Hasil pencarian
9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Cerita Cinta Iwa Kusuma Sumantri
MENDAPAT restu dari keluarga, pada 1921 Iwa Kusuma Sumantri dan Emma Puradireja “kawin gantung”, sah sebagai suami-istri tapi belum boleh hidup bersama sebelum pernikahan resmi. Namun Iwa harus melanjutkan studi ke Fakultas Hukum di Universitas Leiden, Belanda. Emma, yang juga tokoh pergerakan, mengerti keinginan dan cita-cita suaminya. Di Belanda, Iwa aktif di Perhimpunan Indonesia (PI). Ketika “front rakyat”, garis politik Komunis Internasional, menarik perhatian PI, Iwa bersama Semaun mengunjungi Moskow. Kepergian Iwa berdampak pada kehidupan pribadinya. Menduga Iwa komunis, keluarga Emma minta Iwa melepaskan ikatan perkawinan. Iwa kecewa. “Saya masih mencintainya, tetapi saya harus meluluskan permintaan tersebut,” kata Iwa dalam otobiografinya, Sang Pejuang dalam Gejolak Sejarah . Namun Iwa sendiri mengakui tak bisa berlagak sebagai suami setia. Dia menikmati pergaulan dengan nona-nona Belanda. Salah satunya, Mien (Wilhelmina) van Z, membuatnya jatuh hati. “Kekecewaan saya atas Emma merupakan luka di dalam hati saya. Hati saya belum memiliki kepastian apakah saya mampu berkeluarga setelah tragedi yang saya alami,” ujarnya. Pada akhir 1925, lulus dari Leiden, Iwa masuk Eastern University, semacam universitas persahabatan untuk orang-orang Timur, di Moskow. Dia sempat berpacaran dengan seorang gadis cantik Rusia asal Polandia tapi harus berakhir karena gadis itu meninggal. Dia kemudian menemukan penggantinya, gadis cantik asal Ukraina bernama Anna Ivanova, yang ditemuinya di sebuah club . Iwa Kusuma Sumantri dan anaknya, Sumira Dingli, berziarah di makam istrinya, Anna Ivanova di Rusia. (Repro Iwa Kusuma Sumantri: Sang Pejuang dalam Gejolak Sejarah ). Anna sangat berjasa bagi Iwa: mengenalkan kehidupan masyarakat Rusia, mengajarinya bahasa dan kesusastraan Rusia, bahkan dengan gajinya yang tak seberapa sebagai pembantu dokter dia membantu ekonomi Iwa. Pada Januari 1926, Iwa menikahi Anna. Adik Anna, Varia, kelak menikah dengan Semaun. Mereka dikaruniai seorang anak perempuan yang dinamai Sumira Dingli –nama kedua diambil dari nama Iwa di Rusia. Setelah satu setengah tahun hidup di Rusia, dan merampungkan buku The Peasants’ Movement in Indonesia , Iwa kembali ke Indonesia pada akhir 1927. Istri dan anaknya tak bisa ikut karena kebijakan pemerintah Rusia yang melarang warganya ke luar negeri. “Dengan uang yang penghabisan, Anna mengirimkan saya kembali kepada bangsa saya,” kata Iwa. “Saya seolah-olah kehilangan sebagian dari semangat saya.” Di Indonesia, Iwa menjadi pengacara di Bandung, Jakarta, dan Medan serta aktif di sejumlah organisasi. Di Medan, Iwa tinggal di rumah pamannya, Abdul Manap. Sepupunya, seorang janda muda bernama Daru Kuraisin, juga tinggal di sana. Atas saran pamannya, Iwa menikahi Kuraisin pada Maret 1928. Kuraisin-lah yang menemani Iwa hingga ajal menjemput. “Istri saya mengikuti saya dengan rela dan setia. Seorang wanita muda yang berkorban pada suaminya yang dikarenakan penjajahan yang kejam. Saya merasa berterima kasih kepadanya karena kesetiaan dan ketabahannya selama dia menjadi teman hidup saya,” kata Iwa. Namun, Iwa tak bisa melupakan Anna dan anaknya di Rusia. Ketika menjadi rektor Universitas Padjajaran, Iwa sempat menghubungi Anna dari Peking. Anna melarangnya ke Moskow karena sedang musim dingin dan dia sedang sakit parah. Tiga tahun kemudian, ketika menjadi menteri perguruan tinggi ilmu pengetahuan, Iwa akhirnya sampai di Rusia tanpa bisa menatap wajah Anna. “Saat inilah kesempatan saya untuk bertemu dengan anak saya Mira dan keluarganya. Bersama mereka saya pergi ke kuburan Anna,” kata Iwa. “Anna telah melakukan tugasnya sebagai seorang ibu yang berbudi luhur.”*
- Terpikat Padi Ajaib
MUSIM kering 1966, S.K. De Datta, seorang agronomis muda India yang bergabung dengan Lembaga Penelitian Padi Internasional (IRRI), melakukan ujicoba penanaman IR8 dengan kondisi pupuk yang berbeda. Ketika panen, De Datta terkagum-kagum karena IR8 menghasilkan sekira 5 ton per hektar tanpa pupuk dan hampir 10 ton dengan 120 kg nitrogen per hektar. Padahal hasil rata-rata di Filipina kala itu hanya sekitar 1 ton per hektar. Dia kemudian menunjukkan data itu kepada Henry Beachell, kepala pemuliaan padi IRRI, yang langsung mengajaknya menemui Robert Candler, direktur IRRI.
- Terbentuknya Perusahaan Negara
AWAL 1957, untuk kali kedua Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja meminta Kolonel Soeprayogi membantunya mengatasi masalah kekacauan ekonomi. Soeprayogi tak memberi jawaban. Selain karena sedang bekerja dalam Panitia Finek (Finansial dan Ekonomi) Markas Besar Angkatan Darat, dia juga menerima kabar akan diangkat sebagai sekretaris jenderal Kementerian Perdagangan jika Sultan Hamengkubuwono IX menjadi menteri perdagangan.
- Riwayat Rendang Merantau ke Belanda
PADA suatu hari di musim panas, saya menemukan makanan kemasan menarik bertulisan ‘Indisch Rendang Padang’ pada sebuah supermarket di Amsterdam. Tapi ini bukan rendang sembarang rendang. Rendang ini memang dijual lengkap dengan nasi, namun pada gambar di kemasannya tidak ada daun singkong, pasangan rendang di warung Padang. Yang ada malah brokoli sebagai sejoli. Bagaimana bisa rendang di Belanda bisa berbeda dengan yang disajikan di Ranah Minang maupun di berbagai restoran padang di Indonesia? Pertanyaan terpenting: Sejak kapan rendang ‘merantau’ ke Belanda dan bagaimana ia menyebar?
- Ranah Rantau Rumah Makan Padang
JARUM jam menunjukkan angka 12. Akmal Darwis memasuki Rumah Makan Inyai di simpang Olo Ladang, Kota Padang. Sejurus kemudian, tukang air (pramusaji) menyajikan segelas air putih panas di meja. “Saya membeli suasana,” ujar Akmal, 62 tahun, wartawan senior di Padang, yang menjadi pelanggan setia Inyai sejak akhir 1970-an.
- Pengasingan Paksa Eksil Politik oleh Negara
“Mereka bukan diaspora yang menerima paspor dengan kemegahan, melainkan orang-orang yang haknya atas sebuah tanah air telah dirampas. Mereka berkelana menyeberangi berbagai batas negara dalam ketakutan, tanpa paspor, untuk menghindari pengejaran yang dilancarkan oleh sebuah rezim yang bertahta berdasawarsa lamanya."
- Olahraga Pelancar Usaha
PADA penghujung April lalu, golf menjadi sorotan publik ibukota. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok melontarkan pernyataan kontroversial. Ahok mengungkap sejumlah pejabat dalam jajaran pemerintahannya tergabung dalam “geng golf ”. Dia menyebut walikota Jakarta Utara yang mengundurkan diri, Rustam Effendy, termasuk salah satu anggotanya.
- Menyapa Si Huma
SEPUCUK surat berkop Sekretariat Negara diterima Partono awal 1980-an. Surat itu ditandatangani Gufran Dwipayana, kepala Pusat Produksi Film Negara (PPFN) –kini, Produksi Film Negara (PFN)– yang juga asisten menteri sekretaris negara bidang mass media/dokumentasi. Isinya, Partono diminta membantu PPFN dalam membuat film animasi.
- Mengikis Penyakit Sifilis
KOTA pelabuhan Tegal, sekira 1825, geger akibat berjangkitnya penyakit sifilis. Pemerintah kota pun berinisiatif membendung penyebarannya. Para penderita sifilis dikumpulkan di suatu tempat agar tak berkeliaran di jalanan.
- Meniti Jalan Nasionalisasi
LAMPU di rumah Jalan Pegangsaan Timur No 56 masih menyala. Malam itu, 2 Desember 1957, ditingkahi kepulan asap rokok, para pemimpin kelompok fungsional beradu argumen tentang rencana aksi nasionalisasi semua kepentingan Belanda di Indonesia. Instruksi bersama sudah disiapkan; tinggal ditandatangani semua yang hadir.
- Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia
SUKARNO, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Tan Malaka disebut-sebut sebagai empat serangkai pendiri Republik Indonesia. Pada 1925, Sukarno masih kuliah teknik arsitektur di THS (kini ITB) Bandung. Begitu pula dengan Hatta yang mengambil studi ekonomi di Handels Hogeschool (kini Universitas Erasmus) di Rotterdam, Belanda. Sjahrir bahkan belum lagi merampungkan sekolah menengah MULO di Medan. Sementara itu, Tan Malaka sudah menulis risalah tentang konsep negara Indonesia merdeka dalam Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia ). Tan Malaka menulis risalah itu saat berada dalam pelarian di Kanton, Tiongkok pada April 1925. Isinya kemudian disempurnakan lagi di Tokyo pada Desember 1925. Namun, pengakuan terhadap Tan Malaka sebagai Bapak Republik Indonesia masih belum diresmikan oleh negara sampai saat ini. “Tan Malaka adalah penggaggas konsep Republik Indonesia ini. Oleh karena itu, tidak mengherankan juga para founding fathers kita yang lain seperti Sukarno membaca dan mendapat inspirasi dari Tan Malaka,” kata sejarawan Asvi Warman Adam dalam diskusi “100 Tahun Naar De Republik Indonesia ” di Perpustakaan Nasdem, Jakarta, 21 November 2025. Menuju Republik Indonesia adalah manifesto politik Tan Malaka yang jauh mendahului proklamasi kemerdekaan. Dengan analisis tajam tentang kolonialisme Belanda, situasi global, dan strategi perjuangan rakyat, Tan Malaka menegaskan bahwa Republik bukanlah hadiah, melainkan hasil kesadaran dan organisasi kolektif. Dalam pengantarnya yang ditulis di Kanton, Tan Malaka mengatakan, jiwanya berharap dapat menjangkau kaum terpelajar Indonesia, dan buku yang ditulisnya ini dimaksudkan sebagai alat penghubung. Meski bukan diplomat, menurut Asvi, Tan Malaka seorang pemimpin Indonesia yang mobilitasnya sangat tinggi. Ia membandingkan Tan Malaka dengan Sukarno yang sebelum Indonesia merdeka baru sekali ke luar negeri, yaitu ke Jepang pada 9 Agustus 1945. Sebaliknya, Tan Malaka dalam rentang 1925–1945 telah berkelana dari satu negara ke negara lain. “Amsterdam, Berlin, Moskow, Tiongkok; Amoy, Shanghai, Kanton. Kemudian dia menyeberang ke Manila, Saigon, Bangkok, Hong Kong, Rangoon, dan Penang. Jadi, Tan Malaka termasuk pemikir yang traveller ya. Tapi, dia dalam banyak hal itu lebih sebagai buronan, dikejar-kejar oleh polisi Belanda, Inggris, dan lain-lain. Ini yang membedakan Tan Malaka dengan pemimpin Indonesia yang lain,” jelas Asvi. Setelah buron keliling dunia, Tan Malaka kembali ke Indonesia pada 1942. Sukarno sendiri menaruh hormat pada Tan Malaka. Itu sebabnya, dalam pertemuan mereka pada September 1945, Sukarno menuliskan testamen politik yang menyatakan kepemimpinan Republik diembankan kepada Tan Malaka, andai kata terjadi sesuatu terhadap Sukarno dan Hatta. Ketika dirundingkan dengan Hatta, isi testamen itu lantas direvisi. Maka, jalan tengahnya, pemegang amanah testamen itu ditambah dengan tokoh lain, yaitu Sjahrir, Wongsonegoro, dan Iwa Kusumasumantri. Diskusi “100 Tahun Naar De Republik Indonesia ” karya Tan Malaka di Perpustakaan Nasdem, Jakarta, 21 November 2025. (Martin Sitompul/Historia.ID) Tan Malaka kemudian bergerilya membentuk basis kekuatannya dalam front Persatuan Perjuangan yang mengusung kampanye “Merdeka 100 Persen”. Namun, akhir riwayat Tan Malaka berakhir tragis. Dia meringkuk dalam tahanan di penjara Yogyakarta, setelah dikaitkan dengan aksi Kudeta 3 Juli 1946 yang dilancarkan Jenderal Mayor Soedarsono. Tan Malaka dibebaskan pada 1948, setelah memperoleh amnesti dari Presiden Sukarno. Aktivitas politik Tan Malaka selanjutnya membentuk Partai Murba. Pada 21 Februari 1949, Tan Malaka dieksekusi oleh pasukan Batalyon Sikatan Divisi Brawijaya atas perintah Letda Soekotjo di Selopanggung, Kediri. Berakhirlah kiprah dan perjuangannya di masa revolusi. Pada 1963, Presiden Sukarno mengangkat Tan Malaka sebagai Pahlawan Nasional bersama tokoh kiri Alimin. Klaim Tan Malaka sebagai Bapak Republik Indonesia mula-mula digaungkan oleh Mohammad Yamin, pakar hukum dan budayawan, yang semasa muda menjadi pengikut Tan Malaka dalam Partai Murba. Pada 1946, Yamin menulis ketokohan Tan Malaka dalam buku berjudul Tan Malaka: Bapak Republik Indonesia . Kendati demikian, selama rezim Orde Baru di bawah Presiden Soeharto, nama Tan Malaka dihilangkan dari narasi sejarah. “Nama Tan Malaka ini saya kira patut diabadikan sebagai Bapak Republik Indonesia. Gelar Bapak Republik ini agar kiranya bisa diformalkan oleh negara. Kemudian pemakaman Tan Malaka di Selopanggung, Kediri itu bisa dipugar secara resmi sehingga masyarakat bisa menziarahinya (dan mengenangnya),” pungkas Asvi. Sementara itu, Airlangga Pribadi Kusman, dosen ilmu politik Universitas Airlangga, menyebut risalah Menuju Republik Indonesia yang ditulis Tan Malaka sebagai karya monumental. Manuskrip politik yang padat, lugas, dan tidak bertele-tele ini merupakan karya pertama dalam sejarah para pendiri bangsa yang berhasil menjelaskan jalan perjuangan revolusioner untuk menghasilkan Indonesia merdeka. Tan Malaka menunjukkan bagaimana perjuangan itu harus berhadapan dengan kondisi struktural yang berlangsung dalam skala dunia maupun Indonesia; kekuatan sosial apa yang terlibat; bagaimana proses dialektika dan syarat bagi terwujudnya Republik; serta program-program konkret dari Republik Indonesia yang hendak dibangun. “Karya ini ditulis Tan Malaka sewaktu di Kanton. Kanton ini penting pada waktu ia menulis tahun 1925. Kanton adalah pusat pergerakan kaum bawah tanah se-Asia. Kalau kita baca [memoar Tan Malaka] Dari Penjara ke Penjara , Tan Malaka berdialog panjang dengan Sun Yat Sen, dia bertemu Ho Chi Minh. Dia bertemu dengan tokoh-tokoh pergerakan Asia. Dan semua refleksi renungannya itu kemudian dituliskan dalam Menuju Rapublik Indonesia tahun 1925,” terang Airlangga. Selain itu, sambung Airlangga, karya Tan Malaka menjadi inspirasi bagi tokoh pergerakan nasional Indonesia lainnya. Sukarno menjadikannya rujukan sebagai sumber untuk mengadakan kursus politik. Begitu juga dengan Hatta. “Kalau saya bilang, kalau pakai istilah anak gen-z zaman sekarang secara positif, figur-figur seperti Sukarno, Hatta, dan yang lainnya, itu ketika membaca ini mengidap apa yang disebut sebagai FOMO ( fear of missing out ). Jadi, istilahnya kalau enggak membaca ini ya ketinggalan,” kata Airlangga.*
- Memupuk Asa di Desa Putera
KECERIAAN memenuhi suasana Panti Asuhan Desa Putera, biasa disingkat Padestra, di Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Mata yang masih kuyu selepas tidur siang tak menghalangi mereka beraktivitas. Ada yang bercerita sambil berjalan bersama teman. Ada pula yang bermain sepakbola di aula.





















