuningan sangu maneh mah euweuh dagingan  (Kok nasi bungkus milik kamu tidak ada dagingnya?)," kata panglima. Menyaksikan hal tersebut, Adjie kemudian menyodorkan jatah nasi bungkusnya kepada prajurit itu: “Ini saja makan sama kamu,” katanya. Ditawari secara tiba-tiba oleh panglimanya, prajurit itu sigap berdiri menerima nasi bungkus sambil berseru: “Siappp!” lalu ia terbatuk-batuk dan mulutnya menghamburkan nasi yang sedang dikunyah. “ Euh, maneh mah  (Halah, kamu ini),” kata Adjie sambil menyodorkan air minum. Ajudan panglima yang bernama Kapten Ramdhani menjadi jengkel. Setengah memaki, dia berkata kepada prajurit itu: “ Maneh mah, ari samutut tong ngajawab!  (Kamu ini, kalau mulut lagi penuh makanan ya jangan jawab!). Semua anggota rombongan kontan tertawa menyaksikan kejadian itu.

  • Herawati Diah Wartawati Brilian Penerus Jejak Sang Ibu

    LANTARAN diminta pihak sekolahnya untuk mengenakan pita oranye sebagai perayaan hari ulang tahun Ratu Belanda Wilhelmina, bocah Siti Latifah Herawati meminta pada ibunya, Siti Alimah, untuk disiapkan pita oranye. Betapa terkejutnya Herawati karena sang ibu justru melarangnya. Bagi Herawati, Ratu Wilhelmina ialah ratunya juga. Namun tidak bagi Alimah. “Mengapa?” tanya Herawati kecil, bersedih. “Karena kamu bukan orang Belanda,” kata Alimah. Alimah tak menjelaskan kalau oranye adalah warna Kerajaan Belanda. Alimah memang perempuan teguh pendirian, yang mendorong Herawati untuk terus belajar dan mengadopsi gaya hidup Barat. Hidup dalam tekanan kolonialisme membuatnya ingin melihat anak-anak dapat maju supaya sejajar dengan penjajah. Alimah pernah dilarang masuk di Restoran Capitol, Batavia lantaran berpakian kebaya. Sejak itu, ia selalu mengenakan busana gaya Barat bila ingin memasuki tempat-tempat di mana inlanders dilarang masuk. “Apa yang terjadi bagi diri saya tidak akan kamu alami,” kata Alimah. Ia menginginkan putrinya belajar dan berpendidikan tinggi. Alimah merupakan sosok panutan bagi Herawati. Alimah tak punya latar belakang pendidikan formal. Ia melatih dirinya sendiri. “Ia pun ke mana-mana mengendarai mobil sendiri. Hebat ibuku untuk zaman itu,” kata Herawati dalam autobiografinya, Kembara Tiada Berakhir . Siti Alimah, ibu dari Herawati. (Sumber: Kembara Tiada Berakhir). Keputusan agar Herawati melanjutkan sekolah ke Amerika pun merupakan ide ibunya. Saat itu, menyekolahkan anak ke Amerika merupakan tindakan tak lazim. Pasalnya, kebanyakan keluarga terpandang mengirimkan anaknya ke Belanda. “Ibu menjadi ejekan dari saudara-saudaranya, khususnya dari mereka yang bekerja untuk pemerintah kolonial. Tapi ia nekat, dan berangkatlah saya, naik kapal laut,” kata Herawati. Petuah Alimah bahwa orang pribumi hanya akan maju jika memeluk kebudayaan Barat bukan berarti membuang seluruh tatacara yang diperolehnya semasa kecil. Alimah  amat rajin mengaji dan menyuruh anak-anaknya mempelajari agama. “Haji Agus Salim pernah mengajar kami tentang aqidah. Dengan bahasanya yang tinggi, kami kurang menghayati pelajaran yang sebetulnya untuk tingkat jauh di atas anak usia 13 tahun,” kata Herawati . Alimah merupakan kakak dari Achmad Subardjo yang di kemudian hari jadi menteri luar negeri Indonesia pertama. Kakak-beradik ini suka sekali mengobrol soal politik. Aspirasinya begitu banyak. Suatu hari, Alimah mendirikan majalah bernama Dunia Kita, namun tak bertahan lama karena pendudukan Jepang. Mimpi Alimah itu ia teruskan pada Herawati. Setahun setelah kemerdekaan, Alimah menjual rumahnya untuk modal Herawati mendirikan kantor berita. “Kini terbitkanlah kembali majalah tersebut. Tapi ganti namanya menjadi Keluarga,” kata Alimah. Herawati akhirnya menjadi wartawan dan menikah dengan wartawan pula, BM Diah, sehingga namanya dikenal dengan Herawati Diah. Keduanya menggerakkan harian Merdeka. Herawati bahkan memimpin majalah mingguan Merdeka dan majalah titipan ibunya, Keluarga. Pasangan itu lalu mendirikan harian berbahasa Inggris Indonesian Observer yang terbit pertama pada 1 Oktober 1954. Herawati Diah wartawan  Merdeka  dan pendiri majalah  Keluarga  serta  Indonesian Observer.  Kala para aktivis perempuan bertandang ke India untuk menghadiri All Indian Women’s Congress yang diselenggarakan di Madras, November 1947, Herawati ikut sebagai peliput dari Merdeka . Utami Suryadharma menceritakan dalam memoarnya, Saya, Soeriadi, dan Tanah Air , mereka semua menumpang pesawat Kalingga Airlines milik Bijayananda (Biju) Patnaik, pengusaha dermawan India kepercayaan Jawaharlal Nehru. Patnaik kerap mengemban misi rahasia bolak-balik terbang ke Yogyakarta untuk membawakan obat-obatan dan bantuan lain untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia. Kebetulan, kala itu Patnaik di Yogyakarta untuk menemui Sukarno. Informasi tentang rencana kepulangan Patnaik ke India didapat dari suami Utami, Kepala Staf Angkatan Udara Komodor Soeriadi Suryadarma. Maka berangkatlah rombongan Kongres Perempuan Indonesia yang terdiri atas Utami, Siti Sukaptinah, dan Sulianto Sukonto (Saroso) dibarengi Herawati sebagai peliput. Sebagai wartawan perempuan yang sudah menikah, Herawati menemukan beberapa tantangan untuk menyeimbangkan kehidupannya. Baginya, keluarga sama pentingnya dengan karier. Ia pun mengaku merasa beruntung punya suami yang berprofesi serupa karena bisa memahami penyitaan waktu akibat pekerjaannya. Ia mengkritisi bagaimana pembagian tugas dalam keluarga mempengaruhi karier perempuan, khususnya dalam bidang jurnalistik. Ia mencotohkan, di masyarakat jarang sekali wartawan pria bingung membagi waktu antara mengurus keluarga atau menyelesaikan deadline . Hal sebaliknya terjadi para perempuan. Padahal, bagi Herawati, bila pembagian tugas dalam keluarga diubah secara mendasar, seorang perempuan bisa dengan tuntas mengejar karier wartawannya. “Sayang. Selama masyarakat menganggap itu wajar jika pria mengabaikan keluarganya, dan tidak wajar bila perempuan melakukan hal yang sama. Selama itu pula kita akan melihat bidang ini didominasi oleh praktisi pria,” kata Herawati.

bottom of page