top of page

Hasil pencarian

9590 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Rakyat Yogyakarta Diselamatkan Selokan

    Di musim hujan, selokan –yang dipenuhi sampah– sering meluap dan menimbulkan banjir. Namun, di masa pendudukan Jepang, selokan telah menyelamatkan rakyat Yogyakarta dari kerja paksa ( romusha ) dan menekan kekurangan pangan .  Pada 1940, Dorodjatun dinobatkan menjadi Sultan Hamengkubuwono IX. Tak lama kemudian Jepang datang. Di Jakarta, pada 1 Agustus 1942, dia dilantik untuk kali kedua sebagai Sultan Yogyakarta oleh Panglima Besar Tentara Pendudukan Jepang. Sultan menerima wewenang dari Jepang untuk mengurus pemerintahan Kesultanan yang dinamai Kochi  (Daerah Istimewa).

  • Upacara Natal Bersama Haram

    Majelis Ulama Indonesia (MUI) menganjurkan umat Islam tak mengikuti kegiatan-kegiatan perayaan Natal. Mengikuti upacara Natal Bersama bagi umat Islam hukumnya haram. Demikian bunyi fatwa tentang perayaan Natal Bersama yang dikeluarkan MUI pada 7 Maret 1981. Kala itu MUI dipimpin Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), sedangkan ketua Komisi Fatwa-nya adalah Syukuri Ghozali. Fatwa tersebut dilatarbelakangi fenomena yang kerap terjadi sejak 1968 ketika Hari Raya Idul Fitri jatuh pada 1-2 Januari dan 21-22 Desember. Lantaran perayaan Lebaran berdekatan dengan Natal, banyak instansi menghelat acara perayaan Natal dan Halal Bihalal bersamaan. Ceramah-ceramah keagaman dilakukan bergantian oleh ustadz, kemudian pendeta. Menurut Jan S. Aritonang dalam Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia , Hamka mengecam kebiasaan itu bukan toleransi namun memaksa kedua penganut Islam dan Kristiani menjadi munafik. Hamka juga menilai penganjur perayaan bersama itu sebagai penganut sinkretisme.

  • Golkar Perubahan dari Gerinda

    PERSAINGAN partai di tingkat nasional tak selalu tercermin di tingkat lokal. Pada 1960-an, ketika kelompok komunis dan nasionalis bisa bekerjasama di tingkat nasional, di Gunung Kidul justru terjadi persaingan, terutama antara Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Partai Nasional Indonesia (PNI). Persaingan itu menghapus cerita tentang Gerakan Rakyat Indonesia (Gerinda), partai berbasis massa tradisional yang cukup besar. Namanya jarang disebut-sebut. Padahal, di Gunung Kidul, Gerinda berada di urutan kedua dengan delapan kursi, setelah PKI dengan 18 kursi dalam pemilihan DPRD tahun 1958. Massa Gerinda yang “tetap” menyebabkan partai ini tak tampak dalam persaingan yang keras dengan partai lain.

  • Gerinda Suka Diejek PKI

    SETELAH vakum selama masa pendudukan Jepang, Pakempalan Kawula Ngayogyakarta (PKN) muncul kembali pada 1951 sebagai partai politik dengan nama Gerakan Rakyat Indonesia (Gerinda). Ketuanya dipegang Pangeran Suryodiningrat, pendiri PKN. Meski tak punya cabang-cabang di daerah, kecuali wakil-wakil penerangan partai di tiap kabupaten, Gerinda mendapat sambutan hangat. Mereka meraih kursi lumayan dalam pemilihan DPRD Yogyakarta tahun 1957. Pesaing utamanya adalah Partai Komunis Indonesia (PKI), yang belum sembuh benar akibat pukulan telak militer karena Peristiwa Madiun 1948. Dari total 57 kursi, PKI meraih 14 kursi. Diikuti oleh Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan 8 kursi dan Gerinda 6 kursi.

  • Mas Slamet Dikutuk Kaum Republik

    Kelompok kanan reaksioner Belanda selalu menganggap Sukarno seorang pengkhianat atau quisling –diambil dari nama Perdana Menteri Norwegia yang bekerjasama dengan tentara Nazi selama Perang Dunia II– yang menjual bangsanya kepada Jepang. Sebaliknya, kaum republiken menganggap kolaborasi Sukarno dengan Jepang hanyalah perkara strategi perjuangan merebut kemerdekaan. Justru orang-orang yang anti-Jepang dan anti-Republik serta pro-Belandalah yang pantas disebut quisling; salah satunya Mas Slamet, pendiri Partai Demokrat. Mas Slamet tak hanya mencap Indonesia sebagai bentukan Jepang, dia juga menganggap bendera merah putih sebagai produk Jepang. “Mr. Slamet di dalam surat terbuka kepada Ratu Wilhelmina terkesan tidak mengenal makna simbolis bendera merah putih bagi gerakan nasional di negerinya,” tulis Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah.

  • Rais Abin, Panglima Perdamaian Dunia

    SETELAH lama mengalami masa diaspora, bangsa Israel berusaha kembali ke tanah yang dijanjikan. Mereka mendambakan rumah bagi bangsa Yahudi sendiri. Dan Palestina menjadi pilihan mereka, sebagai tanah yang dijanjikan. Dari sini, perang pun dimulai. Perang Arab-Israel pertama pecah pada 1948. Israel menang meski dikeroyok enam negara Arab. Peperangan berikutnya terjadi pada 1956, 1967, dan 1973. Keadaan genting di Timur Tengah mendorong pembentukan pasukan perdamaian PBB (UNEF) .  Indonesia mengirimkan Kontingen Garuda yang tergabung dalam UNEF.

  • Menganyam Fakta dan Fiksi

    KAJIAN mengenai pembunuhan massal 1965-1966 di Indonesia, bahkan kajian atas politik negara secara umum, akan mengalami perombakan dengan diluncurkannya film dokumenter The Act of Killing  yang disutradarai Joshua Oppenheimer dan baru-baru ini diluncurkan di Toronto International Film Festival. The Act of Killing  berbeda dari berbagai film dokumenter dengan tema serupa yang selama ini pernah ada. Inilah film panjang pertama tentang pembunuhan massal 1965-1966 yang menampilkan para pelaku pembantaian, bukan korban atau simpatisan, sebagai tokoh utama. Dalam film ini, mereka mantan tokoh organisasi paramiliter Pemuda Pancasila yang ikut membantai ratusan orang pengikut atau yang diduga komunis di Sumatra Utara, sebagai bagian dari pembantaian berlingkup nasional yang seluruhnya memakan hampir satu juta jiwa.

  • Dari Kanal Hingga Rumah Pintal

    EMPAT kapal, The Duke , The Duchess , The Marquiss , The Batchelor Frigate , berlayar meninggalkan pantai Amerika Selatan pada 10 Januari 1710. Pelayaran tersebut dipimpin kapten asal Inggris, Woodes Rogers. Mereka mengambil rute samudera Pasifik menuju Guam. Perjalanan tidak semulus yang dikira, persediaan makanan menipis dan kebocoran salah satu kapal menjadi ujian bagi awak kapal. “Persediaan makanan dan minuman menipis, jatah dijaga dengan ketat. Setiap orang hanya memperoleh sepotong daging dan 1,5 pon gandum sehari, sementara jatah untuk budak negro lebih sedikit lagi,” tulis Frieda Amran dalam bukunya Batavia, Kisah Kapten Woodes Rogers dan Dr Strehler .

  • Menjelang Blitzkrieg di Ibukota Republik

    BERLIKUNYA jalur politik yang ditempuh Belanda menghadapi Republik Indonesia usai Perang Dunia II membuat Panglima Tentara Belanda Letjen Simon Hendrik Spoor “gerah”. Lamanya waktu yang dibutuhkan dengan hasil tak tentu pula dari diplomasi membuat Spoor “nekat” mengambil jalan sendiri yang berbeda dari para politisi negerinya. “Pemerintah merasa terpaksa untuk menempuh langkah terakhir. Dari Anda sekalian diminta kesediaan untuk melaksanakan tahap terakhir, mengingat bahwa setelah perundingan-perundingan tak berkesudahan, kesabaran telah terkuras habis dan tidak ada lagi jalan yang dapat ditempuh,” begitu petikan dagorder  (perintah harian) Letjen Simon Hendrik Spoor tertanggal 18 Desember 1948.  Dagorder dari sang legercommandant  itu diterima berbagai kesatuan tempur Belanda yang dilibatkan dalam “Operatie Kraai” (Operasi Gagak) menjelang embarkasinya dari Pangkalan Udara (Lanud) Andir dan Semarang pada dini hari, 19 Desember 1948. Operasi serangan kilat ke ibukota republik, Yogyakarta, itu ibarat penuntasan Agresi Militer I (Juli 1947) yang dianggap tak memuaskan karena pihak republik masih “bernafas”.  “Operasi militer dengan mengadopsi serangan kilat Jerman terhadap Belanda saat Perang Dunia II, Blitzkrieg –serangan kilat. Ini adalah rencana besar yang mereka sebut Operatie Kraai dengan melibatkan pasukan khusus KST (Korps Speciale Troepen), dan pasukan-pasukan organik di bawah komando Brigade T (Tijgerbrigade) dari Semarang. Serangan yang dibagi dua gelombang dengan gerakan bersamaan menuju satu titik temu, Yogyakarta,” tulis Wawan Kurniawan Joehanda dalam Djocjakarta: Mereka (Pernah) Di Sini: Des 1948-Juni 1949. Dari dagorder  itu, militer Belanda hendak mencapai tiga tujuan utama. Pertama , menangkapi para petinggi pemerintahan RI. Kedua , merebut semua kantong-kantong militer republik. Ketiga , mengepung dan menghancurkan kekuatan lawan.  Kala itu kota Yogyakarta praktis nyaris tanpa tentara republik. Selain hanya ada segelintir perwira pengamat Komisi Tiga Negara (KTN) dari Amerika Serikat dan Australia, hampir segenap Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) sedang menggelar latihan perang di luar Yogyakarta. Di Yogyakarta hanya tersisa pasukan pangkalan Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) di Lanud Maguwo, kepolisian, dua peleton kadet Militaire Academy (MA), dan kompi markas Brigade X pimpinan Letkol Soeharto.  “Panglima Teritorium Jawa pertengahan bulan Desember 1948, Kolonel A.H. Nasution sedang melakukan inspeksi ke Jawa Timur. Praktis Yogyakarta ‘kosong’. Pasukan Siliwangi yang ada pada waktu itu sudah mulai meninggalkan ibukota, bergerak kembali memasuki Jawa Barat sesuai perintah pimpinan. Pasukan Brigade X yang diperbantukan pada Pangkalan Udara Maguwo hanya tinggal satu kompi,” tulis Subdisjarah TNI AU dalam Peran TNI-AU pada Masa Pemerintah Darurat Republik Indonesia tahun 1948-1949 keluaran.  Gubernur Jenderal Dr. Louis Joseph Maria Beel (kiri) & Legercommandant Letjen Simon Hendrik Spoor. (nationaalarchief.nl). Diplomasi Ditolak, Perang Bertindak Dalam bukunya Vom Kriege  (1832), jago militer asal Prusia Jenderal Carl von Clausewitz menuliskan, “perang adalah kelanjutan dari politik (diplomasi) dengan sarana lain.” Sangat mungkin “filosofi” itu mempengaruhi langkah Louis Joseph Maria Beel ketika menggantikan Hubertus Johannes van Mook sebagai letnan gubernur jenderal Hindia Belanda merangkap Wakil Tinggi Mahkota Belanda pada 1 November 1948 dalam konteks mengatasi buntunya perundingan-perundingan dengan pihak republik pasca-Perjanjian Renville (17 Januari 1948). “Pada 11 Desember 1948 perundingan terhenti sama sekali, ketika pihak Belanda memberitahukan kepada KTN bahwa, ‘negosiasi dengan bantuan komite (KTN, red. ) pada fase ini sia-sia, di mana hanya akan berujung pada pembicaraan-pembicaraan tanpa tujuan’,” lanjut buku Subdisjarah TNI AU.  Pemerintah kerajaan di Den Haag sudah memutuskan untuk mengakhiri perundingan dengan pihak republik. Beel juga menganggap opsi yang tersisa hanyalah opsi militer.  “Menurut Beel dengan tindakan militer, Republik (Indonesia) harus dienyahkan dan dalam daerah baru yang dikuasai harus didirikan negara bagian baru atau terdiri dari negara-negara bagian, dan dalam pada itu agar secepat mungkin didirikan pemerintahan peralihan federal yang berada di bawah pengawasan Belanda. Kabinet koalisi Belanda sebenarnya khawatir akan munculnya sanksi-saksi dari PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) dan Amerika nantinya. Namun karena tidak ada jalan lain akhirnya menyetujui,” tulis PMH Groen dalam Mededelingen van de sectie militaire geschiedenis landmachtstaf. Rencana operasi militer pun disusun lagi oleh Kepala Staf Umum Letjen Dirk Cornelis Buurman van Vreeden. Menurut Himawan Sutanto dalam Y ogyakarta 19 Desember 1948: Jenderal Spoor (Operasi Kraai) vs Jenderal Sudirman (Perintah Siasat No. 1) , rancangan awalnya sudah disiapkan Buurman sejak Januari 1948.  “Awal Januari 1948 Buurman merampungkan pengembangan rencana militer serangan merebut Yogya oleh tiga kolone tempur: merebut Yogyakarta dengan pasukan gerak cepat (KST dari udara), gerak ofensif dari Banyumas ke Yogyakarta, dan Brigade T digerakkan dari Semarang ke Yogyakarta,” tulis Himawan.  Muhammad Jusuf Ronodipuro (kiri) dan Horace Merle Cochran. (ANRI). Menteri Daerah Seberang Lautan Belanda EMJA Sassen mewakili kabinet Perdana Menteri (PM) Drees mengirim telegram ke Jakarta agar operasi militer dilakukan sebelum tanggal 21 Desember. Hal ini membuat Jenderal Spoor meradang dan mengancam akan mundur. Spoor menilai penundaan akan menghilangkan unsur dadakan. Kabinet akhirnya “mengalah”. Terlebih setelah mengetahui Presiden Sukarno bakal mengagendakan kunjungan ke luar negeri, yang artinya pucuk pimpinan republik itu akan lepas dari bidikan Belanda.  “Sidang kabinet Belanda memutuskan untuk mempercepat sehari serangan ke Yogyakarta (yaitu dari tanggal 20 Desember menjadi tanggal 19 Desember 1948) karena mendengar bahwa Presiden Sukarno akan berangkat ke India tanggal 19 Desember,” tulis Pramoedya Ananta Toer dalam Kronik Revolusi Indonesia: Jilid V (1948). Di sisi lain, pada 15 Desember 1948 PM RI Mohammad Hatta kembali meminta bantuan Merle Cochran, utusan Amerika di KTN, untuk membuka kembali pintu negosiasi dengan Belanda. Cochran bersama utusan RI di KTN, Jusuf Ronodipuro, bolak-balik ikut terbang dari Yogyakarta ke Jakarta untuk meminta audiensi lagi dengan Beel. Tapi pada 16 Desember, Cochran dan Jusuf Ronodipuro justru mendapat jawaban berupa ultimatum dari Belanda: Pemerintah RI harus menerima segala usul Belanda dengan tenggat waktu 18 Desember pukul 10 pagi. “Jusuf Ronodipuro pukul 21.00 tanggal 18 Desember menerima telepon dari Istana Rijswijk (kini Istana Merdeka Jakarta). Ia diminta datang mengambil sebuah surat yang dialamatkan kepada delegasi Indonesia. Segera surat itu dibawa ke rumah Mr. Soedjono, Sekjen Delegasi RI. Mereka sangat terkejut membaca isinya. Sebab di situ Belanda menyatakan ‘mulai pukul 00.00 tanggal 19 Desember 1948 tidak lagi terikat kepada ketentuan-ketentuan gencatan senjata’,” ungkap Rosihan Anwar dalam  Sejarah Kecil Petit Histoire Indonesia: Jilid 3. Keadaan makin runyam. Pasalnya, Jusuf –yang kembali terbang ke Yogyakarta dan kembali lagi ke Jakarta malamnya– tak bisa mengirim telegram berisi pernyataan Belanda itu lantaran semua jalur komunikasinya ke Yogya diputus Belanda. Situasi kian runyam ketika di Lanud Kemayoran pukul 10 malam Jusuf dan Cochran hendak terbang untuk kesekian kalinya ke Yogya.  “Rupanya ini adalah jebakan yang sengaja dibuat dan menimbulkan kesan bahwa pemerintah Republik Indonesia tidak serius menanggapi surat tersebut. Namun pada kenyataannya semua alat komunikasi sudah diputus dan transportasi udara pun diblokade dengan tidak memberi izin terbang menuju Yogyakarta,” sambung Wawan.  Lanud Maguwo setelah direbut pasukan KST pada pagi 19 Desember 1948. (NIMH/defensie.nl). Jenderal Spoor akhirnya puas karena unsur dadakan operasinya berhasil. Meski begitu, militer republik yang tak mengendus rencana agresi kedua Belanda masih tetap eksis.  Panglima Markas Besar Komando Djawa Kolonel Nasution sejatinya telah menerima informasi kegiatan dan pemusatan pasukan Belanda pada awal Desember 1948. Selain itu, pasukan Belanda yang terdiri dari KST dan DST (Depot Speciale Troepen) diketahui melakukan latihan terjun payung di Lapangan Banteng, Jakarta. Meski diplomasi masih terus diperjuangkan oleh utusan republik, firasat akan datangnya agresi dari kalangan militer republik kian kuat seiring waktu. Hal itu turut disinggung Nasution dalam briefing- nya di Kediri dalam rangka persiapan peresmian pasukan Divisi I/Brawijaya pada 17 Desember 1948. “Kita tidak tahu kapan musuh akan menyerbu kita lagi, tetapi kita yakin musuh akan menyrang kita lagi. Mungkin sekarang, mungkin besok, mungkin lusa. Ini penderitaan kita semua. Untuk itulah kita di Yogyakarta mengadakan rapat bagaimana menghadapi musuh itu nanti,” ujar Nasution dikutip Nugroho Notosusanto dalam Markas Besar Komando Djawa. Maka, sejak sebulan sebelum agresi datang, solusi meladeni agresi sudah dipikirkan kalangan militer republik. Terutama setelah Panglima Besar Jenderal Sudirman mengeluarkan Perintah Siasat No. 1 tahun 1948 tanggal 9 November 1948. Inti perintah itu yakni setiap kekuatan militer agar bergerak fleksibel dan melancarkan perang gerilya di pedalaman. Maka ketika Belanda berhasil dengan unsur dadakannya, militer republik setidaknya tak mengalami kepanikan. Berbeda dari kalangan politisi sipil, termasuk presiden dan wakil presiden-perdana menteri, yang banyak ditawan setelah Lanud Maguwo diserbu dan secepat kilat direbut Belanda pada 19 Desember 1948 pagi. Pun di Jakarta, sejumlah delegasi RI di KTN seperti Sekjen Delegasi Mr. Soedjono dan Jusuf Ronodipuro ditawan pula.  “Republik telah diserang tanpa pemberitahuan,” tandas Jusuf Ronodipuro.*

  • Mengulik Lirik Indonesia Raya

    BELASAN pelajar dari SMP 14 Jakarta, pagi itu (28/10) mengunjungi Museum Sumpah Pemuda, Jalan Kramat Raya 106, dibawah pengawasan Adro’i Abdullah, guru mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan. “Memberikan pelajaran sejarah seperti ini efektif untuk mengenalkan anak-anak dengan sejarahnya, tragis kalau anak-anak sampai tidak tahu,” ujarnya. Semakin siang, suasana di museum semakin meriah ketika datang serombongan remaja, dengan kemeja dan celana panjang putih, memasuki ruangan utama gedung itu. “Kami dari Cilay Ensemble, Jakarta, siang ini akan menyanyikan usulan revisi lagu Indonesia Raya, momentum 84 tahun Sumpah Pemuda dan museum ini sengaja kami pilih untuk lebih mudah diingat,” ujar Cilay, pemusik asal Padang, pendiri sekaligus pimpinan Cilay Ensemble. “Sumpah Pemuda tahun 1928 dilaksanakan pada hari minggu, dan tahun ini jatuh pada hari minggu pula, kami berpandangan ini kebetulan yang baik,” tambahnya.

  • Antiklimaks Belanda Usai Serbuan di Ibukota Republik

    DI sebelah sebuah sepatu lars khas serdadu Nazi Jerman dengan angka tahun 1940 yang menginjak lantai bertuliskan “Holland”, sebuah klompen  (sepatu khas Belanda) dengan angka tahun 1948 menginjak sesuatu bertuliskan “Indonesie”. Begitulah ilustrasi di Majalah Kroniek van de Week  edisi Desember 1948 menggambarkan pendudukan Belanda atas Yogyakarta sebagai ibukota Republik Indonesia. Ilustrasi yang menyamakan keburukannya dengan pendudukan Nazi Jerman atas Belanda (1940-1944) dalam Perang Dunia II (1939-1945).  Ilustrasi itu jadi satu dari sekian kritik tajam media massa mancanegara atas pendudukan Yogyakarta via Agresi Militer Belanda II, 19 Desember 1948. Kritik mencolok lain dimuat suratkabar De Waarheid  edisi 20 Desember 1948 yang menuliskan: “Sekali lagi kekerasan militer terjadi di Indonesia. Mereka menggunakan cara-cara (pemimpin Jerman Nazi, Adolf) Hitler dalam melakukan aksinya. Orang-orang tercengang, pada malam Minggu, pada malam Natal, pada saat semua sedang mengumandangkan doa tentang kedamaian di muka bumi. Ini adalah malam Natal berdarah dari ibukota kolonial!”  Lalu, ada harian Het Vrije Volk edisi 23 Desember 1948 yang mengutip komentar Letkol (Purn.) William Roy Hodgson. Wakil delegasi Australia di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) itu bahkan ketus mengatakan, aksi Belanda lebih buruk dari Hitler.  “Aksi tragis ini menimbulkan akibat yang tak terhitung, tidak hanya bagi Indonesia tapi bagi seluruh Asia dan bagi Belanda sendiri. Ia (Hodgson) menilai tuntutan Belanda terakhir yang disebut sebagai ultimatum dengan batas waktu hanya 18 jam, ‘lebih buruk dibandingkan apa yang dilakukan Hitler terhadap Belanda pada tahun 1940’,” tulis harian itu.  Ilustrasi kritik tajam Agresi Militer II di majalah Kroniek van de Week.  (Koleksi Gerard de Boer). Hodgson merujuk pada ultimatum Belanda pada 18 Desember 1948 pukul 10 pagi. Menjadi kacau ketika Belanda menentukan tenggat waktunya lewat surat susulan kepada anggota delegasi RI dalam Komisi Tiga Negara (KTN) PBB Jusuf Ronodipuro pada pukul 9 malam.  “Jusuf Ronodipuro pukul 21.00 tanggal 18 Desember menerima telepon dari Istana Rijswijk (kini Istana Merdeka Jakarta). Ia diminta datang mengambil sebuah surat yang dialamatkan kepada delegasi Indonesia. Segera surat itu dibawa ke rumah Mr. Soedjono, Sekjen Delegasi RI. Mereka sangat terkejut membaca isinya. Sebab di situ Belanda menyatakan ‘mulai pukul 00.00 tanggal 19 Desember 1948 tidak lagi terikat kepada ketentuan-ketentuan gencatan senjata’,” ungkap Rosihan Anwar dalam  Sejarah Kecil Petit Histoire Indonesia: Jilid 3.   Kepanikan segera melanda segenap delegasi RI. Pasalnya, Jusuf tak bisa langsung meneruskan kabar itu kepada Perdana Menteri (PM) merangkap Wakil Presiden Mohammad Hatta di Yogyakarta karena semua jalur komunikasi Jakarta-Yogyakarta diputus Belanda. Pun ketika ia bersama Merle Cochran, utusan Amerika Serikat di KTN, ingin terbang ke Yogyakarta, militer Belanda tak memberi izin terbang.  “Republik telah diserang tanpa pemberitahuan,” ungkap Jusuf dikutip Rosihan.  Penerjunan (kiri) dan penguasaan Lanud Maguwo oleh KST. (NIMH/defensie.nl). Agresi Berujung Bumerang Belanda melancarkan agresi kilat ala Blitzkrieg Jerman di Eropa pada Perang Dunia II. Yogyakarta diserbu dari udara via pesawat-pesawat yang berangkat dari Pangkalan Udara (Lanud) Andir, Bandung dan pasukan darat dari Semarang. Dalam tempo enam jam, Yogyakarta pun jatuh ke tangan Belanda.  Presiden Sukarno sendiri sempat memberi mandat kepada Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara. Mandat itu berisi pemberian kuasa untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatra.   Seperti yang disebutkan Jusuf, Belanda seakan tak “menyatakan perang”. Mirip dengan pembokongan Pangkalan Angkatan Laut Amerika di Pearl Harbor oleh Jepang (7 Desember 1941) yang dianggap Amerika serangan tanpa pernyataan perang.  Meski begitu, delegasi RI di KTN masih bisa menotifikasi perwakilan RI di India. Sangat memungkinkan dunia internasional mengetahui serbuan Belanda ke Yogyakarta itu via siaran radio dari India. “Waktu lewat tengah malam (dini hari 19 Desember, red. ) Prof. Supomo dan Jusuf pergi ke rumah Mr. Soedjono. Mereka menyusun isi telegram dan laporan mengenai kejadian-kejadian untuk dikirimkan kepada Dr. Sudarsono dan Mr. Alex Maramis di New Delhi, India. Telegram dan laporan dikirimkan pagi hari melalui Konsul Jenderal India di Jakarta,” sambung Rosihan.  Para pemimpin Republik yang ditawan Belanda. (NIMH/defensie.nl). Hal serupa juga dilakukan PM Hatta sebelum tertawan. Ia memberi pernyataannya kepada Sudarsono, Maramis, dan L.N. Palar di India agar selanjutnya berhubungan dengan PDRI di Sumatera di bawah Sjafruddin. Juga dimintanya menyiapkan pemerintahan pengasingan sebagai antisipasi akhir.  “Jika ikhtiar Sjafrudin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatera tidak berhasil, kepada saudara-saudara dikuasakan untuk membentuk exile-government Republik Indonesia di India. Harap dalam hal ini berhubungan dengan Sjafrudin di Sumatera. Jika hubungan tidak mungkin, harap diambil tindakan-tindakan seperlunya,” ujar Bung Hatta, dikutip Album Perjuangan Kemerdekaan, 1945-1950: Dari Negara Kesatuan ke Negara Kesatuan. Dari kabar yang tersiar itulah agresi Belanda ke Yogyakarta menjadi backfire  atau bumerang. Dunia internasional bereaksi dan mengecam Belanda. DK PBB sampai menggelar sidang darurat di New York pada 20 Desember 1948 dan di Paris pada 22 Desember 1948.  Atas usul sidang DK PBB pertama di New York, Cochran mengirimkan laporannya, “Report of the Committee of Good Offices on the Indonesian Question in Reply to the Council’s Request of 20 December 1948”. Laporannya berisi bahwa Belanda tak menyatakan pemberitahuan terkait pembatalan gencatan senjata (Perjanjian Renville, Januari 1948), surat wakil ketua delegasi Belanda di KTN tidak dapat diteruskan ke pemerintahan di Yogyakarta karena diputusnya hubungan komunikasi Jakarta-Yogyakarta, penangkapan sekjen dan anggota delegasi RI di KTN, dan penyitaan dokumen-dokumen KTN di kantor delegasi RI. “KTN menyerukan kepada Dewan Keamanan, dengan dasar yang mendesak, untuk memandang meletusnya permusuhan di Indonesia sebagai perkosaan terhadap persetujuan gencatan senjata Renville yang ditandatangani pemerintah Belanda dan RI pada tanggal 17 Januari 1948,” tukas Cochran mengakhiri laporannya.  Dari dua sidang DK PBB itu akhirnya ditelurkan dua resolusi penghentian baku tembak. PBB juga “memaksa” Belanda untuk kembali ke meja perundingan. “Pemerintah Belanda tampaknya tak menduga reaksi keras dari dunia internasional dan dari dalam negeri. Akhirnya diputuskan PM Drees harus segera ke Jakarta untuk memantau situasi serta berunding dengan berbagai pihak di Indonesia,” tandas Wawan.*

  • Dari Politik hingga Bahasa

    SEBELUM meninggal pada 16 Agustus 1985, R. Katjasungkana berpesan agar dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Bintaro, Jakarta Selatan. Dia ingin dekat dengan makam sahabatnya, Wakil Presiden Mohamad Hatta. Setelah 26 tahun lebih, pihak keluarga memutuskan memindahkan makam itu ke Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta Selatan. “Kalau di TPU Tanah Kusir, ada kekhawatiran soal keamanan makam nantinya digusur dan jadi mall,” kata Nursyahbani Katjasungkana, aktivis perempuan yang merupakan anak ketujuh R. Katjasungkana.

bottom of page