Hasil pencarian
9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Candi Misterius di Pedalaman Sumatra
Ignatius Suharno, arkeolog dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi, menunjukkan sebuah peta yang berisi titik-titik merah dan garis meliuk-liuk biru. Ia menjelaskan titik-titik merah itu mewakili candi dan garis biru mewakili kanal-kanal yang melingkupinya. Ada sekira sebelas kompleks candi yang tersebar di kawasan seluas 3000-an ha. Itu baru jumlah yang sudah dinamai dan dibuka untuk pengunjung. Selain itu masih ada puluhan gundukan tanah yang diduga di dalamnya menyimpan struktur bangunan kuno. "Ada 80-an menapo atau gundukan tanah yang mengandung reruntuhan bangunan kuno," kata Suharno, ketika ditemui di kawasan Candi Tinggi, salah satu candi dalam gugusan Kompleks Percandian Muarajambi, di Muaro Jambi, Jambi. Candi yang sudah nampak dan punya nama panggilan di antaranya Candi Kotomahligai, Kedaton, Gedong Satu, Gedong Dua, Gumpung, Tinggi, Telago Rajo, Kembar Batu, dan Candi Astano. Datuk Ibrahim Akbar, mantan Kepala Desa Muaro Jambi tahun 1980-an, menyebut nama-nama itu merupakan ciptaan masyarakat sekitar candi. Candi Tinggi misalnya, dinamai begitu karena masyarakat melihat candi itu berupa gundukan tanah yang paling tinggi di antara lainnya. Kendati begitu, pria berusia 73 tahun itu, belum lahir ketika akhirnya candi-candi di sana ditemukan kembali. Ia hanya mendengar cerita itu dari para pendahulunya. Candi-candi di Muaro Jambi mulai ditemukan pada 1820 oleh seorang perwira Angkatan Laut Kerajaan Inggris bernama S.C. Crooke. Setelahnya berbagai penelitian pun dilakukan. Pada 1954, akeolog R. Soekmono melakukan peninjauan terhadap peninggalan purbakala di Sumatra Selatan. Ia lalu mampir ke Muaro Jambi yang dulunya masih menjadi bagian wilayah itu. Tempat-tempat yang dikunjungi antara lain Candi Astano, Gumpung, dan Tinggi. Ketiganya masih berupa gundukan tanah tertutup rapat vegetasi hutan. Pembersihan kawasan candi baru dilakukan pada 1976. Dari situ nampaklah tujuh reruntuhan candi: Kotomahligai, Kedaton, Gedong I, Gedong II, Gumpung, Tinggi, Kembarbatu, dan Astano. Pemugaran dilakukan dua tahun kemudian. Penelitian arkeologi mulai aktif dilakukan sejak 1981. Awalnya oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Lalu dilanjutkan Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi dan Balai Arkeologi Sumatra Selatan. “Dari dulu sudah tahu ini namanya candi, tapi tak tahulah untuk apa. Kerajaan tahunya. Tapi tak tahu ini kerajaan apa,” kata Ibrahim. Untuk Keagamaan dan Pendidikan Candi-candi di Muaro Jambi tersebar dari barat ke timur, sepanjang 7,5 km, mengikuti aliran Sungai Batanghari. Memang belum jelas betul dulunya bangunan-bangunan kuno itu dipakai untuk apa. Banyak peneliti yang mengaitkan sisa-sisa bangunan itu dengan mahavihara yang pernah didatangi oleh I-Tsing pada abad ke-7. Sementara Suharno, yang memelihara dan melestarikan kompleks percandian di Muaro Jambi menjelaskan, sejauh ini bangunan-bangunan kuno itu ditafsirkan pernah berfungsi sebagai pusat keagamaan. “Perlu dibedakan antara pusat kerajaan dan pusat keagamaan. Masyarakat kalau bicara candi, pikirnya pasti ini pusat kerajaan," katanya. "Padahal ini pusat keagamaan. Muarajambi ini pusat keagamaan Buddha." Tanda-tandanya, antara satu candi dan candi lainnya dibatasi oleh pagar keliling. Ini untuk membagi wilayah sakral dan profan. "Ada kolam, setiap candi pasti dilengkapi kolam. Air melambangkan kesucian," lanjutnya. Itu dikuatkan hasil penelitian Musawira, lulusan arkeologi Universitas Jambi. Khususnya di Candi Gumpung, dia melihat adanya bekas-bekas kegiatan agama pada masa lalu berupa temuan bata setengah lingkaran yang merupakan bagian dari stupa. Ada pula lantai pradaksina patha pada candi induknya. Pradaksina patha adalah lantai untuk melakukan ritual pradaksina, yaitu mengelilingi candi searah jarum jam. Di depan candi induk itu, ditemukan pula dua kolam. “Sebelum ritual mereka mensucikan diri, lalu mereka ke candi induk melakukan pradaksina . Kemungkinan yang di candi induk untuk para petinggi, nah yang di perwara (candi pendamping, red.) buat umat kebanyakan," kata Musawira. Sementara Asyhadi Mufsi Sadzali, arkeolog Universitas Jambi, ketika ditemui di Kompleks Percandian Muarajambi, mengatakan dengan banyaknya candi di dalam kompleks percandian itu, belum ada yang membahas masing-masing fungsinya. “Apakah terus digeneralisir? Kan harus dijawab masing-masing fungsinya. Belum ada sejauh ini,” katanya. Jika Candi Gumpung digunakan untuk kegiatan ibadah, bagaimana dengan Candi Kedaton yang memiliki begitu banyak ruang dan halaman? Di kompleks candi seluas 5 ha itu ditemukan pula sumur dan kuali kuno. “Di Kedaton, apakah itu asrama? Ada sumur, ada kuali di sana. Apakah biksu waktu itu memasak? Apakah mereka melibatkan warga lokal? Penyuplai beras siapa? Dari mana suplainya?” ujarnya. Kajian fungsi bangunan pernah dilakukan arkeolog Agus Widiatmoko dalam disertasinya. Kesimpulannya, bangunan yang berpagar sedikit, misalnya satu, diidentikan dengan bangunan keagamaan. “Pembagian ruang yang lebih banyak itu pendidikan. Apakah belajar atau asrama ini perlu dijawab,” kata Asyhadi. Namun, menurut pria yang akrab disapa Didi itu, penemuan arca Prajnaparamitha bisa dijadikan penguat pendapat itu. Tokoh itu identik sebagai Dewi Pengetahuan dan Kebijaksanaan. “Jadi relasinya dengan pengetahuan,” kata Asyhadi. Ada pula arca Dwarapala, atau arca penjaga yang ditemukan di Candi Gedong II. Di Muarajambi karakter penokohannya berbeda dengan di kebanyakan candi. “Di sini (Dwarapala, red .) senyum, tak ada seram-seramnya. Malah sangat welcome . Ini artinya mungkin menyambut bukannya menjaga sesuatu dengan seram,” lanjutnya. Pun dilihat dari lokasinya, menurut Asyhadi, gugusan Kompleks Percandian Muarajambi secara keseluruhan cocok sebagai tempat belajar atau berupa mahavihara . Dalam membangun mahavihara para pendirinya pasti memilih lokasi yang jauh dari keramaian. Kalau tak di gunung, maka di tengah hutan. “Untuk mencari tempat yang sunyi dan cocok untuk belajar, jauh dari godaan duniawi,” kata Asyhadi. “Kita lihat sekarang sungai ini (Batanghari, red .) begitu luas dan lebar. Bayangkan ribuan tahun lalu mungkin lebih lebar lagi, artinya akses lalu lalang susah dan jarang dilakukan.” Adapun gaya arsitektur candi di Kompleks Percandian Muarajambi yang polos dan sederhana bisa memperkuat dugaan kalau percandian itu memang berkaitan erat dengan pendidikan. “Kalau untuk peribadatan akan digunakan yang lebih raya. Namun lagi-lagi tulisan yang membahas ini secara spesifik belum ada,” kata Asyhadi.
- Belanda Kembalikan Ribuan Benda Bersejarah
Pada 20 November 2019 yang lalu sebanyak 1.499 benda seni dan bersejarah koleksi Museum Nusantara, Delft, Belanda diangkut menggunakan kapal laut dari pelabuhan Rotterdam, Belanda menuju pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Pemulangan tersebut merupakan hasil kesepakatan pemerintah Belanda dengan pemerintah Indonesia yang prosesnya telah dimulai sejak 2015. Sebulan kemudian, pada 24 Desember, benda-benda hasil repatriasi Belanda ke Indonesia tersebut tiba di Museum Nasional Indonesia, Jakarta. Sebelum 1499 benda tersebut tiba di tanah air, sebilah keris Bugis telah diserahkan terlebih dahulu oleh Perdana Menteri Belanda Mark Rutte kepada Presiden Joko Widodo dalam kunjungan resminya ke Indonesia 23 November 2016 yang lalu. Keris tersebut menggenapi jumlah benda-benda seni dan bersejarah yang dikembalikan menjadi 1500. Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Hilmar Farid dalam konferensi pers di Museum Nasional, Kamis, 2 Januari 2020, menyebut repatriasi kali ini merupakan yang terbesar dan bersejarah. 1499 benda koleksi Museum Nusantara, Belanda telah sampai di Museum Nasional 24 Desember 2019 lalu. (Fernando Randy/Historia). “Sebanyak itu, sejumlah 1500 ini untuk pertama kalinya dalam sejarah kita. Jadi ini momen yang sangat bersejarah dan kita ingin membagi kepada publik momen bersejarah ini,” ungkapnya. Hilmar berharap repatriasi kali ini juga bisa membuka jalan bagi pengembalian sejumlah benda di museum-museum lain di Eropa. Pasalnya, di Eropa juga sedang ramai dengan wacana pengembalian koleksi-koleksi museum yang diperoleh secara tidak sah. Hilmar juga menegaskan bahwa repatriasi ini, "bukan semata-mata mengembalikan (benda koleksi). Persoalan kita (untuk) memperluas akses publik." Museum Nusantara di Delft sendiri merupakan tempat penyimpanan benda-benda seni dan bersejarah yang berasal dari kepulauan Nusantara. Benda-benda tersebut menjadi bahan pembelajaran bagi para calon birokrat Belanda yang akan dikirim ke Hindia Belanda pada masa kolonial. Pada masa itu, orang-orang yang kembali dari Hindia Belanda membawa benda-benda tersebut dan diberikan kepada museum. Namun, sebagian juga ada yang menjadi koleksi pribadi. Sebagian koleksi belum lengkap datanya sehingga memerlukan kajian lebih lanjut. (Fernando Randy/Historia). Tidak semua koleksi dari Museum Nusantara adalah rampasan perang maupun hasil jarahan. Sebagian koleksi merupakan hasil pemberian secara sukarela maupun dibeli atas kesepakatan yang sah. Pada 2013 ketika Eropa dilanda krisis ekonomi, sebagai langkah penghematan, museum yang telah berdiri sejak 1911 itu terpaksa tutup. “(Untuk) koleksinya, pilihanya kemudian apakah dijual, atau dikasih ke museum lain, atau dikembalikan ke Indonesia. Nah kita adalah salah satu opsi tersebut. Dan kita yang secara aktif menyambut tawaran itu,“ ujar Hilmar Farid. Namun, tidak semua koleksi dari Museum Nusantara dikembalikan ke Indonesia. Banyak pula koleksi yang sudah rusak dan tidak sesuai dengan kebutuhan Museum Nasional. “Banyak yang rusak, banyak yang tidak lengkap, itu memang tidak kita pilih. Berdasarkan pertimbangan konservasi, kemudian storyline , kita butuhkan itu. Dari semula 11.000 yang ditargetkan akhirnya sepakat dengan 1500 tadi dengan kondisi yang baik,” jelas Gunawan, Kepala Seksi Registrasi Museum Nasional. Kepala Bidang Pengkajian dan Pengumpulan, Nusi Lisabila Estudiantin, menyebut nantinya benda-benda tersebut akan diklasifikasikan dalam tujuh kelompok yakni prasejarah, etnografi, arkeologi, numismatik dan heraldik, geografi, keramik dan sejarah. Koleksi-koleksi yang dikembalikan telah dipilih sesuai kebutuhan Museum Nasional. (Fernando Randy/Historia). Koleksi tekstil menjadi yang paling banyak jumlahnya. Disusul wayang kulit dan wayang golek, mata uang, litografi, foto, perhiasan, dan senjata. Terdapat pula beberapa model perahu, model rumah adat hingga figurine abad 13 hingga 14 dari Kerajaaan Majapahit. Dari semua koleksi, sebuah kapak berusia sekitar 5000-1000 sebelum masehi (SM) yang berasal dari Kalimantan menjadi koleksi tertua. Sementara koleksi paling muda berasal dari tahun 1940-an. Sebagian koleksi belum memiliki data asal usulnya secara rinci. “Banyak koleksi yang belum jelas provenance -nya (asal usulnya). Perlu kajian khusus untuk memperdalam informasi koleksi itu sendiri,” jelas Nusi. Seluruh koleksi baru ini ditaksir bernilai 1,1 juta Euro atau sekitar 17 milyar Rupiah. Namun nilai ini bukan dalam konteks kepentingan jual beli melainkan untuk memastikan nilai dari asuransi yang harus dikenakan. Untuk menyambut koleksi-koleksi baru ini, Museum Nasional telah menyiapkan gedung baru yang akan menjadi storage Museum Nasional di belakang Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Beberapa koleksi memerlukan perawatan khusus agar tidak rusak karena perbedaan iklim. (Fernando Randy/Historia). “Nanti akan ada untuk pelatihan konservasi, sekolah konservasi, untuk museum-museum di Indonesia dari sana. Semacam workshop ,” ujar Siswanto, Kepala Museum Nasional. Museum Nasional juga mengupayakan agar koleksi-koleksi baru ini bisa beradaptasi dengan perbedaan suhu di Eropa dan Indonesia dengan mengatur iklim mikro tempat penyimpanan. “Benda-benda yang selama ini berada di iklim Eropa (supaya) bisa kembali beradaptasi dengan iklim tropis meskipun sebenarnya awalnya dari sini,” sebut Ita Yulita, Kepala Bidang Perawatan dan Pengawetan. Setelah dilakukan kajian konten dan kajian konservasi, M useum Nasional akan menggelar pameran untuk koleksi-koleksi baru ini pada Juni mendatang .
- Arief Sopir Bung Karno
DI luar politisi, tokoh pergerakan dan pengusaha, mungkin hanya Arief orang terdekat dari Presiden Sukarno. Sebagai supir pribadi Bung Karno, Arief terlihat tidak pernah merasa canggung jika berhadapan dengan sang presiden, dalam situasi apapun. Kedekatan itu terlihat nyata jika keduanya sedang terlibat suatu pembicaraan. “Saya sendiri belum pernah melihat Bung Karno marah kepada Pak Arief…” ujar H. Mangil Martowidjojo, ajudan setia Presiden Sukarno sejak 1945. Dalam buku Kesaksian Tentang Bung Karno 1945-1967 , Mangil berkisah, pada sekira akhir 1945 Bung Karno mengunjungi Garut dan berpidato di Lapangan Cisurupan. Begitu selesai, Bung Karno langsung menaiki mobilnya namun tetiba turun kembali karena didapatinya Arief belum ada di belakang setir. Dia lantas menyuruh beberapa ajudannya untuk mencari Arief. Beberapa menit kemudian, Arief datang diiringi para ajudan. Dengan tenang dia kemudian masuk ke bagian depan mobil dan setelah semua rombongan berada di dalam mobil, Arief pun perlahan menjalankan kendaraan tersebut. “Rif, kau dari mana saja?” tegur Bung Karno. Alih-alih merasa gugup, dengan tenang Arief menjawab pertanyaan sang presiden: “Dari ngopi ,Tuan. Habis mulai pagi, saya belum minum kopi. Ajudan tidak ngurusi saya. Dan saya kalau belum ngopi , bisa ngantuk di jalan dan bisa kecelakaan. Di dalam mobil, saya yang tanggungjawab sama Tuan, bukan pengawal. Pengawal kan (bertanggungjawab) kalau ada bahaya serangan, itu baru tugas pengawal.” Mendapat jawaban panjang lebar dari Arief, Bung Karno pun diam seribu bahasa. Namun sesampai di Jakarta, Bung Karno secara tegas memerintahkan kepada para ajudan untuk selalu memperhatikan semua sopir yang mengikuti konvoi. Dalam perjalanan lain, Bung Karno merasa terganggu dengan suara berisik yang berasal dari badan mobil. Padahal semua orang tahu, jika sebuah mobil dinaiki oleh Bung Karno maka tidak boleh sama sekali ada suara berisik. Sang presiden bisa ngomel-ngomel . “Rif, ini apa yang berisik?” tanya Bung Karno. “Mobilnya, Tuan,” jawab Arief kalem. “Kenapa tidak kau cari yang berisik itu dan kau betulkan?” “Dicari sih sudah, Tuan. Tetapi belum ketemu. Orang namanya besi beradu sama besi, ya tentunya berisik sekali, Tuan.” Mendapat penjelasan dari Arief, Bung Karno pun tidak lagi rewel. * Arief memang tidak satu atau dua tahun mengenal Bung Karno. Dia sudah bergaul rapat dengan Si Bung sejak dirinya masih berprofesi sebagai supir taksi pada 1930-an di Batavia. Bahkan bisa dikatakan, taksi yang dikemudikan Arief adalah langganan Bung Karno jika dirinya tengah berkunjung ke Gang Kenari, kediamannya tokoh pergerakan asal tanah Betawi: Husni Thamrin. Awal-awal mengantarkan Bung Karno ke Gang Kenari, Arief tadinya mengira Si Bung adalah seorang sinyo yang sedang berkunjung ke rumah pacarnya. Namun lambat laun dia tahu bahwa tujuan langganannya itu ke Gang Kenari adalah untuk menjumpai Husni Thamrin. “Tentunya pemuda tampan itu juga adalah seorang tokoh pergerakan,” pikir Arief seperti tertuang dalam buku Menyingkap Tabir Bung Karno karya Anjar Any. Begitu seringnya Bung Karno menggunakan jasa Arief, hingga muncul keakraban di antara keduanya. Tak jarang sepanjang perjalanan Stasiun Gambir-Gang Kenari, Bung Karno bercerita tentang situasi politik terkini dan betapa tamaknya kekuasaan kolonial mengeksploitasi tanah Hindia. Di sepanjang perjalanan itu pula, Arief yang lugu jadi mengenal apa itu marhaenisme, kejamnya kapitalisme dan bengisnya imperialisme. Juga soal betapa perlunya orang-orang Hindia bangkit menjadi bangsa yang merdeka. “Kita harus sadar bahwa kita ini bukan bangsa tempe, Arief…” ujar Bung Karno pada suatu perjalanan ke Gang Kenari. Arief mangut-mangut, sementara Si Bung terus berceloteh tentang kedegilan pemerintah Hindia Belanda. Dan tak terasa taksi sudah mencapai Gang Kenari. Pintu mobil dibuka dan Bung Karno pun keluar. Dia kemudian menjulurkan sebagian kepalanya ke dalam mobil lewat kaca jendela depan. Sambil tersenyum dia berkata: “Rif, biasa… Ngutang dulu ya…” “ Nggak apa-apa, Bung. Lalu besok dijemput?” “Ya besok dijemput juga di tempat ini. Jangan lupa besok pun masih ngutang lagi,” ujar Bung Karno seraya menepuk pundak Arief. “Bung jangan berkata itu terus. Bikin malu saja.Sampai besok pagi, Bung!” kata Arief sambil menjalankan mobilnya lagi menuju Stasiun Gambir. * Pagi sekali, Arief sudah menyusuri jalanan Batavia yang masih sepi. Bukan menuju Stasiun Gambir tempat dia biasa mangkal, tapi langsung ke Gang Kenari. Namun betapa terkejutnya Arief saat sampai di sana, orang-orang membicarakan penangkapan langganannya itu malam tadi oleh polisi. Entah mengapa, mendengar berita itu, Arief merasa sedih. Ketika dia sibuk mencari rezeki untuk kepentingan perut sendiri, seorang pejuang yang memperjuangkan nasib bangsanya, harus meringkuk di dalam penjara. Demikian Arief merenung. Sejak itu, Arief tak pernah lagi bertemu dengan Sukarno. Dari selentingan berita, dia mendengar pemuda tampan yang dikaguminya itu sudah meninggalkan tanah Jawa. Ya Gubernur Jenderal B.C. de Jonge tanpa ampun membuang sahabatnya itu ke tanah Ende di Pulau Flores, demi membuat Hindia Belanda tidak berisik oleh celotehannya di atas podium. * Beberapa tahun kemudian. Suatu malam, ketika militer Jepang baru saja berkuasa, seorang lelaki jangkung datang ke rumahnya. Di depan pintu dia tersenyum lebar sambil menyorongkan tangannya ke arah Arief. “Apa kabarnya, Rif?” katanya. Arief baru sadar bahwa itu adalah Sukarno. Dengan gembira dipeluknya lelaki yang usianya tak begitu jauh dari dirinya itu. Sukarno hanya tertawa. Sukarno lantas secara singkat mengisahkan cerita hidupnya selama menghilang dari tanah Jawa. Tak lupa dia pun melunasi seluruh utang-utangnya kepada Arief. “Sekarang, apakah kamu mau bekerja dengan saya?” kata Bung Karno. Singkat cerita, Arief menyanggupi ajakan sahabat lamanya itu. Dia kemudian menjadi sopir pribadi Bung Karno dan ikut terlibat dalam arus revolusi bangsanya, termasuk saat dia menyediakan sebatang bambu untuk mengerek bendera Merah Putih pada saat proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan pada 17 Agustus 1945. Sejak itulah, Arief tak pernah berpisah lagi dengan Si Bung. Suka-duka dilaluinya bersama-sama. Hingga pada 1960, dia menyatakan kepada sahabatnya itu bahwa dirinya tidak sanggup menyopir lagi. Sebagai bentuk rasa terimakasih, Presiden Sukarno kemudian menghadiahi Arief untuk pergi haji. Demikianlah sejumput kisah Arief, sopir pribadi sekaligus sahabat setia Bung Karno.
- Petualangan Jurnalis Bernama Gadis
SABTU, 18 September 1948. Insiden Madiun meletus. Pemerintah Sukarno-Hatta menugaskan Divisi Siliwangi untuk secepatnya menangani gerakan yang dipelopori oleh Moeso, Amir Syarifudin, Soemarsono dan tokoh-tokoh kiri lainnya. Bergeraklah batalyon-batalyon Siliwangi yang ada di bawah komando Brigade II pimpinan Letnan Kolonel Sadikin menuju Madiun. Salah satu batalyon itu adalah Yon Kian Santang pimpinan Mayor Sambas Atmadinata. Menurut Himawan Soetanto dalam Perintah Presiden Sukarno: Rebut Kembali Madiun! , pasukan itu bergerak melalui Tawangmangu dengan menggunakan puluhan truk. Di antara prajurit-prajurit yang siap bertempur itu, terseliplah seorang perempuan muda bernama Gadis Rasid, jurnalis dari tabloid Mingguan Siasat . “Ia adalah pemberani; sebagai seorang wanita kadang-kadang turut dengan pasukan terdepan, berjalan kaki sehingga menghabiskan telapak sepatunya,” ujar Mayor Sambas seperti dikutip oleh A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid VIII: Pemberontakan PKI 1948 . Menurut Sambas, Gadis adalah saksi satu-satunya dari kalangan sipil yang mengalami secara langsung pertempuran-pertempuran seru antara pasukan Siliwangi dengan Tentara Merah (sebutan untuk pasukan-pasukan yang tergabung dalam Front Demokrasi Rakyat). Sebagai jurnalis yang melekat ( embedded) , dia tahu bagaimana baik-buruknya operasi penumpasan. Termasuk harus menyaksikan berbagai pembantaian demi pembantaian akibat perang saudara itu. Salah satu “kegilaan perang” yang tak pernah dia lupakan adalah saat dirinya ikut bergerak memasuki sebuah kampung di Madiun bernama Gorang-Gareng. Ceritanya, saat memasuki pertengahan kampung mendekati sebuah pabrik gula, tetiba Gadis dikejutkan oleh teriakan seorang prajurit di depannya. “Tolong! Tolong! Palang Merah harap segera datang!” ujarnya. Bukannya merasa gentar, mendengar teriakan itu, Gadis malah bergegas mengikuti para petugas Palang Merah menuju komplek perumahan pabrik gula sesuai petunjuk sang prajurit. Nampaklah sebuah rumah yang terlihat lenggang. “Tuh lihatlah. Maaf saya harus jalan terus,” kata si prajurit. Seperti dikisahkan Gadis dalam majalah Kartini edisi 11-24 Februari 1985, begitu sampai di rumah itu, mereka melihat pemandangan yang sangat mengerikan: tumpukan tubuh manusia disertai genangan darah yang masih segar di lantai. Ada yang sudah tidak bernyawa lagi, ada yang meraung kesakitan, ada yang perutnya tertembus peluru hingga usus-usus mereka terburai dan ada yang wajahnya sama sekali tak bisa dikenal karena dipenuhi luka dan darah. “Lama-lama saya tak tahan juga dan segera mencari tempat yang sunyi guna menenangkan rasa gugup saya,” kenang perempuan yang lahir di Bangkinang pada 1923 itu. Dalam suasana yang menggetirkan itu, tak lama kemudian Gadis melihat seorang lelaki muncul dari tempat persembunyian. Dia menceritakan bahwa tubuh-tubuh yang tergeletak menyedihkan itu adalah para pegawai negeri, guru sekolah, polisi dan tentara yang menolak untuk ikut Tentara Merah. Saat para Tentara Merah itu mendengar kabar bahwa Siliwangi tengah bergerak ke arah pabrik gula, mereka langsung melarikan diri. Namun sebelum pergi, mereka secara membabibuta menembaki seluruh tawanan. Sang saksi sendiri berhasil lolos dari maut karena saat terjadi pembantaian dia berhasil sembunyi di balik sebuah meja dan pura-pura mati. Setelah menyaksikan kejadian itu, Gadis sempat merasa trauma. Bayangan mayat bergelimpangan dan suara orang merintih-rintih seolah tinggal di dalam benaknya. Situasi itu berlangsung berhari-hari dan membuatnya tak nyaman. “Beberapa malam setelah (kejadian) itu, saya selalu mimpi menakutkan,” ujarnya seperti yang pernah disampaikan kepada Ami Wahyu dalam majalah Femina No.16 Tahun 1987. Namun bukan berarti situasi itu menjadikan Gadis kapok. Alih-alih menghindar, sejak itu dia malah kerap terlihat dalam berbagai palagan di era Perang Kemerdekaan (1945-1949), termasuk saat dirinya harus masuk ke “sarang” para gerilyawan Republik di wilayah Cianjur utara. Laporan-laporan Gadis pun tak pernah absen mengisahkan kondisi rakyat kecil di tengah peperangan dan perjuangan mereka untuk lepas dari cengkaraman penjajahan. Nama Gadis kemudian berkibar sebagai jurnalis perempuan mumpuni di zamannya. Usai perang, petualangan ibu dari Ratna Apisa itu terus berlanjut. Saat bertugas itulah, berbagai negara dia pernah kunjungi termasuk Uni Sovyet dan Amerika Serikat, dua negara yang menjadi biang Perang Dingin. Ketika Presiden Sukarno menerapkan sistem demokrasi terpimpin, Gadis merasakannya sebagai masa-masa suram bagi karier kewartawanannya. Dia merasa tidak cocok jika harus larut dalam jargon “pers terpimpin” dan “pers nasakom”. “Saya memutuskan untuk berhenti menjadi wartawan dan mencari hidup yang lebih aman dan tenteram,”ungkapnya dalam Wartawan Wanita Berkisah . Tetapi jurnalis tetaplah jurnalis. Panggilan untuk meliput dan menulis tetiba muncul kembali dalam dirinya ketika Indonesia digonjang-ganjing berbagai demonstrasi pasca Insiden Gerakan 30 September 1965. “Diam-diam saya menjadi asisten beberapa wartawan luar negeri yang beroperasi di sini. Di antaranya adalah Christians Science Monitor, New York Times dan UPI ,” ungkap Gadis. Memasuki 1966, terjadi pengusiran besar-besaran yang dilakukan oleh Presiden Sukarno terhadap jurnalis-jurnalis asing terutama dari Amerika Serikat. Hanya 3 jurnalis Barat yang tinggal di Jakarta. Mereka adalah Fred Emery dari London Times , Don North dari Canada Broadcasting dan John Hughes dari Christians Science Monitor. Untuk ketiganya, Gadis pernah sangat berjasa besar. Kendati hanya seorang asisten, kerja-kerja jurnalistik Gadis selalu dilaksanakan secara maksimal. Bahkan bisa dikatakan, untuk narasumber-narasumber utama, dialah yang kerap mewawancarainya secara langsung. Tentu saja itu bisa terwujud karena akses jejaring Gadis yang sangat luas di kalangan para politisi dan jenderal-jenderal Indonesia. Tidak hanya mewawancarai, Gadis pun termasuk sangat rajin turun meliput berbagai demonstrasi mahasiswa. Tak jarang saat melakukan tugas itu, dia harus menyerempet-nyerempet bahaya seperti harus rela ikut kena gebuk popor bedil para serdadu dari Resimen Tjakrabirawa. Hasil liputan kolaborasi itulah yang kemudian dibaca banyak orang di Eropa dan Amerika Serikat. Bahkan berkat laporan-laporan dari Indonesia itulah, pada 1967, John Hughes berhasil meraih Pullitzer Prize, penghargaan bergengsi untuk karya-karya jurnalistik kelas dunia. Belakangan Hughes membukukan kumpulan hasil reportase-nya itu dalam sebuah judul: Indonesian Upheaval (Pergolakan Orang-Orang Indonesia). Bayangkan jika Hughes tak memiliki asisten selincah Gadis Rasid…
- Pertempuran Berdarah di Bukit Mardinding
HARI Natal 25 Desember 1948 bukanlah hari yang santai bagi Komandan Resimen IV Divisi X TNI, Letkol Djamin Gintings. Sebagai umat Kristen, sedianya Djamin merayakan hari raya dan mengumandangkan kidung pujian di gereja. Begitu pula pasukannya yang mayoritas beragama Kristen. Namun, hari itu sang komandan justru mengumumkan keadaan bahaya. Siaran Radio Yogyakarta memberitakan agresi militer Belanda untuk kali kedua. Sejumlah pejabat tinggi Republik ditangkapi, termasuk Presiden Sukarno dan wakilnya, Bung Hatta. Selain itu, tersiar kabar daerah Sektor III di bawah pimpinan Mayor Selamat Ginting sudah diserang Belanda. “Saya masih belum mendapat perintah dari atasan langsung (Divisi X) tindakan apa yang harus dijalankan. Tetapi demi keselamatan Negara Republik Indonesia saya merasa bertanggung jawab penuh untuk memulai penyerangan terhadap Belanda,” kenang Djamin Gintings dalam catatan hariannya yang kemudian diterbitkan dalam otobiografi Dari Titi Bambu ke Bukit Kadir . Bersiap untuk Perang Djamin Gintings mengumpulkan seluruh anggota Resimen IV. Disampaikannya misi rahasia untuk melancarkan serangan ke basis tentara Belanda. Menurutnya operasi ini diperlukan sebagai strategi bertahan sekaligus memberi efek kejut bagi Belanda. Langkah ini diambil sebab basis Resimen IV di Tanah Alas, Kuta Cane yang menjadi pintu gerbang menuju Aceh masih belum diduduki Belanda. Sementara Aceh merupakan benteng pertahanan terakhir Republik yang belum disentuh Belanda. “Para Prajurit, Bintara, dan Perwira,” kata Djamin memulai pidatonya, “Saya selaku Komandan Resimen IV memikul pertanggungjawaban ini dan memerintahkan kepada saudara-saudara untuk menyerang daerah yang diduduki Belanda sebelum Belanda menyerang daerah kita. Pertama, kita duduki Mardinding dan Lau Beleng.” Desa Mardinding yang menjadi sasaran penyerangan terletak di Kabupaten Karo. Menurut A.R. Surbakti dalam Perang Kemerdekaan di Karo Area , Belanda telah menduduki Desa Mardinding sejak awal 1948 sebagai buntut dari Perjanjian Renville. Di sana, Belanda menjadikan rumah besar milik kepala desa sebagai tangsi tempat bertolak patroli mereka. Adapun kekuatan pasukan Belanda di Mardinding sebagaimana tercatat dalam Kadet Brastagi yang dikutip Arifin Pulungan dari Achter de Sinabung: schint toch de zon, terdiri dari satu grup kesatuan mortir, satu seksi (penembak) Vickers, 15 orang Barisan Pengawal. Sedangkan komandannya ialah Sersan Ritzer dari Peleton Mortir. Rumah besar yang dijadikan tangsi dan pos tentara Belanda di Mardinding. (Foto: Repro buku "Kadet Brastagi".) Tugas untuk melancarkan serangan tiba-tiba ke tangsi itu diembankan kepada Batalion XV di bawah pimpinan Kapten Nelang Sembiring. Formasi serangan terbagi atas tiga kompi: Kompi 1dipimpin oleh Letnan I Oroh, Kompi 2 dipimpin oleh Letnan I Rimrim Ginting, Kompi 3 dipimpin oleh Letnan II Radja Sjahnan. Pada 28 Desember 1948, rombongan pasukan tiba di puncak Bukit Mardinding pukul 02.00 pagi. Untuk persiapan serangan, setiap kompi di sebar ke berbagai penjuru. Kompi 1 mengambil posisi sayap kanan, Kompi 2 di bagian tengah, Kompi 3 di sayap kiri, dan di atas bukit bersiaga pasukan mortir yang dipimpin Letnan Laban. Sementara itu, masing-masing kompi di bagi lagi dalam tiga seksi. Direncanakan, serangan dilancarkan secara serentak untuk memberi efek kejut yang lebih besar. Setiap pasukan tidak diperkenankan melepaskan tembakan sebelum aba-aba tembakan dari komandan Kompi 1. Untuk memastikan itu semua, masing-masing kompi mengirimkan kurir yang melaporkan kesiapan kompinya. Waktu penyerangan ditentukan: pukul 13.00 siang. Tembakan Tanpa Perintah Jarak antara pasukan penyerang dengan pos tentara Belanda cukup dekat, sekitar 50 meter. Dalam amatan tim pengintai, tampak sekumpulan tentara Belanda sedang asyik bermain bola di tanah lapang dekat tangsi. Mereka terlihat seperti mangsa empuk. Namun sebelum waktu yang ditentukan, tiba-tiba meletus sebuah tembakan dari seksi pasukan yang dipimpin Letnan Djohan. Menurut Djamin Gintings, seksi Djohan sebenarnya tidak masuk ke dalam formasi penyerangan. Oleh karena itu, Letnan Djohan berikut seksinya diminta supaya jangan terlalu mendekati posisi musuh. Tetapi mereka terus bergerak melalui kedai-kedai penduduk yang digunakan sebagai pelindung. Saat itulah beberapa tentara Belanda yang hendak kencing di belakang warung mendapati keberadaan pasukan Letnan Djohan. Sontak saja Letnan Djohan melepaskan dua tembakan. Seorang tentara Belanda tersungkur dan tewas sedangkan yang lainnya segera kabur menyelamatkan diri menuju pos dan tangsi mereka. Tembakan tanpa perintah itulah yang memulai jalannya pertempuran. Selama setengah jam, pasukan TNI melepaskan bertubi-tubi tembakan yang membuat sekumpulan tentara Belanda kocar-kacir. Kendati demikian, pihak Belanda masih menangguhkan balasan. Melihat tentara Belanda yang pasif, Komandan Seksi 2 dari Kompi 1, Letnan Kadir Saragih mengerahkan pasukannya untuk maju menyerbu. Pada saat yang sama, tentara Belanda keluar dari tangsi persembunyian. Sewaktu tembak-menembak berlangsung, terdengar deru tank dan panser Belanda yang langsung melepaskan peluru ke arah pasukan TNI. Terjangan tank dan panser itu diikuti dengan serangan mortir yang memuntahkan pelurunya berpuluh kali lipat ke Bukit Mardinding. “Rupanya Belanda menunggu pasukan kita berada di posisi itu baru memulai tembakan balasan,” catat Djamin Gintings. Pertempuran yang berlangsung selama berjam-jam itu berhenti pada pukul 17.00 sore. Pasukan TNI diperintahkan mundur ke perbukitan untuk menghindari tekanan panser dan tank Belanda. Pada pukul 21.00 malam pasukan tiba di puncak bukit. Djamin Gintings kemudian memutuskan untuk melanjutkan pertempuran dengan mengguakan taktik gerilya. Sebanyak 8 prajurit TNI gugur dalam pertempuran itu, termasuk Letnan Kadir Saragih yang dimakamkan di Bukit Mardinding. Sementara di pihak Belanda, menurut berita dari penduduk setempat yang tercatat dalam Sejarah Perjuangan Komando Daerah Militer II Bukit Barisan , disebutkan 8 orang yang tewas. Untuk mengenang keberanian Letnan Kadir, Letkol Djamin Gintings menamakan puncak Bukit Mardinding dengan nama Bukit Kadir.
- Dua Wali dalam Konflik Demak
KEMATIAN penguasa Demak Sultan Tranggana,pada 1546 menjadi mula permasalahan muncul di Jipang dan Pajang. Kedua wilayah di Jawa Tengah itu sama-sama menuntut hak atas takhta Demak. Aria Panangsang, keponakan Sultan Tranggana, yang memerintah Jipang berusaha menguasai salah satu kerajaan Islam terbesar di Jawa tersebut. Namun penguasa Pajang, Jaka Tingkir, menghalangi usahanya. Konflik pun meluas. Diceritakan Serat Kandha , Jaka Tingkir adalah menantu Sultan Tranggana. Secara keturunan jelas ia tidak memiliki hak apapun atas Demak. Tetapi tidak lama setelah pemakaman Sultan Tranggana, Jaka Tingkir mengumumkan kekuasaannya di Demak. Pengangkatan mendadak Jaka Tingkir itu dilakukan berdasarkan pilihan rakyat Demak. Ia lalu memerintahkan agar pemerintahan Demak dipindah ke Pajang. Seluruh benda-benda pusaka di Demak juga tak luput dari perpindahan tersebut. Sebagai pewaris sah Demak, Sunan Prawata, seharusnya menggantikan kedudukan Sultan Trenggana. Tetapi ia diceritakan tidak ingin naik takhta, dan secara sukarela menjadi Priayi Mukmin atau Susuhunan di wilayah Prawata, sebuah pasanggarahan yang digunakan Raja Demak selama musim hujan. Hal itulah yang kemudian mempermudah Jaka Tingkir untuk mengambil alih kekuasaan. Dalam Babad Tanah DJawi: Javaanse Rijskroniek , JJ Meinsma mengatakan Pajang lantas segera mengamankan takhtanya. Ia bahkan melakukan berbagai tindakan untuk memastikan kedudukannya tetap aman. Sampai tidak ada wilayah yang berani mengusik Raja Pajang karena takut akan kesaktiannya. “Semua negara bawahan menyerah. Yang mengadakan perlawanan dikalahkan. Tidak ada seorang pun yang berani melawan, karena takut akan kesaktian adipati dari Pajang. Hanya adipati dari Jipang, Pangeran Aria Panangsang, yang tidak mau menyerah,” tulis Meinsma. Kemunculan Para Wali Konflik antara Jipang dan Pajang menimbulkan keresahan di kalangan rakyat. Demi meredam kegaduhan tersebut, Sunan Kudus dipercaya menjadi penengah oleh para raja. Sunan Kudus memiliki wibawa besar karena kedudukannya sebagai salah satu dari Wali Songo, kelompok wali utamapenyebar Islam di tanah Jawa. Di samping perannya sebagai Imam Besar Masjid Agung Demak. Diceritakan HJ De Graaf dalam Awal Kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan Senapati , Sunan Kudus mengangkat Aria Panangsang, Jaka Tingkir, dan Sunan Prawata menjadi muridnya. Hal itu dilakukan agar perselisihan di antara ketiganya dapat diredam. Mereka menjadi murid Sunan Kudus yang paling setia. Namun kemudian keadaan kembali memanas ketika dua murid Sunan Kudus, Jaka Tingkir dan Sunan Prawata, memilih untuk berguru juga kepada Sunan Kalijaga, salah satu Wali Songo yang ikut menyebarkan Islam di wilayah Cirebon. Keputusan itu, kata De Graaf, membuat Sunan Kudus merasa wibawanya tercoreng. Baginya belajar pada dua orang guru, terlebih kepada Sunan Kalijaga, adalah tindakan yang salah. “Jadi di antara murid Sunan Kudus sudah ada dua orang yang telah bergabung dengan Sunan Kalijaga, saingannya. Hanya Pangeran Aria Panangsang yang masih setia. Dan murid inilah yang didorongnya agar bertindak terhadap murid-murid yang tidak setia itu sebagai balas dendam gurunya, terutama yang paling dekat dengannya,” kata De Graaf. Perbedaan pendapat antara Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga sering kali terjadi. Seperti ketika tahun 1543 keduanya memiliki pandangan berlainan tentang penentuan awal bulan Ramadhan. Sultan Trenggana yang dalam hal ini lebih mendengar Sunan Kalijaga membuat kecewa Sunan Kudus. Akibatnya, Sunan Kudus memutuskan mundur dari jabatannya sebagai Imam Masjid Demak. Tidak lama setelahnya, Sunan Kalijaga diangkat sebagai imam. Ia juga diberi tanah untuk berdakwah di Adilangu. Dalam penelitiannya, De Graaf menyatakan persoalan Jipang dan Pajang yang melibatkan para Wali ini tidak dilihat dari segi spiritualnya. Karena bagaimana pun para Wali, termasuk Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga, mengajarkan kepada murid-muridnya: “agama Nabi (Islam) dan kekuatan-kekuatan gaib serta ilmu kesaktian.” Meski begitu para guru yang berwibawa itu tidak membatasi diri pada urusan agama saja, tetapi juga turut campur dalam soal-soal politik. “Karena itu, Sunan Kudus sama sekali bukan seorang petapa yang telah melepaskan segala keduniawian, dan demikian pula rekannya yang dari Adilangu (Demak) itu. Maka, pembelotan Prawata itu bisa dicap sebagai pengkhianatan spiritual sekaligus juga pengkhianatan politik,” ucapnya. Nasihat Sunan Kudus Dalam urusan kenegaraan dan politik di Demak, Sunan Kudus disebut menjadi pendukung utama Aria Panangsang. Menurut Agus Sunyoto dalam Atlas Wali Songo , Sunan Kudus berperan penting dalam mengatur suksesi takhta Demak. Dan pilihannya jatuh pada murid paling setianya, Adipati Jipang Panolan atau Aria Panangsang. Muridnya itupun sangat mempercayai sang guru. Bahkan tindakan-tindakan nekad yang diminta oleh Sunan Kudus dijalankannya. Dikisahkan Babad Tanah Jawi , Aria Panangsang dinasihati agar ia menghabisi nyawa Sunan Prawata. Pada 1549, ia mengaminkan ucapan Sunan Kudus tersebut. Aria Panangsang memerintahkan salah seorang anak buahnya, Rangkud, untuk pergi ke kediaman Prawata dan menghabisinya. Tidak butuh waktu lama, Prawata beserta permaisurinya tewas di tangan Rangkud. Beberapa waktu kemudian, Sunan Kudus kembali memberi wejangan kepada Raja Jipang itu. Kali ini ia dinasihati agar membunuh Raja Pajang. Dalam Serat Kandha , pembunuhan kedua ini melibatkan empat orang yang masing-masing membawa keris sakti. Namun usaha menghabisi nyawa raja itu tidak berjalan baik. Sang raja terlalu sakti untuk mereka tangani. Setelah percobaan pembunuhan yang gagal itu, Sunan Kudus memutuskan mendamaikan Jipang dan Pajang. Ia lalu memanggil kedua muridnya ke Kudus. “Di atas segala-galanya jelas ternyata lagi kedudukan Sunan Kudus yang sangat dominan. Ia memanggil Raja Jipang dan Raja Pajang seorang-olah mereka anak sekolah saja, membiarkan mereka menunggu di depan dalemnya, menasihati, memarahi, dan menyuruh mereka pulang,” kata De Graaf. Pada perkembangan selanjutnya, setelah melalui persaingan kekuasaan yang cukup panjang, Aria Panangsang berhasil menduduki takhta Demak. Ia memindahkan pusat pemerintahan Demak ke Jipang.
- Tank Leopard yang Layu Sebelum Berkembang
SEPANJANG Oktober hingga Desember 2019, sebuah kawasan di Situbondo, Jawa Timur bergejolak. Dentuman-dentuman menggelegar di kulit bumi. Deru mesin-mesin perang darat, laut, maupun udara mengguncang. Antara lain dari salah satu alutsista tercanggih dunia, MBT ( Main Battle Tank /tank tempur berat) Leopard 2 milik TNI AD. Kegaduhan itu dalam rangka latihan gabungan “Dharma Yudha”, kegiatan kolosal tutup tahun, yang resmi ditutup pada 12 Desember 2019. Tank Leopard 2 terlibat di dalamnya. TNI AD menurunkan 13 unit tank buatan Jerman itu. Leopard 2 dimiliki TNI AD sejak dipesan 2016 lalu. Per 2019, TNI AD sudah punya 103 unit yang terdiri dari dua varian: 41 unit Tank Leopard 2A4+ dan 61 Tank Leopard 2 RI . Jumlah ini berandil dalam menempatkan Indonesia di urutan ke-16 dari 137 negara berdasarkan kekuatan militernya, sebagaimana data Global Fire Power 2019. Barisan tank Leopard 1 Jerman yang jadi pendahulu Leopard 2 (Foto: Bundesarchiv) Leopard 2 oleh banyak pengamat militer diyakini berkualitas jempolan. Tank buatan Krauss-Maffei Wegmann dan Maschinenbau Kiel itu merupakan penerus Leopard 1 yang didesain pada 1979. Mengutip Frank Lobitz dalam “Technical Data-Leopard 2 MBT” yang dimuat di Leopard 2 Main Battle Tank Development and German Army Service , spesifikasi awal Leopard 2 ditenagai mesin diesel turbo ganda V12 buatan MTU yang mampu melarikan tank berbobot 68 ton tersebut dengan kecepatan maksimal 68 km/jam. Senjata utama tank berkru empat personil itu meriam L/44 Rheinmetall 120mm, yang ditemani sepasang senapan mesin MG3A1. Pada varian 2A4 yang dimiliki Indonesia, senapan mesinnya sudah di- upgrade dengan senapan mesin MG 87, dilengkapi pendingin udara alias AC, dan alat komunikasinya lebih canggih. Leopard 2 hanyalah penerus dua tank Leopard Jerman di era Perang Dunia II. Mesin Perang dan Hewan Predator Ferdinand Porsche, pendiri Porsche AG yang kini populer sebagai produsen mobil sport mewah, punya peran penting dalam kelahiran tank-tank Jerman. Dia lazim memberi nama tank-tank itu dengan nama-nama hewan predator: Tiger I, Tiger II, dan Elefant . Para koleganya dari pabrikan lain pun turut memakai nama-nama predator lain untuk menamakan tank mereka, semisal tank medium Panther (MAN AG) atau Leopard . “Namun nama-nama seperti Tiger, Panther dll. bukan nama resmi. Nama resminya Panzerkampfwagen VI dan seterusnya. Tapi biasanya diberikan perancang atau pabrikan supaya lebih diingat dan mengesankan kekuatan,” ujar pengamat militer Jerman Nazi Alif Rafik Khan kepada Historia. “Sebagai contoh, nama Tiger diberikan Ferdinand Porsche, meskipun kemudian produksinya lebih banyak oleh Henschel. Selain nama-nama kucing, nama binatang lain yang tak kalah sangar juga digunakan, seperti Elefant dan Nashorn (gajah dan badak, red. ),” lanjut penulis 1000+Fakta Nazi Jerman itu. Menurut Richard A. Posner dalam Public Intellectuals , orang-orang Nazi memang gemar memburamkan garis batas antara sifat manusia dan hewan. Baik macan, macan kumbang, kucing hutan ( luchs ), gajah, hingga badak, identik dengan hewan buas nan pemberani, ibaratnya orang-orang Nazi menggangap diri mereka ras Arya sebagai manusia dengan ras tertinggi. “Mereka mendeskripsikan orang Yahudi sebagai hama. Di sisi lain mereka membanggakan spesies yang punya sifat gagah perkasa seperti elang untuk Kehlsteinhaus atau ‘Sarang Elang’ yang jadi vila musim panas Hitler, serta macan dan macan kumbang untuk tank-tank mereka,” ujar Posner. Tank Leopard VK30.01 (P) Dalam periode ekspansif Jerman di akhir 1939, para petinggi militer di Waffen Prüfen 6 (Wa Prüf 6/lembaga alutsista Jerman-Nazi) mulai butuh tank-tank baru sebagai kekuatan inti blitzkrieg (serangan kilat). Porsche sebagai ketua Panzerkommission (Komisi Tank) di lembaga itu, menjawabnya dengan merancang desain tank medium VK30.01 atau kadang disebut Porsche Type 100. Menukil Kenneth W. Estes dalam German Heavy Fighting Vehicles of the Second World War: Front Tiger to E-100 , rancangan Porsche lantas menelurkan purwarupa ( prototype ) pada 1940. Lantaran rancangan itu belum dilengkapi turret , pabrikan Krupp lalu menawarkan desain turret dengan meriam L-56 88mm yang basisnya dari meriam anti-udara. Dari dua sasis purwarupa yang dibuat, hanya satu yang dilengkapi turret buatan Krupp itu untuk diujicoba. Spesifikasinya punya bobot 30 ton, berdimensi panjang 6,58 meter; lebar 3,05m; tinggi 2,8m, dan ditenagai dua mesin Porsche V10 yang bisa memacu tank dengan kecepatan maksimal 60km/jam. Leopard itu juga dilindungi lapisan baja setebal 80mm, selain diperkuat meriam Krupp 88mm dan senapan mesin MG-34. Lima kru yang mengawakinya meliputi komandan, sopir, operator radio, penembak, dan pengisi amunisi. Leopard ini juga didesain Porsche sebagai tank tempur pertama yang menggunakan steering atau kendali elektrik serta mesin yang menggunakan air-cooled system pada mesin berbahan bakar bensinnya. Namun saat tank itu sudah siap untuk diinspeksi Hitler, situasi kampanye front timur mengubah segalanya. Hitler mendapat laporan bahwa pasukannya dihadang tank-tank berat Uni Soviet macam tank T-34 dan KV-I. Hitler tentu ingin punya tandingannya. Maka dia pun membahasnya dengan perwakilan Porsche AG dan Henschel & Sohn pada 26 Mei 1941. “Dia (Hitler, red .) dengan program empat tahunnya menginginkan tank berat yang harus punya lapisan baja depan setebal 100mm dan harus punya meriam besar, setidaknya 75-88mm. Dia pun menghapus semua proyek-proyek (Porsche dan Henschel) sebelumnya,” tulis Estes. Proyek tank medium Leopard itupun ditinggalkan. Sebagai gantinya, pabrikan Henschel & Sohn ditunjuk mengeksekusi proyek pengembangan tank berat baru Panzerkampfwagen VI (PzKpfw/kendaraan tempur). Ferdinand Porsche sebagai ketua Komisi Panser lalu memberi nama tank itu Tiger I, yang mulai diproduksi pada 1941 dan digunakan di tahun berikutnya . Tank Leopard VK1602 Belum lama Porsche mendesainVK30.01Leopard, pabrikan Maschinenfabrik Augsburg-Nürnberg (MAN) juga membuat rancangan tanknya dengan nama serupa pada 1942. Namun, rancangan MAN bukan tank berat, melainkan tank intai tempur. Mengambil dasar desain dari tank medium Panther yang juga tengah mereka kembangkan, MAN menghasilkan tank dengan sasis lebih kecil, VK1602 yang lalu dinamai Leopard. Selain lebih kecil, beda Leopard dengan Panther adalah lapisan baja depan yang dirancang landai dan lebih tebal, yakni 80mm (baja Panther setebal 60mm). Namun, ungkap Peter Hamberlain dan Hilary L. Doyle dalam Encyclopedia of German Tanks of World War Two , pengerjaan Leopard diserahkan pada dua pabrikan lain, Mühlenbau und Industrie Aktiengesellschaft (MIAG) dan Daimler-Benz. Pasalnya, Wa Prüf 6 kemudian memilih MAN untuk lebih memfokuskan pada pengembangan dan produksi Panther agar bisa dikirim lebih cepat mengingat situasi sengit di front timur. “Pengembangannya didiskusikan dengan Hitler pada Maret dan Juni 1942. MIAG lalu dipercayakan mengambil alih untuk konstruksi sasisnya dan Daimler-Benz untuk turre t-nya. Semua desainnya sudah harus siap pada akhir Oktober 1942,” sebut Hamberlain dan Doyle. Dalam rancangannya, MIAG dan Daimler-Benz menyiapkan spesifikasi VK1602 Leopard dengan dua versi purwarupa. “Versi pertama lebih ringan, lebih cepat dengan bobot 18 ton dan versi yang lebih lambat lajunya dengan bobot 26 ton. Tetapi di fase awal versi pertama batal dikerjakan karena ternyata terdapat ketimpangan antara bobot dan lapisan bajanya,” sebut Bob Carruthers dalam Panzers I & II: Germany’s Light Tanks . Purwarupa versi kedua lebih dulu dirilis dengan bahan kayu untuk diperlihatkan pada Hitler pada Mei 1942. Hitler memerintahkan produksi sebanyak 105 unit yang harus selesai pada akhir 1943 dan produksi lanjutan sebanyak 150 unit pada musim semi 1944. Spesifikasi Leopard yang diproduksi berupa, dimensi panjang 4,74m; lebar 3,1m; tinggi 2,6m. Lapis baja dideknya setebal 16mm, 30mm di kedua sisi, dan 50mm di lapisan baja depan yang landai dengan kemiringan 50 derajat. Tank intai berawak empat personil yang ditenagai mesin Maybach HL 157P ini mampu berlari hingga 45-60km/jam. Desain turret-nya yang dikerjakan Daimler-Benz mengambil dasar desain turret ranpur Sonderkraftfahrzeug (SdKfz) 234 Puma dengan meriam 50mm KwK 39/1, dilengkapi sepucuk senapan mesin MG-42. Adolf Hitler bersama menteri persenjataan Albert Speer (kanan) meninjau salah satu pabrik tank untuk persiapan perang (Foto: Repro "German Heavy Fighting Vehicles of the Second World War") Sialnya, pada 13 Oktober 1942 Hitler berubah pikiran setelah rapat dengan Albert Speer, menteri persenjataan dan perang. Michael Sowodny dalam German Armored Rarities: 1935-1945 menyatakan, Speer memberi masukan berdasarkan kebutuhan pasukan di lapangan, bahwa yang lebih dibutuhkan adalah tank intai yang lebih lincah dan ringan. Alhasil, Hitler memerintahkan MIAG dan Daimler-Benz mencanangkan lagi Leopard versi 18 ton yang sebelumnya disingkirkan Hitler. Speer pun mengusulkan beberapa Panther yang masih dalam tahap produksi, dibuat varian tank intai dengan bobot lebih ringan. Proyek Leopard VK1602 dianulir secara resmi pada 3 Januari 1943 saat purwarupanya belum rampung. Belakangan, proyek Panther versi intai itupun batal dikerjakan.
- Ricklefs yang Tak Sempat Saya Temui
Pak Bonnie Yth: Saya lampirkan sebuah cerita kecil baru untuk Historia. Mudah-mudahan bisa diterima. Untuk ilustrasi, saya juga lampirkan gambar Buta Terong dari Hardjowirogo, Sedjarah Wayang Purwa, yang mungkin bermanfaat. Ini merupakan sumbangan yang terakhir dari saya, paling sedikit untuk sementara. Ada tugas lain yang harus saya perhatikan. Apalagi, kesehatan saya terus menurun (lantaran kanker) dan semakin sulit untuk bekerja. Dulu Anda mempunyai rencana untuk berkunjung ke Melbourne pada awal bulan Oktober. Bagaimana re(n)cananya sekarang? Salam, Merle DEMIKIAN email yang saya terima dari sejarawan terkemuka Merle Ricklefs pada Sabtu, 28 September 2019, mengantar sebuah artikel tentang Syekh Ibrahim, seorang Turki yang memainkan peranan penting dalam perang saudara di Jawa abad ke-18. Ricklefs benar, tulisan tersebut jadi artikel terakhir yang pernah dikirimkannya kepada kami. Hari Minggu, 29 Desember 2019, sejarawan yang telah menulis puluhan buku dan ratusan karya sejarah mengenai Jawa dan Indonesia itu meninggal dunia setelah berjuang melawan kanker prostat yang dideritanya sejak beberapa tahun terakhir. Email di atas memang bukan yang terakhir, beberapa email setelahnya masih sempat melayang ke kotak surat saya. Isinya berupa tagihan kapan artikelnya akan dimuat. Ada kalanya bernada cemas, seperti saat dia mengirimkan artikel mengenai asal-usul kaum abangan. “Kalau memang dirasa sensitif, tak perlu dimuat!” Padahal saya membutuhkan sedikit waktu tambahan untuk menyunting artikel penulis buku Sejarah Indonesia Modern 1200–2000 itu. Walau mahaguru sejarah, Ricklefs juga tetap rendah hati dan kerap meminta pendapat mengenai karangannya, “…Seandainya dapat diterima untuk dipublikasikan, tolong periksa Bahasa Indonesianya apabila perlu,” kata dia dalam salah satu emailnya. Setiap artikel yang hendak kami muat selalu terbuka untuk didiskusikan, bahkan hingga ke soal detail. Kekuatan tulisan-tulisan Ricklefs terletak pada kemampuannya merekonstruksi masa lalu dengan menggunakan sumber tangan pertama (primer). Selain fasih berbahasa Indonesia dan Belanda, Ricklefs juga mahir membaca sumber-sumber Jawa, modal utama mendalami teks berbahasa Jawa yang seringkali penuh ungkapan bermakna simbolis. Kemahirannya menguasai bahasa Indonesia dan Jawa bermula ketika dia mendalami sejarah Jawa di Cornell University, Amerika Serikat. Pria kelahiran Iowa, 17 Juli 1943 itu berhasil meraih gelar doktor dengan disertasi Yogyakarta Under Mangkubumi . Setelah lulus dari Cornell, Ricklefs berkarier sebagai pengajar di berbagai universitas bergengsi, mulai School of Oriental and African Studies (SOAS), London, Monash University, Australian National University, University of Melbourne dan pensiun sebagai guru besar dari National University of Singapore. Setelah pensiun, Ricklefs banyak melewati waktu di rumahnya di pegunungan sebelah timur laut Victoria, Australia. Belakangan, dalam masa-masa perawatan kankernya, dia lebih banyak tinggal di rumahnya di Melbourne. “Karena saya sakit dengan kanker yang sudah ‘ late stage ’ dan agresif, kami lebih banyak di Melbourne karena dekat rumah sakit dan para ahli. Oleh karena kanker itu dan pengobatannya juga, saya sering lelah sekali dan kegiatan saya harus dibatasi,” tulis Ricklefs dalam satu emailnya kepada saya. Namun demikian dia tak berhenti berkarya. Selain tema artikel yang memikat, Ricklefs juga selalu punya sudut pandang menarik di dalam melihat sejarah. Buat kami yang memilih cara populer untuk memublikasikan artikel sejarah, artikel-artikel karya Ricklefs mudah dipahami, mengalir jernih serta memuat banyak informasi baru. Artikel pertama yang pernah kami muat ihwal asal-usul Pangeran Samber Nyawa, julukan bagi Mangkunegara I, jadi contoh bagaimana tokoh sejarah Jawa yang mungkin namanya asing di telinga anak muda justru termasuk lima artikel paling banyak dibaca. Bahkan setahun setelah terbitnya pun artikel masih masuk ke dalam urutan artikel paling banyak diminati pembaca. Kekuatan lain Ricklefs juga terletak pada caranya mendemitologi sejarah, yang selalu ditunjukan di dalam artikel-artikel yang pernah dikirimkannya kepada kami. Kisah Pangeran Samber Nyawa yang penuh mitos serta diselubungi dongeng mistis pun mampu diuraikan latar belakang peristiwanya tanpa hanyut terlalu jauh dengan kisah-kisah karya pujangga istana yang seringkali penuh bumbu hiperbola bahkan bombastis. Bagaimana bisa Ricklefs membongkar peran penting seorang pangeran Jawa yang terkenal pemberani itu tanpa harus latah larut dalam kisah magis yang sulit dibuktikan secara rasional? Lagi-lagi kekuatannya pada sumber. Dia tak hanya membaca satu sumber primer, tapi juga berhasil mengumpulkan sumber-sumber primer lainnya sebagai bahan perbandingan. Untuk kisah Samber Nyawa, Ricklefs merujuk kepada naskah yang ditulis oleh Pangeran Samber Nyawa sendiri, Serat Babad Pakunagaran , otobiografi sang pangeran berbahasa Jawa yang paling kuno yang pernah diketahui sampai sekarang. Dalam serat tersebut Ricklefs menemukan fakta bahwa julukan Samber Nyawa berasal dari nama panji perang yang pernah digunakan dalam pertempuran di Gondang, dekat Surakarta pada 1750. “Jadi, jelaslah nama Samber Nyawa itu berasal dari panji perang Sang Pangeran. Dulu saya membayang-bayangkan bahwa sebutan Samber Nyawa itu mungkin berasal dari salah satu peristiwa yang penuh dengan kekuatan gaib, tapi jelas tidak. Namanya tidak berasal dari peristiwa melainkan dari sebuah obyek: panji perang Sang Pangeran,” tulis Ricklefs. Pada era itu, tulis Ricklefs, “biasanya tokoh-tokoh pemimpin mempunyai panji perang yang diberikan nama. Misalnya, panji perang Pangeran Mangkubumi bernama Gula Kalapa. Prawira terkemuka Rongga Prawiradirja mempunyai panji yang namanya Geniroga (api penyakit) dengan gambar seekor monyet yang berwarna wulung.” Tak berhenti pada sumber karya sang pangeran, dia pun menggunakan sumber lain seperti Babad Tutur, Babad Nitik Mangkunagaran dan Babad Nitik Samber Nyawa . Naskah-naskah yang tersimpan di berbagai perpustakaan di banyak negeri, mulai Inggris, Belanda sampai Indonesia itu pun tak luput dari buruan Ricklefs. Dalam artikelnya mengenai kaum abangan, Ricklefs berhasil memberikan tafsir kontekstual atas peristiwa sosio-historis kemunculan penganut agama Jawa itu. Ricklefs menelusuri kaum abangan mulai dari akar kata sampai dengan studi arsip. Dalam artikel yang berdasarkan bukunya Polarising Javanese society: Islamic and other visions 1830–1930 terbitan NUS Press, Singapore (2007) itu, Ricklefs memperkaya studi antropologis Clifford Geertz tentang abangan dengan menyumbangkan studi sejarahnya. Seperti diakuinya sendiri, sebagai sejarawan muda, dia terpukau pada karya antropolog Amerika tersebut dan turut mewarnai pemikirannya dalam melihat sejarah masyarakat Jawa. Untuk menelaah kemunculan abangan, Ricklefs menggunakan sumber-sumber berbahasa Belanda yang ditinggalkan misi zending sampai dengan sumber berbahasa Jawa yang ditulis Bupati Kudus Condronegara V (1836–1885), yang lebih dikenal dengan nama Purwalelana (pelancong pertama), Cariyos bab lampah-lampahipun Raden Mas Arya Purwalelana ( Cerita Mengenai Perjalanan R.M.A. Purwalelana ) terbit dalam dua jilid pada 1865–1866 (dan terbit lagi pada 1877 dan 1880). Menurut Ricklefs, kemunculan lapisan abangan di tengah masyarakat Jawa, sebagaimana tersua dari sumber-sumber yang disebutkan di atas tak lepas dari polarisasi sosial Jawa antara abangan dan putihan yang baru muncul sebagai gejala khas masyarakat Jawa pada paruh kedua abad ke-19. Perkembangan itu menurutnya merupakan salah satu akibat dari tekanan dan harapan untuk reformasi sosial yang muncul dari gerakan pemurnian Islam. Artikel tersebut kami muat ketika politik identitas semakin menguat akhir-akhir ini. Kontestasi politik, seperti yang pernah ditunjukan dalam peristiwa Pilkada DKI Jakarta 2017 sampai dengan Pilpres 2019 menunjukkan afinitas politik berdasarkan keagamaan memainkan peran penting dalam menentukan arah politik Indonesia. Merujuk kepada Ricklefs, gejala tersebut memiliki akar historis hingga ke abad 19 sebagaimana ditunjukan sumber-sumber tertulis, bahkan lebih jauh lagi ke abad 17. Sumbangan penting lainnya dari Ricklefs adalah buku Sejarah Indonesia Modern , yang menjadikan kedatangan Islam sebagai penanda penting zaman modern Indonesia. Terdiri dari enam bab, buku Sejarah Indonesia Modern tak hanya mendedahkan sejarah Indonesia secara deskriptif melainkan juga dengan analisis yang mendalam atas berbagai fenomena historis yang muncul sejak abad ke-14. Nusantara pra-Indonesia digambarkan sebagai wilayah yang dipenuhi negara-negara kerajaan yang berdaulat sampai dengan kedatangan orang-orang Eropa. Pada bab kedua Ricklefs melukiskan situasi abad 17 sebagai era perebutan hegemoni antara VOC dengan para penguasa lokal Nusantara. Pertentangan tersebut berakhir dengan pembentukan negara kolonial disertai proses Pax Neerlandica di beberapa wilayah Nusantara. Di tengah zaman itu konsep Indonesia mulai mengemuka dan mewujud menjadi gerakan pembebasan nasional yang berhasil membangun negara-bangsa Indonesia di atas puing-puing reruntuhan negara kolonial yang porak-poranda akibat Perang Dunia Kedua. Kisah sukses buku karya Ricklefs itu juga dapat dilihat dari jumlah kali cetak sebanyak lebih dari sepuluh dan selalu dikutip oleh para sarjana yang mengkaji sejarah Indonesia. Buku ini juga menjadi rujukan wajib bagi mahasiswa jurusan sejarah selain karya sejarawan Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru, 1500–1900: Dari Emporium sampai Imperium , tidak terkecuali buat saya yang pernah jadi mahasiswa sejarah dan mengidolakan figur Ricklefs sebagai sejarawan produktif. Pada 20 September 2019 saya menerima Anton Lucas Fellowship dan diundang untuk meneliti arsip-arsip koleksi sejarawan Anton Lucas di perpustakaan Flinders University, Adelaide. Jauh hari sebelum berangkat, sebagaimana disebut Ricklefs di dalam emailnya di atas, saya berencana menjenguknya di Melbourne. Namun karena jadwal kerja yang padat selama di Adelaide dan keterbatasan waktu kunjungan, saya mengurungkan rencana mampir ke Melbourne. Pembatalan itu sempat saya kabarkan kepadanya dan Ricklefs bisa memahaminya. Namun saat mendengar kabar kematiannya dua hari lalu, mendadak saya sangat menyesal tak menyempatkan datang menemuinya. Selamat jalan Pak Ricklefs. Terima kasih atas karya-karya monumental yang telah disumbangkan kepada bangsa Indonesia. Berikut ini tulisan-tulisan M.C. Ricklefs: Asal Usul Kaum Abangan Jatuh Bangun Kaum Abangan Asal-usul Pangeran Samber Nyawa The Origin of Prince Samber Nyawa Ratu Pakubuwana, Sufi Perempuan Leluhur Wangsa Mataram Misteri Seorang Turki dalam Perang Saudara di Jawa Abad 18
- CIA Bikin Film Porno Mirip Sukarno
SUATU hari, hampir setahun setelah kunjungan Presiden Sukarno ke Amerika Serikat (16 Mei–3 Juni 1956). Mantan agen FBI (Federal Bureau of Investigation), Robert Aimé Maheu, menerima telepon dari Kolonel Sheffield Edwards, Kepala Kantor Keamanan CIA. Dia terdengar agak gugup, dan ingin tahu apakah dia bisa mampir ke rumahnya.
- Kudeta Perwira Muda Negeri Sakura
KENDATI bersalju dan udara dingin menusuk tulang pada pagi 26 Februari 1936, Ahmad Subardjo (di kemudian hari menjadi menteri luar negeri Republik Indonesia pertama) tetap memutuskan untuk pergi ke pusat kota Tokyo dari tempat tinggalnya di Distrik Hunchu. Namun belum lagi menginjakkan kakinya ke tangga, seorang penjaga pintu mencegatnya. “Penjaga pintu membisiki saya, lalu lintas di kota sedang macet karena suatu kecelakaan yang ia sendiri tidak tahu apa sebabnya. Sekalipun demikian, saya memasuki jalanan yang masih ada lalu lintas. Saya melihat rombongan orang-orang Jepang berhenti di jalan berbicara satu sama lain dengan suara yang lemah. Karena saya tidak dapat berbahasa Jepang, saya tidak dapat keterangan mengenai apa yang terjadi,” kata Subardjo dalam otobiografinya, Kesadaran Nasional. Di pusat kota, tempat dia bertemu banyak relasi dari kalangan ilmiah, barulah Subardjo mendapat sedikit informasi mengenai apa yang terjadi pagi itu. "Ternyata, ada rencana dari opsir-opsir muda dan tentara untuk membunuh pejabat-pejabat tinggi pemerintah yang dekat pada takhta kaisar, tetapi belum ada keterangan-keterangan yang terperinci,” kata Subardjo. Informasi lengkap baru diperoleh Subardjo pada 29 Februari. “Segolongan opsir-opsir muda yang merasa kecewa ingin merebut kekuasaan. Untuk keperluan itu dibuat satu daftar orang-orang penting yang akan dibunuh. Daftar tersebut memuat para menteri kabinet, penasihat-penasihat ketakhtaan, opsir-opsir militer tinggi dan para industrialis-industrialis yang berpengaruh,” kata Subardjo. Ahmad Subardjo, saksi mata Insiden 26 Februari 1936 di Jepang. (Repro Kesadaran Nasional ). Upaya kudeta oleh sekelompok perwira muda Angkatan Darat Jepang itu dikenal dengan Insiden 26 Februari 1936. Insiden itu merupakan buah dari akumulasi masalah ekonomi, politik, diplomasi, ideologis, dan kepentingan faksional dalam tubuh militer Jepang sejak akhir Perang Dunia I. Para perwira muda pelaku kudeta merupakan jebolan Akademi Militer Tokyo semasa kepemimpinan Jenderal Jinzaburo Mazaki. Mazaki merupakan jenderal ultra-kanan yang menerapkan kurikulum dengan titik-berat pada patriotisme, komitmen spiritual, dan Jepang-isme. Dengan penguatan pada tiga aspek tersebut, Mazaki berharap kelak para anak-didiknya dapat menyelamatkan negara dari kondisi yang saat itu sedang dirundung masalah lintas-aspek akibat demokrasi liberal. Pandangan sang jenderal sangat bersesuaian dengan pandangan taruna bernama Nishida Mitsugi. Pada pertengahan 1920-an, Nishida menginisiasi pendirian Seinen Shoko Undo (Gerakan Perwira Muda/Young Officers’ Movement) sebagai wadah berdiskusi para taruna mengenai segala permasalahan nasional. Gerakan mereka kian menguat setelah, dengan izin Masaki, berkenalan dan bekerjasama dengan Kita Ikki, tokoh sosialis-mistikus agama beraliran ekstra kanan. Kita Ikki merupakan tokoh penting di balik populernya semangat reformasi di kelas menengah-atas masyarakat Jepang. Dalam pandangan mereka, permasalahan nasional yang ada bersumber dari diterapkannya demokrasi liberal. “Opsir-opsir muda yang merasa kecewa mengenai kedudukan Jepang yang dipandang rendah terhadap kekuatan Barat, yakni Amerika dan Inggris, suatu kenyataan yang mereka anggap disebabkan oleh semangat liberal menguasai pemerintah,” kata Subardjo. Pemberontak di luar kediaman Perdana Menteri selama Insiden 26 Februari 1936. (Wikimedia Commons). Demokrasi liberal dengan perdana menteri sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan jelas memperlemah posisi politik kaisar. Akibatnya antara lain, hubungan rakyat-kaisar amat ditentukan oleh partai politik, perekonomian Jepang menjadi amat bergantung pada hubungan internasionalnya, terutama dengan Amerika Serikat dan Inggris. Padahal, kedua negeri itu dianggap oleh golongan kanan sebagai yang mengerdilkan Jepang dengan perjanjian-perjanjiannya. Di Angkatan Darat, demokrasi liberal dianggap memicu perpecahan dengan munculnya dua faksi: Kodo-ha (Imperial Way), faksi konservatif, dipimpin Jenderal Sadao Araki dan Jenderal Jinzaburo Mazaki; dan Tosei-ha (Control), faksi moderat, dipimpin Jenderal Tetuzan Nagata. Untuk mengatasi permasalahan bangsa, Gerakan Perwira Muda menganggap langkah paling tepat adalah dengan menghilangkan sumber permasalahan, yakni para pendukung demokrasi liberal. Menurut Ben-Ami Shillony dalam Revolt in Japan: The Young Officers and the February 26, 1935 Incident , ideologi Perwira Muda mengacu pada tradisi shishi dan konsep revolusioner Barat. Seperti shishi , yang telah melakukan Restorasi Meiji sekitar 70 tahun sebelumnya, Perwira Muda itu menyatakan kesetiaan langsung kepada Kaisar dan bermaksud menggulingkan pemerintah, yang diduga merampas kekuasaannya. "Seperti kaum radikal kiri, Perwira Muda menganggap negara kapitalis sebagai alat yang digunakan oleh beberapa orang kaya untuk mengeksploitasi ‘massa’. Visi mereka tentang Restorasi showa dipengaruhi oleh ajaran Kita Ikki, menyiratkan bahwa kekuatan politik dan ekonomi harus ‘dikembalikan’ kepada Kaisar dan rakyat. Ini akan dilakukan dengan menghapuskan ‘kelas istimewa’, mendistribusikan kembali kekayaan, dan mengembalikan negara, daripada kalangan bisnis besar, dalam mengendalikan ekonomi,” tulis Shillony. Guna menggalang pengikut, mereka menggunakan keresahan rakyat kecil, terutama di pedesaan, sebagai senjata. Para petani penghasil sutra di pedesaan -komoditas ekspor penting Jepang- amat terpukul dengan sistem perekonomian liberal yang saat itu sedang dipukul Depresi 1930. Depresi pula yang meningkatkan keresahan para perwira muda akibat rencana pemerintah mengetatkan anggaran militer. Di tengah keresahan itu, tersiar kabar Divisi Kesatu AD, kesatuan asal mayoritas perwira muda itu, akan dipindahtugaskan ke Manchuria. Itu jelas akan menghalangi rencana mereka untuk merebut kekuasaan. Mereka tak ingin keduluan sehingga langsung mengadakan pertemuan dari 18-22 Februari untuk menyusun rencana menghabisi para pejabat pemerintah dan penasehat kaisar yang mereka anggap menipu kaisar untuk keuntungan mereka pribadi. Selain menghasilkan Manifesto Pemberontakan, dokumen berisi latarbelakang aksi dan daftar keluhan mereka yang akan diserahkan kepada kaisar, pertemuan itu juga menentukan tujuh nama pejabat yang harus diculik dan membentuk regu-regu penculiknya yang –dinamakan Tentara Kebenaran– mayoritas berasal dari Resimen Infantri ke-1 dan ke-3 Divisi 1 AD. Pukul 3.30 pagi 26 Februari, sekira 1.400 personil yang terbagi dalam enam regu penculik bergerak ke sasaran masing-masing. “Semua dimulai pada dini pagi bersalju, dan salah satu target utama adalah Menteri Keuangan Korekiyo Takahashi, yang menganjurkan pengurangan belanja militer guna mempromosikan konsolidasi fiskal. Seorang letnan yang memimpin 120 prajurit datang ke rumah sang menteri di Aoyama, tak jauh dari tempat Kedutaan Kanada sekarang berada, dan membunuh Takahashi ketika sedang tidur,” tulis Jeff Kingston, dosen sejarah di Temple University Japan, dalam artikelnya, “1936 Coup Failed, But Rebels Killed Japan’s ‘Keynes’”, japantimes.com. Yasuhide Kurihara (tengah) memimpin pemberontakan dalam Insiden 26 Februari 1936. (Wikimedia Commons). Lettu Yasuhide Kurihara yang memimpin 280 personel kelompok penculik PM Okada Keisuke, sempat mendapat perlawanan dari empat polisi penjaga rumah perdana menteri. Kendati keempat polisi itu tewas, mereka melukai enam personil regu penculik dan yang terpenting, memberitahu sang perdana menteri akan bahaya yang mengancam. Kolonel Denzo Matsuo, ipar perdana menteri, langsung menyembunyikan Okada. Para penculik lalu membunuh Matsuo yang mereka yakini sebagai Okada karena wajahnya sama dengan foto Okada yang mereka pegang. Kematian Matsuo menyelamatkan nyawa Okada. Selain membunuh tiga pejabat, dua di antaranya mantan perdana menteri, Tentara Kebenaran juga menguasai markas kepolisian Metro Tokyo dan beberapa kantor instansi lain. Kantor Asahi Shimbun , media yang dianggap para pengkudeta sebagai agen liberal, juga mereka duduki. Mereka kemudian mengupayakan pertemuan dengan kaisar. Kaisar Hirohito mendengar insiden itu sekitar pukul 5.00. Kepada Jenderal Shigeru Honjo, kepala ajudan kaisar, yang datang menemuinya sekira pukul 06.00, kaisar memerintahkan agar insiden dihentikan. Setelah mengadakan rapat dadakan dengan para penasihatnya yang tersisa, kaisar akhirnya mengambil keputusan tegas untuk menghancurkan para pengkudeta. “Akibatnya, tentara mengepung pemberontak pada 29 Februari dan menuntut agar mereka menyerah atau ditembak. Mayoritas mematuhi, dan insiden itu berakhir dengan cepat,” tulis buku yang dieditori James L. Huffman, Modern Japan: An Encyclopedia of History, Culture, and Nationalism .
- Muhammad Khan Mengikuti Jejak Shahrukh Khan
LEWAT karya Kucumbu Tubuh Indahku (selanjutnya disebut Kucumbu ) , Garin Nugroho berusaha menampilkan peleburan sifat maskulin dan feminine lewat tubuh seorang penari bernama Juno. Kisah hidup Juno yang berpindah-pindah dan penuh trauma menjadi pemandu bagi pemirsanya untuk memahami keberagaman seksualitas dan gender dalam budaya Indonesia. Namun, karya Garin itu sempat mengalami pencekalan oleh kelompok konservatif karena dianggap mengkampanyekan LGBT. Bahkan, sempat muncul petisi online untuk memboikot Kucumbu . Ibarat permata yang dibenamkan dalam lumpur namun tak kehilangan sinarnya, Kucumbu pada akhirnya mendapat apresiasi yang semestinya. Film ini memborong delapan penghargaan sebagai Film Terbaik, Sutradara Terbaik, Penata Musik Terbaik, Pengarah Artistik Terbaik, Penyunting Gambar Terbaik, Penata Busana Terbaik, serta Pemeran Pendukung Pria Terbaik. Tak lupa pula, film ini juga mengantarkan Muhammad Khan memenangkan Piala Citra sebagai Pemeran Utama Pria Terbaik. Kemenangan ini menjadi pencapaian besar Khan mengingat Kucumbu merupakan film panjang pertamanya. Sebelumnya, Khan lebih banyak bermain di teater dan film pendek ketika masih kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Khan bernama asli Nurdiyanto. Ia lahir di Jepara, 28 Maret 1991. Nama Muhammad Khan ia pakai sebagai nama panggung karena kekagumannya pada Nabi Muhammad dan aktor Bollywood Shahrukh Khan. Pasalnya, cita-cita masa kecil Khan untuk menjadi aktor bermula dari kekagumannya pada sang idola. “Aku sangat mengagumi Shahrukh Khan sejak kelas IV SD. Dia panutanku. Shahrukh Khan dapat best actor pertama di usia 28, aku ingin mengikuti jejaknya itu,” kata Khan pada Historia. Sejak itu, ia menelusuri karya-karya Shahrukh Khan dan belajar akting dari film-filmnya. Begitu masuk SMA, Khan aktif di Teater Biassukma di Jepara dan menjadi ketua selama dua tahun. Setelah lulus SMA pada 2009, ia masuk ke jurusan teater dan fokus pada akting di ISI Yogyakarta. “Waktu kuliah aku juga ikut Saturday Acting Club, kelas akting yang digagas Rukman Rosadi. Dia itu dosenku di ISI. Waktu film Kucumbu dia yang jadi acting coach -nya,” kata Khan. Setelah lulus, Khan bekerja di sebuah homestay di Yogyakarta hingga naik menjadi supervisor lantaran tak mendapat pekerjaan sebagai aktor. Pada titik itu ia berpikir, kalaupun tidak menjadi aktor, ilmu keaktoran amat bermanfaat untuk kehidupan sehari-hari dan memahami beragam karakter manusia. Sebelum bermain di Kucumbu , Khan pernah mengikuti casting film Garin sebelumnya, Mata Tertutup . Namun sayang, ia tak lolos. Begitu ada kabar Garin mau buat film tentang penari, Khan tertarik untuk ikut casting . Pada audisi pertama Garin memberi Khan PR. “Mas Garin minta kamu belajar tari lengger,” kata salah seorang kru. “Lho memang aku keterima?” kata Khan. “Ya belum sih.” Sebagai aktor, Khan tak ambil pusing dengan homofobia yang masih menjamur di masyarakat Indonesia. Ia percaya pada kualitas Garin. Maka begitu diberi kabar bahwa ia mendapatkan peran Juno remaja, Khan amat gembira. “Ya bayangkan saja. Waktu itu aku kerja di homestay. Lalu dapat peran di filmnya Mas Garin Nugroho. Apa pun perannya aku mau,” kata Khan. Khan mengaku bukan peran feminine Juno yang membuatnya agak khawatir. Ia merasa agak tertekan karena menjadi pemeran utama dalam film Garin. Ia tak ingin mempermalukan atau membuat Garin berpikir salah pilih pemain. Dus , Khan membawa nama almamater ISI Yogyakarta. “Kalau mainku jelek, aku bisa dimaki-maki satu jurusan. Masak anak teater mainnya kayak gitu,” kata Khan. Bagi Khan, memerankan tokoh adalah memahami manusia dengan segala kompleksitasnya. Lewat ilmu akting itu, ia merasa lebih menghargai hidup dan lebih dekat dengan tuhan. “Tiap memerankan tokoh kan kita perlu riset, mempelajari ilmu baru, semacam wisata karakter,” katanya. Muhammad Khan, pemenang piala citra di film pertamanya. (Fernando Randy/Historia). Aktor Terbaik dalam Film Bertema Homoseksual Kemenangan Khan sebagai Pemeran Utama Pria Terbaik FFI semacam mengulang sejarah. Di masa lalu, ada pula aktor yang menang penghargaan dalam film bertema homoseksualitas. Dialah Mathias Muchus, yang memenangkan aktor terbaik pada FFI 1988 lewat Istana Kecantikan. Film yang rilis pada 1988 itu menjadi film pertama bertema homoseksual di Indonesia. Istana Kecantikan disutradari Wahyu Sihombing dengan Asrul Sani sebagai penulis naskahnya. Kisahnya dibuka oleh Nico (Mathias) seorang gay yang didesak untuk segera menikah oleh orangtuanya. Ia akhirnya menikahi Siska (Nurul Arifin) meskipun Nico sejatinya tak punya hasrat sama sekali pada perempuan. Menurut Ben Murtagh dalam artikelnya “Istana kecantikan: the First Indonesian Gay Movie” yang dimuat South East Asia Research, Istana Kecantikan bisa dilihat sebagai gambaran reflektif tentang isu gay yang sedang hangat pada 1980-an. Film menceritakan tentang kesulitan Nico untuk hidup sebagai seorang gay di tengah masyarakat yang heteronormatif (hanya hubungan lelaki-perempuan yang dianggap normal). Meski demikian, beberapa tokoh terdekat Nico yang mulanya kecewa mengetahui bahwa dia gay, perlahan mengerti dan simpatik. Mathias Muchus dalam wawancara dengan Ben Murtagh menyebut keinginan Wahyu Sihombing dan Asrul Sani mengangkat tema homoseksual karena merupakan hal baru dan kontroversial. Lebih jauh, pembuatan film tersebut bukan untuk membangun prasangka melainkan menghadirkan isu tentang homoseksual ke muka publik. Beberapa adegan dalam film itu kena gunting sensor, seperti dua lelaki bergandengan tangan, pesta khusus lelaki gay, dan adegan ciuman. Namun, penontonnya bejibun, ada di berbagai kota khususnya kaum gay dan waria. Berbeda dengan film Garin yang mendapat banyak pujian dari pengamat film, Istana Kecantikan dinilai kurang bagus. Menurut Salim Said dalam Pantulan Layar Putih, film arahan Sihombing itu punya banyak kekurangan. Istana Kecantikan seperti naskah yang kurang menyatu dengan lingkungannya. Lebih lanjut, Salim menyebut film ini baru sampai pada tingkat informatif, belum sampai pada taraf yang subtil. Meski secara umum filmnya kurang memuaskan, Salim amat memuji akting Mathias yang jadi penolong film. Salim menyebut permainan Mathias luar biasa. Karakter gay yang ditampilkannya tak semata fisikal namun mendalam, secara utuh, dan lentur. “Secara amat subtil dan penuh nuansa, Muchus memainkan tokoh gay yang diciptakan Asrul Sani lewat skenario dan cerita aslinya dalam film Istana Kecantikan, ” tulis Salim.
- Wibawa Sukarno Mengesankan Inggris
SERANGAN Umum 1 Maret 1949 atas Yogyakarta menjadi awal sinyal perdamaian hadir di Indonesia. Pendudukan kota selama 6 jam oleh TNI itu berhasil menyadarkan dunia bahwa Republik Indonesia masih hidup. Berkat peristiwa itu dunia terus mendesak Belanda agar segera mengadakan perundingan dengan pihak Indonesia. Dewan Keamanan pun meminta Belanda melaksanakan resolusi damai, tertanggal 28 Januari 1949, yang mereka buat tentang penyerahan kedaulatan kepada Indonesia sebelum 1 Januari 1950. Pihak Indonesia yang sejumlah pejabat terasnya (termasuk Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta) ditawan Belanda, membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera. Menurut sejarawan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia VI, pemerintah darurat ini bertugas melanjutkan perjuangan secara politik, militer, dan kenegaraan sepeninggal Sukarno-Hatta. Sjafruddin Prawiranegara ditunjuk sebagai ketua, didampingi T.M. Hassan. Dalam menjalankan tugasnya PDRI juga mendapat dukungan penuh dari TNI. "Akan tetapi, hubungan dengan para pemimpin RI yang ditawan Belanda di Pulau Bangka tidak ada sama sekali. Oleh karena itulah kemudian terdapat perbedaan pendapat antara PDRI dan pihak Bangka, khususnya mengenai Pernyataan Roem-Roijen," kata Nugroho. Perundingan Roem-Roijen menimbulkan perpecahan di kalangan republik. Sukarno yang statusnya masih tahanan malah memberi kuasa kepada Mohammad Roem untuk berunding, sedangkan wewenang politik seharunya berada di tangan PDRI. Sikap Sukarno itu mendapat tentangan keras dari Partai Masjumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Dikisahkan salah seorang tokoh PSI Soebadio Sastrosatomo, dalam biografinya Soebadio Sastrosatomo: Pengemban Misi Politik , Sutan Sjahrir sampai-sampai harus meminta bantuan Kolonel T.B. Simatupang, Kepala Staf Angkatan Perang, untuk memberi tahu orang-orang di Sumatra agar Sukarno jangan dibiarkan ikut campur dalam urusan perundingan dengan Belanda. Biar pemerintahan sementara yang bertindak atas wewenangnya sendiri. Meski begitu, tidak semua pihak menentang sikap Sukarno tersebut. Banyak kalangan yakin keputusan Si Bung dapat membawa perubahan ke arah lebih baik. Keyakinan itu ditunjukkan L.N. Palar saat dirinya mengirim salah seorang perwakilan Indonesia di Amerika Serikat, Soedarpo, untuk meyakinkan orang-orang di dalam negeri agar mendukung semua keputusan Sukarno. "Soedarpo belajar dari pengalaman dan kenyataan. Betapa hebatnya Sukarno terlihat waktu pertempuran di Semarang, Ambarawa, dan Surabaya. Inggris minta perantaraan Sukarno untuk menghentikan pertempuran. Sukarno bilang stop , ya, pertempuran stop. Begitu besar pengaruh Sukarno," kata Soebadio. Walaupun Sukarno ditahan Belanda di Bangka, kata Soebadio, dunia internasional umumnya masih menganggapnya ada. Soedarpo sendiri ketika pulang ke Indonesia langsung menghadap Sukarno di Bangka, bukan PDRI. Ia melaporkan segala perkembangan diplomasi di Dewan Keamanan dan segala bentuk dukungan terhdap RI kepada Sukarno. "Waktu itu Soedarpo memberitahukan kepada Sukarno penilaian wakil Inggris dan Prancis di Dewan Keamanan PBB yaitu mengakui besarnya pengaruh dan kewibawaan Sukarno atas rakyat Indonesia dan karena itu untuk menyelesaikan masalah Indonesia tetap harus berunding dengan Sukarno," ucapnya. Soedarpo bersikeras jika Inggris secara khusus menginginkan Sukarno selalu berada di garis depan perjuangan Indonesia. Pengalaman mereka di Ambarawa dan Surabaya benar-benar telah membuka pandangan mereka terhadap Sukarno. Namun ucapan perwakilan RI di New York itu tidak begitu saja diterima Sukarno. Si Bung malah hampir-hampir tidak percaya dengan pernyataan yang menurutnya berlebihan itu. Tapi Soedarpo meyakinkan Sukarno jika ucapan itu memang benar adanya. Inggris memang berpikir demikian. Bahkan Prancis di Dewan Keamanan pun sampai ikut mengaminkan pernyataan Inggris. "Sungguhpun demikian, Soedarpo mengatakan kepada orang-orang di Bangka supaya mereka memperhatikan PDRI sebagai faktor dalam menghadapi Belanda. Tapi mereka tidak mendengar," kata Soebadio.





















