Hasil pencarian
9593 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Roem: Tidak Ada Waktu Membenci Sukarno
Periode 1960-an merupakan tahun-tahun terberat bagi perpolitikan Indonesia. Perubahan sikap Presiden Sukarno yang dianggap menjadi penyebabnya. Gelombang kehancuran pun begitu kentara saat pemerintah mulai menutup diri dari berbagai kritik. Juga saat mereka semakin reaktif terhadap berbagai tindakan yang dinilai bertentangan dengan kebijakan sang pemangku kekuasaan. Akibatnya, pada 1962, enam orang tokoh penting tersingkir dan dipenjarakan. Sebagian dari mereka adalah kawan yang pernah berjuang bersama Sukarno semasa kemerdekaan, yakni: Sutan Sjahrir, Prawoto, Mohammad Roem, Subadio Sastrosatomo, Anak Agung Gde Agung, dan Sultan Hamid. Bagi Roem, diceritakan dalam Bunga Rampai dari Sejarah , penangkapan tersebut cukup membuat ia dan kawan-kawannya tertekan. “Alasannya karena menurut “logika revolusi” harus ditarik garis yang tegas antara kawan dan lawan. Karena kami tidak dapat dipandang sebagai kawan maka kami dianggap musuh. Sangat sederhana berpikir menurut logika revolusi!” tegas Roem. Selama di balik jeruji, para tahanan politik ini ditempatkan di dalam blok yang sama. Ikatan emoisonal pun semakin terbangun di antara mereka. Satu sama lain sudah saling mengenal sifat-sifat, serta kebiasaan kawan senasibnya ini. Dan di antara semuanya, Roem cukup tertarik dengan kebiasaan Subadio yang beraktifitas pada pukul 12 malam. Bermodalkan rasa penasaran, Roem memberanikan diri bertanya kepada Subadio. Tokoh PSI (Partai Sosialis Indonesia) itu lalu bercerita bahwa dia diberi pesan oleh ibunya agar jangan tidur sebelum jam 12 malam, atau jika sesuatu membuatnya terpaksa harus tidur, dia diminta untuk bangun meski hanya sebentar. Kemudian di luar kamar tidur, Subadio diminta untuk “memohon kepada Tuhan agar dosa Sukarno dimaafkan”. Roem terperangah. Hampir tidak ada komentar yang keluar dari mulutnya saat Subadio berkata demikian. Dia tidak menyangka kawannya ini memiliki pandangan hidup seperti itu, mengingat sikap Sukarno kepadanya. Roem juga menyaksikan sendiri ucapannya bukan hanya sebatas di mulut saja, setiap malam Subadio benar-benar melaksanakan pesan sang ibu. Meski hanya sebuah kalimat sederhana, pesan ibu Subadio terukir begitu dalam di ingatan Roem. “Subadio seorang yang berbahagia, meskipun sudah matang dan dewasa, masih mempunyai seorang ibu, yang memberikan pandangan hidup. Tentu Subadio sendiri setuju, dalam pada itu sesuatu “pengasih” dari ibu, mempunyai nilai lebih, dari pada kalau sikap hidup itu hasil pemikiran sendiri,” ungkap Roem. Suatu hari dia berkesempatan bertemu ibu Subadio saat kunjungan ke penjara. Keduanya sempat saling menyapa dan berbincang. Selain pemikirannya, kepribadian ibu Subadio juga rupanya membuat Roem terkesan. Berbagai pertanyaan seketika timbul dibenaknya: apakah ibu Subadio memang tidak membenci Sukarno? atau Mengapa dia meminta putranya memohon kepada Tuhan agar dosa Sukarno dimaafkan? “Kesimpulan penulis, ialah bahwa Ibu Sastrosatomo (Subadio) tidak membela Sukarno, tapi prihati dan berusaha agar putranya jangan dihinggapi penyakit benci Sukarno. Dan kalimat yang ia berikan kepada putranya itu merupakan suatu latihan mental yang dikerjakan tiap hari, yang menurut penulis efeknya akan tepat,” tulis Roem. Lantas bagaimana dengan sikap Roem? Baginya ucapan ibu Subadio sangat menolongnya. Dia jadi sungguh-sungguh memikirkan kebenciannya kepada Sukarno, dan mempertimbangkan agar tidak membenci Sukarno atas segala dosa yang dibuatnya. Sebab kebencian, kata Roem, tidak memberi manfaat apapun. Tapi dia tidak mungkin bisa bersikap sejauh ibu Subadio di dalam memandang sosok Sukarno. Terkesan Tidak Membenci Pada Agustus 1967, Roem berangkat ke Belanda. Setiba di Bandara Schiphol, Amsterdam, sejumlah wartawan telah menunggu kedatangan Roem. Mereka ingin meminta kabar terkini soal Indonesia dari sang diplomat. Terutama tentang perubahan situasi politik yang sedang terjadi di Tanah Air, dan kondisi Sukarno di dalam negeri. Setelah selesai memberi keterangan pers, Roem pamit melanjutkan perjalanannya. Ketika akan beranjak, seorang wartawan melontarkan pertanyaan yang menohok. “Tuan Roem, mengapa anda tidak membenci Sukarno?” tanyanya. Roem terdiam. Dia sama sekali tidak ingin menceritakan kepada wartawan itu bahwa seorang perempuan yang bijaksana telah memberkati pikirannya dengan falsafah yang sangat baik. Sambil berpura-pura heran, Roem berbalik melontarkan pertanyaan. “Siapa bilang saya tidak membenci Sukarno? Saya sudah ditahan 4 tahun 4 bulan, tanpa diadili,” pungkas Roem. “Anda menjawab berbagai-bagai pertanyaan tentang Sukarno, dan tidak ada gejala-gejalanya bahwa anda membenci Sukarno,” jawab si wartawan. Karena sesi wawancara memang sudah selesai, dan beberapa kawan yang menjemput sudah lama menunggu, Roem segera mengakhiri percakapan itu. Sambil tertawa dia mengatakan: “Oh, saya tidak punya waktu untuk membenci Sukarno”. Para wartawan tertawa dan mereka berpisah.
- Ali Sadikin Menutup Jakarta
MENJELANG lebaran, warga Jakarta kembali memenuhi ruang publik. Sempat viral ketika warga turun beramai-ramai menyaksikan drama penutupan sebuah waralaba makanan cepat saji di kawasan Sarinah, Jakarta Pusat. Belakangan ini, warga bahkan tumpah ke beberapa pusat perbelanjaan yang kembali dibuka. Salah satunya, Pasar Tanah Abang yang merupakan sentra tekstil di ibu kota. Padahal, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk meminimalisasi penyebaran virus Covid-19 masih berlaku. Ketidakpatuhan ini membuat tenaga medis yang berjuang di garda depan seakan percuma. Di masa pandemi seperti sekarang, berkumpul di keramaian kian memperbesar potensi penyebaran dan penularan virus. Buntut kekecewaan mereka kemudian memunculkan gerakan “Indonesia? Terserah!” ≠sukasukakaliansaja. Bila menengok kembali ke rumah sejarah, warga Jakarta memang sulit untuk dikendalikan. Perkara serupa juga pernah dialami Ali Sadikin, gubernur terbaik yang pernah memimpin kota Jakarta. Bang Ali –demikian Ali Sadikin disapa– menjabat pada periode 1966–1977. Pada 1970, Bang Ali memberlakukan kebijakan “Jakarta sebagai Kota Tertutup”. Menjadikan Jakarta sebagai Kota Tertutup merupakan upaya untuk mengatur dan mengurangi laju perkembangan penduduk Jakarta. Kebijakan itu kemudian diatur dalam Surat Keputusan Gubernur No lb.3/1/27/1970. Di dalamnya disebutkan Jakarta sebagai kota tertutup bagi pendatang baru dari daerah lain. Ketika diberlakukan, kebijakan Ali Sadikin “menutup Jakarta” cukup mengejutkan publik. Peraturan menetapkan bahwa semua warga harus memiliki kartu tanda penduduk. Hanya mereka yang dapat membuktikan identitas sebagai penduduk tetaplah yang diizinkan menetap di Jakarta. “Tim-tim keamanan sering melakukan razia untuk mengumpulkan para imigran ilegal yang kemudian dikembalikan ke daerah asal mereka,” tulis Susan Blackburn dalam Jakarta: Sejarah 400 Tahun . Operasi kependudukan ini kerap didukung dengan operasi pembersihan jalan. Biasanya ditujukan kepada orang-orang yang memiliki pekerjaan berbasis jalanan. Misalnya, tukang becak dan pedagang keliling. Sejarawan Universitas Indonesia, Tri Wahyuning M. Irsyam mencatat, jumlah penduduk pada saat Ali Sadikin diangkat sebagai gubernur adalah 3.639.465 jiwa. Jumlah tersebut meningkat pada akhir periode pertama Bang Ali (1972), yaitu 4.755.279 jiwa. Pada akhir masa jabatannya yang kedua (1977), jumlah penduduk Jakarta telah mencapai 5.925.417 jiwa. Jika ditelusuri lebih lanjut, tampak bahwa penduduk Jakarta sebagian besar berasal dari luar Jakarta. “Dari data tersebut tampak bahwa Kebijakan Jakarta sebagai Kota Tertutup tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan,” tulis Tri Wahyuning dalam disertasinya yang dibukukan Berkembang dalam Bayang-bayang Jakarta: Sejarah Depok 1950 – 1990. Di tengah jalan, Ali Sadikin kalah lihai dari warganya. Gagasannya menjadikan Jakarta kota tertutup tidak kesampaian. Penyebab kegagalan Bang Ali, sebagaimana dalam penelitian Susan Blakckburn yang menyebutkan terjadi praktik pemalsuan kartu tanda penduduk. Selain lumrahnya pemalsuan identitas, banyak penduduk Jakarta yang menyembunyikan pendatang “gelap”. Para imigran tanpa identitas ini tidak terdeteksi oleh aparatur pemerintah DKI Jakarta. Sementara itu, menurut Ian Wilson dalam Politik Jatah Preman , lonjakan ekonomi pada 1970-an ditandingi oleh gelombang migrasi terus-menerus yang membuat populasi ibu kota terus meningkat. Ali Sadikin pada akhirnya terpaksa berdamai dengan keadaan. Populasi warga Jakarta menjadi sangat besar dan terus bertambah. Dalam perkembangannya, para penerus Ali Sadikin juga tetap berupaya menekan laju pertumbuhan penduduk. “Sayangnya, sejauh ini tidak ada yang berhasil” kata budayawan Betawi Alwi Shahab dalam Robin Hood Betawi: Kisah Betawi Tempo Doeloe “Bahkan, penduduk Ibu Kota kini membengkak lebih dari 10 juta jiwa.”*
- Sukarno dan Islam
Siapa meragukan ke-Islaman Sukarno? Sedari muda akrab dengan Ahmad Hassan dari Persis, pernah akan syahid ketika salat Idul Adha, dan naik haji setelah sukses melaksanakan Konferensi Asia Afrika
- Henk Sneevliet yang Ulet
Peletak dasar komunisme di Hindia Belanda dan dihukum mati oleh NAZI.
- Silakan, Ini Sejarah Satpam
Suwandi, satpam BNI di Kecamatan Bangsri, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, mendapat penghargaan dari Plt. Bupati Jepara, Dian Kristiandi, karena telah bersikap tegas terhadap seorang laki-laki tidak bermasker yang ingin masuk ke bilik ATM. Video aksi Suwandi itu viral di sosial media. Sebelumnya, satpam BCA menjadi trending topic . Akun @BanyuSadewa yang mengawalinya dengan cuitan disertai unggahan foto satpam BCA: "Cowok berseragam paling baik, ramah dan perhatian itu pokoknya cuman Satpam BCA!" Baca juga: (R)evolusi ATM BCA Karena menyinggung orang berseragam, cuitan itu agaknya terkait video viral sebelumnya, yaitu seorang anggota polisi, Bripda GAP, yang berkata: "Pacar kamu ganteng? Kaya? Bisa gini ga? (mengokang senjata)." Akibatnya, Bripda GAP diperiksa Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Metro Jaya. Tak terima telah di-viralkan, Bripda GAP melaporkan akun @kapansarjana_ yang mengunggah video pertama kali, ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya. Barangkali belum banyak yang tahu kalau sejarah Satpam berhubungan dengan kepolisian. Pendirinya adalah Kapolri Jenderal Polisi Awaloedin Djamin yang menjabat 1978–1982. Gagasannya berawal dari keterbatasan jumlah polisi dalam menjaga keamanan. "Awaloedin Djamin berpikiran bahwa polisi yang jumlahnya terbatas tidak mungkin menjaga daerah pertokoan dan perkantoran. Maka ia mengusulkan adanya Satpam (satuan pengamanan) yang dibiayai oleh kantor tertentu namun latihan dasarnya diberikan oleh pihak kepolisian," tulis sejarawan Asvi Warman Adam dalam Menguak Misteri Sejarah . Baca juga: Jenderal Polisi (Purn) Awaloedin Djamin: Soekanto Bapak Polisi Kita Dalam memoarnya, Pengalaman Seorang Perwira Polri , Awaloedin Djamin menjelaskan, untuk menggalang partisipasi masyarakat, Polri dengan dukungan Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) mencanangkan sistem Kamtibmas Swakarsa termasuk keamanan lingkungan (Siskamling). “Pola ini saya susun dengan jelas, untuk daerah pedesaan dan daerah perkotaan, untuk kawasan permukiman dan lingkungan usaha serta perkantoran," kata Awaloedin. Kapolri Letjen Polisi Awaloedin Djamin menerima kunjungan kehormatan Kepala Kepolisian Filipina Mayjen Fidel V Ramos (kiri), Desember 1979. (Wikipedia/Dok. Kompas /Dinas Penerangan Polri). Setelah penelitian dan studi perbandingan, Awaloedin mengeluarkan Surat Keputusan Kapolri No. Pol.: SKEP/126/XII/1980 tanggal 30 Desember 1980 tentang Pola Pembinaan Satpam. "Saya bentuk Satpam (satuan pengamanan), terjemahan dari security guards ," kata Awaloedin. "Lahirnya Satpam ini tidak begitu mulus. Sebelumnya, sudah ada beberapa perusahaan swasta yang bergerak di bidang pengamanan, yang umumnya dipimpin oleh purnawirawan Pati ABRI." Awaloedin menetapkan Satpam merupakan tanggung jawab perusahaan atau instansi yang bersangkutan, serta didaftar, dilatih, dan dibina oleh Polri. Bagi Awaloedin, pembentukan Satpam juga untuk menghindari pengalaman yang terjadi di negara lain. "Di Jepang misalnya, terdapat Yakuza yang memaksakan perlindungan bagi pengusaha-pengusaha. Demikian pula permulaan mafia di Amerika Serikat," kata Awaloedin. Baca juga: Nick Zapetti Raja Mafia Amerika di Jepang Pada tahap persiapan, dalam suatu acara di Mabak (Markas Besar Angkatan Kepolisian), Kepala Perbekalan Umum Brigjen Polisi Drs. Basiroen Nugroho, memperagakan berbagai contoh seragam Satpam. Awaloedin memutuskan seragam Satpam: biru-biru untuk lapangan dan biru-putih untuk lingkungan gedung perusahaan. Pada lengan harus ditempeli nama perusahaan dan wilayah Polri tempatnya bertugas. Segera setelah Surat Keputusan Kapolri keluar jumlah anggota Satpam meningkat menjadi 30.000 di seluruh Indonesia. Wadah profesi Satpam, Asosiasi Manajer Sekuriti Indonesia (AMSI), terbentuk pada 9 Juli 2001 di Jakarta. Dalam perkembangannya, AMSI berubah menjadi Asosiasi Profesi Sekuriti Indonesia (APSI) pada 1 November 2018. Pada hari ulang tahun Satpam yang ke-13 tanggal 30 Desember 1993, dalam suatu acara di Mabak, Kapolri Letjen Polisi Drs. Banurusman mengukuhkan Awaloedin Djamin sebagai Bapak Satpam Indonesia. Awaloedin Djamin meninggal dunia pada 31 Januari 2019.
- Ironi Pendiri McDonald's dalam The Founder
SAMBIL menggendong mixer atau pengaduk otomatis milkshake nan berat, Ray Kroc (diperankan Michael Keaton) berusaha “menjahit” kata-katanya demi meyakinkan seorang pemilik restoran drive-in agar mau membeli alat dagangannya itu. Semua jurus bujuk rayunya sebagai salesman senior pun dikerahkannya. Sial, mixer bermerk White Castle-nya itu tak jua laku. Silat lidah Kroc menjajakan mixer itu mentah oleh beberapa pemilik restoran di Negara Bagian Illnois. Di medio 1951 itu, alat yang dijajakan Kroc belum familiar digunakan restoran-restoran drive-in . Alhasil Kroc selalu pulang dengan langkah gontai dan pikiran kusut. Namun, suatu hari, Kroc mendapat telepon dari Richard ‘Dick’ McDonald (Nick Offerman), pengusaha restoran cepat saji di San Bernardino, California. Di ujung telepon, Dick memesan enam mixer sekaligus minta diantarkan langsung ke tempatnya. Kroc sempat ragu, namun akhirnya ia pun mencoba peruntungannya membawa sendiri alat-alat itu. Tak disangka, perjalanan darat sejauh hampir dua ribu mil melewati lima negara bagian itu bakal mengubah masa depannya. Lewat adegan-adegan itulah sutradara John Lee Hancock membuka film biopik bertajuk The Founder . Film ini mengisahkan bagaimana “kerajaan” franchise McDonald’s bermula dari sekadar restoran kecil di pesisir barat Amerika Serikat. Michael Keaton (kanan) memerankan sosok Roy Kroc, visioner yang membawa McDonald's mengglobal (Foto: britannica.com/IMDb ) Bermula dari pesanan mixer untuk milkshake itulah Kroc berkenalan dengan dua bersaudara: Dick dan Maurice ‘Mac’ McDonald (John Carroll Lynch). Kroc terkesima dengan cara restoran hamburger seharga 15 sen dolar itu beroperasi. Tidak hanya soal cita rasa burger yang ia jajal, namun juga dengan kecepatan penyajian pesanannya. Tak pernah ia melihat restoran dengan sajian pesanan secepat 30 detik di manapun, apalagi jika membandingkan dengan restoran-restoran drive-in yang ditemui Kroc sebelumnya. Sudah lelet penyajiannya, sering tak sesuai pesanannya pula. Kroc yang terkagum-kagum, diajak tur operasional restoran McDonald’s itu. Ia mendapati rahasianya, yakni efisiensi yang ditopang dua faktor: Pertama , menu sederhana di mana McDonald’s hanya menyajikan burger, kentang goreng, dan soft drink . Hal itu berpengaruh juga pada faktor Kedua , yakni “Speedee Service System” atau sistem operasional ekstra cepat. Jadi kalaupun konsumennya mengular, mereka tak perlu menunggu lama karena punya standar pelayanan berdurasi 30 detik per pesanan. Kroc lantas mengajukan ide agar McDonald’s membuka franchise. Tetapi ide itu ternyata sudah pernah dijalankan Dick dan Mac yang berujung kegagalan. Perkara utamanya adalah quality control . Tetapi Kroc tak menyerah. Ia mengaku punya solusi untuk itu. Kroc bahkan rela menggadaikan rumahnya untuk memodali franchise McDonald’s lewat perjanjian hitam di atas putih dengan Dick dan Mac. Adegan Ray Kroc (tengah) meyakinkan Dick dan Mac McDonald untuk mau membuka franchise McDonald's (Foto: IMDb) Bagaimana kelanjutannya? Seperti apa intrik-intrik culas namun sukses yang dilakoni Kroc hingga franchise McDonald’s berkembang pesat tak hanya karena bisnis kuliner tapi juga properti? Jauh lebih asik Anda tonton sendiri The Founder, yang sebetulnya sudah rilis pada 20 Januari 2017 namun hanya bisa disimak sebagai tontonan di rumah akibat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) imbas pandemi corona , di layanan daring berbayar Netflix dan CATCHPLAY+ . The Founder bisa jadi suguhan pas untuk memuaskan diri tanpa harus melanggar PSBB. Tak hanya memanjakan dengan suasana era 1960-an sebagai latarbelakang, The Founder juga cermat menyajikan set gambar dan properti yang detail. Lebih jauh, iringan music scoring retro Carter Burwell juga membangkitkan nostalgia. Dari Kedai Hotdog hingga Kerajaan Fast Food Nostalgia serupa, meski berwajah beda, yang dirasakan ratusan pelanggan setia McDonald’s Sarinah saat membuat kehebohan dengan seremoni penutupan McD tertua itu pada 10 Mei 2020, tak peduli di ibukota tengah diberlakukan PSBB. Hampir setiap pelanggan punya kenangan masing-masing. Alhasil, pengelola outlet McDonald’s pertama yang beroperasi sejak 14 Februari 1991 itu didenda Rp10 juta karena melanggar Pergub DKI Jakarta Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan PSBB dalam penanganan COVID-19. Outlet McDonald's di Sarinah, Thamrin, Jakarta yang tutup per 10 Mei 2020 (Foto: Fernando Randy/HISTORIA) Yang tak disajikan secara mendetail The Founder adalah bagaimana dua bersaudara Dick dan Mac McDonald pontang-panting membangun restoran fast food kondang itu dari nol. Mengutip Marcia Chatelain dalam Franchise: The Golden Arches in Black America , bisnis kuliner dua bersaudara itu merupakan warisan dari ayahnya, Patrick McDonald sejak 1937. “Patrick McDonald membuka kedai ‘The Airdrome’ dekat Bandara Monrovia, California sejak 1937. Ia menyajikan paketan hotdog dan jus jeruk yang dibanderol 10 sen. Menu burger jadi tambahan dalam paketan senilai sama di kemudian hari,” tulis Chatelain. Tiga tahun berselang, bisnis itu diwariskan kepada Dick dan Mac yang kemudian mengumpulkan modal untuk membangun sebuah restoran barbecue. Dick dan Mac memulainya pada 1940 di San Bernardino, California dengan restoran bernama “McDonald’s Bar-B-Que” dengan 25 pilihan menu. Dua pendiri McDonald's, Dick dan Mac McDonald (Foto: allardrealestate.com ) Restoran itu kurang moncer dan baru pada Oktober 1948 Dick dan Mac menyadari bahwa mereka terlalu banyak menyajikan pilihan menu sehingga berimbas pada terbuangnya bahan-bahan baku sejumlah menu yang tak laku. Selain itu, lamanya waktu penyajian bikin para pelanggan tak sabar. “Pada 1948 itulah McDonald bersadara menyadari bahwa ternyata produk mereka yang paling laris hanya menu burger. Mereka juga mengubah konsep restorannya dari restoran drive-in atau carhops menjadi restoran cepat saji dengan model ‘Speedee Service System’,” ungkap Quentin R. Skrabec dalam The 100 Most Significant Events in American Business: An Encyclopedia. “Sistem servis itu membatasi menu hanya berupa burger, kentang goreng, susu kocok dan soft drinks. Mereka meminjam sistem cepat saji itu dari pionir yang juga pemilik resto cepat saji White Castle, Walter Anderson. Tetapi McDonald’s bersaudara mendesain ulang dapur mereka yang sama sekali berbeda dari White Castle untuk mendongkrak kecepatan dalam hal persiapan pesanan,” lanjutnya. Resto fast food McDonald's pertama di San Bernardino beroperasi pada 1948-1955 (kiri) & outlet pertama di luar negeri, tepatnya di Richmond, Kanada yang hadir pada Juni 1967 (Foto: mcdonalds.com ) Setelah berkenalan dan bekerjasama dengan Kroc pada 1951, resto cepat saji itu mulai diglobalkan. Kroc juga memasukkan McD ke pasar saham sehingga dia bisa lebih leluasa mencari investor. Lewat sejumlah program pemasaran yang ia buat, McDonald’s sudah punya 100 outlet di dalam negeri pada 1959. “Pertumbuhan demografi di sejumlah kawasan pinggiran kota juga jadi faktor yang membantu franchise McDonald’s. Namun di sisi lain, Kroc dan McDonald bersaudara mulai berselisih sampai pada 1961 Kroc berhasil memaksa McDonald bersaudara menjual hak franchise-nya senilai USD2,7 juta,” imbuhnya. Setelah jual-beli di atas kertas itu, Kroc bersaing dengan McDonald bersaudara. Kroc dengan cepat membenamkan bisnis mereka. Resto McDonald’s di San Bernardino yang didirikan McDonald bersaudara, tak lagi jadi resto nomor satu. Kroc mengklaim resto McDonald yang ia dirikan di Des Plaines, Illnois pada April 1955 sebagai resto nomor satunya, yang tetap mempertahankan nama franchise McDonald’s-nya. “Namanya tetap akan jadi milik mereka dan saya yakin 100 persen nama itu sangat mudah untuk dipromosikan. Buat saya, rasanya nama itu catchy buat publik. Saya juga punya intuisi yang kuat bahwa nama McDonald’s sudah sangat pas. Saya tak bisa menggantinya,” aku Kroc dalam bukunya, Grinding It Out: The Making of McDonald’s. Cetak biru bangunan resto dengan model "The Golden Arches" yang menginspirasi logo McDonald's saat ini (Foto: mcdonald's.com) Soal logo, mulanya McDonald’s menggunakan ilustrasi kartun seorang koki yang wajahnya mirip Mac McDonald tengah memegang papan harga “15¢”. Pada 1962, logo itu digantikan logo baru berupa sepasang gerbang lengkung emas (The Golden Arches) yang bersinggungan hingga membentuk huruf “M”. “The Golden Arches” sejatinya bermula dari cetak biru desain gedung baru rancangan Dick McDonald, namun belum kesampaian, termasuk ketika mereka berkenalan dengan Kroc pada 1951. Desain itu pertamakali digunakan pada bangunan franchise McDonald’s di Phoenix, Arizona pada Mei 1953. Ketika Fred Turner, bawahan Kroc, diperintah mengerjakan desain baru pada 1962, ia membuat sketsa berbentuk huruf “V”. Sketsa itu lalu disempurnakan Jim Schindler, kepala Teknisi dan Desain McDonald’s Corporation, dengan menambahkan dua garis sehingga membentuk huruf “M” sebagaimana yang digunakan hingga zaman kiwari. Ronald McDonald, maskot kondang yang dicintai jutaan "umat" pelanggan McD (Foto: Fernando Randy/HISTORIA) Hal terakhir yang membuat McDonald’s mengglobal adalah maskotnya, Ronald McDonald. Maskot itu berupa badut ramah berambut merah dan mengenakan kaos bergaris putih-merah dibalut jumpsuit kuning. Sebagai penguat identitas selain logo “M”, patung Ronald wajib dihadirkan di setiap franchise McD. Meski Ronald sering tampil ditemani maskot lain seperti The Hamburglar, Mayor McCheese, Birdie the Early Bird, dan The Fry Kids, karakter Ronaldlah yang diakui paling merepresentasikan McDonald’s. Ronald bahkan jadi karakter kedua yang paling dikenal anak-anak di Amerika setelah Sinterklas. Ronald diklaim sebagai ciptaan Willard Scott. Ia presenter radio asal Washington DC yang juga acap nongol sebagai performer program anak-anak “Bozo the Clown” di WRC-TV . Dalam otobiografinya, Joy of Living , Scott sebagai badut Bozo sering diminta tampil di iklan pada tiga televisi yang dipasang franchise McDonald’s area Washington DC milik Oscar Goldstein. “Saat itu saya sedang terkenal sebagai Bozo tapi kemudian saya merasa ada sesuatu tentang kombinasi antara hamburger dan Bozo yang menarik perhatian anak-anak. Kemudian manajemen lokal McDonald’s ( franchise Washington DC) minta saya membuat karakter baru untuk menggantikan Bozo. Jadi saya duduk di meja untuk mendesain ulang hingga menciptakan Ronald McDonald, si badut hamburger yang bahagia sejak 1963,” tandasnya.
- Ketika Timnas Primavera Puasa di Italia
MENYUSUL Bundesliga Jerman, tiga liga top Eropa lain bakal menggelar kick off lagi terlepas belum sirnanya pandemi virus corona. Di sisi lain, perkara klasik bagi para pemain Muslim kembali muncul, yakni pilihan antara mempertahankan puasa atau memilih profesionalitas. Pengalaman seperti itu pernah dialami Yeyen Tumena, eks bek timnas, PSM Makassar, Persebaya, dan Persma Manado. “Saya mengalaminya langsung mulai dari Primavera ya. Sebagian besar anak-anak (Timnas Primavera) merasa ya akidah tetap akidah. Agama tetap agama, dan sepakbola adalah sepakbola,” kata Yeyen dalam obrolan live “Bolatoria: Puasa dan Sepakbola” di Youtube maupun Facebook yang dihelat Historia dan Bolalob.com pada Jumat (15/5/2020). Menurut Yeyen, titik persoalannya bukan hanya pengertian pihak klub atau pelatih, namun juga bagaimana si pemain menjaga disiplin diri seandainya memilih tetap berpuasa di tengah jadwal latihan dan pertandingan. Tantangan itu datang ketika Yeyen berusia 18 tahun, saat menjadi bagian timnas Primavera. Sebagaimana pemuda Minang yang lazimnya kehidupannya kental nilai agama, Yeyen berusaha sekuat mungkin mempertahankan imannya di bulan Ramadan sekaligus menjawab kepercayaan padanya mengingat hanya 22 pemuda Indonesia yang terpilih masuk tim Primavera. Baca juga: Sepakbola, Puasa, dan Corona Yeyen Tumena (kostum nomor 6) di Tim PSSI Primavera (Foto: Instagram @yeyen_tumena) Mengutip biografi Azwar Anas, Ketua Umum PSSI kala itu, Teladan dari Ranah Minang , proyek Primavera yang memakan dana sekira Rp8 miliar digulirkan PSSI bersamaan dengan pendidikan calon pelatih ke Eropa. Bersama 22 pemain kelompok umur 17-21 tahun, tiga pelatih juga diberangkatkan: Danurwindo dari Semarang dan Suhatman dari Padang. Proyek tersebut dicetuskan berdasarkan rangkuman rekomendasi Franz Beckenbauer, tokoh sepakbola Jerman cum pelatih Bayern Munich, yang diundang Azwar Anas ke tanah air. “Sesuai rekomendasi Beckenbauer, beberapa langkah yang diambil PSSI untuk meningkatkan kualitas sepakbola Indonesia, pertama mendatangkan instruktur untuk para pelatih, pelatihan wasit-wasit, mendidik calon pelatih timnas di Eropa, serta membentuk kesebelasan Primavera dan Barreti (kelompok umur 15-17 tahun. Mereka dilatih di (akademi) klub Sampdoria,” ungkap Abrar Yusra si penulis biografi Azwar Anas. Baca juga: Parma yang Bangkit dari Kubur Timnas PSSI Primavera yang terdiri dari Yeyen cs. dikirim ke Genoa, basis akademi sepakbola Sampdoria, untuk diasuh pelatih asal Swedia Tord Grip. Tim itu disebut Timnas PSSI Primavera lantaran kemudian mereka diikutkan ke kompetisi Campionato Nazionale Primavera musim 1993-1994 guna memperebutkan Trofi Giacinto Facchetti. Kompetisi itu dioperasikan Lega Calcio dan berisi tim-tim asal akademi klub-klub Serie A. “Kita hadir di sana istilahnya dengan tim-tim pelapis Serie A, sehingga pemain-pemain yang ada di Serie A adalah pemain yang lahir di kompetisi Primavera. Semua pemain Serie A pasti melewati fase bermain di Primavera. Alessandro Del Piero, misalnya. Setelah kita kalah lawan Juventus 3-0, di mana semua gol diciptakan dari dia, minggu depannya itu pertandingan terakhir dia untuk kemudian main di Serie A,” tutur Yeyen lagi. “Juventus saat itu lagi kehilangan (Gianluca) Vialli, (Fabrizio) Ravanelli, dan Roberto Baggio. Jadi pemain Primavera yang terdekat yang naik. Debutnya lawan Reggiana sebagai pemain pengganti dan dia cetak gol. Setelah itu tak pernah lagi dia turun ke Primavera,” lanjutnya. Yeyen Tumena (kiri) saat mengawal Ruud Gullit di kompetisi Primavera (Foto: Instagram @yeyen_tumena) Kompetisi Primavera, imbuh Yeyen, juga lazim jadi ajang para pemain yang baru pulih cedera menjalani laga-laga percobaan sebelum comeback ke tim utama. Maka di kompetisi itu Yeyen tak hanya pernah bermain dan mengawal calon-calon bintang macam Alessandro Del Piero dan Francesco Totti, tetapi juga pemain-pemain kawakan macam Pietro Vierchowood hingga Ruud Gullit. “Jadi kalau bicara masa itu, waktu kita lawan Sampdoria, di skuad Primavera-nya mereka ada (Pietro) Vierchowod, (Ruud) Gullit, (Roberto) Mancini. Kurniawan (Dwi Yulianto) saat itu memang bisa bikin gol. Tetapi yang masuk koran bukan Kurniawannya. Justru saya karena saya jaga Ruud Gullit saat itu,” kata Yeyen mengenang. Puasa dan Lebaran di Negeri Pizza Pada awal di Italia, Yeyen cs. mengalami masalah dengan makanan. “Awal-awal kita kesulitan adaptasi dengan makanan di sana: pasta dan pizza,” ujarnya. Beruntung, manajemen mau mendatangkan koki dari tanah air. Maka sejak musim panas 1993, di masa awal kompetisi Primavera, mereka masih dimanjakan masakan-masakan Indonesia. “Tetapi diatur, pagi dan siang makanannya masih ala Italia, malamnya baru makan nasi, ayam goreng dll,” papar Yeyen. Dari adaptasi itu Yeyen mendapati perbedaan asupan karbohidrat, yang punya pengaruh berbeda bagi tubuh, antara dari nasi dan jenis-jenis pasta. Nasi karena mengandung gula, lebih cepat terbakar dalam pencernaan. Sementara, pasta terbilang lebih awet sebagai bahan bakar energi. Pelajaran sederhana ini ternyata berguna bagi para punggawa PSSI Primavera yang berusaha tetap berpuasa di tahun 1994, yang bulan Ramadhan-nya dimulai pada pertengahan Februari. “Memang ketika kita berpuasa, sangat berdampak pada penampilan di lapangan. Seperti kita lawan Fiorentina yang jam tandingnya siang, kita sampai kalah 6-0. Manajemen dan tim pelatih sampai memberi wejangan supaya anak-anak jangan puasa dulu kalau memang tidak mampu mengatur kondisi. Sampai didatangkan psikolog top dari Indonesia, Pak Jo Rumeser,” kata Yeyen. Tim PSSI Primavera saat diperkenalkan ke publik Italia (Foto: Instagram @yeyen_tumena) Rumeser datang untuk memberi gambaran, tetapi bukan dalam konteks memberi tekanan pemain untuk tidak berpuasa. “Kita juga sampai didatangkan ustadz dari KBRI di Roma. Artinya saat kita punya pekerjaan yang cukup berat dan berada di negara orang, kemudian ada target yang mungkin sudah disiapkan, tentu tergantung pada keimanan. Lalu juga bagaimana memenuhi nutrisi yang dibutuhkan karena kita main siang,” tambahnya. Baca juga: AS Roma, Darah Daging Fasisme Italia yang Menggebrak Eropa Setelah diberi pengertian, beberapa punggawa akhirnya memilih untuk tidak berpuasa dan menggantinya di hari lain. Pasalnya, menurut Yeyen, sangat tidak mudah menyesuaikan rutinitas fisik agar tak kekurangan nutrisi untuk tubuh yang harus digenjot jadwal latihan dan pertandingan di tengah ibadah puasa. “Kalau main siang, artinya nutrisi yang dikumpulkan dari malam harus diatur, apa yang dimakan saat berbuka puasa. Kemudian sahur kan harus bangun sebelum Subuh, kemudian tidurnya jadi agak telat. Dari bimbingan mereka, kita mencoba mengambil dua garis besar. Ketika berniat puasa, kita harus disiplin dengan apa yang dibutuhkan,” ujar Yeyen. “Misal, saya butuh 3.500 kalori untuk bertanding. Kemudian saya butuh tiga liter air. Kebutuhan itu apakah sudah kita penuhi ketika berbuka dan sahur? Kalau tak bisa terpenuhi, kita harus berpikir, saya memaksakan main dengan kondisi tidak fit atau saya berhutang puasa. Jadi dua hal itu yang pribadi kita (tentukan, red .), antara mau puasa atau tidak,” tuturnya. Yeyen Tumena (kanan) berbagi pengalaman berpuasa dan Lebaran di Italia dalam obrolan live "Bolatoria" Ketika bulan Ramadan usai, para anggota timnas Primavera yang Muslim mesti shalat ied (Hari Raya Idul Fitri). Seingat Yeyen, saat itu kompetisi tak diliburkan. “Di Italia itu kompetisi tetap jalan, termasuk ketika Idul Fitri. Masjidnya di Genoa itu butuh perjalanan darat tiga jam. Sementara di tim kan tidak semuanya Muslim, dan kita tetap ada jadwal latihan pas Lebaran itu. Sehingga tim pelatih mencoba penyesuaian jadwal di- mix and match ,” ujar Yeyen. “Jadi (pemain-pemain) yang Muslim diantar dulu ke masjid, tapi yang non-Muslim tetap di hotel dan apartemen. Ketika yang Muslim sudah selesai (shalat ied) dan langsung berangkat lagi ke lapangan, teman-teman yang non-Muslim bergerak juga ke lapangan, jadi ketemu di lapangan. Karena kalau yang Muslim ke hotel/apartemen lagi, enggak efisien waktunya.” Baca juga: Balada Klub Antah Berantah Como 1907
- Agresi Militer Saat Puasa
Puasa tahun ini Indonesia berperang lawan Corona. Sementara pada puasa tahun 1947, Indonesia juga sedang berperang lawan musuh yang bernama Belanda.
- Repotnya Membawa Buku Bung Hatta
SELAMA sembilan bulan Mohammad Hatta meringkuk di Penjara Glodok. Dia menjadi pesakitan karena tulisan-tulisannya dalam majalah Daulat Ra’jat yang menyulut propaganda Indonesia merdeka. Tidak cukup di Penjara Glodok, pemerintah Hindia Belanda kemudian berniat mengasingkan Hatta ke Boven Digul, Papua. Hatta sendiri tidak peduli di manapun raganya berada. Yang bikin Hatta gundah adalah bagaimana cara membawa buku-bukunya ikut dalam pengasingan. Karena dengan buku, Hatta merasa bebas. Pikirannya bisa tetap sehat dengan melahap berbagai buku pengetahuan. Begitulah kiranya Hatta punya kecintaan terhadap literasi. Masalahnya, buku Hatta itu banyak sekali. “Dalam peti buku yang berukuran ¼ meter kubik satu, jumlahnya 16 buah. Jadi semuanya 4 m3. Mengepak semua buku itu akan memakan waktu paling sedikit 3 hari,” ujar Hatta dalam Memoir Beruntunglah Hatta kerena pemerintah Hindia Belanda mengizinkan Hatta membawa buku-bukunya ke Digul. Syaratnya, dia hanya diberi waktu tiga hari berturut-turut pulang balik dari Penjara Glodok kerumahnya di Jalan Sawah Besar. Dengan bantuan kemenakan-kemenakannya, semua buku Hatta berhasil dikemas ke dalam 16 peti besi. Pada 28 Januari 1935, Hatta tiba bersama tahanan politik PNI Baru lainnya di Tanah Merah, Boven Digul. Beberapa diantara mereka seperti Sutan Sharir dan Mohammad Bondan. Setelah disambut oleh panitia penerimaan, Hatta mulai teringat lagi dengan barang-barangnya. Dia hanya membawa pakaian dalam 1 kopor sementara buku sebanyak 16 peti besi. Dari kantor pemerintah ke kampung interniran jaraknya sekira 1,5 km. Hatta putar akal karena tidak mungkin menggotongnya sendirian. Seorang anggota panitia penerimaan mengusulkan kepada Hatta agar memakai jasa orang Kaya-Kaya, suku lokal yang mendiami Boven Digul. Orang-orang Kaya yang terdidik memang kerap bekerja membantu kaum interniran. Hatta menerima tawaran tersebut. “Kami berunding dengan seorang Kaya-Kaya yang kira-kira menjadi pemimpin mereka. Ia meminta sebagai ongkosnya satu uang kelip untuk tiap-tiap peti,” kenang Hatta. Uang kelip waktu itu nilainya 5 sen, bentuknya bundar dan berlobang ditengahnya. Memasuki tengah hari, sampailah Hatta di rumah yang disiapkan untuknya. Tidak ketinggalan 16 peti buku yang diusung orang Kaya-Kaya. Berkat bantuan orang Kaya-Kaya itu, Hatta bebas mengisi hari-hari pengasingannya di Boven Digul dengan membaca buku. Pada waktu pagi hingga menjelang siang, Hatta leluasa belajar di ruang bacanya. Setiap dua kali sepekan, Hatta memberi kursus kepada rekan-rekannya sesama tahanan Digul pelajaran ekonomi dan filsafat, Hatta juga dapat menambah penghasilannya dengan menulis karangan untuk surat kabar Pemandangan . Karangan itu dikirim secara berkala tiap bulan. Dalam melakoni pekerjaan intelektual tersebut, tentu saja buku-buku yang diboyong Hatta dari Jakarta itu amat besar perannya. Hingga pada Desember 1935, pemerintah memutuskan memindahkan Hatta ke Banda Neira, Kepulauan Maluku. Lagi-lagi orang Kaya-Kaya diperbantukan untuk menggotong buku-buku Hatta. Namun kali ini, mereka meminta bayaran sebesar 10 sen untuk tiap peti. Di Banda Neira, Hatta juga tidak lepas mengisi waktu dengan buku-bukunya. Belajar dan mengajar tetap menjadi rutinitas. Sekali waktu, buku-buku Hatta kena tumpahan air dari vas bunga oleh anak-anak angkat Sutan Sjahrir dari keluarga Baadilah yang bermain-main. Sjahrir memarahi anak-anak angkatnya itu dan Hatta pun turut meluapkan kegusarannya. Hatta menghardik mereka bahwa buku-buku itu alat pengetahuan yang harus dijaga betul. Rupanya Sjarir jadi merasa ikut bersalah. Pada akhir bulan sesudah kejadian itu, Sjahrir minta diri untuk pindah rumah. Sjahrir ingin menjaga ketenangan Hatta dari gangguan anak-anak angkatnya beserta saudara-saudara mereka yang nakal-nakal. “Ia kuatir nanti banyak buku-bukuku tersiram air, mungkin robek. Semacam itu jangan sampai terjadi,” demikian menurut Hatta. Masa pengasingan di Banda Neira berakhir pada 1 Februari 1942. Dengan kapal terbang laut Catalina, Hatta, Sutan Sjahrir dan tiga orang anak angkatnya diangkut ke Jawa. Tidak banyak yang bisa dibawa karena kapasitas muatan dalam pesawat terbatas. Hatta pun harus rela berpisah dari buku-buku yang sudah seperti anak-anaknya sendiri. “Yang kusayangkan ialah bahwa buku-bukuku tidak dapat dibawa serta dan ditinggalkan di Neira. Hanya satu Atlas Bos yang dapat kupindahkan ke dalam kopor pakaianku yang terbuat dari kulit,” kenang Hatta. Perpisahan Hatta dengan buku-bukunya rupanya hanya untuk sementara. Hatta barangkali ditakdirkan untuk selalu hidup bersama dengan buku-bukunya. Semua buku-buku yang tertinggal di Banda Neira akhirnya kembali ke sisi Hatta setelah dia menjadi wakil presiden Republik Indonesia. Buku-buku itu, kini masih tersimpan rapi di rumah peninggalan Bung Hatta di Jalan Diponegoro 57, Jakarta Pusat.*
- Buto Menari di Banyuwangi
SEORANG lelaki datang diiringi empat rekannya yang masing-masing membawa kuda dari kulit kerbau, cemeti, dan kepala buto. Tak lama setelahnya ia terduduk di tengah lapangan, berdoa, sembari menyanding kemenyan yang terbakar. Sejurus kemudian ia menari dengan cemeti yang ia lecutkan sekali dua. Lelaki yang membawa kuda dari kulit kerbau maju, mengasapi kudanya dengan kemenyan, lantas menemani si lelaki cemeti menari. Lelaki yang membawa kepala buto menyusul kemudian. Begitu ritual pembuka selesai dilakukan, sebanyak 234 buto masuk ke lapangan Krandenan, Purwoharjo. Gelombang pertama yang masuk ialah buto prajurit, diikuti patih, dan terakhir raja. Dengan wajah merah bertaring, rambut gimbal, dan mengapit replika kuda mereka menari ramai-ramai ( flashmob ) dalam Festival Jaranan Buto Millenial , yang masuk agenda Banyuwangi Festival, pada 8 Maret 2020. Para penari buto yang pentas malam itu merupakan murid SD-SMA di Banyuwangi. Suara gamelan, seperti bonang, gong, kempul, seruling, kecer, dan kendang mengiringi tarian perang mereka. Dua kubu saling hadap, berbalas tarian dan lecutan cemeti. Baca juga: Kuda Lumping Gaya Banyuwangi Ada tiga karakter dalam tarian Jaranan Buto, yakni raja, patih, dan prajurit. “Iya butonya juga memiliki nama, rajanya bernama Dosomuko, patihnya bernama Kumbokarno, dan prajuritnya bernama Patih Sekipu,” kata Setro Asnawi, pencipta tari Jaranan Buto Banyuwangi. Setro jadi salah satu seniman tari Jaranan Buto yang mendapat apresiasi dari Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas. Dikabarkan Banyuwangi.go.id dalam kesempatan tersebut Abdullah menyampaikan terima kasihnya kepada Setro, Kayid, dan Jumar yang terus melestarikan Jaranan Buto sebagai kesenian khas Banyuwangi. Penciptaan Setro Asnawi pindah dari Trenggalek ke Banyuwangi pada 1963. Kala itu usianya 23 tahun. Tahun pertama di Banyuwangi ia habiskan untuk bergaul dengan para seniman tari tradisional di Desa Cluring. “Saya mengamati daerah Banyuwangi tentang keseniannya. Di situ saya mempunyai ide ingin menambah kesenian di Banyuwangi,” kata Setro kepada Annisa’ul Fitriyah yang mewawancarainya untuk skripsi “Mitos Dalam Kesenian Tarian Jaranan Buto ‘Sekar Dhiyu’ Kecamatan Cluring Kabupaten Banyuwangi”. Baca juga: Masjid di Jantung Banyuwangi Menurut Setro, jaran kepang di berbagai wilayah relatif sama. Maka ia punya ide untuk menjadikan tokoh Minak Jingga yang punya akar kuat dalam sejarah Banyuwangi sebagai lakon dalam tari jaranan ciptaannya. “Minak Jinggo, yang dulunya ganteng dan bagus setelah bertempur dengan Kebomarcuet jadinya menjadi seperti buto. Jadi menurut saya jika saya menciptakan suatu kesenian jaranan bergambar buto sangat cocok berkembang di daerah Banyuwangi,” kata Setro. Kesenian Jaranan Buto ia ciptakan dari hasil perpaduan kesenian Trenggalek dan Banyuwangi. Banyak orang Osing, suku asli Banyuwangi, tinggal di Kecamatan Cluring. Sementara kecamatan Gambiran yang berbatasan dengan Cluring mayoritas penduduknya keturunan Mataram. Masyarakat Osing mengenal Minak Jingga sebagai pahlawan dari Kerajaan Blambangan, bahkan ada upaya penggambaran ulang sosok Minak Jingga sebagai ksatria tampan dan gagah. Namun dalam kisah Damarwulan, Minak Jingga digambarkan jahat dan berwujud buto. Kisah inilah yang lebih dominan hidup di masyarakat Jawa. Dari kedua cerita rakyat tersebut, Setro menciptakan tarian Jaranan Buto yang menggambarkan pertarungan dan perwujudan Minak Jingga sebagai buto. Baca juga: Ketika Orang Mandar Berlabuh di Banyuwangi “Jaranan Buto itu banyak berkembang di daerah Banyuwangi Selatan yang basisnya memang masyarakat Mataraman. Jadi Jaranan Buto itu akulturasi antara budaya masyarakat Mataraman dan idiom masyarakat Osing,” kata Hasan Basri, budayawan Banyuwangi kepada Annisa. Setro menyebut gerakan dalam Jaranan Buto sebagai lincak gagak, lantaran mirip burung gagak yang melompat-lompat. Gerakan tarinya lebih fokus pada kaki dan para pemain saling berhadapan, seolah siap baku hantam. Setro juga memberi sentuhan pada jaranan yang digunakan. Ia membuatnya dari kulit lembu (bukan anyaman bambu) dan berwujud kuda buto. Wujud itu ia ambil dari wayang buto. Pada awal penciptaannya, orang yang menaiki jaranan merupakan ksatria, sehingga tak boleh berhias seperti buto. Namun pada perkembangan selanjutnya, para penari berhias seperti buto untuk alasan seni. “Buto ini kebanyakan jahat, namun ada juga buto yang memiliki kemanusiaan, dan sebenarnya dulu itu yang menaiki adalah ksatria, bukan buto,” kata Setro. Baca juga: Perlawanan Jagapati sebagai Hari Jadi Banyuwangi Setelah berhasil menciptakan Jaranan Buto, Setro bergabung bersama Darni Wiyono dan beberapa seniman lain untuk mendirikan organisasi Jaranan Buto Sekar Dhiyu pada akhir 1963. “Tahun 1967 Jaranan Buto dirintis kembali dengan nama Sekar Dhiyu Baru Muncul. Raja Blambangan Minak Jinggo memang wujudnya seperti raksasa namun jiwanya seperti ksatria,” kata Darni. Makna Lain Buto Minak Jingga dalam tarian Jaranan Buto digambarkan sebagai seorang raksasa yang melawan Kebomarcuet. Karena itulah, gerakan tari didominasi adegan pertarungan antara dua raja dan pasukannya. Dalam kisah, Raja Majapahit membuka sayembara untuk memburu Kebomarcuet. Pemenang sayembara akan mendapat imbalan, diangkat anak bila perempuan dan menjadi mantu bila lelaki. Minak Jingga, atau sebelumnya dijuluki Joko Umbaran, mengikuti sayembara itu. Ia tidak digambarkan sebagai buto yang ganas, melainkan pemuda tampan, gagah, dan sakti, patih terbaik di Majapahit. Berkeliling Jawa, ia berkelana mencari Kebomarcuet, siluman berbadan manusia dan berkepala kerbau yang dianggap berbahaya bagi Kerajaan Majapahit. Baca juga: Menak Jingga yang Ganteng Pertempuran dengan Kebomarcuet amat sengit. Joko Umbaran berhasil mengalahkan musuh dan mengambil tanduknya. Tanduk ini kemudian diubah menjadi gada ( godho ). Dipercaya, kekuatan Kebomarcuet tersimpan di tanduknya sehingga siapa pun yang memiliki tanduk tersebut akan mendapat kedigdayaan. Meski berhasil mengalahkan siluman kerbau itu, Joko Umbaran mendapatkan luka di sekujur tubuhnya lantaran diseruduk Kebomarcuet. Kemenangannya harus dibayar dengan rusaknya wajah. Joko Umbaran kehilangan ketampanannya. Akibatnya, ia kehilangan kesempatan mempersunting anak Raja Majapahit. Sang putri menolak diperistri karena ngeri melihat wajah pemenang sayembara. Joko Umbaran sakit hati. Namun Sang Raja berusaha menenangkan dengan mengganti imbalan sayembara. Baca juga: Dwarapala Berwajah Ramah Joko Umbaran diberi kuasa untuk memerintah di Jawa bagian timur. Wilayah ini kemudian dikenal dengan nama Kerajaan Blambangan, yang kini meliputi Karesidenan Besuki, termasuk Banyuwangi. Sejak itu ia disebut sebagai Prabu Minak Jingga yang berwajah seperti buto. Meski Prabu Minak Jingga mempunyai wujud seperti raksasa, jiwa ksatrianya tak hilang. Bagi rakyat Banyuwangi, ia dikenal sebagai sosok raja bijaksana dan sakti mandraguna. “Buto juga tidak selalu identik dengan orang yang menyeramkan. Buto juga memiliki arti lain, yaitu nyebuto . Nyebuto berarti kembali kepada tuhan, bahwa semua yang ada di bumi ini adalah ciptaan,” kata Setro.
- Malam Jahanam di Benteng Bonjol
Akhir November 1836. Benteng Bonjol dikepung ketat oleh ratusan tentara Belanda. Mereka sekali-kali membombardir pertahanan kaum Padri itu dengan tembakan-tembakan meriam besar. Akibatnya beberapa rumah dan masjid di dalam benteng terbakar. Beberapa bagian dinding benteng yang terbuat dari tanah pun jebol. “Dengan terbakarnya masjid di luar kampung, tampaklah oleh Belanda satu perohong (lubang menganga) akibat tembakan meriam mereka,” ungkap Muhammad Radjab dalam Perang Padri di Sumatera Barat (1803-1838). Adanya perohong itu sejatinya berbahaya bagi kaum Padri. Tentara Belanda sewaktu-waktu bisa menggunakannya untuk menerobos pertahanan mereka. Namun apa mau dikata, kaum Padri tidak pernah sempat memperbaikinya karena masih sibuk dengan kerusakan lebih parah di bagian benteng yang lain. * Sabtu malam, 2 Desember 1836. Benteng Bonjol dibekap gelap. Suara binatang malam yang biasanya nyaring bernyanyi tak terdengar sama sekali. Di tengah kesunyian itu, belasan bayangan memasuki perohong satu persatu. Langkah mereka seolah gerakan hantu: tak terdengar gemersiknya. Menurut Muhammad Radjab, belasan bayangan itu tak lain adalah tentara Belanda yang menyelinap. Mereka terdiri dari prajurit-prajurit dari unit Neger (Afrika) dan unit Bugis. Dikisahkan setiba di dalam area benteng, para prajurit itu langsung mengendap-endap di dekat rumah yang didiami oleh para istri dan anak-anak dari pemimpin kaum Padri, Tuanku Imam Bonjol. “Mendengar suara perempuan di dalam, serdadu-serdadu Neger cepat mengupak pintu rumah tersebut dan menyeret para perempuan itu keluar,” ungkap Radjab mengutip Naskah Tuanku Imam Bonjol . Versi yang lebih brutal mengenai kejadian itu termaktub dalam buku Serdadu Afrika di Hindia Belanda 1831—1945 karya Ineke van Kessel. Dituturkan oleh van Kessel bagaimana setelah unit gabungan Neger-Bugis itu merangsek benteng Bonjol terjadi kepanikan luar biasa di kalangan kaum Padri. Terlebih setelah diketahui para serdadu itu berusaha menculik para istri Tuanku Imam Bonjol. “Terjadi perkelahian yang berakibat seorang perempuan meninggal karena “pantatnya dibelah”, sementara pantat perempuan lainnya ditikam,” ungkap van Kessel. Tuanku Imam Bonjol sendiri begitu mendengar jeritan para perempuan dan anak-anak, langsung mengambil pedangnya. Dengan ditemani oleh Umar Ali (salah seorang anaknya), Tuanku Imam Bonjol berlari ke arah gubuk-gubuk yang ditempati oleh para istri dan anak-anaknya yang masih kecil. * Begitu melihat Tuanku Imam Bonjol dan Umar Ali, beberapa prajurit Neger secara spontan menembaki mereka. Akibatnya Tuanku Imam terkena di bagian lengannya sedangkan peluru yang lain menembus daging paha Umar Ali. Karena tak kuat menahan sakit, sambil terpincang-pincang Umar balik berlari ke arah masjid. Otomatis Tuanku Imam Bonjol tinggal sendirian. Kendati lengannya sudah terkena peluru, namun dia tetap menetakkan pedangnya ke kanan dan ke kiri. Bak banteng ketaton, Tuanku Imam Bonjol mengamuk hingga membuat para prajurit Belanda itu lari lintang pukang kembali ke arah perohong. “Tuanku Imam Bonjol terus mengejar mereka…”ungkap Radjab. Serdadu-serdadu asal benua hitam itu akhirnya mengeroyok Tuanku Imam Bonjol. Dalam suatu kesempatan, salah seorang dari mereka berhasil menghunjamkan bayonetnya ke tubuh Tuanku Imam Bonjol sampai pimpinan kaum Padri itu terguling-guling. Ketika sang musuh akan menghantamnya lagi dengan satu tusukan bayonet, Tuanku Imam Bonjol cepat berdiri dan mengibaskan pedangnya ke segala arah. Dalam kondisi kritis itulah, pasukan bantuan dari kaum Padri datang. Mereka langsung menerjang para serdadu Belanda tersebut hingga mundur dan keluar dari wilayah perbentengan. Tuanku Imam Bonjol sendiri yang sudah payah dan mendapatkan tigabelas lubang akibat tusukan dan tembakan langsung terjerembab pingsan. Para pengikutnya lantas memapah Tuanku Imam Bonjol dan membawa ke markas utama untuk segera diobati. * Apa yang menyebabkan Tuanku Imam Bonjol sebagai pemimpin utama kaum Padri seolah dibiarkan sendiri menghadapi upaya penyelusupan serdadu-serdadu Belanda pada malam jahanam itu? Rupanya itu terkait dengan taktik gerilyawan Padri yang bila malam tiba mereka pergi ke arah hutan di wilayah Pancuran (kampung dekat Benteng Bonjol). Sesuai kesepakatan musyawarah para panglima Padri, guna menghindari peluru-peluru meriam Belanda yang kerap ditembakan sepanjang malam hari, maka begitu gelap datang mereka harus menghindar dari wilayah benteng. “Itulah sebabnya ketika terjadi perkelahian yang melibatkan Tuanku Imam, para pengikutnya tidak segera datang membantu,” tulis Radjab. Namun setelah terjadi upaya penculikan para istri Tuanku Imam Bonjol dan pengeroyokan terhadap pimpinan mereka, para prajurit Padri menjaga Benteng Bonjol secara ketat siang dan malam.
- Ketika Orang Mandar Berlabuh di Banyuwangi
ORANG Mandar, seperti para tetangganya, Bugis, Makassar, dan Bajau, memiliki tradisi sebagai orang laut yang hebat. Mereka lihai sebagai nelayan dan penjelajah laut yang berlabuh di berbagai pesisir Nusantara. Kampung-kampung orang Mandar kemudian muncul di luar Sulawesi. Salah satunya di Banyuwangi. Pada masa kolonial, Banyuwangi memiliki jalan bernama Boomstraat. Jalan sepanjang satu kilometer itu menghubungkan alun-alun di pusat kota di ujung barat dengan pelabuhan di ujung timur. Jalan ini menjadi salah satu ciri kota pelabuhan di Pulau Jawa seperti Banyuwangi. Menurut Olivier Johannes Raap dalam Kota di Djawa Tempo Doeloe , rumah-rumah Eropa dibangun di sepanjang Boomstraat . Toko serba ada yang menjual kartu pos bergambar Banyuwangi juga didirikan di jalan ini. Terdapat pula kampung-kampung nelayan seperti Kampung Melayu dan Kampung Mandar. “Dahulu, di sepanjang Boomstraat ini banyak terdapat permukiman nelayan dari luar, misalnya Kampung Melayu tersebut dan Kampung Mandar (orang Sulawesi) yang terletak sekitar 500 meter ke arah lurus sebelah kiri jalan,” tulis Johannes Raap. Kampung Mandar, seperti namanya, merupakan permukiman orang-orang Mandar yang datang dari Sulawesi bagian barat. Mereka mulai berdatangan ke Banyuwangi, yang dulu disebut Blambangan, sejak abad ke-18 dan terus berlangsung hingga abad ke-19. Tujuan utamanya untuk berdagang. Selain berasal dari kampung halaman mereka, orang-orang Mandar di Banyuwangi berasal dari orang Mandar yang telah bermigrasi ke berbagai daerah. Beberapa di antaranya adalah mereka yang sebelumnya pindah ke pulau-pulau di Sulawesi bagian selatan seperti Pulau Baranglompo. “Dari Pulau Baranglompo ini, selanjutnya banyak orang Mandar yang pindah ke Pasuruan, Panarukan, Banyuwangi,” tulis Mukhlis dkk dalam Persepsi Sejarah Kawasan Pantai . Kawasan Penting Orang Mandar awalnya mendiami pesisir Ulupampang, yang sekarang bernama Muncar, bersama berbagai komunitas pendatang lainnya seperti Bugis, Melayu, Tionghoa, dan Arab. Mereka memainkan peranan penting dalam aktivitas ekonomi dan perdagangan. Bahkan terlibat dalam perlawanan Blambangan melawan Belanda. Wijkenstelsel, kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang mengharuskan permukiman dipisah berdasarkan etnis, membuat mereka harus pindah. Menurut Lisa Dwi Wulandari dan Chairul Maulidi dalam Topologi Lanskap Pesisir Nusantara: Pesisir Jawa ,karena bermata pencaharian sebagai nelayan, orang-orang Mandar pindah ke pesisir Boom dan membentuk Kampung Mandar yang sekarang. Di Kampung Mandar, mereka membangun rumah panggung sebagaimana rumah orang Mandar di kampung halaman mereka di Sulawesi. Tiang-tiang yang menyangga rumah panggung berfungsi untuk menghindari banjir ketika air laut sedang pasang. Dalam perkembangannya, ketika tanggul-tanggul penahan air laut dibangun, kolong-kolong rumah panggung ditutup. Dinding bata dibangun di bagian bawah dan menyatu dengan bangunan kayu di atasnya. Wilayah Kampung Mandar di Banyuwangi meliputi pesisir yang mengelilingi Teluk Boom. Di tengahnya terdapat sebuah pulau kecil. Wilayah ini secara administratif merupakan satu kelurahan sendiri yakni Kelurahan Kampung Mandar. “Teluk Boom yang ada di timur kota Banyuwangi merupakan kawasan teritorial penting, sebagai salah satu simpul pelayaran yang terhubung ke Sulawesi dan Bali,” sebut Wulandari dan Maulidi. Sebelum pelabuhan Ketapang dibangun, dermaga Teluk Boom terkenal sebagai penghubung Jawa dan Bali. Pada masa kolonial, pengaturan dan pengelolaan Teluk Boom dipercayakan kepada seorang tokoh lokal dari suku Mandar yang bergelar Datuk Kapiten. Tradisi Khas Kampung Mandar hari ini tidak hanya didiami orang-orang Mandar melainkan juga Jawa, Madura, Osing, sedikit keturunan Tionghoa dan Arab. Sebagian besar bekerja sebagai pengusaha skala kecil, nelayan, dan buruh. Namun tradisi dan kebudayaan khas Mandar yang diwariskan nenek moyang mereka masih dijalankan, seperti tradisi saulak , manten kurung , dan hadrah angguk . “Tradisi saulak adalah upacara pra-nikah, sebagai bentuk penghormatan kepada arwah nenek moyang, berkumpul bersama keluarga besar, dan memohon keselamatan. Kembang telon selalu ada di setiap upacara tradisi Mandar, yang di akhir acara kembang dilarung ke laut,” tulis Wulandari dan Maulidi. Di Kampung Mandar, kita akan menjumpai orang-orang berjualan garek atau cacing tambang sebagai umpan memancing. Pantai Boom yang kini tengah dikembangkan pemerintah turut membangun kembali masyarakat Kampung Mandar. Mereka mendirikan warung-warung yang menjual ikan bakar dan menyewakan kuda tunggangan untuk menyusuri pantai. Lanskap Gunung Agung Bali menjadi latar utama pemandangan Pantai Boom yang menawan. Berbagai festival digelar di pantai berpasir hitam ini seperti Beach Jazz Festival, Gandrung Sewu, dan Fish Market Festival. Mandar Fish Market Festival digelar untuk mempromosikan potensi perikanan ekaligus mengangkat kawasan nelayan Kampung Mandar sebagai salah satu ekowisata bahari. Mandar Fish Market Festival ini masuk dalam agenda tahunan Banyuwangi Festival.*






















