Hasil pencarian
9594 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Tsunami Dahsyat Menerjang Ambon
Hari ini dalam sejarah, 17 Februari 1674, gempa bumi mengguncang Ambon dan sekitarnya, disusul tsunami dari Laut Banda. Ia menjadi gempa dan tsunami tertua di Indonesia yang tercatat dengan detail oleh seorang naturalis, Georg Everhard Rumphius (1627-1702), pada 1765. Selama hampir 50 tahun Rumphius tinggal di Ambon, di mana dia menikmati pekerjaannya sekaligus tragedi karena bencana alam itu. “Tanggal 17 Februari 1674, Sabtu malam, sekitar 07:30, di bawah bulan yang indah dan cuaca tenang, seluruh provinsi kami –yaitu Leytimor, Hitu, Nusatelo, Seram, Buro, Manipa, Amblau, Kelang, Bonoa, Honimoa, Nusalaut, Oma dan tempat-tempat lain yang berdekatan, meskipun terutama dua yang pertama disebutkan– menjadi sasaran guncangan mengerikan yang diyakini kebanyakan orang bahwa Hari Penghakiman telah datang,” tulis Rumphius dalam Amboina . Hari itu, suasananya tengah meriah karena orang mengikuti perayaan Tahun Baru Tionghoa. Gempa mengakibatkan 75 bangunan milik orang Tionghoa, ambruk. Korban jiwa mencapai 79 orang, termasuk istri dan anak perempuan Rumphius, janda sekretaris Johannes Bastinck, serta empat orang Eropa. Sedangkan 35 orang luka serius di lengan, kaki, dan kepala. Gempa kemudian disusul oleh tsunami dahsyat di Laut Banda. Ini adalah megatsunami yang sampai sekarang belum ada tandingannya di Indonesia karena tinggi gelombang mencapai 80 meter. “Tsunami ini menyapu hampir seluruh pulau dan menyebabkan lebih dari 2.000 orang meninggal,” kata Edward A. Bryant, peneliti dari Universitas Wollongong, Australia, dikutip Gatra , 5 Juli 2006. “Semua orang berlari ke tempat lebih tinggi untuk menyelamatkan diri, di mana mereka bertemu dengan Gubernur. Dia memimpin doa di bawah langit yang cerah sambil mendengarkan bunyi ledakan seperti meriam di kejauhan, terutama terdengar dari utara dan barat laut,” tulis Rumphius. Rumphius mencatat korban akibat tsunami mencapai 2.243, termasuk 31 orang Eropa. Dalam bencana alam ini ada keajaiban. Tiga hari pasca gempa seorang bayi Tionghoa berumur sebulan ditemukan masih hidup di bawah reruntuhan. Dia dipelukan ibunya yang mati.
- Sesaji Sebelum Candi Berdiri
CANDI merupakan banggunan penting bagi masyarakat Hindu Budha di Nusantara. Ia menjadi tempat pemujaan para dewa. Dalam membangun bangunan suci itu ada benda-benda yang ditanam yang disebut peripih . “Ada yang disebut dengan peripih . Itu sesuatu yang ditanam. Sampai masa yang lebih modern di Jawa dan di Bali ada kebiasaan menanam ( pendeman ) untuk bangunan suci. Ini cara untuk menarik energi alam semesta yang positif,” jelas arkeolog Universitas Gadjah Mada, Djaliati Sri Nugrahani kepada Historia . Djaliati menjelaskan bahwa peripih adalah benda-benda yang diletakkan dalam satu wadah. Wadah ini yang kemudian akan ditanam oleh para pembangun candi di tempat-tempat tertentu di dalam candi. “Jangan salah kaprah, peripih itu isinya, bukan kotak atau wadahnya, wadahnya namanya kotak peripih ,” tegasnya. “Bendanya bermacam-macam, ada yang disebut nawaratna atau sembilan permata, ini mewakili delapan dewa di penjuru mata angin, lalu ada pula yang diisi biji-bijian. Kalau di Bali kan ada misalnya yang memendam kepala kerbau.” Menurutnya, pemilihan benda itu tergantung dari tujuan pembangunan candi. Misalnya, untuk candi yang diperuntukkan memuja kesuburan, maka peripih akan berwujud biji-bijian. Sementara yang berupa nawaratna biasanya khusus untuk pemujaan dewa. Lebih lanjut, berdasarkan letaknya, bervariasi. Paling umum ditemukan di sumuran candi berupa rongga memanjang seperti sumur, di bawah arca perwujudan, dalam bilik candi. “Tidak bisa digeneralisir, bisa juga di pinggir-pinggir pintu masuk, atau di bawah kemuncak,” papar dosen yang biasa dipanggil Nia itu. Sementara, R. Soekmono dalam disertasinya, Candi, Fungsi, dan Pengertiannya menulis, peripih diartikan sebagai wadah zat inti kedewaan dari Sang Dewa. Peripih bisa ditemukan baik pada candi Hindu maupun candi Budha. “ Peripih adalah wahana kehadiran dewa. Ia dianggap lebih penting dari arca yang hanya representasi dari bentuk luar sang dewa,” tulisnya. Soekmono juga melengkapi pembahasannya soal abu yang sering ditemukan sebagai pendaman di dasar candi. Menurutnya ini yang sering mengecoh masyarakat, bahwa candi adalah makam. Kenyataannya, abu itu bukan abu manusia (raja), tetapi abu binatang yang dijadikan korban. “ Peripih memberi hidup pada candi, memberi benih agar garbhagrha (bilik candi, red ) mempunyai kekuatan dan esensi dewa yang dipuja dan yang arcanya ada di garbhagrha itu,” tulis Edi Sedyawati dalam Candi Indonesia: Seri Jawa .
- Ketika Penguasa Menindas Anak Jalanan
ANTO Baret, pendiri Komunitas Penyanyi Jalanan (KPJ), ingat betul suasana represif semasa pemerintahan Orde Baru. Bagi dia dan anak-anak jalanan, suasana tersebut makin terasa berat lantaran adanya pandangan miring sebagian masyarakat terhadap anak jalanan. Sejak naik ke panggung kekuasaan pada 1966, Orde Baru berusaha mengubah hampir semua tatanan kehidupan yang telah ada untuk tujuan melanggengkan kekuasaannya. Celah-celah yang berpotensi mengancam kekuasaannya, disumpel. Menurut Yasraf Amir Piliang dalam Transpolitika: Dinamika Politik di Dalam Era Virtualitas , ada tiga hal yang amat dikendalikan kalau tidak diberangus penguasa: daya kritis, daya kreatif, dan sikap fundamentalisme. Akibatnya, praktik berkesenian yang tak sesuai kehendak penguasa jadi langganan pencekalan. Seringkali aparat yang melakukan pencekalan melakukannya dengan kekerasan fisik. Intimidasi bukan main banyaknya, ia jadi pemandangan sehari-hari. Anak-anak jalanan seperti Anto Baret salah satu yang paling menderita. Stigma miring terhadap mereka saja amat membatasi gerak, terlebih bila dikaitkan dengan aturan-aturan lain. Jangankan leluasa berkarya, keberadaan mereka pun kerap jadi sasaran “penghapusan”. Salah satu peristiwa yang Anto ingat betul adalah ketika dia dan teman-temannya di KPJ, dan dibantu oleh seniman-seniman lain yang biasa mangkal di Gelanggang Remaja Jakarta Selatan atau biasa disebut Gelanggang Bulungan, membuat sebuah acara untuk merayakan ulangtahun pertama KPJ, 20 Agustus 1982. Setelah mendapatkan izin gedung –auditorim, yang berada di dalam kompleks gelanggang– dari pengelola, panitia mengurus izin ke kepolisian. Hal itu ternyata tak mudah meski mereka sudah mondar-mandir. Hingga beberapa jam sebelum jadwal pembukaan acara sesuai yang ditetapkan dalam rundown , izin tersebut tak kunjung tiba. Panitia lalu memutuskan bahwa acara bartajuk “Aksi Ngamen ‘82” itu tetap akan dihelat. Sebagai langkah antisipasi, mereka juga menetapkan satu aksi yang bakal dilakukan bila aparat kepolisian datang. Saat acara dimulai pada pukul 19.30, gedung telah penuh orang. Promosi dari mulut ke mulut yang mereka lakukan amat efektif. Kegairahan makin menjadi-jadi ketika penampil kedua, Brins Bresley, naik ke panggung. Di tengah lagu yang sedang dibawakan Brins Bresley itulah polisi datang. Salah seorang rekan mereka mengabarkan bahwa polisi sudah memasuki gerbang gelanggang. Anto Baret dan Yoyik Lembayung beserta beberapa rekan lalu menghadapi polisi yang mencoba membubarkan acara itu. “Kalau adik-adik memberhentikan pertunjukan saat ini juga, kami tidak akan mengambil tindakan kekerasan,” demikian kata komandan polisi sebagaimana ditirukan Anto kepada Historia . Lantaran bingung, termasuk setelah menjelaskan kepada polisi bahwa acara itu merupakan syukuran hari jadi, Anto lalu bertanya kepada polisi-polisi itu. “Memang kenapa, Pak, salah kita apa?” tanyanya. Tanpa menjawab, salah seorang polisi lalu menyetel lagu-lagu mereka sewaktu mengamen yang oleh aparat dianggap kritis terhadap penguasa. Rupanya, aktivitas mereka sewaktu mengamen tak luput dari intaian intel. “Ada yang merekam, ada intelnya itu,” sambungnya. Di dalam auditorium, Neno Warisman langsung mengambil alih keadaan. Setelah naik ke panggung, dia memimpin orang-orang di dalam menyanyikan lagu Indonesia Raya . Polisi-polisi yang ada di dalam pun mau tak mau ikut bernyanyi. Suasana berjalan khidmat. Begitu selesai, “Neno Warisman mengucapkan terima kasih pada hadirin bahwa acara sudah selesai,” tulis buku Catatan Seperempat Abad Kelompok Penyanyi Jalanan: Jakarta 1982-2007 . Semua orang pun keluar gedung. Banyak yang langsung ke luar GR Bulungan, tak sedikit pula yang meriung bareng polisi di luar. Iwan Fals, yang datang telat, hanya bisa bingung melihat banyaknya orang yang berkumpul bareng polisi di luar auditorium. Dia lalu ikut nimbrung. “Udah langsung saya tinggal aja ke pasar kaget,” kenang Anto menjelaskan upayanya untuk menghindari urusan lebih rumit yang bakal datang dari aparat keamanan. “Kayak gitu sudah biasa dulu jaman Pak Harto.”
- Soeharto-Hartinah, Kisah Romansa Anak Desa
SUATU hari di tahun 1947, Prawirohardjo dan istrinya datang ke Wuryantoro, Wonogiri, 40 kilometer ke arah tengara Solo untuk mengunjungi sanak saudaranya di sana. Keponakan sekaligus anak angkat mereka, Soeharto, datang menemuinya. Membincangkan berbagai hal, termasuk menanyakan rencana apa yang akan dilakukan Soeharto ke depannya.
- Cinta Hoegeng-Mery Bermula dari Sandiwara Radio
SAIJAH, lelaki yang menjadi tunangan seorang gadis Banten, Adinda merantau ke Batavia karena kerbaunya dirampas penguasa. Beberapa lama kemudian dia rindu kembali pulang ke kampungnya di Desa Badur, Lebak. Dia berharap bisa menemui Adinda dan menikahinya segera. Namun tragis, dia mendapati kampungnya telah porak poranda oleh serbuan Belanda. Saijah juga tidak bisa bertemu Adinda. Kabarnya Adinda pergi melarikan diri bersama keluarganya dan beberapa penduduk kampung ke Lampung terus melawan penyerangnya. Besarnya cinta Saijah membuatnya ingin menyusul Adinda. Dia ke Lampung untuk ikut bertempur melawan Belanda. Sayangnya, di sana dia justru kembali menemukan kampung yang hancur terbakar karena serangan penjajah. Dalam huru-hara itu, dia mendapati Adinda mati dengan tragis bersama keluarganya. Dengan sedih, Saijah berupaya melawan sisa-sisa serdadu yang masih ada. Namun, dia justru menjemput ajalnya di tempat itu. Saijah pun mati di tangan penjajah. Setelah diterbitkan tahun 1860, kisah tragis percintaan Saijah dan Adinda yang ada di dalam Max Havelaar karya Multatuli itu mulai dikenal luas. Melalui radio Angkatan Laoet, Darat, dan Oedara (ALDO), fragmen kisah ini pernah pula disadur menjadi naskah sandiwara radio berbahasa Indonesia. Lebih jauh lagi, ternyata kisah ini juga menjadi saksi pertama munculnya benih asmara antara Hoegeng Imam Santoso dan Mery Roeslani. Keduanya adalah sepasang Saijah dan Adinda dalam sandiwara radio itu. Sandiwara itu memang terkendala karena peran Saijah masih kosong. Sebenarnya, Raden Soekarno yang kala itu merupakan pemain sandiwara terkenal sudah ditawari peran Saijah. Namun, tawaran itu ditolak. Hoegeng mengaku dipaksa agar bersedia menerima peran Saijah. Saat itu, Hoegeng yang menetap di Yogyakarta masih berumur 25 tahun. Dia mengaku sedang serius memikirkan karir Angkatan Laut. “Saya yang saat itu sedang serius, atau belagak serius memikirkan PMCK Angkatan Laut dan kepingin bersenang-senang di luar, hanya menanggapi tawaran dengan tertawa cuek,” kisah Hoegeng, dalam otobiografinya Hoegeng, Polisi: Idaman dan Kenyataan karya Abrar Yusra dan Ramadhan K.H. Karena terus menolak, kawannya, Iskak, sampai harus “menjebak” Hoegeng supaya bersedia memerankan peran Saijah. Saat itu, di Yogyakarta, Iskak merupakan seorang Kapten TNI, sekaligus pemimpin seksi hiburan di radio ALDO. Iskak berjanji akan memperkenalkan Hoegeng secara langsung dengan seorang gadis cantik jika mau datang ke radio ALDO. Gadis yang disebut bernama Meriati ini tadinya tinggal di Pekalongan. Sementara, Hoegeng pun kelahiran Pekalongan. Itu sebenarnya sudah membuat keluarga mereka saling tahu satu sama lain. Meski begitu, Hoegeng beralasan, ketika masih di Pekalongan, dia tidak mengenal Meriati karena kemungkinan ayahnya sengaja memingit anak gadisnya itu. Di masa pendudukan Jepang, sang ayah, dokter Soemakno, takut anak-anak gadisnya menjadi korban. Kebetulan, ketika kemudian dokter Soemakno diangkat sebagai Inspektur Kesehatan Jawa Tengah, dia bersama keluarga pun pindah ke Yogyakarta. Adapun Meriati kala itu merupakan salah satu penyiar radio ALDO. “Itulah sebabnya Iskak membawa saya ke sana,” ungkap Hoegeng. Memang, akhirnya Hoegeng dikenalkan langsung dengan gadis yang dia panggil dengan nama kecil Mery itu. Namun, dengan itu juga dia akhirnya tidak bisa menolak paksaan memerankan peran Saijah di sandiwara radio. “Maklumlah karena Mery yang akan mendampingi saya sebagai Adinda. Mery yang cantik dan menyenangkan, yang sebelumnya baru saya dengar dongengnya,” ucap Hoegeng. Mery bukan gadis cantik biasa. Selain menyenangkan, Mery juga terbukti pemberani dan baik hati. Dia pernah menjadi relawan Palang Merah. Mungkin ini pula yang membuat kekaguman Hoegeng memuluskan proses dari sekadar berkenalan menjadi hubungan yang semakin dekat. Selain berlatih bersama, Hoegeng menjadi lebih sering menemui Mery di rumahnya. Dia rajin mengantar jemput Mery dengan sepedanya ke tempat kerja Mery di radio ALDO. Hoegeng juga yang membantu keluarga Mery mendapat rumah kontrakan di Jalan Jetis, Yogya. “Sesudah itu maka saya adalah seorang mayor tiap pagi tanpa dikomando lebih dulu apel di rumah Mery,” kata Hoegeng. Mulusnya hubungan pasangan itu seiring dengan kesuksesan Iskak menyutradarai sadiwara Saijah dan Adinda. Sambutan baik mereka terima ketika sandiwara itu mengudara lewat radio. Bahkan saat itu, Presiden Sukarno dibuat terkesan hingga meminta sandiwara itu dimainkan lagi melalui RRI Yogya. Sukarno menilai sandiwara radio ini akan memperdalam semangat juang siapapun yang mendengarnya. Mengenai perannya itu, Hogeng berkata, baik dirinya maupun Mery begitu menghayatinya, hingga sebulan usai sandiwara berlangsung, keduanya masih menjalin hubungan. Itu sampai akhirnya Hoegeng mengaku tak tahan. Mereka tidak tahan untuk akhirnya memilih menyelesaikan hubungan itu dengan cara yang indah. Keduanya pun memutuskan menutup kisah cinta itu dengan pernikahan. “Jadi menyimpang dari kisah yang dibuat Multatuli dan sandiwara yang disutradarai Iskak, tapi kami rasa lebih wajar dan lebih ideal,” lanjutnya. Berdasarkan ingatannya, kedua orangtua dan adiknya, Titi Soedjati datang dari Pekalongan ke Yogyakarta. Hoegeng turut menemani ketika kedua orang tuanya meminang Mery. Gayung bersambut, pinangan itu diterima. Keduanya pun melangsungkan pernikahan dengan sederhana pada 31 Oktober 1946 di rumah mempelai perempuan. Pada akhirnya, Saijah dan Adinda mungkin tak menemui kata bahagia. Tapi tidak dengan Mary dan Hoegeng. Bagi mereka, sandiwara radio Saijah dan Adinda membawa pada perkawinan yang didambakan setiap orang. “Kisah Saijah dan Adinda asli karangan Multatuli menjadikan Adinda mati dan Saijah mati dalam tragedi. Kami pikir hanya baik untuk suatu karya yang bermutu atau suatu sandiwara. Tapi tak baik untuk kami berdua,” ujar tokoh yang hingga kini dikenang akan kejujuran dan kesederhanaannya itu.
- Sejarah dalam Sketsa Srihadi Soedharsono
SEBANYAK 441 karya pelukis Srihadi Soedharsono, baik sketsa di atas kertas yang terbungkus dalam 347 bingkai, ditambah enam lukisan dengan media cat akrilik di atas kanvas, dipamerkan di Galeri Nasional, Jakarta Pusat, 11 Februari 2016. Dalam pameran bertajuk “70 tahun Rentang Kembara Roso” itu, 35 karya berupa sketsa wajah tokoh-tokoh sejarah yang terlibat perundingan antara Indonesia-Belanda yang diperantarai oleh Komisi Tiga Negara di Kaliurang, Yogyakarta 68 tahun lalu. Saat itu, 3 Januari 1948, pemuda Srihadi yang bekerja sebagai wartawan-pelukis di Balai Penerangan Tentara Divisi IV bagian dokumentasi, diutus untuk meliput di Kaliurang. Dia meliput hanya bermodal keterampilan membuat sketsa. Dengan hanya membawa kertas, pensil, pastel dan cat air, Srihadi menemui masing-masing delegasi saat istirahat di vila. Karena hanya diberi waktu lima menit, dia menggambar sketsa wajah dengan cepat. Dari puluhan sketsa, Srihadi membawa sebagian sketsa ke rumahnya dan sisanya disimpan di kantor di Solo. Nahas, kantornya hancur dibom. Beruntung, dia menyimpan beberapa sketsa di rumahnya. Sketsa itulah yang sekarang dipamerkan. “Sketsa wajah delegasi KTN itu menjadi otentik, sebab Srihadi selalu meminta para tokoh itu untuk membubuhkan tandatangannya di atas gambar sketsanya,” terang Rikrik Kusmara, kurator pameran, kepada Historia . Rikrik memasukkan sketsa delegasi KTN kedalam masa periode awal Srihadi berkreasi, sekira 1945-1952. Periode ini menarik, sebab menjadi langkah awal Srihadi menjadi pelukis di masa selanjutnya. Beberapa karya lain yang ditampilkan di antaranya sketsa wajah Bung Karno tahun 1947, lalu lima sketsa puing-puing pesawat Dakota yang jatuh di Maguwo tahun 1947. Tak hanya soal perjuangan, Srihadi pun jeli melihat aspek sosial, seperti beberapa sketsa dengan tinta tentang ketoprak Soembangsih tahun 1947, lalu gambar hotel Garuda di Yogya yang digambar 1946. Periode selanjutnya adalah 1952-1959, saat Srihadi menjadi mahasiswa di balai Pendidikan Universiter untuk Guru Seni Rupa di Bandung. Beberapa karya yang ditampilkan pada periode ini seperti gambar dengan pastel tentang Tirta Empul, Tirta Gangga dan Puri Kartasutra di Karangasem, Bali pada 1955. Bukan saja tentang bentang alam Bali, dia pun menggambar sebelas atraksi penari balet dengan media tinta yang dibuatnya 1953. Srihadi terus mengasah bakat alamnya. Pada 1960, dia studi di Universitas Ohio, Amerika Serikat dan berguru langsung kepada Hoys L. Sherman. Visi artistiknya menguat dan lebih kritis dalam mengolah warna. beberapa karyanya pada periode ini yang ditampilkan adalah 21 gambar dengan media charcoal, sejenis arang kayu, yang sebagian besar dia beri judul Nude dan dibuat tahun 1960. Dalam membuat sketsa, tampaknya Srihadi berusaha spontan. Ini terlihat pada empat sketsa berjudul View from Shangrila Hotel yang dibuatnya tahun 1996. Spontanitas itu tampak pada kertas yang dia gunakan. Misalnya, dia mengambil kertas berkop nama hotel, lalu membuat sketsa lingkungan sekitar hotel, yang dia pandang dari dalam kamarnya. Pameran yang dihelat sampai 24 Februari 2016 ini menjadi penanda 70 tahun Srihadi berkarya. Seniman yang lahir 84 tahun lampau ini dikenal rajin mengarsipkan semua karyanya, utamanya dari media kertas. Dan dia, sudah merencanakan lama untuk menampilkan karya-karyanya dengan media di atas kertas tersebut. “Ini sudah lama saya pikirkan. Karya yang dianggap lukisan adalah di atas kanvas. Namun karya dari sesobek kertas pun bisa menjadi karya yang bernilai,” terang Srihadi.
- Hukuman Kutukan dari Kerajaan Majapahit
“... Dewa, Engkau harus membunuh mereka, mereka harus engkau bunuh. Jika mereka dalam perjalanan melewati ladang terbuka, semoga mereka digigit ular berbisa. Di hutan, mereka akan kehilangan arah, diserang harimau. Di air, mereka dilahap buaya, di laut mereka digigit ikan ganas. Jika mereka menuruni gunung mereka akan menabrak batu bergerigi, jatuh ke jurang berbatu, mereka akan meluncur ke bawah, hancur berkeping-keping. Jika mereka keluar saat hujan, semoga mereka disambar petir, jika mereka tinggal di rumah, mereka akan terbakar halilintar, mereka tidak akan punya waktu melihat apa yang menyambar mereka. Saat mereka berperang mereka diserang dari kiri, dari kanan, semoga kepala mereka terbelah, dada mereka robek, perut mereka sobek hingga ususnya terburai, otak mereka dijilat, darah mereka diminum, dagingnya dilahap, hingga kematian menjemputnya. Mereka akan dibawa ke neraka Rorawa, dan jika mereka lahir kembali, itu dalam keadaan buruk. Itu yang akan terjadi pada mereka yang berbuat jahat...” Itulah hukuman kutukan mengerikan yang terdapat dalam Prasasti Tuhannaru dari Kerajaan Majapahit tahun 1323. Prasasti yang ditemukan di Sidoteko, Mojokerto itu, diterjemahkan oleh Jan van den Veerdonk dalam “Curses in Javanese Royal Inscriptions form Singhasari-Majapahit Period, 1222-1486 M,” jurnal Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (2001). Selain Prasasti Tuhannaru, prasasti dari Kerajaan Majapahit yang berisi kutukan antara lain Prasasti Waringin Pitu, Prasasti Cangu, dan Prasasti Kudadu. “Ketika dibandingkan (antara beberapa prasasti yang mengandung kutukan, red ), ada kesamaan besar dalam penggunaan dan struktur kata,” tulis Veerdonk. Menurut Veerdonk, bagian kutukan dalam prasasti akan diawali dengan deskripsi persiapan upacara pengucapan kutukan. Setelah itu dilanjutkan doa kepada dewa tertentu dan makhluk gaib lainnya. Mereka inilah yang diyakini berada di manapun dan menjadi saksi setiap pelanggaran atas ketentuan prasasti. Baru kemudian tertera peringatan dan permohonan atas hukuman mengerikan bagi para pelanggar. Menurut arkeolog Universitas Gadjah Mada, Tjahjono Prasodjo, kutukan ( sapatha ) dalam prasasti merupakan cara agar semua orang patuh pada keputusan penguasa. Sanksi yang dipilih ini memang lebih bersifat sakral kedewaan, bukan sanksi atau denda sebagaimana pada masa sekarang. “Saya kira pada zamannya, ketika orang sangat percaya dengan kekuatan kutukan, itu adalah cara yang paling efektif untuk mengamankan dan melindungi kelangsungan sebuah penetapan atau piagam,” ujar Tjahjono kepada Historia. Secara umum, Tjahjono menjelaskan, dalam prasasti yang ditemukan di Jawa, kutukan biasanya termuat dalam prasasti penetapan sima, yaitu tanah perdikan yang memiliki hak istimewa tidak dipungut pajak. “Kecuali ada satu atau dua prasasti yang memuat ketetapan hukum,” lanjutnya. Selain di Jawa, pada abad ke-7/8, Kerajaan Sriwijaya pun mengeluarkan prasasti kutukan, seperti Prasasti Kota Kapur dan Telaga Batu. Namun, menurut Tjahjono, prasasti kutukan yang ditemukan di Sumatera itu ditujukan kepada pejabat kerajaan agar patuh kepada raja. Sementara dalam prasasti-prasasti di Jawa kuno kutukan diarahkan agar semua orang mematuhi keputusan yang telah dibuat penguasa. Uniknya, Majapahit masih mengeluarkan sanksi kutukan ini, di saat kerajaan itu sudah memiliki kitab perundang-undangan sendiri. Dalam Kitab Agama misalnya, Majapahit mengatur tindak pidana, yang dikenakan berupa denda atau hukuman mati. “Di samping undang-undang hukum pidana,” tulis Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama , “terdapat juga undang-undang hukum perdata. Bab seperti jual beli, pembagian warisan, perkawinan, dan perceraian.”*
- Mengecup Hidung, Salam Khas Orang Sawu
Di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, perkumpulan orang Sawu sedang menggelar seremoni tabur bunga. Mereka sedang memperingati 83 tahun gugurnya Martijn Paradja, pelaut asal Sawu, dan 21 awak Indonesia, dalam peristiwa pemberontakan Kapal Tujuh ( De Zeven Provincien ). Bagi masyarakat Sawu, Martijn dianggap sebagai pahlawan perintis kemerdekaan. Sawu adalah kepulauan yang terletak di bagian selatan Nusa Tenggara Timur. Dalam perhelatan itu, mereka bertegur sapa dengan cara yang tidak biasa dan unik. Bukan bersalaman ataupun cipika-cipiki sebagaimana lazimnya. Namun sepasang insan yang bertemu, saling mendaratkan kecupan ke hidung satu sama lain. Sekira lima detik dengan tatapan yang lekat, ritual itu berlangsung. Tiap orang Sawu, laki-laki, perempuan, tua, muda tiada terkecuali menjalankan ritual “kecup” itu. Suasana pertemuan pun menjadi hangat dengan rasa kekeluargaan, meski baru kali pertama bersua. “Itu adat istiadat orang pulau Sawu,” kata sejarawan Peter A. Rohi (1942-2020), yang berasal dari Sawu. Menurut Peter, tradisi cium hidung itu sudah menjadi tradisi turun-temurun sejak lama. Mencium hidung adalah tanda ramah tamah dan persaudaraan. “Sekarang lebih populer dengan istilah ‘cium Sawu’,” kata Peter. Mengenai hidung sebagai bagian tubuh yang dikecup, Peter menerangkan bahwa hidung berarti kehidupan. Satu dari panca indra manusia yang digunakan untuk bernapas. Cium Sawu bisa dilakukan oleh siapa saja diantara sesama orang Sawu, tidak mengenal strata sosial, umur, dan jenis kelamin. “Sekalipun laki-laki dan perempuan bersentuhan (hidung), tak ada kontak seksual di sana,” ujar Peter. Selain sebagai tanda persaudaraan, mencium hidung juga dimaknai sebagai ungkapan kejujuran dan penghormatan dari muda kepada yang tua. “Waktu cium hidung itu, mata harus bertemu mata. Tidak boleh mengabaikan pandangan. Mata yang terbuka berarti kejujuran. Dan siapa yang lebih muda dia harus bangun lebih dahulu, mencium yang lebih tua,” kata Barnabas Lois Rame, 67 tahun, Ketua Perkumpulan Sosial Masyarakat Sawu se-Jabodetabek. Dalam konteks sosial yang lebih luas, mencium hidung menjadi indikasi penyelesaian konflik diantara orang Sawu. Bagi orang Sawu, mencium hidung adalah bentuk lain dari permintaan maaf. “Dengan mencium hidung sebagai cara untuk pengakuan bersalah maka semua masalah akan dianggap selesai,” kata Peter. “Tapi kalau orang yang bersalah minta mencium hidung, dan orang bersangkutan membuang muka, artinya permintaan maaf tersebut tidak diterima,” tutup Barnabas. Sampai sekarang, tradisi mencium hidung masih tetap dilestarikan masyarakat Sawu. Fungsinya saat ini menjadi penanda identitas bagi orang Sawu yang telah banyak berdiaspora.
- Alat Batu, Teknologi Pertama Manusia
PADA 2009, Gert van den Berg, peneliti dari University of Wollongong, Australia, melakukan penelitian di situs Talepu, lembah sungai Wallanae, Sulawesi Selatan. Temuannya ada ribuan tulang hewan dan alat batu. Beberapa alat batu yang berusia mencapai 118 ribu hingga 200 ribu tahun lalu, dipublikasikan pada Januari 2016. Secara arkeologis, artefak batu tidak hanya dilihat sebagai benda melainkan merekam perkembangan teknologi dan perkembangan kebudayaan masyarakat pembuatnya. Mark Moore, arkeolog eksperimental dari University of New England Armidale, Australia mengatakan, penggunaan batu dimulai di Afrika sekitar 3,2 juta tahun lalu. “Ini adalah ide manusia. Bukan muncul begitu saja,” katanya. Pada masa awal persebaran manusia, penggunaan alat batu digunakan secara luas, dari mulai Afrika hingga Sulawesi. Temuan alat batu di situs Leang Burung 2 dan Leang Buttue Maros, berasal dari zaman es terakhir antara 28 ribu hingga 22 ribu tahun lalu dan masa Pleistosen antara 120 ribu hingga 60 ribu tahun lalu. Sementara itu, alat batu yang ditemukan di Flores berusia hingga satu juta tahun lalu. Alat-alat batu dapat digenggam, memiliki lancipan dan di bagian tertentu terdapat sisi yang tajam –semacam mata pisau– untuk mengiris, menguliti atau merobek. Manusia pendukung kebudayaan itu diperkirakan membuat alat batu dengan cara menghantamkannya ke batu lain. Penanda lain yang digunakan para arkeolog adalah menemukan sisi lengkungan dengan istilah dataran pukul. Moore yang sejak 30 tahun terakhir bereksperimen membuat alat batu, mengatakan, bahwa perkembangan otak manusia terlihat dengan menelisik alat batunya. “Alat-alat batu ini berevolusi dari masa ke masa. Mulai alat batu yang kasar, hingga menjadi halus (yang telah diupam),” katanya. Di Maros terkenal Maros point (lancipan Maros), sebuah mata panah dari batu berukuran sekitar satu sentimeter. Pada setiap sisinya memiliki gerigi. Mata panah ini ditempelkan (diikat) pada ujung kayu dan digunakan untuk berburu. Sementara alat batu yang lebih tua, tertanam di dasar tanah. Pada lapisan tua, tinggalan alat batunya tidak begitu beraturan, sedangkan pada lapisan yang lebih muda semakin berbentuk. Moore bilang, manusia pendukung kebudayaan alat batu ini menggunakannya untuk membunuh binatang dan mengulutinya. Mungkin saja, alat batu yang lebih besar digunakan untuk menimpuk. Serpihan dari batu yang dibuat dengan sengaja untuk menguliti hewan buruan. Moore menguji analisis itu, menggunakan alat serpih batu menguliti seekor rusa muda. Hasilnya, dia membutuhkan sekitar satu jam, dengan empat alat serpih. “Cukup cepat,” katanya. Bagi Moore, alat batu yang digunakan masyarakat prasejarah adalah teknologi pertama yang diciptakan manusia melalui pemikiran. “Saya yakin, ini adalah teknologi pertama dari manusia. Alat batu. Kalau menggunakan kayu, saya tak bisa menyebutkannya karena tidak menemukan bukti dan tinggalan,” katanya. Akhirnya, seiring perkembangan evolusi manusia dan kebudayaan, perlahan-lahan alat batu mulai ditinggalkan secara massal. Namun, di beberapa tempat seperti Australia, penggunaan alat batu untuk melakukan aktivitas sehari-hari oleh masyarakat Aborigin digunakan hingga tahun 1960. Di Turki hingga tahun 1970-an. Dan di Papua untuk beberapa wilayah digunakan hingga sekarang. Apakah masyarakat yang menggunakan alat batu adalah masyarakat primitif? Moore menolaknya dengan tegas. “Tidak. Ini adalah hasil cipta manusia. Dibutuhkan keahlian dan keuletan untuk menjadikan sebuah batu layak digunakan,” katanya. “Anda bayangkan. Ketika orang menemukan besi dan membuat pisau. Untuk menggunakannya harus mengeluarkan biaya (uang). Alat batu, tidak,” kata Iwan Sumantri, arkeolog-cum-antropolog Universitas Hasanuddin, Makassar. “Saya kira alat batu, menunjukkan pada kita. Bila masyarakat pendukungnya lebih memiliki kemandirian.”
- Intel Indonesia Dilatih CIA
DALAM laman Badan Intelijen Negara ( bin.go.id ) disebutkan bahwa pada 1952 Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Menteri Pertahanan Sultan Hamengkubuwono IX menerima tawaran Dinas Rahasia Amerika Serikat (CIA, Central Intelligence Agency) untuk melatih calon-calon intel profesional Indonesia di Pulau Saipan, Filipina.
- Saat Kali Bekasi Berwarna Merah
BEKASI, 19 Oktober 1945. Senja baru saja akan mencapai ujungnya, ketika Letnan Dua Zakaria Burhanuddin mendapat instruksi penting dari Jakarta: harap membiarkan lewat serangkaian kereta api memuat 90 anggota Kaigun (Angkatan Laut Jepang) yang akan melintas di Stasiun Bekasi beberapa saat lagi. “Rencananya tentara Jepang yang telah menyerah itu akan dibawa ke lapangan terbang Kalijati, Subang untuk selanjutnya dipulangkan ke Jepang,” tulis Ali Anwar dalam buku KH.Noeralie: Kemandirian Ulama Pejuang. Alih-alih membiarkan kereta api tersebut lewat, Wakil Komandan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) Bekasi itu malah memerintahkan Kepala Stasiun Bekasi mengalihkan jalur perlintasan kereta api dari jalur dua ke jalur satu yang merupakan jalur buntu. Akibatnya, lokomotif yang menggandeng sembilan gerbong (termasuk tiga gerbong yang memuat 90 anggota Kaigun) terpaksa berhenti, tepat di mulut Kali Bekasi. Begitu kereta api berhenti, massa rakyat dan pejuang Bekasi langsung melakukan pengepungan. Suasana mencekam saat Letnan Dua Zakaria dan beberapa pengawalnya naik ke atas kereta api tersebut dan menanyakan surat izin dari Pemerintah Republik Indonesia (RI). “Mereka menunjukan surat jalan dari Menteri Luar Negeri Achmad Soebardjo yang dibubuhi tanda tangan Presiden Sukarno,” tulis Ali Anwar. Di tengah pemeriksaan, tiba-tiba seorang prajurit Kaigun melepaskan tembakan pistol dari arah salah satu gerbong tersebut. Tembakan itu ibarat komando bagi massa rakyat dan pejuang untuk menyerbu. Maka tumpah ruahlah ratusan orang memasuki kereta api itu dengan membawa berbagai macam senjata. Setelah melalui pertempuran kecil, beberapa menit kemudian, massa berhasil menguasai kereta api. Mereka merampas barang-barang yang ada di dalamnya (termasuk ratusan pucuk senjata) dan memasukan 90 tawanan berkebangsaan Jepang itu ke sebuah sel yang berada di belakang gedung Stasiun Bekasi. Empat jam kemudian, tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan Komandan Resimen V TKR Mayor Sambas, massa rakyat dan pejuang lantas menggiring para tawanan perang itu ke tepian Kali Bekasi. Satu persatu, serdadu malang itu disembelih dan mayatnya dihanyutkan ke dalam sungai. “Kali Bekasi sampai berwarna merah karena darah yang keluar dari tubuh para serdadu Jepang itu,” demikian dilukiskan oleh Dullah (89), salah seorang penduduk Bekasi yang sempat menyaksikan kejadian tersebut. Demi mengetahui peristiwa itu, Laksamana Muda Maeda menjadi berang. Dalam nada sangat marah, Komandan Penghubung Angkatan Laut dan Angkatan Darat Tentara Kekaisaran Jepang itu melayangkan protes keras kepada Pemerintah RI. Menanggapi protes keras dari Maeda, Kepala Kepolisian RI Komisaris Jenderal Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo bersama seorang staf Departemen Luar Negeri RI bernama Boediarto lantas menghadap Maeda. Dalam pertemuan itu, keduanya harus “ikhlas” menjadi sasaran amarah sang laksamana. “Kejadian ini dapat menjadi bukti kepada dunia bahwa bangsa Indonesia tidak memiliki pendirian yang teguh!” ujar Maeda. Kombes Soekanto berusaha tidak terpancing amarah yang dilontarkan Maeda itu. Setelah meminta maaf terlebih dahulu, ia kemudian mengatakan bahwa Insiden Stasiun Bekasi tersebut di luar kemampuan Pemerintah RI. “ Memang benar hanya Pemerintah RI yang memiliki hak melakukan hukuman mati, tapi seperti yang Tuan ketahui, Bekasi merupakan daerah yang belum sepenuhnya tunduk kepada hukum Pemerintah Republik Indonesia,” demikian penjelasan Soekanto seperti dikutip dalam Material on Japanese Military Administration in Indonesia yang dikeluarkan oleh Institut Ilmu Sosial Universitas Waseda, Jepang. Setelah dilakukan pendekatan politik secara intens oleh Pemerintah RI, Maeda akhirnya dapat dibuat maklum. Namun, ia memberi catatan bahwa kejadian itu harus menjadi yang terakhir dan Pemerintah RI wajib mengantisipasi terjadinya insiden serupa secara serius. “ Jika dibiarkan saja, maka tak mustahil kejadian di Bekasi itu akan merajalela di mana-mana,” ungkap Maeda. Sebagai bentuk tanggungjawab terhadap insiden tersebut, pada 25 Oktober 1945, Presiden Sukarno berkunjung ke Bekasi. Di depan rakyat Bekasi, ia memohon agar rakyat menaati setiap perintah yang datang dari Pemerintah RI dan melarang keras para pejuang untuk melakukan lagi upaya-upaya pencegatan kereta api. Sementara itu, beberapa hari usai insiden penyembelihan tentara Jepang tersebut, masyarakat Bekasi digegerkan dengan isu berkeliarannya arwah penasaran 90 serdadu itu. Menurut Dullah, isu itu sempat mempengaruhi rakyat Bekasi (termasuk anggota TKR dan lasykar) hingga begitu memasuki malam, Bekasi menjadi kota yang sangat sunyi karena setiap orang enggan keluar rumah. Robert B. Cribb merekam gejala itu dalam bukunya Para Jago dan Kaum Revolusiener Jakarta 1945-1949 . Ia menyebutkan pasca kematian menggenaskan para serdadu Jepang itu, hampir tiap malam Bekasi dihantui terror isu arwah penasaran. Diyakini, hantu para prajurit yang terbunuh di Bekasi bangkit kembali menghantui sekitar tempat mereka meregang nyawa. “Mereka disebutkan berbaris dalam formasi dan melintasi jembatan sementara kepala disembunyikan di balik lengan para hantu tersebut…” tulis Cribb.
- Hikayat Sidi Mara, Bajak Laut Pantai Barat Sumatra
Sumatra Barat terlebih pantai barat Sumatra terus memanas pasca Belanda mematahkan perlawanan kaum Paderi tahun 1837. Teror dan kegaduhan bermunculan sehingga Belanda mengeluarkan kebijakan rust en orde untuk mengontrol ketertiban dan keamanan. Kegaduhan muncul dari orang dan kelompok yang selama ini banyak membantu kaum Paderi dalam menghadapi Belanda. Pihak kolonial melabeli mereka bajak laut dan perampok. Mereka dianggap pemicu terjadinya amuk massal dan pembakaran gudang yang dikuasai Belanda. Bajak laut yang cukup disegani adalah Sidi Mara dengan 20 orang anak buah. Namanya sering disebut dalam catatan militer Belanda pada abad 19. “Nama Sidi Mara sering disebut dalam beberapa tulisan para petinggi militer Belanda yang pernah bertugas di Minangkabau,” sebut filolog Suryadi beberapa waktu lalu. Guru Besar Sejarah Universitas Andalas Gusti Asnan mengatakan, Sidi Mara salah seorang pemimpin bajak laut yang terkenal di pantai barat Sumatra, selain Panglima Mentawe, Nja’ Pakir dan Po Id. Sejatinya, Sidi Mara merupakan seorang pedagang perantara atau broker. Ketika zaman Perang Paderi, dia menjadi pedagang penghubung antara orang-orang Aceh dengan kaum Paderi. Dia memasok keperluan kaum Paderi dengan barang seperti senjata, pakaian, garam, ikan, dan lain-lain. Semua dibeli ke orang Aceh. “Dia memiliki gudang yang cukup besar di Katiagan, Pasaman,” ujar Suryadi. Kaum Paderi yang dipimpin Tuanku Imam Bonjol mulai terdesak ketika pasukan Belanda terus merangsek. Letnan Satu Infantri J.C Boelhouwer, dalam memoar “Kenang-kenangan di Sumatra Barat Selama Bertahun-tahun 1831-1834” mencatat, militer Belanda merangsek ke pusat Paderi di Bonjol. Gudang dagang yang banyak berdiri di Katiagan, tidak jauh dari Bonjol dibakar. Salah satu gudang yang ikut terbakar adalah milik Sidi Mara. Sejak itu, dia begitu marah pada Belanda. Dia dengan gerombolannya menyerang kampung-kampung yang berkongsi dengan Belanda. Gusti Asnan mengatakan aktivitas bajak laut di pantai barat Sumatra di abad 19 karena motif ekonomi dengan melakukan perompakan terhadap kapal-kapal niaga yang sedang berlayar, perkampungan penduduk, dan juga karena motif politik. Korban bajak laut banyak dialami pedagang (pecalang) Tionghoa ketimbang Eropa. Sebab, pecalang Eropa sudah memiliki persenjataan membuat bajak laut berpikir untuk menyerang. Selain itu juga perompakan terhadap kampung, bahkan menculik penduduk untuk komoditas budak. Bukan hanya Sidi Mara, keangkuhan Belanda juga memantik beberapa orang bekas pedagang terutama dari Aceh, melakukan kegaduhan terutama di kampung-kampung yang berkongsi dengan Belanda. “Beberapa laporan Belanda menyebut bahwa bajak laut lebih suka merompak perkampungan di pinggir pantai yang sudah jatuh ke tangan Belanda,” ujar Gusti Asnan yang menulis buku Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera . Menurutnya, bajak laut adalah persepsi Belanda, sementara di mata Paderi, mereka adalah pahlawan. “Belanda mengatakan pada gerombolan seperti bajak laut dengan ungkapan anak haram Jadda ,” bilangnya. Seabrek cacatan kolonial Belanda, tidak diketahui biodata yang jelas tentang Sidi Mara. Begitu pun akhir kisahnya. “Tidak ada catatan biodata yang jelas tentang Sidi Mara. Misal tanggal, tahun lahir, kampung, dan keturunan siapa,” ujar Gusti Asnan. Namun, menurut Suryadi yang akrab dipanggil Ajo, Sidi Mara berasal dari Pariaman. Ia merupakan salah satu gelar adat di Pariaman. Sidi berasal dari kata Sayyidi (sama dengan Tuanku). Gelar ini diberikan kepada mereka yang bernasab kepada kaum ulama ( syayyid ), yaitu penyebar agama Islam di daerah Pariaman. Sidi, sama halnya dengan gelar lain seperti Sutan dan Bagindo, merupakan gelar yang disematkan pada laki-laki yang baru saja kawin di Pariaman. Gelar demikian diturunkan terus-menerus yang dipetik dari garis ayah (patrilineal). “Sidi Mara ini orang Pariaman . Kalau tidak salah dia seorang pedagang,” imbuh Suryadi. Untuk mengantisipasi bajak laut, pemerintah Hindia Belanda mendirikan banyak pos pengaman di pelbagai kota pantai. Belanda juga sering mengirim ekspedisi militer ke kawasan utara Sumatra. “Berkat kesungguhan Belanda, tahun 1860-an, tidak ditemukan lagi laporan pemerintah †entang kegiatan bajak laut,” pungkas Gusti Asnan.






















