Hasil pencarian
9590 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Petisi untuk Negeri Matahari
MEMPERINGATI 71 tahun pendudukan Jepang di Timor Leste, Koalisi Jepang-Timor Timur mengajukan petisi untuk Menteri Luar Negeri Jepang Fumio Kishida yang mendesak penyelesaian masalah perbudakan seksual (ianfu) selama menjajah bumi Timor Lorosae. “Pendudukan Jepang menyebabkan penderitaan yang luar biasa bagi orang-orang, dan satu masalah yang belum diselesaikan adalah keadilan bagi para korban perbudakan seksual militer atau disebut comfort women ,” tulis Akihisa Matsuno dari Koalisi Jepang-Timor Timur dalam pengantar petisi yang diterima Historia .
- Feisal Tanjung Penindak Perwira
FEISAL Tanjung sering disebut the rising star . Kariernya melesat sejak dia ditunjuk sebagai ketua Dewan Kehormatan Militer (DKM) pada 1992. Dewan ini dibentuk selepas peristiwa Santa Cruz, Dili, pada 1991. Posisinya kala itu mayor jenderal. Ia bertugas menyelidiki aparat yang bertindak di luar kepatutan. Sejumlah perwira ABRI pun ditindak. Pangdam Udayana Mayjen TNI Sintong Panjaitan, misalnya, harus melepas jabatannya. Brigjen TNI Warouw, panglima Komando Lapangan Operasi Timor Timur, bahkan diberhentikan dari ABRI. Hasil kerjanya itu memuaskan Presiden Soeharto.
- Bahasa Indonesia di Dewan Rakyat Hindia Belanda
KONGRES Pemuda II, 28 Oktober 1928, menetapkan “satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa: Indonesia.” Bahasa Indonesia dapat diterima karena tidak mengancam dan tidak eksklusif. “Dan belakangan, bahasa Indonesia menjadi pertanda pertumbuhan keyakinan akan Indonesia,” tulis RE Elson dalam The Idea of Indonesia , “sebagaimana ketika fraksi Thamrin mulai menggunakan bahasa Indonesia untuk kali pertama dalam perdebatan Volksraad pada 1938.” Muhammad Husni Thamrin, wakil Betawi dan ketua Fraksi Nasional di Dewan Rakyat Hindia Belanda (Volksraad) , mewujudkan tuntutan Kongres Bahasa Indonesia pertama di Solo, 25-27 Juni 1938, agar Fraksi Nasional menggunakan bahasa Indonesia.
- Kanal Terbukti Gagal
SEJAK bernama Batavia, kota Jakarta tak pernah lepas dari banjir. Tercatat, banjir pernah melanda sebagian besar kota Batavia lama pada 1670. Padahal kala itu Kongsi Dagang Belanda (VOC) sudah membangun kanal di Batavia. “Pembangunan kanal di Batavia justru menimbulkan masalah baru, rusaknya ekologi kota. Bukan mengurangi banjir,” kata Bondan Kanumoyoso, sejarawan Universitas Indonesia dalam diskusi bertajuk “Masa Lalu, Masa Kini, Masa Banjir” yang dihelat majalah Historia dan Wisdom Institute, di Newseum Cafe, Jakarta, 29 Januari 2013.
- Indonesia Tak Punya Sejarah
SEBAGIAN besar sejarah Indonesia merdeka adalah sejarah Orde Baru, yang berkuasa selama 32 tahun. Sayangnya, hanya secuil sejarah Orde Baru diajarkan dalam mata pelajaran sejarah di sekolah yang jamnya terus dikurangi. Yang aneh, orang Indonesia yang lahir sesudah Sukarno dan gerakan kiri dibasmi tak tahu sejarah Orde Baru. “(Mereka) menjadi ciptaan dari pengalaman sejarah yang tidak dimengerti. Bagaimana harapannya ke depan?” kata Max Lane, dosen Universitas Victoria, Melbourne, Australia, dalam diskusi bertajuk “Membuka Lembaran Sejarah Orde Baru,” yang diselenggarakan majalah Historia dan Wisdom Institute, di Newseum Cafe, Jakarta (24/1).
- Filosofi Bisnis T.D. Pardede
SEKOLAHNYA tidak tinggi tetapi lini usahanya ada di mana-mana. Orang-orang suka memanggilnya “Ketua”, yang dalam logat Medan dilafal “ Katua ”, yang berarti bos. Itulah Tumpal Dorianus Pardede, yang sohor sebagai “Raja tekstil dari Medan.” Pada masa jayanya, Pardede diakui sebagai salah satu pengusaha nasional terkaya di Indonesia. Bakat bisnis Pardede, yang lahir di Balige, 16 Oktober 1916 ini memang sudah terasah sejak dini. Di masa kanak-kanak, seperti terkisah dalam Apa dan Siapa Sejumlah orang Indonesia 1985—1986 , Pardede suka bermain kelereng. Acapkali menang. Bahkan, sering pula Pardede muncul di pasar, menjual kelereng yang berlebihan itu. Dengan cara itulah, bocah Pardede mendapatkan uang jajan. Sebagian uang yang sisa, disimpannya sebagai tabungan. Pada usia tujuh tahun, Pardede membagi waktunya antara sekolah, berjualan, dan belajar agama. “Waktu itu ayah saya sudah meninggal,” tutur Pardede. Pardede menempuh pendidikan formal hanya sampai tingkat Hollandsch Inlandsche School (HIS), sekolah dasar bagi anak-anak pribumi di Balige. Namun, Pardede banyak menimba ilmu dagang dari pengalamannya bekerja di lapangan. Beranjak dewasa, Pardede bekerja sebagai buruh kasar dari satu perkebunan ke perkebunan lain di Sumatra Timur. Di samping banyak belajar ilmu dagang, Pardede sering menyaksikan betapa merananya para kuli kebun yang terikat kontrak dengan tuan kebun Belanda. Begitupun pada zaman pendudukan Jepang. Pardede yang sudah beralih profesi jadi pedagang gula merah dan garam di Balige kerapkali menerima perlakuan kasar tentara Jepang. Pukulan atau tempelengan tentara Jepang berkali-kali mendera Pardede maupun rekannya sesama pedagang pemasok bahan pangan. Kendati demikian, kejelian dan kegigihan Pardede dalam berdagang berhasil membuatnya memonopoli gula dan garam di Tapanuli. “Dari situlah saya jadi banyak uang, sehingga di zaman Jepang, yang dibilang paling kaya di Tapanuli, sayalah itu,” kata Pardede dalam majalah Eksekutif , No. 11, Mei 1980. Pardede mengakui, di zaman Jepang dirinya bekerja siang dan malam. Bahkan, kalau perlu dia tidur di mobil. Dengan demikian, Pardede mampu menguasai pasar-pasar di Tapanuli dan menyisihkan saingannya sesama pedagang dari kalangan Tionghoa. Pengalaman kerja di bawah panji penjajah membuat Pardede berhasrat membantu orang-orang yang kesulitan melalui usahanya. Oleh karena itu, di masa revolusi kemerdekaan Pardede ikut berjuang sebagai perwira dagang. Dengan pangkat letnan, Pardede bertugas di bagian perbekalan atau logistik. Dia mengambil beras dari Tapanuli dan menjualnya ke Pekan Baru. Dengan begitu, perjuangan dapat dibiayai sekaligus memberi makan pasukan. Pada 1949, Pardede berhenti dari dinas ketentaraan. Pardede melihat keadaan masyarakat serba susah. Banyak orang hanya berkaus kutang alias singlet. Dari situ timbulah niat Pardede untuk membangun pabrik tekstil, khususnya kaus singlet. Berdirilah kemudian, Knitting Factory T.D. Pardede di Medan. Kaus produksi pertamanya dicetak dengan nama merk Surya. Sejak pabrik tekstil Pardedetex berdiri pada 1953, kesuksesan seolah-olah mengejar Pardede. Usahanya berkembang pesat sehingga mampu mediversifikasi berbagai produk sandang. Dari singlet, Pardedetex memproduksi selimut dan membangun lagi pabrik pemintalan benang. Pada 1960-an, sosok Pardede sudah dikenal luas sebagai industrialis terkemuka di Indonesia. Selimut cap Surya menguasai pasaran dalam negeri sedangkan Pardedetex menjadi pabrik pemintalan swasta terbesar di Indonesia. Reputasi Pardede bahkan memikat Presiden Sukarno yang kemudian mengangkatnya menjadi menteri berdikari pada Kabinet Dwikora. Pardede, seperti diungkap sejarawan Jepang Masashi Nishihara dalam Sukarno, Ratna Sari Dewi & Pampasan Perang , adalah pendukung finansial terpercaya Sukarno. Hingga dekade 1980-an, kerajaan bisnis Pardede telah merambah berbagai sektor. Selain pabrik tekstil, Pardede memiliki jaringan perhotelan dan usaha perikanan. Semuanya bernaung di bawah induk usaha T.D. Pardede Holding Company, terdiri dari 28 unit badan usaha dengan tenaga kerja sebanyak 5.000 orang staf dan karyawan. Selain mencari untung di perniagaan, Pardede berkhidmat pula dalam urusan sosial kemasyarakatan. Di bidang olahraga, Pardede membentuk Pardedetex yang jadi cikal bakal klub sepakbola profesional pertama di Indonesia. Di bidang kesehatan, Pardede membangun Rumah Sakit Herna, yang diambil dari nama sang istri Hermina br. Napitupulu. Dan di bidang pendidikan, Pardede mendirikan Universitas Darma Agung yang sekaligus menjadi tempat penghasil sumber daya manusia bagi berbagai perusahaan Pardede. Siapa nyana, Pardede yang cuma jebolan HIS Balige itu pada akhirnya menggondol gelar Doktor (Honoris Causa) dalam ilmu ekonomi. Gelar itu diperolehnya dari Takushoku University, Jepang pada 1967. Sebelumnya, pada 1964 Pardede memperoleh gelar Ahli Tekstil dari Ikatan Ahli Tekstil Indonesia (IKATSI) dan Ahli Ekonomi dari Fakultas Ekonomi Universitas Sumatra Utara (USU) pada 1965. Gelar kehormatan itu buah dari pengalaman dan keterampilan Pardede dalam mengelola bisnis. Di balik kesuksesan Pardede, tersua prinsip yang jadi pegangannya: “Miskin belajar kaya, kaya belajar miskin.” Begitulah falsafah hidup Pardede yang selalu dikemukakannya dalam berbagai kesempatan. Miskin belajar kaya, artinya: dalam keadaan miskin, kita harus punya keuletan dam ketabahan untuk mencari jalan dan berusaha untuk mencari kaya. Sedangkan kaya belajar miskin, berarti rezeki berasal dari Tuhan sehingga kita disebut orang kaya, maka kita mesti tetap mengingat bagaimana sakitnya waktu masih miskin. Dengan demikian, kekayaan itu jadi amanah untuk kepentingan kemanusiaan sesuai yang dikehendaki Tuhan. Dalam menjalankan roda perusahaannya, Pardede mengusung motto 8K yang menjadi pedoman setiap karyawan. Isinya terdiri dari delapan kata sifat: Kejujuran, Kelakuan, Kemauan, Kerajinan, Kebersihan, Kesehatan, Kewajiban, dan Kepatuhan. Menurut mantan sekretaris pribadi Pardede, Drs. H.S. Pulungan, “ Walutama ” adalah istilah lain untuk menyebut motto 8K tadi. Walutama dapat menjadi jembatan takwa (Batak dan Jawa). “Walutama dapat dibaca sebagai walu na tama (Batak), atau dapat juga dibaca sebagai wolu sing utomo , yang kedua-duanya berarti delapan yang utama,” ujar Pulungan dalam “Visi, Misi, dan Profesi” termuat di kumpulan tulisan 75 Tahun Dr. T.D. Pardede suntingan Samuel Pardede. Sampai wafatnya pada 18 November 1991, Pardede meninggalkan aset yang tersebar di berbagai kota. Beberapa masih bertahan hingga saat ini, seperti Hotel Danau Toba dan Hotel T.D Pardede di Medan dan Parapat. Begitupun dengan Universitas Darma Agung dan Rumah Sakit Herna. Nama T.D. Pardede diabadikan sebagai nama salah jalan di kota Medan yang dahulu bekas lokasi berdirinya pabrik tekstil Pardede.*
- Elvis Menyanyi Dangdut
PERNAH suatu masa celana cutbrai menjadi tren. Pedangdut Achmad Rafiq, yang meninggal 19 Januari lalu, didaulat sebagai orang yang mempopulerkannya. Dia memboyong goyang pinggul dan gaya kostum mencolok ke dangdut bersama celana panjang cutbrai khas yang dikenal sebagai “celana A. Rafiq.” Orang datang ke penjahit cukup bilang, “Tolong jahitin celana A. Rafiq. Orang (penjahit) sudah tahu. Itu tidak bisa hilang dalam sejarah,” kata A. Rafiq kepada Andrew N. Weintraub dalam Dangdut Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia.
- V dan Organisasi Tanpa Nama
SEPERTI Gerakan Rakyat Anti Fasis (Geraf) yang dipimpin Amir Sjarifuddin dan Gerakan Djojobojo di bawah komando Mohammad Joesoeph, bekas tentara Hindia Belanda (KNIL) membentuk organisasi bawah tanah untuk menentang Jepang. Namanya kelompok “V” (dari kata Victory ). Menurut L. De Jong dalam Pendudukan Jepang di Indonesia , anggota dari kelompok “V” menggunakan tanda pengenal seperti sapu tangan merah atau sebuah bulu berwarna putih. Pemimpinnya seorang Indo-Belanda, berpangkat sersan mayor KNIL, AW Ledoux. Pada Maret 1943, Ledoux ditangkap polisi rahasia Jepang (Kenpeitai) . “Setelah kejadian itu, semua eks militer KNIL yang tertangkap dan padanya terdapat sapu tangan merah atau bulu putih mendapat hukuman berat,” tulis De Jong.
- Wadah Pengetahuan Tanah Jajahan
PENJAJAH membutuhkan pengetahuan tentang negeri jajahannya untuk menjaga kesinambungan penjajahannya. Karena itulah Kerajaan Belanda mendirikan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) pada 1851 untuk mengumpulkan informasi mengenai daerah jajahan. “Kolonialisme tercermin dalam koleksi ilmiah dan sejarah seni yang indah, dan yang memberi gambaran daerah-daerah jauh yang pernah, kurang lebih, dikuasai Belanda,” kata Putri Maxima, pelindung KITLV, dalam pengantar katalog pameran, Treasures . Selain KITLV, “di seluruh dunia, tidak ada tempat yang menyediakan koleksi mengenai jajahan Belanda dan sekitarnya yang begitu luas dan mudah diakses.”
- Menyadap Tahanan Perang Nazi
BUKTI-bukti baru menyingkap bagaimana taktik Inggris selama Perang Dunia II dan pikiran para perwira Jerman yang terlibat dalam Holocaust. Seorang pengungsi, yang direkrut dinas rahasia Inggris, mengungkapkannya. Pengungsi itu bernama Fritz Lustig, pensiunan akuntan dari Muswell Hill berusia 93 tahun. Dia adalah salah satu dari sekira seratus pengungsi, sebagian besar Yahudi Jerman, yang lari ke Inggris dan kemudian direkrut intelijen Inggris untuk menyadap obrolan para perwira Nazi yang ditahan di sel-sel tersembunyi di sekitar London. Dia mendengar diskusi para tawanan Jerman tentang keterlibatan mereka dalam Holocaust dan kekejaman lainnya selama Perang Dunia II.
- Segarnya Sejarah Es
SEKIRA akhir abad ke-19, Chailley Bert, seorang pelancong asal Prancis, mencatat bahwa terdapat es dari ujung ke ujung Pulau Jawa hingga gunung-gunung dan desa. Bert jelas berlebihan. Namun penggunaan es sebagai teman minuman sudah menjadi umum di Hindia kala itu. Sekira 1895, musafir Prancis Delmas, yang mampir di Batavia, mencicipi “segelas besar sidre-syampanye , minuman lezat, yang dibuat dengan buah-buahan negeri itu, es dan soda.” Menurut Denys Lombard, es merupakan lambang “kenyamanan” yang sudah semestinya di negeri tropis dan pengawet bagi makanan yang mudah rusak. Pada pertengahan abad ke-19, kapal-kapal yang datang dari Amerika Utara membawa berbalok-balok es ke berbagai pelabuhan besar di Nusantara. Sekira 1869, keluarga-keluarga kaya di Batavia “hanya minum air yang berasal dari es yang mencair, yang didatangkan dari Boston.”
- Agar Dieng Tak Tenggelam
PEMBUATAN terowongan bawah tanah untuk mengendalikan air telah dilakukan Dinasti Mataram Kuno di bawah wangsa Sanjaya, yang membangun Gangsiran Aswatama . Nama Aswatama diambil dari tokoh pewayangan. Aswatama adalah putra pandita Drona. Untuk membalas dendam kematian ayahnya dalam perang Baratayudha, dia menggali lorong bawah tanah atau gangsiran , yang berujung di perkemahan Pandawa. Nahas, Aswatama tewas oleh keris Pasopati yang ditendang bayi Parikesit, cucu Arjuna, hingga menancap di dadanya.






















