top of page

Hasil pencarian

9590 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Riwayat Kedatangan Islam di Gowa

    Wabah Covid-19 semakin meresahkan masyarakat Indonesia. Pemerintah pun akhirnya mengeluarkan imbauan agar masyarakat sebisa mungkin menghindari keramaian. Masyarakat diminta tidak berkumpul dalam jumlah besar di tempat tertentu. Hal itu dilakukan untuk memutus rantai persebaran virus yang semakin meluas. Di tengah upaya tersebut, masyarakat Indonesia malah dihebohkan dengan pemberitaan tentang kegiatan Tabligh Ijtima Dunia 2020 Zona Asia yang rencananya akan diselenggarakan di Gowa, Sulawesi Selatan pada 19-22 Maret. Diberitakan CNNIndonesia , Kepala Pusat Data dan Informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Agus Wibowo membenarkan keberadaan 8.000 anggota Jemaah tabligh di Gowa tersebut. Namun setelah pemerintah daerah Sulawesi Selatan bersama TNI dan kepolisian melakukan koordinasi dengan pihak panitia penyelenggara, acara tabligh itu resmi ditunda. Pangdam Hasanuddin Mayjen TNI Andi Simangaruka menyebut pihaknya berhasil meyakinkan panitia menunda acara di tengah pencegahan virus corona yang dilakukan pemerintah Indonesia. “Jadi rencana mereka akan membatalkan kegiatan itu. Ini kesepakatan dengan panitia karena kan progam pemerintah dalam rangka pencegahan penularan virus corona. Mereka mengerti itu,” ucap Andi Simangaruka. Banyak masyarakat yang bingung dengan pemilihan wilayah Gowa sebagai tempat penyelenggaraan acara tersebut. Dari sekian banyak wilayah di Indonesia mengapa Gowa yang dipilih untuk acara yang baru pertama kali terselenggara di Indonesia ini. Hal itu tentu tidak terlepas dari perkembangan ajaran Islam di Gowa yang telah terjadi  sejakratusan tahun lalu. Lantas bagaimana Islam pertama kali masuk ke Gowa? Kedatangan Pertama Penyebaran Islam di Nusantara berlangsung tidak merata. Ajaran agama dari Jazirah Arab ini tidaklah masuk secara bersamaan ke seluruh penjuru Nusantara. Masuknya Islam ke Sulawesi Selatan, termasuk Kerajaan Gowa contohnya, bisa dikatakan terlambat dibandingkan dengan wilayah Sumatera dan Jawa. Jika di kedua wilayah tersebut Islam telah berkembang pesat sejak abad ke-10, pengaruh Islam di Sulawesi baru muncul sekitar abad ke-16. Penyebabnya adalah kegiatan dagang di sana baru ramai akhir abad ke-16 hingga permulaan abad ke-17. Dijelaskan Ahmad M. Sewang dalam Islamisasi Kerajaan Gowa: Abad XVI sampai Abad XVII , para pedagang Muslim dari berbagai daerah di Nusantara, serta pedagang Eropa baru ramai mengunjungi pelabuhan-pelabuhan di Sulawesi Selatan pada periode abad tersebut. Aktifitas dagang inilah yang mempengaruhi tumbuhnya Islam di Jawa dan Sumatera. Sehingga ketika Sulawesi mulai ramai dikunjungi, persebaran Islam di Gowa pun mulai meningkat. Menurut Mattulada dalam “Islam di Sulawesi Selatan” dimuat dalam  Agama dan Perubahan Sosial karya Taufik Abdullah, keberadaan pemukiman Muslim pertama di Makassar diketahui pada masa pemerintahan Raja Gowa X Tonipalangga (1546-1565). Penduduk Muslim pertama di Sulawesi Selatan itu mayoritas berasal dari Campa, Patani, Johor, dan Minangkabau. Mereka adalah para pedagang yang melakukan aktifitas dagang di pelabuhan Makassar, yang ketika itu dikenal sebagai tempat singgah para pelaut yang ingin ke Maluku ataupun ke Sumatera. Pada masa kekuasaan Tonijallo (1565-1590) di tempat bermukim para pedagang Muslim di Mangallekanna itu telah berdiri sebuah masjid. Memasuki abad ke-17 Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo mulai menerima keberadaan Islam di negerinya. Peristiwa besar penerimaan Islam tersebut ditandai dengan kedatangan tiga orang datuk ( datuk tallua ) dari Minangkabau ke wilayah kekuasaan raja Gowa. “Peristiwa masuknya Islam Raja Gowa merupakan tonggak sejarah dimulainya penyebaran Islam di Sulawesi Selatan, karena setelah itu terjadi konversi ke dalam Islam secara besar-besaran,” tulis Sewang. Berdasar peneltian etnolog Prancis Christian Pelras dalam “Religion, Tradition and the Dynamics of Islamization in South Sulawesi” dimuat Archipel , diketahui bahwa orang pertama di Gowa yang menerima Islam adalah mangkubumi Kerajaan Gowa, yang juga memegang kekuasaan tertinggi di Tallo, yaitu I Malingkang Daeng Manyonri. Ia kemudian memperoleh nama Islam Sultan Abdullah Awwalul-Islam. Pada waktu yang bersamaan, Raja Gowa XIV I Mangarangi Daeng Manrabia, juga mengikrarkan dirinya menjadi seorang Muslim. Ia kemudian mengganti namanya menjadi Sultan Alauddin. Keduanya tercatat menjadi Muslim pada 1605. Perubahan seluruh keyakinan di Gowa ke dalam Islam ditasbihkan dengan dikeluarkannya sebuah dekrit Sultan Alauddin pada 9 November 1607. Dalam dekrit itu, kata Sewang, Sultan menjadikan Islam agama resmi kerajaan dan agama yang perlu diyakini seluruh rakyat di wilayah kerajaan Gowa. Tidak ada pertentangan atas keputusan tersebut. Tetapi kemudian mulai timbul pertentangan manakala Gowa mulai menyerukan Islam ke kerajaan-kerajaan taklukannya yang mayoritas masih menganut kepercayaan di luar Islam. Pada perkembangan selanjutnya, ajaran-ajaran Islam yang disyiarkan oleh para ulama di Gowa mulai diterima secara luas oleh masyarakat. “Sejak semula, penyebaran Islam dilakukan atas prakarsa raja, serta atas kemampuan adaptasi yang diperlihatkan oleh para penyiar Islam. Akan tetapi bagaimana proses itu terjadi serta peranan yang dimainkan oleh raja di dalamnya, belumlah ada penelitian yang membahas secara khusus tentang itu,” ungkap Sewang. Datuk Tallua Tersebarnya Islam di kalangan penguasa Gowa tidak terlepas dari peran datuk tallua . Tiga datuk tersebut di antaranya: Abdul Makmur (Khatib Tunggal), dikenal juga dengan nama Datuk ri Bandang; Sulaiman (Khatib Sulung), dikenal juga dengan nama Datuk Patimang; Abdul Jawad (Khatib Bungsu), dikenal juga dengan nama Datuk ri Tiro. Begitu tiba di Makassar, ketiganya tidak langsung menjalankan misi agamanya. Mereka lebih banyak berinteraksi dengan orang-orang Melayu dan pedagang Muslim yang sudah lebih dahulu tinggal di Sulawesi Selatan. Para mubalig ini berusaha mendekati para penguasa yang paling dihormati agar penyebaran ajaran Islam lebih mudah dilakukan. Dikisahkan dalam Lontara Pattorioloang dan Lontara Bilang, ketiga datuk kemudian pergi menuju Luwu untuk mendekati penguasa di sana. Berdasar informasi yang didapat, penguasa Luwu lebih terbuka terhadap keberadaan Islam. Akhirnya pada 1605, penguasa Luwu Daeng Parabung berhasil diislamkan. Ia mengganti namanya menjadi Sultan Muhammad. Sebagai raja Luwu, Sultan Muhammad cukup dihormati di kalangan raja-raja Sulawesi Selatan. Ia memiliki pengaruh yang besar. Sultan Muhammad lalu menyarankan agar datuk tallua pergi menemui Raja Gowa. Wilayah Gowa, menurut Sultan Muhammad, memiliki kekuatan militer dan politik yang kuat di kawasan Sulawesi Selatan. Jika Islam berhasil berkembang di sana, persebarannya diyakini akan semakin besar dan cepat. Usaha para mubalig itu pun membuahkan hasil. Beberapa bulan setelah melakukan pendekatan, Gowa dan Tallo bersedia memeluk agama Islam. “Kerajaan Gowa dikenal sebagai salah satu kerajaan pertama yang menerima Islam sebagai agama resmi sekaligus menjadi pusat Islamisasi di Sulawesi Sulatan,” tulis Sewang.

  • Lomba Masak Gerilyawan

    MARET 60 tahun silam. Chairul Saleh terpilih menjadi ketua umum Badan Musyawarah Angkatan 45. Pemilihan itu berlangsung dalam Musyawarah Besar Angkatan 45 yang dihelat di Jakarta, 15-20 Maret 1960. Terpilihnya Chairul menjadi angin segar bagi para veteran Perang Kemerdekaan yang seperti dianaktirikan sejak pengakuan kedaulatan. Chairul merupakan politikus sekaligus veteran Perang Kemerdekaan yang dianggap punya kepedulian tinggi, berprinsip, dan berani mengambil risiko. Selain itu, Chairul juga dikenal memiliki cara berpikir out of the box dan gaya kepemimpinan bak koboi. Lelaki tempramen yang menggemari pencak silat itu sejak muda telah menjadi penentang gigih terhadap cara kerja birokratis yang lamban. Bersama Sukarni dan beberapa pemuda Prapatan 10, Chairul menjadi otak di balik penculikan Sukarno-Hatta ke Rengasdengklok. Di Perang Kemerdekaan, gaya koboi kepemimpinan Chairul –yang merupakan pendukung kemerdekaan 100 persen Tan Malaka– terlihat saat merespon Agresi Militer II. Ketimbang tunduk kepada pemerintah yang melakukan perjanjian demi perjanjian dengan Belanda yang merugikan republik, Chairul memlih angkat senjata bergerilya melawan Belanda. “Dulu para pemimpin ini adalah mitra pemerintah yang sangat antusias. Divisi Siliwangi dan anggota Gerakan Rakyat Revolusioner turut ambil bagian dalam menghancurkan PKI dalam Pemberontakan Madiun pada September 1948,” tulis Robert Cribb dalam Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949 . Bersama sekitar 19 kawannya, Chairul long march dari ibukota Yogyakarta ke Gunung Sanggabuana di barat Purwakarta, Jawa Barat. Meski berbagai rintangan menghampiri rombongan Chairul dalam perjalanan jauh nan berat itu, sampai Chairul sendiri mesti berjalan menggunakan tongkat akibat kakinya bengkak dan berair usai sepatunya jebol di daerah sebelum Purwokerto, tak satu pun anggota rombongan patah semangat. Chairul selalu punya cara menarik untuk mengendurkan otot-otot mereka yang tegang.   Di lereng Gunung Ciremai usai rombongan disergap pasukan Belanda, rombongan yang sudah terseok-seok itu tiba-tiba melihat seekor anak kambing mengembik karena terlepas dari induknya. Anak kambing malang itu lalu dimasukkan paksa ke dalam rombongan oleh Dulay, rekan Chairul. Ketika mereka istirahat di tepi sungai di wilayah Hargeulis, Indramayu, Chairul mengeluarkan ide lewat celotehannya. “Hei…kawan-kawan, bagaimana kalau kita adakan acara lomba masak?” kata Chairul, dikutip Irna HN Soewito dkk. dalam biografi berjudul Chairul Saleh Tokoh Kontroversial . Kawan-kawan Chairul yang letih dan kelaparan pun langsung bersemangat mendukung ide Chairul. Suasana pun seketika berganti ceria. Setelah memotong anak kambing malang tadi dan mendapatkan sekadar bumbu dari penduduk, mereka membagi diri ke dalam beberapa kelompok yang saling bersaing menyajikan masakan. Chairul yang sekelompok dengan Erick dan Hasyim Mahdan membuat masakan yang mereka namakan Rendang Padang Kurang Bumbu. “Setelah dicicipi bersama dan dinilai bersama, maka ‘juara masak Long March Lasykar Rakyat Jawa Barat’ ialah Bung Chairul Saleh!”   Pengumuman itu sontak mengundang tepuk tangan dan tawa rombongan yang diselingi komentar banyolan yang mengundang gelak tawa. Chairul tak henti-hetinya tertawa. “Akhirnya tempat yang hampir 5 jam mereka duduki itu ditinggalkan dengan penuh kenangan. Perjalanan dengan semangat baru mereka lanjutkan menuju Subang, Kalijati kemudian langsung mendekati gunung yang dituju.”

  • Nyi Sombro dan Keris di Tangan Perempuan

    Pada zaman dahulu di Kerajaan Pajajaran pernah hidup Nyi Sombro. Ia adalah pembuat keris yang sakti. Konon saking saktinya Nyi Sombro mampu menciptakan keris sambil mengambang di atas Samudra. Ia hanya butuh alas kain jarik untuk membuatnya. Katanya juga, saking saktinya, Mpu Sombro tak butuh perapian ketika membuat keris. Tak perlu pemukul juga. Ia cukup memijit bilah keris itu. Itulah kenapa keris hasil karyanya selalu berciri lekukan yang seolah bekas dipijat jari. Begitulah cerita yang berkembang di masyarakat. Tak diketahui sumber asalnya. “Sebagian besar sumber ceritanya dari cerita tradisi, walaupun ada yang kemudian ditulis,” kata Boedi Adhitya kepada Historia . id. Boedi adalah pemerhati keris dari Paheman Memetri Wesi Aji (Pametri Wiji),organisasi pecinta budaya keris yang didirikan di Yogyakarta . Kesaktian Mpu Sombro itu tampaknya sampai juga kepada keris buatannya. Toni Junus, konsultan keris, dalam bukunya Tafsir Keris , menulis keris buatan Nyi Sombro dipercaya pula dapat membantu melancarkan proses kelahiran bayi. Kerisnya diyakini memiliki kekuatan gaib untuk membantu menyelesaikan berbagai persoalan rumit yang dialami dalam kehidupan. Yang jelas, kata Boedhi, nama Mpu Sombro hingga kini diingat sebagai pembuat keris perempuan yang karyanya banyak diincar. Mpu Sombro menciptakan keris yang dikenal dengan nama keris Sombro. Dalam pemahaman umum, keris Sombro adalah keris lurus, berukuran relatif pendek, yaitu kurang dari sejengkal, dan bilahnya lebar. Keris ini memiliki gandhik yang polos, bagian dasar keris ( ganja ) dan bilahnya menyatu tanpa sambungan ( ganja iras ). “Bilahnya tidak rata, tapi ada semacam cekungan-cekungan seperti bekas pijatan jari, yang dipercaya dibuatnya dengan pijatan tangan saja, tidak dipalu,” kata Boedhi. Kendati begitu, Boedhi mengatakan, nama keris Sombro atau dhapur Sombro tak ditemukan dalam naskah-naskah lama. Nama ini hanya populer dalam dunia perdagangan keris. “Yang tercatat adalah mpu perempuan bernama Ni Mbok Sombro. Karenanya apa yang saat ini lazim disebut keris Sombro bisa jadi istilah yang belum terlalu lama dibuat,” ujarnya. Boedhi menerangkan, dalam hikayat di dunia perkerisan, Mpu Sombro dikisahkan sebagai mpu yang berkarya di daerah Tuban. Kira-kira pada zaman Majapahit. Namun, ia dipercaya berasal dari wilayah Kerajaan Pajajaran. Ni Mbok Sombro atau Nyi Sombro adalah keturunan dari keluarga pembuat keris. Ayahnya bernama Mpu Manca. Unggul Sudrajat, peneliti di Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan, Balitbang, Kemendikbud , men gungkapkan keluarga Mpu Manca menjadi salah satu dari banyak mpu yang memilih pindah ke daerah lain di luar Jawa Barat. Mpu Mercukundo memilih pindah ke Sumatra. Mereka lalu mulai menyebarkan budaya keris di tempat yang baru. “Mpu Manca memilih pindah ke daerah Tuban, Jawa Timur. Ia yang pada akhirnya banyak menurunkan mpu-mpu lainnya, khususnya di tanah Jawa,” tulis Unggul dalam “Keris Nusantara: Warisan Adiluhung Bangsa” termuat di Keris dalam Perspektif Keilmuan. Tak banyak pembuat keris perempuan pada masa lalu yang tercatat. Selain Mpu Sombro, dikenal juga Mpu Anjani yang menghasilkan keris bernama blarak ijo. Selain itu, Mpu Omayi bersama suaminya, Mpu Maja, hidup pada masa sebelum Mpu Sombro. Menurut Prasida Wibawa dalam Pesona Tosan Aji mereka hidup pada zaman Segaluh Pajajaran. Menurut Prasida, Mpu Anjani juga merupakan anak perempuan dari seorang mpu, bernama Bromokedhi. Mpu Anjani terkenal pada zaman pemerintahan Prabu Sri Pamekas dari Pajajaran. Dalam cerita tradisi Babad Tanah Jawi disebutkan,Sri Pamekas berputra Arya Bangah dan Raden Sesuruh. Arya Bangah menjadi raja di Galuh. Sementara Raden Sesuruh awalnya diharapkan menjadi raja di Pajajaran, tetapi akhirnya mendirikan Kerajaan Majapahit. Kendati begitu, kata Boedhi, Mpu Anjani dalam catatan tak begitu jelas apakah ia seorang perempuan atau lelaki. “Ni Mbok Sombro jelas disebut sebagai Ni Mbok, perempuan. Mungkin karena mpu ini (Anjani, red .) termasuk mpu kuno,” ujar Boedhi. Maksudnya, mpu kuno adalah mpu yang dalam hikayat perkerisan hidup di masa legenda. Tak jelas betul kebenarannya. Ciri-ciri karyanya pun sudah tak dikenal lagi. Mereka juga biasanya dianggap sebagai pencipta dhapur tertentu. Sementara mpu dari generasi selanjutnya ciri karyanya secara tradisi masih tercatat. Kendati ada pula yang sulit untuk diidentifikasi. “Mpu yang lebih modern lazimnya tidak banyak mencipta dhapur baru, tetapi memiliki ciri-ciri khas tertentu dalam berkarya,” jelas Boedhi. Biarpun tak banyak tercatat, pada dasarnya tak ada larangan bagi perempuan untuk menekuni profesi ini. Apalagi jika ia memang keturunan mpu pembuat keris. “Jadi pada masa lalu, profesi mpu dilakukan turun-temurun. Keahlian menempa besi tidak mudah dipelajari, dan bahkan bersifat rahasia,” jelas Boedhi. Keris berdapur Cengkrong diperkirakan buatan Nyi Sombro. Tuahnya untuk melindungi keluarga, kesejahteraan, dan kepemimpinan. (Repro  Tafsir Keris ​​​ karya Toni Junus).​​​​  Keris untuk Perempuan Begitu juga dengan pemakaian kerisnya. Tak selamanya keris identik dengan laki-laki. “Sebenarnya ada yang khusus perempuan. Biasa disebut patrem ,” ujar Boedhi.Keris ini ukurannya lebih pendek. Ia hanya sepanjang kurang lebih sejengkal atau kurang. Sementara menurut Prasida senjata tradisional tosan aji yang biasa dipakai perempuan namanya cundrik . Senjata ini berbentuk keris dengan ukuran lebih kecil dan ramping. Adapun warangka atau sarungnya menyerupai keris gayaman kecil. “Ada juga senjata untuk perempuan yang disebut patrem , bentuknya lebih mungil dan sarungnya model sandang walikat,” jelasnya. Kadang-kadang, Prasida melanjutkan, tusuk konde pun dapat juga terbuat dari tosan aji . Ini pun dapat berfungsi sebagai senjata. Pada masa lalu catatan mengenai perempuan yang bersenjata banyak ditemukan. Peter Carey dalam Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX menyebutkan seorang penyewa tanah kesultanan dari Prancis, Joseph Donatien Boutet pernah mengunjungi Surakarta pada masa pemerintahan Pakubuwono V (1820-1823). Boutet memberi gambaran menarik tentang keberadaan Korps Srikandi Surakarta. Sebanyak 40 perempuan duduk berbaris di bawah takhta sunan. Mereka bersenjata lengkap, seperti berikat pinggang dengan sebilah keris diselipkan di sana. Masing-masing juga memegang sebilah pedang atau sepucuk bedil. “Harus diakui mereka pasukan kawal yang mengagumkan,” catat Boutet yang dikutip Peter. Kakawin Sumanasantaka yang ditulis oleh Mpu Monaguna dari sekira abad ke-13 juga mengisahkan pemakaian keris oleh para janda. Mereka menggunakan keris ini untuk bunuh diri atau bela pati . Keris dalam naskah ini disebut dengan istilah patrem . Ceritanya, di Kerajaan Widarbha, ketika raja, ayah Putri Sri Indumati, mangkat, permaisurinya, ikut menyusul dengan melakukan bela pati. “Kerismu ( patrem ) ini, Tuanku, akan kutikamkan pada tubuhku. Mari temui aku di perjalanan,” kata sang ratu. Selain permaisuri, Jayaluh, abdi setia Putri Indumati, juga begitu sedih gustinya mangkat. Ia pun mengakhiri hidupnya mengikuti junjungannya itu. “Lihat ini, putri, kris ( patrem ) ini, alat maut ini akan kupakai menikam diriku sekarang,” ujarnya. S. Supomo dalam Kakawin Sumanasantaka: Mati karena Bunga Sumanasa menjelaskan, dalam kakawin lain diketahui juga kalau para janda memakai beragam senjata untuk bunuh diri seperti khadga dalam Bharatayuddha dan Hariwangsa, curiga dalam Hariwangsa dan Sutasoma . “Apa bedanya semua senjata itu, yaitu kata lain dari keris, tak jelas. Namun acuan dalam Hariwangsa mengisyaratkan khadga, curiga, dan patrem adalah sinonim,” jelas Supomo. Pada masa perkembangan Hindu-Buddha, lewat adegan-adegan relief candi dijumpai pula tokoh perempuan yang memegang senjata tajam. Salah satunya arca Dewi Durga Mahisasuramardini yang bertangan 8 atau 10, pada salah satu tangannya memegang khadga (pedang pendek). Uniknya, terdapat arca Druga Mahisasuramardini di Jombang Jawa Timur dan di Pura Penataran Panglan Pejeng, Gianyar, Bali yang salah satu tangannya memegang keris. Di Pura Penataran Panglan Pejeng, tangan kanan-tengah Durga memegang keris yang bentuknya berliku dengan tiga luk dan patah ujungnya. Menurut Dewa Gede Yadhu Basudewa dari Dinas Kebudayaan Kota Denpasar , dalam mitologinya tidak pernah disebutkan keris sebagai salah satu senjata yang diberikan dewa untuk Durga. Bisa jadi, si pemahat begitu percaya pada nilai magis keris, sehingga menjadikannya sebagai salah satu senjata Durga. “Harapannya Durga sebagai dewi perang dapat lebih berhasil dalam menghancurkan musuhnya ( asura ), seperti makna simbolisnya sebagai penjaga, pelindung, dan kekuatan yang sempurna,” tulisnya dalam “Laksana Arca Durga Mahisasuramardhini di Bali: Sebuah Tinjauan Variasi dan Makna” termuat di Jurnal Siddhayatra . Bagaimanapun dalam sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara bukan hal aneh bila perempuan memegang senjata, khususnya keris, dan berperang. Bahkan menjadi pembuat keris yang sakti dan melegenda, seperti Nyi Sombro. “Peran perempuan Nusantara memang secara tradisi sesungguhnya lebih berdaya,” ucap Boedhi.

  • Ronde Terakhir Roger Mayweather

    DI balik sukses seorang petinju, pasti ada pelatih yang hebat. Namun di sepanjang perjalanan karier petinju Floyd Mayweather Jr., hanya satu pelatih sekaligus mentor dalam hidupnya yang paling berjasa: Roger Mayweather alias pamannya sendiri. Maka Floyd begitu terpukul ketika Roger mengembuskan nafas terakhir di usia 58 tahun pada 17 Maret 2020 karena diabetes. “Paman saya salah satu orang terpenting di hidup saya, baik di dalam maupun di luar ring. Roger juga seorang juara hebat dan salah satu pelatih terbaik dalam tinju. Sayangnya kesehatannya memang buruk dalam beberapa tahun ini dan sekarang akhirnya dia beristirahat dengan tenang,” kata Floyd Mayweather Jr. lirih, dikutip Independent , 18 Maret 2020. Roger merupakan salah satu sosok penting dalam Dinasti Mayweather di dunia tinju. Kisah dinasti Mayweather bermula pada 1967 kala Floyd Sr. baru berusia 15 tahun, sebagaimana dikisahkan Floyd Sr. kepada jurnalis Tim Smith yang dimuat majalah The Ring edisi Oktober 2014. “Saat saya sudah beralih ke tinju professional pada 1974, adik-adik saya (Roger dan Jeff) mulai mengikuti jejak saya. Mereka selalu ikut ketika saya berlatih di Tawsy Gym,” kenang Floyd Sr. Roger Mayweather bersama sang ibu, Bernice (Ambrose) Mayweather pada 1983 (Foto: Grand Rapids Press) Roger lahir di Grand Rapids, Michigan, Amerika Serikat pada 24 April 1961, sebagai satu dari sembilan anak pasangan Theartha Mayweather Sr. dan Bernice Ambrose. Sejak kecil, Roger dan kakak serta adik-adiknya hidup dalam keadaan sulit lantaran ekonomi keluarga hanya ditopang sang ibu yang bekerja serabutan, setelah ditinggal pergi ayahnya. Tinju, yang dikenalnya dari kakak tertuanya, Floyd Mayweather Sr. alias ayah Floyd Mayweather Jr., jadi jalan keluarnya dari kesusahan ekonomi keluarga. Roger di Atas Ring Tidak banyak yang diketahui tentang masa kecil Roger, termasuk perjalanannya di dunia tinju amatir kelas ringan selain punya catatan 64-4. Pada 29 Juli 1981, ia naik ke tinju profesional mengikuti Floyd Sr. Ia menjalani debut tinju profesionalnya melawan Andrew Ruiz dan langsung menang TKO di ronde pertama. Gelar pertama yang dimenangi Roger adalah sabuk USBA kelas ringan kala mengalahkan Ruben Muñoz Jr. lewat kemenangan angka pada 23 Oktober 1982. Selebihnya, karier Roger sarat kemenangan dan bergelimang gelar dunia, mulai dari kelas ringan, kelas bulu-super, kelas welter, hingga kelas welter-ringan. Jejak Roger kemudian diikuti oleh adik bungsunya, Jeff Mayweather. “Roger punya karier yang luar biasa. Sementara Floyd Sr. dan saya setidaknya punya karier yang lumayan,” kata Jeff Maywather di The Ring , Oktober 2014. Kolase Roger Mayweather yang mengikuti jejak kakaknya, Floyd Mayweather Sr. ke dunia tinju profesional (Foto: Grand Rapids Press) Kala Floyd Sr., Roger, dan Jeff sudah berkutat di tinju pro pada 1980-an, Rogerlah yang punya karier paling cemerlang. Sepanjang kariernya, Floyd Sr. dan Jeff Mayweather tak pernah memenangi gelar prestisius. Karier gemilang Roger hanya bisa dilewati oleh keponakannya, Floyd Mayweather Jr. pada 1990-an. Ketika namanya mulai naik daun di atas ring, Roger merasa perlu punya julukan. Setelah berpikir masak-masak, ia memilih julukan “Black Mamba”, diambil dari nama ular paling berbisa kedua setelah king cobra. “Suatu hari saya sedang gonta-ganti saluran TV dan saya melihat di salah satu salurannya menayangkan aneka reptil, salah satunya (ular) black mamba. Salah satu ular paling mematikan di dunia. Saya suka melihat cara ular itu menyerang mangsanya dengan begitu tenang. Namun sekalinya ia mematuk, bisanya akan langsung menyebar di tubuh mangsanya. Karakternya mengingatkan pada diri saya sendiri,” tutur Roger kepada Chris Robinson yang dimuat doghouseboxing.com , 1 Januari 2006. Karier manis Roger di tinju profesional berlanjut saat memenangi titel bergengsi WBA kelas bulu-super pada 19 Januari 1983 usai menang TKO atas Samuel Serrano. Namun, pada 26 Februari 1984 Roger kehilangan sabuk itu setelah mengalami salah satu kekalahan terpahitnya usai kalah KO di ronde pertama dari Rocky Lockeridge. “Rick ‘Rocky’ Lockeridge merebut gelar bulu-super (WBA, red. ) setelah meng-KO Roger Mayweather hanya dalam 98 detik di ronde pertama. Sementara Roger terkapar, ia merayakannya bak merasa berada di puncak dunia,” tulis Mark E. Strong dalam Church for the Featherless. Kekalahan itu masih menyisakan pahit bagi Roger yang kembali kalah pada 7 Juli 1985 dalam perebutan gelar WBC kelas bulu-super. Roger kalah TKO dari Julio César Chávez di ronde kedua. Roger baru bisa bangkit saat kembali ke kelas ringan, di mana dia menyabet sabuk WBC Continental Americas dari Sammy Fuentes pada 12 November 1987. Roger Mayweather (kanan) saat menghadapi Julio César Chávez (Foto: Youtube Boxing Hall of Fame Las Vegas) Kebangkitan itu berlanjut meski Roger beralih ke kelas welter-ringan, di mana dia sukses melingkarkan sabuk WBC di pinggangnya usai menang TKO atas René Arredondo. Berturut-turut kesuksesannya juga menghadirkan sabuk WBA Americas di kelas yang sama pada 5 April 1990 (menang dari Ildemar Jose Paisan), dan IBO pada 28 Mei 1994 (menang dari Eduardo Montes). Ketika naik ke kelas welter, Roger juga mengoleksi sabuk IBO pada 8 Agustus 1994 (menang dari Johnny Bizzarro), serta IBA pada 12 Maret 1997 (menang dari Carlos Miranda), sebelum akhirnya gantung sarung tinju usai melakoni laga terakhirnya kontra Javier Francisco Méndez pada 8 Mei 1999 yang juga ia menangi. Tak Bisa Jauh dari Tinju Tinju sudah jadi bagian dari hidupnya sejak usia delapan tahun. Maka setelah pensiun, Roger memilih tetap di lingkungan tinju dengan menjadi pelatih. Sejatinya, ia sudah merintis jadi pelatih sejak awal 1998 atau setahun sebelum memutuskan pensiun dengan total catatan 72 pertarungan: 59 kemenangan, 35 menang KO, 13 kekalahan. “Saya selalu mencintai tinju. Saya senang dengan persaingan di dalamnya. Saya tahu betul apa kemampuan saya, sejak usia delapan tahun. Saya juga tahu cara melatih, bahkan ketika saya masih kecil. Saya tahu ketika karier saya akan berakhir, saya akan jadi pelatih. Transisinya sulit bagi beberapa orang setelah lama jadi petinju, tapi tidak bagi saya,” sambung Roger. Sejak awal 1998, atau dua tahun setelah Floyd Mayweather Jr. beralih dari amatir ke tinju pro, Roger kebagian jatah mengasuh sang keponakan. Namun baru beberapa bulan, ia digantikan lagi oleh Floyd Sr., setelah ayah Floyd Jr. itu bebas dari hukuman penjara. Roger pilih menyingkir dan melatih petinju lain karena ia juga tak punya hubungan yang harmonis dengan Floyd Sr. “Saya dekat dengan adik saya, Jeff. Tetapi saya tak punya hubungan yang baik dengan kakak saya Floyd. Saya tak pernah bicara padanya selama 10 tahun,” kenangnya lagi. Namun pada Maret 2000, usai Floyd Jr. nyaris kalah dari Gregorio Vargas, Roger diminta kembali melatih sang keponakan. Floyd Jr. justru merasa tak cocok dilatih ayahnya sendiri sehingga memecatnya agar pamannya bisa kembali melatihnya. Hingga 2012, Roger selalu berada di sudut ring kala sang keponakan meraih beragam sabuk bergengsi. Roger mengasuh Floyd Jr. bak anak sendiri. Maka ketika keponakannya dijahili Zab Judah pada 8 April 2006, ia meradang sampai loncat ke dalam ring hingga memicu keributan. Dalam laga perebutan gelar IBF dan IBO kelas welter di ronde ke-10 itu, Floyd Jr. terkena low blow atau pukulan culas Judah yang mengarah ke kantong menyan Floyd Jr. “Roger masuk ke dalam ring. Ia mencoba memukul Judah, hingga kemudian Yoel Judah (kakak dan pelatih Zab Judah) ikut masuk ring dan membalas pukulan kepada Roger. Petugas keamanan harus terjun untuk melerai dan kemudian mengusir Roger,” ungkap Thomas Hauser dalam The Greatest Sport of All: An Inside Look at Another Year in Boxing. Floyd Mayweather Jr. jadi sosok paling terpukul kala paman cum pelatih yang ikut membesarkan namanya wafat pada 17 Maret 2020 (Foto: Instagram @floydmayweather/Twitter @MayweatherPromo) Setelah pertarungan ditunda 10 menit, laga Floyd Jr. vs Judah dilanjutkan dan akhirnya dimenangi Floyd Jr. Sementara, lima hari berselang sang paman disanksi Nevada State Athletic Commission dengan larangan melatih selama setahun dan denda USD200 ribu karena dianggap sebagai pemicu kerusuhan di atas ring. Setelah lepas dari sanksi, Roger kembali mengasuh Floyd Jr. hingga 2012. Mengingat kesehatannya yang menurun akibat diabetes, ia memutuskan tak lagi aktif melatih keponakannya seperti sedia kala. Hanya sesekali dalam kurun beberapa waktu ia ikut membantu melatih petinju-petinju lain di Mayweather Boxing Club, sasana tinju milik Floyd Jr. yang didirikan pada 2007, hingga akhir hayat Roger. “Roger adalah segalanya buat saya, buat ayah saya Floyd Sr., paman saya Jeff, segenap keluarga, semua orang di dalam maupun di luar Mayweather Boxing Gym dan seantero dunia tinju. Meninggalnya Roger adalah kehilangan besar buat kami semua,” tandas Floyd Jr. menyambung kedukaannya.

  • Teror Sampar Ditakuti Tentara Belanda

    Pada 1933-1934 wabah penyakit pes merajela di Priangan. Menurut Terence  H.Hull dalam Death and Disease in Southeast Asia (disunting oleh Norman Owen), sekitar 15.000 orang Priangan tewas akibat penyakit yang diakibatkan oleh bakteri bernama Yersinia pestis tersebut. Hingga 1939, penyakit pes tetap menjadi hantu yang menakutkan di Jawa. Garut termasuk kawasan yang menyumbangkan korban agak besar. Dalam catatan Adrianus Bonnebaker dalam Over Pest , selama setahun wabah sampar merajalela, ratusan warga Garut telah meregang nyawa akibatnya. Tragedi itu menimbulkan trauma yang mendalam hingga puluhan tahun kemudian. “Zaman itu jika ada tikus dalam jumlah belasan saja terlihat mati di jalanan, ketakutan kami akan wabah penyakit pes muncul kembali,” kenang Ucun (92), warga asal Cigadog, Garut. Namun saat berlangsungnya Perang Kemerdekaan (1945-1949), para pejuang Indonesia di Garut justru memanfaatkan ketakutan kepada penyakit pes itu sebagai media untuk melakukan teror terhadap para prajurit Belanda. Adalah Mayor Saoed Mustofa Kosasih, Komandan Kesatuan Pasoekan Pangeran Papak (PPP) yang kali pertama memiliki ide untuk menjadikan bakteri Yersinia pestis sebagai senjata biologis untuk menghancurkan mental tempur pasukan Belanda. “Ayah saya juga menjadikan isu penyakit pes sebagai alat untuk melakukan perat urat syaraf dengan (pasukan) Belanda,” ujar Basroni Kosasih, berusia 65, salah satu putra dari almarhum Mayor Kosasih. Munculnya ide tersebut bermula dari laporan mata-mata PPP yang menyebut adanya satu seksi patroli pasukan Belanda yang balik badan ke posnya usai melihat beberapa tikus mati di jalanan. Rupanya mereka sangat takut terhadap bakteri pes di tubuh kutu-kutu hitam yang banyak bersarang di bulu tikus. Menurut Ojo Soepardjo Wigena, informasi dari telik sandi itu lantas didiskusikan dan dianalisa oleh Tim Intelijen PPP yang dipimpin oleh Soebardjo alias Shiroyama alias Guk Jae-ma, seorang mantan prajurit Jepang berkebangsaan Korea. “Ikut pula memberi masukan kepada Pak Mayor, seorang dokter yang merupakan bekas anggota tentara Jepang yang nama Indonesia kalau tidak salah adalah Ali, “ungkap eks anggota PPP asal Wanaraja, Garut itu. Maka dibuatlah rencana. Langkah pertama yang dilakukan oleh Mayor Kosasih adalah memerintahkan kepada anak buahnya untuk berburu tikus di sawah-sawah sekitar Wanaraja, tempat markas PPP. Bagi para anggota PPP yang mayoritas adalah bekas petani, pekerjaan mencari tikus bukanlah hal yang susah. Maka setelah berhari-hari, terkumpullah sekitar 10 karung tikus. Malam hari-nya karung-karung berisi tikus itu dibawa ke wilayah pos-pos militer Belanda. Secara diam-diam, binatang pengerat itu lantas dilepaskan dan dibiarkan masuk ke markas pasukan Belanda. Begitu tiap minggu mereka lakukan. Tidak jelas benar apakah kemudian ada serdadu Belanda yang terkena penyakit pes. Yang terang, teror penyakit sampar membuat markas-markas Belanda di Garut jadi mencekam. Beberapa penduduk sekitar pos membuat kesaksian kepada Mayor Kosasih bahwa banyak prajurit Belanda menyingkir dan bahkan terlihat sakit saat dibawa ke kota. “Taktik tikus” juga dilakukan oleh PPP untuk lolos dari kejaran militer Belanda. Caranya, saat akan melakukan penyangongan (penghadangan konvoi militer Belanda) di suatu wilayah, selain logistik, para gerilyawan PPP pun membawa serta pula berkarung-karung tikus yang sudah mati diracun. Begitu penyangongan usai dan berhasil menewaskan beberapa serdadu Belanda sekaligus merampas senjata mereka, unit PPP akan mundur kembali ke hutan-hutan. Namun bantuan militer Belanda kadang nekat terus memburu mereka. Maka saat mundur itulah, tikus-tikus mati tersebut disebar sepanjang jalan. Alih-alih terus melakukan perburuan, para prajurit Belanda itu malah balik badan dan tak mau menghadapi resiko kena penyakit pes. Menurut Ojo, penyebaran tikus-tikus mati juga kerap dilakukan untuk mencegah pembersihan yang dilakukan oleh para prajurit Belanda terhadap suatu kampung. Begitu mendapat informasi akan ada pergerakan pasukan Belanda ke pelosok, orang-orang kampung lalu menyebarkan tikus-tikus mati di jalanan desa. Maka selamatlah desa tersebut dari teror pasukan Belanda yang teryata lebih takut kepada teror sampar daripada teror gerilyawan Indonesia.

  • Di Balik Mistik Keris

    Panembahan Purbaya mengacungkan keris pusakanya. Api berkobar-kobar di kiri dan kanan jalan. Tujuannya satu, meremukkan benteng Belanda di Batavia.Pasukan Kompeni yang menyadari kedatangan rombongan Kesultanan Mataram itu langsung memberondongkan peluru dari atas benteng. “Heee Belanda! Sungguh terlalu tingkahmu yang hanya menakut-nakuti!” seru Panembahan Purbaya. Ia pun menudingkan keris pusakanya ke arah benteng, di mana banyak pasukan Belanda berkumpul. Benteng itu pun seketika tembus berlubang seluas empat meter persegi. Demikianlah kesaktian keris dikisahkan dalam buku Serat Tembung Andhupara karya R.Ng. Suradipura. Ada juga kisah Mpu Gandring yang terkenal dengan keris buatannya yang sangat sakti dalam Serat Pararaton . Konon, tak ada orang yang dapat melawan kekuatan keris bikinannya. Jika dipakai menusuk pasti berhasil. Bahkan sekalipun belum selesai, keris yang Mpu Gandring ciptakan untuk Ken Angrok, sudah menunjukkan kekuatannya. Ketika Ken Angrok memukulkan keris itu ke lumpang batu tempat pengumpulan bekas-bekas gosokan, lumpang itu langsung pecah jadi dua. Lalu ia pukulkan lagi keris itu pada tempaan Mpu Gandring, pecah juga jadi dua. Keris buatan Mpu Gandring yang dipesan khusus ini pada gilirannya memakan banyak korban, termasuk tokoh-tokoh pemimpin kerajaan. M ulai dari penciptanya Mpu Gandring, Tunggul Ametung, Kebo Ijo, Ken Angrok, seorang pengalasan dari Batil, hingga Anusapati. Lalu ada lagi kisah dalam Babad Tanah Jawi. Kali ini kesaktian keris dihubungkan dengan wali. Ceritanya, Sunan Giri diganggu oleh para kafir saat sedang menyusun tulisan keagamaan. Ia lalu melemparkan kalamnya yang sedang ia pakai ke arah para pengganggu itu. Sambil berputar-putar, pena itu kemudian berubah menjadi keris gaib yang menyerang dengan sengit.Keris sakti itu kemudian dikenal dengan nama Kalam Munyeng, salah satu pusaka Sunan Giri. Kisah-kisah kemagisan keris ini muncul dalam banyak cerita tradisi. Namun, bukan berarti sejak awal keris dianggap sebagai benda bernuansa mistik. Waktu itu keris lebih berfungsi praktis. Dalam beberapa prasasti abad ke-9 sampai ke-10 disebutkan keris bersama benda-benda fungsional lainnya belum dianggap sebagai pusaka. Rupanya ada sebab awal hingga keris mendapatkan label kesaktian. Hanya Kiasan Kepercayaan akan kesaktian keris mulai berkembang berkat kisah-kisah legenda mengenainya. Misalnya, kisah Mpu Gandring dan kerisnya dalam Serat Pararaton , menurut pengajar sejarah Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono, hanyalah penyederhanaan dari peristiwa besar yang mungkin pernah terjadi. Permintaan Ken Angrok kepada Mpu Gandring untuk dibuatkan keris adalah petunjuk tentang kudeta yang diprakarsai Ken Angrok kepada penguasa Tumapel yang berada di bawah cengkraman Kadiri. Pararaton hanya menyederhanakan kejadian sebenarnya, bahwa yang dipesan Ken Angrok bukan hanya sebuah keris melainkan sejumlah persenjataan. “Seakan Mpu Gandring bikin satu keris dan tak selesai, lalu dibunuh. Maksudnya, Mpu Gandring tak bisa memenuhi pesanan jumlah senjata pada waktu yang diinginkan,” jelas Dwi. Ken Angrok tak peduli Mpu Gandring tak menyanggupi permintaannya untuk menyelesaikan keris sesegera mungkin. Ketika itu ia begitu tergesa-gesa. Serangan ke Tunggul Ametung harus segera dilakukan atau gagal. Konsultan keris, Toni Junus, dalam bukunya Tafsir Keris, menjelaskan cerita Panembahan Purbaya dan pasukan Mataram menyerang VOC di Batavia dalam Serat Tembung Andhupara. Menurutnya keris sakti Panembahan Purbaya hanya kiasan penggambaran rakyat yang bangkit kembali dengan semangat berkobar. “Mereka berbodong-bondong berbaris memadati kiri dan kanan jalan untuk menyambut serta mengelu-elukan rombongan Purbaya,” jelas Toni . Juga pada bagian yang mengisahkan benteng Belanda tembus berlubang ketika keris itu diacungkan. Menurut Toni sebenarnya ini hanya menggambarkan bahwa setelah kematian Gubernur Jenderal VOC Jan Pieters Zoon Coen, Belanda kawalahan. Mereka kemudian memilih untuk membuka pintu gerbang, menyambut rombongan Panembahan Purbaya dan berunding. “Artinya benteng itu dibuka pintunya untuk menyambut kedatangan juru runding Mataram, yaitu Panembahan Purbaya,” kata Toni. Gaya penulisan semacam ini banyak ditemui khususnya dalam kesusastraan Jawa pada masa kedatangan Belanda. Menurut Toni, sastra kiasan seperti ini sengaja dibuat untuk menyembunyikan makna sebenarnya. Biasanya ia mengandung kerahasiaan untuk mengelabui Belanda agar bisa disebarluaskan kepada masyarakat. “Tulisan ini memiliki andil terbentuknya ‘fenomena mistik’ pada keris karena secara tersurat dipahami sebagai peristiwa nyata,” ujar Toni. Berkat kisah ini, masih banyak orang Jawa yang percaya keris bisa memadamkan api. Keistimewaan Bijih Besi Jauh sebelum itu, masyarakat Jawa kuno telah memandang logam penuh dengan makna simbolik. Menurut Guru Besar Arkeologi UGM, Timbul Haryono dalam “Keris dalam Sistem Budaya Masyarakat Jawa Tradisional Ditinjau dari Pendekatan Arkeologi”, termuat di Keris dalam Perspektif Keilmuan , itu terjadi ketika kebudayaan Jawa mendapat pengaruh India.Menurut tradisi India masing-masing logam punya kedudukan yang berbeda dari yang tinggi sampai yang rendah, yaitu suvarna (emas), rupya (perak), loha (besi), tamra (tembaga), trapu (timah putih), vangaja (seng), sisaka (timah hitam), dan riti (kuningan). Sementara tradisi lain, menurut Timbul, menyatakan ada delapan logam yang penting, istilahnya astalohamaya , yaitu suvarna (emas), rajata (perak), tamra (tembaga), paittala (kuningan), kamsya (perunggu), ayasa (besi), saisaka (timah hitam), dan trapusa (timah putih). Dalam tradisi dari India ini, emas adalah simbol dari semua yang dianggap superior. “Emas memiliki warna yang indah ( su-varna ) sekaligus bersifat kesurgaan ( svar ),” jelas Timbul. Sementara perak mempunyai nilai simbolik meningkatkan kesucian. Adapun tembaga dianggap mempunyai daya magis. Di Nusantara, besi mendapat kedudukan yang berbeda. Penggunaan besi di wilayah ini sudah ada sejak lama. Para ahli prasejarah, khususnya H.R. van Heekeren, membuktikan kalau besi telah dikenal di Nusantara bersamaan dengan perunggu, yaitu pada abad terakhir menjelang Masehi. Namun, menurut sejarawan DanysLombard dalam Nusa Jawa II: Jaringan Asia , Nusantara miskin bijih besi kecuali di wilayah-wilayah tertentu, seperti bagian utara Filipina, bagian tenggara Kalimantan, bagian tengah Sulawesi, daerah pedalaman Sumatra dan Sumbawa. “Di Jawa sama sekali tak ada bijih besi,” jelas Lombard . “Dapat dibayangkan di Jawa, konteks ritual dan magisnya lebih terasa karena kelangkaan logam itu.” Karenanya, berbeda dengan metalurgi lainnya yang sudah kehilangan makna keramat, pekerjaan menempa besi khususnya pembuatan keris masih dikaitkan dengan kegaiban. Seperti diungkapkanoleh Timbul Haryono bahwa di Jawa pada umumnya masyarakat mengelompokkan keris ke dalam tosan aji atau wesi aji . Artinya besi yang bernilai tinggi atau dimuliakan. “Itulah sebabnya maka dalam lingkungan budaya kerajaan Jawa, penyebutan keris sebagai pusaka keraton selalu diberi kata sandang Kiai atau Kanjeng Kyai ,” jelas Timbul. Soal ini tak bisa dilepaskan pula dari sosok si pandai besi, yaitu mpu yang menciptakan keris. Ia berpuasa dan bertapa sebelum tangannya meraih martil. Sepanjang masa prakolonial, hak mengerjakan besi dianggap melekat pada sekelompok perajin yang dianggap memiliki kekuatan gaib. Di mana pun di Nusantara pandai besi dipandang sebagai mpu yang memiliki kekuatan magis. “Di dalam alam pikiran masyarakat Jawa dipercayai bahwa mistik keris terjadi karena pembuatan keris selalu disertai dengan upacara dan pembacaan mantra-mantra,” jelas Toni.   Sehingga, pada masa Jawa Kuno,seorang mpu pembuat keris, mempunyai kedudukan tersendiri dalam masyarakat. Seperti dikisahkan dalam Pararaton, tuah keris Mpu Gandring seakan bergantung pada tingkat kesaktian pembuatnya, yang dapat memasukkan daya sakti itu ke dalam keris yang dibuatnya. “Para pembuat keris dianggap mempunyai kekuatan magis karena artefak yang dihasilkan dapat mematikan manusia,” jelas Timbul.

  • Emas Kegemaran Bangsawan Jawa

    Tradisi mengoleksi emas telah lama hidup dan berkembang di Pulau Jawa. Pada suatu masa logam mulia itu pernah beredar di pasaran dengan harga yang sangat murah. Meski begitu, nilai emas ini tidak pernah jatuh. Para penguasa dan bangsawan pun menggunakannya sebagai simbol kekuasaan. Banyak benda koleksi mereka terbuat dari emas. Menurut kesaksian seorang pengembara Tiongkok, termuat dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa karya WP Groeneveldt, peralatan makan raja-raja di Jawa saat melakukan perjamuan seluruhnya terbuat dari emas. Bahkan khusus untuk raja, peralatan emasnya bertabur batu permata sehingga terlihat jelas perbedaan statusnya. Para penguasa itu hidup dalam kemewahan. Kesaksian utusan Tiongkok tersebut diperkuat dengan penemuan ribuan benda berbahan emas pada 1990 di ladang dusun Ploso Kuning, desa Wonoboyo, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Terdapat hampir 7.000 koin emas dan perak, beragam perhiasan, beragam bejana, dan perkakas lainnya. Menurut buku yang disusun tim penulis Museum Nasional Indonesia dalam Treasures of the National Museum Jakarta, timbunan emas, yang kemudian dikenal sebagai “Harta Karun Wonoboyo” itu diketahui menjadi penemuan terbesar objek emas di Indonesia. “Penemuan ini ditemukan belum terlalu lama. Masing-masing orang yang menemukannya mempunyai hak atas bagian dari benda-benda yang ditemukan, dan benda-benda ini diserahkan satu per satu, jadi tidak jelas apakah semua telah diserahkan,” tulis tim penulis Museum Nasional Indonesia. Koleksi Para Bangsawan Berdasar data yang diperoleh, harta karun Wonoboyo ini diperkirakan berasal dari abad ke-10 atau abad sebelumnya. Hal itu terlihat dari tempat bentuk penyimpanan emas –wadah periuk-belanga dari Tiongkok– yang banyak digunakan untuk mengumpulkan benda-benda berharga pada abad ke-10. Menurut Martowikrido Wahyono dalam Old Javanese Gold (4th-15th century): An Archaeometrical Approach , emas di Wonoboyo berasal dari periode akhir abad ke-9 hingga pertengahan abad ke-10. Asumsinya didasarkan pada kesesuaian antara tulisan di beberapa mangkun dengan prasasti Lintakan yang berasal dari tahun 900-an. Selain itu keberadaan dua perangkat perhiasan yang ditata secara rumit dan dua perhiasan bercorak bunga teratai berlapis emas, serta ketiadaan pencitraan dewa-dewi atau peralatan upacara, semakin memperkuat dugaan bahwa harta karun Wonoboyo merupakan isi ruang harta seorang pangeran dari keluarga dekat raja masa kekuasaan Kerajaan Medang hingga Mataram Kuno di Jawa. Periodisasi harta karun Wonoboyo tersebut didukung juga oleh keterkaitan antara figur manusia pada dua mangkok yang menggambarkan sosok dalam kisah Ramayana dan cerita yang tidak teridentifikasi, dengan figur dari periode Jawa awal yang ditemukan di tempat lain. Kedua figur tersebut memiliki tatanan bentuk serupa. “Kemungkinan besar bahwa sepanjang masa Hindu-Budha raja-raja dan bangsawan tinggi mempunyai kekayaan dalam bentuk perangkat dibuat dari logam mulia, digunakan untuk upacara. Sayangnya sejauh ini tidak ada lagi harta karun kerajaan ditemukan,” ungkap Wahyono. Pada masa kekuasaan Hayam Wuruk, Majapahit juga memiliki sejumlah harta yang jumlahnya diperkirakan sama besar dengan harta karun Wonoboyo. Peneliti Stuart Robson dalam Desawarna (Nagarakrtagama) by Mpu Prapanca , menjelaskan jika Hayam Wuruk memiliki sejumlah emas yang sangat besar. Kereta kerajaan pada masa kekuasaannya berhiaskan emas dan permata. Bahkan dalam sebuah upacara agung, raja menggunakan tandu khusus yang dihiasi perhiasan emas. Tidak hanya raja, para pejabat istana juga memiliki begitu banyak benda yang terbuat dari emas. Seperangkat alat menyirih dan kipas emas, kata Robson, merupakan suatu hal yang wajar dimiliki para bangsawan tersebut. Mereka menggunakannya sebagai bukti kebesaran dan untuk membedakan keberadaan para bangsawan ini dengan rakyat lain. “Setelah berakhirnya masa Hindu-Budha, anggota kalangan istana masih tetap memanjakan diri mereka dengan emas yang sama berlimpahnya dengan sebelumnya,” ungkap Tim Penulis Museum Nasional. Tidak Menghasilkan Emas Meski keberadaan emas berlimpah namunJawa bukanlah pulai penghasil logam mulia tersebut. Untuk menutupi kebutuhan emas yang begitu tinggi, para penguasa Jawa mendapatkannya dari pulau lain. Mereka melakukan transaksi jual-beli dengan para saudagar, serta kerajaan lain di luar Pulau Jawa. Di samping pemanfaatan simpanan emas, serta timbunan emas dari masa sebelumnya. Penjelajah Portugis Tome Pires sekitar tahun 1513 melihat secara langsung keberadaan emas-emas yang sangat banyak saat kunjungannya di Pulau Jawa. Dalam catatan perjalanannya Suma Oriental , Pires menyebut jika emas di Jawa tersedia dalam jumlah besar dengan kualitas yang baik dan harga yang murah. Pires pernah melihat seorang Raja Hindu di pedalaman Jawa yang hidup bergelimpangan emas. Logam mulia ini digunakan oleh para pengawalnya, diperkirakan sebanyak 2.000 orang, dalam bentuk senjata –keris, tombak, dan pedang. Lengan mereka juga dihiasi gelang emas dan perak. Bukti kekayaan sang raja juga diperlihatkan dengan kalung emas yang tergantung di leher anjing-anjing peliharaannya. Sementara itu kesaksian para pejabat VOC yang datang setelah Pires menyebut dikalangan masyarakat Jawa mulai muncul mata pencaharian baru, yakni pemburu emas. Pejabat VOC Rijklof van Goens dalam pengamatannya sering mendapati makam-makam dan reruntuhan masa Hindu-Budha hingga Islam yang digali oleh para pemburu emas ini. Kesakisan Goens itu tercatat dalam buku De vijf gezenstchappen van Rijklof van Goens naar het Hof van Mataram karya sejarawan HJ De Graaf. Pada abad ke-18, pejabat VOC lainnya, Elzo Sterrenberg juga mendapati beberapa titik penggalian di sekitar kompleks Candi Prambanan. Para pencari emas ini percaya bahwa sekitar candi besar itu terdapat lubang-lubang penyimpanan emas. Namun Sterrenberg tidak menjelaskan apakah para pemburu itu berhasil menemukan emas yang dimaksud. Hingga masa pemerintahan Thomas Stanford Raffles (1811-1816) penggalian masih sering terjadi di datarang tinggi Dieng. Ia memperoleh informasi bahwa penggalian itu dilakukan untuk mencari koin emas, keris, serta arca. Kegiatan pencarian emas menjadi salah satu kegemaran rakyat yang tidak pernah sepi peminat. Pada 1941, Museum Batavia memperoleh ratusan benda dari emas yang diperoleh dari wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Saat itu angka tersebut terbilang sangat besar. “Dan di Jawa penemuan peninggalan kuno dari emas masih terjadi sampai sekarang, meskipun sering jatuh ke tangannya pedagang atau kolektor dan tidak masuk museum,” ungkap Tim Penulis Museum Nasional.

  • Kengerian Pandemi Global dalam Lukisan

    SEIRING pergantian hari, warga dunia yang terjangkit COVID-19 alias virus corona makin bertambah. Semakin bertambah pula korban jiwa akibat pandemi bak malaikat maut itu. Di Indonesia, persentasenya kini paling tinggi dari 176 negara. Per Kamis (19/3/2020), kasus positif COVID-19 dilaporkan sudah bertambah menjadi 309. Sementara case fatality rate (CFR)-nya sudah di atas 8 persen, tertinggi dari ratusan negara yang dilanda pandemi COVID-19 lantaran kini sudah 25 pasien yang meninggal. Pandemi COVID-19 tak pilih-pilih sasaran. Seperti di mancanegara, di Indonesia pandemi itu juga menjangkiti golongan elit maupun kaum melarat. Dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo, misalnya, COVID-19 menjangkiti Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. Baca juga: Karnaval Rio yang disetop sebagai imbas pagebuk COVID-19 Masyarakat yang panik berusaha menyelamatkan diri dengan berbagai cara, tak peduli dengan cara egois bahkan culas. Selain banyak yang menimbun masker dan hand sanitizer , mereka juga memborong sejumlah komoditas herbal macam temulawak. Kondisi semacam itu sedikit-banyak serupa dengan gambaran The Triumph of Death, salah satu mahakarya pelukis Belanda Pieter Bruegel the Elder. Lukisan cat minyak di atas panel kayu berdimensi 117 cm x 162 cm yang dibuat sekitar tahun 1562 itu sejak 1827 bersemayam di ruang pamer Museo del Prado, Madrid, Spanyol. Maut Tak Pandang Bulu Bruegel –atau di beberapa sumber dituliskan Brueghel– pelukis beraliran petit genre dari era Flemish Renaissance itu melukis banyak adegan kengerian tentang kematian akibat Black Death (Maut Hitam) atau Black Plague (Wabah Hitam). Pandemi akibat bakteri Yersinia pestis penyebab pes itu bermula pada tahun 1346. Pandemi itu kembali melanda Eropa dan seluruh dunia berturut-turut di abad ke-15, 16, dan abad ke-17. Total 200 juta jiwa manusia melayang karenanya. Bruegel, diungkapkan sejarawan seni James Snyder dalam Northern Renaissance Art: Painting, Sculpture, the Graphic Arts from 1350 to 1575 , turut melewati dua gelombang pandemi Black Death yang menerjang Eropa pada periode 1563-1566 dan 1573-1588. Maka pandemi Black Death yang mengerikan itu terekam kuat di kepalanya, yang lalu dituangkannya ke atas kanvas. Kolase lukisan self-portrait Pieter Bruegel the Elder (Foto: albertina.at ) Dalam lukisan The Triumph of Death , Bruegel menggambarkan banyak detail bagaimana orang-orang menghadapi maut masing-masing dengan latar panorama bumi nan tandus. “Lautan dipenuhi bangkai-bangkai kapal berserakan. Dari tepi pantai terlihat bumi yang tandus dan hangus tanpa kehidupan apapun sejauh mata memandang,” tulis Snyder. Detail lainnya adalah barisan tengkorak yang hidup dan meneror setiap manusia yang ditemuinya berikut beragam adegan kematian mengerikan. Mulai dari pemenggalan kepala, pembakaran hidup-hidup, penenggelaman, hingga eksekusi dengan roda kereta kuda. Adegan-adegan itu merupakan aneka metode eksekusi mati manusia yang jamak di abad ke-16. Lalu, penggambaran manusia dari kelas bawah hingga bangsawan yang digiring sejumlah tengkorak hidup ke dalam sebuah peti raksasa. Peti itu ternyata merupakan perangkap kematian berhias salib di atasnya, seiring sejumlah tengkorak membunyikan lonceng kematian. Baca juga: Pandemi COVID-19 yang memaksa batalnya gelaran Carnevale Venezia Di bagian kiri bawah, Bruegel menggambarkan seorang raja yang juga tak berdaya. Pundi-pundi emasnya tak bisa menyelamatkannya dari maut. Sementara di kanan bawah, Bruegel menggambarkan kaum yang gemar hidup glamor yang berusaha melawan namun akhirnya gentar ketika berhadapan langsung dengan maut itu sendiri. Ia menggambarkan kaum yang senang hidup foya-foya, judi, dan main perempuan yang mulanya merasa tak takut mati, akhirnya tetap ditelan maut. Begitulah Bruegel mendeskripsikan keadaan manusia “kota” di Eropa yang tak berdaya membendung Black Death . “Lukisan Bruegel memperlihatkan adegan kepunahan massal, dengan maut dan barisan tengkorak membunuh apa yang ditemuinya, adegan yang merujuk wabah besar (Black Death, red. ) yang menewaskan berjuta-juta orang di Eropa. Wabah itu terus terjadi hingga abad ke-19,” tulis Paul Rockett dalam Pieter Bruegel the Elder. Inspirasi di Balik Karya Selain melihat sendiri dampak pandemi Black Death, inspirasi Bruegel membuat The Triumph of Death datang dari kisah di Alkitab dan perjalanannya ke Belgia hingga Italia dalam kurun 1551-1555. Penggunaan media panel kayunya terilhami lukisan bertajuk sama, The Triumph of Death, yang pelukisnya hingga kini belum diketahui. Lukisan di tembok itu dia lihat di Palazzo Sclafani di Palermo, Italia. “Juga tentang tema kematian dengan penggambaran tengkorak yang kemungkinan besar Bruegel terinspirasi lukisan Dance of Death di sebuah pemakaman di Paris yang sudah ada sejak 1424, dan kemudian dibuat ulang di atas panel kayu oleh penerbit Guyot Marchant pada 1485. Dalam lukisan itu juga digambarkan bagaimana sejumlah tengkorak hidup menggiring seorang manusia suci menghadapi maut,” lanjut Rockett. Baca juga: Kala Black Death Hampir Memusnahkan Eropa Fresco atau lukisan tembok "The Triumph of Death" di Palazzo Sclafani (Foto: Galleria Regionale della Sicilia) “Penggambaran itu, bahwa manusia baik ia bangsawan maupun rakyat jelata, berbagi penderitaan, merupakan pesan bahwa kematian bisa datang tanpa peringatan. Inspirasi itu kemungkinan besar terilhami dari karya-karya Hans Holbein the Younger (1497-1543) yang lazim membuat karya tentang manusia-manusia yang digiring malaikat kematian menghadapi maut,” lanjutnya. Inspirasi dari kisah di Alkitab dituangkan Bruegel dalam bentuk seseorang yang dipasung dengan batu di lehernya dan hendak ditenggelamkan oleh sejumlah tengkorak hidup. Kisah itu didalilkan dalam Matius 18:6 yang berbunyi: “Barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil ini yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ditenggelamkan ke dalam laut.” Juga dalam Lukas 17:2 yang berbunyi: “Adalah lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya, lalu ia dilemparkan ke dalam laut, daripada menyesatkan salah satu dari orang-orang yang lemah ini.” Baca juga: Keris dalam Lukisan Rembrandt Terakhir, tentang simbol betapa lemahnya manusia, terlepas dari kesombongan semasa hidup. Bruegel menggambarkannya dalam satu adegan seorang wanita yang tergeletak di depan sebuah kereta kuda yang hendak melindasnya. Wanita itu memegang kayu gulungan benang dan sebuah gunting, interpretasi Atropos. Atropos atau Aisa dalam mitos Yunani adalah salah satu dari tiga serangkai Moirai, yakni dewi-dewi yang memegang takdir manusia. Menurut James Baldwin dalam The Story of Atalanta , Atropos digambarkan sebagai dewi yang memegang benang gulung dan gunting karena dari ketiga Moirai, Atroposlah yang berurusan dalam menentukan kematian seorang manusia dengan menggunting benangnya. Kolase penggambaran Dewi Atropos (Foto: greekmythology.com ) Riwayat lukisan itu, menukil laman resmi Museo del Prado , hingga tahun 1591 dimiliki diplomat Italia Vespasiano Gonzaga yang juga Adipati Sabbioneta, sebuah kota di kawasan Lombardia. Lukisa itu lalu berpindah tangan ke sesama bangsawan Isabella Gonzaga sebelum dimiliki Putri Anna Carraffa dari Stigliano pada 1644. Setelah berpindah tangan kembali pada 1644, lukisan itu menjadi koleksi Ramiro Núñez de Guzmán II, adipati Medina de las Torres. Pada 1746, lukisan itu masuk ke koleksi di Istana La Granja de San Ildefoso setelah dibeli Ratu Spanyol Isabel de Farnesio dan sejak 1827 lukisannya dipindah ke Museo del Prado hingga sekarang. Baca juga: Hikayat Lukisan Gatotkaca

  • Sejarah Karantina untuk Cegah Penyakit Merajalela Masa Hindia Belanda

    PRESIDEN Joko Widodo akhirnya mengeluarkan himbauan untuk mengkarantina diri guna mencegah penularan virus korona Minggu, 15 Maret 2020 lalu. Sekolah diliburkan, para pekerja diharapkan bekerja di rumah, dan masyarakat diminta untuk beribadah di rumah saja. Namun, tak semua perusahaan memberlakukan kebijakan Kerja Dari Rumah (KDR) atau Work From Home  (WFH). Pun tak semua orang mampu mengkarantina diri. Pada Senin, 16 Maret 2020 di Jakarta, misalnya, masih banyak warga beraktivitas. Transportasi umum seperti Halte Trans Jakarta bahkan dipadati penumpang lantaran armada dikurangi sementara tidak semua lembaga memberlakukan WFH. Padahal, upaya mengkarantina diri dianggap cukup efektif untuk mencegah penyebaran Covid-19 yang sudah ditetapkan WHO sebagai pandemik. Beberapa negara yang sudah lebih dulu terjangkit virus korona pun telah menerapkan self-isolation seperti Tiongkok, Korea, dan Italia.    Model pertahanan kesehatan dengan mengisolasi diri ini juga pernah jadi upaya pencegahan di masa lampau. Kala pes melanda Jawa pada 1911, pemerintah kolonial lewat Dienst der Pestbestijding (Dinas Pemberantasan Pes) mengeluarkan larangan menjenguk orang sakit. Warga juga diwajibkan untuk melapor kepada mantri pes jika ada anggota keluarga yang sakit atau meninggal. Desa yang terjangkit pes diisolasi dengan diberi dinding pembatas antar-desa. Barak isolasi juga dibangun tak jauh dari desa tersebut. Secara rutin, dokter dan mantri pes mengontrol tiap barak dan memantau kondisi desa terjangkit. Malang sebagai kota awal munculnya pes diisolasi. Seluruh penduduk pribumi dan Tionghoa yang tinggal di sepanjang Lawang hingga Pohgajih dikarantina selama 5-10 hari meski pada praktiknya ada yang dikarantina hingga 30 hari. Sementara, karantina tidak diberlakukan pada seluruh orang Eropa yang tinggal di wilayah tersebut. Orang Eropa cukup memeriksakan diri ke dokter yang akan memutuskan perlu tidaknya dikarantina. Namun kala wabah pes kian merebak hingga ke luar Malang, tindakan karantina hanya berlaku pada penderita pes dan keluarganya. Penduduk yang berjarak 100 meter dari rumah pasien terdampak tak lagi ikut dikarantina. Prosedur karantina yang dilakukan kala pes mewabah ini berpegang pada ordonansi karantina. Liesbeth Hesselink, peneliti sejarah kesehatan Hindia Belanda sekaligus penulis Healers on the Colonial Market, kala dihubungi Historia menjelaskan bahwa ordonansi karantina diterapkan beberapa kali dalam penanganan penyakit menular di negeri jajahan, seperti kusta, kolera, pes, dan influenza. Selain berpijak pada ordonansi karantina, kebijakan diambil berdasarkan aturan yang dimuat Staatsblad van Nederlandsch Indie nomor 277 tahun 1911 tentang pemberian wewenang kepada pejabat pemerintah untuk melakukan karantina pada daerah yang terkena wabah. Aturan ini menegaskan, orang-orang dilarang keluar-masuk daerah terjangkit dan akan mendapat sanksi pidana bila melanggar. Selain itu, kebijakan karantina diambil bertolak dari Perjanjian Sanitasi yang dirundingkan beberapa negara yang memiliki koloni di Asia. “Konferensi internasional diadakan untuk merumuskan solusi bersama, misalnya Perjanjian Sanitasi di Paris pada 1910. Pada dasarnya, semua kekuatan kolonial di Asia takut akan penyakit menular,” kata Liesbeth pada Historia. Ketakutan itu tak bisa lepas dari memori kolektif orang Eropa akan Black Death pada 1347-1348 yang memakan banyak korban. Kala Black Death mengancam, Eropa memberlakukan karantina bahkan melakukan apa yang kini disebut lockdown . Kala pes mewabah, Italia menerapkan sistem pertahanan kesehatan yang kompleks. Eugenia Tognotti, profesor sejarah kedokteran University of Sassari (Italia), dalam tulisannya yang dimuat Time “I’m a Historian of Epidemics and Quarantine. Now I’m Living That History on Lockdown in Italy”, menyebut pada dasarnya pertahanan kesehatan dari wabah terletak pada kebijakan karantina, sanitasi, disinfeksi, dan regulasi sosial untuk populasi yang paling berisiko. Ketika jumlah pasien membludak dan tenaga medis kewalahan menangani, inisiatif dari otoritas sipil memegang peranan penting dalam pertahanan kesehatan. Pada epidemi kolera tahun 1884, para pejabat lokal di Calabria memaksa menteri dalam negeri untuk melarang kereta dari luar daerah memasuki kota itu. Kala Flu Spanyol menjangkiti Italia pada 1918, sekolah, bioskop, teater, dan tempat pertemuan ditutup. Segala jenis pertemuan seperti pemakaman dan upacara keagamaan dilarang. Para pemuka agama pun diminta untuk mensterilkan jubah yang biasa mereka pakai untuk memimpin ibadah. Tognotti mendeskripsikan kota Italia pada musim gugur 1918 sebagai kota sepi, gelap, dan hanya toko farmasi yang buka. Mobilitas orang-orang pun dibatasi. Mereka yang ingin keluar atau masuk ke daerah yang berisiko harus menyertakan surat izin. Di Hindia Belanda, upaya pembatasan mobilisasi massa dilakukan pada kapal-kapal. Orang-orang diizinkan untuk menumpang kapal di Teluk Betung hanya jika bersedia dikarantina terlebih dahulu. “Karantina ini hanya mungkin bagi orang kaya, yang bisa membayar uang jaminan sebesar f 100 untuk orang Eropa atau f 25 untuk pribumi dan Tiongkok,” kata Liesbeth. Lebih jauh ia menambahkan, orang-orang miskin (kebanyakan dari mereka adalah kuli) dimasukkan ke dalam gudang tidak layak di tengah pasar. Gudang itu bahkan tak bisa melindungi mereka dari cuaca. Jemaah haji yang kembali dari Mekah juga mendapat perhatian khusus dari pemerintah kolonial. Sebelum diketahui bahwa pes berasal dari kutu tikus yang tak sengaja terangkut bersama impor beras Burma, rumor awal menyebut wabah itu berasal dari kapal-kapal haji. Pemerintah kolonial pesimis untuk mengendalikan semua kapal yang masuk lantaran jumlahnya amat banyak. Pemerintah juga tak bisa melarang orang Muslim pergi ke Mekah. Oleh karena itu untuk menyiasatinya, pada Mei 1911 pemerintah mengeluarkan ordonansi karantina khusus untuk orang-orang yang baru pulang haji. Semua jemaah, menurut ordonansi, harus tinggal selama 5-10 hari di karantina dekat pelabuhan. Layanan karantina di Pulau Onrust kemudian diperbesar untuk menyediakan tempat bagi 3000 orang dalam 40 barak. “Normalnya hanya pengawasan untuk diagnosis pes,” kata Liesbeth. Haji yang terdiagnosis menderita pes selanjutnya dikarantina di rumah. Kebijakan tersebut dikritik surat kabar De Preanger Bode . Karantina mandiri untuk penderita pes dianggap tidak aman untuk mencegah penyebaran karena penduduk Jawa cukup padat. De Preanger Bode juga menyarankan agar jamaah haji mendisinfeksi pakaian dan barang-barang yang dibawa selama berhaji sebelum kembali ke desa masing-masing. Pasalnya, pes berasal dari kutu tikus yang bisa jadi menyelinap dalam barang-barang para jemaah selama di kapal. Pendisinfeksian merupakan langkah preventif agar para jamaah tak membawa penyakit tersebut ke kampung halaman mereka. Bila kemudian ditemukan kasus pes di desa, warga wajib melaporkannya. Dalam tesisnya “Dukun dan Mantri Pes”, Martina Safitry menulis bahwa apabila terdapat penderita pes yang meninggal, tubuhnya tidak boleh dikubur melainkan harus segera dibakar. Keluarga penderita pes pun harus dikarantina untuk mencari kemungkinan penularan. Sebelum tahun 1915, rumah yang terkena pes akan dilakukan disinfeksi dengan menggunakan layar besar yang menutupi seluruh rumah. Upaya tersebut dinilai dokter L Otten yang mengembangkan vaksin pes di Institute Pasteur, Bandung,  tidak efektif karena ketika asap dari fumigasi telah hilang, ada kemungkinan tikus akan kembali lagi ke rumah. Biaya yang dikeluarkan untuk mengasapi satu rumah pun relatif mahal, sekira f 20. Cara tersebut kemudian diganti dengan memprioritaskan perbaikan struktur dan bentuk rumah anti tikus. Dinding anyaman bambu diganti dengan bata, tiang bambu diganti dengan kayu agar tak ada lagi tempat untuk tikus membuat sarang. Seluruh upaya pemberantasan itu ditargetkan selesai pada 1917. Namun penyakit datang silih berganti. Setelah pes pada akhir 1918, Hindia Belanda diserang influenza. Hampir serupa dengan penanganan pes, orang-orang yang terjangkit influenza juga dikarantina. Kapal-kapal yang transit bahkan dilarang menurunkan penumpang atau melakukan kontak agar tak ada penyebaran penyakit dari laut ke daratan. Priyanto Wibowo dkk. dalam Yang Terlupakan Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda menyebut orang-orang yang berada di atas kapal sangat rentan terhadap penularan penyakit influenza mengingat penularan melalui angin laut selama perjalanan amat mudah terjadi. Orang-orang yang berasal dari negara yang telah terjangkit, sambungnya, juga dianggap berbahaya. Kondisi kesehatan yang buruk di kapal dan terbatasnya fasilitas kesehatan di sana menambah kewaspadaan terhadap kapal-kapal yang tiba. Dalam waktu tidak sampai setengah tahun, jumlah pasien influenza dapat ditekan dan tidak terdapat lonjakan tajam. Terbukti, usaha pencegahan dengan isolasi dan karantina berhasil menekan penyebaran penyakit. Banyak orang selamat, wabah pun berhasil dijinakkan. “Karantina sudah banyak diberlakukan. Orang harus tinggal di rumah dan hanya diperbolehkan meninggalkan rumah jika ada keperluan mendesak. Tetapi ada pula diskusi jika perlakuan ketat dengan menjatuhkan denda pada orang yang keluar rumah tanpa izin, seperti Italia dan Spanyol sebenarnya tidak perlu dilakukan,” kata Liesbeth.

  • Sebelum Keris Berfungsi Magis

    PUTRI Indumati mendekati Raja Awanti yang sudah menunggu penuh harap. Ia sudah berkhayal sang putri akan memilihnya di antara raja dan pangeran lainnya dalam sayembara itu. Namun, Putri Indumati berpaling. Dirinya tidak tertarik, tak ada tanda gairah sedikit pun. Meranalah raja negeri Awanti karena sudah diabaikan. Air matanya mengalir deras. Karena berduka, ia menulis puisi yang mengharukan pada sarung kerisnya. Kisah itu ditulis Mpu Monaguna pada abad ke-13 dalam karyanya, Kakawin   Sumanasantaka. Dalam penggalan kisah itu, Mpu Monaguna menggambarkan bahwa keris tak selalu berfungsi sebagai alat tikam. Raja negeri Awanti, raja yang berani di medan perang, menjadikan keris miliknya sebagai media meluapkan perasaan. Guru Besar Arkeologi UGM, Timbul Haryono   menjelaskan masyarakat Jawa, khususnya pada masa lalu, percaya bahwa keris berperan dalam seluruh perjalanan hidupnya, sejak lahir hingga mati. “Sebagai contoh, keris bentuk Brojol digunakan oleh para dukun bayi dalam membantu proses kelahiran,” tulis Timbul dalam “Keris dalam Sistem Budaya Masyarakat Jawa Tradisional Ditinjau dari Pendekatan Arkeologi”, termuat di Keris dalam Perspektif Keilmuan . Fungsi Praktis Kapan awalnya keris mulai dikenal? Sejarawan Danys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya  menganggap sejarah keris kurang begitu jelas. Ia menulis bahwa pemakaian keris muncul sejak masa akhir Majapahit. Kata kris sebenarnya sudah muncul di dalam prasasti dari abad ke-9 dan ke-10. Beberapa prasasti menyebutkan kata kris dalam bahasa Jawa Kuno. Misalnya dalam Prasasti Poh dari 827 Saka (905). Kris  disebutkan bersama alat logam lainnya, seperti alat pertukangan dan alat pertanian, sebagai salah satu perlengkapan sesaji dalam upacara penetapan sima  (daerah perdikan). “Menjadi jelas bahwa sejak abad ke-9 keris telah ditempatkan di dalam ranah aktivitas ritual yaitu berfungsi sebagai artefak kelengkapan ritual. Namun perlu diteliti apa makna keris dalam konteks upacara penetapan sima itu,” jelas Timbul. Arkeolog Edi Sedyawati punya pendapat berbeda, disebutkannya kris bersama benda-benda fungsional lainnya berarti pada sekira abad ke-9 dan ke-10, kris  masih mempunyai kegunaan praktis. Ia belum bernuansa mistik dan dianggap sebagai pusaka sebagaimana keris pada masa kemudian hingga kini. “Benda dari logam yang menyertai upacara sima  itu disebut saji sang makudur . Di antaranya adalah twek punukan , yaitu pemotong atau penusuk yang berpunggung. Mungkin itu maksudnya arit. Lalu ada nakka-cheda  (pemotong kuku), wangkyul (cangkul?), serta kris ,” tulis Edi dalam “Keris pada Masa Jawa Kuna”, termuat di Keris dalam Perspektif Keilmuan. Ini didukung pula oleh karya-karya sastra berbahasa Jawa Kuno sejak abad ke-11. Dalam Kakawin Arjunawiwaha misalnya, yang ditulis saat pemerintahan Raja Airlangga, ditemukan kutipan yang menyatakan bahwa kris  adalah senjata untuk perang. Sama juga dengan Kakawin Sumanasantaka yang mengisahkan keris sebagai alat tikam. Karya ini juga mengisahkan keris dipakai oleh para janda untuk bunuh diri. Keris atau lebih tepat sebutannya patrem  kalau di dalam naskah-naskah kesusastraan. Misalnya Kakawin Sumanasantaka mengisahkan di Kerajaan Widarbha, ketika raja, ayah Putri Sri Indumati, mangkat, permaisurinya, ikut menyusul dengan melakukan bela pati. “Kerismu ( patrem ) ini, Tuanku, akan kutikamkan pada tubuhku. Mari temui aku di perjalanan,” kata sang ratu. Selain permaisuri, Jayaluh, abdi setia Putri Indumati, juga begitu sedih gustinya mangkat. Ia pun mengakhiri hidupnya mengikuti junjungannya itu. “Lihat ini, putri, kris ( patrem ) ini, alat maut ini akan kupakai menikam diriku sekarang,” ujarnya. S. Supomo dalam Kakawin Sumanasantaka: Mati karena Bunga Sumanasa menjelaskan, dalam kakawin lain diketahui juga kalau para janda memakai beragam senjata untuk bunuh diri seperti khadga  dalam Bharatayuddha dan Hariwangsa , curiga  dalam Hariwangsa dan Sutasoma . “Apa bedanya semua senjata itu, yaitu kata lain dari keris, tak jelas. Namun acuan dalam Hariwangsa  mengisyaratkan khadga, curiga , dan patrem adalah sinonim,” jelas Supomo. Lambang Kebesaran Sementara dalam Kakawin Sutasoma , yang ditulis pada abad ke-14, yaitu pada masa Majapahit, disebutkan senjata itu diberi sarung, dibuka jika hendak dipakai. “lnformasi ini telah merujuk kepada adat memperlakukan keris seperti yang dikenal di masa kini, yaitu disimpan di dalam sarungnya. Ini juga dimaksudkan untuk menyembunyikan identitas bilah keris yang bersangkutan,” tulis Edi. Keris agaknya mulai menjadi lambang kebesaran pemakainya, khususnya raja. Ini disaksikan oleh Ma Huan, penerjemah resmi Cheng Ho, yang kapalnya merapat di Jawa pada abad ke-15. Dalam catatannya Yingya Shenglan,  ia menceritakan bahwa di Majapahit, di mana raja menetap, raja punya kebiasaan khusus dalam berpakaian. Raja tidak menutup tubuh bagian atasnya. Tubuh bagian bawahnya ditutupi satu atau dua kain berbunga-bunga. Untuk mengencangkan sarung ini digunakan kain tipis atau linen yang dikencangkan di sekitar perut. Kain semacam ini disebut selendang. Raja lalu membawa satu atau dua pisau pendek yang disebut pu-lak . Ia tidak mengenakan alas kaki. Menurut W.P Groeneveldt ,   pu-lak  mungkin merupakan terjemahan dari kata pribumi, badik. Senjata ini lebih kecil dari pedang dan lebih besar dari pisau. “Sepertinya orang Tionghoa menggunakan nama ini untuk setiap senjata yang mirip. Tentu saja orang Jawa menyebutnya keris,” tulis Groeneveldt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa . Kemudian ada lagi catatan penjelajah Portugis, Tome Pires yang menjelajah ke Nusantara pada abad ke-16. Dalam Suma Oriental, Pires menyebut bahwa para bangsawan Jawa merias diri dengan mewah. Mereka menggunakan berbagai macam keris, pedang, dan tombak yang berlapis emas. Bukan hanya di Jawa, di Aceh keris punya kedudukan yang tinggi. John Davis, seorang navigator Inggris dalam catatannya mengungkapkan pengalamannya ketika berlabuh di Teluk Aceh pada Juni 1599. Ia mencatat, sang kapten kapal, Cornelis de Houtman didandani menurut adat setempat ketika akan menemui raja setempat. Ia diberi sebilah keris sebagai tanda kehormatan. Menurut Davis, keris itu sejenis pisau belati yang gagang dan pegangannya terbuat dari sejenis logam yang menurut perkiraan raja nilainya jauh melebihi emas. Keris itu juga bertatahkan batu-batu rubi. Logamnya memiliki kilau yang sangat bagus. “Memakai keris itu artinya mati jika bukan atas kehendak raja,” catat Davis. Namun, apabila raja memberikan keris itu, artinya si pemegang keris mendapatkan kebebasan mutlak. Ia mengambil makanan tanpa membayar dan memerintah orang lain laiknya budak. Raja sendiri punya kebiasaan mengenakan keris yang diselipkan pada ikat pinggangnya. Bukan hanya satu, melainkan empat. Dua dipakai di depan, dua lainnya di belakang. Keris-keris itu bertatahkan berlian dan batu rubi.   Bentuk Awal Keris Bagaimana dengan bentuk kris, apakah memang sejak lama sudah seperti keris pada masa kini? “Termasuk yang dikenal dengan sebutan kris  pada prasasti-prasasti sekitar abad ke-10, hanyalah dapat diperkirakan (bentuknya,  red .),” tulis Edi. Timbul menyebutkan tipe awal keris bisa ditelusuri ke belakang hingga masa berkembangnya budaya megalitik Pasemah di Sumatra Selatan. Ini tergambar dalam relief batu gajah, di mana seorang tokoh mengenakan semacam belati yang terselip di ikat pinggangnya. Pada masa perkembangan Hindu-Buddha, lewat adegan-adegan dalam relief candi dijumpai tokoh yang memegang senjata tajam. Salah satunya Dewi Durgamahisasuramardini yang bertangan 8 atau 10, pada salah satu tangannya memegang khadga  (pedang pendek). Senjata seperti itu juga sering disandang oleh arca penjaga, Dwarapala, yang digambarkan berbadan besar. “Senjata inilah yang paling dekat kemiripan bentuknya dengan keris, walau perbedaannya jelas juga, yaitu bilahnya lebih lebar merata, sedangkan keris lebih ramping meruncing,” tulis Edi. Bentuk keris mirip dengan masa kini baru muncul pada abad ke-14. Dalam relief di Candi Sukuh, di lereng Gunung Lawu, terdapat adegan tempat kerja pandai besi, di mana terlihat sejumlah benda besi yang dihasilkan. Di antaranya sebuah alat tusuk berbilah ramping meruncing, seperti bilah keris yang dikenal kini. “Bentuk keris seperti yang dikenal sekarang sudah lazim didapati pada abad ke-14,” jelas Edi.*

  • Dinho Oh Dinho...

    DI saat orang di berbagai belahan dunia tengah direpotkan oleh pandemi COVID-19 (virus corona ),legenda hidup sepakbola Brasil Ronaldinhomasih bisa menimang-nimang bola dan mencetak gol demi gol.Memang itu bukan di lapangan sepakbola seperti biasanya, namun di dalam penjara. Sejak akhir pekan lalu hingga Senin, (16/3/2020), ia sudah mencetak 11 gol untuk sebuah tim di turnamen futsal di dalam penjara. Ya, Dinho (sapaan Ronaldinho) bersama kakaknya, Roberto de Assis Moreira, ditahan di penjara berkeamanan maksimal di Asunción, Paraguay sejak 6 Maret 2020.Penyebabnya, Dinho dan kakaknya mencoba masuk ke negeri berjuluk “Corazón de América” (jantungnya Amerika) itu menggunakan paspor dan identitas palsu. Mengutip The Guardian , Selasa (17/3/2020), Dinho ditahan di penjara itu dalam waktu yang belum ditentukan, sembari menunggu rampungnya penyelidikan. Kuasa hukum Dinho dan Roberto meminta penangguhan penahanan, namuntak dikabulkan Kepolisian Asunción. Keduanya membela diri bahwa paspor dan identitas palsu itu didapat dari pihak sponsor yang mengundangnya datang ke Paraguay. Pasalnya paspor Brasil dan Spanyol Dinho disita penegak hukum Brasil sejak Juli 2019 akibat mengemplang pajak. “Saya sedih mendengar apa yang terjadi kepada teman saya. Dia tak layak mengalaminya,” cetus eks-rekan setim Dinho di timnas Brasil, Rivaldo. Dinho (berkaus putih) bersama kakaknya, Roberto de Assis Moreira kala digiring petugas keamanan akibat 'ke-gep' masuk Paraguay pakai paspor palsu (Foto: Twitter @Mafipe) Namun Dinho tetaplah Dinho. Selain masih menyisakan magis di kakinya dalam turnamen di balik dinding penjara itu, bekas bintang Paris Saint-Germain (PSG), Barcelona, dan AC Milan itu masih jadi pribadi yang murah senyum di setiap saat. “Seperti biasa Anda melihatnya di televisi ketika tampil bermain bola, dia selalu tersenyum,” ungkap Nelson Cuevas, eks bintang timnas Paraguay yang menjenguknya. Siapa Tak Kenal Dinho? Para penikmat bola di manapun mengenal Dinho sebagaimana legenda-legenda penyerang Brasil lainmacam Pelé, Zico, hingga Ronaldo. Sejak merumputdi Eropa bersama tiga klub pada 2001 hingga satu dekade kemudian, Dinho berandil dalam tujuh trofi yang dimenangkan Barca, termasuk satu gelar Liga Champions musim 2005-2006. Sukses itu membuat namanya masuk ke timnas Brasil. Di timnas, Dinho punya andil besar membawa tim Samba merebut Copa América 1999 dan trofi Piala Dunia untuk kelima kalinya di Korea-Jepang tahun 2002. Pada 2011, ia mudik ke Brasil di sisa-sisa kariernya bersama Atlético Mineiro, Querétaro (2014), dan Fluminense (2015) sampai gantung sepatu. Seperti halnya banyak bintang sepakbola Brasil, Dinho bisa punya bab masa jaya di buku kariernya – dengan bergelimang prestasi pribadi, salah satunya trofi Ballon d’Or 2005 – bukan tanpa perjuangan. Ia meniti kariernya se j a k dini sebagai anak yatim . Rebecca Thatcher Murcia dalam biografi bertajuk Ronaldinho menguraikan, Dinho lahir pada 21 Maret 1980 di Porto Alegre, provinsi Rio Grande do Sul dengan nama Ronaldo de Assis Moreira. Ia anak ketiga dari pasutri João de Assis Moreira dan Dona Miguelina Elói Assis dos Santos. Dua kakaknya, Deisi (perempuan) dan Roberto (laki-laki). Roberto kelak menjadi manajer Dinho dan turut mendekam di balik jeruji besi di Paraguay. “Keluarganya hidup di lingkungan miskin di Porto Alegre. Ayahnya seorang buruh las di galangan kapal dan petugas jaga malam di markas klub Grêmio. Terkadang ayahnya juga bermain di klub amatir Esporte Clube Cruzeiro. Ibunya, selain membesarkan anak-anak, juga menyambi jadi sales kosmetik,” tulis Murcia. Dinho pertamakali dikenalkan sepakbola oleh ayahnya kala berusia lima tahun. Ia jatuh hati pada permainan si kulit bundar meski belum di lapangan hijau. Dinho kecil sudah gemar belajar juggling bola seraya main-main sepakbola pantai dan futsal. “Ayahnya dan kakaknya mengajarinya skill sepakbola di rumah. Dia akan bermain selama berjam-jam. Kadang dia belajar sendiri juggling bola di udara, tidak hanya dengan kakinya, tapi juga dengan lutut, kepala, dan dadanya. Dia juga belajar sendiri men- dribble bola cepat dan kemampuan mengontrol bola dari pesepakbola pro yang ia tonton lewat layar kaca,” sambungnya. Dua cuplikan Dinho cilik kala menimba ilmu di akademi muda Grêmio (Foto: Twitter @10Ronaldinho) Saat usia tujuh tahun, ia bergabung ke akademi muda Grêmio. Privilege itu bisa ia nikmati mengingat Robertomerupakan salah satu pemain utama di klub berjuluk Imortal Tricolor tersebut. Dengan kemampuannya yang di atas rata-rata anak sebayanya, Dinho sering dimainkan di tim anak-anak yang lebih tua. Sejak itu ia mulai dipanggil teman-teman setimnya dengan “Ronaldinho” yang artinya “Ronaldo kecil” karena ia menjadi pemain termuda di tim. Sementara, futsal dan sepakbola pantai masih gandrung dilakoninya beriringan dengan sepakbola lapangan hijau. “Banyak gerakan yang saya ciptakan sendiri datangnya dari futsal. Karena permainannya dilakukan di lapangan yang kecil dan kontrol bola sangat berbeda dalam futsal dan sepakbola. Kontrol bola saya selama ini sangat mirip dengan kontrol bola pemain futsal,” kataDinho, dikutip John A. Torres dalam Soccer Star Ronaldinho. Setahun kemudian,keluarga mereka pindah ke rumah yang lebih layak di tengah kota Porto Alegre. Rumah itu diberikan klub untuk kakaknya, Roberto. Namun duka seketika mengusik kebahagiaan keluarga yang menempati rumah baru itu. “Terjadi tragedi saat keluarganya tengah menyiapkan pesta ulangtahun Roberto yang ke-18 dan anniversary pernikahan orangtuanya yang ke-19. Ayahnya mengalami serangan jantung hingga terpeleset dan ambruk di tepi kolam renang. Ia tak sadarkan diri lantaran kepalanya terbentur lantai. Walau sudah berusaha diselamatkan dan dilarikan ke rumahsakit, nyawa ayahnya tak tertolong,” lanjutnya. Dinho harus menjadi anak yatimsaat usianya baru delapan tahun. Dukanya bertambahdengan cedera parahnya Roberto yang tak bisa disembuhkan sehingga harus tutup karier lebih dini. Dinho sempat mengurung diri di kamarnya beberapa waktu akibat kedukaan yang bertubi-tubi itu. Dinho akhirnya teringat banyak wejangan mendiang ayahnya tentang sepakbola. “Semakin hari sentuhan bola di kakinya semakin baik. Dia selalu teringat banyak pesan ayahnya, salah satunya: ‘biarkan segalanya bergulir simpel’. Ia pun mengamalkannya di lapangan,” tambah Torres. Puncak pencapaian Dinho di timnas kala memenangi Piala Dunia 2002 (Foto: Twitter @10Ronaldinho) Di pundaknyalah harapan masa depan keluarganya diusung. Dinho bangkit. Namanya mulai dikenal luas setelah jadi sorotan sejumlah media lokal. Gara-garanya, saat berusia 13 tahun Dinho bikin geger usai mencetak 23 gol dalam sebuah laga yang berakhir dengan skor 23-0. “Ada beberapa detail yang belum jelas tentang itu, apakah terjadi di sebuah laga sepakbola lapangan hijau atau futsal. Namun hal itu tak menjadi masalah karena banyak wartawan suratkabar dan televisi yang tertegun dan pemain belia itu menjadi selebritis instan,” lanjutnya. Ditolak Madrid, Dipinang Barca Sejak masuk tim utama Grêmio pada 1998, Dinho mulai menebar magisnya. Di final Campeonato Gaúcho Série A1 kontra tim sekota Internacional, Dinho kembali menjadi pemberitaan gegara mempermalukan Dunga, gelandang veteran cum kapten timnas Brasil saat menang Piala Dunia 1994 . Momen itu terjadi kala Dunga menempel ketat pergerakan Dinho.Si bintang muda melakukan trik bola lambung ke atas kepala Dunga agar ia lepas dari kawalan, lantas disusul dengan dribble bola cepat khasnya yang sudah dilakoninya sejak di tim muda Grêmio. “Saya bekerja dengan beberapa pemain hebat di masa saya melatih di periode paling menarik dalam karier mereka kala masih berusia 19-20 tahun. Namun dengan tak mengurangi rasa hormat pada yang lain, kemampuan Ronaldinho berada di atas mereka semua,” sanjung Celso Roth, pelatih Grêmio periode 1998-1999, dikutip Jethro Soutar dalam Ronaldinho: Football’s Flamboyant Maestro. Alhasil, sejak 1997 Dinho sudah masuk timnas Brasil U-17. Ia menjadi bagian tim Samba kala menggondol Piala Dunia U-17 pada 1997 yang digelar di Port Said, Mesir. Meski di Grêmio ia hanya memberi gelarCampeonato Gaucho pada 1999, nama Dinho masuk catatan sejumlah pemandu bakat klub-klub top Eropa. Pada 2001, ia memukau Arsenal yang menjadi klub pertama yang naksir pada permainannya.Sayangnya ia batal merumput bersama klub berjuluk The Gunners itu di Liga Inggriskarena tersandung izin kerja. Pun dengan pinangan klub Skotlandia, St. Mirren, dengan perkara yang sama. Merantau ke Eropa, PSG jadi klub pertama Dinho di Benua Biru (Foto: Twitter @nel17brian/@10Ronaldinho) Beruntung, Paris St. Germain berkenan mengurus izin kerjanya meski prosesnya rumit. Dinho akhirnya resmi berkostum PSG dengan nilai transfer 5 juta euro berdurasi lima tahun kontrak. Di musim perdananya, Dinho turut serta menyumbang gelar Piala Intertoto 2001. Namun, ia tak akur dengan pelatih PSG Luis Fernandez. Penyebabnya lantaran Dinho mulai tertular kehidupan malam, hingga beberapakali terlambat latihan. P ada jendela transfer 2003, nama Dinho sempat diincar dua raksasa Spanyol, Real Madrid dan Barcelona. Dinho yang karier nya sedang melangi t setelah setahun sebelumnya memenangi Piala Dunia 2002 , menjadi salah satu nama di bursa transfer yang paling santer dihubungkan dengan dua raksasa Spanyol itu. Sel a in Dinho ada David Beckham dan Thierry Henry. Henry kemudian berada di luar radar lantaran akhirnya memutuskan bertahan di Arsenal. Sementara Real Madrid lebih memilih Beckham lantaran kerupawanannya masuk dalam kriteria bos MadridFlorentino Perez, yang menginginkan skuad Galaticos-nya terdiri dari para pemain tampan. Dinho pun disingkirkan karena wajahnya tak setampan Beckham. Namun, dewi fortuna masih menaunginya. Bos baru Barca, Joan Laporta, kepincut performaDinho. Ia sampai rela merogoh kocekklub 30 juta euro sebagai mahar yang melampaui penawaran Manchester United. Keputusan Laporta tak salah. Ia jadi pembeda dan pengubah peruntungan Barca yang sebelumnya sedang mengalami masa-masa sulit. Berturut-turut, Dinho ikut menyumbang saham kala Barca juara La Liga musim 2004-2005, dan 2005-2006, serta Supercopa de España 2005 dan 2006. Tak ketinggalan satu trofi Liga Champions 2005-2006. Dengan Dinho dan Lionel Messi yang kala itu tengah naik daun, Barca kembali jadi rival yang diperhitungkan Madrid. Setiap kali El Clásico (duel Barca-Madrid) terjadi, tak terhingga momen seru dan sengit terjadi, baik kala beradu di Camp Nou maupun Estadio Santiago Bernabèu. Dinho kala "ngajarin" Real Madrid main bola dalam duel El Clasico dengan dua golnya pada 19 November 2005 (Foto: fcbarcelona.com )   Dalam laga 19 November 2005 di markas Madrid, Dinho bahkan menceploskan doblete alias dwigol ke gawang Iker Casillasuntuk menegaskan kemenangan 3-0. Aksi-aksi cantiknya kala menari-nari dengan bola sebelum mencetak dua golnyamemaksa fans Madrid di Santiago Bernabeu memberi standing ovation . Dinho tercatat jadi jugador Barca kedua setelah Diego Maradona yang menerima penghormatan itu pada 1983di tempat yang sama. “Saya takkan melupakan momen ini karena sangat jarang bagi pesepakbola menerima penghormatan itu dari fans lawan,” ujar Dinho, dinukil The Independent , 21 November 2005. Namun sejak 2008 kala pindah ke AC Milan, perlahan magis Dinho mulai pudar. Pun saat pulang kampung ke Brasil hingga pensiun pada 2015. Meski begitu, ia tetap legenda hidup yang takkan dilupakan Messi dkk. “Ronaldinho adalah pemain yang bertanggungjawab atas perubahan di Barca. Kala itu kami mengalami masa yang buruk dan perubahan itu datang seiring kedatangannya dan itu hal yang luar biasa,” kenang Messi di laman resmi klub, fcbarcelona.com , 13 Oktober 2016.

  • Wabah Penyakit dalam Perang Makassar

    CORNELIS Janzoon Speelman, komandan pasukan VOC, mengibarkan bendera merah pada 21 Desember 1666. Tanda dimulainya perang VOC melawan Kerajaan Gowa-Tallo yang dipimpin Sultan Hasanuddin. VOC dengan sekutunya Arung Palakka unggul dalam pertempuran sehingga memaksa Sultan Hasanuddin menandatangani Perjanjian Bungaya pada 18 November 1667. Perjanjian Bungaya mengharuskan semua benteng yang dimiliki oleh kerajaan Gowa-Tallo dihancurkan kecuali Sombaopu dan Jumpandang –kemudian diubah namanya menjadi Fort Rotterdam. Ternyata, perjanjian itu tidak menghentikan perlawanan. Karaeng Karunrung, penasihat sekaligus Mangkubumi Kerajaan Gowa-Tallo, memutuskan terus melawan. “Perlawanan terhadap VOC dipelopori oleh Karaeng Karunrung yang sudah sejak awal sangat benci kepada orang-orang Belanda. Beliau sering mendesak agar Sultan Hasanuddin meneruskan peperangan dan bertempur sampai tetes darah penghabisan,” tulis Sagimun M.D. dalam biografi Sultan Hasanudin: Ayang Jantan dari Ufuk Timur . Menurut sejarawan Sartono Kartodirdjo konflik bersenjata melawan Makassar merupakan konflik besar kedua yang dilakukan VOC. Berbeda dengan konflik pertama melawan Mataram (1627–1629), VOC melakukan ofensif terhadap Makassar. Perang kembali pecah pada 21 April 1668. Pertempuran itu mereda karena epidemi atau penyakit menular. “Di tengah-tengah masa perang, yaitu April sampai Juli 1668 berjangkitlah epidemi sehingga kedua pihak tidak banyak melakukan operasi. Sekitar tiga ratus orang lebih pasukan VOC dan kira-kira dua ribu atau separuh dari [sekutunya] pasukan Bugis terserang penyakit panas dan meninggal,” tulis Sartono dalam Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900 dari Emporium sampai Imperium . Sagimun mencatat setiap hari ada saja pasukan VOC yang mati karena sakit. Adakalanya dalam sehari, tujuh sampai delapan orang dikuburkan. Bahkan, Speelman juga jatuh sakit sehingga harus meninggalkan Ujungpandang. Selama itu, pimpinan diserahkan kepada Danckert van der Straten. Setelah kurang lebih sebulan istirahat, Speelman kembali memimpin. Namun, keadaan kesehatan orang-orang Belanda sangat menyedihkan. Lima orang dokter bedah ( opperchirurgijns ) meninggal dunia dan 15 orang pandai besi mati. Dari 40 pasukan bantuan yang datang dari Batavia dua bulan sebelumnya, hanya delapan orang yang dapat berdiri; sebagian besar sakit dan lima orang mati. Pada Maret 1668, dalam sebulan 139 orang mati di daratan, sedangkan di kapal-kapal 52 orang menemui ajal. Pada September 1668, VOC mengirimkan 108 orang yang sakit keras ke Batavia, namun dalam perjalanan 100 orang mati. Para perwira juga jatuh sakit. Speelman menderita sakit perut. Orang keduanya, Straten meninggal dunia karena penyakit beri-beri. Kapten Du Pont juga menderita beri-beri. Sedangkan Kapten de Bitter kena peluru di kakinya sehingga harus dirawat. Keadaan menyedihkan pasukan VOC itu tidak dimanfaatkan oleh pasukan Gowa-Tallo. Mungkin mereka juga terkena wabah penyakit. “Sayang sekali hal ini kurang diketahui dan kurang diselidiki untuk dipergunakan dengan sebaik-baiknya oleh pasukan Gowa dengan mengadakan psywar  atau perang urat saraf dibarengi serangan bertubi-tubi,” tulis Sagimun. Dalam keadaan kepayahan, Speelman dan pasukannya bertahan sambil menunggu bantuan datang dari Batavia dan sekutunya. Setelah memenangkan pertempuran pada 4 Juli, 11-12 Agustus, dan 12 Oktober 1668, Speelmen mengarahkan seluruh kekuatannya untuk merebut Sombaopu. Benteng dengan istana raja itu merupakan lambang kekuasaan Gowa-Tallo sehingga dipertahankan mati-matian. VOC berhasil mematahkan perlawanan di sebelah utara benteng Sombaopu pada 14-15 April 1669. Tinggal pelawanan terakhir yang dipimpin oleh Karaeng Karunrung. VOC mulai menyerang pada 14 Juni 1669. Akhirnya, Karaeng Karunrung mengaku kalah dan benteng Sombaopu jatuh ke tangan VOC pada 24 Juni 1669. Perang Makassar yang berlangsung kurang lebih tiga tahun berakhir. Perjanjian damai diadakan di Batavia pada 20 Desember 1669.*

bottom of page