Hasil pencarian
9591 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Wabah Penyakit dalam Perang Makassar
CORNELIS Janzoon Speelman, komandan pasukan VOC, mengibarkan bendera merah pada 21 Desember 1666. Tanda dimulainya perang VOC melawan Kerajaan Gowa-Tallo yang dipimpin Sultan Hasanuddin. VOC dengan sekutunya Arung Palakka unggul dalam pertempuran sehingga memaksa Sultan Hasanuddin menandatangani Perjanjian Bungaya pada 18 November 1667. Perjanjian Bungaya mengharuskan semua benteng yang dimiliki oleh kerajaan Gowa-Tallo dihancurkan kecuali Sombaopu dan Jumpandang –kemudian diubah namanya menjadi Fort Rotterdam. Ternyata, perjanjian itu tidak menghentikan perlawanan. Karaeng Karunrung, penasihat sekaligus Mangkubumi Kerajaan Gowa-Tallo, memutuskan terus melawan. “Perlawanan terhadap VOC dipelopori oleh Karaeng Karunrung yang sudah sejak awal sangat benci kepada orang-orang Belanda. Beliau sering mendesak agar Sultan Hasanuddin meneruskan peperangan dan bertempur sampai tetes darah penghabisan,” tulis Sagimun M.D. dalam biografi Sultan Hasanudin: Ayang Jantan dari Ufuk Timur . Menurut sejarawan Sartono Kartodirdjo konflik bersenjata melawan Makassar merupakan konflik besar kedua yang dilakukan VOC. Berbeda dengan konflik pertama melawan Mataram (1627–1629), VOC melakukan ofensif terhadap Makassar. Perang kembali pecah pada 21 April 1668. Pertempuran itu mereda karena epidemi atau penyakit menular. “Di tengah-tengah masa perang, yaitu April sampai Juli 1668 berjangkitlah epidemi sehingga kedua pihak tidak banyak melakukan operasi. Sekitar tiga ratus orang lebih pasukan VOC dan kira-kira dua ribu atau separuh dari [sekutunya] pasukan Bugis terserang penyakit panas dan meninggal,” tulis Sartono dalam Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900 dari Emporium sampai Imperium . Sagimun mencatat setiap hari ada saja pasukan VOC yang mati karena sakit. Adakalanya dalam sehari, tujuh sampai delapan orang dikuburkan. Bahkan, Speelman juga jatuh sakit sehingga harus meninggalkan Ujungpandang. Selama itu, pimpinan diserahkan kepada Danckert van der Straten. Setelah kurang lebih sebulan istirahat, Speelman kembali memimpin. Namun, keadaan kesehatan orang-orang Belanda sangat menyedihkan. Lima orang dokter bedah ( opperchirurgijns ) meninggal dunia dan 15 orang pandai besi mati. Dari 40 pasukan bantuan yang datang dari Batavia dua bulan sebelumnya, hanya delapan orang yang dapat berdiri; sebagian besar sakit dan lima orang mati. Pada Maret 1668, dalam sebulan 139 orang mati di daratan, sedangkan di kapal-kapal 52 orang menemui ajal. Pada September 1668, VOC mengirimkan 108 orang yang sakit keras ke Batavia, namun dalam perjalanan 100 orang mati. Para perwira juga jatuh sakit. Speelman menderita sakit perut. Orang keduanya, Straten meninggal dunia karena penyakit beri-beri. Kapten Du Pont juga menderita beri-beri. Sedangkan Kapten de Bitter kena peluru di kakinya sehingga harus dirawat. Keadaan menyedihkan pasukan VOC itu tidak dimanfaatkan oleh pasukan Gowa-Tallo. Mungkin mereka juga terkena wabah penyakit. “Sayang sekali hal ini kurang diketahui dan kurang diselidiki untuk dipergunakan dengan sebaik-baiknya oleh pasukan Gowa dengan mengadakan psywar atau perang urat saraf dibarengi serangan bertubi-tubi,” tulis Sagimun. Dalam keadaan kepayahan, Speelman dan pasukannya bertahan sambil menunggu bantuan datang dari Batavia dan sekutunya. Setelah memenangkan pertempuran pada 4 Juli, 11-12 Agustus, dan 12 Oktober 1668, Speelmen mengarahkan seluruh kekuatannya untuk merebut Sombaopu. Benteng dengan istana raja itu merupakan lambang kekuasaan Gowa-Tallo sehingga dipertahankan mati-matian. VOC berhasil mematahkan perlawanan di sebelah utara benteng Sombaopu pada 14-15 April 1669. Tinggal pelawanan terakhir yang dipimpin oleh Karaeng Karunrung. VOC mulai menyerang pada 14 Juni 1669. Akhirnya, Karaeng Karunrung mengaku kalah dan benteng Sombaopu jatuh ke tangan VOC pada 24 Juni 1669. Perang Makassar yang berlangsung kurang lebih tiga tahun berakhir. Perjanjian damai diadakan di Batavia pada 20 Desember 1669.*
- Barisan Wanita Pelatjoer, Penyebar Bakteri di Markas Tentara Belanda
Satya Graha masih ingat bagaimana pada 1946-1947, perang telah membuat Yogyakarta begitu kumuh. Seiring membanjirnya para pengungsi, kota itu menjadi kawasan yang rawan tindak kejahatan. Para maling berkeliaran bukan saja di malam hari juga di siang hari bolong. Namun yang paling memusingkan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Yogyakarta pun menjadi wilayah teraktif dalam soal transaksi seks. “ Praktek pelacuran marak di berbagai sudut kota hingga Yogyakarta saat itu terancam serangan penyakit kelamin,”kenang jurnalis tua yang pernah menghabiskan masa remajanya di kota gudeg tersebut. Situasi itu pula yang dikeluhkan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX di hadapan Mayor Jenderal Moestopo. Kepada penasehat khusus militer Presiden Sukarno itu, Sri Sultan meminta solusi supaya kota yang dipimpinnya kembali aman dan tentram. Entah bagaimana awalnya, Moestopo kemudian memiliki ide nyeleneh : memberdayakan para pekerja seks komersial itu untuk terlibat dalam revolusi. Caranya: dengan mengirimkan mereka ke daerah pendudukan Belanda dan berpraktek di sana. Tujuannya selain mengacaukan kondisi sosial juga untuk menurunkan daya tempur para prajurit Belanda. “Istilah Pak Moes, mereka itu dilibatkan dalam psywar (perang psikologis),” ujar sejarawan Moehkardi kepada Historia . Moestopo kemudian menghimpun para pekerja seks komersial itu . Bahkan bukan saja dari Yogyakarta, sebagian juga didatangkan langsung dari Surabaya dan Gresik. Para pe rempuan dunia malam itu lantas diajarinya hidup disiplin dan ilmu perang. Tak tanggung-tanggung, Moestopo mengangkat para instruktur militer untuk membimbing langsung para pekerja seks komersial itu. Salah satunya adalah Kolonel T.B. Simatupang. Masih segar dalam ingatan Simatupang, suatu malam dia dijemput oleh Moestopo. Sang jenderal menyatakan bahwa sejak malam itu Simatupang harus memberikan pelajaran mengenai dasar-dasar ilmu perang kepada suatu kelompok yang sedang disiapkan menjalankan tugas di daerah musuh. “Waktu itu saya diajak memasuki suatu ruang pelajaran yang setengah gelap dan di hadapan saya telah berdiri sejumlah perempuan muda yang semua matanya ditutup sehingga saya tak bisa mengenal mereka,” ujar Simatupang seperti dikisahkan kepada Sinar Harapan edisi 30 September 1986. Di tengah berlangsungnya “pendidikan militer ” itu, pada pertengahan 1946, Markas Besar Tentara (MBT) menugaskan Moestopo ke front Subang di Jawa Barat. Di front yang juga dikenal sebagai Sektor Bandung Utara-Timur ini, uniknya Moestopo ada di bawah komando seorang “letnan kolonel” yakni Sukanda Bratamanggala. Namun tak ada yang tidak mungkin di era revolusi. Apapun bisa diadakan, termasuk seorang letnan kolonel yang membawahi seorang mayor jenderal. Singkat cerita, Moestopo pindah ke front Subang. Bersamanya, ikut pula sekitar 100 prajurit dunia hitam-nya. Dia menamakan pasukannya sebagai Pasukan TERATE (Tentara Rahasia Tertinggi), yang terdiri dari dua unit: BM (Barisan Maling) dan BWP (Barisan Wanita Pelatjoer). Menurut sejarawan Robert B. Cribb, sebagai komandan lapangan, Moestopo menempatkan para kadet Akademi Militer Yogyakarta yang tengah belajar praktek tempur. Selaku salah satu instruktur di akademi militer tersebut, Moestopo memang memiliki wewenang itu. “Dua unit itu kemudia dioperasikan di dalam kota Bandung. Tugasnya selain untuk mencuri senjata, pakaian dan alat-alat tempur juga menimbulkan kekacauan dan kebingungan di kalangan tentara Belanda,”tulis Cribb dalam Ganster and Revolutionaries, The Jakarta People’s Militia and Indonesian Revolution 1945-1949. Khusus untuk BWP, Moestopo memberi target kepada mereka untuk menjadikan pos-pos militer Belanda di seluruh Bandung kacau balau secara mental sehingga hilang konsentrasi tempur mereka. Lebih jauh, sang jenderal berharap treponema pallidum (bakteri penyebab sipilis) yang bersarang di tubuh para prajurit BWP bisa menjadi senjata biologis terbaik dari pihak Republik guna mengalahkan serdadu-serdadu Belanda. Penggunaan senjata biologis itu bisa jadi terinspirasi dari pengalaman Moestopo semasa dididik menjadi perwira Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor pada 1944. Kala itu, dia pernah membuat karya ilmiah berjudul ‘Penggunaan Bambu Runcing yang Pucuknya Diberi Tahi Kuda Untuk People Defence dan Attack serta Biological War Fare’. Di hadapan para perwira militer Jepang, Moestopo mempresentasikan bagaimana kuman clostridium tetani yang terkandung dalam kotoran kuda bisa menjadi senjata biologis yang mematikan bagi musuh. Tidak hanya lulus dan menjadi yang terbaik, karyanya itu dipuji setinggi langit oleh para perwira Jepang saat itu. Awalnya, misi BWP bisa terwujud secara maksimal. Menurut Himawan Soetanto (alumni Akademi Militer Yogyakarta yang pernah menjadi anak buah Moestopo), banyak serdadu Belanda yang sakit terkena penyakit menular seksual. Situasi itu menyebabkan terjadinya evakuasi besar-besaran dari pos-pos militer mereka hingga otomatis mengurangi kekuatan personil tempur di garis depan. “Itu memudahkan tugas kami menghancurkan pos-pos mereka,” ungkap mantan Panglima Kodam Siliwangi di tahun 1970-an itu. Namun lambat laut, keberadaan BWP justru menjadi senjata makan tuan. Di tengah kejenuhan garis depan, rasa kesepian pun melanda para gerilyawan Republik. Rupanya kemunculan para perempuan muda yang berpengalaman dalam soal seks itu justru membuat kedisiplinan sebagaian tentara Republik mulai melumer. Dan akibatnya alih-alih mengacaukan keamanan wilayah pendudukan musuh dan melemahkan moril tentara Belanda, kehadiran BWP justru berimbas negatif kepada kesehatan para gerilyawan. “Yang terjangkit penyakit itu, justru kebanyakan malah dari prajurit kita” ungkap Moehkardi. Karena pertimbangan itulah, beberapa waktu setelah merajalelanya penyakit kotor di kalangan anak buahnya, Moestopo lantas menarik unit BWP dari front dan membubarkannya. Maka sejak itu, berakhirlah kiprah para prajurit kupu-kupu malam tersebut di Sektor Bandung Utara-Timur .
- Masuk Desa Tanpa Busana Karena Diserang Belanda
BEGITU Belanda melancarkan Agresi Militer II yang diikuti dengan penangkapan para petinggi republik, Chairul Saleh, pengikut Tan Malaka yang menentang jalur diplomasi politik, memerintahkan bawahannya untuk memulai long march kembali ke Jawa Barat. “Kita harus kembali ke pos kita masing-masing. Pos perjuangan kita adalah Krawang, Jawa Barat. Kumpulkan dan siapkan pasukan, kita harus secepatnya berangkat. Kumpulkan kawan-kawan, kumpulkan senjata yang ada. Hari ini juga kita meninggalkan Yogya lewat Krawang, Purwakarta menuju Sanggabuana,” kata Chairul sebagaimana dikutip Irna HN Soewito dkk. dalam biografi berjudul Chairul Saleh Tokoh Kontroversial . Sikap Chairul yang memilih angkat senjata sebagai ketidaksetujuan terhadap politik diplomasi pemerintah membuatnya menjadi lawan pasukan republik. “Satu di antara kelompok-kelompok radikal yang penghancurannya ditugaskan kepada Angkatan Darat adalah lasykar komunis-nasionalis yang berdiri di belakang Tan Malaka. Kelompok lasykar yang terakhir –yang jumlahnya cukup besar dan yang setia kepada ajaran Tan Malaka– ditundukkan dalam bulan Oktober 1949 di Banten Selatan. Pemimpin mereka, Chaerul Saleh, baru dapat ditangkap bulan Maret tahun berikutnya,” tulis Ulf Sundhaussen dalam Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwifungsi ABRI . Dari rumah-markas di Jalan Bausasran, Yogyakarta, Chairul cs. lalu bergerak dalam kelompok-kelompok kecil. Kelompok Chairul berangkat paling akhir. Di Ngasem, Chairul mampir ke rumah seorang kawannya unutk meminta sedikit bekal beras dan uang. Kelompok-kelompok kecil tadi akhirnya kembali bertemu dan bergabung setelah mencapai Gunung Menoreh, Magelang. Perjalanan mereka kian ramai setelah sepasukan dari Polri yang hendak ke Indramayu memutuskan bergabung. “Penggabungan ini cukup membantu, empat belas orang bersenjata 10 karaben dan 2 pucuk pistol,” sambung Irna dkk. Sekira 35 hari setelah keberangkatan itu, Chairul dan kawan-kawan itu akhirnya sampai di perbatasan Jawa Barat. Dalam masa sebulan lebih itu, suka-duka silih berganti mengiringi perjalanan berat mereka. Kelaparan, kedinginan, kekhawatiran, bahkan kesedihan akibat kehilangan teman menjadi warna dalam perjalanan itu. Chairul sendiri saat itu telah berjalan menggunakan tongkat akibat telapak kakinya bengkak dan berair setelah sepatunya jebol sebelum masuk Purwokerto. “Dasar kaki borjuis, tidak mau menyesuaikan diri,” kata Chairul membanyol. Gaya kepemimpinan Chairul yang egaliter dan kerap membanyol itu mampu menjaga semangat anggota rombongan. Tak satupun dari mereka mengeluhkan perjalanan berat itu meski berulangkali maut nyaris menghampiri. Di persawahan Salem dekat perbatasan Jawa Barat, mereka diberondong peluru pesawat Mustang Belanda. Tak satupun dari peluru pesawat Belanda itu yang mengenai sasaran. Rombongan Chairul lalu melanjutkan perjalanan ke Cirebon melalui lereng Gunung Ciremai. Di sana, mereka menyempatkan beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan ke Majalengka. Saat hendak menyeberangi Sungai Cimanuk, rombongan berhenti untuk menunggu perintah Chairul. Semua diperintahkan Chairul untuk melepas pakaian alias bugil karena masing-masing hanya membawa pakaian yang dikenakan. Setelah semua pakaian selesai ditanggalkan dan ditaruh di atas kepala masing-masing, Chairul memerintahkan Salim Bajeri berjalan duluan untuk menjajaki kedalaman sungai. Salim dipilih karena postur tubuhnya tinggi. Satu per satu anggota rombongan, termasuk Chairul, akhirnya mengikuti Salim. Saat mencapai tengah sungai, rentetan tembakan menyambut mereka. Para serdadu Belanda yang bersembunyi di tebing seberang ternyata telah menunggu kedatangan mereka. Chairul langsung memerintahkan rombongan untuk mundur dan berlindung di tempat aman. Kepanikan membuat mereka dengan cepat bisa keluar dari sungai. “Dalam keadaan telanjang bulat semua lari masuk kampung terdekat. Dapat dibayangkan bagaimana penduduk melihat sepasukan orang dalam keadaan bugil, berlari-lari mencari perlindungan di antara rumah-rumah mereka,” sambung Irna dkk.
- Selera Naga Sejuta Rasa
SUDAH empat tahun terakhir ini Banyuwangi menggelar Festival Imlek. Sebuah upaya Pemerintah Kabupaten Banyuwangi untuk mengangkat sekaligus memupuk kerukunan dalam keberagaman di Bumi Blambangan. Tapi ada yang spesial tahun ini. Bersamaan dengan Festival Imlek, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi memperkenalkan Pecinan Street Food; pasar wisata kuliner yang menjajakan beragam makanan khas Tionghoa. “Pecinan Street Food akan rutin digelar setiap Jumat malam di areal jalanan menuju Kelenteng Hoo Tong Bio,” ujar Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas saat peresmian pada 31 Januari 2020. “Jadi warga Banyuwangi dan wisatawan yang ingin menikmati masakan khas Tionghoa tidak perlu repot. Langsung saja ke tempat ini. Dijamin puas.” Pecinan Street Food digelar di sepanjang Jalan Ikan Gurame, Kelurahan Karangrejo, yang membentang sepanjang 300 meter. Di kawasan ini Anda bisa mencicipi dimsum, lontong cap go meh, bebek, ayam peking, sate tai chan, hingga nasi goreng hitam. Selain itu, Anda akan menikmati suasana khas nan indah yang kental dengan nuansa Tionghoa. Mulai dari musik, hiburan, hingga ornamen serba merah. Pecinan Street Food dipusatkan di sekitar Kelenteng Hoo Tong Bio, yang memiliki nilai sejarah penting bagi komunitas Tionghoa di Banyuwangi. Perlindungan Sejak lama orang Tionghoa menaruh perhatian pada perkembangan Blambangan, nama lama dari Banyuwangi. Ini dibuktikan dari kunjungan Cheng Ho ke Blambangan pada abad ke-14., sebagaimana dicatat dalam Ming Shih , sumber Tiongkok pada masa Dinasti Ming, yang diterjemahkan W.P. Groeneveldt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa . Kedatangan Cheng Ho bertepatan dengan konflik antara Blambangan dan Majapahit. Setelah itu tak ada informasi lain mengenai orang Tionghoa. Namun, orang Tionghoa dikenal sebagai pedagang ulung. Selain berdagang di pelabuhan-pelabuhan lain di Nusantara, mereka juga singgah di Pelabuhan Ulupampang di Blambangan, salah satu pelabuhan tersibuk di sekitar Selat Bali. Kelak, mereka membentuk jaringan perdagangan yang kuat. Bahkan ikut menyokong Agong Wilis dalam perlawanan melawan Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC) yang ingin menguasai Blambangan. Menurut kronik lokal Babad Notodiningratan , orang Tionghoa mulai menetap di Blambangan pada 1631. Jumlahnya kian meningkat setelah “geger pecinan” di Batavia pada 1740. Banyak orang Tionghoa menyelamatkan diri ke Blambangan. Mungkin mereka mendapat perlindungan dari Tan Hu Cinj in . Dari cerita turun-temurun, Tan Hu Cinjin berasal dari Propinsi Kwan Tung. Dia dikenal pintar dan terampil sebagai sinse, pakar hong shui, arsitek bangunan, dan pertamanan. Karena itu dia diminta raja Blambangan untuk membangun istana di daerah Macan Putih. Sebagai penghormatan atas jasa Tan Hu Cinjin, komunitas Tionghoa kemudian membangun Kelenteng Hoo Tong Bio yang berarti “kuil perlindungan orang-orang Tionghoa”. Kelenteng berada di Lateng (sekarang Blimbingsari, Rogojampi), tak jauh dari Pelabuhan Ulupampang. Tak diketahui pasti kapan didirikan. Namun keterangan pada semacam prasasti dalam kelenteng menunjukkan “Qianlong jiachen” (1784). Di situ juga termuat nama Tan Cin Jin dalam bentuk kaligrafi yang indah. Setelah ibukota Blambangan pindah dari Ulupampang (kini, Kecamatan Muncar) ke Banyuwangi, kelenteng pun ikut dipindahkan. Apalagi pemindahan ibukota disertai pemberlakuan wijkenstelsel dan passenstelsel , yang jadi pijakan munculnya Pecinan. Hingga kini Kelenteng Hoo Tong Bio masih berdiri kokoh dan menjadi salah satu bangunan tertua di Kabupaten Banyuwangi. Selain sebagai pusat keagamaan, Kelenteng Hoo Tong Bio berfungsi secara sosial dan budaya. Adaptasi Komunitas Tionghoa mempertahankan dan mengembangkan tradisi dan budaya leluhur, termasuk kulinernya. Mereka mencoba beradaptasi dengan lidah lokal. Jika semula masakan Tiongkok tidak memiliki rasa yang kaya, rumit, dan kompleks karena lebih menekankan citarasa asli, maka ketika bertemu bumbu-bumbu lokal akan menjadi lebih kaya rasa. Selain soal rasa, kuliner Tionghoa menyesuaikan diri dengan masyarakat sekitar yang mayoritas beragama Islam. “Kalo orang mau cari masakan Chinese tapi halal, maka akan didapat setiap Jumat malam di sekitar kelenteng Hoo Tong Bio ini,” ujar Anas dalam sambutannya. “Perkawinan” antara selera Tionghoa dan citarasa lokal menjadi nyawa dalam Pecinan Street Food. Setiap Jumat malam, kawasan K e lenteng bakal dipenuhi aneka makanan mulai dari ayam kunpao, lontong cap go meh, hingga bebek dan ayam Peking. Anda bisa mencicipi aneka jajanan seperti kue keranjang, bakpao ayam, bacang, dan manisan Tiongkok. Ada juga minuman khas sep e rti teh bunga krisan, kopi, dan masih banyak lagi. Bahkan, sebenarnya kuliner khas Banyuwangi, yakni rujak soto, pun tak luput dari pengaruh Tionghoa. Denys Lombard, sejarawan Perancis, dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia , mencatat orang-orang Tionghoa berperan penting bagi kelahiran soto. Soto berawal dari bahasa Mandarin caudu atau jao to . Masakan khas Tionghoa ini kali pertama populer di Semarang pada abad ke-19 lalu menyebar ke daerah lainnya dengan berbagai varian rasa, cara memasak, bumbu, penyajian, pelengkap, dan citarasa. Di Banyuwangi, rujak soto sebenarnya racikan beragam sayuran; kacang panjang dan kangkung, potongan tahu dan tempe dengan bumbu kacang dan petis yang disiram kuah soto. Sajian rujak soto bisa dinikmati di pasar kuliner lainnya. Pecinan Street Food memang hanyalah salah satu konsep pasar kuliner tematik yang dikembangkan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi. Saat ini, tak kurang ada 19 pasar kuliner yang tersebar di berbagai kecamatan dengan waktu yang berbeda-beda. Inovasi ini bertujuan mendongkrak ekonomi lokal. Siapa tak tertarik?
- Wabah Aneh yang Membuat Orang Menari
PADA 1518, sebuah wabah aneh terjadi di Kota Strasbourg, di wilayah Kekaisaran Romawi Suci (kini masuk wilayah Prancis). Wabah ini bukan wabah penyakit seperti flu, infeksi, atau penyakit kulit menular lainnya, melainkan wabah yang membuat orang menari hingga meninggal dunia. Tragedi ganjil ini kemudian disebut sebagai choreomania atau wabah menari 1518. Wabah menari dimulai pada 14 Juli 1518 ketika Frau Troffea, seorang warga Strasbourg keluar rumah dan menari di jalanan. Ia menari tanpa alasan yang jelas, tanpa musik dan tanpa henti. Troffea menari selama tiga hari hingga kakinya lecet-lecet dan berlumuran darah. Orang-orang mengira ia kerasukan setan. Ia pun lalu dibawa ke sebuah tempat suci di Pegunungan Vosges. John Waller, ahli sejarah kedokteran di Michigan State University, dalam bukunya A Time to Dance, A Time to Die menyebut gejala yang dialami Troffea merebak cepat beberapa hari kemudian. Orang-orang mulai turun ke jalan dan mulai menari tanpa henti. “Dalam sebulan, menurut salah satu kronik sejarah, sebanyak 400 orang mengalami kegilaan. Hingga suatu waktu di akhir bulan Juli, hanya seminggu atau lebih setelah Frau Troffea mulai menari, epidemi ini mengambil wajah baru yang lebih kejam,” tulis Waller. Di musim panas yang menyiksa itu, mereka menari berhari-hari hingga kelelahan, kaki berdarah-darah, urat-urat terkoyak hingga terkena serangan jantung. Diperkirakan, setiap harinya ada 15 orang yang sekarat. Dalam sebuah manuskrip yang ditemukan di arsip kota yang dikutip Waller, tercatat, “Ada wabah aneh baru-baru ini. Terjadi di kalangan rakyat jelata. Banyak orang mengalami kegilaan. Mulai menari. Mereka terus menari siang malam. Tanpa hambatan. Sampai mereka jatuh pingsan. Banyak orang kehilangan nyawa karenanya.” Penelusuran Waller menunjukan bahwa wabah serupa ternyata pernah terjadi di Eropa. Namun, sebagian besar tidak diketahui apakah peristiwa tersebut merupakan kejadian nyata atau isapan jempol belaka. Sementara wabah menari di Strasbourg terjadi setelah ditemukannya mesin cetak sehingga terdapat beragam sumber yang mendokumentasikannya. Terkait penyebab wabah menari, ada dugaan bahwa epidemi ini bermula dari ergot. Ergot adalah penyakit jamur pada batang gandum lembab. Ergot dapat menyebabkan delusi, kejang-kejang dan guncangan hebat. Namun, korban-korban wabah menari ternyata tidak menunjukan gejala demikian. “Tidak satu pun dari ciri-ciri ini dijelaskan oleh saksi wabah menari Strasbourg, dan tampaknya tidak mungkin bahwa menari akan dapat dipertahankan untuk jangka waktu yang lama sementara menderita gejala-gejala ini,” tulis Dr. Marc Burton dalam artikelnya di pastmedicalhistory.co.uk. Sejarawan lain menyebut peristiwa ini terkait dengan kultus sesat. Namun tak ada bukti memadai yang mendukung teori ini. “Mungkin tidak pernah diketahui secara pasti apa yang menyebabkan wabah aneh dan ganjil ini tetapi hal itu berfungsi sebagai pengingat akan sifat aneh dan tak terduga dari jiwa manusia,” sebut Marc. Sementara itu, Waller menyebut wabah menari berkaitan erat dengan perubahan kehidupan di Strasbourgh. Kala itu, dunia tengah mengalami ketidakpastian. Gagal panen, kelaparan, cacar dan berbagai penyakit mematikan muncul. Selain itu, tambah Waller, kondisi spiritual masyarakat saat itu juga perlu diteliti. Gabungan antara masalah duniawi dan spiritual ini yang kemungkinan menimbulkan tekanan-tekanan psikologis. Wabah tari, menurutnya, adalah respons terhadap kesengsaraan, sugesti, dan kepercayaan. “Otak di bawah tekanan berat selalu menghasilkan sensasi dan perilaku tertentu, walaupun di luar kehendak sendiri, memunculkan pemikiran dan keinginan penderita serta masyarakat di sekitar mereka,” sebutnya. Wabah menari mereda awal September 1518. Tak bisa dipastikan berapa korban meninggal. Sementara itu, wabah ini telah menyebabkan kekacauan dan huru-hara di beberapa kota di wilayah Kekaisaran Romawi Suci.*
- Gerilyawan Tertolong Pohon Rambutan
Setelah Belanda melancarkan agresi militer kedua, laskar rakyat di Sumatra Timur merapatkan barisan. Mereka sepakat untuk mengadakan perlawanan. Hari-H gerakan ditetapkan pada 29 Desember 1948 dengan sandi operasi: Melati. Pukul 20.00 malam, laskar rakyat bergerak. Secara serentak setiap sektor melakukan perlawanan. Laskar Gerindo dan Napindo adalah beberapa kelompok laskar yang terlibat. Hasil serangan dadakan itu cukup bikin Belanda kelimpungan sekaligus berang. Mesin pembangkit listrik pabrik Martoba di Pematang Siantar dirusak. Beberapa perkebunan teh di Martoba, Simbolon, Simpang Raya, Bahbutong, dan Marjanji dibakar. Kawat-kawat telepon di di Tanah Jawa, Pematang Raya, Kuala Namu, dan Tebing Tinggi diputus. Beberapa puluh hektare kebun tembakau yang sedang tumbuh subur di Deli Serdang dan Langkat pun tidak luput dari pengrusakan. “Perlawanan rakyat digerakkan serentak di seluruh Sumatra Timur sesuai dengan jangkauan yang memungkinkan, mendapat reaksi tajam dam keras dari NEFIS (Satuan Dinas Intelijen Belanda),” tulis Tukidjan Pranoto dalam Tetes Embun di Bumi Simalungun . Untuk membalas aksi para gerilyawan, Belanda mengerahkan satuan polisi antigerilya bernama Troopen Intellegence Vor Gerilya (TIVG) yang dipimpin Mayor Van der Plank. Pasukan TIVG menguber beberapa pentolan laskar dari kampung ke kampung. Seturut dengan catatan Tukidjan, Hasan Zunaidi dan Kiyai Parman dari Gerindo tertangkap oleh TIVG dan kemudian ditembak mati. Sementara itu, beberapa anggota Napindo ditawan di Pematang Siantar. Dalam pengejaran ke kampung Karang Anyer, Simalungun, TIVG memburu pentolan gerilyawan dari Laskar Napindo bernama Sarino. Tidak jauh dari rumah Sarino di dekat masjid Karang Anyer, Ishak Lubis, staf komando Napindo sedang berada di rumah salah seorang anggota Napindo. Disini dimulailah kisah aksi “menyelamatkan diri” itu. Ishak Lubis merasa terjebak begitu pasukan TIVG melakukan penggerebekan di kawasan rumah Sarino. Sadar berada dalam bahaya, Ishak Lubis buru-buru kabur dengan memanjat pohon rambutan di belakang rumah. Beberapa anggota TIVG memerhatikan Ishak Lubis yang sudah nongkrong di atas pohon. Tanpa sadar, Ishak Lubis langsung saja memetik rambutan lalu menawarkannya kepada serdadu Belanda di bawah sana. “Bapak mau?” sapa Ishak Lubis sembari menutupi rasa gemetarnya di atas pohon rambutan. “Iya,” sahut anggota TIVG. Begitu mendapat jawaban dari bawah, Ishak Lubis segera menjatuhkan beberapa tangkai rambutan kepada para pengejar laskar itu. Setelah mengambil rambutan, pasukan TIVG melanjutkan tugasnya. Mereka berhasil meringkus Sarino dan membawanya dengan mobil jip ke Pematang Siantar. Dengan tertangkapnya Sarino, penggerebekan dan pengejaran selesai, Pasukan TIVG itu pun kembali ke markasnya. Sementara itu, Ishak Lubis luput dari pencidukan. “Ishak Lubis segera turun dan menemui pemilik rambutan dekat masjid itu, mengucapkan terimakasih dan selanjutnya dengan sepeda meninggalkan tempat itu,” demikian seperti dikisahkan Tukidjan.
- Wabah Penyakit Mematikan di Banten dan Jawa Tengah
Virus Corona atau Covid-19 telah ditetapkan sebagai pandemik. Wabah penyakit yang berasal dari Wuhan, China, itu kini telah menyebar di 157 negara per 16 Maret 2020. Di Indonesia tecatat 117 positif, 8 sembuh, dan 5 meninggal dunia. Sejarah telah mencatat, Indonesia tidak kebal terhadap wabah penyakit menular. Sebut saja flu Spanyol tahun 1918 telah membunuh 1,5 juta penduduk Indonesia. Jauh sebelumnya, pada abad ke-17, wabah penyakit menular juga melanda Jawa yang mengakibatkan kematian dalam jumlah besar. H.J. de Graaf, ahli Jawa kuno, dalam Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung, menyebut setelahSurabaya menyerah, tampak kemunduran dalam kegiatan militer Susuhunan (Sultan Agung). Kecuali disebabkan oleh perluasan keraton dan keletihan oleh kerja keras selama tahun-tahun sebelumnya, kemunduranini juga akibat penyakit menular. Dalam laporan ke Negeri Belanda tanggal 27 Oktober 1625 telah diberitakan bahwa rakyat mengalami cobaan berupa “kematian, peperangan, kelesuan, bahan makanan yang mahal, dan pajak yang berat di seluruh tanah Jawa”. Laporan itu menyebutkan penyakit menular itu mengakibatkan sepertiga penduduk di Banten meninggal dunia dalam lima bulan . Di Batavia ada beberapa anggota Kristen meninggal dunia karena penyakit ini. Di Cirebon dalam musim kemarau lebih dari 2.000 orang meninggal dunia. Di Kendal, Tegal, Jepara, dan semua tempat pantai sampai Surabaya, demikian pula di beberapa daerah pedalaman, orang yang meninggal dunia tidak dapat dihitung. De Graaf mencatat bahwa penyakit masih merajalela pada tahun 1626. Di banyak tempat dua pertiga dari penduduk tewas disebabkan penyakit yang luar biasa ini. Kematian juga karena kerjapaksa sehingga pertanian mengalami kemunduran besar, sawah-sawah yang subur menjadi gersang. Pada 1627, banyak penduduk meninggal dunia karena wabah penyakit dan perang saudara. Beberapa tempat perdagangan di pantai laut ditinggalkan, pertanian sangat mundur, dan yang selamat dari wabah penyakit menjalani hidup dalam kemiskinan. “Jadi, dapat disimpulkan bahwa tanah Jawa dari tahun 1625 sampai 1627 ditimpa oleh penyakit berat dan menular yang merongrong kesejahteraan dan kekuatan rakyat,” tulis De Graaf. Wabah penyakit apakah itu? De Graaf mengatakan bahwa“kebanyakan disebabkan oleh penyakit paru-paru yang membuat orang demikian sesak napas, sehingga dalam satu jam saja dapat meninggal.” Sejarawan Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 1: Tanah di Bawah Angin , menyebut “wabah radang paru-paru merupakan penyebab menular yang menakutkan di Jawa pada tahun 1625-1626. Penyakit dada yang mematikan dalam satu jam telah membunuh 1/3 penduduk Banten dan 2/3 di beberapa daerah di Jawa Tengah.” Sementara itu, sejarawan Claude Guillot menyebut dengan jelas penyakit itu adalah pes. “Menurunnya jumlah penduduk diperparah lagi dengan adanya wabah hebat penyakit pes tahun 1625 yang merenggut nyawa sepertiga jumlah penduduknya,” tulis Guillot dalam Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X–XVII. Jumlah penduduk Kesultanan Banten antara 80.000 sampai 100.000 orang di pengujung abad ke-16, dan meningkat selama satu dasawarsa berikutnya sampai tahun 1609. Mulai tahun itu, jumlahnya mulai berkurang seiring pergantian pemerintahan yang mengekang kekuasaan para saudagar. Penurunan jumlah penduduk paling parah disebabkan oleh wabah pes. Sekitar tahun 1630, jumlah penduduknya menyusut drastis, kemungkinan besar tak lebih dari 50.000 orang. Menurut sejarawan Yuval Noah Harari dalam Homo Deus: Masa Depan Umat Manusia , wabah paling terkenal yang dinamai Maut Hitam (Black Death) itu meletup pada dekade 1330, di suatu tempat di Asia timur atau tengah, ketika bakteri Yersinia pestis mulai menginfeksi manusia yang digigit kutu. Dari sana, dengan menumpang armada tikus dan kutu, wabah dengan cepat menyebar ke seluruh Asia, Eropa, Afrika Utara, dan hanya dalam waktu kurang dari dua tahun mencapai pesisir-pesisir Samudra Atlantik. Antara 75 juta sampai 200 juta orang mati – lebih dari seperempat populasi Eurasia. Wabah pes di Jawa terjadi pada Pandemik Kedua. Pada tahun yang sama (1625) wabah menghancurkan London, Inggris, dan Amsterdam, Belanda; masing-masing kehilangan penduduk antara 10% sampai 30%. Dari sana, mungkin saja para pedagang membawa wabah itu masuk ke Banten, mengingat saat itu wilayah paling barat Pulau Jawa itu menjadi tempat perdagangan internasional, di mana beberapa negara asing memiliki kantor dagang (loji). Hal itu sebagaimana dinyatakan oleh Yuval bahwa kota-kota sibuk yang dihubungkan oleh arus tiada putus pedagang, pejabat, dan peziarah menjadi alas tumpuan peradaban manusia sekaligus menjadi lahan tumbuh ideal patogen (parasit yang mampu menimbulkan penyakit, red .). “Setelah kelaparan,” Yuval menyimpulkan, “musuh besar kedua kemanusiaan adalah wabah dan penyakit menular.”
- Gas Pol Balapan F1 di Tengah Pandemi Virus
AJANG Formula One (F1) Grand Prix Australia di Melbourne akhir pekan ini akhirnya dibatalkan. Dalam laman resminya, formula1.com , Jumat (13/3/2020), otoritas F1 meluluskan keputusan pembatalan itu setelah menggelar rapat terbatas bersama sembilan pimpinan tim peserta dan mayoritas menyatakan balapan lebih baik urung digelar gara-gara merebaknya COVID-19 atau virus corona. “Formula 1 dan FIA, dengan dukungan penuh Australian Grand Prix Corporation (AGPC) telah mengambil keputusan bahwa semua kegiatan Grand Prix Australia dibatalkan. Kami memahami ini kabar yang mengecewakan buat ribuan fans dan semua pemegang tiket akan menerima pengembalian pembayaran secara penuh,” demikian pernyataan otoritas FI. Sebelumnya, beberapa pembalap mengeluh dan khawatir mengingat wabah virus corona kian hari kian memuncak. Badan kesehatan dunia World Health Organization (WHO) pun sudah menyatakan COVID-19 bukan lagi wabah atau endemi, melainkan pandemi yang artinya sudah menyebar secara global dan di luar kendali. Satu di antara yang paling lantang mencemaskan “horor” virus corona itu adalah Lewis Hamilton, pembalap Inggris asal tim Mercedes. Ia merasa keamanan akan kesehatannya akan terancam jika otoritas F1 tetap menggelar seri Melbourne sebagai ajang balapan pembuka F1 musim 2020, akhir pekan ini, Minggu (15/3/2020). “Saya merasa sangat, sangat terkejut bahwa kita ada di sini, duduk di ruangan ini. Banyak fans yang datang terlepas seluruh dunia tengah bereaksi – yang mungkin sedikit terlambat. Tapi kita lihat (Presiden Amerika Serikat, Donald) Trump menutup perbatasan, NBA dihentikan, namun F1 jalan terus,” ujarnya dalam sesi konferensi pers, dikutip BBC , Rabu (11/3/2020). Otoritas F1 berjanji memberi refund penuh bagi para fans pemegang tiket F1 GP Australia yang terpaksa dibatalkan sebagai dampak pandemi COVID-19 (Foto: formula1.com ) Kala Hamilton protes, otoritas F1 masih tutup telinga, terlepas sebelumnya mereka sudah mencoret Grand Prix China yang di kalender F1 musim 2020 digelar 19 April mendatang. Mereka terpaksa mencoretnya lantaran di negeri Tirai Bambu itulah pandemi virus corona berasal. Pun dengan seri berikutnya, GP Bahrain (22 Maret), dan GP Vietnam (5 April) akhirnya ikut ditangguhkan. Otoritas F1 ujungnya membatalkan GP Australia, setelah seorang kru tim McLaren positif mengidap virus corona . Alhasil segenap tim McLaren diisolasi, termasuk dua pilot jet darat andalan mereka: Carlos Sainz dan Lando Norris. Pandemi Flu Asia Menerjang Lintasan Balap Dengan dihentikannya F1 GP Australia akibat ancaman virus corona, Lewis Hamilton dkk. mempersempit kemungkinan tertular virus sejenis influenza (flu) itu sebagaimana yang dialami para senior mereka 63 tahun lampau kala pandemi Flu Asia merambah secara global sebagaimana COVID-19 saat ini. Pandemi Flu Asia yang punya nama ilmiah virus Influenza A subtipe H2N2 itu mulai merambah dari China ke Asia Timur pada medio Februari 1957. Saat memasuki musim panas, virus itu mulai menerjang Eropa hingga Amerika Serikat. Hingga 1960, WHO mencatat jumlah korban meninggalnya mencapai dua juta jiwa di seluruh muka bumi. Di gelanggang F1, musim balapan 1957 tetap digulirkan seperti tak terjadi apa-apa. Alhasil, beberapa pembalap tertular Flu Asia. Utamanya, setelah GP Maroko di Sirkuit Ain-Diab, Casablanca, 27 Oktober 1957. Otoritas F1 seperti tak belajar dari bencana Flu Spanyol 1918, di mana tiga anggota keluarga Enzo Ferrari turut tertular. Dua di antaranya tinggal nama. “Ayahnya (Alfredo Ferrari) dan kakaknya (Alfredo Junior Ferrari) meninggal karena influenza pada 1916. Enzo Ferrari yang saat itu ikut bertugas di Resimen Artileri Gunung ke-3 pada Perang Dunia I melawan Jerman, juga hampir meninggal karena Flu Spanyol pada 1918,” tulis John Starkey dalam Ford versus Ferrari. F1 GP Maroko 1957 itu sejatinya merupakan ajang non-kompetitif, artinya tiada pembalap yang menjumput poin untuk mendongkrak posisi di klasemen. Ajang tersebut sebagaimana ajang-ajang non-kompetitif lain di sela-sela musim 1957, seperti GP Syracuse (7 April), GP Pau Grand (22 April), GP Napoli (28 April), GP Reims (14 Juli), GP Caen (28 Juli), dan GP Modena (22 September). Jean Behra (kanan) yang menjuarai F1 GP Maroko 1957 (Foto: Repro "Maserati 250F In Focus") GP Maroko digelar pada Oktober atau sebulan setelah GP Italia di Monza menutup musim kompetitif F1 1957. Namun otoritas F1 menggelarnya sebagai “pemanasan” sebelum GP Maroko masuk kalender resmi F1 di musim berikutnya, 1958. “Sayangnya sejumlah pembalap tertular Flu Asia, seperti Stirling Moss yang kemudian batal ikut start balapan. (Peter) Collins, (Juan Manuel) Fangio, (Mike) Hawthorn, dan (Harry Schell) turut jadi korban wabah influenza, dan meski mereka tetap balapan, tapi penampilan mereka off-form ,” ungkap Anthony Pritchard dalam Maserati 250F In Focus. Fangio, sang pemenang F1 musim 1957, saat itu memiloti kokpit Maserati, sebagaimana Schell. Sementara Collins dan Hawthorn membalap untuk tim Scuderia Ferrari. Adapun Moss, usai musim 1957 pindah dari Maserati ke tim Vanwall dan membatalkan keikutsertaannya lantaran sakit parah sebelum hari-H balapan. Collins yang sudah mulai menampakkan gejala flu, masih sempat memimpin di lap-lap pertama. Namun enam lap berikutnya, mobilnya tergelincir hingga disalip Jean Behra (Maserati). Collins akhirnya harus menghentikan balapannya setelah mengalami masalah pada pistonnya. “Hawthorn yang mengendarai (Ferrari) versi 2,2 liter juga mulai terdampak sakit flu saat balapan, hingga kemudian terpaksa menyerah untuk menepi ke pit-stop ,” lanjut Pritchard. Sedangkan Schell dan Fangio masih mampu menyelesaikan balapan walau tak bisa mengerahkan kemampuan terbaiknya. Schell harus puas di posisi lima, sementara Fangio, sang jawara musim 1957, finis di posisi empat. Podium GP Maroko 1957 1-2-3 berturut-turut menjadi milik Behra, Stuart Lewis-Evans (Vanwall), dan Maurice Trintignant (BRM). Usai balapan dan seremoni podium, semua pembalap masuk ruang medis. Meski terjangkit Flu Asia, Moss, Hawthorn, Fangio, Collins, dan Schell beruntung bisa sembuh dalam beberapa pekan.
- Melihat Lebih Dekat Keris Diponegoro
Sepanjang dua minggu terakhir jagat sejarah Indonesia tengah ramai. Keris Kiai Nogo Siluman milik Pangeran Diponegoro kembali ke Indonesia setelah hampir 189 tahun berada di Belanda. Sebelum pengembalian, keris itu melalui berbagai tahap verifikasi yang melibatkan para sejarawan antara lain Sri Margana. Kesimpulannya, benar bahwa keris itu milik Pangeran Diponegoro. Sejarawan UGM Sri Margana memeriksa keris Kiai Nogo Siluman di Museum Volkenkunde, Leiden, 24 Februari 2020. Disaksikan oleh Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid dan Duta Besar Republik Indonesia untuk Belanda, I Gusti Agung Wesaka Puja. (Bonnie Triyana/Historia). Rencana pemulangan keris pun disiapkan. Dan pada Kamis, 5 Maret 2020, keris bersejarah itu kembali ke Indonesia. Penyerahan keris dilakukan Duta Besar Indonesia untuk Belanda, I Gusti Agung Wesaka Puja. Keris itu diterima oleh Kepala Museum Nasional Indonesia, Siswanto, di Jakarta. Penyerahan keris dihadiri oleh Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid dan para staf Museum Nasional. Wajah-wajah sumringah dan takjub bermunculan saat keris bermotif naga tersebut dibuka. Detail keris Diponegoro. (Fernando Randy/Historia). Staf Museum Nasional saat memeriksa keris Diponegoro. (Fernando Randy/Historia). Bentuk utuh Keris Diponegoro usai tiba di Jakarta. (Fernando Randy/Historia). Leiden, kota tempat keris Diponegoro disimpan sebelum dikembalikan ke Indonesia. (Fernando Randy/Historia). Keris Kiai Nogo Siluman berbahan dasar besi warna hitam dengan ukiran warna emas. Terdapat wujud naga yang tubuhnya memanjang di sekujur bilah keris. Tubuh naga ini dulunya dilapisi emas namun sekarang hanya beberapa jejak emas yang tersisa. Itu sama sekali tidak mengurangi keanggunan keris yang langsung didaftarkan sebagai benda cagar budaya tersebut. Ada satu lagi wujud naga yang membuat keris ini dinamai Kiai Nogo Siluman. Ukiran naga itu tersembunyi di bagian bawah bilah keris yang berdekatan dengan gagang keris. Sosok naga ini hanya bisa terlihat dari posisi tertentu. Para staf Museum Nasional memeriksa kondisi keris saat tiba di Jakarta. (Fernando Randy/Historia). Semua staf museum takjub usai melihat sendiri keris tersebut. (Fernando Randy/Historia). Selanjutnya, Selasa 10 Maret 2020, keris Diponegoro dibawa ke Istana Negara, Bogor, Jawa Barat. Secara simbolik, Raja Belanda Willem Alexander menyerahkannya kepada Presiden Joko Widodo. Setelah prosesi ini, menguar harapan bahwa benda pusaka tersebut dapat dirawat dan dijaga dengan baik dan benar di sini. Sambil berharap bahwa keris ini bukanlah benda sejarah terakhir yang kembali ke Indonesia. Raja Belanda Willem Alexander dan rombongan saat tiba di Istana Bogor Jawa Barat. Raja Belanda Willem Alexander. (Fernando Randy/Historia). Raja Belanda Willem Alexander dan istri berdiskusi bersama Presiden Joko Widodo mengenai keris Kiai Nogo Siluman milik Pangeran Diponegoro, di Istana Bogor. (Fernando Randy/Historia). Raja Belanda Willem Alexander bersama Presiden Joko Widodo di Istana Bogor. (Fernando Randy/Historia). Keris Kiai Nogo Siluman langsung dimasukan sebagai salah satu benda bersejarah oleh Museum Nasional. (Fernando Randy/Historia).
- Keris Pangeran Diponegoro yang Dijual
KERIS Pangeran Diponegoro dikembalikan kepada Indonesia dan menjadi koleksi tetap Museum Nasional. Keris ini ditemukan melalui penelitian panjang (2017-2018 dan 2019). Para peneliti dari Nationaal Museum van Wereldculturen, Leiden, menyimpulkan bahwa keris bernomor register RV-360-8084 adalah keris Pangeran Diponegoro bernama Kiai Nogo Siluman. Nama itu berdasarkan sumber pertama tentang keris itu, yaitu surat Sentot Alibasah Prawirodirdjo tanggal 27 Mei 1830. Panglima perang Diponegoro itu menyebut Kiai Nogo Siluman adalah keris Pangeran Diponegoro yang diberikan kepada Kolonel Jan-Baptist Cleerens, komandan pasukan Belanda. Pada bagian pinggir surat itu, pelukis Raden Saleh memberikan penjelasan mengenai arti Kiai Nogo Siluman, setelah diminta mengidentifikasi keris itu oleh S.R.P. van de Kasteele, Direktur Koninklijk Kabinet van Zaldzaamheden (Kabinet Kerajaan untuk Barang Antik). Cleerens berperan dalam mengakhiri Perang Jawa dengan cara membujuk Pangeran Diponegoro agar mau berunding yang ternyata jebakan. Diponegoro ditangkap Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock dalam perundingan di Karesidenan Kedu, Magelang, pada 28 Maret 1830. Pada perundingan itu, menurut P. Swantoro dalam Dari Buku ke Buku , sebenarnya terlintas dalam pikiran Pangeran Diponegoro untuk membunuh Letnan Janderal De Kock dengan menusukkan keris ketika keduanya duduk bersanding di sofa di kediaman Residen Kedu. “Pikiran ini segera dilenyapkan oleh Sang Pangeran, karena batinnya membisikkan, tidak akan baik akibatnya bertindak amuk-amukan. Ia akan kehilangan citra keagungannya sebagai raja. Lagi pula, ia toh sudah tidak mempunyai teman lagi di Tanah Jawa. Lebih baik ia bersandar atau menyerah kepada takdir,” tulis Swantoro yang mengutip Babad Dipanegara. Armada Belanda yang dipimpin Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock dalam menaklukan Kesultanan Palembang tahun 1821. Lukisan karya Louis Meijer. (Rijksmuseum/Wikipedia Commons). Keris Diponegoro Dijual Sebelum melawan Diponegoro, pada 1821 De Kock memimpin ekspedisi militer untuk menaklukan Kesultanan Palembang. Sultan Mahmud Badaruddin II dibuang ke Ternate. De Kock kemudian diangkat menjadi residen Palembang. Pada 1826, ia dipanggil untuk memimpin pasukan Belanda melawan Pangeran Diponegoro. Ia menangkap Sang Pangeran pada 28 Maret 1830. Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Wardiman Djojonegoro, menyebut bahwa setelah pulang ke Belanda, akhir Oktober 1830, De Kock meminta pelukis ternama Nicolaas Pieneman untuk menggambarkan penangkapan Pangeran Diponegoro di kediaman Residen Kedu, Magelang. Pangeran Diponegoro digambarkan berdiri dengan wajah letih dan dua tangan terbentang. Di belakangnya, Letnan Jenderal De Kock berdiri bertolak pinggang menunjuk ke kereta tahanan, seolah-olah memerintahkan penahanan Diponegoro. “Sekumpulan tombak yang terhampar di tanah menunjukkan ketidakberdayaan. Demikian juga tidak tampak keris di pinggang Pangeran Diponegoro,” tulis Wardiman dalam Sejarah Singkat Diponegoro. Raden Saleh merespons lukisan “Penaklukan Diponegoro” (1835) karya Pieneman dengan lukisan “Penangkapan Diponegoro” (1857). “Berbeda dari Pieneman, di lukisan Raden Saleh, Pangeran Diponegoro tetap digambarkan berdiri dalam pose siaga yang tegang. Wajahnya yang bergaris keras tampak menahan marah, tangan kirinya mengepal,” kata Werner Kraus, kurator asal Jerman. Dalam lukisan Raden Saleh, keris Diponegoro juga tak terselip di pinggangnya. Setelah kembali ke Belanda, De Kock menerima gelar “ baron ” karena menang melawan Diponegoro. Ia kemudian menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri (1836–1841), Menteri Negara (1841–1845), dan anggota parlemen hingga kematiannya pada 12 April 1845. Ternyata, bukan hanya Cleerens yang membawa keris Pangeran Diponegoro. Laporan hasil penelitian keris Pangeran Diponegoro yang dikeluarkan oleh Nationaal Museum van Wereldculturen pada 20 Januari 2020, mengungkapkan bahwa De Kock juga memiliki keris Pangeran Diponegoro. Laporan menyebut bahwa keris itu dijual oleh pedagang barang seni Damme di Den Haag, Belanda, pada 1931. Menurut Damme, keris itu pernah menjadi milik keluarga Letnan Jenderal De Kock. Menurut Caroline Drieënhuizen dalam “Koloniale collecties, Nederlands aanzien: de Europese elite van Nederlands-Indië belicht door haar verzamelingen, 1811-1957”, tesis di Universitas Amsterdam tahun 2012,sebelum di tangan Damme,keris itu dimiliki oleh kepala rumah perdagangan Pryce and Co., Herman Holle (saudara lelaki Karel Holle, pemilik perkebunan teh di Garut) dan keluarga Van Blommestein. Keris itu kemungkinan dipajang dalam pameran seni Asia di Amsterdam pada 1936, yang menampilkan koleksi pribadi dan publik Belanda. “Katalog pameran menyatakan bahwa keris Diponegoro terletak di antara semua krisis yang ditampilkan. Keris itu termasuk dalam koleksi Jan Gerard Huijser (1878-1962),” tulisCaroline. Caroline mencatat bahwa sejak tahun 1910, Jan Gerard Huijser,presiden Rechtbank dan seniman amatir mengumpulkan barang-barang seni dari tempat kelahirannya, Hindia Belanda, khususnya senjata seperti keris, pedang, dan tombak dari Bali dan Jawa. Ia juga menjadi perantara antarkolektor dan teman baik ayah dari kolektor seni Hindia Belanda yang terkenal, Carel Groenevelt. Lukisan “Penaklukan Diponegoro” (1835) karya Nicolaas Pieneman yang dipesan Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock. (Rijksmuseum/Wikipedia Commons). Keris Diponegoro yang Lain Laporan juga menyebut bahwa artikel suratkabar dari tahun 1885 dan 1914 menyebutkan keris dan tombak Pangeran Diponegoro. Pada 1885, kedua benda tersebut disumbangkan kepada Ede Reményi, pemain biola dan komposer Hungaria. Pada 1914, keris dan tombak sekali lagi disebutkan bersama-sama, ketika bupati Magelang menyerahkan benda-benda itu untuk pameran di Semarang. Selain itu, laporan menyebutkan bahwa keris yang disumbangkan ke Weltmuseum di Wina oleh George Lodewijk Weijnschenk pada 1886 juga dikaitkan dengan Pangeran Diponegoro. Keris itu milik sultan Yogyakarta, Hamengku Buwono IV, yang kemungkinan diserahkan kepada Diponegoro setelah sultan meninggal. “Tidak jelas bagaimana keris itu menjadi koleksi pribadi Weijnschenk,” sebut laporan itu. George Lodewijk Weijnschenk lahir di Yogyakarta pada 1847. Ia adalah anak dari pengusaha perkebunan, George Weijnschenk, dengan perempuan Jawa bernama Ramag. Kakeknya, Leopold Weijnschenk, datang ke Hindia Belanda dari Wina pada 1780. Menurut Caroline, pada 1886 George Lodewijk Weijnschenk, penyewa tanah di daerah Kasunanan, menyerahkan beberapa benda seni dari koleksinya, termasuk wayang, dan konon, keris Diponegoro sebagai hadiah kepada Kaisar Austria, Franz Joseph. Pada 1910, ia juga menyumbangkan satu set gamelan ke sebuah lembaga di Wina, mungkin Museum Naturhistorisches. Keris lain yang diyakini milik Pangeran Diponegoro adalah Kiai Omyang koleksi Museum Sasana Wiratama di Yogyakarta dan Kiai Wisa Bintulu yang tersimpan di Gedong Pusaka Keraton Yogyakarta.*
- Dhapur dan Penamaan Keris yang Berbeda Itu Biasa
Kembalinya keris Kiai Nogo Siluman milik Pangeran Diponegoro ke Indonesia dari Belanda memunculkan perdebatan. Banyak yang mempertanyakan kesahihan keris itu lantaran keris itu ber- dhapur Nagasasra bukan Nogo Siluman. Namun, perdebatan soal itu tampaknya tak perlu diperpanjang lagi. Pasalnya, menurut Boedhi Adhitya, pemerhati keris dari Paheman Memetri Wesi Aji (Pametri Wiji), organisasi pecinta budaya keris yang didirikan di Yogyakarta, persoalan nama keris dan nama dhapur keris seharusnya dipisahkan. Nama dhapur adalah nama bentuk keris. Nama ini diberikan sesuai dengan ciri-ciri bentuk yang ada pada sebilah keris. Utamanya ditentukan dari lurus atau jumlah lekukan pada bilah keris ( luk ). Pun dari ragam ricikan yang dimiliki. “ Ricikan adalah detail hiasan bilah. Jumlah detail ricikan ini ada sekira 25 lebih, namun tidak semuanya ada dalam sebilah keris. Ada yang hanya punya dua ricikan , lima, dan seterusnya,” kata Boedhi kepada Historia . Sementara nama keris atau nama gelarnya adalah nama spesifik yang diberikan pemilik kepada sebilah keris. Nama, menurut Boedhi, bisa berganti-ganti sesuai kehendak pemilik. “Misal penggemar ayam aduan punya seekor ayam jago bangkok, lalu dia beri nama Si Pelor, karena pukulannya yang cepat. Maka dalam istilah perkerisan, dapat kita ibaratkan ayam tersebut adalah Kiai Pelor, dhapur -nya Jago Bangkok. Nama Si Pelor dapat diganti, sedangkan ras Ayam Bangkok sudah baku sejak lahir, sulit diubah,”jelas Boedhi. Karenanya, menurut Boedhi, keris Diponegoro dengan nama gelar Kiai Nogo Siluman yang memiliki dhapur Nagasasra itu tak perlu lagi menjadi perdebatan. Bisa saja Pangeran Diponegoro, menurut kehendaknya sendiri memberi nama Nogo Siluman pada kerisnya itu. “Memberi nama tentunya menurut kehendak mereka, tanpa mempertimbangkan pendapat kita,” ujar Boedhi. Dari sisi pakem atau aturannya, memberi nama keris berbeda dengan dhapur -nya , sama sekali bukan hal yang termasuk larangan. Selama ini pakem keris tertulis yang biasa dimuat dalam teks tradisional biasanya meliputi nama dhapur , nama ricikan , nama pamor dan ciri-ciri tangguh . Ada juga yang memuat cerita tentang mpu dan dhapur yang diciptakannya, serta pada masa kerajaan apa mpu itu hidup. Karenanya soal penamaan gelar keris yang berbeda dengan nama dhapur -nya bukan hal aneh dalam dunia perkerisan. Boedhi mencontohkan, ada salah satu pusaka utama Keraton Yogyakarta, yang bergelar Kanjeng Kiai Ageng Bethok. Dalam ilmu perkerisan, dhapur Bethok adalah keris yang bentuknya pendek dan lebar dengan gandik yang polos. Kenyataannya, Kanjeng Kiai Ageng Bethok ini justru tak berdhapur Bethok. “Kiai Bethok tidaklah ber- dhapur Bethok, dalam Babad Tanah Jawa disebutkan memiliki sekar kacang, padahal dhapur Bethok seharusnya tidak punya,” jelas Boedhi. Contoh lainnya, Kiai Crubuk. Ini adalah keris terkenal peninggalan Sunan Kalijaga. Saat ini ia tersimpan di Masjid Demak. Dalam ilmu keris, Crubuk adalah nama dhapur keris luk 7. Namun, Kiai Crubuk ternyata berbentuk lurus. “Hingga saat ini, sejauh yang saya ketahui, belum ada yang mempertanyakan keasliannya,” kata Boedhi. “Jadi Kiai Bethok tidak ber- dhapur Bethok, Kiai Crubuk tidak ber- dhapur Crubuk, Kiai Nogo Siluman tidak ber- dhapur Naga Siluman. Kiai Bethok dan Kiai Crubuk adalah pusaka terkenal turun temurun.” Nagasasra atau Nagaraja? Perdebatan di media sosial juga bukan hanya menyoal nama dhapur dan nama gelar keris yang tak sesuai. Persoalan nama dhapur keris ini pun mengundang perbedaan pendapat. Ada yang sepakat keris ini ber- dhapur Nagasasra. Ada pula yang kekeuh keris Kiai Nogo Siluman ini ber- dhapur Nagaraja. Boedhi menjelaskan kalau ada beragam sumber pengetahuan tentang keris. Ada yang berasal dari teks tradisi, seperti babad misalnya. Ada pula yang berupa pengetahuan lisan. Bahkan, ada yang istilahnya hanya lazim disebutkan dalam dunia perdagangan keris. “Istilahnya bahasa dagang, bahasa bakul,” katanya. “Ketiganya perlu dibedakan.” Contohnya, dalam dunia perdagangan keris, ada yang disebut Keris Sombro atau dhapur Sombro. Namun dalam naskah-naskah kuno, nama ini tak ditemukan. Yang tercatat adalah Mpu perempuan bernama Ni Mbok Sombro. “Dengan demikian, apa yang saat ini lazim disebut Keris Sombro sesungguhnya tidak ditunjang oleh teks-teks tradisi yang ada. Bisa jadi istilah ini adalah ‘jargon’ yang belum terlalu lama dibuat,” kata Boedhi. Begitu pula dengan nama dhapur Nagaraja. Boedhi telah menelusuri lewat buku-buku dhapur yang ia miliki. Seperti daftar nama dhapur dalam Serat Centini, naskah Keraton Yogyakarta yang ada di Belanda, nama dhapur yang disusun oleh Pangeran Hadiwijaya, putra Paku Buwono X Surakarta, nama dhapur dalam buku Keris Jawa antara Mistik dan Nalar karya Haryono Haryo Guritno. “Tidak ditemukan nama dhapur Nagaraja. Belum saya ketemukan teks naskah lama yang mencantumkan nama dhapur itu,” ujar Boedhi menyimpulkan. “Dapat dikatakan ini adalah nama dhapur yang tidak pakem menurut tradisi, bila mengacu pada catatan tekstual.” Kendati begitu, memang dalam dunia perdagangan keris dhapur Nagasasra dan Nagaraja itu dibedakan. Perbedaannya pada bentuk tutup kepala yang digunakan oleh naga. Pada Nagasasra, tutup kepala seperti yang digunakan oleh wayang Adipati Karna. Sementara pada Nagaraja, tutup kepala berbentuk mahkota ( makutha ), seperti yang digunakan wayang Kresna. “Karena bermahkota, sedangkan mahkota digunakan raja, maka naga bermahkota disebut naga raja, dalam perdagangan,” kata Boedhi. Sementara ciri lainnya relatif sama, yaitu keris ber- luk 13, atau 11, dan ada juga yang 9. Gandiknya berbentuk kepala naga. Lalu terdapat badan naga yang memanjang mengikuti bentuk bilah. “Perbedaan dengan dhapur Nogo Siluman adalah keris ber- dhapur Naga Siluman hanya bergandik kepala naga, tidak memiliki badan,” lanjut Boedhi. Layak Dimiliki Pangeran Diponegoro Lalu apakah mungkin keris indah dan mewah ini dimiliki oleh Pangeran Diponegoro? Kalau menurut Boedhi, keris yang baru saja dikembalikan itu sangat layak dimiliki oleh seseorang bergelar pangeran seperti Pangeran Diponegoro. “Beliau adalah seorang pangeran senior, putra tertua dari Hamengku Buwono III dari istri selir,” ucapnya. Sejauh yang dipahami Boedhi, belum ada Awisan Dalem atau LaranganDalem yang membatasi seseorang memiliki dhapur keris tertentu. Kendati memang ada angger-angger atau undang-undang Awisan Ratu atau LaranganDalem mengenai barang atau atribut pakaian yang terlarang dikenakan selain raja. “Namun demikian, ketika mpu membuat keris, pemilihan dhapur dan pamornya tentu tidak serampangan. Banyak hal yang dipertimbangkan, salah satunya kedudukan sosial pemesan,” ujar Boedhi. Kendati mungkin dimiliki oleh Pangeran Diponegoro, keris ini tak dibuat pada masa ia hidup. Menurut Boedhi, berdasarkan bentuknya, keris Kiai Nogo Siluman milik Pangeran Diponegoro itu dapat disebut sebagai tangguh atau gaya Mataram. “Kemungkinan dibuat zaman pemerintahan Sultan Agung,” ujarnya. Menurut tradisi, Boedhi menjelaskan, keris dhapur Nagasasra yang pertama kali dibuat diciptakan oleh Jaka Supa II, putra dari Jaka Supa I atau Pangeran Sedayu pada masa akhir pemerintahan Majapahit. Adalah hal umum dalam dunia perkerisan, bahwa dhapur yang dulu sudah pernah dibuat, dibuat kembali pada zaman yang berbeda. Dhapur Nagasasra juga begitu. Dhapur Nagasasra cukup populer. Ia lalu banyak dibuat, khususnya pada masa pemerintahan Mataram Islam. “Ciri bentuknya sama, tetapi gaya pembuatan setiap zaman berbeda-beda, sesuai selera pada masa itu. Pada prinsipnya, perbedaan ini terlihat pada gaya bentuk, teknik tempa dan bahan material yang digunakan,” jelas Boedhi. Maka tak heran jika saat ini keris ber- dhapur Nagasasra, yang mirip wujudnya dengan Kiai Nogo Siluman tidak hanya ada satu, yaitu keris yang baru saja kembali dari Belanda itu. Keris berciri serupa salah satunya menjadi koleksi Museum Nasional, Jakarta. “Museum-museum luar negeri juga ada. Kolektor-kolektor keris pun ada yang punya,” kataBoedhi. Mengenai bagaimana keris itu bisa sampai ke tangan Pangeran Diponegoro? Ini sayangnya tak ditemukan catatannya. “Kita hanya bisa berspekulasi,” ujarnya. Sejauh yang Boedhi ketahui, arsip Keraton Yogyakarta tidak mencatat keris-keris yang diberikan raja pada seseorang. Biasanya yang dicatat adalah asal-usul keris yang ada pada saat catatan itu dibuat. Ini disimpan di Gedong Pusaka Keraton. “Keris pusaka Keraton Yogya yang dikaitkan dengan Pangeran Diponegoro yang kerisnya masih tersimpan di Gedong Pusaka Keraton Yogyakarta hingga saat ini adalah Kanjeng Kiahi Wisa Bintulu,” kata Boedhi. Bisa jadi keris Kiai Nogo Siluman ini dimiliki Pangeran Diponegoro karena warisan, baik lewat garis ibu maupun bapak. Kalau bukan karena warisan, mungkin hasil pembelian, hadiah atau pemberian seseorang seperti tombaknya Kiai Cakra yang konon merupakan pemberian. Kalau tidak, keris itu bisa jadi tidak sengaja ia temukan. Namun,kemungkinannya kecil kalau keris itu adalah warisan. Pasalnya sebagai keris warisan tentu dihargai. “Bukan berarti Pangeran Diponegoro tidak menghargai keris ini ya. Tapi artinya bukan merupakan keris andalan,” kata Boedhi. Kerisnya yang paling berharga lebih mungkin adalah Kiai Bondoyudo yang ikut dikubur bersama jasad Diponegoro. Adapun soal perdebatan yang kini ramai di media sosial, menurut Boedhi, ini hal biasa di dunia perkerisan. Namun bagi Boedhi, siapapun yang mendebat harus punya bukti dan alasan yang kuat.
- Ketika Paus Sastra Indonesia Menerjemahkan Max Havelaar
Hans Bague (H.B.) Jassin, Paus Sastra Indonesia, telah meninggal dunia 20 tahun lamanya (11 Maret 2000). Tapi amalnya semasa hidup terus kekal hingga kini. Dia berjasa mengembangkan kehidupan, dokumentasi, dan penerjemahan sastra di Indonesia. Di bidang terakhir, amal Jassin paling kesohor ialah menerjemahkan novel Max Havelaar karya Eduard Douwes Dekker alias Multatuli serentang 1971–1972. Sastrawan Eka Budianta berpendapat terjemahan Jassin sangat halus. Bahkan cenderung melankolik. “Dia mengarahkan Max Havelaar ke bacaan keluarga,” kata Eka kepada Historia, usai mengisi acara "H.B. Jassin Sang Penjaga Sastra" di Bentara Budaya Jakarta, 12 Maret 2020. Eka mencontohkan bagian ini. Aku tidak tahu di mana aku akan mati. Kulihat lautan luas di pantai selatan. Ketika aku membuat garam di sana bersama ayahku . “Saya terpesona pada nyanyian Melankolis Saidjah yang terasa mendalam di hati Havelaar. Saya tidak menyangka bahwa untuk membuat garam di masa kolonial diperlukan keberanian. Mengapa? Karena produksi garam dimonopoli oleh pemerintah,” catat Eka dalam “Harapan, Keberanian, Kemanusiaan Kita”, makalah pada Festival Multatuli di Rangkasbitung, 10 September 2019. Saidjah (Saijah ejaan sekarang, red .) adalah salah satu tokoh dalam Max Havelaar . Dia penduduk Lebak, Banten, dan menjadi korban kesewenang-wenangan penguasa setempat. Max Havelaar adalah Asisten Residen di Lebak. Dia personifikasi Eduard Douwes Dekker, penentang polah sewenang-wenang penguasa. Sebelum Jassin menerjemahkan Max Havelaar , buku ini mempunyai cerita panjang hingga sampai ke tangan Jassin. Max Havelaar memuat kisah perilaku menyeleweng Bupati Lebak, sikap abai atasan Dekker terhadap penyelewengan, kondisi orang tempatan yang rudin, dan hayat Max Havelaar sebagai tokoh utamanya. Terbit perdana di Belanda pada 14 Mei 1860, Max Havelaar cepat menggetarkan Negeri Belanda. Orang-orang jadi mafhum keadaan penduduk di negeri koloni. Banyak orang percaya bahwa kisah ini faktual. Segelintir lainnya tidak. Tapi mereka diam-diam membenarkan gagasan kemanusiaan di dalamnya. Kemudian Max Havelaar masuk ke Jawa pada Oktober 1860. Surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad mengulas buku itu dalam edisi 27 Oktober 1860. Sepenggal ulasannya berupa pujian kepada hasil kerja Multatuli. "Apa yang ia tulis telah mendapatkan tempat terhormat di antara harta yang berharga daripada kesusastraan kita," tulis Herman des Amorie van der Hoeven, redaktur surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad seperti dikutip Willem Frederik Herman dalam Multatuli yang Penuh Teka-Teki . Tahu dari Guru Sirkulasi Max Havelaar mendorong perubahan secara bertahap di Hindia Belanda. "Boleh dikatakan bahwa sejak tahun 1860 muncullah suatu generasi baru dalam kalangan pegawai BB ( Binnelaand Bestuur atau pegawai negeri Hindia Belanda berkebangsaan Belanda, red .) yang diutus dari Belanda. Mereka hampir semua pernah membaca buku tersebut, mereka hampir semua kurang lebih terpengaruh oleh ide-idenya," ungkap Rob Nieuwenhuys dalam Bianglala Sastra: Bunga Rampai Sastra Belanda tentang Kehidupan di Indonesia . Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan untuk memperluas pendidikan untuk kalangan anak negeri. Sekolah didirikan, lalu muncullah kaum melek huruf latin. Mereka juga mampu berbahasa Belanda. Dan pada akhirnya, mereka mengenal Max Havelaar . Generasi ini bersambungan hingga awal abad ke-20. Jassin sebagai generasi kelahiran 1917 memperoleh pendidikan cukup baik. Ayahnya gila baca. Begitu pula dirinya. Dia pertama mengetahui Max Havelaar dari M.A. Duisterhof, guru sekolah dasarnya (dulu disebut Hollandsch-Inlandsche School). Duisterhof membacakan sebagian cerita dalam Max Havelaar kepada murid-muridnya di kelas. Antara lain penggalan pidato Max Havelaar kepada orang-orang di Lebak dan romansa Saijah dan Adinda. “Meskipun kami sebagai anak kelas lima belum mengerti segalanya, kami merasa pidato dan cerita itu bagus sekali karena keindahan bunyi dan irama dan terutama karena pandainya kepala sekolah kami membacakannya,” kenang Jassin dalam “Saya dan Max Havelaar”, termuat di Horison , November 1973. Sejak itu nama Multatuli bermukim di benak Jassin. Menurutnya, Multatuli menulis dari rasa keadilan yang dimengerti oleh setiap orang. “ Max Havelaar bukan saja suatu dokumen sejarah tapi juga suatu gagasan terhadap keburukan-keburukan yang terasa aktuil dalam setiap masyarakat,” kata Jassin. Karena muatan termaksud, Jassin menduga bahwa Balai Pustaka, penerbit milik pemerintah kolonial di mana dia juga bekerja di dalamnya, enggan menerjemahkan dan menerbitkan Max Havelaar . Tidak Layak dan Raib Begitu Indonesia merdeka, sentimen anti-Belanda menguat. Tapi tidak pada Max Havelaar . Bakrie Siregar, sastrawan anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), memelopori penyaduran sejumlah bagian cerita itu. Tapi selama lebih dari satu abad usia Max Havelaar , ia belum pernah diterjemahkan dan diterbitkan secara utuh dalam bahasa Indonesia. D.N. Aidit, ketua CC PKI, pernah menyebut alasan mengapa Max Havelaar belum ada terjemahannya. “Ada kawan-kawan yang berpendapat bahwa karya-karyanya tidak bisa dimasukkan ke dalam sastra Indonesia karena ditulis dalam bahasa asing, bahasa Belanda,” kata Aidit dalam pidato bertajuk “Kapan Ronggowarsito dan Multatuli Diterjemahkan", 1 September 1964. Aidit menekankan pentingnya penerjemahan Max Havelaar. “Multatuli dalam karya-karyanya mengungkapkan tema-tema Indonesia dan ia menulis dengan kecintaan yang besar kepada rakyat Indonesia,” kata Aidit. Dia menyeru kepada para sastrawan untuk jangan bersikap pasif terhadap karya Multatuli. Kemudian para sastrawan menyambut seruan itu. Tapi sayang hasil terjemahan mereka tak pernah terbit. “Karena tidak memenuhi syarat untuk diterbitkan,” catat Horison , November 1973. Pramoedya Ananta Toer, sastrawan besar Indonesia, juga pernah menyelesaikan terjemahan Max Havelaar . Tapi manuskrip terjemahan itu raib ketika Pram diasingkan ke Pulau Buru saat Orde Baru berkuasa. Terjemahan Laris Jassin menyambung segala ikhtiar penerjemahan orang-orang sebelumnya. Masanya pun klop. Pemerintah Indonesia-Belanda menyetujui beberapa kesepakatan budaya ketika itu. Jassin pun memperoleh subsidi dari pemerintah Belanda untuk menerjemahkan Max Havelaar. Jassin mengaku menerjemahkan Max Havelaar dengan nikmat. “Saya menikmati bahasa dan gayanya, pikiran-pikiran, dan rasa kemanusiaannya, saya geli membaca tingkah Droogstoppel (salah satu tokoh dalam Max Havelaar, red. ) yang sok pintar dan uraian-uraian ‘logikanya’ yang kontradiktoris dan saya turut merasakan dengan Max Havelaar yang dipersalahkan, yang berjuang untuk hak dan keadilan,” terang Jassin. Kesulitan menerjemahkan tentu ada. Jassin tak memungkiri. Dia memang fasih berbahasa Belanda. Tapi Max Havelaar mengandung kata-kata dan idiom dari masa seabad silam. Banyak kata dan idiom sudah tak terpakai lagi pada masa dia menerjemahkan. Dia harus menyesuaikan semua itu agar terjemahan bisa masuk ke pembaca semasa. "Saya sebisa-bisanya mempergunakan bahasa Indonesia percakapan dengan kata-kata yang diambil dari dialek Jakarta, sebab Multatuli mempunyai gaya yang paling tepat dapat dinyatakan dengan bahasa pergaulan Indonesia biasa," kata Jassin. Contoh kata-kata terjemahan itu antara lain: konyol, brengsek, melotot, ngeluyur, dan setan alas. Selain dialek Jakarta, Jassin menyertakan pula khazanah kata Melayu dan Minangkabau dalam penerjemahan, seperti kata memiuh, belia, kakas (keras), menghala (menuju atau mengarah), menggalakkan (mendorong), peluang, dan sebati (inheren). Jassin mendiskusikan terjemahannya dengan A. Teeuw, pakar sastra Indonesia dari Universitas Utrecht. Jassin fasih berbahasa Belanda, tapi tetap meminta orang lain mengoreksi kesalahannya. Ini terungkap dalam suratnya kepada Teeuw, 16 Februari 1972. "Syukur sekali saudara sudi membacanya dan membandingkannya dengan aslinya, sehingga dapat dihindarkan beberapa kesalahan menyolok karena kekurangtelitian dan kadang-kadang juga kekurangmengertian dalam bahasa Belanda," tulis Jassin dalam Surat-Surat 1943 – 1983. Terjemahan Jassin diterbitkan oleh Djambatan. Hasilnya laris manis. Lima ribu eksemplar cetakan pertama pada pertengahan 1972 habis terjual. Atas kerjanya itu, Jassin memperoleh undangan Panitia Inti Persetujuan Kebudayaan untuk bertamu ke Belanda pada September 1972. Sesampai di Negeri Belanda, Jassin bekerja mendokumentasikan catatan-catatan sastra Indonesia yang tersimpan di badan arsip dan perpustakaan setempat. Dia juga mendapat kabar bahwa karya terjemahannya masuk nominasi penghargaan Martinus Nijhoff. Martinus Nijhoff adalah penghargaan yang diinisiasi oleh Prins Bernhard Fonds untuk kategori terjemahan puisi, drama, atau prosa yang istimewa karena nilai sastranya. Dan Jassin akhirnya terpilih sebagai pemenangnya. Di Indonesia, terjemahan Jassin terus mengalami cetak ulang tiap dekade. Sekarang sejumlah penerbit menerjemahkan ulang Max Havelaar dengan bahasa yang lebih bisa ditangkap generasi sezaman. Tapi mereka tetap menaruh terjemahan Jassin di tempat terhormat, sebagai pembanding atau rujukan utama terjemahan mereka.






















