top of page

Hasil pencarian

9590 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Hukuman Kejam dari Sultan

    PADA 28 September 1571, kegaduhan terjadi di Kesultanan Aceh. Sultan Alau’ddin Ri’ayat Syah al-Kahar, yang berkuasa sejak 1539, baru saja wafat. Sultan ini sangat dihormati rakyatnya karena berhasil melindungi Aceh dari serangan Portugis dan menyusun Undang-Undang Dasar Negara, Dustur Negara . Sepeninggalnya, tahta sultan dijabat oleh putranya, Ali Ri’ayat Syah. Pada masanya, timbul benih-benih perpecahan di kalangan keluarga kesultanan. Puncaknya terjadi setelah sultan ini wafat pada 1579. Konflik berdarah pun tak terhindarkan. Ini membawa Aceh ke dalam situasi tanpa hukum. Beberapa sultan kemudian mencoba mengembalikan hukum.

  • Gambar Erotis dari Shunga ke Hentai

    KETELANJANGAN di masa Tokugawa, atau dikenal juga sebagai era Keshogunan Edo (1603-1868), adalah hal lumrah. Di pemandian umum, lelaki dan perempuan bisa melihat alat kelamin masing-masing dengan jelas. Tak heran jika seni shunga  menjadi populer. Dengan tampilan model berpakaian lengkap, ia terasa lebih estetis dan menggoda alih-alih erotis.  Shunga merupakan karya seni lukis bergaya ukiyo-e  yang menggunakan metode printing  kuno, dengan papan kayu sebagai plat cetakan. Biasanya menampilkan adegan percintaan lelaki dan perempuan, perempuan dan perempuan, lelaki dewasa dengan lelaki dewasa, atau lelaki dewasa dengan pemuda . Shunga merupakan istilah Jepang yang merujuk pada “gambar erotis”. Secara harfiah shunga berarti “gambar musim semi” sementara “musim semi” sendiri dalam bahasa Jepang merupakan eufemisme dari seks.

  • Perempuan di Banyak Palagan

    PURWOKERTO, 1946. Keriuhan mewarnai stasiun kereta. Beberapa pemuda 12-an tahun menenteng bermacam senjata: pisau, pedang, bambu runcing, pistol atau senapan. Ada juga yang membawa batu. Wajah mereka tak ramah. Di pakaian mereka tertempel emblem merah-putih. “Sepanjang pagi itu kami tak melihat derai tawa ataupun kegembiraan, sungguh membingungkan, karena kami sering mendengar bahwa orang Jawa begitu periang dan sederhana,” demikian pengamatan Martha Gellhorn dalam bukunya The Face of War .

  • Kearifan Sejarah Malam Jahanam

    SELAMA Orde Baru berkuasa, hanya tafsir penguasa yang benar mengenai peristiwa Gerakan 30 September (G30S) bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah dalang sekaligus pelaku tunggal peristiwa itu. Penguasa memonopoli kebenaran sejarah. Tafsir lain dianggap tidak benar. Tak ada dialog. Akibatnya, luka menganga bangsa ini tak lantas kering. Sakitnya pun tak kunjung hilang selama puluhan tahun. Hingga akhirnya reformasi bergulir menggulingkan Orde Baru, dialog terbuka mengenai peristiwa itu tumbuh subur. Sebuah bangsa berusaha menyembuhkan luka dan menghilangkan sakitnya.

  • Dialog Kebudayaan

    KITA mengenal Polemik Kebudayaan pada 1930-an. Namun, dalam sejarah, dialog kebudayaan dengan beragam bentuk dan intensitas sudah terjadi jauh sebelumnya. Menurut sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Taufik Abdullah, Nusantara terlibat dalam dinamika kebudayaan “internasional” sejak masa-masa awal abad Masehi. Intensitas hubungan bersifat “internasional” terjadi pada masa Sriwijaya. Sumber Tiongkok menyatakan Sriwijaya pada abad ke-7 menjadi pusat pengetahuan Buddhisme, selain Nalanda di India. Menjelang tampilnya Majapahit, Buddhisme kian tergeser oleh Hinduisme. “Kebudayaan yang kekurangan dewa telah digantikan oleh kebudayaan yang dihuni oleh dewa-dewa yang mewakili segala cabang kehidupan,” kata Taufik Abdullah dalam seminar bertema “Cross Cultural Fertilization: Sebuah Strategi Kebudayaan” di Universitas Paramadina, 28 Februari lalu.

  • Hilangnya Mutiara Hitam

    PERISTIWANYA terjadi nun jauh di negeri orang: Kongo. Namun di Labuan Batu, Sumatra Utara, buruh-buruh perkebunan marah. Mereka mengambil-alih perkebunan-perkebunan milik pengusaha Belgia di daerah Mrangir, Aek Paminke, Pernantian, Perlabian, Kanopan Ulu, Padang Halaban, Negeri Lama, dan Sennah. Aksi buruh itu tanpa disertai tindak kekerasan. Tak ada korban jiwa. Mereka juga melaporkan ke pihak berwajib setelah selesai aksi. Di Jawa Barat, aksi serupa gagal. Pangdam Siliwangi Ibrahim Adjie keburu mengeluarkan larangan. “Terhadap perbuatan-perbuatan yang demikian dapat diambil tindakan sesuai dengan ketentuan undang-undang/peraturan-peraturan yang ada dan berlaku bagi Penguasa Keadaan Bahaya,” tulis Pikiran Rakjat , 23 Maret 1961.

  • Presiden Sepuluh Hari

    “Saya bukan ragu-ragu, tapi mata saya memandang laut. Dan telinga saya mengarah ke udara... (Siapa tahu) kalau-kalau tentara Indonesia datang menyerbu.” Begitu Francisco Xavier do Amaral berkisah kepada Radio Nederland pertengahan 1995, ketika menceritakan momen-momen saat dia, pada 28 Nopember 1975 pukul 22.00, hendak membacakan proklamasi kemerdekaan Republik Demokratik Timor-Leste (RDTL). Francisco Xavier do Amaral –akrab disapa Pak Xavier– terlahir di Turiscal, distrik Manufahi pada 1937, tutup usia karena mengidap kanker pada 6 Maret 2012 di sebuah rumah sakit di Dili, Timor Leste.

  • Kisah Pemburu Kepala

    Marco Polo, avonturir dari Italia, hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya di Perlak, bagian utara Sumatra, pada 1292. Di sana, dia melihat penduduk yang tinggal di pegunungan memakan daging manusia. Sangat berlawanan dengan penduduk yang tinggal di kota Perlak, di mana masyarakatnya lebih beradab, bahkan setelah berhubungan dengan pedagang-pedagang Islam, mereka berpindah dari menyembah berhala menjadi pengikut ajaran Muhammad. Dia menuliskan itu dalam catatan perjalanannya. Dia tahu catatannya akan mengejutkan, dan mungkin tak dipercaya banyak orang. Karena itu, dia sampai bersumpah untuk meyakinkan pembacanya.

  • Menyusuri Venesia dari Timur

    JIKA kita berkunjung ke Kali Besar menjelang sore hari, sesekali sebuah perahu melintasi kali. Bukan perahu pedagang, melainkan perahu kayu kecil, dinakhodai seorang lelaki yang sibuk “memancing” sampah dengan ganconya. Kegemerlapan Kali Besar sudah lama hilang. Tak ada lagi pemandangan seperti abad ke-17-18 saat noni-noni atau nyai Belanda melintas dengan pakaian serbamewah di atas kereta kudanya. Kini, cuma ada pemandangan kendaraan umum seperti bajaj dan mikrolet yang terjebak kemacetan lalu-lintas. Orang Belanda menyebut Kali Besar di tepian muara Sungai Ciliwung ini dengan nama De Groote Rivier .

  • Bukan Sembarang Syahbandar

    BANTEN, 1670-an. Sebuah junk besar asal Tiongkok mendarat di pelabuhan dengan membawa 10 ton emas, benang, sutra, uang kepeng, dan produk-produk mewah lainnya. Junk itu merupakan bagian dari rombongan junk besar milik “raja kapal” asal Tiongkok, Koxinga atau Guo Xing-ye. Dia adalah konglomerat Tiongkok pendukung Dinasti Ming yang lari ke Taiwan dan mendirikan basis bagi simpatisan anti-Dinasti Qing. Orang-orang Belanda, yang mendukung Dinasti Qing setelah menggulingkan Dinasti Ming, memusuhi Koxinga. Namun junk Koxinga bisa mendarat lantaran pembelaan Kaytsu, syahbandar dan orang kepercayaan Sultan Ageng Tirtayasa, dan jaminan dari Kyai Ngabehi Cakradana  (Tantseko), mantan bawahan Kaytsu.

  • Pesan Terakhir Nabi

    DALAM sejarah Islam, yang dianggap sebagai pesan terakhir Nabi Muhammad Saw adalah khotbah beliau tatkala Haji Wada atau haji penghabisan pada 9 Zulhijah 10 Hijriyah atau 7 Maret 632. Namun kemudian beredar surat peringatan terakhir Nabi dari Mekah di Nusantara.  “Sebuah terjemahan peringatan semacam itu (dalam bahasa Sunda) pernah jatuh di tangan saya,” kata Snouck Hurgronje dalam Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje.  “Dikatakan bahwa tulisan itu diumumkan oleh Raja di Mekah atas perintah Nabi pada permulaan abad ke-13 Hijriyah.”

  • Pelukis Istana Asal Negeri Sutera

    PERJALANAN hidup membawanya tinggal di Indonesia. Ini bermula ketika Lee Ling Khai, ayahnya, seorang pejuang kemerdekaan China, membawa istri dan anak-anaknya, termasuk Lee Man Fong yang masih berusia empat tahun, meninggalkan negeri leluhur untuk merantau ke Singapura. Di sana Ling Khai merintis bisnis dagang dan berhasil meraih sukses berkat bantuan seorang sahabat bernama Dr Sun Chung-Shan –nama lain dari Dr Sun Yat Sen. Lee Man Fong, lahir di kota Guangzhou, China, pada 14 November 1913, sempat mengenyam pendidikan di Anglo-Chinese School dan belajar melukis pada seorang guru bernama Lingnan. Tapi jiwa pejuang ayahnya sepertinya belum padam meski tinggal di negeri orang. Ling Khai terlibat dalam dunia politik yang membangkrutkan bisnisnya, dan akhirnya meninggal dunia karena sakit pada 1929. Hidup menjadi pertarungan sesungguhnya bagi Man Fong, yang menggunakan keahliannya menggambar untuk menafkahi ibu dan ketujuh saudaranya. Sayang, hasilnya tak pernah mencukupi.

bottom of page