Hasil pencarian
9592 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Kopi Jawa Bikin Kecanduan Orang Eropa
JIKA berkunjung ke Cianjur, anda akan menemukan tempat bernama Salakopi (ada juga yang bilang Selakopi). Kawasan yang masuk wilayah kota ini termasuk salah satu pusat keramaian. Ada mal besar dan kafe-kafe yang setiap harinya dipenuhi muda-mudi. “Salakopi memang tempat yang nyaman buat kongkow-kongkow sambil ngopi,” ujar Adam (31), anak muda Cianjur. Namun, tak banyak orang Cianjur tahu mengapa tempat tersebut bernama Salakopi. Seorang sepuh bernama Ohim (74) yang agak paham cikal bakal nama itu. Menurutnya, saat muda dia kerap mendengar bahwa zaman baheula , Salakopi merupakan hamparan kebun kopi produktif. “Nama Salakopi itu sendiri katanya berasal dari dua kata: sela dan kopi, artinya di sela-sela tumbuhan kopi,” ungkap kakek lima cucu ini. Bisa jadi keterangan Ohim itu bukan isapan jempol. Sebab, menurut sejarawan Jan Breman, Cianjur merupakan pemasok kopi terbesar untuk VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur) pada awal abad ke-18. Bahkan pada 1711, Bupati Wiratanu III dari Cianjur merupakan penguasa lokal pertama di Priangan yang menyetor hampir seratus pikul kopi kepada VOC. “Harga yang dia peroleh dari VOC adalah 50 gulden per pikul (satu pikulan = 125 pon),” tulis Breman dalam Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa: Sistem Priangan dari Tanam Paksa Kopi di Jawa 1720-1870. Pasokan kopi semakin melimpah saat VOC memberlakukan sistem tanam paksa dalam nama Preanger Stelsel (Sistem Priangan) pada 1720. Itu terjadi karena “jasa” para bangsawan lokal (menak dan santana) yang menekan masyarakat untuk menjual produk mereka hanya kepada VOC dengan harga murah. Menurut Gunawan Yusuf dalam Sejarah Cianjur Bagian 7 , di bawah pengendalian Wiratanu III, pada 1724, Cianjur bahkan pernah memanen kopi sebanyak 1.216.257 pikul (setara dengan harga 202.271,25 ringgit). Jumlah yang sangat fantastik saat itu. “Setengah hingga tiga perempat perdagangan kopi dunia berasal dari VOC dan jumlah itu setengahnya dihasilkan dari Priangan bagian barat, yakni Kabupaten Cianjur,” tulis G.J. Knaap dalam Coffee for Cash. Terlebih, menurut sejarawan Saleh Danasasmita, kopi asal Priangan (baca: Cianjur) memiliki kualitas terbaik hingga menjadi andalan VOC di pasaran dunia. Akibatnya, kas keuangan pemerintah Hindia Belanda jaman Herman Willem Daendels pernah surplus. “Karena kopi Priangan pula Belanda sempat menyebut kawasan tersebut sebagai gabus pelampung Belanda di tanah Hindia,” tulis Saleh dalam Sejarah Bogor Bagian I . Keuntungan yang diraih VOC berbanding lurus dengan “percikan laba” yang didapat para bangsawan. Sebagai contoh, Breman mengungkapkan bahwa pada 1726 saat Wiratanu III meninggal, Bupati Cianjur ke-3 itu masih berhak mendapat 26.000 ringgit gulden ditambah bunga atas jumlah itu. Sejarawan C.R. Boxer dalam Jan Kompeni: Sejarah VOC dalam Perang dan Damai , menyebut sekitar empat sampai enam juta pon kopi diangkut dari Priangan menuju Belanda pada 1730. VOC sendiri tidak kesulitan dalam memasarkan bijih hitam, yang mereka sebut sebagai “kopi Jawa”, ke Eropa. Begitu populernya “kopi Jawa” di Eropa, hingga seorang pendeta, Francois Valentijn, mengeluhkan kecanduan orang-orang Eropa terhadap benda hitam dari Hindia itu. “Dia mengeluh bahwa kopi Jawa sudah menjadi begitu umum disukai hingga pelayan-pelayan wanita serta penjahit tidak mau bekerja sebelum menikmati cairan hitam tersebut,” tulis Boxer.*
- Jaksa IPT 1965: Negara Indonesia Harus Bertanggungjawab
LIMA puluh tahun lalu periode tergelap dalam sejarah Indonesia dimulai dengan pembunuhan ratusan ribu warga tak berdosa, penahanan ribuan orang, penyiksaan, penghilangan paksa, kekerasan seksual dan berbagai kejahatan di luar hukum lainnya, demikian dikatakan oleh Nursyahbani Katjasungkana, kordinator Pengadilan Rakyat Internasional kasus 1965 di Den Haag, Belanda dalam pidatonya pagi ini. “Tidak hanya kejahatan terhadap kemanusiaan yang pernah terjadi, korban dan aktivis HAM pun mendapatkan gangguan. Kekerasan tetap berlanjut, bahkan aktivis HAM saat ini dituduh sebagai bagian dari gerakan komunisme gaya baru,” ujar Nursyahbani. Rangkaian persidangan dimulai dengan pembacaan dakwaan oleh Jaksa yang dipimpin oleh advokat senior Todung Mulya Lubis. Dalam pembacaan dakwaannya, jaksa menuntut Negara Indonesia bertanggungjawab atas kejahatan dan kekerasan kemanusiaan yang diatur dalam hukum internasional. Menurut jaksa, Negara Indonesia, khususnya Angkatan Darat di bawah Jenderal Soeharto (kemudian presiden), berperan sebagaimana halnya pemerintah yang berkuasa saat itu melakukan kejahatan kemanusiaan dengan menggunakan milisi sipil. Negara Indonesia, dalam hal ini Angkatan Darat dan milisi sipil yang berada di bawah perintahnya, menurut jaksa telah melakukan pembunuhan terhadap ratusan ribu anggota dan simpatisan PKI, pemenjaraan di luar hukum, penangkapan paksa, penghilangan paksa, penyiksaan dan juga kekerasan seksual. Ada sembilan kejahatan yang dijadikan tuntutan jaksa kepada pihak Negara Indonesia, yakni pembunuhan, perbudakan (kerja paksa), pemenjaraan, penyiksaan, kekerasan seksual, penganiayaan ( persecution ) terhadap mereka yang dicabut kewarganegaraannya, penghilangan paksa, penganiayaan melalui propanda dalam penulisan sejarah, penguasaan informasi di media massa seperti film. Jaksa juga menuntut Amerika Serikat, Inggris dan Australia atas keterlibatan mereka baik secara langsung maupun tidak atas berbagai kejahatan kemanusiaan yang pernah terjadi di Indonesia pada kurun 1965-1966. Sampai dengan berita ini diturunkan, jalannya persidangan masih berlangsung untuk mendengarkan kesaksian para saksi yang datang dari kalangan peneliti dan saksi korban. Sidang yang dipimpin oleh Zak Yacoob ini akan digelar sampai 13 November mendatang. Zak adalah mantan hakim Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan yang berpengalaman menangani berbagai isu kemanusiaan di negerinya dan memiliki reputasi internasional.*
- Maria Ullfah, Advokat Kaum Perempuan
MARIA Ullfah lahir di Serang, Banten pada 18 Agustus 1911. Ayahnya, RAA Mohammad Achmad bekerja sebagai Bupati Kuningan, setelah sebelumnya sempat bertugas sebagai amtenar di Serang, di Rangkasbitung dan kemudian jadi bupati Meester (kini Jatinegara) di Batavia. Ibu kandungnya, RA. Hadidjah Djajadiningrat, anak kelima Raden Bagoes Djajawinata, Wedana Kramatwatu dan Bupati Serang. Masa kecil Maria dilewati di Serang, Banten. Maria mulai masuk sekolah dasar di Rangkasbitung, mengikuti ayahnya yang bekerja di kota yang menjadi latar belakang kisah roman Max Havelaar itu. Tak lama tinggal di Rangkasbitung, Mohammad Achmad pindah ke Batavia, di mana dia bertugas sebagai Patih di Meester (kini Jatinegara), yang dulu masih termasuk wilayah administrasi Provinsi Jawa Barat. Maria ikut pindah ke Batavia. Pada 1929 Mohammad Achmad memperoleh kesempatan belajar perkoperasian di Den Haag, Belanda. Dia mengajak ketiga anaknya. Kebetulan saat itu tiba waktunya bagi Maria untuk melanjutkan pendidikannya. Atas izin ayahnya dan pilihan Maria sendiri, dia mendaftar ke Fakultas Hukum di Universiteit Leiden. Kelak Maria menjadi sarjana hukum perempuan pertama dari Indonesia. Aktivitasnya di dalam dunia pergerakan politik dimulai saat dia bertemu Sjahrir, tokoh sosialis terkemuka yang kelak jadi perdana menteri. Melalui Sjahrir, Maria dikenalkan kepada kalangan sosialis Belanda dan diajak ke pertemuan-pertemuan kaum sosialis di sana. Ketika kembali ke Indonesia, Maria mengajar di Perguruan Rakyat dan di Perguruan Muhammadiyah. Dia mengampu tiga mata pelajaran: sejarah, tatanegara dan bahasa Jerman. Sembari mengajar, dia juga menceburkan dirinya ke dalam aktivitas pergerakan perempuan Indonesia yang pada kurun tahun 1930-an menemukan gairahnya untuk menuntut kesetaraan di tengah masyarakat. Maria menjadi salah satu pendiri organisasi Isteri Indonesia. Organisasi itu menerbitkan majalah bulanannya sendiri yang juga bernama sama dengan nama organisasinya. Dia jadi salah satu kolumnis tetap di majalah tersebut dan kerap mencurahkan pikiran-pikirannya tentang gerakan perempuan di Indonesia. Dari tulisannya, ada berbagai soal yang menjadi pokok, mulai soal keadaan umum perempuan di Indonesia, pernikahan paksa, buruh perempuan dan soal perwakilan perempuan di dalam parlemen di Hindia Belanda. Lewat Isteri Indonesia , Maria memperjuangkan gagasan perlunya perempuan Indonesia duduk di parlemen dan dewan-dewan kota ( gemeente ). Maria ialah satu dari segelintir tokoh perempuan yang memerjuangkan adanya Undang-undang pernikahan. Perdebatan itu sudah dimulai sejak Kongres Perempuan Indonesia kedua di Batavia, 20–24 Juli 1935. Dia mengajak gerakan perempuan memikirkan formulasi peraturan untuk melindungi perempuan dari penyalahgunaan hukum agama demi kepentingan sepihak kaum lelaki, khususnya dalam soal permaduan (poligami). Undang-Undang itu sendiri baru berhasil disahkan pada 1974, setelah puluhan tahun diperjuangkan sejak zaman kolonial. Adalah Maria juga yang mengusulkan pencantuman pasal kesetaraan warga negara di hadapan hukum sebagaimana tercantum dalam pasal 27 ayat 1 UUD 1945. Usulan itu disampaikannya kepada Moh. Hatta dalam kapasitas Maria sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pada masa kemerdekaan, Sjahrir memintanya menjadi menteri sosial. Bagi Sjahrir, penunjukkan Maria sebagai menteri merupakan wujud sikap antifasis dan memegang prinsip demokrasi. Kiprah Maria sebagai menteri sosial menunjukkan kepada dunia bahwa bangsa yang kerap dituduh merdeka atas jasa Jepang ini punya seorang menteri perempuan yang bahkan di Eropa pun belum lazim saat itu. Sebagai menteri sosial, Maria merintis usaha penyusunan Undang-Undang Perburuhan yang kemudian disahkan pada 1948 saat SK. Trimurti menjabat Menteri Perburuhan di era Perdana Menteri Amir Sjarifuddin. UU itu terbilang progresif, baik untuk zamannya maupun untuk masa sekarang. Keberpihakan kepada buruh, seperti hak upah dan cuti, diatur jelas dalam UU tersebut. Bukan saja urusan politik, pada 1950–1961 Maria pernah jadi Ketua Panitia Sensor Film Indonesia, cikal bakal Lembaga Sensor Film. Di masa senjanya dia juga menjadi Ketua Yayasan Rukun Istri yang kegiatan tetapnya mengelola panti asuhan Putra Setia di Kramat Sentiong, Jakarta Pusat. Maria juga pernah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung untuk periode 1968–1973.*
- Sabarudin Ditakuti Sekaligus Dihormati
MESKI kejam, Sabarudin memiliki ratusan pendukung fanatik. Dia ditakuti, tetapi sekaligus dihormati dan dipuja anak buahnya. “Rahasia kepemimpinannya adalah, dia mampu menghadapi dan memenuhi kebutuhan anak buahnya, meskipun untuk itu bila perlu ditempuh lewat cara yang ilegal,” tulis Moehkardi, pengajar sejarah Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri), dalam biografi R. Mohamad dalam Revolusi 1945 Surabaya . Markas Besar Angkatan Perang tampaknya berang dengan ulah semena-mena Sabarudin. Dalam keterangan di bukunya, Moehammad Jasin mendapat perintah dari Jenderal Soedirman untuk menangkap Sabarudin. Perintah itu terlaksana. Sabarudin menyerah dalam pengepungan di Jawa Timur. Lewat pengadilan militer di Yogyakarta, Sabarudin dijatuhi hukuman penjara. PTKR dibubarkan. Dari penjara di Wirogunan, Yogyakarta, Sabarudin dipindah ke penjara Magelang. Semasa di penjara, pada 21 Juli 1947, Ambarawa diduduki Belanda. Sabarudin memanfaatkan situasi gawat ini dengan membujuk Markas Besar Tentara (MBT) di Yogyakarta supaya dibebaskan. Dia bahkan ditugaskan membentuk laskar dengan syarat mau ditempatkan di Jawa Barat. Dalam waktu tak lama dia berhasil mengumpulkan kembali sekompi anak buahnya. Bukannya pergi ke Jawa Barat, Sabarudin malah kembali ke Jawa Timur. Peristiwa PKI 1948 di Madiun membuat pemerintahan pusat memperkuat militer. Laskar Sabarudin termasuk yang ikut direhabilitasi. Kesatuannya diakui sebagai Batalion 38 di dalam sebuah brigade yang dipimpin Letkol Surachmad. Pada 1948, ketika Tan Malaka dibebaskan dan hendak melakukan gerilya di Jawa Timur, Sabarudin adalah yang mula-mula memberikan jaminan keselamatan kepadanya. Menurut Moehkardi, Sabarudin fanatik kepada ajaran-ajaran Tan Malaka. Pendapat itu disangkal Poeze. “Ikatannya dengan Sabarudin mustahil dan tidak bisa dipercaya. Tapi dalam revolusi berlaku kaidah-kaidah lain, dan persekutuan semacam itu bisa saja terjadi, seperti juga Revolusi bisa menawarkan kesempatan kepada orang-orang semacam Sabarudin naik ke jenjang kekuasaan,” tulis Poeze. Gerakan Tan Malaka yang antidiplomasi dianggap membahayakan Republik. Begitu pula dengan Sabarudin yang menyertainya. Sepeninggal Tan Malaka yang ditembak mati di Kediri, Sabarudin dan pasukannya terus berada dalam pelarian di Jawa Timur. Meski berkali-kali diimbau menyerahkan diri, Sabarudin kukuh menolak. Bahkan pasukannya melumpuhkan Batalion Banuredjo yang dikirim Surachmad untuk mengejar Sabarudin. Mayor Banuredjo tewas di tangan anak buah Sabarudin di Kalipare, Malang Selatan. Kematian Banuredjo menambah murka Surachmad dan para komandan brigade di Jawa Timur lainnya. Dan Sabarudin, meski berhasil meloloskan diri, makin terdesak oleh tentara yang terus mengejarnya. November 1949 pasukannya terjepit di Kawi Selatan, Malang. Kolonel Soengkono, panglima dan gubernur militer di Jawa Timur, membujuk Sabarudin lewat surat. Isi surat tersebut ialah perintah supaya Sabarudin menghadap Soengkono di Surabaya, hendak diajak membahas upaya perundingan gencatan senjata antara TNI-Belanda. Kali ini Sabarudin melunak. Menurut Poeze, dia telah berniat “kembali bertindak sebagai seorang tentara yang loyal”. Dengan menunggang kuda, Sabarudin turun gunung menuju Surabaya. Tapi sesampainya di Surabaya, Soengkono sudah bertolak ke Nganjuk, tempat dilangsungkannya perundingan gencatan senjata itu. Sabarudin menemui tentara Belanda yang juga akan berangkat ke Nganjuk untuk perundingan. Mengingat pangkatnya yang lumayan tinggi, dia diperlakukan dengan hormat oleh Belanda. Bahkan dia difasilitasi mobil dan berbarengan dengan delegasi Belanda berangkat ke Nganjuk. Di Nganjuk, usai perundingan, Soengkono mengajak Sabarudin menuju markasnya di Ngluyu, juga di kabupaten yang sama. Pada kesempatan itu beberapa pengikutnya yang masih bersimpati turut memohon kepada Soengkono supaya Sabarudin dimaafkan. Namun, Soengkono sudah mengambil keputusan. Sabarudin ditahan. Surachmad yang masih menyimpan dendam kepada Sabarudin turut mendengar bahwa Sabarudin hendak dihukum tahanan. Dia menganggap hukuman itu tak tak cukup setimpal. “Ketika Surachmad mendengar kejadian tersebut, ia memerintahkan CPM (Corps Polisi Militer, red. ) yang di bawah komandonya untuk mengambil Sabarudin dan membawanya ke Madiun untuk diadili,” tulis Poeze. Sekitar 24 November 1949, sesuai kehendak Surachmad, anggota CPM menyeret Sabarudin ke Madiun. “Dalam perjalanan menuju Madiun, di Wilangan, Sabarudin dieksekusi sesudah pengadilan militer di medan perang menjatuhkan hukuman mati,” tulis Poeze. Berakhirlah petualangan Sabarudin.*
- Perempuan Penukar Uang
UANG sebagai alat tukar sudah digunakan di Nusantara sejak zaman Hindu-Budha. Penggunaan dan jenisnya semakin beragam seiring meningkatnya perdagangan internasional, sehingga memunculkan profesi penukar uang . Penukar uang sudah terjumpai oleh Yunus bin Mihran, pedagang asal Siraf, sebuah kota di Teluk Persia, yang mengunjungi kerajaan Sriwijaya dan juga Jawa pada abad ke-10. Mihran menceritakannya dalam Marveilles de l’Indie karya Bozorg ibn Shahryar, seorang kapten kapal. Menurut Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 2 , Yunus menceritakan bahwa di kota kerajaan Maharaja Sriwijaya terdapat pasar besar yang sedemikian banyak jumlahnya, dan dia menghitung ada delapan ratus penukar uang di pasar yang disediakan bagi mereka, tidak termasuk yang tersebar di pasar-pasar lain. Sejak abad ke-10, menurut Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia IV, penukar uang sebagai salah satu fasilitas perdagangan (bersama gudang, penginapan, makanan, keamanan dan ketertiban, dan sebagainya) telah membuat pelayaran melalui laut tidak lagi berkesinambungan, tetapi dapat dilakukan secara bertahap dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain. “Sehingga jungku-jungku dagang dari satu emporium hanya perlu mengarungi lautan ke emporium berikutnya,” tulis Marwati dan Nugroho. Di sini emporium merujuk pada pasar, bukan suatu wilayah kekuasaan. Pengunjung lain yang juga mencatat keberadaan penukar uang adalah Ludovico di Varthema, petualang asal Italia, yang mengunjungi Pidie, Aceh pada 1503-1508. “Warthema pernah melihat lebih kurang 500 orang penukar mata uang di sebuah jalan di Pidie,” tulis Marwati dan Nugroho dalam Sejarah Nasional Indonesia III. Menurut Denys Lombard, yang aktif dalam perdagangan uang dan perniagaan biasanya perempuan. Para pengamat Eropa menyebut peran mereka di pasar-pasar Nusantara hingga kios-kios penukaran uang. Salah satunya, William Dampier, petualang asal Inggris, yang singgah sebentar di Aceh pada akhir abad ke-17, menulis: “Di sini hanya ada perempuan, seperti di Tonkin (Vietnam, red. ); mereka berurusan dengan penukaran uang. Mereka duduk di pasar dan di ujung jalan dengan uang timah.” Para penukar uang, tulis Denys Lombard dalam Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda 1607-1636 , merupakan rakyat biasa yang tidak berwenang dan tidak ikut langsung mengecap keuntungan perniagaan besar. Tetapi mereka mencari nafkah dengan bebas dan tinggal di rumah sendiri. Selain penukar uang, dalam kelompok ini termasuk nelayan, pengrajin, dan pemilik toko. Namun mereka wajib menyerahkan upeti secara tetap, baik berupa uang atau hasil bumi, kepada seorang orang kaya yang mereka anggap sebagai pelindung. Pekerjaan penukar uang merupakan profesi lama yang bertahan hingga sekarang. Ia bisa berupa lembaga maupun perorangan yang biasanya bermunculan menjelang Lebaran.*
- Sabarudin Berebut Perempuan Berbuntut Kekejaman
PADA 1945, Komandan Polisi Tentara Keamanan Rakyat (PTKR) Zainal Sabarudin menangkap Soerjo, seorang bekas shudancho , di Sidoarjo. Dia menuduh Soerjo, dengan bukti selembar foto yang menampilkan Soerjo bersanding dengan Ratu Wilhelmina, sebagai spion Belanda. Sabarudin lalu menggelandang Soerjo ke alun-alun Sidoarjo lantas mengikatnya ke tiang. Tanpa proses pemeriksaan lebih lanjut, Sabarudin menembaknya dalam jarak dekat. Tembakan itu tak mengakhiri hidup Soerjo. “Sabarudin mengambil samurai Jepang dan menebas leher pemuda itu hingga tewas,” tulis Moehammad Jasin dalam Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang . Kekejaman Sabarudin melegenda. Hampir semua orang di Surabaya dan Sidoarjo yang hidup pada zaman revolusi pernah mendengar kisah kebengisannya. Dia sewenang-wenang memperlakukan musuh-musuhnya, tawanan perang, bahkan rekan sendiri. Demi menghabisi lawan-lawannya, dia tak ragu melontar fitnah, termasuk kepada Soerjo, sahabatnya. Soerjo memang pernah berfoto bersama Ratu Wilhelmina. Namun foto itu diambil semasa dia sebagai anggota Kelompok Kepanduan Hindia Belanda (NIPV) turut dalam jambore ke Negeri Belanda. Menurut Suhario Patmodiwiryo yang akrab disebut Hario Kecik dalam Si PemburuVolume 2 , alasan pembunuhan itu ialah “rivalisme antara Sabarudin dan Soerjo pribadi dalam masalah memperebutkan seorang puteri Bupati Sidoarjo.” Bukti foto hanyalah alat untuk menggeret Soerjo ke lapangan penghabisan. Zainal Sabarudin Nasution lahir di Kotaraja, Aceh, pada 1922. Sesudah menamatkan sekolah menengah pertama (MULO), dia bekerja sebagai karyawan di kantor kabupaten merangkap penata buku di sebuah perkebunan gula di Sidoarjo. Semasa pendudukan Jepang dia didapuk sebagai komandan kompi Pembela Tanah Air (Peta) di kota yang sama. Usai proklamasi, Sabarudin ditunjuk menjadi kepala PTKR. Mula-mula berpangkat kapten, kemudian mayor. Dia bertugas mengawasi tawanan Jepang, orang-orang Belanda yang meninggalkan kamp dan datang ke Surabaya, serta orang Indonesia yang jadi tahanan. Kepada para tawanan yang tak disukainya, Sabarudin berlaku brutal. Para penentangnya disiksa dan dibunuh, bahkan dengan cara eksekusi yang keji. Menurut Jasin, Sabarudin tega “mengikat orang yang ditangkap pada dua ekor kuda yang kemudian dilarikan ke arah berlawanan. Akibatnya, badan orang itu terputus menjadi dua dan mati. Ada pula yang disirami dengan bensin dan dibakar habis.” Bahkan Sabarudin menjadikan tawanan-tawanan perempuan sebagai budak. “Perempuan-perempuan muda Indo-Eropa dijadikan harem-haremnya,” tulis sejarawan Harry A. Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi IndonesiaJilid IV.*
- Cerita Kelam Perempuan Jerman Setelah Nazi Kalah Perang
RUTH Schumacher, perempuan Jerman kelahiran 1926, tak kuasa terus memendam perasaan. Setelah puluhan tahun bungkam, dia akhirnya buka suara. Dia merupakan salah satu perempuan Jerman yang diperkosa Tentara Merah tak lama setelah Berlin jatuh ke tangan Uni Soviet pada awal Mei 1945. “Selama beberapa dekade, sebagian besar perempuan Jerman diam tentang trauma yang mereka alami,” tulis Eric Westervelt dalam “Silence Broken On Red Army Rapes In Germany,” dimuat di laman npr.org. Kisah Ruth membuka selubung kejahatan perang Tentara Merah Uni Soviet semasa Perang Dunia II. Selain dari diamnya para penyintas, kabut hitam peristiwa kelam itu datang terutama dari bekas negara Uni Soviet yang berusaha keras menutupinya. Kejatuhan Berlin –dan wilayah-wilayah sebelumnya yang dilalui Tentara Merah– menjadi awal petaka bagi banyak perempuan Jerman. “Biarawati, gadis-gadis, perempuan tua, ibu hamil dan ibu yang baru saja melahirkan semua diperkosa tanpa belas kasihan,” tulis Antony Beevor dalam Berlin: The Downfall 1945 . Kejahatan perang itu bahkan sudah berlangsung sejak sebelum Tentara Merah masuk Berlin. Gadis-gadis di tempat-tempat yang dilalui Tentara Merah, termasuk kota-kota di Polandia, harus menyerahkan kehormatannya sebagai ganti dari keselamatan nyawanya. Ruth, salah satunya. Di kota tempat tinggalnya, Leipzig, pemerkosaan terjadi tak lama setelah usainya bombardir Sekutu dan pindahnya pasukan mereka ke tempat lain. “Segera aku diperkosa bergiliran oleh gerombolan yang terdiri dari lima orang Rusia,” kenang janda prajurit Jerman yang bertugas di U-boat itu, sebagaimana dilansir di npr.org . Pengalaman pahit itu juga menghampiri Gabriele Kopp, yang kala itu berusia 15 tahun. Setelah tergesa-gesa melarikan diri dari rumahnya lantaran sang ibu –yang berjanji akan menyusul– mengatakan tentara Soviet sudah mendekat, dia akhirnya tertangkap prajurit Soviet di sebuah desa. “Keesokan harinya, dia dikejar ke rumah orang lain, di mana dia diperkosa oleh seorang tentara, dan kemudian oleh tentara lain segera setelah itu. Keesokan paginya, dia didorong ke sebuah gudang dan diperkosa oleh dua orang lainnya,” tulis Susanne Beyer dalam “Harrowing Memoir: German Woman Writes Ground-Breaking Account of World War II Rape,” dimuat di spiegel.de . Ternyata seorang perempuan paruh baya pengungsi menjadikannya “umpan” kepada tentara Soviet. Masa kelamnya itu berlangsung selama dua pekan sebelum dia akhirnya bisa melarikan diri ke sebuah peternakan. Di masa itu banyak ibu mengorbankan gadis mereka untuk mencari selamat. Mereka ada yang bermain kotor seperti yang mereka lakukan terhadap Kopp, ada juga yang membiarkan serdadu Soviet yang menginap di rumah mereka mendekati gadis-gadis di dalam rumah. Beberapa ibu malah mendukung bila gadisnya didekati Tentara Merah. Letnan Wladimir Gelfand, komandan pleton mortir di Divisi Senapan ke-301, mengalaminya. “Di pinggiran Berlin pada akhir April, dia mendapati pengalaman adanya permohonan dari seorang perempuan muda menarik –yang didukung oleh ibunya– untuk dijadikan pemuas seksual eksklusifnya agar perempuan itu selamat dari keadaan lebih buruk,” tulis Frederick Taylor dalam Exorcising Hitler . Berbeda dengan para gadis, yang tak berdaya, perempuan lebih matang punya keleluasaan lebih besar untuk menyiasati keadaan. Contohnya jurnalis Marta Hillers –penyintas pertama yang menuliskan pengalamannya ke dalam sebuah buku yang terbit pada 1950, tapi memakai nama anonim. Dia yang kala itu sudah berusia tiga puluh tahunan, terpaksa menyerahkan dirinya kepada seorang perwira Soviet agar terhindar dari perkosaan massal Tentara Merah. Sebelumnya, dia beberapa kali diperkosa prajurit Soviet. Bagi Soviet, memperkosa perempuan Jerman merupakan hukuman balasan atas kejahatan bangsa Jerman. “Banyak serdadu Soviet ingin membalaskan dendam mereka akibat penderitaan yang telah ditimbulkan (oleh Jerman, red ) di negeri mereka,” tulis Michael Jones dalam Total War: From Stalingrad to Berlin . Tak adanya perintah khusus untuk hal itu menyebabkan banyak serdadu harus menanyakan komandannya tentang apa saja yang boleh dilakukan terhadap orang Jerman. “Tentang pertanyaan mengenai perempuan, Anda bisa memperlakukan perempuan Jerman agak bebas, asal tak terlihat terorganisir. Satu atau dua dari kalian bisa pergi (mencari perempuan Jerman, red ), melakukan yang kalian perlukan, kembali ke kesatuan, dan hanya itu,” lanjutnya. Stalin sendiri tak pernah mau menghukum prajurit-prajuritnya atas tindak perkosaan mereka terhadap perempuan Jerman. Dia justru memaklumi dengan mengingat beratnya tugas para prajurit dan kebaradaannya yang berjarak ribuan kilometer dari tanah air. Akibatnya, meski tak ada angka pasti, sekitar dua juta perempuan Jerman menjadi korban perkosaan. Menurut Philipp Kuwert, pakar trauma dan kepala Departement Psychiatry and Psychotherapy di University Hospital of Greifswald, rata-rata seorang perempuan Jerman mengalami 12 kali perkosaan. Selain menimbulkan trauma berkepanjangan, perkosaan massal itu juga mengganggu siklus haid para korban. Para ginekolog sampai menamakannya “Russian disease”. Kopp absen haid selama tujuh tahun. Janin yang mereka kandung umumnya diaborsi; yang sampai lahir harus menanggung pengucilan. Banyak dari perempuan itu lalu meninggal tak lama setelah mengalami perkosaan. Mereka yang selamat, mengalami trauma panjang dan umumnya tak berani bersuara; terlebih para penyintas yang kemudian menjadi bekas warga negara Jerman Timur, pemerintah komunis memaksa mereka menandatangani perjanjian untuk tak mengungkap perkosaan massal di ujung Perang Dunia II itu. “Dan aku sudah banyak melewati malam tanpa tidur karena hal itu,” ujar Ruth.*
- Kisah Pria Bumiputera yang Menikahi Perempuan Kulit Putih
SEBUAH foto tersebar di jagat maya awal Agustus 2015. Foto sepasang penganten baru. Bayu Kumbara, manten laki berasal dari Padang, Sumatra Barat, berkulit coklat dan bertampang sederhana. Sedangkan Jennifer Brocklehurst, manten perempuan warga negara Inggris, berkulit bersih dan berparas menarik. Sontak warga jagat maya ramai. Mereka menyebut Bayu sebagai pribumi beruntung setelah berhasil menikahi bule. Pernikahan antar ras di Indonesia sudah sering terjadi dan berjejak sejak masa kolonial. Kadang kala beroleh tanggapan adem-ayem, lain waktu menarik perhatian luas. Lelaki Eropa jamak menikahi perempuan bumiputera. Lalu bagaimana bila sebaliknya, lelaki bumiputera menikahi perempuan Eropa? Ini sangat langka. “Kasus perempuan Eropa yang menikahi lelaki Asia sangatlah luar biasa. Pada abad ke-18 diperlukan persetujuan khusus dari Gubernur Jenderal,” tulis Tineke Hellwig dalam Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda . Pernikahan lelaki bumiputera dengan perempuan Eropa terjumpa di Maluku dan Manado. Mereka menikah sesuai tradisi Kristen. Sebab VOC belum mengeluarkan hukum khusus tentang pernikahan lelaki bumiputera dengan perempuan Eropa. Maka konsekuensi status hukum pernikahan tersebut tak jelas. Misalnya bagaimana status suami dan istri. Berikut pula pembagian hak dan kewajiban mereka dan keturunannya. Memasuki abad ke-19, status hukum pernikahan lelaki bumiputera dengan perempuan Eropa mulai jelas. “Hukum Sipil (terbit pada 1848, red .) untuk orang-orang Eropa telah menentukan bahwa laki-laki Indonesia yang menjadi pasangan resmi perempuan Belanda akan mendapatkan klasifikasi Eropa seperti istrinya melalui perkawinan,” tulis Frances Gouda dalam Dutch Culture Overseas : Praktik Kolonial di Hindia Belanda 1900-1942. Tiga tahun setelah Hukum Sipil terbit, Raden Saleh, pelukis sohor bumiputera, menikah dengan perempuan keturunan Eropa. “Saleh memberikan contoh bagi generasi orang Indonesia berikutnya yang belajar ke Belanda dengan menikahi perempuan Eropa ketika pulang ke Indonesia,” tulis Jean Gelman Taylor dalam Kehidupan Sosial Batavia . Selama beberapa tahun ke depan, pernikahan serupa laku Raden Saleh mengemuka di Hindia Belanda. Jumlahnya tak tercatat pasti. Masih jauh lebih kecil daripada pernikahan lelaki Eropa dan perempuan bumiputera. Tapi ini tetap membuat khawatir khalayak Eropa dan pemerintah kolonial. Mereka kini mulai mengubah pandangannya perihal pernikahan itu. “…Tidak dikehendaki dari pandangan negara, moral, dan sosial,” tulis Gouda. Sekelompok ahli hukum mengajukan keberatan mereka terhadap pernikahan lelaki bumiputera dengan perempuan Eropa. M.C. Piepers, ketua Kongres Peradilan di Batavia, berpendapat setiap pernikahan lelaki bumiputera dan perempuan Eropa memiliki potensi menurunkan derajat kelas orang Eropa. Dia meminta pemerintah kolonial merevisi Hukum Sipil 1848 tentang pernikahan itu. Tujuannya untuk mempertahankan stratifikasi kelas pada masyarakat: golongan pertama, Eropa; golongan kedua, Timur Asing; dan golongan ketiga, bumiputera. Pemerintah kolonial menerima permohonan kelompok Piepers pada 1898 dengan merivisi pasal perihal pernikahan lelaki bumiputera dengan perempuan Eropa. “Setiap perempuan yang menerima perkawinan antar-ras mendapatkan status kewarganegaraan suaminya,” tulis Gouda. Khalayak Eropa dan pemerintah kolonial berharap revisi hukum ini bisa menghambat pernikahan lelaki bumiputera dengan perempuan Eropa. Mereka mengira revisi ini bakal memaksa perempuan Eropa berpikir ulang jika mau membangun bahtera bersama lelaki bumiputera. Perkiraan mereka meleset. Hukum kolonial tak mampu membendung cinta perempuan Eropa pada lelaki bumiputera. Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya 1 , menyebut pernikahan lelaki bumiputera dengan perempuan Eropa justru menjadi umum pada abad ke-20. Bahkan tokoh-tokoh pergerakan nasional beristri orang Eropa. “… di antaranya: Dr. Abdul Rivai, Lukman Djajadiningrat, penyair Noto Suroto, Dr. Radjiman, Dr. Ratu Langie, Sjahrir, Sukawati, Kolonel Surio Santoso, dan Dr. Tjipto Mangunkusumo,” tulis Lombard. Saking seringnya pernikahan lelaki bumiputera dengan perempuan Eropa, media massa ikut membahasnya. “ Soeara Perempoean di Padang Pandjang, Soenting Melajoe di Padang, dan Perempoean Bergerak di Medan, sudah banyak diperkatakan hal ini,” tulis Bintang Hindia , 14 Februari 1925. Perdebatan pun kembali mengemuka. Bintang Hindia menolak pernikahan antar ras di kalangan intelektual. “Jadi tiap perkawinan campuran kedua bangsa itu akan menguatkan ikatan Hindia kepada Belanda,” tulis redaksi Bintang Hindia , beralasan. Mereka meminta kaum intelektual memilih gadis bumiputera sebagai pendampingnya dalam biduk rumahtangga. Toh, pernikahan campur terus berlangsung. Tak habis-habis, tak sudah-sudah. Pada akhirnya, pernikahan berpulang pada kedaulatan calon penganten. Mereka memilih pasangan berdasarkan kesesuaian hati mereka. Bukan pengaruh atau penilaian orang lain.*
- Seberapa Mahal Meminang Perempuan Bugis?
PADA suatu malam di Sorowako, seorang pemuda menceritakan perjalanan cintanya selama enam tahun yang harus kandas karena biaya pernikahan. Keluarga pihak perempuan meminta syarat uang panaik sebanyak Rp120 juta. Sementara si pemuda hanya mampu Rp80 juta. Fenomena ini menghantui pemuda dan pemudi di Sulawesi Selatan. Laki-laki harus bekerja keras mengumpulkan uang lalu diserahkan kepada pihak perempuan. Biasanya, pernikahan dengan uang panaik antara Rp5 juta hingga Rp15 juta, dianggap tidak bergengsi. Maka pesta pernikahan pun akan dilaksanakan dengan sederhana. Seorang pemuda lain, Fajar Thalib memandang uang panaik yang dibebankan pada laki-laki cukup membebani, namun pemicu semangat. “Jadi ada usaha besar dalam mencari pekerjaan yang layak dan menghasilkan sejumlah uang. Jadi sebelum menikah, laki-laki tak berpikir bagaimana kehidupan kedepan, tapi berpikir menyelamatkan uang panaik ,” katanya. Guru Besar Antropologi Universitas Negeri Makassar, Ima Kesuma mengatakan, tingginya uang hantaran di masyarakat Bugis sudah berlangsung sejak lama. “ Uang panaik itu untuk menunjukkan gengsi dan kekuatan ekonomi pihak laki-laki,” katanya. “Ingat perempuan di Bugis adalah aset. Ia melambangkan kesuburan dan kehidupan.” Pada masa lalu, kata Ima, anak-anak perempuan di tempatkan di lantai dua rumah. Tempat di mana beras dan sumber makanan disimpan. Sementara anak laki-laki di bagian tengah rumah. “Ini menunjukkan bagaimana perempuan Bugis itu dijaga dengan baik. Maka ketika hendak menikah, calonnya harus benar-benar matang secara ekonomi,” katanya. Rentetan prosesi pernikahan masyarakat Bugis, dilakukan beberapa tahap. Ma’manuk-manuk dimana pihak laki-laki melakukan kunjungan ke pihak perempuan untuk menyatakan maksud perjodohan. Mappassio atau melaksanakan pertunangan. Kemudian lamaran. Akhirnya pernikahan. Uang panaik atau dui menre , adalah uang hantaran yang diserahkan pihak laki-laki pada keluarga mempelai perempuan. Besarannya ditentukan saat prosesi lamaran. Pihak keluarga mempelai laki-laki akan menyampaikan kesanggupan dan mendiskusikannya bersama pihak mempelai perempuan. Tak jarang, di saat seperti ini terjadi debat. Secara harfiah uang panaik adalah uang naik. Pada masa lalu uang hantaran tersebut diserahkan dengan menaiki anak tangga karena rumah-rumah Bugis kebanyakan rumah panggung. Tujuan uang hantaran ini untuk membiayai pesta pernikahan mempelai perempuan. Meskipun biasanya besaran uang itu tidak selalu menutupi biaya keseluruhan pesta. Namun, kata Ima, pada prinsipnya masyarakat Bugis memegang prinsip eppa sulappa (empat sisi) dalam menentukan calon mempelai pengantin, yaitu pendidikan, akhlak, pekerjaan dan status darah atau keturunan. “Saya kira tiga yang utama adalah pendidikan, akhlak, dan pekerjaan,” katanya. Sementara itu, Susan Bolyard Millar dalam Perkawinan Bugis menuliskan, tradisi uang panaik menjadi penanda status yang boros, bersifat pamer dan agresif. “Dalam setahun, sepasang suami istri yang sedang mencapai masa jaya akan siap mengawinkan anak laki-laki mereka yang paling menjajikan, yang cukup layak dipasangkan dengan wanita berstatus lebih tinggi dengan jumlah uang belanja yang lebih tinggi,” tulisnya. Christian Pelras dalam Manusia Bugis juga menjelaskan, pernikahan di masyarakat Bugis dikenal dengan istilah siala (saling mengambil satu sama lain). Pasangan mempelai ini, walaupun dalam status sosial yang berbeda akan menjadi mitra, sebagai sebuah persekutuan dan penyatuan dua keluarga. Yang juga ditempuh dalam dua sahabat atau mitra usaha. “Dengan kata lain, perkawinan adalah cara terbaik membuat orang lain menjadi ‘bukan orang lain’,” tulis Pelras. Hal itu jugalah yang diyakini Ima, di mana terdapat istilah dalam masyarakat Bugis, tellu cappa (tiga cara dalam berdiplomasi). Ujung pertama adalah lidah yakni diplomasi dilakukan dengan cara berdialog. Diplomasi kedua adalah ujung kelamin atau dengan kata lain upacara pernikahan. Dan diplomasi terakhir jika tak ada jalan lain adalah ujung badik, pertumpahan darah. Diplomasi menggunakan tahapan pernikahan adalah hal lumrah yang dilakukan sejak masa kerajaan. Kerajaan-kerajaan kecil menyerahkan anak gadis mereka untuk dinikahi oleh bangsawan atau raja dari kerajaan berkuasa. “Jika sudah demikian, maka kerajaan bawahan tentu akan menaikkan status dan derajatnya, karena telah memiliki hubungan darah dengan kerajaan besar,” katanya.*
- Assikalaibineng, Kitab Kamasutranya Orang Bugis
PADA malam sebelum hari pernikahannya, Hariyadi menerima pertanyaan dari seorang tetua. “Kau sudah bisa mengelilingi dapur tujuh kali, kah?” Sambil berkelakar pemuda 28 tahun itu menjawab, “Jangankan tujuh kali, 20 kali dan angkat dapur pun bisa.” Maka mulailah ritual itu. Hariyadi lantas digiring masuk ke kamar, berdua saja dengan tetua itu. Dalam tradisi di Luwu, Sulawesi Selatan, adegan itu dikenal dengan nama makkandre guru (belajar). Si calon pengantin akan diberi wejangan tentang bagaimana menggauli, memperlakukan, dan merawat istrinya. Dapur adalah kiasan untuk perempuan. Artinya seorang laki-laki harus benar-benar mengenal perempuan (istrinya). Mengetahui lekuk dan seluk beluk, sebagaimana mengetahui dapur sebagai tempat menyimpan makanan, dan salah satu sumber kehidupan. Dalam ritual makkandre guru calon pengantin pria tak hanya dinasihati bagaimana membahagiakan istri di ranjang namun juga bagaimana memperlakukan istri dengan cara layak dan terhormat. Filolog Universitas Hasanuddin Makassar, Muhlis Hadrawi, yang juga menulis buku Assiklaibineng: Kitab Persetubuhan Bugis , mengatakan jika sejak masa lalu perempuan menjadi simbol kewibawaan yang harus mendapat perhatian lebih. “Di Bugis, perempuan itu adalah makhluk yang mulia,” katanya. Sejak 1997 Muhlis telah mengumpulkan sebanyak 49 manuskrip kerajaan dan catatan dari lontara Bugis dan Makassar perihal seksualitas. Menurut Muhlis Assikalibineng tidak seperti kitab persetebuhan yang lain, yang hanya menampilkan erotisme dan sensualitas. Kitab ini menekankan pula pentingnya laku serta tata cara yang berlandaskan rasa saling menghargai. “Di Assikalaibineng , tidak dibolehkan seorang laki-laki membangunkan sang istri untuk melakukan hubungan seksual, apalagi bila istri sedang capek,” katanya. “Itu sama saja menjadikan perempuan sebagai budak.” Assikalaibeng diciptakan sebagai pegangan laki-laki, untuk membahagiakan perempuan. Dalam Assiklaibineng perempuan digambarkan lebih detail hingga bagian tubuh yang tersembunyi. Misalkan, dalam Serat Centini di Jawa atau pun Kamasutra dari India, menyebut klitoris hanya sekali itu saja. Sementara di Assikalaibineng , klitoris disebutkan hingga bagian paling dalam, sampai empat bagian. “Bayangkan, Assikalaibineng sudah menjelaskan bagaimana foreplay , untuk mencapai klimaks secara bersama,” kata Muhlis. “Jadi kemudian bila ada laki-laki yang lebih duluan klimaks dibandingkan perempuan, maka hubungan itu dianggap gagal.” Tak hanya itu, masyarakat Bugis pun tak membenarkan seorang lelaki, memberikan punggung atau pindah kamar tidur saat selesai berhubungan seks dengan istri. Melainkan, harus tidur bersama dan saling berpelukan. Meski demikian, Assikalaibineng adalah kitab yang menjelaskan seks dan hubungannya dengan Islam, dimana semua diawali dengan basmallah dan wudhu. “Jadi Assikalaibineng menuliskan, bila ingin berhubungan dengan istri, sebaiknya dilakukan setelah salat isya, agar tidak merusak wudhu dan memiliki waktu yang lebih lama sebelum mencapai waktu subuh,” kata Muhlis. Menurut Muhlis, Assiklaibineng ditulis atau buah pikiran dari Syech Yusuf. Kemudian, pengetahuan-pengetahuan itu terus bertambah dan mengalami reproduksi. “Dari puluhan manuskrip yang saya kumpulkan, semua tak sama persis. Selalu ada penambahan dan improvisasi dalam memandang (hubungan),” katanya. Sebelumnya pengetahuan akan seksualitas disebarkan melalui bahasa tutur. Dilakukan secara hati-hati dan dikhususkan pada pasangan yang akan menikah. Dalam lontara terdapat larangan pernikahan sesama jenis (homoseksual). Hukuman bagi mereka yang melakukan homoseksual adalah pengusiran keluar kampung atau bahkan ditenggelamkan di lautan. Homoseksual dianggap sama dengan perzinahan. Dalam catatan sejarah, pengusiran juga dilakukan kepada seorang yang hanya memburu kepuasan. Seperti yang pernah terjadi di Bellawa, sebuah kerajaan kecil dalam wilayah Wajo. Dikisahkah tentang seorang raja bernama La Malloroseng membangun rumah di sisi jalan yang hendak ke pasar untuk memantau perempuan yang disenangi untuk ditidurinya. Rakyat yang gusar mengusir sang raja keluar kampung dan membakar rumahnya. Dia pun diberi gelar anumerta Petta Masuange (Tuan Mesum). Kejadian serupa juga pernah menimpa Raja Bone La Icca. Lontara meriwayatkan sang raja selalu merebut istri orang hanya untuk kepuasannya. Rakyat marah dan menumbuk tubuhnya di bawah tangga istana sampai mati. Maka diberilah raja naas itu mendapat gelar anumerta La Icca Matinroe ri Adengenna (Raja yang tidur di bawah tangga). “Kenapa dia mati ditumbuk, supaya darahnya tidak mengotori tanah,” pungkas Muhlis.*
- Jenderal Soedirman Tak Selalu Ditandu
JENDERAL Soedirman tak selalu ditandu ketika bergerilya. Dari Kompleks Mangkubumen Yogyakarta, dia dan pengawalnya naik mobil dan pick-up . Belanda mengetahui perjalanannya itu, sehingga pesawat cocor merah menghujani rombongan. “Rupanya mereka dapat mengetahui rombongan kami karena pada mobil yang kami tumpangi itu masih terpasang bendera Panglima Besar. Dalam keadaan gawat itu Pak Dirman saya dorong ke semak di pinggir jalan sehingga beliau terhindar dari bahaya maut,” kata Harsono Tjokroaminoto dalam otobiografinya Selaku Perintis Kemerdekaan . Harsono menjadi penasihat politik Soedirman selama bergerilya. Lolos dari bahaya, Soedirman melanjutkan perjalanan dengan mobil sampai Bantul, lalu Kretek. Untuk menghilangkan jejak, Kapten Tjokropranolo, pengawal Soedirman, memerintahkan mobil dan pick-up yang dipakai rombongan dibawa pergi sejauh mungkin, kalau perlu dirusak di lain tempat. Malam itu juga, Soedirman dan rombongan menyeberangi Kali Opak. Sesampainya di seberang kali, mereka dijemput lurah Mulyono Djiworedjo, dengan dokar namun tanpa kuda. “Tanpa pikir panjang, Pak Dirman dipersilakan untuk naik dokar dan sayalah yang menjadi kudanya, sedangkan para pengawal lain mendorong dari belakang,” kata Tjokropranolo dalam Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman, Pemimpin Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia . Sejak dari Kelurahan Grogol, Soedirman harus ditandu yang diusung oleh penduduk secara bergantian. “Beliau harus ditandu karena kesehatannya tidak mengizinkan lagi untuk berjalan,” kata Harsono. “Di setiap tempat kami berhenti,” sambung Tjokropranolo, “dibuatkan tandu yang baru untuk membawa Panglima.” Bila tidak ditandu, Soedirman naik dokar, seperti dari Playen ke desa Semanu. Dari Semanu, Soedirman ditandu lagi sampai Bedoyo dan sambung lagi dengan dokar yang lengkap dengan kudanya. “Untunglah saya tidak perlu lagi jadi kuda,” kata Tjokropranolo. Bahkan, bila rutenya jalan raya, rombongan Soedirman memakai mobil, seperti dari Pracimantoro sampai Wonogiri dan Wonogiri menuju Ponorogo. Mobil itu kiriman Staf Divisi Kolonel Gatot Subroto dari Solo. Namun, bila medannya berat dan tidak bisa ditandu atau digendong, Soedirman pun jalan kaki, seperti saat menuju markas Gatot Subroto di Gunung Lawu. “Kita merasa sedih melihat Pak Dirman harus berjalan kaki sendiri menerobos hutan tanpa digendong atau ditandu, karena jalannya yang terjal dan sempit. Kursi sebagai tandu pun tidak ada. Adakalanya beliau harus kita dorong dari belakang kalau jalannya sangat tinggi dan harus ditarik dari atas kalau jalannya terlalu terjal,” kenang Tjokropranolo. Bahkan, ketika melalui jalan yang sulit di punggung bukit, Soedirman jatuh dari tandu karena seorang pemikul tergelincir. Seorang pengawal yang membawa perbekalan hendak menolongnya malah terpeleset dan bawaannya itu menimpa Soedirman. “Apa kamu mau membunuh saya,” kata Soedirman dalam Soedirman Prajurit TNI Teladan . Belanda terus memburu Soedirman. “Karena itu nama Soedirman harus lenyap. Sebagai gantinya dipergunakan nama Pak De,” tulis Sudirman Prajurit TNI Teladan . Selain itu, untuk mengelabui Belanda, dibuat “Soedirman palsu” yang dikawal Kapten Soepardjo Rustam, ajudan Soedirman. “Kebetulan dalam rombongan kami ada seorang pemuda bernama Heru Keser (seorang letnan muda Angkatan Laut- Red. ) yang wajah dan perawakannya mirip Pak Dirman. Maka Pak Dirman palsu ini kami beri mantel dan tutup kepala beliau dan tetap menempuh rute yang sudah ditentukan. Sedangkan Pak Dirman yang asli kami lewatkan ke rute lain sehingga rombongan terhindar dari sergapan tentara Belanda,” ungkap Harsono. Menurut Sudirman Prajurit TNI Teladan, taktik “Soedirman palsu” itu berhasil antara lain di Wonosari, dimana Kapten Nolly –panggilan Tjokropranolo– mengumumkan bahwa Soedirman ada di kota itu. Belanda pun menyerang besar-besaran dengan menerjunkan pasukan para di kota itu untuk menangkap Soedirman, yang ternyata palsu. Mujur, “Soedirman palsu” pun berhasil lolos. Strategi “Soedirman palsu” ini juga dilakukan ketika di Kediri. “Semalam-malaman Pak De didukung (digendong, red. ) Kapten Nolly, sedangkan Heru Keser, seperti biasa naik tandu,” tulis Sudirman Prajurit TNI Teladan. Dengan berbagai upaya tersebut, Soedirman berhasil dalam bergerilya. Dukuh Sobo di Pacitan menjadi tempat Soedirman memimpin gerilya paling lama (1 April-7 Juli 1949). Tiga hari kemudian, 10 Juli 1949, Soedirman tiba di Yogyakarta.*
- Ketika HOS Tjokroaminoto Dituduh Korupsi
PEMIMPIN Central Sarekat Islam (CSI), koordinator Sarekat Islam lokal, Haji Agus Salim dan Soerjopranoto, berusaha mendepak kaum komunis yang berada di SI Semarang, di bawah Semaun sekaligus pendiri dan ketua Partai Komunis Indonesia (PKI). Mereka menggelar pertemuan pimpinan CSI di Yogyakarta pada 30 September 1920, tanpa dihadiri ketua SI, HOS Tjokroaminoto, karena sedang menghadiri persidangan kasus Afdeling B, Cimareme, Garut. Semaun juga tidak hadir karena sedang di Moskow, dan mengutus Darsono untuk mewakilinya. Pimpinan CSI yang tidak hadir kebanyakan dari kelompok tengah dan kiri yang enggan berpisah dengan pihak komunis. Agus Salim dan Soerjopranoto menolak Darsono dengan alasan dia bukan anggota penuh CSI. Dalam Menjadi Indonesia , Parakitri T. Simbolon menulis bahwa rapat pimpinan CSI itu semacam kudeta terhadap Tjokroaminoto. Karena keputusan rapat ini mempreteli Tjokroaminoto hanya sebagai ketua kehormatan dengan tugas memimpin propaganda umum. Semua anggota pimpinan yang dekat dengannya dikeluarkan, sedangkan sekretariat CSI dipindahkan dari Surabaya ke Yogyakarta. Kepemimpinan baru CSI dipegang oleh Soerjopranoto (wakil ketua), Agus Salim (sekretaris), dan Fachrudin (bendahara). Putusan penting lain adalah menyelenggarakan kongres CSI dalam dua minggu kedepan sejak pertemuan diselenggarakan, yakni 16 Oktober 1920. Penetapan ini mengabaikan telegaram dari Tjokroaminoto agar menunda kongres CSI. Putusan tersebut, menurut Parakitri, tidak bisa dilaksanakan gara-gara tulisan Darsono di Sinar Hindia pada 6, 7, dan 9 Oktober 1920. Rangkaian tulisan ini menyerang Tjokroaminoto dan Brotosoehardjo (wakil sekretaris) karena menyelewengkan uang CSI untuk kepentingan sendiri. Darsono menulis “karena kas CSI kosong, Tjokroaminoto meminjamkan uang 2.000 gulden untuk kas itu, tapi dengan jaminan mobil, yang sebenarnya dibeli oleh bendahara CSI untuk dipakai oleh ketua CSI. Baik bendahara maupun ketua CSI itu adalah Tjokroaminoto sendiri. Ketua CSI itu mampu pula membeli mobil seharga 3.000 gulden dan perhiasan untuk istrinya yang kedua. Demikian juga halnya dengan Brotosoehardjo, yang sering menggunakan uang kas CSI untuk keperluan sendiri.” Menurut Ruth T. McVey dalam Kemunculan Komunisme Indonesia , sangatlah beralasan untuk menganggap tuduhan Darsono tersebut benar, karena kas CSI ternyata hampir kosong. Meskipun demikian, McVey mengakui, “tanggungjawab keuangan bukanlah kelebihan kepemimpinan SI dan pihak komunis pun tidak terbebas dari kelemahan keuangan semacam itu.” Dalam tulisanya terakhir, Darsono bertanya, “mengapa kas CSI hampir kosong tapi Tjokroaminoto banyak uang. Rakyat kecil (kromo) memerlukan pemimpin yang jujur, berbudi, kukuh pendirian, tinggi cita-cita dan perilaku tak tercela. Pergerakan bumiputra berada pada tahap yang sulit. Sudah waktunya memberesihkan diri sendiri, menebus kesalahan.” “Nama baik keduanya, terutama Tjokroaminoto, demikian hancur sampai istilah ‘men-Tjokro’ di kalangan SI berarti ‘menyeleweng’,” tulis Parakitri. Tuduhan Darsono itu merupakan pukulan berat bagi Tjokroaminoto di depan umum, karena dia dianggap seorang pemimpin ideal yang mewakili citra seorang Ratu Adil.*





















