top of page

Hasil pencarian

9584 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Kartini yang Pluralis

    DI Indonesia, bisa jadi Kartini hidup hanya pada setiap 21  April. Anak-anak perempuan di sekolah merayakannya dengan mengenakan kebaya sebagai perlambang identitas gender. Sementara itu, Kartini dimasukan ke dalam sangkar emas sebagai pendekar feminisme. Namun nyatanya, dalam membaca pemikiran Kartini ada hal yang abai diperbincangkan, yaitu pandangannya tentang hak asasi manusia dan pluralisme.  Demikian pendapat sejarawan Didi Kwartanada dalam diskusi panel Seminar Sejarah Nasional “Membayangkan Indonesia di Hari Depan” di Aston Priority Hotel & Conference, 4 Desember 2019. Apabila merujuk surat-suratnya dalam versi asli, Kartini juga mengungkapkan kegelisahannya tentang diskriminasi minoritas pada zaman kolonial. Menurut Didi, membaca ulang pemikiran Kartini tentang pluralisme  - yang belum banyak diungkap - merupakan isu yang relevan bagi keadaan Indonesia dewasa ini. Dalam makalahnya “Membayangkan Indonesia yang Berbhineka: Kartini dan Pandangannya Mengenai Tionghoa dan Arab”, Didi mencatat empat surat Kartini yang memperlihatkan empatinya terhadap kalangan minoritas Tionghoa dan Arab. Mengapa Tionghoa dan Arab? Dalam struktur masyarakat kolonial, kedua etnis ini menempati posisi warga kelas dua sebagai kelompok vreemde oosterlingen (timur asing). Didi Kwartanada (memegang mikropon) dalam diskusi panel Seminar Sejarah Nasional "Membayangkan Indonesia di Hari Depan" di Aston Priority & Conference, 4 Desember 2019. Foto: Martin Sitompul/Historia.  Bagi pemerintah kolonial, orang-orang Tionghoa dan Arab dapat dipakai sebagai minoritas perantara ( middleman minority ) yang membawahkan masyarakat pribumi. Orang Tionghoa dan Arab secara ekonomi relatif makmur tetapi rentan manakala ada gesekan politik. Di masa-masa terjadi kekosongan kekuasan atau ketika penguasa membutuhkan kambing hitam, merekalah yang kerap dipersalahkan dan menjadi korban.    “Belanda itu seharusnya barat asing tetapi mereka mengasingkan-asingkan orang Tionghoa, Arab -  yang notabene datang ke Nusantara jauh sebelum orang Belanda -, dan orang Hindia. Jadi, itu diskriminasi yang sangat parah dilakukan oleh Belanda,” ujar Didi. Kartini yang hidup di akhir abad 19, telah menyadari diskriminasi yang dialamatkan kepada etnis minoritas tersebut. Dalam kumpulan suratnya berjudul Door Duisternis tot Licht: Gedachten over en voor het Javaanse Volk ( DDTL ) yang diterbitkan pada 1911, termuat dua surat yang berbicara soal orang Tionghoa. Pertama , dalam surat bertanggal 3 Januari 1902, Kartini memuji Oei Tiong Ham, saudagar kaya pengusaha gula sebagai sosok yang dermawan. Di pihak lain, Kartini mencela sikap pemerintah kolonial yang selalu memojokan orang Tionghoa.   Kedua , surat bertanggal 17 Juni 1902 yang ditujukan kepada Ny. De Boiij-Boissevain. Dalam surat itu, Kartini sangat terkesan dengan kabar beberapa perempuan Tionghoa yang hendak menempuh ujian guru. Hal ini membuat Kartini jadi ingin tahu lebih banyak tentang Tionghoa .Dia pun menyatakan simpati yang mendalam kepada kaum perempuannya. “Hura! Untuk kemajuan! Saya sungguh gembira tentang hal itu! Orang-orang Cina sangat keras dalam mempertahankan adat: sekarang kita lihat juga, bahwa adat yang paling keras dan paling lama dapat dipatahkan juga! Saya mendapat semangat dan harapan ,” seru Kartini sebagaimana dikutip Didi. Terlihat bahwa kemajuan di kalangan putri Tionghoa itu banyak menginspirasi Kartini. Satu budaya atau adat yang sudah berlangsung ribuan tahun dan membelenggu perempuan ternyata tidak bisa melawan kemajuan. Kartini optimis, betapa kerasnya kungkungan adat  istiadat pada akhirnya dapat dipatahkan. Pada  27 Oktober 1902, dalam surat menyurat kepada Ny. Abendanon,  Kartini menceritakan bahwa dia pernah sakit keras. Di tengah  dera penyakit itu, Kartini mengaku tiada yang mampu menolongnya, termasuk dokter Eropa. Kartini barangsur sembuh setelah disuruh minum abu lidi dari Klenteng di Welahan, Jepara oleh seorang Tionghoa. Maka dengan penuh syukur, Kartini mendaku dirinya, “bahwa saya anak Buddha.” Sementara itu, surat tertanggal 14 Desember 1902 yang masih ditujukan kepada Ny. Abendanon adalah surat yang paling panjang dan memberikan argumen paling kuat dari Kartini tentang kemajemukan. Disini, selain golongan Tionghoa, Kartini banyak bicara juga mengenai golongan Arab di Rembang. Selain itu, Kartini juga menyuarakan protesnya akan sekat-sekat pemisah dan diskriminasi yang dibangun keluarganya serta masyarakat terhadap golongan Tionghoa.  Sayangnya, surat-surat Kartini yang memuat pesan pluralisme itu luput ketika dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia. Pada 1938, Balai Pustaka untuk kali keduanya menerjemahkan DDTL melalui sastrawan Pujangga Baru, Armijn Pane. Ironisnya, Balai Pustaka memutuskan tidak mengalihbahasakan DDTL secara utuh seperti edisi sebelumnya dengan alasan keterjangkauan harga. Total 22 surat yang sengaja dihilangkan oleh Armijn Pane yang diberi kuasa untuk menyunting terjemahahan yang diberi judul Habis Gelap Terbitlah Terang . Penyensoran ini, menurut Didi, seturut dengan  jiwa zaman saat itu yang masih dibatasi sekat rasial. Selain dipraktikan pemerintah kolonial, kaum nasionalis pun masih enggan memberikan ruang untuk berbaur dengan  kelompok timur asing, khususnya Tionghoa dalam satu organisasi. Dan inipun jamak terjadi. Adapun versi terlengkap dari surat-surat Kartini dapat dilihat dalam terjemahan filolog UGM, Sulastin Sutrisno yang berjudul Kartini: Surat-surat Kepada Ny. R.M. Abendanon Mandri dan Suaminya , terbit pada 1989.  Dalam terjemahan ini, Sulastin memuat surat Kartini secara lebih utuh, termasuk pandangan Kartini tentang kemajemukan. Di tengah zaman yang diliputi diskriminasi etnis minoritas, Kartini telah maju selangkah. Disamping perhatian terhadap kaum perempuan yang lain menonjol dari Kartini adalah ketulusan hatinya dalam berinteraksi dengan berbagai golongan. Bagi Kartini, kemajemukan adalah satu keniscayaan. Dengan begitu, kata Didi, “Kartini layak diberi gelar ‘Pelopor Pluralisme’”.

  • Para Ibu di Lapangan Hijau

    SEPAKBOLA modern tak lagi melulu milik pria. Kaum perempuan pun sudah jempolan memainkan si kulit bundar, termasuk di negeri kita. Tak jarang pula memunculkan ibu-ibu tangguh, para pesepakbola putri yang tetap merumput meski tengah hamil dan setelah melahirkan. Tengok saja Sydney ‘ The Kid ’ Rae Leroux, striker klub NWSL (Liga Sepakbola Putri Amerika) Orlando Pride dan timnas putri Amerika Serikat. Pada 2016, ia sudah jadi ibu dari seorang bayi laki-laki hasil pernikahannya dengan pesepakbola MLS (Liga Amerika) Dom Dwyer. Menjadi seorang ibu dari bayi bernama Cassius Cruz Dwyer tak menghentikan karier Leroux di lapangan hijau meski sempat cuti setahun dari klub dan timnas saat hamil dan setelah melahirkan. Cerita berbeda saat peraih emas Olimpiade 2012 itu hamil anak kedua. Leroux tetap berlatih di tengah usia kehamilan 5,5 bulan pada Maret 2019. “Mulanya saya mengira takkan ikut latihan pramusim saat hamil 5,5 bulan tapi lihatlah sekarang,” kicaunya di akun Twitter -nya, @sydneyleroux, 4 Maret 2019. Leroux mengaku menghindari kontak fisik dengan rekan-rekan setimnya di sesi latihan. Baru pada April 2019 Leroux mengajukan cuti. Namun pada 29 September 2019 ia sudah tampil lagi untuk klubnya selepas tiga bulan melahirkan. Sydney Leroux yang masih berlatih saat tengah hamil lima bulan (Foto: Twitter @sydneyleroux) Kisah Leroux hanya seujung kuku dari entah berapa banyak pesepakbola putri di abad ke-21 yang memilih tetap berkarier meski sudah jadi ibu. Tidak hanya yang straight , beberapa pesepakbola lesbian juga tetap bermain meski sudah jadi ibu hasil dari bayi tabung. Cerita agak berbeda datang dari para pesepakbola putri yang berkarier di era abad ke-20. Sebelum era 1990-an, sepakbola masih tabu buat kaum hawa. Selain jamak dinyinyiri, para pesepakbola putri acap dibikin was-was lewat argumen kesehatan, utamanya kesehatan organ wanita. Maka tidak sedikit dari mereka yang akhirnya pilih gantung sepatu saat sudah menikah dan punya anak. Berikut ini enam pesepakbola putri abad ke-20 yang tercatat masih punya kemauan kuat bermain saat sudah menjadi ibu, atau bahkan masih sempat berlatih dan tampil saat tengah hamil: Katrine Søndergaard Pedersen Pedersen mulai meniti karier pada 1993 bersama tim muda Stensballe IK. Setahun berselang, ia mentas di klub Denmark lainnya, HEI. Pada 1994 itu pula bek kelahiran 13 April 1977 itu masuk dan jadi langganan timnas putri Denmark hingga 2013 dengan rekor 210 laga internasional. Alhasil, ia termasuk pesepakbola putri paling dihormati di Eropa. Dari hubungan asmaranya dengan sesama pesepakbola, Maiken Pape, Pedersen hamil anak pertama pada November 2013, sekaligus mengumumkan pensiun dari pentas internasional. Namun ia tetap bermain di klub sekaligus jadi ibu hingga benar-benar gantung sepatu di klub terakhirnya, Stabæk, pada 2015. Ia pun jadi pesepakbola legendaris asal Denmark paling diingat publik selain Peter Schmeichel dan Laudrup bersaudara (Michael dan Brian). “Ia (Pedersen) menjadi inspirasi bagi sepakbola putri,” sebut Presiden FIFA Sepp Blatter saat merayakan 125 tahun DBU (induk sepakbola Denmark), dikutip situs FIFA, 18 Mei 2004. Brandi Denise Chastain Meski Piala Dunia putri sudah digelar pada 1991, baru pada 1999 mulai populer dan mengglobal. Pesepakbola putri AS Chastain adalah ikonnya, gegara ia mencetak gol penentu dalam drama adu penalti di final kontra China. “Sebelum 1999 publik tak banyak tahu pesepakbola putri. Itu tahun yang hebat bagi sepakbola putri hingga menjadi populer dan Chastain jadi pahlawannya. Selebrasinya tertangkap kamera banyak fotografer saat ia berlutut, berteriak dengan memejamkan mata dan meninju ke udara, melepas baju dan hanya mengenakan bra sport . Brandi menjadi ikon instan. Bahkan orang yang tak mengerti sepakbola pun mengenal Brandi –si bintang sepakbola dengan bra sport -nya,” ungkap jurnalis Michelle Medlock Adams dalam biografi Brandi Chastain: No Hands Allowed. Lahir di San Jose, California, 21 Juli 1968, Chastain sudah mengolah si kulit bundar sejak SMA. Hobi itu dilanjutkannya di kampus, sejak 1986 dia bermain untuk tim California Golden Bears dan Santa Clara Broncos. Pada 1993, ia hijrah ke tim Jepang Shiroki FC Serena. Sejak 1988, ia masuk timnas Amerika dan menjadi andalan hingga 2004. Chastain turut dalam tim juara Piala Dunia Putri pertama tahun 1991 dan turut dalam tim ketika menyabet emas di Olimpiade Atlanta 1996 dan Sydney 2000. Dia baru pensiun di klub California Storm pada 2010. Pemain serba bisa yang mampu tampil di posisi bek, gelandang, hingga penyerang itu sudah jadi ibu dari seorang putra, Jaden Chastain Smith, sejak 8 Juni 2006. Kendati sempat pensiun, istri dari pelatih Santa Clara Broncos Jerry Smith itu kembali bermain pada 2009 sembari mengurus Jaden dan putra tirinya, Cameron Smith. Chastain baru gantung sepatu lagi setahun setelahnya. Faye White Namanya populer baik di klub, Arsenal Ladies, maupun timnas Inggris dalam kurun 1996-2013. Ikut mengantarkan tim “Tiga Singa” hingga ke final Piala Eropa 2009, prestasi kapten tim Inggris selama 11 tahun itu lebih mentereng di klub. Dia sudah memenangi 10 gelar liga, sembilan FA Cup, empat Community Shield, dan satu Piala UEFA. Dari pernikahannya dengan Keith Mulholland, White hamil pada April 2012 dan memutuskan pensiun dari timnas. Namun ia masih bermain di klub meski sudah melahirkan putra pertamanya, Lukas Mulholland, pada 2013. Sayangnya di tahun yang sama ia terpaksa gantung sepatu. “Semua orang bilang karena saya sudah punya bayi. Tapi bukan itu alasannya. Saya masih mampu menjalankan tugas (pemain). Kemampuan saya masih ada. Tubuh saya juga masih kuat, namun lutut saya yang bermasalah,” ujarnya, dinukil Daily Mail , 20 Maret 2013. Martina Voss Sejak masuk timnas Jerman pada 1984, Voss turut mempersembahkan empat Piala Eropa. Di klub pun eks gelandang KBC Duisburg, TSV Siegen, FCR 2001 dan Duisburg itu termasuk langganan juara. Kini ia masih berkarier di sepakbola sebagai pelatih timnas Jerman. Mulanya sosok kelahiran Duisburg, 22 Desember 1967 itu dikenal sebagai seorang lesbian dan sempat berpacaran dengan sesama pemain timnas, Inka Grings. Namun pada 1 Oktober 2009 ia menikahi pria bernama Herman Tecklenburg dan tak lama kemudian mengandung anak pertamanya. Pun begitu, ia masih tetap bermain. “Saya masih bermain sampai hamil empat bulan di bawah pengawasan dokter kandungan. Saya tak pernah takut, namun lawan saya harus tahu bahwa saya sedang hamil. Dua minggu setelah melahirkan, saya sudah mulai latihan lagi dan bermain setelah lima pekan melahirkan. Tapi memang harus diakui sulit bagi saya untuk sekaligus menyusui karena sulitnya mengatur jadwal laktasi dan latihan,” aku Voss, dikutip jurnal FIFA terbitan 2007 bertajuk “Health and Fitness for the Female Football Player”. Christie Patricia Pearce Sebelum bercerai dengan suaminya, Chris Rampone, pada 2017, ia dikenal dengan nama Christie Rampone. Bek kelahiran Fort Lauderdale, Florida pada 24 Juni 1975 itu memulai karier sepakbolanya pada 1993 di tim kampus Monmouth Hawks. Empat tahun berselang dia masuk Central Jersey Splash yang menandai kiprahnya di kompetisi profesional. Tahun itu juga Christie masuk timnas Amerika. Namanya sempat viral pada Agustus 2009. Pasalnya, menyitat situs FIFA, 27 Agustus 2009, Christie, pemain merangkap pelatih caretaker tim Sky Blue FC, masih ikut tampil di babak play-off WPS (Women’s Professional Soccer) Champioship walau tengah hamil tiga bulan. Hal itu turut jadi faktor ia dianugerahi WPS Sportswoman of the Year. Ia cuti saat kehamilannya memasuki usia empat bulan hingga melahirkan putrinya, Reece. Pada 2010, kembali tetap merumput bersama timnas Amerika hingga 2015 dan bersama klubnya hingga pensiun pada 2017. Ia mencatat rekor dua kali juara Piala Dunia Wanita (1999 dan 2015). Papat Yunisal Hampir segenap hidupnya dihabiskan di sepakbola. Lahir di Subang, 11 Juni 1963, Papat Yunisal mulai berkarier di Putri Priangan sejak 1979 dan masuk timnas PSSI Putri pada 1981. Prestasi tertinggi striker mungil itu, mengantarkan timnas putri jadi finalis ASEAN Women’s Championship 1982. Empat tahun berselang ia dipersunting pria yang enggan ia sebutkan namanya. Tak lama kemudian ia pun mengandung dan sempat vakum dari rumput hijau. Papat sudah comeback berlatih bersama Putri Priangan tak lama setelah melahirkan anak pertamanya. “Saya baru 40 hari lahiran sudah main, saking antusiasnya ingin main lagi. Saya ke dokter untuk cek kesehatan saya, cek nadi saya semua. Saya juga tanya, masih layak (secara medis) enggak saya bermain bola?” kata Papat kepada Historia. “Terus sama dokternya dibolehin. Syaratnya harus pake gurita yang bener-bener nge- press . Setelah itu main saya. Enggak ada rasa-rasa sakit apa gitu,” lanjut perempuan yang pensiun dari timnas pada 1987 dan dari klubnya tiga tahun berselang itu. Kini sebagai ibu dan juga nenek dari lima cucu, ia masih mendarmabaktikan dirinya sebagai Ketua Asosiasi Sepakbola Wanita Indonesia (ASBWI).

  • Kontemplasi Nan Sunyi di Gereja Sacrè-Coeur

    Berbicara tentang Prancis tak akan bisa lepas dari kota Paris. Kota ini memberikan kesan kuat bagi para pelancong. Musik, kultur, seni, dan sepakbola bersatu di kota ini. Suasana kotanya romantis. Banyak pasangan ucap janji setia di menara Eiffel, Sungai Seine, dan Jembatan Ponts de Art. Sudut lain kotanya tak kalah ciamik. Bangunan bersejarah berlimpah. Salah satu bangunan bersejarah itu Gereja Sacrè-Coeur. Letaknya di Montmartre, daerah berbukit di pinggiran utara kota Paris. Saya harus melalui berbagai jalan sempit untuk menuju Sacrè-Coeur. Kanan dan kiri jalan sempit itu sesak oleh berbagai kafe untuk minum kopi, makan, dan menenggak  wine .  Ribuan wisatawan mengunjungi Sacrè-Coeur setiap harinya. (Fernando Randy/Historia). Setelah melewati jalan sempit, saya bertemu ratusan anak tangga dan harus menapakinya pelan-pelan. Cukup melelahkan. Tapi ketika sampai di puncak bukit, lelah itu sirna. Pemandangan Paris terhampar jelas. Gereja Sacrè-Coeur berdiri dengan megah di atas ketinggian 130 meter.   Suasana jalan menuju ke Sacrè-Coeur di Montmarte Paris. (Fernando Randy/Historia) Sacrè-Coeur berusia lebih dari satu abad. Pembangunannya dimulai pada 1875. Tak lama setelah kekalahan Prancis dari Prusia pada 1871 dan revolusi Komune Paris pada tahun yang sama. Dua peristiwa ini begitu memukul orang Katolik Prancis. Mereka merasa peristiwa itu muncul tersebab dosa-dosa keseharian mereka. Sebagai bentuk pertobatan, mereka berikhtiar mendirikan sebuah gereja dan meminta Paul Abadie, seorang arsitek, untuk merancangnya. Gambar-gambar pada dinding Gereja Sacrè-Coeur. (Fernando Randy/Historia). Pembangunan Sacrè-Coeur selesai pada 1914. Kemudian gereja ini dikuduskan pada 1919, setelah Perang Dunia I berakhir. Kekhasan Sacrè-Coeur terletak pada pemilihan warnanya. Semuanya putih bersih. Simbolisasi dari arti namanya, Hati Suci. Warna putih dihasilkan dari penggunaan batu Château-Landon. Batu ini mengeluarkan zat kapur yang berfungsi sebagai pemutih alami dan sanggup bertahan lama sehingga membuat gereja ini terlihat putih bersinar. Berbagai patung umat Kristiani menghiasi Gereja Sacrè-Coeur di Paris. (Fernando Randy/Historia). Saat memasuki gerbang Sacrè-Coeur, saya dapat merasakan kekuatan arsitekturnya. Situasi di sana memang ramai, tapi nuansa ketenangan begitu kuat. Ramai di luar gereja, damai di dalam hati. Di dalam gereja tinggi menjulang itu terdapat berbagai patung tokoh umat Kristiani. Selain itu juga tersua lukisan dinding yang sangat indah berupa Yesus terbang. Menambah kuat kesan spiritual selama berada di Sacrè-Couer.  Para wisatawan mengambil foto kota Paris dari atas Sacre-Coeur Paris. (Fernando Randy/Historia). Pesan-pesan yang teringgal di Sacrè-Coeur. (Fernando Randy/Historia). Sacrè-Coeur terbuka luas untuk semua penganut agama. “Wisatawan dari semua negara, dari agama apapun, bebas masuk ke dalam sini. Yang terpenting adalah sopan dan saling menghargai, karena ini adalah tempat ibadah,” ujar Adrien Rene (34), salah satu penjaga gereja.  Lukisan Yesus Kristus di atap Gereja Sacrè-Coeur Paris. (Fernando Randy/Historia). Setelah menyelami kedalaman arsitektur Sacrè-Coeur, saya keluar gereja dan melihat berbagai atraksi kreatif para seniman Paris di sekitar gereja. Dari pemusik, pelukis jalanan, hingga pesulap. Mereka menggantungkan hidup pada gereja dan berharap berkatnya selalu terlimpah kepada mereka. Jules seorang pesulap saat mempertontonkan keahlianya di sekitar Sacrè-Coeur Paris. (Fernando Randy/Historia). Jules (25), seorang wanita pesulap di sekitar Sacrè-Coeur, mengatakan bahwa dia belum lama menggelar pertunjukan di sekitar gereja. "Namun Sacrè-Coeur selalu memberikan berkat melimpah kepada saya dalam setiap kepingan euro wisatawan." Para wisatawan menikmati sore hari di Sacrè-Coeur. (Fernando Randy/Historia).

  • Mula Kaum Ibu Membincang Masalah Politik

    KONGRES Perempuan Indonesia (KPI) IV menandai perbedaan penting tiga kongres serupa sebelumnya. Jika pada KPI I sampai III pembahasan selalau berkaitan dengan hak perempuan di ranah perkawinan dan pendidikan, pada KPI IV para perempuan menitikberatkan diskusi pada peran perempuan dalam politik. Meski pembahasan mengenai hak plih sudah dlakukan pada kongres ketiga, para perempuan masih sebatas untuk mempelajari dan melakukan riset lebih dalam. Baru pada kongres keempat mereka bersepakat untuk memperjuangkan posisinya di ranah politik melalaui tuntutan pemberian hak pilih. Kongres yang diadakan di Semarang pada 25-28 Juli 1941 ini dipimpin oleh Ny. Sunaryo Mangunpuspito. Sebanyak 13 organisasi perempuan seperti Aisyiyah, Isteri Indonesia, Wanita Taman Siswa, dan lain-lain hadir untuk menyumbangkan buah pikir mereka. Kongres pada akhirnya menghasilkan beberapa keputusan seperti, sepakat mendukung Gabungan Politik Indonesia (GAPI) dan organisasi lainnya menolak wajib militer ( militieplicht ) terbatas bagi bangsa Indonesia. Selain itu, kongres menyarankan pada Volksraad agar mendorong bahasa Indonesia dimasukkan sebagai mata pelajaran tetap pada sekolah menengah (HBS dan AMS). Mereka juga mendirikan empat komite yang masing-masing bertugas untuk memberantas buta huruf, menyelidiki kesempatan kerja perempuan Indonesia, mempelajari hukum Islam dalam perkawinan, dan memperbaiki ekonomi perempuan. Pembahasan kongres didominasi soal hak pilih perempuan mengingat sejak 1930-an para perempuan Indonesia berusaha keras untuk mendapatkan hak suara sama seperti lelaki. Di tahun-tahun sebelumnya, sedikit sekali catatan tentang perjuangan hak pilih perempuan pribumi. Susan Blackburn dalam Women and the State in Modern Indonesia menyebut ada beberapa alasan yang mendasari kelambanan organisasi perempuan Indonesia dalam menyadari isu hak pilih. Salah satunya, organisasi konservatif, biasanya berdasar agama, meyakini bahwa perempuan tidak siap untuk berperan dalam urusan politik dan tidak pernah didorong untuk melakukannya. Selain itu, politik selalu diartikan sebagai dunia laki-laki. Namun ketika perempuan Indonesia menyaksikan seorang perempuan Belanda duduk di Dewan Rakyat, mereka tergugah untuk mendapatkan hak pilih juga. Lewat keputusan kongres, mereka menolak sikap Minangkabauraad yang enggan memberikan hak pilih bagi kaum ibu. Sebaliknya, mereka mengajukan tuntutan pada Volksraad agar perempuan Indonesia mempunyai hak pilih aktif dan pasif. Sebagai tindak lanjut, kongres mengirimkan telegram pada Dewan Rakyat, Fraksi Nasional Indonesia (Suroso), dan Gubernur Jenderal di Batavia tentang hak pilih perempuan. "Setelah mendengar pembicaraan-pembicaraan dalam Dewan Rakyat, di mana sebagian besar anggotanya telah menyetujui hak untuk memilih bagi wanita, Kongres Perempuan Indonesia ke IV mohon agar hak pilih bagi kaum wanita dikabulkan," demikian bunyi surat tersebut seperti tercatat dalam Sejarah Setengah Abad Kesatua Pergerakan Wanita Indonesia. Soeroso yang menerima surat tersebut menyampaikannya dalam sidang Dewan Rakyat pada 4 September 1941. Sidang berlangsung cukup alot lantaran beberapa anggota Dewan Rakyat seperti T. de Raadt, Soeangkoepon, dan Loa Sek Hie, menolak memberikan hak pilih bagi perempuan pribumi. Pemerintah Kolonial juga menanggapi tuntutan dari KPI pada sidang tanggal 9 September 1941. Mr. Van Hasselt, perwakilan dari Pemerintah Hindia Belanda, menyatakan belum saatnya memberi hak pilih pada perempuan Indonesia dan perempuan bangsa asing. Namun, secara prinsip pemerintah tidak keberatan pada hak pilih perempuan Indonesia dan bangsa asing. Pernyatan itu mengecewakan para perempuan. Perjuangan mereka juga harus terhenti lantaran Jepang keburu masuk lalu membekukan KPI. Satu-satunya organisasi perempuan yang diperbolehkan adalah Fujinkai, organisasi perempuan bentukan Jepang yang berbau militeris. Rencana kongres kelima di Surabaya pimpinan Nyonya Sundari dari Putri Budi Sejati pun batal. "Jaman kolonial Belanda itu yang terakhir adalah kongres perempuan Indonesia IV di Semarang tahun 1941. Jaman Jepang tidak ada apa-apa," kata Maria Ullfah pada Dewi Fortuna Anwar dalam arsip rekaman sejarah lisan Arsip Nasional RI.

  • Mengunjungi Tempat Belajar I-Tsing

    Para biksu baru saja selesai sarapan. Mereka berlari-lari kecil mengelilingi tembok-tembok mahavihara . Katanya itu ampuh untuk memperlancar pencernaan. Mereka menghabiskan hari-harinya belajar di mahavihara itu. Bangunannya mirip kota berbenteng. Dengan bata-bata yang disusun sebagai tembok. Begitu sunyi dan jauh dari keramaian, mahaviahara tersembunyi di tengah hutan pedalaman Sumatra, di seberang Sungai Batanghari yang lebar. Kondisi itu dicatat I-Tsing, biksu asal Tiongkok yang pernah melawat ke Sumatra pada abad ke-7 dalam perjalanannya ke Nalanda, India. Suasana ini pula yang terbayang ketika memasuki kawasan Candi Kedaton. " Dia (I-Tsing, red. ) menggambarkan keseharian para biksu yang tinggal di sini. Kalau kita observasi deskripsi ini mirip dengan kompleks Candi Kedaton ," ujar Asyhadi Mufsi Sadzali, arkeolog Universitas Jambi , ketika ditemui di Kompleks Percandian Muaro Jambi. Candi Kedaton merupakan salah satu kompleks candi dari gugusan Kompleks Percandian Muaro Jambi. Dari jalan raya, ia tertutup tembok bata kuno. Namun begitu menyeberangi kanal yang memisahkan kompleks ini, barulah terlihat kelompok bangunan ini adalah yang terbesar di antara gugusan candi-candi di Kawasan Cagar Budaya Muaro Jambi. Ada tembok pagar keliling setinggi dua kali orang dewasa yang menutup kompleks bangunan kuno itu dari luar. Gerbang asli masuk ke kompleks ini berada di arah berlawanan dari jalan raya. Kendati gapuranya masih berdiri kokoh, wujudnya sudah tak utuh. Mungkin dulunya ia beratap dan berpintu. Sarnobi, salah satu dari 12 juru pelihara di candi itu, sempat menunjukkan adanya dua baris tulisan Jawa Kuno pada salah satu hiasan Makara pada gapura. Aksaranya bergaya kuadrat, yaitu gaya tulisan yang dipahat menonjol. Titi Surti Nastiti, ahli epigrafi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, pernah menjelaskan dalam kesempatan yang berbeda kalau gaya tulisan ini muncul pada masa Kadiri dan masih dipakai pada zaman Majapahit. Berdasarkan tulisan itu, menurut Wiwin Djuwita Sudjana Ramelan dalam Candi Indonesia Seri Sumatera, Kalimantan, Bali, Sumbawa , mungkin Candi Kedaton pernah dipakai sebagai tempat meditasi Mpu Kusuma. "Tempat mengheningkan ciptanya (meditasi, red. ) Mpu Kusuma," bunyi tulisannya. Masuk melewati gapura, di bagian dalam kompleks nampak tembok-tembok bata lain yang lebih rendah. Fungsinya membagi halaman. Sekiranya ada sembilan halaman di sana. Di dalam halaman-halaman yang terpisah itu ada sepuluh runtuhan bangunan. Di antaranya, bangunan induk, mandapa, danbangunan perwara yang ukurannya lebih kecil. Ditemukan pula sumur kuno dari susunan bata, juga belanga perunggu yang lebarnya kira-kira satu meter. "Dulu ini kebun karet, duku, durian. Candinya sebagian utuh, sebagian hancur," ujar Sarnobi yang menemani kunjungan kala itu. "Ada pohon besar sekali di atas candi itu dulunya. Kami ikut juga merobohkannya." Warga sekitar candilah yang pertama menemukan keberadaan candi itu. Mereka heran mengapa tanah di tempat yang kini nampak candinya itu begitu tinggi. "Ditanam apapun nggak bisa hidup. Rupanya banyak batu kerikil dan candi di dalamnya," kata Sarnobi. Bata-bata yang berserakan di kawasan itu dulunya juga sering dibawa pulang warga sekitar untuk dijadikan pondasi rumah. "Kan tidak tahu, dibikin pondasi rumah kok bagus," kata Sarnobi sambil tertawa. Gerbang Kompleks Candi Kedaton. (Risa Herdahita Putri/Historia). Dikunjungi I-Tsing Banyak peneliti yang mengkaitkan sisa-sisa bangunan di lahan seluas 43.000 m2 itu dengan mahavihara yang pernah didatangi oleh I-Tsing. Di kota Foshi yang berbenteng itu, menurut Shinta Lee, penerjemah catatan perjalanan I-Tsing dari Komunitas Sudimuja & Jinabhumi, I-Tsing melihat kalau para biksu menganalisis dan mempelajari semua mata pelajaran yang persis seperti yang ada di Kerajaan Tengah (Madhyadesa, India). Misalnya, Pancavidya yang mencakup pelajaran tata bahasa, pengobatan, logika, seni, keterampilan kerajinan, dan ilmu mengelola batin. "Tata cara dan upacaranya sama sekali tak berbeda," kata Shinta. Sedangkan menurut Asyhadi, dilihat dari lokasinya, gugusan kompleks percandian Muaro Jambi secara keseluruhan memang cocok sebagai tempat belajar. Dalam mambangun mahavihara para pendirinya pasti memilih lokasi yang jauh dari keramaian. Kalau tak di gunung, maka di tengah hutan. "Untuk mencari tempat yang sunyi dan cocok untuk belajar jauh dari godaan duniawi," kata Asyhadi. "Kita lihat sekarang sungai ini (Batanghari, red .) begitu luas dan lebar. Bayangkan ribuan tahun lalu mungkin lebih lebar lagi, artinya akses lalu lalang susah dan jarang dilakukan." Sayangnya, data pertanggalan yang bisa memperkuat apakah percandian ini semasa dengan kedatangan I-Tsing belum bisa banyak berbicara. Sejauh ini periode pembangunan candi baru bisa diperkirakan lewat adanya temuan keramik Dinasti Tang (618-907) dan yang terbanyak, temuan keramik dari era Dinasti Sung (960-1279). Ada lagi yang memperkirakan lewat gaya tulisan dalam lempengan emas berisi mantra yang ditemukan dalam kawasan situs di Candi Gumpung. Ahli epigrafi, Boechari menganalisis gaya tulisan itu berasal dari abad ke-7 dan ke-8.   Sementara gaya arsitektur candi di Kompleks Percandian Muaro Jambi tak bisa dijadikan ukuran. "Tak bisa menganalisis arsitektur Muaro Jambi dari abad keberapa karena agak unik. Uniknya candi-candi ini polos dan sederhana," kata Asyhadi. Arkeolog dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jambi, Ignatius Suharno juga mengatakan perlunya kajian lebih dalam soal apakah benar Candi Kedaton dan candi-candi di sepanjang gugusan Kompleks Percandian Muaro Jambi itu benar yang dimaksudkan I-Tsing dalam catatannya. "Makanya, belum ada catatan jelas atau prasasti terkait Muaro Jambi. Adanya baru analisis-analisis," katanya saat ditemui di kantor BPCB. Namun, yang pasti semua sepakat. Karena sebagian besar adalah candi, ditambah pentirtaan, dan arca-arca bernapaskan ajaran Buddha, tentunya Kompleks Percandian Muaro Jambi berkaitan dengan pusat keagamaan bagi masyarakat Buddha di masa lalu.

  • Nasib Tragis Raja Inggris yang Dimakzulkan

    RABU 18 Desember 2019 menjadi “Rabu kelabu” bagi Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Malam hari itu waktu setempat, House of Representatives mengetuk palu untuk menetapkan impeachment atau pemakzulan terhadap Trump. Pemakzulan bisa disebut sebagai proses politik untuk mengadili tindak kejahatan seorang pemimpin. Di negara-negara dengan sistem bikameral, pemakzulan berhulu pada suara mayoritas yang didapatkan dari pemungutan suara di badan legislatif. Suara mayoritas itu lalu diteruskan ke Senat. Senat lalu menyelidikinya dan memutuskan apakah si kepala negara harus melepaskan jabatannya atau tidak. Sebelum Trump yang nasibnya bakal ditentukan Senat AS kelak, ada dua presiden AS yang dimakzulkan meski kemudian tetap menjabat sampai akhir masa jabatan. Adalah Andrew Johnson pada 24 Februari 1868 dan Bill Clinton pada 19 Desember 1998. Di Indonesia, setidaknya dua presiden pernah di- impeach , yakni Sukarno pada 12 Maret 1967 dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada 23 Juli 2001. Namun tahukah Anda bahwa tidak hanya presiden, seorang raja pun pernah dimakzulkan bahkan sampai divonis eksekusi mati? Siapa Raja Charles I? Dari beragam catatan sejarah, peristiwa pemakzulan pertama terhadap seorang pejabat negara terjadi di Inggris pada 1346. Adalah Lord William, bangsawan Inggris yang menjadi baron keempat di Latimer, yang dimakzulkan. Tiga abad berselang, giliran seorang raja yang di- impeach hingga bermuara pada eksekusi mati. Raja itu ialah Charles I. Charles I dinobatkan jadi raja Inggris, Skotlandia, dan Irlandia pada 25 Maret 1625 sepeninggal ayahnya, Raja James I (Raja James IV, sebagai penguasa Skotlandia). Sebagaimana mendiang ayahnya, Charles I juga kerap berselisih dengan parlemen yang banyak diisi para politisi puritan. Oleh karena itu, perselisihan Charles I dengan parlemen tak hanya soal uang atau kebijakan diplomatik, namun juga soal agama. Perselisihan agama itu berpangkal pada istri Charles I, Ratu Henrietta, yang berasal dari Prancis dan beragama Katolik Roma. Lukisan tiga wajah Raja Charles I. ( royalcollections.org.uk ). Mengutip Robert Unwin dalam The Making of United Kingdom , perkara lain yang bikin ruwet hubungan sang raja dan parlemen adalah relasinya dengan George Villiers, 1st Duke of Buckingham. Villierslah biang kerok yang membuat Inggris terlibat dalam berbagai konflik yang menguras keuangan negara, seperti di Perang Ekspedisi Cádiz kontra Spanyol (1-7 November 1625) dan Pertempuran St. Martin melawan Prancis (1627). “Charles butuh uang dari parlemen yang bakal menaikkan pajak. Parlemen memanfaatkannya untuk bernegosiasi. Parlemen merilis daftar keluhan rakyat terhadap raja yang dikenal dengan ‘Petition of Right’. Charles terpaksa setuju. Namun menyusul pembunuhan Duke of Buckingham pada 1629, hubungan antara Charles dan parlemen memburuk, Charles membubarkan parlemen,” ungkap Unwin. Maka selama 11 tahun berikutnya Inggris dipimpin seorang tiran yang memerintah tanpa diawasi parlemen. Baru pada 1640 parlemen diketengahkan Charles atas usulan salah satu menterinya, Thomas Wentworth, 1st Earl of Strafford. Nahas, setahun berselang justru Wentworth sendiri dimakzulkan parlemen yang berakhir pada keputusan eksekusi mati. Parlemen dan Charles kembali bersitegang saat kekuasaannya hendak dikerdilkan parlemen lewat hukum-hukum baru yang dikeluarkan House of Commons (legislatif). Charles yang marah menggeruduk parlemen dengan pasukannya untuk menangkap lima musuh politik di House of Commons pada 1642. Para oposan itu lalu kabur. Peristiwa itu menandai dimulanya Perang Saudara Inggris antara kaum “Roundheads” yang pendukung parlemen dan “Cavaliers” sebagai loyalis Charles I. Meski Perang Saudara Inggris terjadi hingga 1649, Charles I sudah lebih dulu ditawan di Isle of Wight sejak 1648. Baru pada Januari 1649 statusnya sebagai raja dimakzulkan House of Commons, badan legislatif di Parlemen Rump, dengan dakwaan penyalahgunaan kekuasaan dan pengkhianatan terhadap rakyat Inggris. Raja Charles I dalam sidang pemakzulannya. (Wikipedia/Repro The Phelps Family of America and their English Ancestors ). Pada 20 Januari 1649, Charles I diseret ke kursi terdakwa di Westminster Hall. Tiga hakim dan 150 komisioner pengadilan tinggi menghadapi sang raja dalam pengadilan kasus itu. Tetapi Charles I menganggap peradilan itu sebagai peradilan ilegal. Sebagai raja, ia masih berpegang pada hukum tradisional Inggris: raja adalah kekuasaan abadi yang diberikan Tuhan sehingga raja dianggap takkan pernah salah. Oleh karenanya, persidangan itu tak punya kekuatan hukum terhadap kedudukannya sebagai raja. “Tidak ada pengacara terpelajar yang akan menyetujui bahwa sebuah pemakzulan bisa dihadapkan pada raja… Saya ingin tahu wewenang dari otoritas hukum mana, sampai saya bisa diseret ke (persidangan) ini,” kata Charles I saat diberi kesempatan bicara, dikutip dari The Constitutional Documents of the Puritan Revolution: 1625-1660 yang dieditori Samuel Rawson Gardiner dari Universitas Oxford. Pernyataan itu mendapat bantahan dari Bradshaw, satu dari tiga hakim yang memimpin sidang. Menurutnya, saat Charles I dinobatkan dengan sumpah, sumpahnya punya makna timbal-balik terhadap rakyat. Dalam dakwaan, justru rakyatlah yang dikhianati Charles I hingga menjadikan ikatan antara raja dan rakyatnya terputus. Surat vonis Raja Charles I (kiri) & ilustrasi eksekusi mati dengan pemenggalan kepala. ( parliament.uk ). Charles I pun tetap disidang dan pada 27 Januari 1649 divonis hukuman mati. “Sidang mencapai keputusan bahwa Charles (dari wangsa/dinasti) Stuart dinyatakan bersalah atas kejahatan yang dituduhkan padanya sebagai tiran, pengkhianat, pembunuh dan musuh negara, dengan hukuman mati lewat eksekusi pemenggalan kepala,” demikian bunyi vonis Charles yang ditandatangani 59 komisaris sidang, termaktub dalam arsip “Death Warrant of King Charles I” yang dimuat situs parliament.uk . Eksekusinya digelar di halaman Banqueting House, Istana Whitehall pada 30 Januari 1649 siang. Peristiwa pemakzulan itu lantas diadopsi para perumus konstitusi AS, di mana dalam Konvensi Konstitusi 1787 prosedur pemakzulan dimasukkan di Konstitusi Amerika Pasal II ayat 4. Konstitusi serupa itu kini dihadapi Trump.

  • Khazanah Arsip Lima Tokoh Indonesia

    DALAM Kongres Pemuda I, para perempuan turut hadir. Emma Peradiredja salah satunya. Dia mewakili Jong Islaminten Bond. Dalam kongres tersebut Emma aktif dalam pembicaraan mengenai nasib perempuan dalam pendidikan. Pada Kongres Pemuda II yang menghasilkan Sumpah Pemuda, Emma kembali hadir dan aktif. Ketika masa revolusi fisik, Emma menjadi pemimpin pemuda dalam perlawanan di Bandung dan menjadikan rumahnya sebagai markas. Ketika Bandung menjadi lautan api, ia bersama Djawatan Kereta Api mengungsi ke Cisurupan pada Juni 1947 untuk kemudian pindah ke Yogyakarta hingga ditangkap pada 1949. Seluruh aktivitas Emma sejak 1921-1978 tersebut tercacat dengan rapi lewat tulisan tangannya. Catatan pribadi Emma inilah yang diserahkan Amarawati Poeradiredja, anak Emma, kepada Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Pengambilalihan arsip tersebut kemudian diresmikan dalam acara Penyerahan Arsip LAPAN, Ormas, dan Perseorangan di ANRI, Kamis (19 Desember 2019). “Semua arsip Bu Emma saya simpan baik-baik. Saya mencatat arsip yang dipinjam lalu kembali. Undangan untuk berbicara tentang Bu Emma juga semua saya simpan dengan baik,” kata Amara. Ada lima tokoh yang arsipnya diserahterimakan ke ANRI. Selain Emma, ada Ir. Djuanda Kartawidjaja, Ir. Suharto, dr. Rusmono, dan Rajab Leasa. Dari kalangan ormas yang menyerahkan arsip statis ialah Teater Keliling pimpinan Rudolf Puspa. Selain itu, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) juga menyerahkan foto dan citraan satelit Lumpur Lapindo yang pernah digunakan sebagai rujukan ganti rugi lahan korban tedampak. Rudolf Puspa memberikan sambutan di acara penyerahan arsip Teater Keliling. (Nur Janti/Historia). Menurut Kepala Subdirektorat Akuisisi Arsip III Ormas, Perseorangan, dan Sejarah Lisan Yosephine Hutagalung, proses pengambilalihan arsip pribadi memakan waktu sekira satu tahun. Seluruh foto yang dkumpulkan kemudian diriset kembali untuk diberi konteks waktu dan peristiwa. Upaya menambah khazanah arsip perorangan juga dibarengi dengan pembuatan arsip sejarah lisan yang bisa memperkaya sumber periset biografi tokoh. Dalam pembuatan arsip sejarah lisan Ir. Djuanda Kertawidjaja, misalnya, ANRI telah mewawancara anak bungsunya, Noorwati Djuanda. Dokumen penting yang diserahkan oleh keluarga Ir. Djuanda Kartawidjaja merupakan catatan sidang pleno Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Solo pada 25 Februari hingga 7 Maret 1946. Sebelumnya, pihak ANRI juga meminta arsip perorangan dari Ciputra mengingat ia punya banyak karya dalam pembangunan kota Jakarta. Sayangnya, kondisi kesehatan Ciputra tidak memungkinkan. “Tadinya kami mau membuat proyek sejarah lisan ke Pak Ciputra, namun sayangnya beliau sedang dirawat di rumahsakit dan tidak bisa diwawancara,” kata Yosephine. Sementara, penyerahan arsip Ir. Suharto sudah dimulai sejak November 2018. Semula keluarga hanya menyerahkan arsip foto namun ketika Ir. Suharto meninggal pada Agustus 2019, seluruh arsip diserahkan pada ANRI. Koleksi paling menonjol ialah rancangan pesawat XT-400 sebagai pesawat perintis. Ada pula kumpulan foto dan dokumen Ir. Suharto dari 1966-2017. Mengenai arsip dr. Rusmono, isinya berupa kumpulan disposisi Presiden Soeharto dan Ibu Tien Soeharto kepada Rusmono selama menjabat sebagai dokter kepresidenan pada 1986-1995. Terdapat pula arsip foto pelaksanaan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) di Fakfak yang diserahkan Rajab Leasa. Penyerahan arsip Emma Poeradiredja, dilakukan selama setahun. “Pengerjaan Arsip Bu Emma sudah dilakukan sejak pertengahan 2018. Sejauh ini koleksi arsip era pergerakan nasional masih sedikit, khususnya perempuan. Maka arsip dari Bu Amara jadi penting untuk melengkapi koleksi ANRI,” kata Suryagung, arsiparis yang mengerjakan akuisisi arsip Emma Poeradiredja. Amarawati menceritakan perjuangan Emma Poeradiredja. (Fernando Randy/Historia). Dalam proses penyerahan arsip ini, Amara memberikan delapan buku, arsip foto, surat, naskah pidato, dan dokumen kegiatan Emma. Namun Amara meminta agar ANRI memberikan salinannya. “Kalau yang asli boleh diambil, tapi setidaknya saya punya salinannya. Jadi ketika ada yang bertanya tentang Bu Emma saya punya pegangan,” kata Amarawati. Arsip yang diserahkan dari keluarga Emma terhitung paling banyak lantaran Amara cukup rajin menata dan mendaftar peninggalan Emma. “Semua yang saya simpan dan koleksi itu penting. Untuk kenangan saya tentang Bu Emma, juga untuk diwariskan ke anak cucu saya. Kita nggak bisa melupakan sejarah yang begitu dekat,” kata Amara.

  • Tjokroaminoto Jadi Hanoman

    Haji Oemar Said Tjokroaminoto atau HOS Tjokroaminoto merupakan tokoh yang dikenal sebagai guru bangsa. Dia menempa tokoh-tokoh seperti Sukarno, Muso, Alimin hingga Kartosoewiryo kala mondok di rumahnya, di Surabaya. Selain sebagai guru politik yang jago berpidato, Tjokroaminoto ternyata juga seorang seniman. Bakat seni Tjokroaminoto terasah ketika dia bersekolah di Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren  (OSVIA) Magelang. Selain mendapat pendidikan sebagai calon pegawai pemerintahan, Tjokroaminoto juga dilatih berbagai kesenian Jawa. Pelajaran khusus bagi para pelajar Jawa di OSVIA meliputi sastra, karawitan hingga tari-tarian Jawa. "Adalah suatu aib bagi seorang priyayi lulusan OSVIA, bila tidak mahir menari Jawa, yang disebut beksa. Dan Oemar Said Tjokroaminoto memang mahir sekali dalam hal tari-tarian ini," sebut Subagiyo Ilham Notodijoyo dalam Harsono Tjokroaminoto: Mengikuti Jejak Perjuangan Sang Ayah. Pada 1902, Tjokroaminoto lulus dari OSVIA. Dia kemudian menjadi pegawai pamongpraja sebagai juru tulis patih di Ngawi, Jawa Timur. "Akan tetapi seperti halnya dengan Tirto Adhi Soerjo , ia tidak menyukai pekerjaan tersebut, sehingga ia keluar dari dinas pamongpraja pada tahun 1905, kemudian menggabungkan diri pada suatu pertunjukan wayang orang," tulis Hartono Kasmadi dalam Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jawa Tengah. Pada 1907, Tjokroaminoto pindah ke Surabaya dan bekerja di firma Kooy & Co. Kegemaran berkesenian Jawa, terutama pada pertunjukan wayang orang, terus ia bawa. Ia seringkali membawa anak dan para pelajar yang mondok di rumahnya untuk berlatih wayang orang. "Kalau saya tidak salah ingat, ketika saya masih berusia sekitar 5-6 tahun, di Surabaya, ayah bersama-sama para pelajar yang mondok di rumah, secara teratur entah seminggu sekali atau seminggu dua kali, mengadakan latihan tari-tarian wayang bertempat di Taman Seni Panti Harsoyo, sekarang barangkali taman ini telah berubah menjadi hotel," ungkap Harsono Tjokroaminoto dalam Menelusuri Jejak Ayahku . Ketika bermain dalam pertunjukan wayang orang, Tjokroaminoto sering memerankan tokoh Hanoman. Sosok kera putih sakti itu adalah tokoh wayang idolanya. "Jika ikut dalam suatu pertunjukan wayang orang, maka kesukaan almarhum dulu ialah menjadi Hanoman. Dalam memilih peranan itu kiranya beliau ingin memuntahkan isi jiwanya dalam menghadapi perjuangan bangsanya,” tulis Amelz dalam H.O.S Tjokroaminoto, Hidup dan Perjuangannya . Dalam kisah Ramayana, Hanoman bersama pasukan wanara diceritakan berhasil mengalahkan banyak tentara Dasamuka dalam satu peperangan. Dasamuka sendiri merupakan tokoh yang oleh TJokroaminoto dianalogikan sebagai penjajah. "Jadi rupanya yang menjadi latar belakang ayah menggemari peran sebagai Hanoman tidak lain adalah karena Hanoman itu, bagi beliau, merupakan simbol di dalam perjuangannya membela bangsa Indonesia dari penindasan penjajah Belanda," kata Harsono. Selain itu, Tjokroaminoto mengibaratkan Dasamuka sebagai kapitalis yang harus dihancurkan. Maka pertarungan Hanoman dan Dasamuka relevan dengan semangat perjuangannya. "Bagi ayah, pertarungan ini merupakan perlambang dari perjuangan beliau dalam usaha rakyat Indonesia menghancurkan penjajah yang angkara murka, yang bersifat kapitalistik dan imperialistis itu," terang Harsono. Selain pandai bermain dalam pertunjukan wayang orang sebagai Hanoman, Tjokroaminoto juga jago menyanyikan tembang-tembang Jawa serta membuat sajak dan pantun Jawa. Keluarganya pun juga dekat dengan kesenian meskipun mereka berbeda selera. Istrinya, Soeharsikin, lebih memilih piano daripada gamelan. Sedangkan anak-anak Tjokroaminoto seperti Oetari, Anwar Tjokroaminoto, dan Harsono Tjokroaminoto juga pandai bermain alat musik dan menyanyi.

  • Langkah Gila Belanda di Yogyakarta

    HARI Minggu itu adalah saat kelabu bagi Yogyakarta dan penghuninya. Sejak pagi, pesawat-pesawat pembom Belanda jenis P51 dan Spitfires terus menghujani ibu kota Republik Indonesia (RI) tersebut dengan ratusan bom dan rentetan tembakan senapan otomatis. "Kami saja yang tentara sudah merasa tegang menghadapi situasi tersebut, apalagi rakyat sipil," kenang almarhum Mayor Jenderal (Purn.) Sukotjo Tjokroatmodjo. Sukotjo adalah anggota pasukan Corps Polisi Militer (CPM) yang mengawal Istana Negara. Pada saat militer Belanda menginvasi Yogyakarta, dia seorang letnan muda yang bersama pasukannya tengah bersiap untuk menjaga keselamatan Presiden Sukarno. Tidak hanya bom dan tembakan, roket-roket pun diluncurkan ke berbagai gedung yang berfungsi sebagai instalasi militer milik Republik. Tak jarang, amunisi-amunisi berat itu mengenai sasaran yang salah dan jatuh di lingkungan pemukiman penduduk hingga menimbulkan korban. Sejatinya pihak RI sudah menduga bahwa Belanda akan keluar dari kesepakatan Perjanjian Renville dan melakukan penyerbuan ke wilayah Republik. Namun pihak RI tidak mengira jika hari H-nya adalah 19 Desember 1948. Alasannya, selain di Yogyakarta saat itu sedang ada para pengawas dari Komisi Tiga Negara (KTN), para pemimpin Republik juga percaya bahwa Belanda baru berani menyerang setelah mereka mendirikan pemerintah federal sementara yang terdiri atas negara-negara bagian Indonesia yang sudah dibangun dan dikuasai Belanda. Demikian diungkapkan oleh George McTurnan Kahin dalam  Nasionalisme dan Revolusi Indonesia . Wakil Presiden RI Mohammad Hatta termasuk yang kecele dengan serangan itu. Satu hari sebelum invasi tersebut terjadi, Hatta menyatakan kepada Kolonel T.B. Simatupang bahwa tak mungkin militer Belanda akan menyerang Yogyakarta pada 19 Desember 1949. "Itu langkah gila jika Belanda berani melakukannya," ujar Hatta seperti dikisahkan Simatupang dalam Laporan dari Banaran: Kisah Pengalaman Seorang Prajurit dalam Perang Kemerdekaan. Hatta percaya bahwa Belanda akan menyerang Yogyakarta. Tapi dia sangsi jika mereka akan melakukanya pada 19 Desember 1948. Hatta memperkirakan Belanda harus berpikir panjang, karena pagi itu Ketua KTN H. Merle Cochran, diplomat Amerika Serikat, tengah berangkat ke Jakarta, membawa surat jawaban Belanda atas pertanyaan dari pemerintah RI. "Tidakkah akan merupakan penghinaan besar terhadap Amerika Serikat, bila Belanda melancarkan serangannya sementara surat menyurat RI-Belanda dengan perantara Amerika Serikat belum diputuskan?" kata Hatta kepada Simatupang. Namun, ternyata Belanda memang mengambil langkah gila itu keesokan harinya. Sementara itu, pada waktu yang sama ketika Hatta dan Simatupang bertemu, di Jakarta Merle Cochran dan Yusuf Ronodiporo, anggota delegasi RI dalam perundingan dengan Belanda, baru saja tiba di Jakarta. Mereka keesokan harinya ada rencana menyampaikan surat dari Wakil Presiden RI untuk Dr. L.J.M. Beel, Wakil Tinggi Mahkota Kerajaan Belanda. Sekitar jam 21.00, Yusuf menerima telepon dari Istana Rijswijk (sekarang Istana Merdeka) untuk secepatnya mengambil surat yang ditujukan kepada delegasi Indonesia. Jam 21.15, surat tersebut sudah ada di tangan Yusuf. Ketika surat yang dialamatkan kepada The Chairman of the Delegation of the Republic (tanpa menyebut Indonesia) itu dibuka, alangkah terkejutnya Yusuf Ronodipuro. Ternyata isi surat tembusan yang sejatinya ditujukan kepada KTN itu adalah keputusan sepihak dari Belanda untuk membatalkan kesepakatan Perjanjian Renville. "…dan mulai hari Minggu, 19 Desember 1948 jam 00.00 (kami) tidak lagi terikat oleh persetujuan tersebut," demikian salah satu bunyi surat yang saat ini ada di dokumen Kementerian Luar Negeri Belanda bertajuk Indonesie in de veligheidsraad de Verenidge Naties (November 1948-Januarie 1949) . Dikisahkan oleh Himawan Soetanto dalam Yogyakarta 19 Desember 1948: Jenderal Spoor vs Jenderal Soedirman , Yusup lalu berinisiatif mengirimkan kabar penting itu ke Yogyakarta melalui Kantor Pos Umum di Jakarta, namun tidak berhasil. Operator telegram tidak dapat mengirimkan berita, karena semua kontak dengan Yogyakarta tetiba diblok. Tidak ada cara lain, Yusuf lalu mendatangi kamar Cochran di Hotel Des Indes. Begitu selesai membaca surat tersebut, merah padamlah wajah diplomat Amerika Serikat itu, hingga keluar ucapan kasar dari mulutnya: "Damn it! We have to go to Jogja now! (Sialan! Kita harus pergi ke Yogya sekarang juga)," teriaknya. Namun, dalam kenyataannya kepergian ke Yogyakarta pun tidak bisa dilakukan malam itu juga. Itu terjadi karena U.S. Airforce yang digunakan untuk kepentingan KTN tidak mendapatkan izin terbang dari Belanda. Upaya Cochran untuk meminta tolong kepada Elink Schuurman, Pejabat Sementara Ketua Delegasi Belanda, ditolak. Keesokan harinya, aksi ofensif terhadap Yogyakarta pun dilakukan. Pagi sekali Panglima KNIL Jenderal S.H. Spoor sudah memimpin penyerbuan ke Yogyakarta melalui pesawat Mitchell B-25 buatan Amerika Serikat. Ketika situasi sudah sepenuhnya terkendali, dari Maguwo, Spoor ke Semarang untuk mengamati gerak maju pasukan darat ke Yogyakarta dan Solo. Sekitar jam 9 siang, dia kembali ke Jakarta untuk melaporkan kesuksesan Operasi Gagak kepada Dr. Beel. Saat menuju rumah Dr. Bell, menurut  sejarawan J.A. de Moor dalam Jenderal Spoor: Kajayaan dan Tragedi Panglima Tentara Belanda Terakhir di Indonesia , dia sempat bertemu dengan seorang pemantau militer dari Amerika Serikat. "What a lovely day to start a war!  (Hari yang sangat menyenangkan untuk memulai sebuah perang)," kata sang perwira itu menyindir.

bottom of page