Hasil pencarian
9590 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Taktik Penyakit Sultan Agung
Dalam tiga tahun terakhir kekuasaannya (1610–1613), Panembahan Krapyak berusaha menaklukkan Surabaya. Ia sampai mengirim utusan kepada Gubernur Jenderal Pieter Both di Maluku untuk mengadakan persekutuan. Ia menganggap Mataram dan VOC punya musuh yang sama: Surabaya. Ajakan itu membuat VOC dapat mendirikan pos dagang di Jepara di bawah pengawasan Mataram, tetapi masih tetap memiliki posnya di Gresik yang berada di bawah pengawasan Surabaya. “Lawan Krapyak yang paling kuat adalah Surabaya,” tulis sejarawan M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200–2008 . Menurut Ricklefs, sebuah dokumen VOC dari tahun 1620 menggambarkan Surabaya sebagai sebuah negara yang kuat dan kaya. Luas wilayahnya kira-kira 37 km, yang dikelilingi sebuah parit dan diperkuat dengan meriam. Konon pada tahun itu, Surabaya mengirim 30.000 prajurit ke medan perang melawan Mataram, tetapi tidak terlihat adanya pengurangan penduduk yang nyata di kota itu –cerita ini mungkin berlebihan. Pada 1622, Surabaya menguasai Gresik dan Sidayu. Pengaruhnya meluas ke lembah Brantas sampai Japan (Mojokerto) dan Wirasaba (Majaagung). Penguasa Sukadana di Kalimantan juga mengakui kekuasaan Surabaya. Kapal-kapal dagang Surabaya terlihat di seluruh kepulauan, dari Malaka sampai Maluku. Panembahan Krapyak meninggal dunia pada 1613. Ia digantikan anaknya, Sultan Agung, raja terbesar Mataram. Sultan Agung melanjutkan politik ekspansi ayahnya. Ia lebih dulu menaklukan daerah-daerah sekutu Surabaya: Malang dan Lumajang (1614), Wirasaba (1615), Lasem (1616), Tuban (1619), Sukadana (1622), dan Madura (1624). “Dari tahun 1620 sampai 1625, Sultan Agung mengepung Surabaya dan membinasakan hasil-hasil panennya,”tulis Ricklefs.“Akhirnya, pada 1625 Surabaya berhasil ditaklukan, bukan karena diserang melainkan karena mati kelaparan.” Menurut sejarawan H.J. de Graaf dalam Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung , strategi Sultan Agung menaklukan Surabaya dengan cara membendung Kali Mas, cabang dari Sungai Brantas. Hanya sebagian dari air tersebut melewati bendungan. Air yang sedikit itu menjadi busuk karena keranjang-keranjang berisi bangkai binatang dan buah aren, yang diikat pada tonggak-tonggak di dalam kali. “Karena itu, penduduk Surabaya dihinggapi bermacam-macam penyakit: batuk-batuk, gatal-gatal, demam, dan sakit perut,” tulis De Graaf. Surabaya pun menyerah. Kota jatuh ke tangan penakluk dalam keadaan utuh. Laporan ke Negeri Belanda tanggal 27 Oktober 1625 menyebutkan: “Pada musim panas ini Surabaya menyerah kepada raja Mataram, tanpa perlawanan, hanya karena berkurangnya rakyat dan karena kelaparan, sehingga dari 50–60 ribu jiwa tinggal tidak lebih dari seribu.” Bahkan Daghregister , 1 Mei 1624, menyebut tinggal “500 jiwa, sisanya meninggal dan hilang karena keadaan menyedihkan dan karena kelaparan”. “Dengan jatuhnya Surabaya,” tulis De Graaf, “maka selesailah penaklukan bagian timur Jawa yang beragama Islam.” Pada saat Surabaya takluk, menurut Ricklefs, sudah muncul kekuatan baru di Jawa, yaitu VOC di Batavia. Sultan Agung lebih dulu mengarahkan perhatiannya terhadap musuh-musuhnya yang Jawa daripada VOC, tetapi perhatiannya akan segera beralih menghadapi orang-orang Eropa itu. Mataram Menyerang VOC di Batavia Sultan Agung mengerahkan pasukannya untuk menyerang VOC di Batavia pada Agustus–November 1628. Serangan pertama itu gagal. Menurut De Graaf, ketika tidak melihat kemungkinan untuk merebut Batavia dengan penyerbuan mendadak, maka digunakanlah cara yang telah diuji keberhasilannya pada pertempuran di Surabaya, yaitu membendung sungai. Untuk itu, dipekerjakan 3.000 orang, namun kemajuannya lamban karena mereka kelaparan dan serba kekurangan. “Mereka berusaha menimbulkan wabah penyakit pes,” tulis Willard Anderson Hanna dalam Hikayat Jakarta . “Akan tetapi, di kalangan pasukan Mataram sendiri beratus-ratus yang jatuh sakit dan meninggal, yang menambah penderitaan mereka.” Sutrisno Kutoyo, dkk., dalam Sejarah Ekspedisi Pasukan Sultan Agung ke Batavia menyebut bahwa jika Sungai Ciliwung dapat dibendung, Kompeni tidak akan menyerah karena mereka tinggal di dalam benteng-benteng dan sudah mempunyai persediaan bahan makanan serta air yang dapat diambil dari sungai Untung Jawa yang bebas dari penjagaan prajurit Mataram atau Banten. “Mereka juga telah menggali sumur-sumur untuk mengatasi kekurangan air. Untuk pertahanan, sungai-sungai di dalam kota dihubungkan dan dipasang pintu-pintu air gejlegan yang sewaktu-waktu dapat dibuka dan ditutup. Di tempat-tempat itu selalu dijaga dan di setiap sudut benteng didirikan bastilon atau cakruk sebagai rumah penjagaan,” tulis Sutrisno. Menurut sejarawan Adolf Heuken dalam Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta , serangan kedua Mataram pada (21 Agustus–2 Oktober) 1629 yang disiapkan lebih lama juga gagal. Penyebabnya, logistik Mataram dihancurkan VOC, angkatan lautnya lemah, dan jarak antara Jawa Tengah dan Batavia jauh, sehingga prajurit capai apalagi membawa meriam-meriam yang berat. Karena takut dihukum bila pulang tanpa kemenangan, cukup banyak pasukan Mataram yang menetap di sekitar Batavia yang kosong penduduknya, di antaranya di daerah yang sekarang bernama Matraman (dari kata Mataram) di Jakarta Timur. “Namun, kurang lebih lima puluh persen angkatan perang Sultan Agung mati karena kelaparan, penyakit, kecapaian, hukuman, dan peluru Belanda,” tulis Heuken. Sultan Agung memang gagal mengalahkan VOC. Namun, VOC sendiri kehilangan gubernur jenderalnya. Jan Pieterszoon Coen meninggal dunia karena penyakit kolera pada 20 September 1629.
- Olimpiade Tokyo Punya Cerita
SEPERTI ajang-ajang olahraga lain, Olimpiade Tokyo 2020 turut terimbas pandemi COVID-19 (virus corona ). Otoritas setempat akhirnya memutuskan olimpiade musim panas ke-32 yang mestinya dibuka pada 24 Juli 2020 itu ditunda tahun depan. Penjadwalan ulang Olimpiade Tokyo 2020 itu diambil lewat keputusan bersama ketua komite panitia lokal Mori Yoshiro, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, dan Presiden Komite Olimpiade Internasional (IOC) Thomas Bach pada Selasa (24/3/2020). Pun dengan jadwal Paralimpiade Tokyo 2020 yang acap jadi agenda susulan olimpiade, yang sebelumnya dijadwalkan 25 Agustus-6 September 2020. “Dalam pembicaraan dengan Perdana Menteri Abe via telefon kami menyepakati bahwa Olimpiade XXXII di Tokyo dan Paralimpiade 2020 harus dijadwalkan ulang setelah 2020, namun diharapkan waktunya tidak lebih dari musim panas 2021, demi menjaga kesehatan para atlet dan semua yang terlibat dalam olimpiade dan masyarakat internasional,” ungkap Bach dalam laman resmi IOC , Selasa (24/3/2020). “Kami juga mengharapkan tahun depan dalam Olimpiade Tokyo akan menjadi selebrasi kemanusiaan, selepas mengatasi krisis pandemi COVID-19. Oleh karenanya obor olimpiade akan tetap berada di Jepang sebagai simbol komitmen kami dan juga simbol harapan,” lanjutnya. Thomas Bach, Presiden IOC mengumumkan Olimpiade Tokyo 2020 ditunda tahun depan sebagai imbas pandemi COVID-19 (Foto: olympic.org ) Penundaan olimpiade juga pernah terjadi delapan dasawarsa silam di negeri yang sama. Namun, penyebab kejadian 80 tahun lalu itu berbeda dari hari ini. Jika Olimpiade Tokyo 2020 ditunda karena pandemi COVID-19, Olimpiade Tokyo 1940 ditunda, dialihkan, bahkan sampai dibatalkan gegara Perang Dunia II. Penundaan itu mengulang kejadian di Olimpiade Berlin 1916 akibat bergolaknya Perang Dunia I , dan kembali terulang di Olimpiade London 1944 karena Perang Dunia II masih membara di Eropa, Afrika Utara, dan Pasifik. Olimpiade Pertama Bumi Timur Syahdan pada 1932 pemerintah Jepang yang merasa olahraganya sudah maju sejak menggelar Far Eastern Games 1930 di Tokyo, merasa harus ikut dalam bidding penentuan tuan rumah Olimpiade 1940. Mengutip Sandra Collins dalam The 1940 Tokyo Games: The Missing Olympics , kala itu Tokyo bersaing dengan tiga kota lain: Barcelona (Spanyol), Roma (Italia), dan Helsinki (Finlandia) . Jepang juga merasa harus lebih mendekatkan diri dalam masyarakat dunia setelah dikecam gegara Insiden Mukden atau invasi militer Jepang ke Manchuria di timur laut China pada 18 September 1931 dan mendirikan negara boneka Manchukuo. Jepang menganggap olahraga sebagai wahana tepat untuk politik “cari muka” alias pendekatan diplomatis kepada negara-negara Barat di Liga Bangsa-Bangsa. “Para politisi Jepang membayangkan Olimpiade Tokyo akan menjadi alat untuk mengalihkan pandangan dunia Barat terhadap sejarah dan budaya di Asia Timur. Utamanya setelah Jepang gagal memaksa Liga Bangsa-Bangsa mengakui negara boneka mereka, Manchukuo,” tulis Collins. “Olimpiade Tokyo 1940 juga sangat penting bagi sejarah modern Jepang. Lebih jauh lagi, kota Tokyo dan pemerintah Jepang ingin merayakan berdirinya peradaban kuno Jepang ke-2600 ( Kigen 2600nen ) dengan menjadi tuan rumah Olimpiade 1940,” imbuhnya. Tiga dari 131 atlet Jepang yang berjaya di Olimpiade Los Angeles 1932 (Foto: Repro "Disseminating discourses of Tokyo through the medium of the International Olympic Movement") Jepang sendiri bukan “anak kemarin sore” di pesta olahraga terbesar itu. Sejak Olimpiade Stockholm 1912 negeri itu sudah rutin berpartisipasi. Sebagai wakil Asia, prestasi Jepang lumayan bagus. Di Olimpiade Los Angeles 1932, kontingen Jepang berisi 131 atlet membawa pulang masing-masing tujuh medali emas dan perak serta empat perunggu. Kampanye bidding digulirkan pemerintah Jepang sejak 1932 kala IOC membuka kesempatan bagi negara-negara yang ingin mengajukan diri sebagai tuan rumah. Tokyo mulanya bersaing dengan Alexandria, Barcelona, Budapest, Buenos Aires, Dublin, Helsinki, Milan, Montreal, Rio de Janeiro, Roma, dan Toronto. Namun seiring waktu, jumlah 12 kandidat menyusut sampai tinggal menyisakan Tokyo dan Helsinki. Menukil ulasan John E. Findling dan Kimberly D. Pelle dalam Encyclopedia of the Modern Olympic Movement, sebelumnya pihak Jepang menebar lobi-lobi, salah satunya Roma, untuk kemudian mendukung Tokyo dengan cara-cara politis. “Jepang lewat anggota IOC-nya Michimasa Soyeshima sukses bernegosiasi dengan (Perdana Menteri Italia, Benito) Mussolini , hingga sang Duce membatalkan proposal pengajuan Roma. Mussolini setuju mendukung Tokyo dengan imbalan Tokyo akan mendukung Roma untuk Olimpiade 1944,” ungkap Findling dan Pelle . Tiga dari sejumlah poster kampanye Jepang kala mengajukan diri sebagai tuan rumah Olimpiade 1940 (Foto: olympic-museum.de ) Pada rapat IOC 29 Juli 1936, sebelum pembukaan Olimpiade Berlin, kandidat yang tersisa hanya Tokyo dan Helsinki. Keduanya dianggap IOC paling sesuai dengan tema universalitas dalam olahraga. Helsinki sebagai ibukota negara kecil di Eropa, dan Tokyo sebagai perwakilan Timur jauh. Namun Tokyo punya satu “senjata” yang tak dipunya Helsinki. “Tokyo menawarkan satu juta yen (USD500 ribu) subsidi perjalanan bagi para delegasi olimpiade. Juga menawarkan biaya akomodasi para delegasi olimpiade yang ditanggung penuh selama penyelenggaraan olimpiade,” tambah Findling dan Pelle. Dalam pemilihan suara para anggota IOC, Tokyo menang 36 suara dibandingkan Helsinki yang mendapat 27 suara. Tokyo dinobatkan sebagai tuan rumah olimpiade pertama di bumi belahan Timur, sebelumnya olimpiade hanya dihelat di dunia belahan barat. Pemerintah kota Tokyo merayakannya dengan menggelar festival rakyat hingga tiga malam. “Olimpiade Tokyo 1940 juga menjadi instrumen dalam melegitimasi retorika IOC bahwa misi olimpiade adalah olahraga yang universal. IOC kemudian mempromosikan bahwa olimpiade adalah ajang bagi semua bangsa, terlepas perbedaan ideologi politik,” sambung Collins. Ditunda, Dialihkan, hingga Dibatalkan Setelah terpilih menjadi tuan rumah olimpiade, Jepang bersiap diri. Pembangunan venue-venue secara kolosal dilakukan di Komplek Meiji Shrine Outer Garden. Upacara pembukaanya diputuskan di Stadion Meiji Jingu, sebagaimana presentasi panitia lokal Jepang yang diperlihatkan kepada Presiden IOC Henri de Baillet-Latour pada kampanye pengajuan tuan rumah 1932. “Namun Biro Kuil Suci di Kementerian Dalam Negeri Jepang jelang persiapan pembangunan pada 1936 keberatan jika panitia lokal melakukan renovasi kolosal yang justru akan merusak keindahan kompleks kuil itu. Belum lagi mereka cemas rusaknya tempat-tempat keramat karena akan dibanjiri atlet-atlet asing. Setelah perdebatan selama setahun, pihak panitia akhirnya memindahkan rencana pembangunan komplek venue ke Komazawa Golf Park,” kata Finlding dan Pelle. Untuk rute perjalanan obor olimpiade, IOC mengusulkan obornya dibawa oleh para pelari dan penunggang kuda secara relay dari Athena, Yunani ke Tokyo sepanjang 10 ribu kilometer. Rutenya menggunakan Jalur Sutra yang membentang di Asia Tengah. Usul itu ditentang Jepang lantaran jalurnya melewati China, negeri yang masih terlibat pertikaian dengannya. Sementara, Komite Olahraga Jepang mengusulkan, obor olimpiade dibawa dari Athena ke Tokyo menggunakan kapal laut atau pesawat dengan rute Asia Selatan. Panji Olimpiade Tokyo 1940 dan rencana pembangunan komplek olahraga yang sayangnya batal digelar (Foto: Tokyo Museum) Namun belum juga rute obor olimpiade itu disepakati, ia dikacaukan oleh perubahan politik. Sejak kaum militer menguasai pemerintahan Jepang pada 1937, haluan politik internasional Jepang berubah. Utamanya setelah Perang Sino-Jepang II , 7 Juli 1937 atau Insiden Shanghai ke-2. Akibatnya, Far Eastern Games 1938 pun dibatalkan. Sejumlah anggota legislastif Jepang mulai meminta pemerintah membatalkan pula Olimpiade 1940. Namun, Komite Olimpiade Jepang masih berupaya meyakinkan IOC dan negara-negara anggotanya bahwa perang akan segera berakhir dan olimpiade bisa tetap digelar atau setidaknya ditunda. Namun, IOC didesak negara-negara Barat untuk memboikot atau membatalkan Olimpiade Tokyo 1940. Pada rapat IOC di Kairo, Mesir medio Juli 1938, diputuskan Tokyo kehilangan haknya sebagai tuan rumah. Helsinki yang sebelumnya bersaing ketat dengan Tokyo, dipilih sebagai tuan rumah alternatif Olimpiade 1940. Sialnya, Helsinki pun batal menggelar olimpiade ke-12 itu akibat meletusnya Perang Dunia II.
- Bercermin dari Bantuan Pokok Pemerintah Kolonial di Tengah Wabah
Jakarta lengang pasca-imbauan Work From Home (WFH, Kerja dari Rumah) dikeluarkan Minggu, 15 Maret 2020. Orang-orang melakukan karantina diri untuk mengcegah penularan Covid-19 makin meluas. Mereka hanya keluar rumah seperlunya. Meski demikian, sebagian warga masih harus berjibaku dan berdesakan di kereta rel lisrik demi menyambung hidup. Layanan transportasi online pun sepi peminat. Kondisi itulah yang dikhawatirkan pengemudi ojek online, bajaj, taksi, pedagang, dan orang yang bekerja harian sejak imbauan WFH keluar. Indonesia sebenarnya memiliki undang-undang (UU) yang mengatur tentang bantuan kebutuhan pokok kala karantina kesehatan ( lockdown ) ditetapkan pemerintah. UU ini keluar pada 2018 kala Nila Moeloek menjabat sebagai menteri kesehatan. Dalam pasal 52 dan 55 UU Karantina Kesehatan 2018 disebutkan bahwa, selama penyelenggaraan Karantina Rumah (pasal 52) dan karantina wilayah (pasal 55), kebutuhan hidup dasar warga dijamin oleh pemerintah pusat. Lebih jauh, pemerintah juga diamanatkan untuk menanggung urusan pangan ternak warga yang dikarantika wilayah atau rumah. Ayat 2 pasal 52 dan 55 berbunyi, tanggung jawab Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan karantina rumah atau wilayah dilakukan dengan melibatkan Pemerintah Daerah. Hingga kini, di Jakarta sebagai kota dengan sebaran virus korona terbanyak, belum ada perintah karantina wilayah ( lockdown ) dari pemerintah. Yang ada hanya imbauan untuk tidak keluar rumah. Bantuan bahan pokok sebagai bagian dari UU Karantina Kesehatan pun belum ada. Masyarakat pun bergerak sendiri bahu-membahu menggalang dana dan keperluan untuk para tenaga medis atau kelompok masyarakat rentan. Mereka mentraktir kurir makanan atau membagikan makanan ke orang yang bekerja harian. Dalam masa kritis seperti ini, rasa kemanusiaan tak terkikis begitu saja. Apabila menilik sejarah, pemberian bantuan kala pageblug melanda Hindia Belanda pernah dilakukan pemerintah kolonial. Pada awal 1846, epidemi misterius muncul di Jawa Tengah. Liesbeth Hesselink dalam bukunya Healers on the Colonial Market menduganya sebagai wabah tifus, mengingat gejalanya serupa. Para penderita dikarantina, sementara yang sehat diminta membatasi aktivitas. Biaya karantina bagi orang yang membutuhkan ditanggung oleh pemerintah. Sementara, orang-orang yang melanggar aturan karantina didenda f . 2000 untuk orang Eropa atau maksimal dua tahun penjara. “Untuk orang pribumi, maksimal dua tahun kerja paksa atau f .2000. Jumlah yang sangat besar bagi pribumi,” kata Liesbeth pada Historia . Dua tahun sebelum wabah pecah, pada 1844 terjadi gagal panen padi di Indramayu. Akibatnya, kata Peter Bloomgaard dalam “Rice Sugar and Livestock in Java”, antara 1815-1836 terdapat penurunan hasil panen. Jumlah produksi beras pada 1815 mencapai 1,650 kg/hektar. Jumlah itu turun menjadi 1,360kg/hektar pada 1836. Ia menilai, penurunan itu diakibatkan oleh pengenalan Sistem Tanam Paksa pada 1830. Pemerintah kolonial mengharuskan petani menanam tanaman yang laris di pasar Eropa seperti gula, nila, dan tembakau. Tanaman wajib itu mengambil proporsi tanah subur yang ada. Akibatnya, panen padi berkurang. Ditambah pajak yang dibebankan pada rakyat, kelaparan pun terjadi pada 1840-an. Gagal panen padi itu berpengaruh signifikan pada kelaparan dan kemunculan wabah. Pendapat ini disampaikan oleh dokter Willem Bosch, kepala Dinas Kesehatan Koloni. Menurut Bosch, penyakit ini menyebar dengan cepat karena kondisi hidup yang buruk, terutama kelangkaan beras. Tanpa penanganan yang tepat, epidemi dapat berlangsung untuk waktu yang lama. Bosch menambahkan, obat terbaik adalah panen beras berlimpah. “Komentarnya tentang kelangkaan beras ini secara tidak langsung mengkritik kebijakan kolonial yakni Sistem Tanam Paksa,” kata Liesbeth. Bosch bukan dokter kemarin sore. Jam terbangnya dalam menangani masalah kesehatan di negeri jajahan tinggi. Kariernya sebagai petugas kesehatan di Hindia Belanda dimulai sejak 1818-1839. Sebelum diangkat sebagai kepala Dinas Kesehatan Koloni 1845, Bosch sempat kembali ke Belanda. Dia tiba di Jakarta pada pertengahan 1845 untuk mengambil jabatannya. Pada 1847, Gubernur Jenderal J.J. Rochussen meminta nasihat Bosch perihal wabah di Jawa Tengah. Atas permintaan inilah Bosch melakukan riset kesehatan tentang penyebab wabah. Pada 13 April 1847 giliran Sekretaris Jenderal C. Visscher meminta Bosch memberi usulan langkah kesehatan yang bisa diambil pemerintah kolonial untuk menangani wabah. Keesokan harinya, Bosch langsung menjawab pertanyaan kedua pejabat itu melalui surat. Menurutya, wabah terjadi karena musim yang tidak menguntungkan, akomodasi buruk, pakaian tidak memadai, dan makanan tidak mencukupi. Ia juga menekankan penduduk membutuhkan bantuan segera agar tak makin banyak korban. Mengingat produksi beras sedang turun sementara penduduk yang tak tertular harus menjaga kesehatan agar tak menambah daftar pasien, Bosch usul agar pemerintah memberikan bentuan dana f . 10 per hari pada setiap pasien untuk membeli makan dan keperluan lain. Militer ditugaskan untuk membagikan bedcover atau selimut pada warga terdampak wabah yang tinggal di daerah berbukit dan suhu rendah. Pasien dalam radius 6 hingga 9 km harus dibawa ke tempat perawatan untuk dikarantina. Ia juga meminta agar pemerintah Belanda mengirim kina, yang manjur untuk mengatasi demam, sebanyak 5 kg per bulan ke negeri jajahan sampai epidemi berakhir. Bosch tak lupa memperhatikan kesejahteraan petugas medis yang jadi garda depan dalam pemberantasan wabah. Diusulkannya agar seluruh petugas kesehatan yang ikut menangani wabah mendapat status pegawai negeri sipil Eropa. Peimpin pribumi juga dikerahkan untuk mengawasi administrasi regular dan distribusi obat-obatan pada penduduk. Pada 25 April 1847, Gubernur Jenderal Rochussen meneruskan usulan Bosch pada Menteri Koloni JC Baud. Namun dalam memonya, Rochussen berkomentar sinis pada usulan Bosch. Rochussen menilai usulan Bosch sebagai sebuah pemborosan. “Ketika wabah merebak, Dinas Kesehatan mengusulkan agar dokter-dokter Eropa merawat penduduk Jawa dan mengelola obat-obatan Eropa. Betapa wabah ini jadi masa penuh kemakmuran bagi Layanan Medis!” kata Rochussen. Bagi Rochussen, pembangunan klinik kesehatan dan barak karantina di tiap daerah, distribusi selimut, beras untuk orang sakit, beras untuk mencegah orang sehat jatuh sakit adalah pemborosan besar-besaran. “Dia (Bosch) ingin memaksa orang Jawa untuk berpakaian lebih baik, tidak tinggal di gubuk bambu di bawah pohon pisang,” kata Rochussen dalam suratnya. Meski respons sinis Rochussen menjadi pertanda tidak baik bagi proposal Bosch, pada 20 Mei 1847, Sekretaris Jenderal C. Visscher langsung menghubungi Bosch. Dia setuju untuk membagikan selimut. Tapi Visscher ragu apakah kina dari Belanda akan tiba sebelum epidemi berakhir. Kala itu, butuh waktu dua bulan untuk mengirim surat dari Batavia ke Den Haag. Jika ia cepat bergerak, Visscher memperkirakan epidemi akan berakhir dalam waktu empat bulan. “Pemerintah Hindia Belanda berusaha mencegah wabah makin memburuk dengan cara yang seringan mungkin,” kata Liesbeth dalam bukunya. Namun Rochussen tetap menganggap enteng masalah wabah in dan meyakini Bosch hanya melebih-lebihkan soal wabah. “Saya ingin percaya bahwa epidemi parah memang terjadi dengan banyak nyawa hilang, tetapi saya tidak percaya bahwa wabah ini seburuk yang dikatakan orang,” kata Rochussen. Menurutnya, usulah Bosch punya ruang untuk dimanfaatkan orang pribumi menghindari kerja paksa dan jadi alasan bila terjadi gagal panen. Bosch menjawab sinisme Rochussen dengan tajam. Kalau mau wabah segera berakhir, paket tindakan yang diusulkannya harus dilaksanakan tanpa batasan. Setelah berunding dengan Dewan Hindia, diputuskan untuk terus mengirim petugas kesehatan sementara ke daerah-daerah yang paling parah terkena dampak. Para petugas diberi stok obat-obatan yang cukup, terutama kina. Otoritas lokal didesak untuk memberi mereka setiap bantuan yang diperlukan. Selimut bekas tentara Hindia disediakan bagi penduduk. Proposal Bosch lainnya ditolak, seperti pemberian f. 10 pada penderita yang dikarantina. “Meski terdapat komentar negatif, catatan bahwa 'sebagian besar bupati' mendukung rekomendasi, itu menarik,” tulis Liesbeth.
- Adiós Lorenzo Sanz!
SELAIN Italia, Spanyol jadi negara Eropa terparah dalam pandemi COVID-19 . Per Senin (23/3/2020), negeri matador itu sudah mencatatkan lebih dari 33 ribu warganya positif terjangkit virus corona . Sebagaimana Jakarta, ibukota Madrid pun merupakan epicenter pandemi yang sudah merenggut lebih dari 2.100 jiwa di seluruh dunia itu. Salah satunya, eks bos klub raksasa Real Madrid Lorenzo Sanz Mancebo. Lorenzo Sanz wafat pada Sabtu (21/3/2020) malam waktu setempat atau Minggu 22 Maret 2020 WIB setelah delapan hari dirawat di Hospital Universitario Fundación Jiménez Díaz, Madrid, di usia 76 tahun. Ia positif terpapar virus corona dan mengalami demam tinggi hingga kemudian menderita gagal ginjal. Bagi segenap stakeholder klub terbesar ibukota itu, Sanz dikenal sebagai sosok yang mengembalikan kejayaan Madrid di persepakbolaan Eropa setelah melempem di lebih dari tiga dekade. Dua gelar Liga Champions (1998 dan 2000) merupakan warisannya sepanjang 15 tahun mengabdi di klub. Lorenzo Sanz (kanan) dan suksesornya sejak 2000 Florentino Pérez Rodríguez (Foto: realmadrid.com ) “Hari ini kita mengenang Lorenzo Sanz, yang ikut menjadi korban dalam tragedi (pandemi COVID-19) ini. Beliau presiden yang memberi kita gelar Eropa setelah penantian 32 tahun. La Séptima (gelar Liga Champions ketujuh), kemudian diikuti La Octava (gelar kedelapan) dua tahun berikutnya kala Real Madrid kembali ke tempatnya yang layak dalam buku sejarah, adalah berkat dia,” ujar Presiden Real Madrid Florentino Pérez di laman resmi klub , 22 Maret 2020. “Kita kehilangan seorang madridista hebat yang mendedikasikan sebagian besar hidupnya dan keluarganya untuk Real Madrid. Gairahnya terhadap Real Madrid akan selalu hidup. Kini kita menghormati kenangan dan warisannya. Lorenzo layak mendapat pengakuan dan penghormatan tertinggi,” lanjutnya. Madridista Sejak Kanak-Kanak Tidak banyak yang bisa diketahui tentang latarbelakang keluarga Lorenzo Sanz. Obituari yang dituliskan Sid Lowe bertajuk “Lorenzo Sanz: The Man Who Recovered the European Cup for Real Madrid” di The Guardian , Minggu (22/3/2020), hanya menyebutkan sosok kelahiran Distrik Chamberí, Madrid, 9 Agustus 1943 itu merupakan anak bungsu dari 10 bersaudara. Sanz tumbuh di Distrik Carabanchel.Di sanalah ia kenal dan berkawan dengan Ramón Mendoza yang kelak ia gantikan sebagai presiden Real Madrid. Ayah Sanz mantan jawara tinju amatir yang turut jadi fans die hard Real Madrid. Karena itulah sejak kanak-kanak Sanz sudah jadi madridista. Lorenzo Sanz Mancebo meninggal di usia 76 tahun setelah terjangkit virus corona (Foto: realmadrid.com ) Sejak usia 10 tahun Sanz loyal menyaksikan El Real berlaga di stadion Santiago Bernabéu bersama neneknya, sekaligus menjajakan air minum kepada para penonton lain. Bersama ayahnya ia turut jadi saksi kala Madrid merebut gelar kedua European Cup (kini Liga Champions) di kandang sendiri pada 30 Mei 1957. Saat itu Madrid menjungkalkan Fiorentina 2-0 di final berkat penalti Alfredo Di Stéfano dan gol Paco Gento. Sejak usia 10 tahun Sanz loyal menyaksikan El Real berlaga di stadion Santiago Bernabéu bersama neneknya, sekaligus menjajakan air minum kepada para penonton lain. Bersama ayahnya ia turut jadi saksi kala Madrid merebut gelar kedua European Cup (kini Liga Champions) di kandang sendiri pada 30 Mei 1957. Saat itu Madrid menjungkalkan Fiorentina 2-0 di final berkat penalti Alfredo Di Stéfano dan gol Paco Gento. Beranjak dewasa, menurut Steven G. Mandis dalam The Real Madrid Way: How Values Created the Most Successful Sports Team on the Plane t, Sanz sempat berkiprah di lapangan hijau sebelum beralih jadi pebisnis. Hingga usia sekolah menengah atas, Sanz pernah membela beberapa klub level Tercera División regional Comunidad de Madrid alias kasta keempat Liga Spanyol, seperti RCD Carabanchel dan CD Puerta Bonita. Posisinya adalah kiper. Mulai 1970-an, ia terjun ke bisnis properti dan mulai naik daun sebagai konglomerat baru satu dekade berikutnya. Kala Mendoza, kawan kecilnya dari Distrik Carabanchel, menjadi presiden Real Madrid pada 24 Mei 1985, Sanz diajak menjadi salah satu anggota dewan direksi klub. Bersama Mendoza, Sanz turut menggodok strategi baru buat klub yang di awal 1980-an miskin gelar di kancah domestik. “Strategi baru klub adalah mengembangkan dan mempromosikan pemain-pemain dari akademi muda La Fábrica. Pemain-pemain muda lokal itu kemudian membawa kesuksesan hingga memunculkan julukan ‘La Quinta del Buitre’ yang mengambil sebutan dari julukan pemain andalan mereka, Emilio Butragueño (‘El Buitre’). Empat andalan lokal lainnya kala itu adalah Manuel Sanchís, Martín Vásquez, Míchel del Campo, dan Miguel Pardeza,” tulis Mandis. Kolase momen Lorenzo Sanz kala Real Madrid mendulang La Séptima (gelar keenam Liga Champions) pada 1998 (Foto: realmadrid.com ) Menyusul sukses Madrid menjuarai La Liga lima musim berturut-turut (1985-1990), jabatan Sanz naik hingga menjadi wakil presiden klub. Sanz akhirnya menggantikan kawan lamanya itu sebagai suprema klub, usai Mendoza dipaksa mundur oleh keputusan mayoritas dewan direksi. “Sanz dipilih sebagai presiden Real Madrid pada 26 November 1995 menggantikan Mendoza yang dipaksa turun jabatan setelah klub menumpuk utang besar hingga 1,2 miliar peseta. Mendoza juga sangat kentara memanfaatkan popularitas klub untuk kepentingan politiknya,” ungkap Gabriele Marcotti dalam biografi Fabio Capello, Portrait of a Winner . Sebagai presiden Sanzjustru enggan mengulangi strategi pendahulunya. Ia merasa klub harus punya imej baru yang diharapkan berbanding lurus pada keuntungan di kemudian hari. Sanz menargetkan Madrid harus bisa kembali mengglobal dengan menjadi raja Eropa. Toh Madrid sudah terlalu lama puasa gelar Eropa sejak terakhir kali juara Piala Champions pada 1966. Maka itu di awal kepemimpinannya Sanz tak segan merogoh koceknya sendiri untuk mendatangkan sejumlah pemain bintang macam Davor Šuker, Predrag Mijatović, Clarence Seedorf, dan Roberto Carlos. Untuk posisi entrenador (pelatih), Sanz merekrut Capello, pelatih asal Italia yang sebelumnya sukses membanjiri AC Milan dengan empat gelar Serie A dan masing-masing satu Piala Champions dan Piala Super Eropa pada 1994. Mati dengan Tenang Mendatangkan sejumlah bintang ke Madrid tak serta-merta mendatangkan gelar ke klub yang dulunya bernama Royal Madrid itu. Sambil menantinya, Sanz terusaktif di bursa transfer untuk berturut-turut mendatangkan beberapa pemain bintang lain yang tentunya tak murah. Hingga tahun 2000, tak terhingga peseta yang berasal dari pinjaman bank dikeluarkan Sanz untuk mendatangkan para bintang. Selain Míchel Salgado yang kelak menjadi menantunya, Sanz juga mendatangkan Christian Karembeu yang diincar klub Barcelona, hingga Nicholas Anelka yang pada 1999 menjadi pemain termahal dengan nilai transfer 5,54 miliar peseta (USD38 juta) dari Arsenal. “Ditambah Geremi Njitap, Elvir Baljić, Júlio César, Rodrigo, Edwin Congo, dan Iván Helguera. Ada juga yang didapat dengan free transfer seperti Christian Panucci dan Steve McManaman. Namun yang tak disadari fans dan publik adalah, utang Madrid kian menggunung hingga mencapai 9 miliar peseta dari pinjaman bank. Sukses di lapangan ternyata tak berbanding lurus dengan kesuksesan finansial,” singkap Sid Lowe dalam Fear and Loathing in La Liga: Barcelona, Real Madrid and the World’s Greatest Rivalry. Kolase momen Lorenzo Sanz kala Real Madrid menyabet La Octava (gelar ketujuh Liga Champions) pada 2000 (Foto: realmadrid.com ) Tidak hanya pemain, Sanz juga “hobi” gonta-ganti pelatih. Ia dikenal tak harmonis dengan sejumlah pelatih yang ia rekrut. Sepanjang kepresidenannya, Sanz pernah menggunakan jasa Jorge Valdano, Vicente Del Bosque, Arsenio Iglesias, Capello, Jupp Heynckes, José Antonio Camacho, Guus Hidding, dan John Toshack sebagai pelatih Madrid. Biaya tinggi yang dikeluarkan Sanz memang akhirnya membuat Madrid sukses merajai Eropa dua kali. Utamanya, kala klub menuntaskan dahaga gelarnya selama 32 tahun pada musim 1997-1998. Di final Champions kontra Juventus di Amsterdam Arena, 20 Mei 1998, Mijatovic menjadi pahlawan dengan gol tunggalnya di menit ke-66. Momen itu kemudian jadi bab baru bagi citra Madrid sebagai langganan juara Eropa hingga kini. “Ketika kami pulang, kami tak pernah melihat begitu banyak warga Madrid tumpah ruah menyambut selebrasi. Momen itu yang mengubah mentalitas Real Madrid. Momen yang sekaligus mengangkat beban sejarah dari pundak kami yang sudah dinanti begitu lama,” kata Fernando Sanz, putra Lorenzo Sanz, yang kala itu juga bermain sebagai bek Real Madrid, dikutip Lowe. Madrid di bawah Sanz kembali jadi kampiun Champions di musim 1999-2000 . D i final yang digelar di Stade de France, Saint-Denis, Prancis , 24 Mei 2000 , Madrid menang telak 3-0 dari sesama klub Spanyol, Valencia. Sayangnya, beberapa bulan setelah itu Sanz gagal mempertahankan jabatannya.Dalam pemilihan tahun itu, kursinya direbut Florentino Pérez yang memenangkan pemilihan suara. Meski Sanz sebagai peletak fondasi “Galácticos” yang kelak disempurnakan Pérez, ia kalah gegara persoalan utang Madrid yang terus membengkak. Selain itu, Pérez menggunakan “senjata” bahwa dia bakal membajak Luis Figo dari tim rival Barcelona. Setelah kehilangan jabatan presiden, Sanz sempat dua kali lagi menjajal pemilihan yang berujung kandas. Ia kemudian membeli klub medioker, Málaga CF. Pada 2006, Sanz membeli 97 persen saham klub asal Andalusia itu, namun menyerahkan kursi kepresidenan klub untuk dipegang putranya, Fernando Sanz. Lorenzo Sanz (kanan) dan putranya Fernando Sanz Durán (Foto: realmadrid.com ) Terlepas dari “dosanya” menumpuk utang buat Madrid, kepemimpinan Sanz membuka bab anyar bagi citra Madrid yang tidak hanya disegani di pentas domestiknamun juga Eropa, bahkan dunia. Capaian itu merupakan warisan yang takkan dilupakan para madridista , utamanya kala Madrid mengakhiri dahaga gelar Eropa selama 32 tahun pada 1998. Momen itu pula yang paling dikenang Sanz hingga akhir hayatnya. Ia menyimpan kliping suratkabar AS yang memunculkan headline tentang momen itu di kamar mandinya. “Bagaimana saya bisa melupakan momen itu? Setiap bangun pagi dan pergi ke kamar mandi, saya selalu melihatnya. Sejarah akan menempatkan saya di tempat yang sepantasnya. Seperti janji saya sebelumnya, saya membawa trofi (Liga Champions) itu kepada raja (Spanyol). Kini saya bisa mati dengan tenang,” tandasnya dikutip Lowe.
- Alkisah Foto Jenazah Aliarcham
Engkau tidak hilang bagi kami, tidak!/ Masa kini kami tumbuh dari masa lampaumu/ Tangan kami menganyam terus/ Karya suci dan perjoanganmu/ Kami meneruskan kata gairah/ Kehidupanmu dengan rasa bahagia/ Obor yang menyala di malam kelam anda/ Kami sampaikan kepada angkatan kemudian. Sajak gubahan penyair Belanda Henriette Roland Holst itu (dalam bahasa Belanda) tertulis di sebuah papan tulis hitam yang diambil dari sebuah sekolah. Digambar pula simbol palu arit pada papan itu lalu ditempatkan di belakang kepala jenazah Aliarcham. Pemimpin Digulis itu meninggal dunia karena penyakit TBC pada Juli 1933 di atas sebuah perahu motor. Di Tanah Merah, seruan “Aliarcham meninggal!” menjalar ke seluruh kamp ketika perahu dari Tanah Tinggi itu tiba. Kematian Aliarcham telah menimbulkan rasa kehilangan yang berat bagi para Digulis. “Tidak ada orang lain yang pernah menerima penghormatan dari semua tapol seperti Aliarcham,” tulis Molly Bondan dalam Spanning a Revolution . Hampir seluruh penghuni Tanah Merah berkumpul. Jenazah Aliarcham kemudian dikebumikan di pemakaman Tanah Merah. Kuburannya penuh bunga-bunga dan tak lama dipagari kayu dengan ukiran Jepara. Tak lama berselang setelah kepergian Aliarcham, foto jenazah, pemakaman dan makamnya tersebar. Hal ini bermula ketika foto-foto itu mulai dijual di kompleks pemerintah sipil oleh beberapa interniran. Dari sebuah kamp di tengah belantara Papua itu, foto Aliarcham tersebar ke penjuru negeri. “Karena ada juga foto-foto yang dijual kepada pelaut-pelaut yang singgah di Tanah Merah, foto-foto itu akhirnya tersebar di seluruh tanah air,” tulis Chalid Salim dalam Lima Belas Tahun Digul . Foto-foto Aliarcham kemudian sampai ke tangan H.C. Zentgraaff, seorang wartawan senior di Hindia Belanda. Zentgraaff lalu menulis tajuk rencana tentang Aliarcham di surat kabar De Java Bode. “Dalam karangan itu wartawan tersebut bertanya-tanya bagaimanakah mungkin, bahwa potret dari orang Digulis yang meninggal, dan pemakamannya dapat tersebar ke seluruh Nusantara?” sebut Chalid Salim. Namun, menurut Salim, Zentgraaff juga memberi hormat kepada Aliarcham yang terkenal fanatik menentang kekuasaan Belanda. Memang, meskipun dianggap musuh, orang-orang kolonial justru menghormatinya. Foto-foto Aliarcham tak hanya beredar di masa perjuangan perintis kemerdekaan. 25 tahun setelah kematiannya, foto makam Aliarcham juga sampai ke tangan Sukarno. Roeslan Abdulgani yang menunjukannya kepada Bung Besar. “Pada tahun 1957 dan 1958, sebelum lahirnya Manipol, fotoini pernah saya tunjukkan kepada Bung Karno. Beliau sangat tertarik akan syair itu dan tidaklah heran, jika dalam salah satu pidato beliau kemudian terdapat kata-kata syairitu diucapkan,” ungkap Roeslan dalam Membina Mental Rakjat Kearah Kesatuan Bangsa . Foto-foto tersebut sepertinya diabadikan oleh L.J.A. Schoonheyt, dokter yang bertugas di Tanah Merah. Namun, ia merasa kecewa atas tersebarnya foto-foto itu. Kehebohan yang dibuat foto-foto itu membuatnya mendapat celaan. “Rupanya dokter mendapat celaan karena hal itu, padahal yang demikian sama sekali bukan maksud kami. Maka ia kecewa tentang peristiwa itu,” kata Chalid Salim. Selain tersebarnya foto-foto Aliarcham, muncul rumor bahwa bekas rumah Aliarcham berhantu. Menurut salah seorang sersan di Tanah Tinggi, rumah Aliarcham terlihat bersih dan rapi. Padahal tidak pernah ada yang berani masuk. Ketika malam, beberapa kali juga terdengar suara mengerang dan berseru. Ketika Schoonheyt dan sersan masuk ke rumah Aliarcham, mereka mendapati barang-barang Aliarcham begitu rapi. Bahkan ada mangkuk bekas minum teh di dapur. Schoonheyt menyarankan agar barang-barang Aliarcham dijemur di luar dan rumahnya dibersihkan untuk membasmi kuman. “Selanjutnya saya tak ingin mencampuri urusannya. Sudah cukup pusing kepalaku karena persoalan foto-foto pemakamannya, yang diperjualbelikan di sembarang tempat,” ujar Schoonheyt. Seperti sajak Holst, obor perjuangan Aliarcham nampaknya diteruskan meskipun hanya melalui foto-fotonya. Obor yang lain dinyalakan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) melalui Akademi Ilmu Sosial Aliarcham pada awal dekade 1960-an. Nyalanya dimatikan Orde Baru pasca tragedi 1965.
- Pasukan Mataram Diserang Wabah Penyakit
Panembahan Krapyak meninggal dunia pada 1613. Sultan Agung menggantikannya sebagai raja Mataram. Ia melanjutkan politik ekspansi ayahnya itu. Setelah merebut Malang dan Lumajang pada 1614, berikutnya ia menyerang Wirasaba. Saking pentingnya daerah itu, ia turun langsung ke medan pertempuran. "Raja ingin ikut menyerang melawan Wirasaba. Para pembesar menghalang-halanginya dengan sia-sia," tulis sejarawan H.J. de Graaf dalam Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung . Sultan Agung mengerahkan pasukan Mataram dan sekutunya dari pesisir. Jumlahnya mencapai 10.000 orang, tidak termasuk para petandu. Pasukan ini dipimpin oleh Tumenggung Martalaya. Mereka berbaris melintasi Madiun, di sana orang-orang Ponorogo menggabungkan diri. Sementara itu, penguasa Wirasaba, Pangeran Aria, yang baru berumur 15 tahun digambarkan berpenampilan baik, tampan, namun tidak suka tidur dan makannya sedikit. Patihnya, Rangga Pramana, mempunyai kesaktian dan kekebalan, tetapi lumpuh sehingga harus ditandu bila mengadakan inspeksi pasukan maupun dalam pertempuran. Pangeran Aria meminta bantuan kepada Surabaya. Penguasa Surabaya memerintahkan sekutunya, para bupati daerah pantai untuk membantu. Penguasa Surabaya mengirim 1.000 prajurit. Jumlah yang sama datang dari Madura di bawah pimpinan Rangga Lawe. Di Wirasaba pun berkumpul banyak prajurit. Semua dalam keadaan siap siaga. Selain itu, pertahanan kota telah diperkuat setelah terjadi perampokan dan perampasan tahun lalu. Pertempuran pecah. Sultan Agung dan pasukannya bertempur di Pala Dadi, di sebelah barat Wirasaba. Selain kuatnya pertahanan Wirasaba, Sultan Agung juga harus menghadapi musuh yang datang tak diduga dan tak dapat dilawan: wabah penyakit. Setelah setengah bulan berperang, para prajurit Mataram diserang wabah penyakit pes. Banyak prajurit yang meninggal, sehingga Sultan Agung mengusulkan untuk menghentikan serangan dan pulang. Akan tetapi Tumenggung Martalaya tetap teguh. Ia minta waktu satu hari lagi untuk merebut Wirasaba. "Setelah raja mengumumkan rencananya untuk mengakhiri pengepungan, maka Pangeran Purbaya, para sentana , dan Tumenggung Martalaya dengan tergesa-gesa memerintahkan memukul genderang perang. Setelah mengepung Wirasaba, mereka tiba-tiba menyerang, dan menemui kegagalan yang sangat menyedihkan," tulis De Graaf. Akhirnya, setelah tiga serangan hebat yang mendadak, Wirasaba bisa ditaklukkan oleh pasukan Mataram di bawah pimpinan Tumenggung Martalaya, Pangeran Purbaya, dan Pangeran Mangkubumi. Serangan itu berhasil berkat pemakaian besi-besi pencungkil dan tangga penyerbu. Penaklukan Wirasaba tidak mudah. Sultan Agung sendiri memutuskan untuk mengakhiri pengepungan. “Kebimbangan ini dapat dihubungkan dengan wabah pes yang menimpa tentara Mataram," tulis De Graaf. Namun, para panglimanya tak menyerah sehingga berhasil menaklukan Wirasaba. Kemenangan itu juga disebabkan oleh kelemahan Wirasaba. Menurut sejarawan M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200–2004 , kronik-kronik menyebutkan bahwa persekutuan Surabaya menjadi lemah dalam peperangan yang menentukan ini karena adanya rasa saling curiga antara Surabaya dan Tuban. De Graaf mencatat, ternyata dukungan dari sekutu-sekutu Surabaya tidak berjalan lancar. Mereka mau membantu, asalkan Surabaya sendiri juga turut bertempur. Namun, raja Surabaya tidak berani meninggalkan tempat tinggalnya, karena mencurigai sekutunya, yaitu Tuban. Tuban membatasi bantuannya hanya pada pendudukan Surabaya. Anggota-anggota persekutuan malah berhadap-hadapan di Surabaya dalam kedudukan saling mengancam. Bahkan, raja Surabaya mengeluarkan pasukan Tuban dari Surabaya dengan kekerasan. Para anggota sekutu lainnya sama sekali tidak muncul. "Alangkah sangat berlainan hasil jalannya pertempuran andai kata Surabaya tidak hanya dapat mengerahkan seluruh kekuatannya, melainkan juga kekuatan sekutu-sekutunya," tulis De Graaf. "Karena kurang adanya kerja sama antarsekutu, Surabaya kehilangan pos terdepan yang penting ini." Ricklefs menyebut bahwa kemenangan atas Wirasaba sangat penting sehingga Sultan Agung sendiri memimpin tentaranya di sana. Pendudukan Wirasaba sangat penting karena secara strategis menguasai pintu gerbang ke muara Sungai Brantas. Secara psikologis, Sultan Agung menguasai daerah yang pernah menjadi lokasi Kerajaan Majapahit. Memangnya di manakah letak Wirasaba? De Graaf menyebutkan bahwa nama Wirasaba tidak akan ditemukan di peta tanah Jawa. Bahkan sebagai nama desa ia menghilang. Meskipun demikian, Thomas Stanford Raffles masih menempatkan Wirasaba di dalam petanya, baik untuk menunjukkan sebuah ibu kota maupun sebuah kabupaten di tikungan Sungai Brantas. Francoise Valentijn, seorang pendeta yang dipekerjakan VOC di Ambon, dalam Oud en Nieuw Oost-Indien , menyebut letak Wirasaba diduga dua mil di sebelah selatan Japan. Sekarang Japan diberi nama Mojokerto dan Wirasaba dapat disamakan dengan Mojoagung, yang letaknya kurang lebih 15 km di sebelah barat daya Mojokerto. Letak Wirasaba dan Mojoagung penting dilihat dari sudut strategi, karena bila diduduki dan dipertahankan secara baik, dapat menutup jalan masuk ke Delta Brantas dan dari sana ke daerah Ujung Timur Jawa. Penaklukan Wirasaba juga memungkinkan aksi-aksi perampokan dan perampasan sampai depan tembok-tembok pertahanan Surabaya, mungkin juga lebih dari itu. “Di samping itu,” tulis De Graaf, “penaklukan sebuah tempat yang letaknya demikian dekat dengan bekas-bekas peninggalan Majapahit yang jaya itu merangsang daya khayalan orang-orang Jawa.”
- Melawan Wabah El Tor
El Tor. Anda pernah mendengarnya? Mungkin sekarang tak pernah. Tapi pada dekade 1930-an dan 1960-an, El Tor sempat menjadi nama paling ditakuti di Sulawesi Selatan, Semarang, dan Jakarta. El Tor adalah penyakit menular. Gejalanya mirip kolera. Bahkan penyebabnya serupa dengan penyakit kolera. Masih satu keluarga dengan bakteri kolera. El Tor kali pertama ditemukan oleh Felix Gotschlich, dokter dari Jerman, di pusat karantina El Tor, tak jauh dari Terusan Suez, Mesir, pada 1905. Karena itu, bakteri termaksud disebut El Tor. Gotshlich menyatakan El Tor terdapat di feses sejumlah jamaah calon haji. Meski menyerupai vibrio cholerae (bakteri penyebab kolera), El Tor justru bersifat apatogen atau tidak merugikan inangnya. Jamaah calon haji tetap sehat dan tak muncul gejala sakit apapun pada mereka. Kesimpulan Gotschlich bertahan selama 32 tahun. Kesimpulan Gotschlich berubah pada September 1937. El Tor mulai jadi patogen (merugikan inangnya). Kasus pertama muncul di Pangkajene, sekira 60 kilometer dari utara Makassar. Orang terinfeksi El Tor akan menampakkan gejala sakit menyerupai pasien kolera. “Mula-mula penderita muntah, diikuti dengan berak-berak yang berupa air beras (cair, keruh putih disertai sedikit lendir) dengan frekuensi lebih dari 10 kali,” catat Djaja dalam “Usaha Memberantal El Tor”, 7 Maret 1964. Dalam waktu hampir tiga bulan, infeksi El Tor menyebar ke beberapa wilayah Sulawesi lainnya. Dari 26 September hingga 11 Desember 1937 terdapat 37 kasus dengan 11 orang meninggal . Persebaran El Tor menjangkau 14 desa sehingga menjadikannya epidemi. Media penyebarannya melalui liur atau feses penderita, air yang terkontaminasi, dan lalat yang membawa bakteri itu lalu hinggap di makanan. Epidemi ini cepat menyebar, lekas pula mereda. Tidak seperti dalam kolera, penanganan terhadap penderita tak perlu ada isolasi khusus. Sekian tahun menghilang, El Tor muncul lagi pada 1958 di Jakarta. “Pertama kali muncul empat kasus parakolera El Tor di Jakarta Raya,” ungkap Soe Khie Tjia dalam Penjelidikan Vibrio El Tor Jang Diasingkan di Djakarta dan Tjara Baru Untuk Membedakan Antara Vibrio El Tor dan Vibrio Cholerae , tesis pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 1967. Lantaran kasusnya sedikit, kebanyakan orang menganggap biasa kabar ini. Tetapi dunia kedokteran justru bingung, bagaimana El Tor ini muncul di Jakarta setelah sekian tahun hilang dari Makassar. Penelitian digelar selama tiga tahun. Tapi para dokter tak berhasil menemukan jawabannya. Tiga tahun setelah kasus di Jakarta, El Tor tiba-tiba merebak di Semarang. Tercatat ada 250 penderita terinfeksi El Tor. Dalam waktu bersamaan pula, El Tor menyerang Hongkong, Bangkok, Manila, Makau, dan Serawak. Orang-orang mulai khawatir. “Sejak 1961 kolera El Tor telah menjangkiti sepanjang wilayah Timur Jauh (Asia Timur) dan menarik perhatian WHO (Badan Kesehatan Dunia),” catat Jeni Iswandari dan Shinta Njotosiswojo dalam “Cholera El Tor Enteritis in Jakarta”, termuat di jurnal Paediatrica Indonesiana , Februari 1973. Para dokter berkesimpulan El Tor tak bisa lagi dibedakan secara epidemologis, klinis, dan patologis dari kolera. “Perbedaannya hanya terletak pada dua hal: karekteristik fisik dan biokimia (reaksi kimia yang terjadi dalam sel atau organisme hidup) bakterinya,” lanjut Jeni. Seiring pendefinisian El Tor, dokter C.E. De Moor menyarankan penanganan terhadap penderitanya ikut berubah. Mereka harus menjalani isolasi sebagaimana penderita kolera. “Pandangan mengenai vibrioEl Tor kini adalah sebagai kuman yang dapat menyebabkan wabah dengan mengakibatkan kematian sehingga oleh karenanya De Moor memasukkannya dalam daftar kuman-kuman yang dapat menimbulkan penyakit-penyakit karantina,” ungkap Djaja dalam “El Tor dan Cholera”, 26 Oktober 1963. Menyikapi penyebaran El Tor, pemerintah Indonesia menggunakan data penelitian tenaga kesehatan ketika El Tor berjangkit di Jakarta pada 1958 untuk mengambil tindakan. “Tidak banyak orang tahu bahwa semenjak kurang lebih dua tahun berselang, tenaga-tenaga kesehatan kita dan bagian public health Fakultas Kedokteran bertindak dalam bidang epidemiologis,” catat Djaja . Data penelitian tadi meliputi anggota keluarga penderita El Tor, pekerjaan penderita, makanan dan minuman, keadaan rumah, dan kondisi lingkungan. Melalui data itu, pemerintah mengambil langkah pencegahan penyebaran El Tor. Antara lain dengan mengeluarkan maklumat tentang El Tor. Isinya berkisar informasi El Tor, rumah sakit rujukan, dan tindakan orang jika menemukan penderita El Tor. Setelah maklumat keluar, Undang-Undang No. 6 Tahun 1962 tentang Wabah terbit pada 5 Maret 1962. UU termaksud menyuguhkan senarai delapan penyakit menular dan dapat menimbulkan wabah. El Tor termasuk satu di antaranya. Ini berarti “penyakit tersebut harus diberantas dengan segera bila terjadi wabah,” catat Almanak Pembangunan Kesehatan . UU juga memaklumatkan wewenang kepada Menteri Kesehatan untuk menetapkan suatu daerah sebagai daerah wabah setelah pemeriksaan yang teliti. Jika Menkes sudah menetapkan satu daerah sebagai daerah wabah, penguasa tempatan dapat menutup daerah tersebut untuk mencegah wabah meluas. Selain memaklumatkan tindakan bagi pemerintah, UU juga membuka pelibatan masyarakat untuk melaporkan adanya wabah di daerahnya. Para penderita penyakit dikenakan ketentuan isolasi dari orang lain di sekitarnya. “Peraturan ini dijalankan dengan keras karena terjadinya beberapa wabah di Makassar… Dan El Tor yang sudah endemis,” tulis Pedoman dan Berita , 1968. Setelah mengeluarkan maklumat tentang El Tor dan UU tentang wabah, langkah selanjutnya adalah pembuatan vaksin. Hingga 1970-an, vaksin El Tor belum juga ditemukan. Sebagai gantinya, pemerintah menggunakan vaksin kolera. Penderita El Tor mengeluarkan reaksi beragam setelah mendapat vaksin kolera. Ada yang sembuh, ada juga yang tak tertolong. Tapi ketiadaan vaksin khusus itu tertolong oleh perubahan perilaku menuju hidup bersih, pembangunan sanitasi di permukiman, dan kesadaran masyarakat memasak air lebih dulu. Dengan cara demikian, penderita El Tor di Indonesia menurun secara bertahap.
- Intel Kolera di Batavia
Jumlah pasien positif virus Covid-19 terus meningkat sejak dua pasien pertama diumumkan pemerintah pada 2 Maret 2020. Untuk melacak persebarannya, pemerintah kemudian menggandeng Badan Intelijen Nasional (BIN) dan intelijen Polri. Presiden Joko Widodo melalui akun Twitter resminya menyebut bahwa pemerintah berusaha menangani wabah ini tanpa menimbulkan kepanikan di masyarakat. ”Pemerintah terus berusaha keras menangani wabah virus korona, dengan tanpa menimbulkan kepanikan masyarakat. Penelusuran terhadap siapa pun yang melakukan kontak dengan pasien positif Covid-19 misalnya, dilakukan Kementerian Kesehatan dengan bantuan dari intelijen BIN dan Polri,” cuitnya, 13 Maret 2020. Dilibatkannya intelijen dalam menangani wabah ternyata pernah dilakukan pemerintah kolonial Belanda ketika Kota Batavia diserang kolera. Wabah kolera telah dikenal sejak 1821 dan terus terjadi hingga awal abad 20. Di Batavia, dinas intelijen kemudian dibentuk pada 1909 untuk melacak penyebarannya. Pembentukan dinas intelijen diprakarsai oleh Cornelis Dirk Ouwehand, dosen di STOVIA sekaligus dokter kota di Batavia. Dokter yang kemudian menjadi inspektur Dinas Kesehatan Sipil ini menyebut bahwa data kasus kolera dalam statistik resmi yang dilaporkan oleh rumah sakit selama masa kolera tidak dapat diandalkan. Menurut Ensiklopedia Jakarta: Volume 2, pada 1910 dan 1911 tercatat sebagai tahun kolera. Rata-rata tiap 1.000 orang bumiputra yang tinggal di hulu kota meninggal dunia dalam kurun itu. Sementara di kota hilir (Batavia Lama) jumlah korban meninggal mencapai 148 orang. Hingga mendekati akhir, total warga Batavia yang meninggal diperkirakan sebanyak 6.000 orang. Patrick Bek dalam "Fighting an (In)visible Enemy: Cholera Control in Jakarta" yang termuat dalam The Medical Journal of The Dutch Indies 1852-1942 menyebut dinas intelijen bertugas memantau kasus kolera secara independen. Dinas ini mengumpulkan data di kampung-kampung, termasuk korban kolera yang tidak berhasil sampai ke rumah sakit. Intelijen lalu melaporkan apa yang kemudian disebut "kasus sporadis" pada periode antara dua wabah kolera. Mereka menunjukkan bahwa di antara dua epidemi, kolera tidak pernah sepenuhnya hilang dari Batavia. Daerah-daerah yang paling sering terkena dampak dan paling parah oleh penyakit ini juga telah ditemukan. "Badan intelijen memetakan fokus wabah baru-baru ini, yang disebut 'kampung kolera', di tepi sungai Ciliwung dan sungai Krukut, tempat tinggal kuli miskin dan Tionghoa miskin,” tulis Bek. Pada 1911-1912 dinas intelijen beroperasi penuh di bawah naungan Dinas Medis Sipil yang baru didirikan, yang bertugas memantau kesehatan masyarakat dan bertujuan mengendalikan penyakit-penyakit umum dan infeksi. Meski tak ada studi ekstensif mengenai dinas intelijen ini yang diterbitkan jurnal medis Hindia Belanda, para kontributor jurnal memuji didirikannya dinas ini. Mereka mengklaim bahwa dinas intelijen sangat penting dalam pengendalian kolera di Batavia. Angka-angka dari dinas intelijen kemudian juga digunakan oleh P.C. Flu (1884-1945), asisten direktur Laboratorium Medis di Batavia, dalam sebuah studi menyeluruh tentang kolera di Batavia, pada 1915. Dari studi tersebut, P.C. Flu mempresentasikan temuannya tentang pengaruh hujan terhadap epidemi kolera di Batavia dalam angka dan tabel. Ia menyimpulkan bahwa, seperti yang sudah diduga, hujan memiliki efek menguntungkan pada jumlah kasus kolera. Kemudian ketika mempelajari angka-angka dari dinas intelijen, ia juga menemukan bahwa di musim hujan dan masa di antara dua epidemi kolera, kolera tidak pernah benar-benar hilang. Kolera tetap bertahan namun dalam bentuk yang ringan. “Ini adalah penemuan penting, yang akan digunakan oleh dinas intelijen yang baru didirikan. Selain itu, penemuan ini juga disajikan dalam GTNI (jurnal medis Hindia Belanda) sebagai argumen untuk vaksinasi massal di Hindia Belanda, yang diperkenalkan di koloni sekitar waktu yang sama,” sebut Bek. Meski demikian, wabah kolera di Batavia nyatanya masih merebak tiap tahun hingga 1920. Hal ini berkaitan dengan sanitasi lingkungan dan kebersihan perorangan penduduk Batavia yang rendah.






















