Hasil pencarian
9593 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Suku Biak, Suku Vikingnya Papua
DALAM berbagai catatan sejarah Indonesia timur, selama ini hanya orang Bugis yang diakui sebagai pelaut-pelaut tanggguh. Selain pernah ke Madagaskar, mereka pun dikisahkan kerap bolak-balik Makassar-Australia untuk menjalin hubungan dagang dengan Suku Aborigin. Namun tak banyak orang tahu jika suku Biak (yang mendiami Pulau Biak dan Numfor) dari Papua, juga telah di kenal lama sebagai para penjelajah lautan yang tangguh. Demikian pernyataan sejarawan A.B. Lapian dalam buku Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut, Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX. “Suku Biak menjelajah lautan hingga Maluku, Sulawesi, Jawa bahkan konon antara 1400-1800, mereka pernah sampai di semenanjung Malaka…,” tulis A.B. Lapian. Sejatinya, masih kata Lapian, pelayaran orang Biak dan Numfor terdorong oleh beberapa hal, yaitu motif persaingan atau korfandi , lingkungan georafis Biak yang tandus dan kurang menghasilkan secara ekonomis, perang antar suku, dan adat budaya. Namun menurut Albert Rumbekwan, ada aktor lain yang menyebabkan terjadinya penjelajahan laut yang dilakukan oleh Suku Biak Numfor. “Pada sekitar tahun 1400-an terjadi kemarau panjang di daerah mereka, sehingga untuk memperoleh bahan makanan, Suku Biak berlayar keluar kawasan mereka,” ujar sejarawan yang mengajar di FKIP Universitas Cendrawasih, Papua itu. Pasca kemarau panjang itu, orang Biak dan Numfor lebih memfokuskan pelayarannya pada aktivitas perdagangan barter, dan merompak masyarakat suku-suku di sekitar Teluk Cenderawasih, hingga ke sekitar kepulauan Raja Ampat. Dampak dari aktifitas melaut orang Biak dan Numfor adalah mereka mendominasi aspek perdagangan dan politik di wilayah tersebut. “Jejak-jejak mereka bisa kita dapat hari ini dari penamaan sejumlah tempat di Papua yang memakai istilah bahasa mereka seperti Manokwari (berasal dari kata mnuk war artinya kampung tua), Sorong ( soren ),” ujar Albert. Dalam proses aktivitas penjelajahan itu, Suku Biak pada akhirnya harus berhubungan dengan dengan orang-orang di luar Papua seperti para pelaut Ternate, Tidore, Halmahera-Flores-Gebe, Sulawesi, Buton, pelaut Tiongkok dan Eropa. Soal ini dibenarkan oleh A.B. Lapian saat mengisahka kiprah Suku Biak sebagai bajak laut yang menguasai sekitar kepulauan Raja Ampat, Maluku hingga ke Sulawesi. “Sumber-sumber Belanda menyebut mereka sebagai Papoesche Zeerovers yang berarti para bajak laut Papua,” tulis Lapian. Muridan Widjojo, dalam buku Pemberontakan Nuku , menyatakan hubungan antara Suku Biak dengan orang-orang di luar mereka bahkan sudah pada tahap persekutuan politik. Itu terjadi pada sekitar tahun 1780-1810 saat para bajak laut Papua memihak Sultan Nuku dalam menghadapi Kesultanan Jailolo dan Kesultanan Ternate. “Para bajak laut Papua dari Teluk Cenderawasih, mengambil bagian dalam peristiwa itu dan memberikan kemenangan bagi Sultan Nuku,” tulis sejarawan asal Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu dalam bukunya. Albert Rumbekwan meyakini orang-orang Papua sejak ratusan tahun lalu sudah memiliki kemampuan maritim yang kuat. Selain itu dalam bidang ekonomi, sistem dagang Suku Biak terbentuk melalui kongsi dagang antar sahabat yang disebut; Manibobi, dengan berlayar dan berdagang keliling. “Mereka menjajakan berbagai komoditas ke beberapa gugusan kepulauan Yapen-Waropen, Teluk Wondama, dan Teluk Doreri-Manokwari, Amberbaken, antara lainsagu, kulit kayu massoi, burung cenderawasih, dan budak” ujar Albert. Dari kongsi dagang itu, orang Biak memperoleh jenis-jenis komoditi dagang baru yang diperolehnya dari para pelaut dari Ternate-Tidore, Buton, Makassar, Tiongkok dan Eropa. Komoditi dagang tersebut antara lain; porselin Tiongkok, manik-manik, parang, tombak besi, gelang dari besi atau logam, serta berbagai jenis kain. Aktivitas pelayaran ini dipimpin oleh Manseren Mnu atau Suprimanggun, dan “ Mambri ” sebagai pemimpin perang. Mereka berlayar menggunakan perahu layar tradisional; Wairon, Waimansusu dan Waipapan/Karures dan telah menguasai ilmu navigasi yang mengandalkan bintang, seperti bintang Orion (Sawakoi) dan Scorpio ( Romanggwandi ). Kemampuan berlayar dan berdagang sampai ke Ternate-Tidore, menyebabkan orang Biak diberi gelar-gelar seperti Mambri, Sangaji, Korano , dan Dimara . Interaksi itu melahirkan akulturasi budaya antara orang Biak-Numfor dengan suku-suku di daerah Yapen-Waropen, Teluk Wondama, dan Manokwari melalui perkawinan dan perdagangan. Menurut Albert, suku-suku di Teluk Cenderawasih adalah suku di Papua yang pertama kali melangsungkan pelayaran maritim. Suku-suku tersebut berasal dari kepulauan Biak-Numfor, Yapen-Waropen, Teluk Umar, Kepuluaun Haarlem, dan Teluk Wondama. Menurut catatan tertulis, sejarah maritim orang Papua dari Teluk Cenderawasih ini sudah berlangsung lebih awal dari Abad ke-8, sebelum kehadiran para pelaut Nusantara, Tiongkok dan Eropa di Nieuw Guinea.
- Legenda Buaya di Kalangan Masyarakat Sulawesi Selatan
BEBERAPA tahun lalu, di Murante Kabupaten Luwu, seorang ibu yang baru saja berduka karena anak lelakinya meninggal dunia. Dikejutkan dengan kemunculan seekor anak buaya di tangga depan rumahnya. Buaya kecil itu, seukuran kaki jempol orang dewasa. Berjalannya agak lunglai. Seperti anak lelakinya yang difabel semasa hidup. Buaya itu dipercaya sebagai kembaran si anak lelaki. Tak hanya itu, di desa Suli, Kabupaten Luwu, seekor buaya hitam buntung dipercaya sebagai kembaran dari seorang warga. Bahkan sampai hari ini sebagian warga kampung Cerekang, Kabupaten Luwu Timur, yang masih menggunakan sungai untuk mandi, selalu percaya ditemani buaya. Di sungai itu, buaya selalu hilir mudik. Anak-anak dan orang tua di Cerekang tak pernah takut untuk berenang bersama. Muchsin Daeng Manakka, salah seorang penduduk di desa Cerekang mengatakan, buaya adalah jelmaan dari dunia bawah. Dia adalah leluhur dari manusia. Di Pinrang, beberapa orang juga menjadikan buaya bagian dari keluarga. Bahkan menurut Muhammad Ikbal, salah seorang warga Pinrang, setiap tahun bersama keluarganya memberi sesajen pada buaya yang ada di sungai. “Biasanya diberikan telur dua buah. Itu dilakukan kalau nenek saya sudah mimpi bertemu dengan kembaran buaya-nya itu,” katanya. Bagaimana kisah ini bermula? Dalam epik I La Galigo , ketika dunia akan diisi oleh manusia, seorang anak dewa dari langit bernama Batara Guru diturunkan ke bumi. Dan untuk menemaninya maka diangkatlah sepupunya dari penguasa dunia bawah bernama We Nyili Timong. Sejarawan Universitas Negeri Makassar, Taufik Ahmad mengatakan, di masyarakat Bugis dan Makassar buaya menjadi bagian dari kehidupan manusia adalah lumrah. Di Bone, buaya dikenal dengan nama To ri Salo (terjemahannya secara umum adalah orang yang menghuni sungai). Di Luwu disebut ampu salu (yang menguasai sungai) dan bahkan dalam menyebutnya harus mengunakan kata nenek –merujuk pada buaya. “Saya kira ini cara pandang manusia dalam hubungannya dengan alam,” katanya. Pandangan inilah, kata Taufik, sebagai cara dalam memproteksi sungai. Pada masa lalu, masyarakat tidak dibenarkan membuang hajat di sungai, menangkap ikan dengan racun. Bahkan rumah-rumah masyarakat yang berada di pinggiran sungai, menjadikannya sebagai halaman depan. Namun, sejak 1905 penghormatan pada buaya mulai berkurang. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, berdasarkan catatan pergantian pegawai tinggi Belanda yang diperoleh Taufik, menjelaskan adanya kegiatan yang disebut hunting crocodile . “Tahun 1907, kegiatan hunting crocodile ini dilakukan. Ada ribuan buaya yang ditangkap,” kata Taufik. “Tapi saya tak menemukan catatan, apakah itu dilakukan untuk kebutuhan pasar Eropa, untuk kulit buaya.” Pada masa itu, pegawai Belanda yang bermukim di Sulawesi Selatan merekrut dan menggaji orang-orang pribumi untuk menangkap buaya. “Apa yang terjadi? Pelan-pelan hubungan manusia dan buaya (alam) mulai luntur dan orang mulai mengotori sungai,” katanya. Fenomena ini bisa ditemui di hampir semua wilayah di Sulawesi Selatan, baik yang pedalaman maupun kota kabupaten. Sungai menjadi tempat sampah. Bahkan rumah-rumah menjadikan sungai sebagai halaman belakang. “Ingat, di kebudayaan kita halaman belakang itu adalah kotor. Itulah yang terjadi pada keberadaan sungai atau juga laut saat ini,” kata Taufik. Peneliti Biomedik Universitas Hasanuddin, Arfan Sabran mengatakan, hubungan manusia dengan buaya adalah salah satu cara menciptakan kelas ataupun pembentukan relasi kuasa di masyarakat pesisir sungai. “Selama amatan saya, di pesisir sungai, masyarakat yang hidup lebih majemuk. Jadi untuk menciptakan kelas sosial tertentu muncullah mitologi semacam ini,” katanya. “Dan sebagai cara menjaga alam khususnya air, ini salah satu cara terbaik.” Namun, dari sisi biologi, kembar antara manusia dan buaya tidak mungkin terjadi. Menurut Arfan, hubungan DNA antara reptil dan manusia sangat jauh berbeda. Jika manusia memiliki 23 pasang kromosom, maka buaya jauh lebih sedikit dan sangat sederhana. Tidak serumit manusia. Tidak hanya itu, jenis kelamin buaya itu ditentukan oleh suhu telur. Dan sperma atau sel telur dari manusia dan buaya tidak akan bisa menyatu. "Jika kemudian ada yang mengatakan buaya itu keluar dari rahim, saya kira tidak ada yang dapat membuktikan. Jika pun buaya itu hidup dipencernaan maka itu juga sesuatu yang tidak mungkin, karena tingkat keasaman lambung akan membunuhnya,” kata Arfan.
- Kisah Nyai dan Para Lelaki Kolonial yang Kesepian
SETIAWATI masih hapal riwayat hidup leluhurnya itu. Secara diam-diam, kisah tersebut selalu tersampaikan dari generasi ke generasi di kalangan keluarga besarnya, sebagai “kenangan pahit” yang tidak boleh terulang lagi. “Mungkin saat itu situasinya memang tak terelakan, takdir Tuhan harus berlaku demikian kepada nenek buyut saya,” ujar perempuan kelahiran Jakarta 55 tahun lalu tersebut. Sarima, nama nenek buyut Setiawati, adalah seorang nyai. Itu adalah istilah yang ditujukan kepada seorang perempuan pribumi yang dijadikan pasangan hidup seorang lelaki kulit putih tanpa suatu ikatan pernikahan. “Sekalipun di Eropa moral Kristen menuntut penahanan nafsu seksual di luar pernikahan, ideologi di Hindia Belanda membolehkan seorang lelaki mencari jalan keluar bagi kebutuhan-kebutuhan seksnya…” tulis Tineke Hellwig dalam Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda. Terlebih, lanjut Tineke, anggapan umum saat itu menyebut bahwa iklim tropis serta makanan kaya bumbu pedas mendorong munculnya libido para lelaki Eropa yang bermukim di tanah Hindia Belanda. “Pendapat-pendapat tersebut seolah menjadi pembenar terjadinya praktek pergundikan dan pelacuran yang dilakukan mereka…” ujar doktor sastra Indonesia dari Universiteit Leiden, Belanda itu. Hampir senada dengan penilaian Setiawati dan Tineke, penulis sejarah kolonial asal Belanda Reggie Baay, menyebut kuputusan seorang lelaki kolonial “mengambil” seorang nyai, merupakan gejala umum dan seolah sesuatu hal yang bisa diterima oleh banyak orang kala itu. Jika pada awal-awal kolonialisme terpancangkan di tanah Hindia Belanda sistem perbudakan adalah suatu keniscayaan, maka selanjutnya sistem pergundikan dengan seorang perempuan pribumi merupakan pemecahan masalah dari “rasa kesepian” para lelaki kulit putih lajang. “Terdapat lebih dari setengah jumlah keseluruhan laki-laki Eropa di koloni yang hidup bersama seorang gundik pribumi dalam 25 tahun terakhir pada abad ke-19,” ungkap Reggie dalam Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda. Terciptanya “konsep nyai” juga tidak terlepas dari perbedaan kelas: superioritas kulit putih atas kulit coklat, dominasi penjajah terhadap pihak terjajah. Situasi tersebut berkelindan dengan sikap nrimo yang dipelihara dengan setia oleh sebagian besar para bumiputera. Tidak usah jauh-jauh, sebagai contoh adalah kasus yang dialami oleh Sarima sendiri sekitar era 1920-an. Sebagai seorang buruh pemetik teh yang miskin di Garut, ia harus “pasrah” saat tuan adminsitratur “menginginkan dirinya”. Kendati saat itu, Sarima telah memiliki seorang suami. “Dalam hal ini, pemberian sejumlah uang (kepada pihak keluarga perempuan atau suami perempuan tersebut) kerap dilakukan,” ujar Reggie. Bahkan, pada kasus lain, seorang Njai juga bisa “dialihkan” kepada lelaki Eropa lain. Kasus-kasus seperti itu biasanya terjadi di tangsi-tangsi tentara. Seperti dialami oleh Marie (nyai yang berasal dari Purworejo) dan Enjtih (nyai yang berasal dari Cimahi). Pengalihan itu biasanya terjadi karena pihak lelaki sudah mulai jenuh atau akan dipindahtugaskan ke tempat lain. Lantas bagaimana status hukum anak-anak yang lahir dari hubungan sejenis itu? Menurut Tineke Hellwig, sejatinya seorang nyai tidak memiliki hak apa pun, baik terhadap dirinya maupun atas anak-anak yang dilahirkannya. Karena itu, ia harus siap dicampakan oleh “pasangannya” termasuk tidak diberi imbalan apapun. “ Kadang-kadang sebelum mencampakan para nyai tersebut, para lelaki itu menyerahkan anak-anak mereka ke rumah yatim piatu,” ujar lektor kepala di University of British Columbia, Kanada tersebut. Tentunya tidak semua nyai bernasib buruk. Ada juga di antara mereka yang dicintai betul-betul oleh pasangannya hingga (setelah mendapatkan beberapa anak) dinikahi dan didaftarkan sebagai istri yang sah secara hukum. Itu dialami oleh dua orang nyai bernama Gouw Pe Nio dan Djoemiha. Alih-alih diperlakukan sewenang-wenang, mereka malah hidup bahagia sampai mati bersama para lelaki Eropa tersebut.
- Presiden Sukarno Kembali dari Pengasingan
FOTO lama yang terpampang di buku IPPHOS, Remastered Edition itu berbicara banyak. Dalam nuansa hitam putih, nampak masyarakat Jakarta tumpah ruah. Sepanjang Bandara Kemayoran-Istana Negara Jakarta, ratusan ribu manusia menyemut. Mereka memekik, tertawa dan ada pula yang menangis. Teriakan “merdeka” bercampur baur dengan pekikan “Hidup Bung Karno”, membentuk suara bergemuruh dalam lautan massa. Demikian deskripsi yang dilukiskan oleh Presiden Sukarno dalam buku Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya penulis Amerika Serikat, Cindy Adams. Pada 28 Desember 1949, Presiden Sukarno kembali menginjakkan kaki di Jakarta. Itu terjadi setelah pada 1946, demi keamanan, ia terpaksa menyingkir dari ibu kota Republik Indonesia (RI) yang sudah mulai dikuasai tentara Belanda. Setelah dua tahun berkantor di Istana Negara Yogyakarta, pada 19 Desember 1948, militer Belanda menangkap sekaligus mengasingkan Presiden Sukarno beserta pejabat-pejabat RI lainnya ke Pulau Sumatra. Namun, diakuinya kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) oleh Kerajaan Belanda pada 27 Desember 1949, otomatis membebaskan Sukarno cum suis sekaligus mewajibkan Belanda untuk mengembalikan mereka ke Yogyakarta. Setelah beberapa jam singgah di Yogyakarta, dengan menumpang pesawat KLM (maskapai penerbangan Kerajaan Belanda) yang secara terburu-buru dicat simbol Garuda Indonesia Airways (GIA), Sukarno terbang menuju Jakarta. “Pesawat itu adalah satu-satunya pesawat dari Garuda Indonesia Airways yang berumur satu hari,” ujar Sukarno. Dalam Kronik Revolusi Indonesia , Pramoedya Ananta Toer dan kawan-kawan melukiskan kedatangan Presiden Sukarno di Jakarta sebagai sebuah pesta rakyat. Sejak subuh, rakyat Jakarta dan sekitarnya telah datang dari berbagai pelosok. Terlebih rencana kedatangan rombongan Presiden Sukarno telah diumumkan sebelumnya lewat Radio Republik Indonesia (RRI). “Riuh rendah sorak ribuan rakyat yang sejak pagi berjejal-jejal menunggu di Kemayoran,” ujar Pram yang menulis buku tersebut bersama Koesalah Soebagyo Toer dan Ediati Kamil. Tepat pukul 11.40, pesawat yang ditumpangi Presiden Sukarno beserta rombongan mendarat secara mulus di Bandara Kemayoran, Jakarta. Begitu turun dari pesawat, ia dijemput dengan mobil terbuka (pinjaman dari pengusaha Dasaad) dan dikawal secara ketat oleh sepasukan tentara dan polisi. Sambil berdiri tegak, sepanjang jalan menuju Istana Negara, Sukarno tak henti-hentinya memberikan salam dan melambaikan tangannya kepada ratusan ribu massa yang meneriakan namanya secara bersemangat. “Rakyat berlari ke depan kendaraan kami. Yang lain terlanggar. Ada lagi yang terdorong. Beberapa diantaranya pingsan. Kami diserbu rakyat. Aku tidak bisa maju setapak pun. Rakyat bergelantungan di sisi kendaraan, kap mobil, di tangga. Rakyat menggapai-gapai kepadaku untuk mencium jariku,” demikian Sukarno menuturkan. Melalui kerja keras para prajurit dan polisi yang berupaya membukakan jalan, Sukarno akhirnya bisa tiba di tangga Istana Negara. Sesampai di puncak tangga, ia lantas mengangkat tinggi-tinggi kedua tangannya. Lautan manusia yang tadinya bergemuruh pun sontak terdiam. Sama sekali tak ada yang bergerak. “Alhamdulillah! Kita merdeka!” Suara bergemuruh kembali membahana. Kota Jakarta kembali tenggelam dalam suka cita dan pesta.*
- Berabad Riwayat Umat Kristen di Cianjur
GUNUNG Halu, Cianjur, 25 Desember 2015. Suara lonceng yang berdentang dari Gereja Kristen Pasundan (GKP) Palalangon tiba-tiba berhenti di tengah hari itu. Sebagai gantinya, dari berbagai arah kampung tersebut berkumandanglah suara adzan. Situasi di hari Natal itu terkesan memang kontras, tapi bagi warga wilayah Gunung Halu hal tersebut memang sudah biasa. “Sengaja genta gereja kami hentikan, supaya saudara-saudara Muslim kami bisa fokus menjalankan shalat Jumat,” ujar Yudi Setiawan (43), koster (pembantu) di GKP Palalangon. Tak banyak orang tahu, di Kabupaten Cianjur terdapat sebuah komunitas Kristiani. Keberadaan mereka bahkan sudah berlangsung ratusan tahun dan setidaknya menurut Yudi, hingga kini sudah mencapai generasi ke-5. Lantas bagaimana ceritanya agama Kristen bisa berkembang di kota yang kerap disebut sebagai gudang pesantren tersebut? Menurut Dadan (73), salah satu sesepuh Cianjur, kedatangan agama Kristen ke Cianjur terkait dengan tibanya serombongan pedagang Portugis ke kota tersebut di era Dalem Aria Wiratanu II (1691-1707). Sebagai bentuk penghargaan dan toleransi, Dalem Wiratanu II lantas mempersilakan para tamunya untuk tinggal di satu wilayah dekat pinggiran Sungai Citarum. “ Sekarang namanya jadi kawasan Gunung Halu, kampungnya orang-orang Nasrani (Kristen) di Cianjur,”ujar Dadan yang mengaku mendapat cerita tersebut dari kakeknya. Tetapi cerita Dadan berbeda dengan versi resmi pihak GKP Palalangon. Disebutkan Yudi, keberadaan orang-orang Kristen di wilayah Cianjur bermula dari adanya permintaan pemerintah Hindia Belanda kepada Bupati Cianjur Raden Prawiradireja II (1862-1910) pada 1901. Mereka meminta bupati Cianjur ke-10 itu, menyediakan lahan yang masih kosong untuk komunitas Kristen pribumi yang ada dalam bimbingan NZV ( Nederlandsche Zendings Vereeniging ), sebuah pekabaran misi Injil dari Belanda. Sebagai catatan, orang-orang Sunda yang memutuskan untuk memeluk agama Kristen saat itu mengalami situasi yang sangat memprihatinkan. Selain mengalami intimidasi, penganiayaan dan bahkan pembunuhan, mereka pun tak diakui oleh keluarganya masing-masing. “Saat itu orang-orang Sunda mengidentikan Kristen sebagai agama orang Belanda. Jadi sangat dimengerti jika keberadaan mereka tak diterima oleh keluarga besarnya masing-masing,” ujar Raistiwar Pratama, peneliti dari ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia) yang pernah melakukan riset mengenai komunitas Kristen Sunda itu. Setelah berhasil mengumpulkan 7 pengikut Kristen pribumi, salah seorang anggota NZV bernama B.M. Alkema kemudian menghadap Bupati Cianjur dan meminta sang bupati memberi petunjuk kira-kira lahan mana di Cianjur yang bisa mereka tempati. Bupati Raden Prawiradireja II lantas memberi wewenang kepada salah seorang wedananya yang bernama Sabri. Sabri kemudian mengajak B.M. Alkema dengan ketujuh pengikutnya bergerak ke arah timur Cianjur. Mereka menyusuri aliran sungai Cisokan dan kemudian aliran sungai Citarum. Saat mendekati kawasan yang disebut sebagai Leuwi Kuya (Lubuk Kura-Kura), tiba-tiba salah seorang dari rombongan itu terperosok masuk ke sebuah jurang. Untunglah ia masih bisa diselamatkan. Usai menolong kawannya yang terperosok itu, rombongan tidak berbalik lagi ke tempat asal. Mereka justru menaiki bagian lain dari tebing tersebut dan menemukan sebuah hutan belantara yang tanahnya agak datar. Alkema merasa cocok dengan kawasan itu. Setelah memeriksa beberapa sudut di kawasan itu, ia kemudian menancapkan tongkatnya di salah satu tempat tersebut dan berikrar: “Di tempat inilah saya tetapkan sebagai tempat pemukiman bagi orang-orang Kristen Sunda…” Begitu selesai pembabatan hutan, dibuatlah beberapa pemukiman sederhana di kawasan itu. Ketujuh orang Kristen Sunda itu kemudian menjemput keluarganya masing-masing untuk tinggal di sana. Guna memenuhi kebutuhan ibadah kebaktian, dibangunlah sebuah “gereja darurat” yang terbuat dari bahan dasar “eurih” alias ilalang. Kebaktian pertama sendiri terjadi pada 17 Agustus 1902 dan secara resmi para anggota jemaat memberi nama kampung tersebut dengan istilah Sunda ‘palalangon” yang artinya “menara”. Kendati menganut Kristen, tidak serta merta menjadikan mereka sebagai masyarakat yang eksklusif. Aliha-alih berjarak, dalam Perang Kemerdekaan (1945-1949) keberpihakan orang-orang Kristiani Palalangon kepada pihak republik nampak nyata. Itu dibuktikan dengan pernah dijadikannya Palalangon sebagai markas oleh sebuah kesatuan tentara republik. “ Kesatuan itu dipimpin oleh Sersan Kentjong, komandan saya,” ujar Atma (85), salah seorang mantan petarung republik di Cianjur. Menurut Wijaya, salah seorang peneliti sejarah, di era Perang Kemerdekaan, orang-orang Kristen Palalangon pun mendapat jaminan perlindungan dari Lasykar Hizbullah. Bahkan saat pertama kali mendirikan Lasykar Hizbullah Ciranjang pada 3 Februari 1946, orang-orang Kristen Palalangon pimpinan Pendeta Empi menyumbangkan dua ekor kuda tunggangan dan seperangkat mesin tik untuk staf administrasi lasykar kaum Muslim tersebut. “Barang-barang yang disumbangkan kaum Kristiani Palalangon itu bermanfaat besar bagi mobilitas dan penyelesaian soal-soal administrasi kesatuan Lasykar Hizbullah cabang Ciranjang tersebut,” tulis Wijaya dalam Lasykar Hizbullah: Antara Jihad dan Nasionalisme Mempertahankan Kemerdekaan RI (1945-1949) .
- Empat Puluh Tahun Mencari Tan Malaka
SEBUAH foto kuno suasana Hindia Belanda berukuran besar terpajang di lorong pintu masuk rumah yang terletak di wilayah Castricum, utara Belanda. Begitu masuk ke dalam ruangan tamu, tamu disambut ribuan buku tersusun rapi dalam rak yang berdiri menempel pada tembok. “Semua buku di sini berbahasa Belanda, tentang sejarah, politik dan sastra. Kalau tentang Indonesia ada di lantai dua,” kata Harry A. Poeze, empunya rumah yang telah ditempatinya sejak periode 1970-an itu. Harry Poeze identik dengan sosok Tan Malaka. Dialah sejarawan Belanda yang paling menguasai kisah hidup aktivis politik revolusioner dalam sejarah Indonesia itu. Namun di balik ramainya diskusi Tan Malaka akhir-akhir ini, tak banyak yang mengetahui kisah hidup Harry Poeze. Perjumpaan Harry dengan Tan Malaka bermula semenjak dia mahasiswa jurusan ilmu politik di Universitas Amsterdam. Saat itu Harry mengikuti kuliah sejarah Indonesia yang diampu oleh Profesor Wim Wertheim, salah satu sosiolog dan ahli Indonesia yang sangat terkenal. Persentuhannya dengan sejarah Indonesia membuatnya tertarik untuk membaca buku Kemunculan Komunisme Indonesia karya Ruth T. McVey. “Saya tertarik dengan Tan Malaka saat saya mahasiswa ikut mata kuliah Sejarah Indonesia dan saya harus menulis skripsi mengenai sejarah Indonesia. Saya baca sejumlah buku mengenai sejarah perlawanan Indonesia terhadap imperialisme Belanda dan seringkali temukan nama Tan Malaka, tapi disebut riwayat hidupnya penuh teka-teki dan belum diketahui,” ujar Harry yang diterima masuk di Universiteit van Amsterdam pada 1964. Mulai saat itulah Harry menekuni sosok Tan Malaka untuk skripsi sarjananya dan berhasil diselesaikan pada 1972. Dalam skripsinya itu Harry memokuskan kisah Tan Malaka semasa hidup di Belanda mulai 1913-1919 dan saat Tan Malaka diasingkan kembali dari Indonesia ke Belanda pada 1922. Skripsinya kemudian diterjemahkan dan diterbitkan ke dalam bahasa Indonesia pada 1988 oleh Penerbit Grafiti Pers, Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik 1897-1925 . Selesai menulis skripsi, Harry tak berhenti mencari tahu siapa Tan Malaka. Dia melanjutkan lagi penelusuran riwayat hidup Tan Malaka untuk disertasi doktornya di universitas yang sama. Selama empat tahun (1972-1976), Harry menelisik ke masa lalu kehidupan Tan Malaka sampai dengan periode kemerdekaan 1945. Pada 1999 penerbit Grafiti Pers menerbitkan buku Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik 1925-1945 yang naskahnya diterjemahkan dari disertasi Harry . Pencarian tentang siapa Tan Malaka membawanya berkeliling ke banyak negeri, mulai Jerman, Prancis, Inggris, Amerika Serikat, Rusia, Filipina sampai Indonesia. Tan memang seorang aktivis politik dengan rekam jejak internasional. Pekerjaannya sebagai perwakilan Komintern untuk Asia (organisasi komunisme internasional) mengharuskannya berkeliling ke berbagai negeri, membantu mengorganisasi perlawanan rakyat terhadap imperialisme dan kolonialisme. Hasil dari riset selama 40 tahun lebih itu, selain tentu saja buku biografi Tan Malaka sepanjang 3000 halaman yang tahun kemarin baru diluncurkan, adalah bertumpuk dokumen arsip-arsip Tan Malaka. Salah satu koleksi yang diperoleh Harry berasal dari arsip Komintern di Moskow, Rusia. Berkat ketekunannya, Harry berhasil memecahkan beberapa kode rahasia yang kerap digunakan Tan Malaka saat berkorespondensi dengan kawan-kawan seperjuangannya. Banyak surat-surat pribadi Tan Malaka yang berhasil Harry dapatkan. Beberapa di antaranya adalah surat-surat Tan Malaka ke Komintern dengan menggunakan berbagai macam bahasa. “Tan Malaka pandai berbahasa Belanda, Inggris, Jerman, Cina dan banyak lagi bahasa,” kata Harry. Kunjungan Harry untuk meneliti Tan Malaka ke Indonesia baru dilakukan pada 1980. Dalam kesempatan itu, Harry menemui banyak kawan dan lawan politik Tan Malaka untuk diwawancarai. Sampai hari ini hubungan Harry dengan keluarga besar Tan Malaka terjalin dengan sangat baik. Selain dikenal sebagai sejarawan, tak banyak orang tahu kalau Harry pernah berkarier sebagai politikus. Setahun sebelum Harry merampungkan kuliah sarjananya, dia terpilih sebagai anggota dewan kota Castricum dari Partai Buruh (Partij voor de Arbeid, PVDA). Selama 11 tahun (1971–1982) pria kelahiran Loppersum, 20 Oktober 1947 itu mengabdikan dirinya sebagai politikus di dewan kota Castricum, termasuk sebagai wethouder atau asisten walikota Castrium. “Saya memang anggota Partij van de Arbeid sejak 1965. Ideologi saya sosial-demokrat, cocok dengan pendapat politik saya, sosialisme dengan demokrasi. Saya selalu menentang fanatisme dan ideologi yang absolut,” ujar ayah dua anak itu. Kekaguman dan keseriusannya menekuni riwayat hidup Tan Malaka mendorong Harry untuk memecahkan misteri kematian tokoh berjuluk bapak republik itu. Jerih payahnya berbuah manis. Pada 2007, dia berhasil menemukan lokasi yang diperkirakan jadi kuburan Tan Malaka. Harry pun sukses mengungkap kisah hari-hari terakhir Tan Malaka sebelum dia dieksekusi mati. Sejumlah nama pelaku eksekusi dan pemberi perintah pembunuhan sudah dikantonginya. Salah satunya adalah Brigjen. Soekotjo, yang pernah menjabat sebagai walikota Surabaya di era Orde Baru. Didorong rasa ingin tahu yang tinggi, Harry pun bergerak menemui berbagai pihak agar jenazah Tan Malaka yang dikubur di Selopanggung, Kediri itu digali untuk dites DNA. Sejak 2009 upaya untuk mengindentifikasi DNA Tan Malaka telah dilakukan oleh tim dokter Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hasilnya memang tak sempurna karena kondisi jasad yang sudah terlalu rusak. Namun berbagai petunjuk yang memperkuat dugaan bahwa pria yang terkubur di sana adalah jasad Tan Malaka cukup jelas, semisal posisi tangan yang terikat ke belakang dan berbagai kesaksian yang berhasil Harry peroleh. Harry berharap pemerintah Indonesia bersedia untuk memakamkan kembali jasad Tan Malaka secara layak di makam pahlawan. “Saya masih menunggu (keputusan) pemakaman kembali Tan Malaka di Kalibata, sebagai puncak dari riset saya selama lebih dari 40 tahun,” pungkas Harry menyimpan harap.*
- Tahun Terakhir Tan Malaka
SETELAH dibebaskan dari penjara di Magelang pada 16 September 1948, Tan Malaka berupaya menghimpun lagi para pendukungnya. Bersama beberapa rekannya, pada 7 November 1948 dia membentuk Partai Murba dengan asas “antifascis, antiimperialis dan antikapitalis.” Namun Tan enggan memimpin Partai Murba. “Dia tidak mau jadi ketua. Mungkin dia harap jadi Presiden RI dan selalu tidak senang dengan politik diplomasi,” kata sejarawan Harry A. Poeze dalam diskusi bukunya, Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 4, di Jakarta, 23 Januari 2013. Buku ini mengisahkan babakan terakhir perjalanan hidup Tan Malaka, sejak September 1948 sampai Desember 1949. Usai kongres pendirian Partai Murba, Tan mesti menentukan pilihan tentang hari depan pergerakannya. Meski Yogyakarta strategis (saat itu sebagai ibukota Republik Indonesia), dia merasa tidak aman di kota itu. “Dikhawatirkan akan terjadi pendudukan Belanda, dan bahaya penangkapan oleh pemerintah,” tulis Poeze. “Dia juga ingin menjajaki alam pikiran rakyat.” Ada dua rencana perjalanan yang hendak ditempuh: Jawa Barat dan Jawa Timur. Kemungkinan ke barat (Banten) pupus mengingat Darul Islam sangat aktif di sana dan membenci kaum komunis, terlebih Banten terisolasi dari pusat Republik. Pilihan Tan jatuh ke Jawa Timur. Selain menjadi medan subur bagi pengikut gerakan kiri, sebagaimana yang dia asumsikan dalam Naar de Republiek Indonesia, “di sanalah pukulan yang menentukan akan diselesaikan.” Pada 12 November 1948, Tan berangkat ke Kediri, mengingat tawaran bantuan dari komandan batalion Sabarudin, dan jaminan keamanan serta perasaan simpati dari komandan divisi Soengkono dan stafnya. Dimulailah jalan gerilya di Jawa Timur. Tan berkesempatan bertemu dengan para prajurit TNI dan pimpinan politik. Jika senggang, tulis Poeze, “dia berjalan-jalan untuk melihat-lihat dan mencaritahu tentang keadaan penduduk kampung yang miskin dan keinginan-keinginan mereka.” Dalam setiap pertemuan maupun pamflet yang dia tulis selama di Jawa Timur, Tan Malaka menuangkan gagasannya akan cita-cita negara sosialis. Dia menjelaskan ide-idenya dalam Gerpolek ( Gerilya, Politik, Ekonomi ) ke tengah-tengah kalangan militer dan mendapat sambutan hangat. Dia pun rutin mengecam politik diplomasi yang dijalankan oleh Sukarno-Hatta yang dia sebut “telah menyia-nyiakan hak-hak mereka sebagai pemimpin.” Dalam ‘Program Mendesak’, dia bahkan menyebut dirinya sebagai pemimpin Revolusi Indonesia. Sebagai contoh kesuksesan propaganda Tan Malaka, sebanyak 17-19 batalion bergabung dalam Gabungan Pembela Proklamasi (GPP) untuk menghadapi serangan Belanda bilamana sewaktu-waktu datang. GPP mesti bertindak sesuai petunjuk Gerpolek . Propaganda Tan Malaka yang anti politik diplomasi Sukarno-Hatta dianggap sebagai ancaman oleh pemerintah. Gerakannya mesti ditumpas. Tan bersama GPP berpindah-pindah markas dan akhirnya melarikan diri ke arah selatan Jawa Timur. Dalam gerilya menyusuri lereng Gunung Wilis, di Selopanggung, Kediri, Tan Malaka ditangkap oleh Letnan Dua Sukoco dari Batalion Sikatan Divisi Brawijaya. Sukoco sempat mempertimbangkan menindak Tan sebagai seorang komunis yang mesti dijatuhi hukuman militer. Tapi kenyataannya berkata lain. “Sukoco orang kanan sekali dan dia beropini lebih baik Tan Malaka ditembak mati,” tutur Poeze. Pada 21 Februari 1949, Tan Malaka dieksekusi mati oleh Suradi Tekebek, orang yang diberi tugas Sukoco. Kematiannya tanpa dibikin laporan maupun pemeriksaan lebih lanjut. Dia dimakamkan di tengah hutan dekat markas Sukoco. “Kematiannya dirahasiakan bertahun-tahun,” ucap Poeze. Setelah pencarian panjang, pada 2009 silam diadakan penggalian makam yang diduga berisi jenazah Tan Malaka di Selopanggung. Sampai kini, penelitian para ahli forensik belum beroleh hasil pasti apakah jenazah yang digali benar-benar milik Tan Malaka atau bukan. “Memang Tan Malaka ini jago menghilang selama hidupnya. Sampai matipun masih ada jagonya itu,” ujar sejarawan Asvi Warman Adam. Menurut Asvi, publik perlu segera mendapat kepastian. “Namun apapun hasilnya mestinya sudah bisa ditetapkan bahwa makam Tan Malaka memang di tempat itu,” tegasnya. Asvi berpendapat sudah waktunya jenazah Tan Malaka dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan di Kalibata. Pemindahan ini menjadi penting sebab menjadi semacam pengakuan bersalah pemerintah Indonesia yang selama puluhan tahun Orde Baru melenyapkan nama Tan Malaka. Nada sedikit berbeda disampaikan pemimpin redaksi majalah Historia.ID , Bonnie Triyana. Dia menganggap gagasan-gagasan Tan Malaka beroleh perhatian dan wajib disikapi lebih dahulu. “Menghidupkan kembali gagasan-gagasan Tan Malaka jauh lebih penting sekarang ini,” tuturnya. “Porsi besar pelajaran sejarah lewat kurikulum 2013 baru-baru ini, misalnya, memberi kesempatan supaya buku-buku Pak Harry ini mestinya sama-sama kita sebarluaskan.”*
- Sekolah ala Tan Malaka
BANGUNAN itu tak seramai dulu lagi. Letaknya terimpit di antara permukiman warga Kampung Gendong, Semarang. Untuk menuju kesana, pengunjung harus berjalan kaki menembus gang sempit yang membelah kampung. Tiang-tiang penyangga masih berdiri tegak menyokong atap yang kian lama kian renta dimakan usia. Bangunan itu pernah berfungsi sebagai kantor Sarekat Islam cabang Semarang dan semenjak Juni 1921 digunakan sebagai Sekolah Sarekat Islam yang dikelola oleh Tan Malaka. Sekolah yang pada zamannya disebut “SI School” itu ditujukan khusus bagi anak-anak kalangan buruh di Kota Semarang. Sekolah ini bukan sembarang sekolah. Sebuah sekolah yang tak hanya bertujuan untuk membuat siswanya jadi pintar, melainkan sekolah yang hendak “bangunkan hati merdeka sebagai manusia,” kata Tan Malaka dalam pengantar brosur, Sarekat Islam Semarang dan Onderwijs (pendidikan, red .). Tan Malaka tak menghendaki murid-muridnya “kelak lupa pada berjuta-juta kaum kromo yang hidup dalam kemelaratan dan kegelapan.” Demi tujuan menciptakan manusia-manusia merdeka itulah Tan Malaka menyusun kurikulum pendidikan yang berbeda dari kebanyakan sekolah pada waktu itu. Ada tiga dasar pemikiran Tan Malaka dalam rancangan kurikulum sekolahnya, pertama yakni memberi senjata cukup buat pencari penghidupan dan dunia kemodalan (berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa Belanda, Jawa, Melayu, dsb); kedua , memberi haknya murid-murid, yakni kesukaan hidup dengan jalan pergaulan ( vereeniging ); ketiga, menunjukkan kewajiban kelak terhadap berjuta-juta kromo (rakyat kecil, red .). Keunikan sekolah yang dikelola Tan Malaka itu adalah pengajaran bahasa Belanda yang diberikan kepada murid-muridnya yang mayoritas berasal dari golongan kelas bawah. Padahal, sebagian besar penutur bahasa Belanda dari kalangan pribumi saat itu datang dari kelas priayi yang mengenyam pendidikan eksklusif di sekolah-sekolah elite Belanda. Menurut Tan Malaka bahasa Belanda penting untuk diajarkan kepada siswa-siswanya karena di antara mereka “banyak yang kencang otaknya (cerdas, red .) cuma tak bisa bahasa Belanda saja.” Padahal, lanjutnya, “perlawanannya (lawan, red .) ialah kaum modal yang memakai bahasa Belanda, maka perlu sekali kita ajarkan betul bahasa itu.” Tan Malaka menilai pentingnya memberikan hak bermain bagi anak-anak didiknya. Oleh sebab itu, dia tak menghendaki murid-murid SI School menghabiskan waktu berlama-lama di kelas tanpa ada waktu luang untuk bermain dengan anak-anak sebayanya. Menurutnya, anak-anak memiliki hak untuk merasakan kegembiraan dan belum saatnya diseret dalam kehidupan orangtua mereka yang harus kerja keras mengatasi penderitaan hidupnya. Selain untuk mengasah kecerdasan, SI School pun mendidik murid-muridnya untuk peduli nasib rakyat dengan, “membangunkan hati belas kasihan pada kaum terhina itu.” Tan Malaka juga mengajak serta murid-muridnya untuk ikut dalam setiap pertemuan anggota SI Semarang supaya bisa menyaksikan dan mendengarkan langsung aspirasi wong cilik. Tan Malaka berharap murid-muridnya kelak punya kemampuan dan kemauan “hendak membela rakyat tidak dalam buku atau kenang-kenangan saja, malah sudah menjadi watak dan kebiasaannya masing-masing.”*
- Ketika Tan Malaka Ingin Jadi Presiden
SETELAH terpilih menjadi ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), Sutan Sjahrir bersama lima belas orang yang sebagian besar pengikutnya bertemu Tan Malaka di Serang, Banten, pada 23 Oktober 1945. Seminggu sebelumnya, Wakil Presiden Mohammad Hatta mengumumkan Maklumat X tentang pembentukan partai-partai politik. Dalam pertemuan itu, Sjahrir meminta kesediaan Tan Malaka menjadi ketua partai sosialis yang akan didirikan dalam waktu dekat. Pertimbangan Sjahrir karena prestise dan daya tarik Tan Malaka yang legendaris akan memberikan keuntungan kepada partai sosialis. Tan Malaka menolak. Menurut sejarawan Harry A. Poeze, Tan Malaka menganggap Sjahrir seorang sosial-demokrat, borjuis kecil, dan bukan seorang revolusioner. Dia juga tak mau menjadi kawan separtai dari kaum sosialis, yang sebagian besar masih berkompromi dengan kapitalisme dan imperialisme. Tan Malaka mengatakan, “Saya seorang komunis, saya tidak mau memimpin partai sosial demokrat.” Selain itu, “Tan Malaka tidak suka jabatan resmi dengan tugas-tugas untuk ke kongres, bertemu orang, dan lain-lain. Ini mungkin karena kepribadiannya dan juga karena Tan Malaka ingin memberi gambaran bahwa dia di atas partai-partai. Dan ini cocok dengan ambisinya menjadi presiden,” ujar Poeze kepada Historia . Menurut penuturan Djohan Sjahroezah, sekretaris jenderal Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang dipimpin pamannya Sjahrir, Tan Malaka mendesak Sjahrir yang memimpin gerakan bawah tanah selama pendudukan Jepang, “supaya menentukan sikap siapa-siapa sebaiknya yang memimpin revolusi nasional, menjadi presiden dan perdana menteri,” tulis Djoeir Moehamad, anggota dewan pimpinan PSI, dalam Memoar Seorang Sosialis. Tan Malaka mengusulkan agar dirinya menjadi presiden dan Sjahrir menjadi perdana menteri sekaligus menteri pertahanan, ekonomi, dalam dan luar negeri. Sjahrir tidak langsung menolak. Dia malah bercerita pernah berkeliling Jawa, terutama Jawa Timur dan Jawa Tengah, dan berkesimpulan hanya Sukarno-lah pemimpin yang dikenal rakyat. Sjahrir juga mengemukakan bahwa Tan Malaka kurang mengetahui perkembangan terakhir seraya menganjurkan agar berkeliling Jawa untuk mengetahui sejauh mana popularitasnya di mata rakyat. “Kalau saja Anda populer 10% dari Sukarno kami akan mempertimbangkan Anda sebagai presiden,” kata Sjahrir, dikutip Rudolf Mrazek dalam Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia . Sjahrir mengingatkan Tan Malaka, “Kita ini orang Sumatera, tak begitu dikenal oleh masyarakat Jawa. Karena itu sebaiknya kita sokong Sukarno saja sebagai presiden dan Hatta wakilnya.” “Tidak mungkin,” kata Tan Malaka, “Apalagi Sukarno akan diadili Sekutu yang akan menduduki Indonesia, sebab dia boneka fasisme Jepang. Dan pasti nanti kemerdekaan kita dinilai bikinan fasis Jepang.” Kendati menentang kolaborasi Sukarno-Hatta dengan Jepang, Sjahrir memutuskan memimpin pemerintahan sebagai perdana menteri selama tiga periode. Dia kemudian memilih berdiplomasi dengan Sekutu dan Belanda. Sedangkan Tan Malaka beroposisi kepada pemerintahan Sjahrir. Dugaan Tan Malaka bahwa Sukarno-Hatta akan diadili Sekutu tak terjadi. Bahkan Sukarno menjadi presiden selama 22 tahun (1945-1967).*
- Diam-diam, Indonesia Beli Pesawat Tempur Israel
TAK lama setelah menjabat Menhankam/Pangab, Jenderal M. Jusuf, menerima laporan mengenai tawaran membeli pesawat tempur jenis A-4E dan A-4F Skyhawk milik Angkatan Udara Israel dengan harga yang cukup murah. Israel mau melepas 32 pesawat itu karena akan menggantinya dengan pesawat tempur yang lebih canggih jenis F-16 Fighting Falcon. “Menurut Jusuf, laporan itu didapat dari Asintel Hankam (Asisten Intelijen Pertahanan dan Keamanan) L.B. Moerdani, yang mempunyai jaringan baik dengan pihak Israel,” tulis Atmadji Sumarkidjo dalam biografi Jenderal M. Jusuf, Panglima Para Prajurit . Jusuf menyetujui pembelian pesawat tempur itu. Tetapi, dia meminta Moerdani agar merancang skenario yang baik sehingga asal usul pembelian pesawat itu tidak diketahui masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim, dan pasti menentangnya. “Baru pada tahun 1979 informasi tersebut dilepas ke pihak Mabes (Markas Besar) TNI-AU,” tulis Atmadji. Menurut Jim Winchester dalam Douglas A-4 Skyhawk: Attack & Close-Support Fighter Bomber, Wakil Presiden Amerika Serikat, Walter Mondale, menawarkan 16 Skyhawk waktu berkunjung ke Jakarta pada Mei 1978. Sisanya, 14 Skayhawk (kursi tunggal) dan dua Skayhawk (dua kursi) diserahkan pada November 1979, pesawat ini tipe A-4E dan TA-4H dari Israel. “Ada kemungkinan bahwa Israel yang memulai penjualan, tetapi penjualan itu diperantarai oleh Amerika Serikat untuk menghindari kepekaan Muslim Indonesia,” tulis Jim Winchester. Pada 1980, sejumlah perwira penerbang dipilih secara ketat untuk dilatih menerbangkan Skyhawk, salah satunya Letnan Satu F. Djoko Poerwoko. Dalam bukunya, My Home, My Base , Djoko menceritakan bahwa sebelum sampai ke Israel untuk berlatih, mereka harus melakukan usaha “penyesatan”, antara lain tidak memakai paspor Indonesia sehingga tidak bisa dilacak memasuki Israel. Sepulang latihan selama empat bulan, mereka juga harus menyiapkan alibi bahwa mereka berlatih dan “jalan-jalan” di Amerika Serikat. Operasi latihan hingga persawat itu sampai di Indonesia diberi sandi Operasi Alpha. Dua kali operasi, Alpha I dan Alpha II, masing-masing diberangkatkan sepuluh penerbang. “Pilot-pilot Indonesia dilatih oleh Squadron No. 141 di Etzion, Israel, dan segera setelah selesai pelatihan, skuadron pesawat itu dikirimkan ke Indonesia,” tulis Jim Winchester. Menurut Atmadji, kepada media massa disampaikan bahwa pesawat Skyhawk itu didatangkan dari Amerika Serikat. Namun, ada sejumlah pihak yang tahu bahwa pesawat itu eks Angkatan Udara Israel, tetapi dijelaskan lagi bahwa pesawat itu dibeli lagi oleh Amerika Serikat untuk dijual kepada Indonesia. “Sesuai dengan peraturan yang berlaku di AS, pesawat-pesawat yang dibeli dari mereka melalui fasilitas khusus boleh dijual kepada negara lain bila disetujui oleh AS. Kebetulan, baik AS maupun Israel sepakat untuk menjual dua skuadron pesawat itu kepada Indonesia. Pembayarannya melalui kredit ekspor kepada AS,” tulis Atmadji. Pada peringatan Hari ABRI 5 Oktober 1980, pesawat-pesawat Skyhawk mengadakan fly-pass (terbang formasi) bersama pesawat yang benar-benar baru yaitu F-5E Tiger II buatan Northtrop Corporation, Amerika Serikat. Walaupun bekas, namun kemampuan pesawat Skyhawk masih prima berkat pemeliharaan Angkatan Udara Israel yang sangat baik. Diprediksi pesawat-pesawat itu dapat beroperasi selama 10 tahun, namun kenyataannya dapat digunakan selama 20 tahun. Mulai tahun 2004, pesawat-pesawat itu secara bertahap dipensiunkan.*
- Pak Tino Sidin dan Pinjaman Uang dari Pak Harto
SALAH satu memorabilia yang dipamerkan di Taman Tino Sidin di Yogyakarta adalah kuitansi pinjaman uang sebesar Rp7 juta untuk penyelesaian rumah. Jangka waktu pinjaman selama satu tahun tanpa bunga. Kuitansi tanggal 20 November 1981 itu ditandatangani penerima pinjaman: Tino Sidin. Yang menarik, pemberi pinjaman itu orang nomor satu Republik Indonesia: Presiden Soeharto. Tino tinggal di Yogyakarta, tetapi lebih banyak bekerja di Jakarta. “Belum punya rumah sendiri. Lucu ya! Padahal kenalan saya orang gede-gede,” kata Tino Sidin dalam Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1981-1982. Tino berpetuah tentang hidup sederhana. “Jangan ngoyo cari duit, dulu kita lahir juga tidak membawa apa-apa.” Menurut arsitek Bambang Eryudhawan, cerita pinjaman itu berawal ketika Tino diundang ke Cendana (rumah Soeharto) mengantar Agus Prasetyo, siswa TK di Probolinggo yang menjadi juara melukis di Tokyo Jepang. “Saat berpisah, Pak Tino menyisipkan kertas ke Pak Harto dengan isi ingin jumpa pribadi. Pada November 1981 bisa jumpa pribadi. Lantas dapat pinjaman itu, untuk uang muka kredit rumah,” kata Bambang Eryudhawan kepada Historia . Tino Sidin lahir di Tebingtinggi, Sumatra Utara, 25 November 1925 dari orangtua keturunan Jawa. Sejak kecil dia berbakat menggambar. Ketika pendudukan Jepang, dia menjadi kepala bagian poster kantor penerangan Jepang di Tebingtinggi. Setelah Indonesia merdeka, selain sebagai anggota Polisi Tentara Divisi Gajah Dua Tebingtinggi, dia menjadi guru menggambar di SMP Negeri Tebingtinggi. Dia bersama Ismail Daulay mendirikan Angkatan Seni Rupa Indonesia (ASRI) di Medan pada 1945. Kuitansi pinjaman uang sebesar Rp7 juta dari Presiden Soeharto kepada Tino Sidin. (Dok. Bambang Eryudhawan). Bersama dua orang temannya, Nasjah Djamin dan Daoed Joesoef, Tino merantau ke Yogyakarta. Mereka bergabung dengan Seniman Indonesia Muda, membuat poster-poster perjuangan. Dia juga bekerja sebagai pegawai bagian kesenian di Kementerian Pembangunan Pemuda (1946-1948) dan bergabung dengan Tentara Pelajar Brigade 17 (1946-1949). Tino kembali ke kampung halaman dan menetap di Binjai. Dia aktif di dunia pendidikan dan kesenian dengan menjadi guru Taman Siswa Tebingtinggi, ketua Palang Merah Remaja Kabupaten Langkat, dan ketua ASRI Binjai. Tino kemudian kembali ke Yogyakarta. Setelah belajar di ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) Yogyakarta, dia mendirikan Pusat Latihan Lukis Anak-anak (1969-1977). Sementara itu, kawannya Daoed Joesoef menjadi menteri P&K (Pendidikan dan Kebudayaan). “Banyak orang yang naik, karena temannya naik. Saya mungkin begitu juga,” kata Tino. Tino pun mengisi acara Gemar Menggambar di TVRI pada 1978. Pekerjaannya sebagai pendidik “menggambar” menasional. Sejak 1980, dia menjadi penatar guru gambar tingkat TK dan SD seluruh Indonesia. Program ini di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Bahkan, bukunya Gemar Menggambar sebanyak 6 jilid disahkan menjadi buku pegangan guru SD seluruh Indonesia. Popularitas Tino melambung seantero negeri. “Ketika dia dibawa Daoed Joesoef meninjau ke Kalimantan Selatan (1979) masyarakat setempat mengelu-elukan Tino lebih dari sang menteri,” tulis Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1981-1982. “Anak-anak, pramuka, ibu-ibu berebutan mengeroyok. Petugas keamanan kewalahan.” Popularitas itulah yang membuatnya dilirik sutradara untuk membintangi film Nakalnya Anak-Anak (1980). “Pernah nama awak dipasang segede gajah di poster film, padahal awak hanya muncul lima menit di film itu,” kata Tino. Tino menikah dengan Nurhayati pada 1950 dan dikaruniai lima orang anak perempuan. Dia meninggal pada 29 Desember 1995.*
- Asa Jawa-Suriname Buyar di Negeri Asal
DI sudut ruang pamer Erasmus Huis, Jakarta, di mana sekira 60 foto orang Jawa-Suriname dipamerkan dari 20 September-15 November 2014, film pendek berjudul Javaanse Jongen: Its Way of Life diputar berulang-ulang. Soundtrack- nya lagu pop Jawa-Suriname berjudul “Lagu Tentrem”, dinyanyikan Stanlee Rabidin yang juga tokoh sentral film tersebut. Dalam pameran ini juga tersedia belasan buku mengenai Jawa-Suriname yang bisa dibaca pengunjung. Tahun 2015, genap 125 tahun migrasi orang Jawa ke Suriname, koloni Belanda. Mereka menjadi pekerja kontrak di perkebunan sebagai pengganti budak yang dilarang tahun 1863. Sebelum mereka, pekerja kontrak berasal dari India-Britania, yang banyak ulah dan menuntut upah besar. Gelombang pertama imigran dari Jawa datang pada 1890. Mereka, berjumlah seratus orang Jawa, ditempatkan di Marienburg, perkebunan tebu terbesar di Suriname. Periode 1890-1916, rerata orang Jawa datang ke Suriname berjumlah 700 orang per tahun. Jumlahnya berlipat pada 1916 setelah pekerja kontrak India-Britania tak lagi dipakai. Pekerja kontrak dari Jawa meneken kontrak kerja selama lima tahun. Gajinya 60 sen untuk pekerja pria dan 40 sen untuk pekerja perempuan. Setelah kontrak selesai, mereka diizinkan pulang ke Jawa. Jika ingin menetap, mereka diberi uang 100 gulden dan sepetak tanah. Kehidupan kuli kontrak mengenaskan. Pemerintah tak menyediakan sarana pendidikan. Pemerintah khawatir, jika mereka menjadi pandai, mereka keluar dari perkebunan dan bekerja di kota. Johannes Coenraad Kielstra, mantan wakil jaksa di Hindia Belanda yang jadi gubernur Suriname (1933-1944), membuat kebijakan baru terhadap pekerja kontrak. Dia ingin membuat Suriname menjadi lebih berasa Asia. Imigran yang datang tidak ditempatkan langsung di perkebunan, melainkan disiapkan desa-desa khusus. Di desa ini, para imigran, termasuk dari Jawa, berhak membuat aturan sipil sendiri dan mengembangkan budaya asli mereka. Hingga jelang Perang Dunia II, jumlah imigran dari Jawa mencapai 30 ribu orang. Tercatat 7.684 orang kembali ke Jawa ketika perang berakhir. Gema kemerdekaan Indonesia sampai ke Suriname. Muncul keinginan kembali ke Jawa karena mereka merasa seperti di pengasingan. Namun mereka juga dihadapkan pada masalah kewarganegaraan. Pemerintah Belanda memberi waktu dua tahun kepada orang Jawa untuk memilih kewarganegaraan: warganegara Indonesia atau Belanda. Situasi politik Suriname pun mendukung hal ini. Partai politik bisa dibentuk berdasarkan etnis. Orang Jawa membentuk dua partai: Persekutuan Bangsa Indonesia Suriname (PBIS) dan Kaum Tani Persatuan Indonesia (KTPI). KTPI, dipimpin Iding Soemita, memiliki komitmen memperbaiki nasib orang Jawa di Suriname dan menganjurkan anggotanya menjadi warganegara Indonesia. Sementara PBIS, dengan pentolannya, Salikin Hardjo, menganjurkan pendukungnya memilih warganegara Belanda. Ketika Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada 1949, Salikin ditunjuk sebagai wakil masyarakat Jawa di Suriname. Pendirian Salikin berubah setelah pengakuan kedaulatan. Dia mendirikan Jajasan ke Tanah Air (JTA) pada Mei 1951, yang mendorong orang Jawa Suriname kembali ke Jawa. Dalam waktu singkat dia berhasil menghimpun 2.000 keluarga. Pemerintah Indonesia menerima permintaan JTA dengan syarat repatriasi tidak ditujukan ke Jawa karena sudah padat. Pemerintah memberi lahan seluas 2.500 hektar di daerah Tongar, sebelah utara Pasaman, Sumatra Barat. Mereka tiba di Tongar dengan kapal Lengkoeas pada 1954 dan mendirikan desa. Asa membangun kehidupan yang lebih baik di negeri asal, buyar. Mereka menghadapi kesulitan keuangan. Tanah juga sulit diolah. Beberapa dari mereka akhirnya memilih kembali ke “tanah pengasingan”. “Hanya hutan. Tak ada rumah, tak ada tempat buang hajat. Hanya barak besar yang disediakan. Setiap keluarga diberi jatah 4x4 meter. Tahun 1959, kami pindah ke Padang, sebab keadaan di sana tidak aman. Dan bulan Oktober 1964, kami memutuskan pulang kembali ke Suriname,” ujar Roemdjinah Wagina Soenawi, seperti dikutip Yvette Kopijn dan Harriette Mingoen dalam Stille Passanten: Levensverhalen van Javaans-Surinaamse Ouderen in Nederland . Karena kesulitan itu, Salikin kena hujat. Orang Jawa di Suriname pun memutuskan tidak pulang ke Indonesia dan memilih menjadi warganegara Belanda.*






















