top of page

Hasil pencarian

9597 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Isaac de Saint-Martin, Tuan Tanah Pengumpul Naskah

    Pada Maret 1682, pasukan VOC berlayar menuju Banten. Mereka datang untuk membantu putra mahkota, Sultan Haji, yang berperang melawan ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa. Pada saat itu, Sultan Haji sudah terkepung di dalam istananya. Para pendukung Sultan Ageng Tirtayasa telah berhasil merebut kembali kota. VOC bersedia membantu dengan syarat para budak dan pembelot yang melarikan diri dari Batavia dikembalikan sekalipun mereka telah masuk Islam, para perompak dihukum dan VOC diberi ganti rugi, tuntutan Banten terhadap Cirebon ditarik kembali, keterlibatan dalam masalah Mataram dihentikan, dan yang terpenting orang-orang Eropa saingan VOC diusir dari pelabuhan Banten. Dengan kata lain, menurut sejarawan M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern, 1200-2004 , VOC berjanji akan membantu putra mahkota apabila dia mau melepaskan kebijakan luar negeri Banten yang bebas dan melepaskan basis kemakmurannya. Karena posisinya semakin sulit, akhirnya sang pangeran terpaksa menerima semua persyaratan itu. Artileri VOC memaksa Sultan Ageng Tirtayasa keluar dari kediamannya. Setelah dikejar sampai ke daerah-daerah pegunungan, dia pun menyerah pada Maret 1683. Dia ditahan di Banten, kemudian dipindahkan ke Batavia, tempatnya wafat pada 1695. Salah satu pemimpin pasukan VOC itu adalah Isaac de l’Ostale de Saint-Martin. Dia lahir di Oloron, Bearn, Prancis, pada 1629, dari keluarga bangsawan Huguenot (Calvinis). Tak diketahui kapan dia pergi ke Belanda. Setelah menjalani pelatihan di Angkatan Darat Belanda, dia berangkat ke Batavia. Dia terlibat dalam berbagai ekspedisi militer VOC. Saint-Martin menjadi letnan di Batavia pada 1662. Dia bertugas di bawah Laksamana Rijcklof van Goens (kemudian menjadi gubernur jenderal VOC 1678-1681) dalam melawan Portugis di pantai barat India. Pada 1663, dia ikut merebut Cochin (Kochi) di Kerala, India. Setelah itu, dia ditugaskan di Kolombo, Ceylon (Srilanka) hingga tahun 1672. Saint-Martin kembali ke Batavia sebagai kapten, kemudian mayor. Dia kembali terlibat ekspedisi militer VOC dengan membantu Kerajaan Mataram melawan Trunajaya pada 1675. Setelah itu, dia ikut dalam serangan ke Ternate pada 1679. “Pada tahun 1682, dia memimpin serangan melawan Sultan Ageng Tirtayasa di Banten,” tulis sejarawan Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Batas-Batas Pembaratan . Setelah VOC berhasil menguasai Banten dengan membantu Sultan Haji, Saint-Martin kembali ke Belanda. Pada 1683, dia tinggal di Utrecht dengan rekannya, Hendrik van Rheede, seorang naturalis. Seperti temannya itu, dia tertarik pada botani. Pada 1684, Saint-Martin berlayar lagi ke Batavia. Namun, tak lama kemudian, dia pergi ke Tanjung Harapan. Pada 1685, dia bersama Simon van der Stel, gubernur Belanda pertama di Tanjung Harapan, melakukan perjalanan ke utara untuk mencari tanaman medis atau ekonomis. Sebuah lembah di utara Piketberg (kota di Western Cape, Afrika Selatan) dinamai Lostal, nama panggilan Saint-Martin. Tanah dan Naskah Ketika kembali ke Batavia, Saint-Martin menjadi anggota Dewan Hindia. Sebagai pejabat tentu dia memiliki tanah yang luas di beberapa tempat, seperti di pinggir sebelah timur sungai Bekasi, di Cinere (dulu disebut Ci Kanyere), sebelah timur Sungai Krukut, di Tegalangus, dan di kawasan Ancol. Luas seluruhnya ribuan hektar. “Satu di antaranya terletak di bekas bandara Kemayoran, dan hampir dapat dipastikan bahwa nama tempat tersebut berhubungan dengan pangkatnya (tanah milik Mayor),” tulis Lombard. Nama kawasan tersebut biasa disebut Mayoran, seperti tercantum dalam Plakaatboek  dan sebuah iklan pada Java Government Gazette , 24 Februari 1816. Saint-Martin tertarik pada botani. Dia membantu Georg Eberhard Rumphius yang buta, seorang ahli botani Jerman yang meneliti di Pulau Ambon, dalam menyusun dan menerbitkan buku-bukunya. Selain menaruh minat pada botani, menurut Lombard, Saint-Martin terkenal karena penguasaannya yang luar biasa atas bahasa-bahasa setempat ( perfecte taalkunde en goeden ommeganck met die natie , demikian menurut sebuah teks tahun 1682), dan dalam pelbagai kesempatan bertindak sebagai juru bahasa. Sejarawan Michael Laffan dalam Sejarah Islam di Nusantara  lebih spesifik menyebut bahwa “Saint-Martin secara lokal dikenal sebagai pakar mengenai bahasa dan kebudayaan orang-orang Banten…” Saint-Martin juga mengumpulkan naskah-naskah terutama Melayu. Menurut Laffan, komandan garnisun Batavia itu mengoleksi sekitar 89 manuskrip berbahasa Melayu dan Jawa. Manuskrip-manuskrip ini yang menjadi tulang punggung koleksi Sekretariat Jenderal Batavia. Daftar naskah-naskah Melayu itu disusun oleh M. Leydecker dan C. Mutter pada Mei 1696, kira-kira sebulan setelah Saint-Martin meninggal dunia pada 14 April 1696. Daftar itu memuat kurang lebih 60 naskah Melayu. Menurut Henri Chambert-Loir dan Oman Fathurahman dalam Khazanah Naskah: Panduan Koleksi Naskah-naskah Indonesia Sedunia , Philippus Samuel Van Ronkel yang menelitinya menyimpulkan bahwa koleksi Saint-Martin itu pernah menjadi milik pemerintah Hindia Belanda dan kemudian diboyong oleh Thomas Stamford Raffles ke Eropa. Sehingga naskah-naskahnya yang tersisa tersimpan di Royal Asiatic Society di London. Namun, P. Voorhoeve membuktikan bahwa penjelasan Van Ronkel keliru. Menurutnya daftar naskah-naskah Arab dan Melayu yang disuruh dipindahkan Raffles dari Arsip ke Bataviaasch Genootschap (kini Museum Nasional) susunan C.G.C. Reinwardt, di antara 78 naskah yang didaftarkan, terdapat kurang lebih 30 naskah yang berasal dari koleksi Saint-Martin. Dia menyimpulkan mungkin sekali hampir semua naskah tersebut hilang selama periode kemerosotan Bataviasch Genootschap dalam paruh pertama abad ke-19. Daftar naskah-naskah Melayu itu sebanyak 77 judul juga dimuat dalam buku tatabahasa Melayu, Maleische Spraakkunst (1736) karya G.H. Werndly, pendeta asal Swiss. Selain naskah-naskah itu, Saint-Martin mewariskan kepada saudaranya di Oloron, sekitar 1.200 buku dalam berbagai bahasa, seperti Ibrani, Arab, Persia, Portugis, termasuk Melayu. Dia salah satu yang pertama mengumpulkan buku-buku dalam bahasa Melayu. Rumah dan kebunnya di Kemayoran dengan paviliun Jepang dijual kepada Joan van Hoorn (kemudian menjadi gubernur jenderal 1704-1709), karena orang asing (saudaranya) tidak diizinkan memiliki properti di Batavia.

  • Membangun Candi Borobudur

    Tiga belas abad yang lalu, arsitek Candi Borobudur mempunyai ambisi besar untuk menyulap bukit setinggi 30 meter menjadi sebuah candi yang berbeda dari candi-candi pada umumnya. Konstruksi ini rupanya cukup berisiko sehingga harus mengorbankan relief-relief di kaki candinya. Candi Borobudur telah menarik perhatian para peneliti Belanda. Salah satunya Jan Willem Ijzerman, ketua Archaelogische Vereeniging di Yogyakarta. Ketika melakukan penelitian, secara tak sengaja Ijzerman menemukan sejumlah relief di kaki candi pada 1885. Ia tertutup struktur batu selasar dan tangga. Dengan hati-hati pada 1890-1891, kaki Candi Borobudur pun dibongkar. Struktur batuan penyusun selasar yang menutup relief dibongkar secara bergantian, sebelum disusun kembali seperti semula. Ini untuk keperluan dokumentasi oleh Kassian Cephas, seorang fotografer pribumi Jawa. Tak bisa dipastikan alasan relief-relief yang memuat adegan dan ajaran hukum karma itu ditutup. Pasalnya, tak ada prasasti maupun catatan Belanda yang bisa menjelaskannya. “Apakah penambahan bagian kaki ini dilakukan pada masa generasi yang sama, atau pada generasi berikutnya? Kita belum tahu pasti,” ujar Marsis Sutopo, kepala Balai Konservasi Borobudur, melalui surel. Ada dua pendapat yang berkembang. Pertama, bagian kaki candi sengaja ditutup karena relief-relief yang kemudian dikenal sebagai relief Karmawibhangga itu terlalu vulgar. Relief itu dianggap memuat contoh perbuatan buruk manusia. Namun, pendapat ini sangat lemah. Relief Karmawibhangga justru memuat ajaran agama Buddha yang harus diketahui masyarakat. Kedua, terkait pertimbangan konstruksi, yakni rawan longsor. Struktur tambahan ini bisa jadi difungsikan untuk melindungi candi dari gempa atau mencegah candi mengalami pergeseran. Penambahan dinding pada dasar candi dilakukan agar konstruksi candi semakin kokoh. “Menurut penelitian, setidaknya Borobudur dibangun melalui empat tahap, dengan dua kali pembangunan tambahan bagian kaki. Makanya sekarang kita lihat bagian kaki tambahan candi terdiri dari dua lantai,” ujar Marsis. Teknik sambungan Candi Borobudur. 1. Sambungan batu dengan tipe ekor burung. (Dok. BKPB). Dibangun di Bukit Penuh Risiko Bisa dimengerti mengapa pada akhirnya Candi Borobudur membutuhkan semacam struktur pengunci di bagian kakinya. Pasalnya, candi megah ini didirikan di atas sebuah bukit. Ia berupa tumpukan batu yang diletakkan membungkus bukit. Jadi, gundukan tanah bukit merupakan intinya. Artinya, bangunan ini bukanlah tumpukan batuan yang masif. Menurut Noerhadi Magetsari, Guru Besar Arkeologi dari Universitas Indonesia, dalam “Candi Borobudur dan Rekonstruksi Pendiriannya”termuat di 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur, karena memanfaatkan sebuah bukit alami, pada saat membangun candi ternyata ditemukan bagian-bagian bukit yang cekung dan tidak rata permukaannya. Karenanya, bagian yang cekung itu harus ditimbun dengan tanah agar mendapat bentuk yang sesuai keinginan. Ini adalah pekerjaan tambahan yang entah dibutuhkan berapa banyak tanah untuk menimbunnya. Pun tak terbayangkan juga berapa banyak tenaga pikul yang dikerahkan untuk mengerjakannya. “Kita hanya dapat membayangkan berapa besar kesukaran yang harus ditanggulangi, mengingat bahwa bagian-bagian bukit yang harus ditimbun itu berada di bagian atas,” ujar Noerhadi. Menurut Noerhadi, bagian bukit yang ditimbun itu di kemudian hari menimbulkan kerusakan sisi candi yang dibangun di atasnya. Masalahnya ternyata, timbunan tanah itu longsor sehingga bagian candi di atasnya melesak. Pada pemugaran yang kedua, timbunan tanah itu diganti dengan struktur beton. Teknik sambungan Candi Borobudur. 2. Sambungan batu dengan tipe takikan. (Dok. BKPB). Dengan segala pertimbangan risiko itu, tentunya pilihan para arsitek untuk memanfaatkan bentuk asli bukit bukannya tanpa alasan. Bukit Borobudur yang terpilih untuk dijadikan pondasi candi bukan sembarang bukit. Ia adalah bukit yang menurut kepercayaan setempat dianggap suci. “Apabila kita mengacu pada sejarah bangunan keagamaan di Eropa, telah menjadi kelaziman dalam mendirikan bangunan keagamaan memanfaatkan bangunan suci dari kepercayaan sebelumnya,” Noerhadi. Dari sejarah bangunan keagamaan di Nusantara, tradisi untuk membangun bukit menjadi bangunan berundak telah lama dikenal. Di era sebelum Candi Borobudur, ada Punden Lulumpang di daerah Garut. Di era sesudah Borobudur, ada bangunan suci dari abad ke-15 yang berada di lereng Gunung Penanggungan. “Atas dasar ini, maka tidak tertutup kemungkinan bahwa Bukit Borobudur pada awalnya memang merupakan sebuah bangunan berundak, walaupun secara arkeologis belum dapat dibuktikan,” jelas Noerhadi. Teknik sambungan Candi Borobudur. 3. Sambungan dengan tipe alur dan lidah. (Dok. BKPB). Tanpa Semen, Tanpa Putih Telur Lucunya, masih banyak orang yang percaya batuan candi direkatkan dengan putih telur ayam. Agus Aris Munandar, arkeolog Universitas Indonesia, melihat ini berawal dari kebiasaan masyarakat merekatkan kaca patri dengan putih telur ayam. Nyatanya, bahan perekat pada candi tak pernah ditemukan. Untuk candi berbahan bata, “perekat” dihasi l kan dari rontokkan bata yang saling digesekkan lalu diber i air. Sementara pada candi berbahan batu, “perekatan” dilakukan dengan teknik sambung. Batu dipahat sedemikian rupa agar antar batu bisa saling mengisi dan mengunci. Dalam Kearsitekturan Candi Borobudur, yang disusun Balai Konservasi Peninggalan Borobudur, dijelaskan kalau pada Candi Borobudur batuan andesit ditata dengan pola susun batu arah horizontal. Jenis sambungan batu yang ada pada Candi Borobudur ada empat. Pertama , sambungan batu dengan bentuk seperti ekor burung. Sambungan tipe ini dijumpai hampir pada setiap sambungan batu di dinding. Kedua , sambungan batu dengan tipe takikan. Jenis ini banyak terdapat pada bagian hiasan kepala kala, relung, dan gapura. Ketiga,sambungan dengan tipe alur dan lidah. Ini terdapat pada pagar selasar dan batu ornamen Makara di kanan dan kiri tangga dan selasar. Keempat,sambungan batu dengan tipe purus dan lubang. Ini banyak terdapat pada batu antefik, yaitu hiasan di luar candi yang berbentuk segitiga meruncing. Tipe sambungan ini juga dipakai pada kemuncak pagar langkan. “Makanya kalau ada gempa nggak mudah rusak,” jelas Agus. Teknik sambungan Candi Borobudur. 4. Sambungan batu dengan tipe purus dan lubang. (Dok. BKPB) Sementara untuk menutup Bukit Borobudur, diperlukan batuan andesit berbentuk balok sebanyak 55.000 m3. Batuan andesit adalah bahan bangunan yang umum dijumpai pada candi di wilayah Jawa Tengah. Batuan andesit itu harus terlebih dahulu ditambang. Namun,menurut Noerhadi, penambangan tidak dilakukan di sekitar Bukit Borobudur karena di sana tak bisa ditemukan sumber batu yang diperlukan. Di lokasi penambangan, para ahli pahat membuat balok-balok batu. “Entah berapa lama yang mereka perlukan guna menghasilkan 55.000 m3 balok batu, mengingat pemahatan hanya dilakukan dengan mempergunakan pahat dan palu,” jelas Noerhadi. Setelah pemahatan selesai balok-balok batu itu dipikul ke kaki bukit. Berkaca dari pengalaman pemugaran Candi Borobudur yang kedua, yaitu pada 1973-1983, untuk memindahkan sebuah balok batu diperlukan empat orang untuk memikulnya. Sampai di kaki bukit, balok-balok batu itu masih harus dipikul lagi ke atas bukit untuk diserahkan kepada para ahli bangunan. “Marilah tidak kita bayangkan bahwa selama proses pembangunan ini berlangsung tidak ada di antara mereka yang tewas akibat terpeleset dan kemudian jatuh dan tertimpa batu yang dipikulnya,” lanjut Noerhadi. Balok-balok batu itu lalu “ditempel” di sekeliling bukit hingga seluruhnya tertutup susunan balok yang membentuk bangunan berundak segi delapan. Puncaknya, di ketinggian 30 m eter , dipasang sebuah stupa. “Sampai di sini membayangkan pun saya tidak mampu bagaimana mereka dapat melaksanakannya,” lanjut Noerhadi.

  • Gila Basket di Filipina

    TAK ada laser sebagaimana upacara pembukaan ajang olahraga pada umumnya, upacara pembukaan SEA Games 2019 pada Sabtu (30/11/2019) malam justru menarik karena diisi beraneka ragam atraksi seni dari bermacam budaya yang ada di Filipina. Menariknya lagi, upacara pembukaan bukan digelar di stadion sepakbola sebagaimana umumnya, namun stadion indoor  Philipine Arena. Venue  berkapasitas 55 ribu tempat duduk itu arena  indoor  terbesar di dunia dan kebanggaan rakyat Filipina. Sejak dirampungkan 2014 silam, stadion itu digunakan untuk bola basket yang menjadi olahraga nomor satu di “Tanah Pinoy” itu. Sejak masa kolonial, Filipina sudah dikenal sebagai negeri yang gila basket. Dari masa ke masa, perkembangannya begitu pesat. Levelnya sudah Asia dan dunia, jauh meninggalkan negara-negara tetangganya di ASEAN. Sebagai bukti, Filipina sudah menjuarai basket Asian Games pada 1951. Jauh sebelum itu, Filipina sudah mengirim tim basketnya ke Olimpiade Berlin 1936 dan tercatat sebagai tim Asia dengan hasil terbaik. Pada 1975, Filipina dengan PBA-nya (Asosiasi Basket Profesional) menjadi negeri pertama di luar Amerika Serikat yang memiliki liga basket profesional. Basket dalam Amerikanisasi Filipina Kendati olahraga bola basket diciptakan orang Kanada, Profesor James Naismith, pada 1891, namun di Amerika-lah basket berkembang pesat. Maka Amerika pula yang mempopulerkan basket (berbarengan dengan bisbol) ke rakyat Filipina, semasa menduduki negeri itu. Basket dan bisbol jadi dua dari sekian program olahraga modern untuk menggarap “Amerikanisasi” di negeri yang sebelumnya dijajah Spanyol itu. Pada 1910 Amerika membawa basket ke Filipina lewat YMCA (Young Men’s Christian Association) –dan Young Women’s Christian Association untuk pemudi Filipina empat tahun kemudian. Direktur Elwood Brown turun tangan langsung ke Manila bersama sejumlah instruktur olahraga selain basket: bola voli, dan bisbol. Mulanya, olahraga-olahraga itu dimainkan para tentara Amerika sebagai giat promosinya. “Orang-orang Filipina peniru yang luar biasa. Saat mereka melihat para serdadu bermain, segera mereka memainkannya pula, sekaligus menggantikan permainan dan olahraga konyol mereka seperti sipà  (permainan mirip sepaktakraw) dan sabung ayam,” cetus Brown, dikutip sejarawan olahraga North Central College Profesor Gerald R. Gems dalam Sport and the American Occupation of the Philippines: Bats, Balls, and Bayonets. Direktur YMCA Elwood Brown dan tim basket Filipina (kanan) di Far Eastern Championship Games 1917 (Foto: Wikipedia) Dengan restu Gubernur Jenderal William Forbes, Brown mengerahkan para staf dan instruktur YMCA menggarap program edukasi publik tentang olahraga-olahraga modern itu, serta memasukkannya dalam kurikulum pendidikan di Filipina. Sesaat kemudian, olahraga-olahraga itu pun digemari orang Filipina. Basket paling populer. “Perubahan kegemaran orang Filipina dari permainan tradisional ke olahraga modern, tak diragukan lagi karena fakta bahwa olahraga modern ini menstimulasi kesetaraan dalam kehidupan sosial. Di arena basket semua dianggap setara di mata regulasi olahraganya, baik si penjajah maupun yang terjajah,” ujar sejarawan politik Amerika-Asia Timur Sayuri Guthrie-Shimizu, dinukil Ryan Reft dalam “From Perpetual Foreigner to Paficic Rim Entrepreneur: The U.S. Military, Asian Americans, and the Circuitous Path of Sport” yang dimuat Asian American Sporting Cultures. Alasan lebih teknis mengapa basket lebih digemari ketimbang olahraga impor lain diungkapkan pengamat olahraga dan kolumnis Joaquin M. Henson, dimuat The Philippine Star , 22 Maret 2016. “(Basket, red .) Mudah dimainkan. Alur permainannya juga cepat dan orang Filipina senang dengan olahraga yang dinamis, taktis, dan menghibur. Dari sisi arena, penonton bisa lebih dekat melihat, bahkan mengenal para pemainnya. Orang Filipina juga senang olahraga fisik tanpa harus mengenakan perlengkapan pelindung,” kata Henson. “Kalau sepakbola penontonnya jauh (dari lapangan). Kalau basket kan dekat. Jadi komunikasi dan interaksi dengan penonton terasa sama kita. Jadi meningkat semangat kita untuk jadi pahlawan di lapangan. Kalau di sepakbola, paling kalau kebobolan saja terdengar cacian penonton,” kata Ary Sudarsono, point guard timnas basket Indonesia pada 1970-an cum wasit internasional pada 1980-an, kepada Historia. Linimasa Prestasi Basket Filipina Sebelum Kejuaraan Asia dan Asian Games ada, Filipina sudah bolak-balik jadi tim superior di ajang Far Eastern Champioship Games (FECG) sejak 1913. Dalam 10 gelaran ajang yang dianggap sebagai cikal-bakal Asian Games itu, 1913-1934, tim basket putra Filipina hanya sekali gagal memetik emas, yakni di tahun 1921. Saat timnas Filipina pertama terbentuk untuk berlaga di FEGC 1913, belum ada induk organisasi bola basket nasionalnya. Perbasketan Filipina masih dikendalikan YMCA. Baru pada 1924 Filipina punya induk, National Collegiate Athletic Association (NCAA), meski hanya sementara. Kolase tim basket Filipina saat melawan Meksiko di Olimpiade Berlin 1936 (Foto: olympic.org ) Induk organisasi basket baru dimiliki Filipina pada 1936 dengan berdirinya Basketball Association of the Philippines (BAP) –pada 2007 digantikan Samahang Basketbol ng Pilipinas. Di tahun yang sama, Filipina diterima menjadi anggota Federasi Basket Interasional (FIBA) kendati masih sebagai koloni Amerika. Di tahun itu pula Filipina menunjukkan tajinya sebagai tim terbaik di Asia, walau tetap harus mengakui “sang kakak”, Amerika di babak perempatfinal Olimpiade Berlin 1936. Di Kejuaraan Dunia FIBA, raihan terbaik Filipina dipetik pada 1954 dengan menjadi juara ketiga. Adapun di Kejuaraan FIBA Asia, sudah lima juara diraih Filipina (1960, 1963, 1967, 1973, dan 1985). Selain itu, empat kali Filipina membawa pulang emas Asian Games(1951, 1954, 1958, dan 1962). Di Kejuaraan SEABA, sejak 1994 hingga 2017 Filipina delapan kali memetik emas dan hanya sekali meraih perak. Pun di pentas SEA Games. Sejak 1977-2017, hanya dua kali Filipina gagal memetik emas (perak di 1979 dan 1989). Namun catatan di atas hanya prestasi di basket putra. Timnas senior putri Filipina bisa dibilang bagai langit dan bumi. Di Kejuaraan SEABA sejak 1995, “Perlas Pilipinas” –julukan timnas putri Filipina– baru bisa juara dua kali di edisi 2010 dan 2016. Di SEA Games (1977-2017) pun sekadar langganan perak (enam) atau perunggu (lima).

  • Tak Ada Ras, Semua Manusia dari Afrika

    PERDEBATAN lawas tentang asal-usul orang Indonesia kembali mengemuka setelah Agnes Monica dalam sebuah wawancara mengatakan tak punya darah Indonesia tapi punya leluhur dari Jerman, Jepang, dan Tiongkok. Warganet menuding Agnes tidak nasionalis dan enggan mengakui “darah Indonesia”-nya. Padahal, dalam wawancara tersebut, Agnes membicarakan “darah Indonesia” sebagai asal-usul keturunan (biologis), bukan statusnya sebagai warga negara (politis). Apa yang dikatakan Agnes bisa jadi benar. Dari Proyek DNA yang dilakukan Historia bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ditemukan bahwa leluhur orang Indonesia datang dari berbagai wilayah di dunia. Jurnalis Najwa Shihab, misalnya, dalam DNA-nya terlacak punya leluhur dari 10 tempat berbeda. Usaha para ilmuwan untuk meneliti keragaman dan evolusi manusia sudah dilakukan berabad lalu. Sejak abad ke-17 dan 18, para ilmuwan berusaha mengidentifikasi flora, fauna, dan manusia. Ilmuwan yang hidup di abad ke- 18, seperti Carolus Linnaeus, Johann Friedrich Blumenbach, dan Comte de Buffon berusaha mengklasifikasi semua makhluk hidup yang mereka teliti dalam kerangka kerja sistematis. Dalam berbagai sistem, manusia dikelompokkan menjadi subspesies berdasarkan geografi, warna kulit, dan sifat fisik. Usaha ini mulanya murni untuk kebutuhan penelitian biologi. Dalam perkembangannya, arus intelektual tentang manusia berubah dan berusaha mengklasifikasi manusia berdasarkan ras (ciri fisik). “Orang punya ide tentang ras itu baru di abad ke-19. Ide tentang ras yang disampaikan Samuel Morton, muncul sebelum teori evolusi ada,” kata pakar neurogenetika dan biologi molekuler dr. Roslan Yusni Hasan atau yang populer dengan Ryu Hasan pada Historia. Pada 1838, antropolog JC Prichard memberi kuliah tentang kepunahan ras manusia. Menurutnya, ras lemah tidak mungkin bertahan dan itu adalah hukum alam. Ilmuwan lain yang mengemukakan ide yang berkaitan dengan ras ialah Samuel Morton. Menurut Morton, di dunia ini terdapat lima ras. Ras Kaukasia dianggap yang paling mulia, di bawahnya ras Mongoloid karena bisa dilatih namun masih kalah pintar. Di bawah ras Mongoloid ada orang Asia Tenggara lalu pribumi Amerika, dan yang menurut Morton paling rendah adalah orang Ethiopia atau yang berkulit hitam. Teori Morton ini dipegang oleh pendukung perbudakan di Amerika. Ketika Charles Darwin mengeluarkan teori evolusi pada 1859, para ilmuwan sosial memelencengkannya dan menggunakan teori ini untuk menjustifikasi rasisme. Teori Darwin pada dasarnya tidak rasis. Ia percaya bahwa seleksi alam berpengaruh pada perkembangan spesies, yang tidak cocok akan mati dan yang bisa beradaptasi akan bertahan. Pemelencengan teori Darwin ini kemudian dikenal dengan Social Darwinism, dan berimplikasi amat brutal dalam sejarah perbudakan dan penjajahan. Ada banyak contoh pemikiran seperti ditulis David Rogers dan Moira Bowman dalam “A History: The Construction of Race and Racism”. Pada 1864, W Winwood Reade, ahli geografi dan anggota kelompok antropolog di London, menerbitkan Savage Africa . Dalam buku itu Reade menulis bahwa Inggris dan Prancis akan menguasai Afrika. Orang Afrika akan menggali parit untuk mengairi gurun. Kerja keras ini akan membuat orang Afrika punah. Sementara pada 1866, Frederick Farrar, penulis Inggris yang lahir di Mumbai, menjabarkan “Aptitude of Races” dengan membaginya menjadi tiga grup: ras barbar (Afrika dan orang dengan kulit berwarna), agak beradab (orang-orang mongoloid), dan beradab (orang Eropa, Arya, dan bangsa Semit). Cara pikir Farrar mirip dengan politik segregasi yang diterapkan pemerintah Hindia-Belanda di wilayahnya. Penduduk dibagi dalam tiga kelompok, yakni Eropa, Timur Jauh (Arab dan Tiongkok), dan terbawah pribumi. Politik segregasi ini masih bertahan di Indonesia hingga kini, dengan fakta adanya identifikasi siapa yang paling pribumi. “Namun kemudian muncul teori evolusi dan genetika yang membuktikan teori Morton dan sejenisnya salah,” kata Ryu. Pada pertengahan 1980-an, teori “Out of Africa” muncul dan menjabarkan asal-usul manusia modern. Ahli paleoantropologi seperti Gunter Brauer di Jerman dan Chris Stringer di Inggris membuktikan bahwa fosil paling awal yang menyerupai spesies manusia modern berasal dari Afrika selatan dan timur. Ian Tattersall dalam “Human Origins: Out of Africa” menjelaskan lebih lanjut bahwa gagasan tentang leluhur tunggal dari Afrika ( single African origin ) meng- counter teori multiregional bahwa manusia modern berevolusi dari para pendahulunya, yaitu Homo Erectus yang muncul di masing-masing wilayah. Mulanya, gagasan tentang “single African origin” ditolak lantaran orang Eropa ogah mengakui leluhur mereka berasal dari Afrika. Namun teori ini makin diperkuat ketika penelitian DNA dan penemuan fosil-fosil membuktikan bahwa Afrika menjadi sumber utama populasi manusia modern di seluruh dunia. Manusia modern (Homo Sapien) Afrika ini muncul sejak 150.000 sampai 100.000 tahun lalu. Pada sekira 100.000 tahun lalu, manusia modern ini meninggalkan Afrika dan menyebar ke berbagai arah. Sebagian migrasi ini mencapai Asia dan Australia sekira 70.000 lalu, sampai ke Barat Eurasia sekira 50.000 tahun lalu, dan masuk ke benua Amerika pada 15.000 sampai 30.000 tahun lalu. Ahli genetika Italia Luigi Luca Cavalli-Sforza berpendapat bahwa orang Eropa merupakan hasil migrasi manusia dari Timur Tengah pada 10,000 tahun lalu. Dalam gelombang migrasi ini, lokasi dan lama tinggal berpengaruh pada keberagaman fisik manusia. Dikemukakan Charles Hirschman dalam “The Origins and Demise of the Concept of Race”, bentuk fisik manusia berkembang sesuai kondisi geografis dan lama waktu mereka tinggal di suatu tempat. Contohnya, warna kulit dan ukuran tubuh manusia dipengaruhi seleksi alam atas kondisi iklim. Manusia yang tinggal di garis katulistiwa secara alami akan mengembangkan pigmen kulit mereka. Sementara manusia yang tinggal di posisi garis lintang utara punya kulit lebih cerah. Para manusia pemakan sereal itu tidak menerima cukup asupan vitamin D sehingga dalam proses evolusi, kulit mereka memutih. Kulit terang ini bagian dari upaya bertahan hidup karena memudahkan penyerapan sinar matahari untuk memenuhi kebutuhan vitamin D. Perbedaan fitur tubuh itu membantu para peneliti menduga asal mereka. Gelombang migrasi besar pada masa berikutnya berkontribusi pada penyebaran keberagaman fitur tersebut. Alhasil manusia modern merupakan percampuran dari manusia asal Afrika yang berevolusi di wilayah yang berbeda. Hal serupa juga terjadi di Indonesia yang mengalami empat gelombang migrasi. Gelombang migrasi pertama dari Afrika terjadi 50.000 tahun lalu; migrasi kedua, dari Asia daratan, terjadi sekira 30.000 tahun lalu; migrasi ketiga, dari Taiwan, diperkirakan pada 6.000 tahun lalu; dan keempat pada masa awal perdagangan dan pelayaran. “Secara genetika ras enggak ada. Adanya varian populasi…. Faktanya kita semua dari Afrika,” kata Ryu.

  • Mengenang Bioskop Drive-In ala Ciputra

    Ciputra, konglomerat bidang properti dan konstruksi, telah berpulang 27 November 2019 lalu. Dia meninggalkan banyak karya. Dari pertokoan, perumahan, perkantoran, museum seni, kota satelit, sampai tempat rekreasi dan hiburan. Sebagian besar karyanya masih bertahan. Segelintir kecil lainnya sudah tak ada lagi atau bersalin rupa. Misalnya drive-in theatre atau teater kendara. Ciputra mulai membangun teater kendara di Pantai Binaria (sekarang Ancol), Jakarta, pada 1 April 1970. Pembangunannya seiring dengan pengembangan Ancol sebagai daerah perumahan, industri, dan rekreasi oleh PT Pembangunan Jaya, perusahaan di mana Ciputra menjadi salah satu direkturnya. Tadinya Ancol hanyalah sebuah rawa-rawa dan hutan. Penuh kera, ular, dan nyamuk. Tapi ada saja orang nekat menembus hutan dan rawa-rawa demi menikmati keindahan Pantai Ancol. Pemerintah DKI Jakarta telah merencanakan pengembangan wilayah itu menjadi perumahan, industri, dan rekreasi sejak 1962. Tetapi rencana mereka tak berjalan mulus. Ciputra memberanikan diri untuk menangani proyek itu di bawah Pembangunan Jaya. Dia menjanjikan bila proyek itu untung, Pembangunan Jaya akan berbagi cuan dengan Pemda. Tapi kalau proyek itu malah rugi, Pembangunan Jaya sendirian akan menanggungnya. Gubernur Jakarta (1966—1977), Ali Sadikin, menyepakati perjanjian itu. Tapi beberapa staf Ciputra keberatan dengan keputusan tersebut. Ciputra meyakinkan mereka. “Kita bisa mengembangkan Ancol menjadi pantai yang nomor satu. Itu akan menjadi pantai emas,” kata Ciputra, seperti dituturkan Bondan Winarno dalam Tantangan Jadi Peluang : Kegagalan dan Sukses Pembangunan Jaya Selama 25 Tahun . Sepulang melihat Amerika Pengembangan Ancol berjalan bertahap. Mula-mula rawa-rawa diurug, jalan-jalan diperlebar, penerangan ditambah, lalu tempat berteduh didirikan. Pembangunan Jaya memasang pagar pembatas dan menerapkan karcis masuk sebagai kompensasi pengembangan Ancol. Orang pun berduyun-duyun datang menikmati suasana baru Pantai Ancol. Ciputra belum puas. Dia masih punya rencana lain. Mimpinya adalah menjadikan Ancol pusat rekreasi baru bagi warga Jakarta dan sekitarnya. Ancol tidak hanya akan menjadi tempat rekreasi alam, tapi juga tempat rekreasi berbasis mekanik dan teknologi. Di Ancol bakal ada sirkuit balap, akuarium, bioskop, dan drive-in. Jenis terakhir bahkan belum pernah ada di Indonesia. Ciputra memperoleh ide membangun teater kendara setelah melihatnya di New York, Amerika Serikat. Demikian catatan mingguan Djaja nomor 440 tahun 1970. Di negeri inilah teater kendara pertama di dunia muncul pada 1933. Konsep teater kendara berbeda dari bioskop tertutup. Teater kendara membuka kesempatan bagi para penonton menyaksikan film di ruang terbuka dari mobilnya masing-masing. Konsep ini berasal dari Richard Hollingshead. Dia mengajukan konsep ini setelah melihat ibunya tidak nyaman menonton di dalam bioskop tertutup. Richard membuka teater kendara kali pertama di New Jersey pada 6 Juni 1933. Orang-orang menyukai konsepnya. Richard kemudian mematenkan konsepnya hingga 1949.   Setelah paten Richard habis, teater kendara tumbuh cepat di antero Amerika Serikat. Salah satu yang terbesar berada di New York. Teater kendara itu mampu menampung 2.500 mobil di atas lahan seluas 11 hektar. Teater kendara pertama di dunia dibuka pada 6 Juni 1933. (Wikimedia). Teater kendara kemudian merambah keluar Amerika Serikat. Eropa, Australia, dan Asia Tenggara. Pasar utama teater kendara adalah keluarga dan anak muda bermobil. Ciputra melihat pasar ini telah mengada di Jakarta. Perbaikan ekonomi pada awal Orde Baru memunculkan kelas menengah baru. Mereka cukup mampu membeli mobil pribadi. Jalanan Jakarta pun semarak oleh kehadiran mobil. “Hal ini didorong dengan pembukaan beberapa perusahaan asembling mobil di sekitar Jakarta, terutama merek Jepang seperti Toyota, Honda, Mitsubishi, Suzuki, Mazda, dan Subaru yang merajai jalanan di 1970-an, di samping mobil merek Amerika dan Eropa yang jumlahnya lebih sedikit,” catat Firman Lubis dalam Jakarta 1970-an . Rekreasi Kaum Berpunya Melihat kondisi pasar seperti itu, Ciputra tak ragu menghadirkan teater kendara pertama di Indonesia. Luasnya lima hektar dan mampu menampung 800 mobil. “Bioskop terbuka itu merupakan drive-in cinema terbesar di Asia Tenggara,” catat Kompas , 2 Mei 1970. Semua jenis mobil boleh masuk, kecuali pick-up dan truk. Ciputra berupaya mengerahkan kemampuan terbaiknya untuk membangun teater kendara. Dia melibatkan 340 pekerja. Terdiri dari orang-orang Batalion Zeni Konstruksi Angkatan Darat, PT Technik Indonesia, dan PT Jaya Steel (anak perusahaan Pembangunan Jaya). Para pekerja giat siang-malam untuk memasang layar raksasa dengan ukuran sebagai berikut: panjang 40 meter, lebar 19 meter, dan tinggi 27 meter. Ukuran demikian mampu dilihat orang hingga jarak 200 meter. Aspal dibuat bergelombang agar mobil dapat mengarah ke layar. Jarak parkir antar mobil diperhitungkan secara teliti supaya pengendara dapat keluar-masuk tanpa kesulitan. Teater kendara terbesar di Asia Tenggara itu menghabiskan 20.000 meter kubik pasir, 10.000 meter kubik batu, 2.000 drum aspal, 200 meter kubik beton, dan 85 ton besi konstruksi. Alat-alat pemutar filmnya dibeli dari perusahaan Toshiba, Jepang. Untuk semua pembangunan itu, Pembangunan Jaya mengeluarkan Rp260 juta, atau setara dengan Rp10,4 miliar nilai uang sekarang. Peresmian teater kendara ( drive-in theatre ) di Pantai Binaria (Ancol) pada 11 Juli 1970. (Perpusnas RI). Seluruh pengerjaan teater kendara selesai pada Juni 1970. Sebermula Ciputra hendak meresmikan teater kendara tepat saat hari ulang tahun ke-443 Jakarta pada 22 Juni 1970. Tetapi harapannya meleset hampir sebulan. Teater kendara mulai terbuka untuk umum pada 11 Juli 1970. Ratusan mobil undangan memenuhi teater kendara. Ali Sadikin memuji upaya Ciputra memberikan rekreasi terbaik kepada warga Jakarta. “Rekreasi sangat penting untuk keseimbangan hidup,” kata Ali dalam peresmian teater kendara, dikutip Kompas , 13 Juli 1970. Wajahnya terpampang jelas di layar raksasa teater kendara. Tapi Ali mengingatkan bahwa teater kendara sesungguhnya hanya untuk kaum the haves (orang berpunya) saja. “Sebab yang nonton cuma orang bermobil,” lanjut Ali. Untuk mengurangi kesan teater kendara hanya punya kaum the haves saja, Pembangunan Jaya menekan harga tiket. Hitungannya per orang, bukan per kendaraan. Dewasa kena Rp500, sedangkan anak-anak Rp300 atau senilai US1 dolar. Harga ini masih cukup tinggi bila dibandingkan dengan rata-rata pendapatan penduduk Jakarta kala itu. Anne Booth dan R.M Sundrum dalam “Distribusi Pendapatan” termuat di Ekonomi Orde Baru dengan detail menjabarkan tingkat penghasilan bulanan penduduk di sembilan kota, termasuk Jakarta, selama 1968—1969. Penghasilan mereka berkisar dari Rp1.482—Rp4.479 per bulan. Tiket seharga Rp500 dan Rp300 itu memungkinkan pengunjung untuk menonton dua film dalam semalam. Sesuai jadwal teater kendara. Biasanya pemutaran film selesai pukul 00.00. Enak buat Bergoyang Kebanyakan pengunjung teater kendara adalah muda-mudi. Mereka lebih asyik berpelukan. Tenggelam dalam asmara di bawah langit gemintang Jakarta ketimbang menyaksikan filmnya. “Sering terlihat samar-samar mobil yang diparkir bergoyang-goyang karena penumpang di dalamnya juga ikut bermain film!” kata Firman Lubis dalam Jakarta 1970-an . Ciputra mengakui stok filmnya lebih banyak untuk orang dewasa. “Hanya sayang bahwa film anak-anak sangat kurang,” kata Ciputra dikutip Djaja . Tapi itu tak mengurangi minat orang-orang bermobil datang ke teater kendara. Ada keluarga membawa anak-anak meski film yang diputar tak khusus untuk anak-anak. Bagi Pembangunan Jaya, kedatangan keluarga ke teater kendara bagus untuk menguatkan kesan Ancol sebagai tempat rekreasi keluarga. Bukan hanya tempat muda-mudi pacaran. Dengan begitu, orang-orang pun tak sungkan datang ke Ancol dan teater kendara. “Dibangunnya bioskop terbuka drive-in di Ancol makin menambah arus pengunjung ke Ancol,” kata Bondan Winarno. Ini berarti keuntungan untuk Pembangunan Jaya sebagai pengelola kawasan rekreasi Ancol. Selama hampir 20 tahun teater kendara menarik orang-orang bermobil. Ia juga menghasilkan pendapatan Rp40 juta per tahun bagi Pembangunan Jaya. Tapi Ciputra menghitung pendapatan itu masih rendah. “Dibanding luas tanah yang ada penghasilan sebesar itu tak sebanding lagi,” kata Ciputra dalam Warta Ekonomi, 4 Desember 1989. Menyiasati kondisi itu, Ciputra membuat strategi baru. Teater kendara dibuka untuk konser musik. Di tempat inilah Stevie Wonder, musisi tunanetra kesohor, menggelar konser pada 21 Mei 1988. "Malam ini kita semua keluarga.  Drive-in  adalah rumah kita. Kita bergembira. Pak polisi juga bergembira," begitu Stevie membuka konsernya. Kemudian mengalunlah lagu-lagu Stevie Wonder. Dia mendedikasikan lagu  " I Just Called to Say I Love You" dan "It's Wrong" untuk melawan politik apartheid di Afrika Selatan dan mendukung Nelson Mandela, tokoh penentang apartheid. Dari teater kendara, dia sebarkan cinta, perdamaian, dan persatuan kepada 20.000 penonton. Tapi strategi menggelar konser musik di teater kendara tetap tak mengerek pendapatannya. Masa jaya teater kendara berakhir pada awal 1990-an. Ciputra menutupnya, mengubah total rupanya menjadi pusat belanja busana berbahan denim atau jeans, Cahaya Jeans Centre. “ Trend dunia yang ada saat ini ialah berekreasi sambil belanja, dan belanja sambil berekreasi,” ungkap Ciputra.  Tak ada lagi teater kendara "rumah kita". Hanya kenangan akan Ciputra, muda-mudi menggoyangkan mobil dari dalam, dan lantunan suara khas Stevie Wonder yang melekat abadi.

  • Pemuda Aceh Raih Sartono Kartodirdjo Award

    Masykur Syafruddin, pemuda 22 tahun dari Pidie, Aceh, mendapat Sartono Kartodirjo Award dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sebuah penghargaan untuk mengapresiasi kerja-kerja sejarah oleh individu maupun komunitas. Penghargaan ini diberikan bersamaan dengan rangkaian Peringatan Hari Sejarah 2019 bertema "Membayangkan Indonesia di Hari Depan" yang berlangsung pada 4-6 Desember 2019, di Jakarta. Masykur lahir di Blang Glong, Pidie pada 5 Juli 1997. Sejak usia 14 tahun, ia sudah tertarik mengumpulkan koin-koin kuno yang banyak ditemukan di sekitar tempat tinggalnya. Kegemaran itu kemudian menjadi lebih serius ketika pada 2014 ia mendengar berita mengenai banyaknya naskah kuno yang dijual ke luar negeri. “Kan timbul pertanyaan, kenapa ini bisa di luar negeri? Okelah kalau di Belanda karena rampasan perang pada masa kolonial. Tapi yang di Malaysia segala macam kenapa bisa di luar negeri? Kan itu asli kebudayaan kita. Nah, itu yang menjadi tanggung jawab kita, tanggung jawab saya untuk menyelamatkan itu agar tidak dijual ke luar negeri,” ungkap Masykur kepada Historia . Sejak itu, Masykur mulai mencari dan mengumpulkan naskah-naskah dan benda-benda bersejarah yang hendak dijual ke luar negeri. Ia lalu mendirikan Museum Pedir tahun itu juga. “Awalnya kita melacak barang-barang yang sudah dibeli oleh agen barang antik yang akan dijual ke luar negeri. Jadi sebelum dijual ke luar, kita beli,” sebut Masykur. Tak sampai di situ, Museum Pedir kemudian juga melacak benda-benda bersejarah dari Aceh yang sudah dijual ke luar negeri. “Kita beli lagi, bawa pulang ke Aceh. Kita juga lacak semua di media-media, kemudian di toko-toko antik,” kata mahasiswa Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh ini. Setelah dibawa kembali ke Aceh, naskah-naskah kuno itu didigitalisasi dan dipublikasikan lagi. Selain itu, kini Masykur dan para relawan Pedir Museum tidak hanya membeli benda-benda yang akan dan sudah dijual ke luar negeri. Mereka juga mencari dan mengumpulkan benda-benda bernilai sejarah yang tersebar di masyarakat dan perlu mendapat perawatan yang baik. “Tidak mesti kita beli semua. Ada masyarakat yang tahu tujuan kita menyelamatkan itu. Dihibahkan juga ada. Ketika sudah dijual ke luar, sulit sekali untuk memulangkan itu. Beda dengan yang ada di masyarakat. Misalnya koleksi-koleksi mata uang, perhiasan, senjata segala macam itu, ada juga memang masyarakat yang memberikan,” terang Masykur. Pedir Museum selama ini juga melakukan pembiayaan secara mandiri. Mulai dari pembiayaan, perawatan, pencarian koleksi, hingga keperluan penelitian. “Semua kita biayai dengan uang pribadi dan sumbangan dari masyarakat. Kita belum yayasan, belum mendapatkan biaya dari pemerintah,” sebut Masykur. Beberapa kali Masykur telah mengajukan proposal kepada pemerintah daerah. Namun, menurut Masykur, prosesnya begitu lamban dan pihak pemerintah daerah dirasa memang kurang perhatian. “Kita nggak  menunggu ada uang dulu, kita langsung gerak saja,” ungkapnya. Saat ini, Museum Pedir memiliki 2.870 koleksi. 462 di antaranya merupakan koleksi naskah manuskrip. Sementara itu, mata uang kuno dari abad ke-12 hingga 19 mencapai 1.000 koleksi. Selain itu, Museum Pedir juga menyimpan perhiasan, senjata, arsip kesultanan, kain dan tekstil, benda-benda etnografi dan arkeologi, hingga temuan-temuan fosil. Museum Pedir saat ini masih menggunakan rumah orang tua Masykur di Pidie Jaya yang ke depan akan dibangun menjadi museum. Meski demikian, Museum Pedir telah memiliki cabang di Banda Aceh. Cabang museum di Banda Aceh didirikan untuk memudahkan akses para peneliti dan tamu dari luar negeri.

  • Jaap Kunst Mengabdi pada Musik Tradisi

    Pada musim semi 1919, seorang sarjana hukum sekaligus pemain biola dari Belanda, bersama dua temannya, penyanyi dan pianis, berlayar ke Hindia Belanda. Mereka melakukan tur musik selama delapan bulan ke berbagai daerah di Jawa, Sumatera, Kalimantan, hingga Sulawesi. Pada Mei 1920, harusnya mereka bertiga pulang ke Belanda. Namun sejak Natal 1919, sang pemain biola terpikat pada alunan gamelan yang didengarnya di Keraton Pakualaman Yogyakarta. Pengalaman itu membuatnya memutuskan untuk tetap tinggal. Orang itu adalah Jaap Kunst, yang kemudian jatuh cinta dengan musik tradisi Nusantara dan menjadi pelopor etnomusikologi. Jakob Kunst (Jaap Kunst) lahir di Groningen, 12 Agustus 1891, dari keluarga musikus, ayahnya guru piano, praktisi dan kritikus musik, dan ibunya seorang pianis. Sedangkan Jaap Kunst memilih biola sebagai alat musik favoritnya. Saat remaja Jaap Kunst belajar biola pada W. Dehé, E.C. Schroder, dan Louis Zimmerman di Amsterdam. Pada 1911, ia justru menempuh sekolah hukum di Universitas Groningen dan lulus pada 1917. Namun, saat kuliah ia mulai tertarik melakukan riset seni musik lokal, seperti lagu-lagu rakyat pulau Terschelling, Belanda. Jaap Kunst sempat bekerja di bank dan kantor walikota Amsterdam. Ketertarikannya pada musik membuatnya tak bertahan lama bekerja di sektor formal. Pada 1919, dia bersama dua rekannya, penyanyi Kitty Roelants-de Vogel dan pianis Jan Wagenaar, mengadakan tur musik ke Hindia Belanda. Setelah tur musik ke berbagai daerah di Hindia Belnda, dua rekan Jaap Kunst kembali ke Belanda. Ia sendiri tetap tinggal dan memulai penelitiannya mengenai musik tradisi. Ia kemudian bekerja di departemen pemerintah Hindia Belanda untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Lalu pada 1921, ia menikah dengan Kathy van Wely, yang mendukungnya dalam penelitian etnomusikologi. Nusi Lisabilla, Kepala Bagian Pengkajian dan Pengumpulan Museum Nasional yang juga kurator pameran “Jaap Kunst, Suara dari Masa Lalu” mengatakan bahwa Jaap Kunst mulai merekam alat musik tradisi pada 1922. Saat itu, ia mereka tujuh lagu yang dimainkan dengan gamelan. “Meskipun nanti kalau Mas dengar suaranya terlalu halus. Kurang terdengar dengan jelas, seperti dengungan saja,” kata Nusi kepada Historia. Pada 1926, Jaap Kunst menjadi wakil sekretaris Dewan Rekonsiliasi untuk Kereta Api dan Trem di Jawa dan Madura yang berkantor di Bandung. Di luar pekerjaannya, dia menyempatkan waktu untuk melakukan riset etnomusikologi. Ia lalu menjadi peneliti dalam penelitian musikologis sistematis pada 1930. Hingga 1932, Jaap Kunst melakukan penelitian dan pendokumentasian kegiatan seni di Hindia Belanda, mulai dari Batak, Nias, Bengkulu, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Timur, Maluku, hingga Papua. Kerja penelitian Jaap Kunst dilakukan atas keinginannya sendiri. Ia merasa khawatir jika suatu saat banyak alat musik, lagu atau produk seni musik tradisi punah. “Orang yang begitu peduli pada masa itu. Peduli bahwa suatu saat musik tradisi di Indonesia itu akan hilang. Itu sebabnya kenapa akhirnya ia memutuskan untuk menginventarisasi, mendokumentasi, baik dalam audio maupun visual,” ujar Nusi. Bahkan ketika datang pertama kali ke Nias pada 1930, Jaap Kunst merasa sangat menyesal karena banyak tradisi yang sudah punah dan tak ada generasi yang bisa melestarikannya. “1930 itu dari sekarang sudah berapa tahun ya? Itu berpuluh tahun yang lalu, dia merasa sudah telat datang ke Nias. Karena ia melihat sudah banyak hal-hal yang hilang. Tradisi yang hilang,” ungkap Nusi. Jaap Kunst menetap di Bandung hingga 1932. Selama di Bandung, ia membuat arsip musik yang berisi koleksi alat musik, rekaman, foto hingga film. “Dia mengumpulkan pribadi, dari uang pribadi. Sampai-sampai katanya ia mengurangi jatah makannya untuk bisa membeli macam-macam dan bisa pergi ke mana-mana,” sebut Nusi. Foto-foto Jaap Kunst yang dipamerkan dalam "Jaap Kunst, Suara dari Masa Lalu" di Museum Nasional. (Fernando Randy/Historia). Pada 1932, Jaap Kunst pindah ke Batavia. Ia menjadi kurator alat musik di Koninklijk Bataviaasch Genoatschap van Kunsten en Watenschappen (kini Museum Nasional). Rumahnya, di Jalan Kebon Sirih No. 14, menjadi tempatnya bekerja dan menyimpan ribuan koleksi yang ia pindahkan dari Bandung. Palmer Keen, musikolog yang mengikuti jejak Jaap Kunst dalam penelitian musik tradisi Nusantara menyebut bahwa kerja-kerja penelitian Kunst sangat penting. Terlebih, ia adalah perintis etnomusikologi. “Penelitian ia sangat penting buat etnomusikologi karena sebelum ia keliling Nusantara meneliti musik, mengoleksi alat musik, bikin rekaman dan foto, tidak pernah ada yang meneliti musik (tradisi) secara dalam,” kata Palmer Keen kepada Historia . Bahkan, menurut Keen, hingga dekade 1980-an, belum ada lagi yang melakukan penelitian serupa. “Setelah itu tahun 1920-an 1930-an tidak ada lagi yang seperti dia. Sampai tahun 1980-an 1990-an mulai ada etnomusikolog seperti Margareth Kartomi dari Australia dan Philip Yampolsky dari Amerika yang mulai meneliti musik secara lengkap di Indonesia,” terang Keen. Keen menyebut kini telah banyak peneliti musik klasik atau musik keraton yang berfokus pada Keraton Yogyakarta, Keraton Solo serta musik di Bali. Namun, masih sangat jarang dilakukan penelitian terhadap seni musik di daerah-daerah terpencil. “Tapi yang meneliti musik rakyat, folk music , di luar daerah itu (Yogyakarta, Solo dan Bali) dan di pulau-pulau kecil di Sulawesi, Kalimantan, tidak ada orang sama sekali yang pernah meneliti itu. Jadi walau penelitian itu sudah 100 tahun lalu, itu tetap sangat berguna sampai sekarang,” ujar Keen. Pada 7 Maret 1934, bersama keluarganya, Jaap Kunst mengambil cuti ke Eropa dan berencana kembali pada November. Sebelum ke Belanda, ia telah memindahkan koleksi arsip musikologi yang dikelolanya. Sekitar 1000 alat musik, 325 rekaman silinder lilin, 700 positif kaca dan 450 slide dipindahkan ke Koninklijk Bataviaasch Genoatschap van Kunsten en Watenschappen. Rencana Jaap Kunst untuk kembali pada November ternyata gagal. Alasan kesehatan dan tidak tersedianya anggaran penelitian membuatnya tak bisa kembali lagi ke Hindia Belanda. Meski demikian, di Amsterdam, ia menjadi kurator di Departemen Antropologi Budaya pada Koloniaal Instituut (Tropenmuseum) yang diidam-idamkannya. Jaap Kunst sempat akan ke Jawa selama enam bulan untuk sebuah pekerjaan dengan perusahaan radio Hindia Belanda, NIROM. Mereka berencana merekam musik kadipaten, musik Sunda, Bali, dan mungkin Madura. Namun, Perang Dunia II membuatnya gagal ke Hindia Belanda untuk kedua kalinya. Pada 1942, Jaap Kunst menjadi dosen khusus (tanpa gaji) mengajar mata kuliah Sejarah dan Teori Musik Jawa di Jurusan Musikologi Komparatif di Universitas Amsterdam. Ia juga mengajar di Prancis, Amerika Selatan, dan Amerika Utara. Ia pernah menulis surat untuk R. Goris pada 1926 yang mengatakan bahwa jika pensiun ia ingin menetap di Bali atau Terschelling. “Hati saya selalu berada di kedua tempat itu,” tulis Kunst. Namun, keinginannya itu tak pernah terwujud. Jaap Kunst meninggal dunia akibat kanker pada 7 Desember 1960. Ia meninggalkan ribuan koleksi dan bahan penelitian, serta lusinan buku tentang musik tradisi.

  • Anti Jepang Gaya Bupati Magetan

    SUATU pagi pada 1943. Kesibukan di kantor Kabupaten Magetan tetiba berubah jadi mencekam. Para pegawai kabupaten ketakutan dan menghindar kala seorang perwira militer Jepang marah-marah sambil menghunus gunto , pedang panjang khas negeri matahari terbit. Tak jelas benar apa yang menyebabkan perwira Jepang itu murka dan menebar ancaman, namun yang pasti tak ada satu pun orang-orang di sana saat itu yang berani bereaksi kecuali Raden Mas Tumenggung Aryo Soerjo, sang bupati Magetan. Alih-alih gentar, Soerjo justru mendekati perwira yang tengah kalap tersebut. Dalam nada yang keras namun berwibawa, ia memarahi sang perwira yang sudah mengganggu ketenteraman lingkungan kerjanya. “Saudara ini sudah datang tanpa permisi dan mengenalkan diri, membuat kericuhan pula di sini! Saudara harus tahu, karena saya merasa benar saya tidak takut sama sekali kepada anda!” bentaknya. Dihadapi dengan sikap berani dan elegan seperti itu, sebagai seorang samurai, si perwira Jepang menjadi malu. Ia pun menurunkan tensi dan coba membicarakan masalah yang ia hadapi secara baik-baik. Masalah berakhir setelah perwira Jepang minta maaf karena mengganggu ketentraman orang-orang yang bekerja di kabupaten. “Itulah Eyang Soerjo, ia tak pernah ragu sama sekali dalam bertindak jika melihat sesuatu yang menurutnya salah,” ujar Donny Ariotedjo, salah seorang cucu Soerjo. Tersebutlah pada awal Maret 1942, balatentara Jepang memasuki wilayah Hindia Belanda. Kendati KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) coba menahan laju tentara Jepang, namun mereka tak berdaya dalam setiap pertempuran. Akhirnya, pada 8 Maret 1942, Gubernur Jenderal A.W.L. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer dan Panglima Tertinggi KNIL Jenderal Hein ter Poorten menyerah kepada Panglima Tentara Jepang Ke-16 Jenderal Hitoshi Imamura di Kalijati, Jawa Barat. Sejak itu Hindia Belanda di bawah kuasa militer Jepang. Menurut sejarawan Aiko Kurosawa, kedatangan Jepang yang mengklaim sebagai “saudara tua” itu semula disambut baik oleh rakyat Hindia yang sedang rindu akan kemerdekaan. Sambutan itu kemudian dibalas oleh penguasa militer Jepang dengan mengizinkan orang Indonesia untuk mengibarkan bendera Merah Putih serta mengumandangkan lagu Indonesia Raya . “Bahasa Belanda sebagai bahasa resmi sebelumnya diganti oleh bahasa Indonesia dan jabatan-jabatan strategis segera berpindah tangan ke orang-orang Jepang dan bumiputera,” ungkap profesor emerita dari Universitas Keio, Tokyo itu. Namun di Magetan, situasi agak berbeda. Alih-alih memberikan sambutan meriah seperti di kota-kota besar, masyarakat Magetan pada awalnya merasa bingung dan ketakutan. Nyaris hari demi hari, rakyat Magetan tak berani untuk keluar rumah. Mereka hanya bisa menunggu dengan cemas, apa yang akan terjadi kemudian. Menurut Sutjiatiningsih dalam Pahlawan Nasional Gubernur Soerjo , sebagai bupati Magetan, Soerjo berupaya agar “kelumpuhan aktivitas” tersebut segera berakhir. Atas insiatif sendiri, ia menyerukan kepada rakyat Magetan untuk tidak perlu takut. Pernyataan tersebut diikuti dengan contoh yang ia berikan sendiri: setiap pagi bersama sang istri, Soerjo berjalan-jalan di alun-alun Magetan. “Kebiasaan itu merupakan simbol bahwa dalam kondisi yang tak menentu sekali pun, sang pemimpin sama sekali tak meninggalkan rakyatnya,” tulis Sutjiatiningsih. Menyaksikan bupatinya berada di tengah-tengah mereka, masyarakat Magetan mulai berani keluar rumah untuk menjalankan kembali kewajiban mereka sehari-hari. Kehidupan pun berjalan seperti sediakala. Berita keberhasilan Bupati Soerjo mengembalikan kepercayaan diri rakyatnya didengar pejabat militer Jepang di Magetan. Ia pun tetap didapuk untuk memimpin rakyat Magetan. Bupati Soerjo sejatinya sangat membenci perilaku penguasa militer Jepang, namun  ia sadar sementara dirinya tidak berbuat apa-apa selain menerima uluran kerja sama dengan mereka. Namun Soerjo yakin bahwa keberadaan orang-orang Jepang di Indonesia tidak akan lama. Selain melihat kondisi perang yang pelan-pelan menyudutkan posisi Jepang, terutama setelah Amerika Serikat terlibat, jauh sebelumnya para orang tua di Jawa sudah meramalkan bahwa “orang-orang kate bermata sipit itu” tak akan lama berada di Nusantara. Hari demi hari, Bupati Soerjo tetap memimpin rakyat Magetan dalam suka dan duka. Kendati memutuskan untuk bekerja sama dengan penguasa militer Jepang, sikap Soerjo jauh dari watak seorang penjilat. Itu dibuktikan dengan tidak sudinya ia memenuhi permintaan penguasa militer Jepang mengumpulkan perempuan muda untuk diserahkan kepada para serdadu sebagai pelampiasan nafsu mereka. Sikap tegas sang Bupati tidak saja dianut sendiri, namun kerap ia katakan sebagai perintah resmi kepada bawahannya. “Eyang Soerjo selalu menekankan kepada para bawahannya jangan sampai mau disuruh-suruh mencarikan perempuan oleh orang-orang Jepang itu,” tutur Witjaksono, salah seorang cucu Soerjo. Penguasa militer Jepang benar-benar menjadikan wilayah bekas jajahan Belanda sebagai modal perang melawan Sekutu. Dengan memanfaatkan tanah subur dan produktif, mereka memaksa rakyat untuk memberikan sebagian besar hasil pertanian kepada penguasa militer Jepang. Padi yang merupakan makanan pokok penduduk pun tak lepas dari incaran mereka. Akibatnya rakyat tak bisa menikmati hasil jerih payahnya dan terpaksa hidup miskin karena tak memiliki apa-apa lagi. Bukan hal yang aneh jika saat itu rakyat hanya mengkonsumsi singkong, jagung bahkan akar pohon pisang untuk pengganti nasi. Sebagai lauknya, mereka terpaksa memakan bekicot, tikus sawah dan belalang. Ketiadaan uang membuat rakyat juga tak memiliki daya beli. Untuk pakaian sehari-hari, mereka terpaksa menjadikan karung goni sebagai bahan baju dan celana. “Kalau dipakai rasanya tidak enak dan gatal luar biasa karena pakaian goni yang kami pakai sering dijadikan sarang kutu busuk,” ujar Kasmijo (93), penduduk Magetan yang pernah mengalami masa penjajahan Jepang. Selain menjadikannya tenaga logistik, penguasa militer Jepang memaksa orang-orang yang masih muda terlibat dalam persiapan perang. Puluhan ribu kaum lelaki produktif dijadikan romusha (prajurit pekerja) dan dikirim ke berbagai fron terdepan untuk membangun benteng pertahanan, jalan kereta api, lapangan terbang, jembatan dan dermaga. Khusus bagi para pemuda, mereka direkrut menjadi tenaga tempur dalam berbagai kesatuan “sukarelawan” semacam Heiho, Sainedan, Keibodan, dan tentara Peta atau Pembela Tanah Air. Kaum perempuan pun tak lepas dari kesewenang-wenangan penguasa militer Jepang. Dengan dalih akan dipekerjakan di bagian administrasi, mereka dipaksa sebagai pemuas nafsu para serdadu yang baru pulang dari medan laga. Jumlah jugun ianfu (perempuan penghibur, arti harfiahnya: asisten tentara) ini sangat banyak, hingga mencapai puluhan ribu. Bukan hanya di wilayah eks jajahan Belanda, mereka pun disebar ke wilayah-wilayah luar yang dikuasai oleh militer Jepang seperti Singapura, Malaya dan Burma.   Sebagai pejabat tinggi dalam pemerintahan yang dikendalikan militer Jepang, Soerjo menghadapi dilema dalam situasi yang suram itu. Bisa dipastikan, menghadapi kesewenang-wenangan serdadu Jepang terhadap rakyatnya, Soerjo sendiri nyaris tak bisa berbuat banyak. Hanya satu yang berani ia lakukan yaitu menolak mentah-mentah permintaan penguasa militer Jepang untuk menyerahkan kaum perempuan sebagai jugun ianfu . Anehnya, militer Jepang sendiri tak berani menindak “pembangkangan” Soerjo itu. “Mungkin mereka sadar Eyang Soerjo adalah tokoh yang sangat dicintai rakyatnya hingga jika menangkapnya hanya akan menimbulkan gejolak,” ujar Donny Ariotejo.

  • Kisah Hamka dan Si Kuning

    SUATU subuh tahun 1950-an, Hamka dikejutkan dengan erangan seekor kucing kecil di sekitar rumahnya. Sedari malam suara kucing memang sudah terdengar oleh keluarga Hamka tetapi karena jauh mereka mengabaikannya. Namun kini suaranya sudah sangat dekat, seperti ada di depan teras rumah. Suara itu benar-benar mengganggu kekhusyukan shalat Hamka dan keluarganya. Selepas shalat, Hamka buru-buru mendatangi sumber suara tersebut. Dan benar saja, di depan pintu rumahnya sudah ada seekor anak kucing domestik berwarna kuning yang tampak kotor dan kurus. Kondisinya cukup memperihatinkan. Diceritakan oleh putra ke-5 Hamka, Irfan Hamka dalam Ayah: Kisah Buya Hamka , kucing itu segera dibawa masuk dan dibersihkan oleh ayahnya. Tidak lupa secangkir susu dan beberapa potongan kain disiapkan untuk si kucing. Hamka terlihat begitu senang melihat kucing kurus itu terlelap setelah menghabiskan susu yang ia siapkan. “Si Kuning” begitulah Hamka memanggil peliharaan barunya itu. Empat bulan berlalu, Si Kuning yang saat ditemukan sangat lusuh telah tumbuh menjadi kucing remaja yang begitu sehat. Ia mempunyai tugas khusus di keluarga Hamka: berburu tikus. Sejak ada si Kuning, kata Irfan, rumah di Gang Toa Hong II, Kebon Jeruk itu terbebas dari tikus-tikus yang selama ini sangat mengganggu. “Si Kuning sangat menurut pada Ayah. Pernah ketika Ayah berpergian ke Amerika selama empat bulan, Si Kuning tampak kesepian. Ia mengeong terus mencari-cari Ayah,” ucap Irfan. Pada pertengahan tahun 1956, Hamka dan keluarganya pindah rumah ke Jalan Raden Fatah. Tidak lupa mereka membawa serta Si Kuning. Kucing itu ditempatkan di dalam sebuah sangkar besi. Namun karena proses pindahan menyita banyak waktu, Si Kuning hampir dua hari tidak dikeluarkan. Mereka khawatir si Kuning akan berkeliaran dan mengganggu. Sorenya, entah siapa yang membuka, kucing itu sudah ada di luar kandangnya. Ia berlarian kesana kemari. Karena fokus seluruh keluarga sedang teralihkan, Si Kuning tidak ada yang memantau. Hingga akhirnya mereka sadar kalau kucing kesayangan Hamka telah hilang. Irfan dan seluruh anggota keluarga lalu mencari Si Kuning di sekitar rumah mereka. Namun tetap tidak ditemukan. Sang ayah, yang saat itu bekerja di Kementerian Agama, sedang melakukan perjalanan dinas. Ia sama sekali belum tahu kabar hilangnya Si Kuning. “Sampai malam Si Kuning tidak ditemukan. Ayah marah ketika mendengar kucing kesayangannya hilang,” kata Irfan. Dua minggu berlalu. Si Kuning masih belum juga ditemukan. Keluarga pun sudah pasrah dengan kepergian kucing itu. Namun tanpa diduga, kabar keberadaan Si Kuning kembali terdengar. Ketika itu Irfan dan sang ibu sedang berkunjung ke beberapa tetangga di rumahnya dulu di Gang Toa Hong. Menurut para tetangga, kucing Hamka terlihat berkeliaran selama beberapa hari di bekas rumah mereka. Kemudian kembali menghilang. Irfan terkejut sekaligus heran mendengar kabar tersebut. Bagaimana bisa Si Kuning tahu jalan ke rumah itu, mengingat ketika proses pindahan kucing itu ditempatkan di dalam truk bersama perabotan lainnya. Dua bulan sudah si Kuning hilang. Kabar dari para tetangga sebelumnya tidak cukup membantu keluarga Hamka menemukan si kucing. Namun suatu sore, ketika seluruh anggota keluarga sedang bersantai, terdengar suara kucing di depan rumah. Sontak semua orang terbangun dan berlari keluar. Bukan main, dugaan mereka tepat kalau kucing itu adalah Si Kuning. “Kami mengenal betul suara Si Kuning. Dengan lemas, kucing jantang berbulu kuning itu muncul di depan pintu yang terbuka. Melihat kedatangan Si Kuning, ayah yang sedang turut menikmati mi rebus langsung berjongkok dan memangku kucing kesayangan itu dengan terharu,” kenang Irfan. Si Kuning segera diberi makan dan diobati. Ia begitu kurus dan terdapat sejumlah luka di tubuhnya. Dalam beberapa hari, kondisi Si Kuning sudah mulai membaik. Ia sudah kembali berlarian kesana kemari seperti biasa. Semua orang masih dibuat tidak percaya. Mereka tidak bisa membayangkan bagaimana perjuangan Si Kuning kembali ke rumah itu. Terlebih jarak rumah sebelumnya dan tempat tinggalnya sekarang yang cukup jauh, hampir 50 kilometer jauhnya. Ada beberapa kebiasaan unik Si Kuning ketika bersama Hamka. Setiap malam kucing itu tidur di kamar Hamka. Tempat kesukaannya: sudut tempat tidur, dekat kaki Hamka. Selain itu Si Kuning juga sering duduk di pangkuan Hamka ketika sedang menulis karangannya. Kebiasaan lain Si Kuning yang sangat diingat Irfan adalah kebiasaan ikut Hamka ke masjid. “Bila berjalan, ia selalu di muka Ayah. Baik pergi maupun pulang. Waktu shubuh, maghrib, ataupun isya, selama Ayah dan kami shalat, Si Kuning selalu menunggu dengan setia di dekat pintu masjid. Banyak jamaah yang terheran menyaksikan kesetiaan si Kuning pada Ayah,” kata Irfan. Pada 1964, Si Kuning dan Hamka sempat terpisah dalam waktu yang cukup lama. Tuduhan pemerintah terhadap Hamka membuat ia terpaksa harus mendekam di balik jeruji besi. Pada masa-masa tersebut, Si Kuning bertingkah aneh. Menurut Irfan kucing itu jarang pulang. Hanya pada waktu makan saja ia kembali ke rumah, kemudian menghilang lagi. Tetangga sering melihatnya berkeliaran di sekitar masjid tempat Hamka biasa shalat. Ketika Hamka dibebaskan, Si Kuning kembali bertingkah normal. Ia lebih sering menghabiskan waktu di rumah. Namun posisinya sebagai hewan paling disayang mulai sedikit tergantikan. Selain perhatian dari Hamka yang berkurang karena kesibukan, kemunculan kucing lain pun menjadi sebab utamanya. Kucing putih berjenis Angora pemberian seorang kawan telah menjadi primadona baru di keluarga tersebut. “Sejak kehadiran kucing berbulu gimbal warna putih itu, Si Kuning tidak pernah lagi masuk ke dalam rumah Ayah. Tampaknya Ibu (ibu tiri Irfan) kami tidak membolehkan Si Kuning datang. Mungkin takut berkelahi dengan kucing Angora yang menjadi kesayangan Ibu,” terang Irfan. Setelah Hamka wafat, Si Kuning kembali meninggalkan rumah. Kali ini kepergiannya tidak diketahui oleh siapapun. Dari keterangan adiknya, Hilmi, Irfan mengetahui kalau beberapa orang pernah melihat keberadaan kucing itu sekitar masjid. Kondisinya sudah sangat lemah. Tetangga mereka yang pernah berziarah ke makam Hamka juga bertutur jika melihat Si Kuning di dekat pusara Hamka. Kucing itu sudah sangat dikenal di lingkungan rumah Hamka sehingga orang-orang pasti akan langsung mengenali dirinya. “Karena penasaran, selesai shalat Jum’at aku langsung menuju Tanah Kusir (makam Hamka). Di sana, aku tidak melihat Si Kuning. Kujelajahi area pemakaman namun tidak juga kujumpai Si Kuning. Ada memang beberapa ekor kucing yang kutemui, namun Si Kuning tidak ada. Beberapa kali lagi aku ziarah ke makam Ayah, tetap Si Kuning tak lagi kujumpai,” tutur Irfan.

  • Ingin Mulai Aksi Massa, Aktivis Malah Ditangkap Massa

    BERITA kekalahan Jepang membuat para pemuda yang dimotori Chairul Saleh, Sukarni, Wikana, Adam Malik, Maruto Nitimihardjo tak sabar ingin kemerdekaan segera diumumkan. Untuk itulah mereka mendesak pemimpin nasional golongan tua, yang diwakili Sukarno-Hatta, segera memproklamasikan kemerdekaan. Sambil terus memajukan kehendaknya, para pemuda terus bergerak menyelesaikan segala rencana yang bakal dilakukan ketika kemerdekaan telah dicapai. Mereka mencetak dan menyebarkan pamflet-pamflet kemerdekaan, menggalang massa, dan mengatur siasat untuk bergerak begitu Indonesia telah dicetuskan. Kesibukan para pemuda di situasi yang bergerak cepat itu membuat BM Diah, wartawan Asia Raya  yang ikut bergabung bersama kelompok pemuda nasionalis, bingung begitu keluar dari tahanan Jepang. “Tanggal 15 Agustus pagi saya berada di luar penjara Jepang, di udara bebas. Segera setelah di luar, saya menemui keluarga saya. Kemudian mencari kawan-kawan yang bergerak dalam Angkatan Baru. Saya mencari Sukarni di rumahnya. Tidak ada. Dikatakan bahwa ia menyembunyikan diri karena bersama saya delapan hari lalu banyak pemuda diburu polisi Jepang. Kemudian saya mencari Chairul Saleh. Juga saya tidak mendapatkannya di rumahnya. Saya mencari Supeno dan Soediro di Cikini, di tempat kami kadang-kadang berkumpul. Juga mereka tidak saya temukan,” kata BM Diah memoarnya, Catatan BM Diah: Peran “Pivotal” Pemuda Seputar Lahirnya Proklamasi 17-8-’45 . Kesibukan itulah yang membuat tokoh-tokoh pemuda justru alpa di Hari-H proklamasi. “Pada hari proklamasi tanggal 17 Agustus 1945, kawan-kawan tidak ada yang hadir di Pegangsaan 56. Kami masing-masing sibuk. Saya dengan Pandu meroneo pamflet proklamasi. Sedangkan Chairul katanya diamankan orangnya Kaigun di Jln. Kebon Sirih 71, dengan alasan untuk menghindari penangkapan dari orang-orangnya Gunseikanbu (semacam garnisun). Sukarni, saya tidak tahu dia di mana, Adam Malik sedang sibuk menyiarkan proklamasi lewat kantor berita Domei  bersama Syarudin. Pendek kata, kami tidak ada yang hadir,” kata Maruto Nitimihardjo dalam testimoninya di biografi Chairul,  Chairul Saleh Tokoh Kontroversial . Sore setelah proklamasi dibacakan, Maruto, Chairul, Adam, Wikana dan beberapa anak buahnya, serta Jawoto berkumpul kembali di sekolahnya Jawoto. “Kita semua groggy , frustasi,” sambung Maruto. Keadaan berlainan dari yang mereka rencanakan sebelumnya membuat mereka frustasi. “Kita sudah capai-capai kok tidak ada aksi kelanjutan?” Saking frustrasinya, Pandu Kartawiguna bahkan sampai stres dan mengamuk. Kerisnya dia cabut dari sarungnya dan dia coba bunuh siapapun yang kebetulan melintas di dekatnya. “Dengan susah payah kita menenangkan Bung Pandu.” Setelah beristirahat dan suasana tenang, mereka kembali berembuk. Diputuskan bahwa keesokan harinya, 18 Agustus, mereka kembali bergerak. Sasarannya Gedung Raad van India (kini Gedung BP-7 di Kompleks Kemenlu, Pejambon). Di sanalah para anggota PPKI bersidang. Pada Hari-H, para pemuda yang sudah pindah markas ke Prapatan 10, lalu menyabot sidang PPKI dengan menculik beberapa pemimpinnya. “Kita boikot, karena kita anggap bahwa badan tersebut berbau Jepang,” sambung Maruto. Selain Sukarno-Hatta, anggota PPKI yang hadir memenuhi permintaan pemuda ke Prapatan 10 antara lain Achmad Subarjo, Teuku Moh. Hasan, dan Mr. Ketut Puja. Sutan Sjahrir kemudian datang setelah dijemput Abubakar Lubis dan kawan-kawan penghuni Prapatan 10 yang pengikut Sjahrir. Hasil dari pertemuan itu adalah kesepakatan melaksanakan apa yang tercantum dalam proklamasi: pengambilalihan kekuasaan dari Jepang. Selain itu, menggerakkan rakyat di ibukota untuk menunjukkan Indonesia sudah merdeka. Untuk itu, isyarat pembuka gerakan pun ditetapkan berupa: tembakan meriam penangkis udara di Kemayoran, pembakaran di Jatinegara, dan penggerakan satu batalyon Heiho di Jatinegara untuk menguasai Jakarta. Namun, kurangnya koordinasi dan adanya miskomunikasi membuat aksi-aksi yang ditetapkan berjalan sendiri-sendiri dan berakhir tanpa sesuai rencana. “Pamflet proklamasi yang sudah kita sebarkan pun tidak kita ketahui, apa sudah tersebar ke pelosok-pelosok dan bagaimana reaksi masyarakat? Tanda berkobarnya api di Jatinegara yang sedianya dinyalakan oleh Saudara Jamil dengan membakar rumah WTS di Kebonpala, berkesudahan Jamil ditangkap oleh rakyat di sekitarnya. Pendek kata, semua gagal,” kata Maruto.

  • Asal-Usul Nama Candi Borobudur

    Thomas Stamford Raffles, Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, langsung tertarik ketika Tan Jin Sing, bercerita soal candi besar di Desa Bumisegoro, dekat Muntilan. Ia pun meminta Tan Jing Sing melihat candi itu. Sesampainya di sana, Tan Jing Sing mengajak warga desa bernama Paimin sebagai penunjuk jalan. “Menurut Paimin namanya candi Borobudur,” tulis TS Werdoyo, salah seorang keturunan Tan Jin Sing, dalam biografi Tan Jin Sing: Dari Kapiten Cina sampai Bupati Yogyakarta . Niken Wirasanti, arkeolog Universitas Gadjah Mada, dalam “B orobudur: Misteri Batu Tak Berujung ” termuat di  200 Tahun Penemuan Candi Borobudur , menyebut entah bagaimana asal asulnya candi itu sudah bernama Borobudur. Begitu banyak misteri soal Borobudur hingga persoalan nama pun telah banyak menarik perhatian para ahli dan pemerhati seni untuk menelusurinya .    Rafflesdalam  History of Java menulis berdasarkan cerita penduduk desa di sekitar candi bahwa Borobudur berasal dari kata  boro  dan  budur . Budur artinya "purba". Karenanya Borobudur dapat diartikan "boro purba". Sementara Raffles sendiri berpendapat Borobudur berasal dari kata  boro artinya "agung" dan  budur dari kata Buddha. Jadi, arti Borobudur adalah "Buddha yang Agung". Pakar sastra Jawa Kuno, R.M. Ng. Poerbatjaraka, menerjemahkan  boro  dengan "biara" karena ada nama tempat yang diawali dengan kata  boro , yaitu Boro Kidul, artinya "Biara di Selatan". Kemudian arkeolog Belanda, Willem Frederik Stutterheim mengartikan Borobudur sebagai "biara di atas bukit" karena buḍur  berasal dari bahasa Minangkabau, buduā , artinya "sedikit menonjol" atau "bukit". Sedangkan J.L. Moens mengatakan Borobudur merupakan nama Jawa. Asalnya dari kata  bhārabudhūr  dalam bahasa India Selatan yang artinya "kota". Jadi, Borobudur artinya "kota Buddha". Berbeda lagi dengan filolog Belanda, J.G. de Casparis. Ia mengaitkan Candi Borobudur dengan Prasasti Sri Kahulunan yang dikeluarkan pada 824. Telaahnya menghasilkan istilah bhumisambarabhudara . Nama itulah yang menjadi nama Borobudur. Interpretasi Casparis itu kemudian populer dan terus dirujuk sebagai acuan tentang berdirinya Candi Borobudur. Pendapatnya mendapat dukungan dari John N. Miksic, peneliti dari Southeast Asian Studies Department, National University of Singapore. Ia juga menyebut kalau kata Borobudur berasal dari bhumisambhara ( -bbudhara ). Pun sejarawan Slamet Muljana yang menyebut Borobudur berasal dari kata Kamulān Bhūmisambhara . “Di lingkungan masyarakat ilmiah pendapat itu masih dipermasalahkan dan tetap menjadi misteri yang hingga kini tak henti-hentinya diteliti,” jelas Niken. Karenanya hingga kini asal-usul nama Borobudur masih belum jelas dan masih membuka banyak pendapat. Ahli epigrafi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Titi Surti Nastiti, dalam “Reinterpretasi Nama Candi Borobudur” termuat di  Jurnal Amerta Vol 30. No. I, Juni 2018, berpendapat dalam mencari arti kata Borobudur, langkah awal adalah mencari kata  boro  dan  budur  yang terdapat di dalam data tekstual. Utamanya dalam karya sastra dari masa Jawa Kuno. Itu baik berupa prosa, kidung, maupun kakawin. Candi Borobudur dalam Berbagai Sumber Secara umum, sumber candi dan sumber tekstual sering tak saling mendukung. Arkeolog Universitas Gadjah Mada, Djoko Dwiyanto dalam “Kewaspadaan Terhadap Candi Borobudur Berdasarkan Data Epigrafis”, termuat di 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur, menyebut satu-satunya candi yang dapat dikaitkan secara langsung dengan sumber prasasti adalah Candi Kalasan di Yogyakarta, yaitu dengan Prasasti Kalasan dari 778. prasasti itu “Tempat pemujaan bagi Tarabhawana, sebuah bangunan suci yang bernama Kalasa sebagai tempat pemujaan umatnya,” kata prasasti itu. Bangunan suci yang dikaitkan dengan prasasti umumnya hanya berupa penafsiran kecocokan di antara keduanya. “(Contohnya, red .) Uraian gugusan candi yang terdapat dalam prasasti Siwagrha dari 856 dapat disesuaikan dengan susunan kompleks percandian Lara Jonggrang atau Prambanan,” jelas Joko. Selain dengan keterangan Prasasti Sri Kahulunan, Borobudur juga dihubungkan dengan Prasasti Karangtengah. Di dalamnya terdapat keterangan seorang raja bernama Samaratungga. Putrinya, Pramodawardhani mendirikan bangunan suci Jinalaya dan Wenuwana. Casparis mengaitkan Wenuwana dengan Candi Mendut. Sedangkan arkeolog Soekmono mengidentifikasinya sebagai Candi Ngawen atas dasar persamaan bunyi nama. Adapun Jinalaya diduga merujuk pada Candi Borobudur. Selain dengan prasasti, ada juga karya sastra yang menyebut Borobudur, di antaranya Babad Tanah Jawi. Karya inidiperkirakanditulis pada abad ke-18. Di dalamnya ada cerita pemberontak Ki Mas Dana yang melarikan diri ke Bukit Borobudur. Pringgalaya mengejar dan menangkapnya, kemudian dihadapkan ke sunan untuk menerima hukuman yang kejam. J.L.A Brandes, filolog dan sejarawan seni asal Belanda, sebagaimana dikutip J.F. Scheltema dalam  Monumental Java , meyakini Bukit Borobudur itu adalah Candi Borobudur yang terdapat di Magelang, Jawa Tengah. Karena tak ada lokasi lain yang punya nama semirip itu. Rujukan tentang candi ini diduga yang dimaksud oleh Mpu Pranpanca dalam Nagarakrtagama dari masa Majapahit . Di sana disebutkan salah satu bangunan suci Buddha yang bernama Budur. Ini sesuai dengan tulisan Raffles,  History of Java , yang menyebut Candi Borobudur berada di Distrik Budur. “Demikianlah kasugatan kabajradharan (bangunan suci Buddha Bajradhara) adalah sebagai berikut… yang lainnya yaitu Budur, Wirun, Wungkulur, dan Mananggung, Watukura, Bajrasana, dan Pajambayan, Samalanten, Simapura, Tambak Laleyan, Pilanggu, Poh Aji, Wangkali, dan Beru, Lembah, Dalinan, Pangadwan, adalah daerah perdikan pertama yang ditetapkan,” catat Mpu Prapanca. Namun, Titi mengatakan bahwa kata Budur, selain sebagai nama bangunan suci, juga merujuk pada salah satu jenis minuman keras. Dalam tulisannya yang lain, “Minuman Pada Masyarakat Jawa Kuno”, yang termuat dalam  Proceeding Pertemuan Ilmiah Arkeologi V. II.B,  Titi mendaftar semua jenis minuman keras, yang ada dalam data tekstual, termasuk budur seperti disebut dalam teks  Ādiparwa . “…Brāhmaṇa tidak makan daging babi yang diternakkan, tidak minum minuman keras, surāpāna namanya minuman keras dan sejenisnya yang disebut tuak, waragaŋ, baḍyag, tuak tal, buḍur, demikian (disebutkan dalam) kitab suci Bagawān Śukra,” catat teks itu. Ada lagi dalam teks  Calon Arang : “Tidak lama datang apa yang diminta: tuak, nasik, laukpauk, tampo, brěm, kilang, dan yang lainnya sampai srěbat-buḍur." Kemudian dalam  Kidung Harsawijaya: “Makanan, minuman keras tidak ketinggalan, tuak, badeg, siwalan, buḍur dan mrěsi, sěrbat bersama dengan arak harum." Dengan lebih jelas, Kakawin Kāṇḍawawanadahana  (Terbakarnya Hutan Kāṇḍawa), yaitu naskah yang sampai saat ini belum diterjemahkan, menjelaskan asal usul budur. “Membuat perumahan sementara...dengan atap dari daun buḍur." Titi pun menyimpulkan bahwa buḍur  adalah nama tumbuhan sejenis aren atau enau. Airnya bisa dibuat minuman keras dan daunnya dijadikan atap rumah. Karenanya, menurut Titi, tak aneh jika Borobudur bisa diartikan sebagai "biara yang ada di Budur" atau biara yang ada di tempat yang banyak ditumbuhi pohon budur . Di Indonesia banyak ditemukan nama tempat yang menggunakan nama tumbuhan. Misalnya, seperti di Jakarta, ada Kampung Rambutan, Kebon Nanas, Kebon Kacang, dan Kemang. Penamaan itu sudah terjadi dulu. Titi mengatakan dalam prasasti banyak nama desa yang memakai nama tanaman. Contohnya Poh (mangga), Bungur , dan Nyū (kelapa). “Saya setuju dengan pendapat Poerbatjaraka yang menyebut Borobudur adalah biara di Buḍur. Kata Buḍur diambil dari sejenis tanaman aren, yang mungkin pada saat itu banyak ditemukan di tempat itu,” jelas dia.

bottom of page