top of page

Hasil pencarian

9584 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Jalan Berliku Judoka Krisna Bayu

    TIGA poster olimpiade itu rapi memenuhi salah satu sudut sebuah kantor. Masing-masing poster Olimpiade Atlanta 1996, Olimpiade Sydney 2000, dan Olimpiade Athena 2004. Poster-poster itu “berbicara” banyak tentang sepakterjang legenda hidup judo Indonesia Krisna Bayu. Kendati sejak 2017 Krisna mengomandoi Pengurus Pusat Persatuan SAMBO Indonesia (PP Persambi), ia tetap tak ingin melupakan dari mana ia berasal (baca: judo). Dari judolah namanya berkibar sebagai satu-satunya judoka Indonesia yang mampu berlaga di tiga pesta olahraga terbesar dunia. “Saya kan memang selalu orang judo. Tapi kalau mau masuk (kepengurusan) judo atau tidak, itu masalah kesempatan datang atau enggak kepada saya secara organisasi. Selama ini enggak ada yang kasih kesempatan saya untuk membangun, ya enggak apa-apa,” ujar Krisna saat berbincang dengan Historia  di kantornya. Tanpa mengecilkan prestasi para seniornya seperti Ceto Kosadek, mendiang Untung Putro Setiono atau Pujiawati, kiprah Krisna sejak 1980-an belum ada yang menyamai, apalagi melampaui. Selain satu-satunya judoka Indonesia yang mampu berlaga di tiga olimpiade, prestasi Krisna antara lain peraih medali emas SEA Games 1997, 2001, 2003, 2009; perunggu SEA Games 2011; perunggu Kejuaraan Asia 2004; serta emas Asian Indoor and Martial Arts Games (AIMAG) Bangkok 2009. Mayoritas capaiannya itu diraih di kelas 90kg atau 100kg. Jelas, di balik prestasi itu ada perjuangan berat dan panjang Krisna sejak merintis kiprahnya. Judo tak asing di telinga Krisna. Segala hal tentangnya sudah begitu familiar pada Krisna sejak kecil. Maklum, pria kelahiran 24 Desember 1974 itu berasal dari keluarga yang mayoritas berkecimpung dalam olahraga. “Ayah saya, Amin Pambudi, pelatih judo. Sekarang usia 75 tahun masih aktif melatih di klub. Pernah jadi pelatih kontingen Jawa Tengah di PON (Pekan Olahraga Nasional). Hampir semua di judo. Yang di sepakbola itu cuma satu kakak saya, Gatot (Prasetyo), kiper Persib Bandung. Kakak saya yang lain, Andi Nugroho, ikut melatih di SAMBO. Adik perempuan saya, Lita, juga jadi pelatih judo dan satu lagi adik laki-laki saya melatih tim Kurash di SEA Games kemarin,” terangnya. Krisna Bayu (kanan) saat masih berlaga mewakili Indonesia di SEA Games 2011 (Foto: Fernando Randy/HISTORIA) Saat berumur sembilan tahun (1983), Krisna dikenalkan judo oleh ayahnya dengan lebih serius meski dikelilingi keterbatasan. Saat itu pula Krisna memilih judo untuk masa depannya yang tak pernah ia sesali. “Di kehidupan kecil saya itu banyak problem perekonomian keluarga. Jadi sejak kecil saya diajarkan ayah, bahwa kalau sudah pilih sesuatu, jangan mundur dan terima konsekuensinya. Dari tahun 1983 itu bertahap dari kejuaraan antarklub, antar-pelajar, antar-kabupaten/kota, antarprovinsi, lalu ke ajang-ajang junior daerah, junior nasional, sampai masuk pelatnas judo tahun 1989,” kenangnya. Nama Krisna mulai dikenal luas saat PON 1993 di Jakarta. “Gue itu dikenalnya 1993, saat gue ngebanting monster-monster (judoka kelas berat, red. ). Di PON 1993 itu gue ngebanting Ceto Kosadek yang beratnya 150-an (150kg), sementara gue saat itu beratnya 79kg di kelas bebas. Banyak senior yang kena bantai waktu itu,” sambungnya. Melawan Penyakit Ayan Sepanjang hidupnya, Krisna tak melulu bertarung melawan judoka dalam maupun luar negeri. Ia juga mesti bertarung melawan penyakitnya sendiri, epilepsi. Penyakit yang populer disebut ayan itu sudah dideritanya sejak usia sembilan tahun. “Sangat tinggi pengaruhnya (epilepsi) dalam perjalanan saya. Frekuensi latihan saya begitu beratnya di pelatnas, itu sembilan jam sehari. Ya everytime (setiap waktu) pasti kolaps. Di- bully juga sering dengar kata-kata ‘Ya Bayu kan juara judo tapi penyakitnya ayan.’ Buat saya ya biarin aja lah,” kata Krisna lagi. Perjuangan berat Krisna itu masih diingat betul oleh Wasekjen Persatuan Judo Seluruh Indonesia (PJSI) periode 1997-2014 Aji Kusmantri. Menurutnya, Krisna berjuang melawan penyakit ayannya tanpa mau ketergantungan pada obat-obatan, di sela-sela kerasnya latihan di pelatnas. “Krisna sejak awal junior dia memang punya bakat alam. Namun yang jelas anak itu dulu punya penyakit epilepsi. Setiap pertandingan ke luar negeri, kita harus urus surat anti-doping, karena zat obatnya ada yang mirip dengan doping. Tapi memang dia tidak mau tergantung dengan obat. Sampai akhirnya dia bisa lepas sendiri (sembuh, red. ),” kata Aji kepada Historia via telepon . Kini, Krisna mengaku sudah sembuh dari epilepsi sejak 10 tahun lalu. Cemoohan orang terhadapnya perlahan berganti sanjungan berkat sejumlah prestasinya membanggakan negeri. “Dulu jangankan dari pihak luar, dari pengurus dan pelatih saja ada yang melecehkan saya. Tapi apa harus kita balas? Kan tidak. Saya enggak pernah merasa down atau putus asa. Ayah saya pun menasihati, lebih baik membalas dengan bukti prestasi. Dari pengalaman saya, artinya Anda tidak boleh dikontrol oleh kekurangan itu. Justru Anda yang harus mengontrol kekurangan itu menjadi kelebihan kita,” ujar Krisna lagi. Rela Mati di Arena Dari pengalamannya sepanjang karier sejak 1983 hingga pensiun pada PON 2012 di Riau, tiada yang paling dibanggakannya selain bisa membela Indonesia di tiga olimpiade (Atlanta 1996, Sydney 2000, Athena 2004). Krisna lebih menghargai itu ketimbang koleksi emas di SEA Games. Kendati gagal membawa pulang medali, Krisna bersyukur layak disebut “Olympian” lantaran tak sembarangan judoka bisa tampil di ajang sebesar itu. Yang takkan pernah dilupakannya, yakni di Olimpiade Sydney 2000. Bersama judoka putri kelas 70kg Aprilia Marzuki, Krisna mewakili Indonesia karena peringkat dunianya berhasil menembus olimpiade. Di babak pertama, Krisna langsung menghadapi judoka Brasil Carlos Honorato di kelas 90kg putra. Walaupun kalah dari Honorato, Krisna masih bisa ikut babak repechage lantaran sempat dapat poin. “Main pertama ketemu Honorato, saya dibanting. Kepala saya nyungsep, posisi di bawah. Leher saya di sini dan di sini retak,” kata Krisna sambil menunjuk dua sisi samping lehernya. Krisna Bayu dengan tiga koleksi poster yang dibanggakannya: Olimpiade Atlanta 1996, Olimpiade Sydney 2000 & Olimpiade Athena 2004 (Foto: Fernando Randy/HISTORIA) Meski cedera parah yang bisa berakibat kematian, Krisna tak ingin berakhir seperti di Olimpiade 1996 Atlanta. Kala itu, Krisna sebagai satu-satunya judoka yang mewakili Indonesia, gugur saat baru sekali tampil di 32 besar kelas 86kg putra. Dia dikalahkan judoka Spanyol León Villar. “Jauh-jauh dari Indonesia ke Amerika, sekali main kalah. Aduh, rasanya malu minta ampun. Berikutnya (Sydney 2000) saya lebih baik mati dikarungin kantung mayat daripada kalah memalukan. Apapun risikonya. Saat dibanting Honorato, saya berusaha agar enggak langsung ippon (poin sempurna). Jadinya kepala saya duluan yang kena matras. Berat saya dan dia (bedanya, red .) hampir 100, massa bantingan 400 yang menerima leher saya. Coba bayangin,” tambah Krisna. Selepas dibanting Honorato, Krisna masih sanggup berdiri walau mulai berkunang-kunang. Akhirnya Krisna kalah poin, 0001 berbanding 1020 milik Honorato. “Setelah keluar arena, dia sempat jatuh di kamar mandi karena nahan sakitnya itu. Tapi masih mau bertanding. Itu yang saya salut. Dulu dia satu-satunya atlet Asia Tenggara yang sulit dikalahkan memang,” kata Aji lagi. Raihan poin membuat Krisna berhak ikut babak repechage. Namun cedera membuatnya harus terima kekalahan poin (0100) dari judoka Spanyol Fernando González (1001). “Setelah kalah, pas masuk kamar mandi, saya jatuh. Sudah enggak sadar. Tahu-tahu saya di rumahsakit. Pas bangun, kondisi leher sudah digips. Pas lihat manajer saya tanya, ‘Oom, masih ada kesempatan main lagi enggak?’ Kata dia, ‘sudah, santai aja. Sudah enggak ada. kamu tenang aja.’ Kalau di situ leher saya patah, wah saya malah bangga. Saya hanya malu kalau sekali main langsung gugur. Buat saya kehormatan bangsa di atas segalanya walau nyawa harus saya berikan,” kata Krisna. Menakhodai SAMBO Indonesia Setelah pensiun pada 2012, Krisna lebih banyak berkecimpung di dunia bisnis. Baru pada 2017 ia comeback ke dunia olahraga dengan menjadi ketua umum PP Persambi, bukan di kepengurusan judo alias PJSI yang sudah membesarkan namanya. “Ya enggak sempat di kepengurusan PJSI karena belum dikasih kesempatan saja. Hak ketumnya mau melibatkan saya atau tidak. Bukan berarti saya meninggalkan judo. Judo is my life. Judo itu artinya membangun watak manusia. Kalau enggak dibutuhkan ya enggak apa-apa, harus sabar dan tetap berdedikasi walau di luar organisasi. Ya makna filosofi judo itu yang saya aplikasikan, tapi orang judo malah memusuhi saya. Kan aneh,” tuturnya. Semenjak menakhodai SAMBO Indonesia, bersamaan dengan mulai dipertandingkannya SAMBO di Asian Games, Krisna menggulirkan sejumlah program. Antara lain, menerapkan sport science dan sport intelligence . “Karena kan kalau mau pasang target untuk menang, butuh basis data yang bisa menjelaskan secara rinci. Kita punya database person-to-person semua atlet kita. Kita juga kerahkan wasit-wasit kita sebagai sportintelligence agar bisa melihat dan membaca kekuatan negara-negara lain,” sambungnya. Hasil dari kebijakannya pun terlihat di SEA Games Filipina 2019. Target satu emas yang dipasang Krisna tak dinyana dilampaui tim SAMBO Indonesia dengan membawa pulang empat emas, satu perak, dan dua perunggu. Sejak 2017 Krisna Bayu didapuk sebagai Ketum PP Persambi (Foto: Fernando Randy/HISTORIA) Selain dua hal teknis di atas, menurut Krisna, faktor penting lain yang membuat tercapainya prestasi adalah dia terjun langsung melecut spirit para atletnya sepanjang lima bulan persiapan di Ciloto dan di sejumlah turnamen ajang ujicoba. “Cara bertarung anak-anak saya (atlet-atlet SAMBO Indonesia) dan semangatnya harus sama dengan saya. Saya bilang kalau hanya perunggu, kamu pasti dapat. Tapi pimpinan kamu ini seorang legenda. Saya enggak mau membina anak-anak pecundang,” ujarnya mengulangi seruannya pada para anak-didik. Krisna ingin para anak-didiknya mendapatkan latihan sekeras ketika ia dididik menjadi atlet. Ia tak segan memberi peringatan keras bila ada atlet yang performanya tak memuaskan. Bahkan, Krisna tak segan “main tangan”. “Begitu ada yang latihan ‘mencla-mencle’, saya pepetin leher dia ke tembok. ‘Kamu ngerti enggak ini duit siapa? Ini kamu makan duit negara! Cara latihan kamu kayak orang kampung. Kayak gini cara kamu bertanggungjawab? Anda mau ngikutin aturan saya atau enggak? Kalau enggak, silakan keluar!’,” ujarnya sambil memperagakan aksi gebrak meja. Meski Persambi hanya mendapat anggaran Rp1,6 miliar dan Krisna menomboki Rp200 juta, Krisna hanya ingin para atletnya bisa membayar biaya itu dengan prestasi. “Tapi setelah selesai latihan mereka harus kita rangkul. Harus kita rebut hatinya. Saya kasih motivasi bahwa kalau mau sejajar dengan saya, mereka harus berani dapat emas. Yang dapat perunggu kemarin aja menangis, minta maaf gagal dapat emas. Kalau saja kita dapat anggaran lebih dari Rp1,6 M itu, saya berani targetkan sikat tujuh emas,” tandasnya.

  • Historia Raih LINE Indonesia Awards

    MEDIA berbasis sejarah, Historia.id, mendulang penghargaan LINE Indonesia Awards pada malam penganugerahan, Selasa (17/12/2019). Bersama Kompas TV , Historia.id memperoleh award itu sebagai Most Innovative Partner (Mitra Paling Inovatif) di platform pesan instan cum penyedia ragam informasi daring terhangat asal Jepang itu. Historia . id dan KompasTV mengalahkan I DN Times, Opini.id, Tirto.id, dan Billboard Indonesia yang juga masuk nominasi kategori yang sama. Ini jadi kali pertama LINE menggelar ajang apresiasi yang tidak hanya untuk media, namun juga sejumlah publik figur. Para pemenangnya ditentukan melalui voting pengguna LINE. Para pemenang di kategori lain, yakni Reza Rahadian (Most Favorite Actor), Tara Basro (Most Favorite Actress), Tulus (Most Favorite Male Musician), Agnez Mo alias Agnes Monica (Most Favorite Female Musician), HiVi (Most Favorite Music Group), Pretty Boys (Most Favorite Movie), dan Enzy Storia (Most Favorite Influencer). Historia sendiri lahir pada 2010 dalam format daring sebagai media sejarah populer pertama di Indonesia. Dua tahun berselang, Historia mengeluarkan format cetak dalam bentuk majalah. Sesuai dengan misinya, konten-konten yang dihadirkan Historia berupa ragam informasi sejarah yang edukatif, aktual dan relevan dengan era kekinian baik lewat tulisan, infografis, maupun video. “ Historia telah berhasil menyediakan konten unik dan edukatif untuk para generasi muda. Juga mengakrabkan pembaca dengan kejadian penting di masa lampau dan membungkusnya dengan visual masa kini, sehingga menarik untuk disimak,” ujar Content BizDev Lead LINE Indonesia Febriamy Hutapea. Anugerah mitra paling inovatif dalam LINE Indonesia Awards 2019 yang diterima perwakilan Historia, Yusti Maredzki (Foto: Yusti Maredzki/HISTORIA) Hal itu senada dengan misi yang diusung Bonnie Triyana, pemred Historia , ketika mendirikan Historia . Historia berupaya mendobrak penulisan sejarah yang identik dengan hal kuno, tua, berat, dan ketinggalan zaman dengan cara menyajikan tulisan yang ringan dan menarik tanpa harus kehilangan esensi utamanya. “Harapannya, anak muda akan senang menikmati konten dari kami karena selain terhibur, juga bisa menemukan informasi masa lalu yang turut membentuk pengalaman hidup mereka di masa kini,” cetus Bonnie. Selain menyajikan konten-konten sejarah secara populer, Historia kerap menggelar  pameran yang bukan hanya informatif namun juga inovatif. Salah satu suguhan inovatif yang menurut LINE direken sangat informatif adalah pameran Asal Usul Orang Indonesia , yang dihelat Historia bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI belum lama ini. Proyek pertama di Indonesia yang menggunakan tes DNA itu dilakukan bekerjasama dengan Lembaga Molekuler Eijkman. Tujuannya, untuk menyingkap secara ilmiah penelusuran nenek moyang orang Indonesia demi memberi pencerahan asal-usul, relasi dengan pihak luar, dan persilangan budaya yang membentuk manusia Indonesia. Tes DNA dilakukan dengan mengambil 16 relawan mulai dari masyarakat biasa hingga figur publik. Di antaranya, Najwa Shihab, Ariel ‘Noah’ , Grace Natalie , Riri Riza , Mira Lesmana , dan Ayu Utami . “Historia mengemas pemberitaan DNA/genetika yang sempat viral beberapa waktu lalu. Metode yang digunakan memberikan pesan unik, membuka wawasan pembaca, dan terpenting membuat bahasan tersebut relevan dengan pembaca LINE TODAY. Secara tak langsung Historia memberi edukasi positif pada generasi muda, untuk sadar akan pentingnya sejarah dan mengenal Indonesia lebih dalam lagi,” sambung Febri. Proyek itu viral lantaran hasilnya dipaparkan melalui pameran yang dibuka pada 15 Oktober 2019 di Museum Nasional, Jakarta. Hasil tes DNA itu menunjukkan bahwa tidak ada yang disebut DNA asli pribumi Indonesia, lantaran manusia Indonesia eksis dari percampuran beragam manusia berbeda latar belakang yang datang dalam gelombang-gelombang migrasi yang awalnya berangkat dari Benua Afrika. Dengan kata lain, manusia Indonesia adalah pendatang. Oleh karena itu konsep pribumi-non pribumi tak relevan sama sekali. “Kami bungah juga, bersyukur ikhtiar kecil ini mendapatkan apresiasi. Semua kami anggap sebagai dorongan semangat untuk terus berkarya, membawa pesan dari masa lalu untuk masa depan Indonesia yang lebih baik karena historia magistra vitae , sejarah adalah guru kehidupan,” tandas Bonnie.

  • Sejarah Klub Malam di Indonesia

    PEMERINTAH Provinsi DKI Jakarta memberikan penghargaan kepada diskotek Colosseum pada malam Anugerah Adikarya Wisata 2019 di Jakarta, 6 Desember 2019. Pemberian penghargaan itu diwakilkan oleh deputi gubernur DKI Jakata. Adikarya Wisata adalah penghargaan dari pemerintah DKI Jakarta untuk penggiat pariwisata di Jakarta.

  • Mencari Bukti Awal Islamisasi di Nusantara

    Sejauh ini yang dianggap bukti tertua Islamisasi terdapat di Pulau Jawa, yaitu nisan Fatimah binti Maimun di Leran, Gresik, dari tahun 475 H (1082 M). Namun, peneliti dari Prancis, Ludvik Kalus dan Claude Guillot, menyebut nisan itu digunakan sebagai jangkar kapal. "Anda tak bisa pakai ini sebagai bukti masuknya Islam di Jawa. Nisan ini dipakai sebagai  anchor  (jangkar,  red . ). Ini hipotesis, intinya ini tak ada hubungannya dengan sejarah Islamisasi Indonesia," kata Daniel Perret, arkeolog dari École française d’Extrême-Orient (EFEO), seusai diskusi di Institut Français d’Indonésie (IFI), Jakarta, awal November 2019 . Demikian pula tak ada bukti arkeologis yang mendukung pendapat Islam telah masuk di Barus, Sumatra Utara, sejak abad ke-7. Dari hasil penggalian di Situs Lobu Tua, wilayah itu baru digunakan pada pertengahan abad ke-9 hingga akhir abad ke-11. "Kami yakin muslim sudah ada di sana. Pedagang muslim ada di sana. Tapi tak ada bukti sudah ada Islamisasi," kata Perret. Lobu Tua merupakan tempat perdagangan yang dibuka oleh para pedagang dari India Selatan atau Sri Lanka. Mereka kemudian diikuti para pedagang dari Timur Tengah. Karenanya lokasi itu menjadi tempat persinggahan dalam jaringan perdagangan yang menghubungkan Timur Tengah, India, Sri Lanka, dan Nusantara. Di sana juga tak ada bukti okupasi yang permanen. Situs itu dulunya hanya dipakai para pedagang untuk transit. Misalnya, pedagang dari India membawa tekstil, sampai di Barus ditukar dengan kamper dan emas, lalu dibawa ke Jawa untuk ditukar lagi dengan rempah-rempah, dan kemudian dibawa ke India. Berbeda dengan situs di Bukit Hasang, Barus. Di kawasan itu banyak ditemukan nisan kuno. Artinya, di tempat itu dulunya dipakai untuk tinggal dan menetap. "Lobu Tua mungkin  trading port  tapi tidak ditinggali permanen. Sementara Bukit Hasang lebih stabil," kata Perret.   Kedati begitu, Bukit Hasang baru mulai digunakan pada abad ke-12 hingga abad ke-16. "Ada evolusi situs, pada abad ke-12 baru ditemukan, luasnya masih 3 ha, kemudian pada awal abad ke-16 menjadi 60 ha," kata Perret. Di Bukit Hasang di antaranya ada 300 nisan dari abad ke-14 hingga awal abad ke-20. Di nisan itu tertera tulisan Arab dan Persia dengan Bahasa Melayu. Salah satunya, kata Perret, adalah seseorang yang mungkin bernama Tionghoa, Suy, dari tahun 1370. Tulisan itu kira-kira berbunyi: "Meninggalnya perempuan mulia (ibuku?), Suy, pada 20 Safar. Tuhan memberkahi akhirnya dengan kemenangan dan kemakmuran pada tahun 772/September." "Mungkin dia seseorang dari komunitas Tionghoa muslim di Bengal," kata Perret. Perret mengatakan memang ada catatan pada masa Sriwijaya bahwa abad ke-7 telah ada orang-orang Islam. Namun, tak disertai bukti prasasti maupun arkeologis. "Kami tak mendapatkan  political inscription  (prasasti politik,  red . ) seperti di Pasai. Karenanya, proses Islamisasi hampir impossible dibuktikan lewat ekskavasi," kata Perret. Azyumardi Azra, guru besar sejarah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, juga mengatakan klaim Islamisasi telah terjadi sejak abad ke-7 di Barus tak berbukti. Dia memang tak ragu kalau orang Islam sudah datang sejak abad pertama Hijriah. Namun tak jelas, apakah mereka hanya datang atau mengislamkan penduduk lokal. "Kalau saya, ya, mulai akhir abad ke-12 M (proses Islamisasi berlangsung, red. )," kata Azra. Menurut Azra, bukti yang tak diragukan adalah munculnya Kesultanan Samudra Pasai. Keberadaannya muncul dalam catatan penjelajah asal Maroko, Ibnu Battutah yang melawat ke Nusantara pada 1345. Dia sempat singgah di Samudra Pasai selama 15 hari. Waktu itu, sultan yang berkuasa adalah Malik al-Zahir II (133?-1349). "Tidak diragukan pelawat muslim di Nusantara, Ibnu Battutah sampai ke Samudra Pasai. Ini bukti kuat wilayah terawal Islamisasi di Nusantara," ujar Azra. Meski begitu, pada masa Samudra Pasai pun mayoritas rakyatnya belum memeluk Islam. Proses Islamisasi saat itu masih berlangsung. "Sultan sering berperang menghadapi mereka (orang-orang yang belum menerima Islam,  red . )," tulis Ibnu Battutah dalam catatannya.

  • Sirnanya Kerajaan Pajajaran

    MEMASUKI abad ke-15, hampir tidak ada kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara yang mampu menahan gempuran pengaruh Islam di wilayahnya. Bukan hanya di Jawa, fenomena peralihan kuasa agama itu juga terjadi di pulau-pulau lain. Tidak ada yang mampu menghentikannya. Dan keadaan itu akhirnya sampai juga mengancam tanah Pasundan pada abad ke-16. Di Tatar Sunda sendiri usaha menghalau pengaruh Islam di tengah masyarakat sebenarnya telah dimulai sejak pertama kali agama itu masuk. Tercatat sejak era kekuasaan Galuh, para penguasa terus mengupayakan agar pengaruh Hindu-Buddha tetap menjadi yang utama di Jawa Barat. Bahkan ketika salah seorang pangeran Galuh yakni Haji Purwa, menjadi tokoh Muslim penting di tanah Sunda, kerajaan dengan cepat bertindak. Ia selamanya diasingkan dari negerinya sendiri oleh sang ayah. Namun pertumbuhan Islam yang begitu cepat, ditambah semakin melemahnya kekuatan kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara membuat usaha raja-raja di tanah Sunda pada akhirnya tidak membuahkan hasil. Kekuasaan Hindu-Buddha semakin terdesak. Puncaknya, raja Sunda memindahkan pusat pemerintahannya dari Kawali (Ciamis) ke Pakuan (sekarang Bogor). Kerajaan Sunda di Pakuan Pajajaran pun menjadi benteng terakhir dan salah satu harapan untuk tetap menghidupkan ajaran Hindu-Buddha di Nusantara. "Alasan pemindahan pusat kekuasaan dari Galuh Pakuan (Kawali) ke Pakuan Pajajaran (kompleks kraton Panca Prasadha) oleh Prabu Jayadewata adalah kondisi geopolitik pada saat tersebut, karena posisi Kawali dirasakan sangat dekat dengan Cirebon yang pada saat tersebut merupakan pusat penyebaran Islam di Tatar Sunda bagian timur," kata sejarawan Sunda Budiansyah kepada Historia . Selain untuk menjauhkan diri dari pengaruh Islam di Cirebon, kata Budiansyah, pemindahan pemerintahan itu juga dilakukan agar akses menuju pelabuhan utama (Sunda Kelapa) lebih mudah. Hal itu terkait dengan pertumbuhan ekonomi kerajaan yang terus meningkat seiring dengan besarnya koneksi perdagangan Sunda dengan dunia internasional. Menahan Pengaruh Islam Menurut Naskah Carita Parahyangan , dalam Tjarita Parahiyangan: Titilar Karuhun Urang Sunda Abad ke-16 karya Atja, Prabu Jayadewata (1482-1521) membangun sebuah kraton di Pakuan Pajajaran, yang diberi nama sri bima unta rayana madura suradipati . Raja yang memerintah kurang lebih 39 tahun itu dapat menekan (sementara) pengaruh Islam di wilayahnya. "Sang Jayadewata menjalankan pemerintahannya berdasarkan kitab-kitab hukum yang berlaku, sehingga pemerintahannya berjalan dengan aman dan tentram. Pada masa itu tidak terjadi perang. Jika pun terjadi rasa tidak aman, maka hal itu cumalah terjadi pada mereka yang berani melanggar Sanghyang Siksa saja," tulis Nugroho Notosusanto, dkk. dalam Sejarah Nasional Indonesia II . Meski begitu, pengaruh Islam bukannya tidak ada sama sekali di Pakuan Pajajaran. Pada masa damai ini pun sudah ada penduduk yang memilih memeluk Islam ketimbang mengikuti ajaran Hindu dari sang raja. Diberitakan penjelajah Portugis Tome Pires, dalam Suma Oriental , komunitas Muslim di wilayah Pajajaran banyak ditemukan di Cimanuk, kota pelabuhan yang menjadi batas kerajaan Sunda di sebelah timur. Keberadaan komunitas Muslim itu sebenarnya cukup mengganggu pemerintahan Sunda yang bertekad mempertahankan kehinduannya. Namun Jayadewata memilih untuk tidak mengusiknya. Ia berusaha menghalau pengaruhnya dengan memperkuat ajaran agama Hindu di pusat. Sehingga kendati telah masuk Pajajaran, Islam tidak berkembang di pusat pemerintahan. Di samping itu, Jayadewata juga menjalin persekutuan dengan orang-orang Portugis yang kala itu telah menguasai Malaka. Salah satu usaha Jayadewata menggiatkan pengajaran agama Hindu di wilayah kekuasaannya adalah dengan menulis Sanghyang Siksa kandang Karesian . Naskah yang ditulis tahun 1518 itu merupakan pedoman hidup yang dianut oleh penduduk Sunda. Penafsirannya dilakukan berdasarkan ajaran-ajaran di dalam Hindu-Buddha dan aturan hidup yang diturunkan secara turun-temurun. Mengalami Kehancuran Pada 1522, di bawah pimpinan Surawisesa (1521-1535), Pajajaran menandatangani sebuah perjanjian dengan Portugis. Dalam perjanjian tersebut, Sunda meminta bantuan secara militer kepada Portugis jika sewaktu-waktu orang-orang Islam menyerang ke wilayahnya. Sebagai balasannya, Portugis diperbolehkan membangun benteng di sekitar bandar Banten dan menerima kiriman lada sebanyak 350 kwintal setiap tahunnya. Peneliti J.C. Hageman dalam "Geschiedenis de Soenda-landen" dimuat Sunda Kelapa Sebagai Bandar Jalur Sutra: Kumpulan Makalah Diskusi, menyebutkan orang-orang yang terlibat dalam perjanjian itu. Dari pihak Sunda yang menandatangani perjanjian tersebut ialah Raja Sanghyang (Surawisesa) sendiri, dengan tiga orang pembantu utamanya masing-masing Mantri Dalem, Tumenggung Adipati, dan Syahbandar. Sedangkan dari pihak Portugis wakil-wakilnya ialah Fernando de Almeida, Francisco Anes, Manuel Mendes, Joao Countinho, Gil Barboza, Francisco Diaz, dan lain-lain. Namun meski keduanya telah menyutujui perjanjian itu, pembangunan loji dan benteng tidak benar-benar bisa dilakukan oleh Portugis. Pada 1527 Sunda Kelapa telah dikuasai oleh pasukan Islam Demak pimpinan Faletehan (Fatahillah). Bangsa Portugis tidak bisa menembus pertahanan Islam yang telah rapat di sana. Berbagai usaha perebutan paksa pelabuhan pun tidak pernah membuahkan hasil. Keadaan gawat juga mulai dirasakan Pajajaran. Sembari mengharapkan bantuan Portugis yang tidak pernah tiba, Surawisesa mencoba melawan sekuat tenaga desakan pasukan Islam. Tidak hanya dari Barat, Islam juga telah merangsak masuk dari arah Timur. Tercatat raja Sunda itu telah terlibat dalam 15 kali peperangan, dan tidak sekalipun mengalami kekalahan yang mengancam kerajaannya. "Ini dapat ditafsirkan bahwa sampai pada masa pemerintahannya, walaupun ancaman pihak Islam sudah sering terbukti, tetapi pihak Sunda masih dapat bertahan dan mengalahkan tentara Islam itu," tulis Notosusanto. Kemunduran kekuatan Sunda mulai terasa ketika Prabu Ratudewata (1535-1643) menduduki takhta. Keadaan berperang terus menghantui Sunda. Kekuatan Islam yang semakin besar tidak dapat diimbangi oleh pasukan Pajajaran yang mulai melemah. Pada masa ini, serbuan pasukan Islam telah berhasil menjatuhkan berbagai daerah milik kerajaan Sunda, termasuk Sumedang dan Ciranjang. Banyak pemimpin daerah vasal yang gugur. Ibu kota di Pakuan pun tidak luput dari kehancuran. Akibat dari jatuhnya Pakuan, raja terpaksa meninggalkan istananya. Ia dan beberapa pejabat melarikan diri ke wilayah yang masih aman. Pada masa pemerintahan raja yang terakhir, Raga Mulya (Prabu Surya Kencana), kerajaan Sunda sudah tidak dapat lagi mempertahankan kedudukannya. Pasukan Islam telah mendominasi jalannya pertempuran. Sunda sudah tidak memiliki cukup kekuatan untuk melawan. Ditambah perubahan kepercayaan di masyarat terhadap penguasa Sunda juga turut mempengaruhi kejatuhan penguasa barat Jawa tersebut. "Dan bersamaan dengan itu (jatuhnya berbagai wilayah kekuasaan), tamat pulalah riwayat kerajaan Sunda sebagai salah satu benteng terakhir budaya Hindu-Budha di Indonesia. Kira-kira pada 1579 Masehi."

  • Makanan Hatta dan Sjahrir di Pengasingan

    Setelah setahun di Boven Digul, Papua, Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir dipindahkan ke tempat pengasingan baru: Banda Neira di Maluku. Mereka tiba di Banda Neira pada Februari 1936. Sebelumnya, di Banda Neira ada dua keluarga yang dibuang, yaitu Tjipto Mangoenkoesoemo dan Iwa Koesoema Soemantri. Dua keluarga lagi karena penugasan. Suroyo bekerja sebagai dokter pemerintah, sedangkan Mulyadi menjadi kepala Schakelschool (sekolah sambungan antara sekolah dasar dengan sekolah menengah pertama). Mulyadi dan Suroyo kemudian dipindahkan ke Jawa. Iwa dipindahkan ke Makassar pada 1939. Karena penyakit asma, Tjipto dipindahkan ke Makassar pada 1940, kemudian dibebaskan di Sukabumi. Hatta dan Sjahrir mendapatkan tunjangan masing-masing f.75 setiap bulan. Awalnya, mereka menyewa rumah milik Tuan De Vries. Mereka mempekerjakan Halimah untuk memasak dan Chaidir, biasa dipanggil Akhir, sebagai pelayan. "Setelah beberapa hari kami di Neira, tampak olehku Sjahrir dihinggapi oleh psikologi kesunyian. Di Digul dia biasa mengobrol dengan kawan-kawan yang banyak," kata Hatta dalam otobiografinya, Untuk Negeriku Jilid 2: Berjuang dan Dibuang . Kesunyian Sjahrir terobati dengan mengangkat anak-anak yang bersaudara, yaitu Des Alwi, Lili, Mimi, dan Ali. Namanya anak-anak pasti suka bermain. Pernah suatu kali menumpahkan air yang membasahi buku-buku Hatta. Tak enak sama Hatta, Sjahrir memutuskan pindah, menyewa kamar di rumah orang tua Mimi. Rumah itu peninggalan Baadillah, seorang letnan Arab yang kaya, kepada anaknya, ibu Mimi. Sejak tinggal terpisah, anak-anak angkat Sjahrir mungunjungi Hatta tiga kali seminggu untuk belajar dan setiap Sabtu untuk makan siang bersama. "Kami lebih suka makan di rumah Oom Kaca Mata karena makanannya lebih baik dan lebih bervariasi daripada di rumah Oom Rir yang bagi kami 'rumah kami sendiri'," kata Des Alwi dalam Bersama Hatta, Syahrir, dr. Tjipto & Iwa K. Soemantri di Banda Neira.  Anak-anak angkat Sjahrir memanggil Hatta dengan Oom Kaca Mata dan memanggil Sjahrir dengan Oom Rir. Des Alwi masih ingat menu makanan ketika Hatta dan Sjahrir masih tinggal serumah. Mereka biasanya sarapan dengan roti, mentega dan selai, telur mata sapi, atau nasi goreng dengan lauk sisa semalam, dan secangkir kopi. Sekitar jam sepuluh, Hatta akan memberi uang belanja kepada Halimah. "Koki baru kami, Halimah, diberinya untuk membeli ikan basah di pasar dan kusuruh Akhir membawa bon ke toko Kok Coi, memesan satu karung beras 50 kg, ikan sardin 2 kaleng, corned beef  2 kaleng, gula pasir 2 kg, merica, serta lain-lainnya seperti susu Cap Nona 1 kaleng," kata Hatta. Des Alwi mencatat menu makanan di rumah Hatta. Biasanya sayur-mayur, ikan, sambal, dan dua jenis gulai bersantan. Hanya pada hari Rabu menyantap ayam goreng dan rendang ayam. Hari Jumat ada gulai kambing karena kambing biasanya disembelih penduduk muslim Banda pada hari Jumat. Sedangkan daging sapi hanya dapat diperoleh satu kali sebulan, karena sapi baru disembelih jika para penjagal telah dapat mengumpulkan pembeli satu ekor sapi. Setelah tak lagi serumah, menurut Des Alwi, Sjahrir kurang begitu memperhatikan makanan, walaupun dia senang sekali makan ikan. "Dia amat menyukai loki , sejenis lobster atau udang pantai yang besar, yang hidup dan bersembunyi di lubang karang dan keluar jika air surut," kata Des Alwi. " Loki  yang digoreng dengan minyak panas dicampur kecap adalah makanan kesukaan Oom Rir selama masa pembuangannya di Banda." Kiri-kanan: Iwa Koesoema Soemantri, Mohammad Hatta, Tjipto Mangoenkoesoemo, Mulyadi, dua anak angkat Tjipto, dan Sutan Sjahrir. Duduk: Ny. Iwa Koesoema Soemantri dan tiga anaknya, Ny. Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Ny. Mulyadi dengan tiga anaknya. (Repro Sutan Sjahrir, Renungan dan Perjuangan ). Sjahrir sudah dianggap sebagai keluarga Baadilla. Nenek Des Alwi menyebutnya anak ke-15. Dia pun dilibatkan dalam berbagai persoalan keluarga. Dia ikut mengambil keputusan, tempat bertanya dan meminta nasihat. Setelah nenek Des Alwi meninggal, Sjahrir diminta tinggal di rumahnya yang disebut Rumah Besar karena paling mewah dan indah di Banda Neira. Rumah itu dibangun oleh kakek-buyut Des Alwi pada paruh pertama abad ke-19 ketika Banda Neira menjadi kepulauan terkaya di Hindia Belanda.  Hatta juga kemudian pindah ke rumah milik Nanlohi, seorang keluarga Ambon yang tinggal di Makassar. Uang sewanya lebih murah karena katanya ada setannya. "Ketika kami pindah ke Rumah Besar setelah wafatnya nenek, semua barang-barang antik kami pindahkan ke museum yang ada di paviliun sayap kanan Rumah Besar itu, lalu digantikan dengan perabot-perabot modern Oom Rir yang dibelinya dari seorang guru Belanda yang pindah ke Jawa," kata Des Alwi. Ibu Des Alwi menyiapkan makan siang di rumahnya lalu dikirim dengan rantang ke Rumah Besar. Untuk makan malam, anak-anak angkat Sjahrir menyiapkan sendiri. "Oom Rir hanya memasak bila dia menerima kiriman loki dari teman-temannya para nelayan atau bila saya berhasil memperoleh loki  di pantai ketika air sedang surut," kata Des Alwi. Hatta dan Sjahrir meninggalkan Banda Neira pada 1 Februari 1942. Sjahrir membawa tiga anak angkatnya, Lili, Mimi, dan Ali. Mereka dipindahkan ke tempat pengasingan baru di Sukabumi.

  • Konflik Awal Dunia Penerbangan

    HARI ini, 17 Desember, 116 tahun lalu. Wilbur dan Orville Wright mencoba menerbangkan kembali pesawat buatan mereka, The Flyer, di lahan milik US Weather Bureau, Kitty Hawk, North Carolina. Upaya tersebut telah dicoba Wright bersaudara tiga hari sebelumnya, namun gagal. Kegagalan itu disebabkan malfungsi pada perangkat pengangkat The Flyer. Diketahuinya pangkal masalah membuat Wright bersaudara bisa tepat mengambil tindakan perbaikan The Flyer. Maka, keduanya tak ingin gagal kembali pada percobaan kedua itu. Persiapan bahkan mereka lakukan bukan sebatas pada masalah teknis pesawat. “Orville telah memasang kamera di ujung lintasan dan meminta John Danieels, pria setempat yang telah membantu mereka selama tiga tahun, untuk mengambil foto pada saat peluncuran,” tulis Lawrence Goldstone dalam Birdmen: The Wright Brothers, Glenn Curtiss, and the Battle to Control the Skies . Sekira pukul 10.30 waktu setempat, mesin The Flyer dihidupkan. Wilbur langsung berlari ke salah satu ujung sayap untuk memberi kestabilan. Semua prosedur berjalan baik. “Pesawat lepas landas di ujung lintasan dan terbang; mungkin hanya 120 kaki, tetapi 40 yard penerbangan itu adalah yang pertamakali dilakukan manusia dalam penerbangan yang dikendalikan, bertenaga mesin, dan (menggunakan alat, red .) berbobot lebih berat dari udara,” sambung Lawrence. Penerbangan Wright bersaudara menandai era baru peradaban manusia. Terbang yang selama berabad-abad “dimonopoli” burung dan serangga, mulai saat itu juga bisa dilakukan manusia. Namun, bukan hal mudah bagi Wright bersaudara bisa mewujudkan impian tersebut. Jalan yang mereka lalui panjang, berliku, dan tak lepas dari konflik. Salah satu yang terpopuler, konflik Wright bersaudara dengan Glenn H. Curtiss, pionir aviasi lain yang menjadi anggota Aerial Experiment Association (AEA) bentukan Alexander Graham Bell pada 30 September 1907. Pangkal konflik keduanya bermula dari teguran Wilbur terhadap Curtiss tak lama setelah Curtiss menjuarai perlombaan terbang Scientific American pada 4 Juli 1908. Wilbur menegur karena pesawat buatan Curtiss, June Bug, menggunakan sayap lengkung dan sistem pengendalian Aileron. Aileron merupakan sirip yang berfungsi sebagai pengontrol gerak lateral pesawat yang biasa diletakkan di ujung trailing sayap pesawat. Paten atas sistem tersebut menjadi bagian dari paten atas mesin terbang (Thy Flyer) yang dipegang Wright bersaudara sejak 1906. Oleh karena itu, penggunaannya untuk tujuan komersil tanpa membayar lisensi kepada Wright bersaudara berarti melanggar hukum. AEA tak mengindahkan teguran Wright bersaudara dan malah memproduksi tiga June Bug baru serta mendapatkan patennya pada 1911. Sementara, Curtiss memilih menjual pesawatnya kepada Aeronautic Society of New York pada 1909. Dia kemudian berkongsi dengan Augustus Herring, rekan pakar penerbangan Octave Chanute, mendirikan Herring-Curtiss Company.Herring-Curtiss Company berhasil membuat biplane Gold Flier atau Golden Bug. Untuk menghindari paten Wright, Curtiss meletakkan aileron di tengah kedua sayapnya. Dengan menggunakan Golden Bug, Curtiss berhasil mengadakan pertunjukan berbayar keliling beberapa tempat. Curtiss juga kembali merebut trofi Scientific American untuk kedua kalinya. Semua itu membuat Wilbur marah. Pelanggaran hak paten oleh Curtiss mendorongnya memejahijaukan kasus tersebut. Curtiss pun melayani gugatan Wright. Sementara proses pengadilan berjalan, dia menyempatkan diri terbang ke Prancis menggunakan Golden Bug guna mengikuti Le Grande Semaine d’Aviation, airshow internasional utama, yang dihelat pada akhir Agustus 1909. Curtiss berhasil membawa pulang James Gordon Bennett Cup atas prestasinya menjadi penerbang dengan kecepatan rata-rata tertinggi. Pertarungan di meja hijau dimulai sepulang Curtiss dari Prancis. Kedua belah pihak bersikeras dengan pendirian masing-masing. Upaya penyelesaian damai yang diusulkan tim pengacara kedua kubu tak berhasil. Pertarungan Wright-Curtiss tak hanya amat menyita kocek masing-masing namun juga waktu dan tenaga. Kesehatan Wilbur menurun drastis akibatnya. Sementara proses pengadilan masih berjalan, demam akibat tifoid mengakhiri hidup Wilbur pada 1912, membuat keluarga Wright amat terpukul. Pada Februari 1913, pengadilan memutuskan mengabulkan gugatan Wright bersaudara. Tindak lanjutnya, pengadilan memerintahkan Curtiss menghentikan pembuatan pesawat menggunakan dua aileron yang beroperasi secara simultan di arah yang berlawanan. Upaya gugatan makin gencar dilakukan kubu Wright setelah Orville menggandeng Glenn L. Martin, pionir industri pesawat, mendirikan Wright-Martin Corporation. Pada 1916, Wright-Martin mengajukan tuntutan royalti kepada semua produsen pesawat sebesar lima persen dari tiap pesawat yang terjual dan royalti tahunan 10 ribu doler per produsen. “Wright bersaudara tidak menginginkan royalti dari Curtiss; mereka ingin dia gulung tikar. Begitu pahit konfliknya sehingga ketika Wilbur meninggal karena demam tifoid pada 1912, Orville menyalahkan Glenn Curtiss,” tulis Charles R. Mitchell dan Kirk W. House dalam Glenn H. Curtiss: Aviation Pioneer . Upaya kubu Wright itu membuat banyak produsen pesawat menjadi takut sehingga memandekkan perkembangan industri pesawat Amerika. Akibatnya, industri pesawat Eropa berjalan tanpa pesaing. Kondisi tersebut memunculkan simpati para produsen lain terhadap Curtiss. Dengan bantuan Henry Ford, raja mobil Amerika yang bersimpati padanya, Curtiss mengajukan banding. Curtiss menggunakan pengacara Ford ketika mengalami masalah serupa soal paten di industri mobil. Namun, upaya kubu Curtiss dengan bertahan pada prinsip bahwa sistem pengendalian pesawatnya dikembangakan dari aerodrome milik Samuel Langley, bukan Thy Flyer milik Wright, tetap tak berhasil di pengadilan. Kondisi itu membuat pemerintah AS, terutama Angkatan Laut dan Angkatan Darat, cemas mengingat ancaman “hantu” Perang Dunia I kian kuat. Ketika Perang Dunia I akhirnya menghentikan sementara perang paten Wright-Curtiss itu, Franklin D. Roosevelt, asisten sekretaris Angkatan Laut, menginisiasi pembentukan organisasi lisensi dan mengahasilkan Manufacturers’ Aircraft Association (MAS). Berdirinya MAS tak hanya memaksa semua produsen pesawat terbang Amerika menjadi anggotanya, namun juga mematuhi semua aturan yang dikeluarkannya, seperti membayar fee untuk tiap pesawat yang diproduksi. MAS juga mengurangi besarnya royalti menjadi sebesar satu persen dan yang terpenting, MAS membebaskan penggunaan dan pertukaran ide dan penemuan di antara sesama produsen pesawat. Dengan berdirinya MAS, semua litigasi paten berhenti. Pun “perang paten” antara Wright dan Curtiss. Kendati tanpa Wilbur, pada 1929 Wright dan Curtiss akhirnya berdamai dengan memerger Wrights Aeronautical Corporation dan Curtiss Airplane and Motor Corporation menjadi Curtiss-Wright Corporation. “Kisah Wrights dan Curtiss adalah kisah penerbangan awal. Tidak ada seorang pun dan tidak ada dalam dekade luar biasa dari 1905 hingga 1915 itu di mana satu atau keduanya tidak memberi sentuhan atau mempengaruhi. Drama mereka dimainkan di atas panggung yang dihuni oleh tokoh-tokoh tak tertandingi yang terlibat dalam kinerja yang membawa umat manusia mewujudkan hasratnya sejak awal peradaban. Pertikaian sengit satu dekade Wright-Curtiss yang mengadu satu sama lain dari dua inovator paling cemerlang negeri itu telah membentuk jalur penerbangan Amerika,” tulis Lawrence.

  • Berburu Mata-Mata di Era Revolusi

    LANGIT masih terang ketika serangkaian kereta api memasuki Stasiun Kranji. Begitu berhenti, para anggota lasykar bersenjata langsung meminta semua penumpang untuk turun dan memeriksa identitas mereka satu persatu. Beberapa orang yang dicurigai langsung digiring ke kantor kepala stasiun dan dihadapkan kepada tim interogator. Di antara yang tercurigai adalah seorang lelaki paruh baya dengan seorang anak perempuannya. Mereka dianggap mata-mata NICA karena didapati ada kertas berwarna merah putih biru (simbol bendera Belanda) di dalam tas-nya masing-masing. “Pas sesudah magrib, itu laki dan anak gadis-nya langsung dieksekusi dengan sebilah celurit persis di belakang stasiun,”ungkap Mat Umar (92), salah seorang saksi kejadian tersebut. Di era revolusi (1945-1949), elan perjuangan melawan Inggris dan Belanda begitu menderu. Kerap kali semangat berlebihan di kalangan para pemuda itu menjadi tak terkendali hingga menjadi suatu kegilaan. Kopral (Purn) Soempena (94) masih ingat, bagaimana seorang pemuda dari Jakarta mati mengenaskan di Stasiun Purwakarta pada suatu hari di awal 1946. Gegaranya sangat sepele: dia kedapatan membawa selembar saputangan bercorak merah putih biru di saku bajunya. Kendati Soempena dan kawan-kawannya dari Divisi Siliwangi telah berupaya keras menyelamatkan pemuda itu, namun massa yang jumlahnya puluhan sudah terlanjur kalap. “Pada akhirnya kami tak bisa berbuat apa-apa saat dia dikeroyok banyak orang hingga tewas dan mayatnya diinjak-injak di atas rel kereta api,” kenang eks anggota Resimen Purwakarta itu. Sejarawan John R.W. Smail sempat merekam pula kebrutalan “kaum revolusiener” itu. Dalam bukunya Bandung in The Early Revolution, 1945—1946 (dialihbahasakan menjadi Bandung Awal Revolusi, 1945-1946 ), Smail menyebut tingkat kecurigaan orang-orang Indonesia pada 1945-1946 (terutama kepada orang Indo, orang Tionghoa dan orang-orang bule) begitu tinggi. Mereka yang dicurigai sebagai bagian (atau hanya sebatas) antek kaum penjajah itu memiliki potensi besar untuk mendatangi maut lebih awal. Praktek kebrutalan itu tercatat mencapai puncaknya di Bandung pada November-Desember 1945. “…Dapat disimpulkan bahwa terdapat 1.500 korban pembunuhan dari total populasi non-Indonesia yang berjumlah sekitar 100.000, belum termasuk sejumlah orang Indonesia sendiri yang juga lenyap dalam kondisi serupa,” ungkap Smail. Seorang saksi yang diwawancarai oleh Smail (pada 1945 dia baru berusia 12 tahun) mengungkapkan dua kasus perburuan mata-mata musuh di Bandung. Yang pertama, tertuduh adalah seorang bocah kecil yang kemudian diikat di tali pancang pada sisi jalan. Para pemuda kemudian menyiksanya hingga keesokan paginya dia mati. Kasus kedua, sang saksi juga melihat sebuah pamer kegilaan para pemuda yang membunuh seorang lelaki tua yang dituduh mata-mata Belanda. Para algojo itu, kata Smail, adalah sekelompok kecil manusia yang rata-rata masih sangat belia dan muncul dari kalangan yang tidak terpelajar. Memang ada banyak orang seperti Soempena, yang (dengan menafikan keselamatan dirinya sendiri) berupaya membela korban. Namun kecenderungan massa mengagumi aksi para algojo itu menjadikan upaya tersebut sebagai kesia-sian semata. Jenderal (Purn) Abdul Haris Nasution memiliki pendapat sendiri terhadap gejala itu. Dia secara langsung menyebut bahwa kebrutalan itu merupakan bentuk aksi provokasi yang sukses dari NEFIS (badan intel Belanda). Nasution menyebut mudahnya pejuang kita terjebak dalam  hoax  yang diciptakan para agen intelijen Belanda tersebutkarena banyaknya masalah internal yang belum terselesaikan saat itu. “Serangan psikologis itu mencapai targetnya karena adanya kekacauan organisasi pertahanan dan masih kurang cerdasnya rakyat kita…” tulis Nasution dalam  Tentara Nasional Indonesia Bagian I . Pendapat Nasution di atas bisa jadi ada benarnya. Usai proklamasi dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, di kalangan rakyat ada upaya untuk membenturkan secara langsung antara orang-orang keturunan Tionghoa dengan orang-orang lokal. Hal itu juga berlaku untuk orang Ambon (Maluku) dan Manado (Minahasa) yang dianggap secara genelogis merupakan antek Belanda yang paling setia. “Kemunculan lasykar-lasykar bercorak etnis seperti Kebaktian Rakjat Indonesia Sulawesi (KRIS), Barisan Pemberontak Tionghoa (BPT) dan PIM (Pejuang Indonesia Maluku) seolah menjadi pembukti bahwa anggapan itu tidak selamanya betul,” ujar sejarawan Rusdy Hoesein kepada Historia .

  • Rela Mati Demi Dirikan Perwari

    PUKUL satu siang 27 November 1945 di Yogyakarta. Bom-bom dari pesawat-pesawat Inggris menghujani daerah belakang (selatan) Gedung Kantor Pos dan De Javasche Bank di Gondomanan. Penduduk kocar-kacir. Itu merupakan pengeboman kedua. Pada 25 November 1945, Inggris sudah menjatuhkan bom di kota itu juga. Ketika bom di Gondomanan meledak, para aktivis pergerakan perempuan di Yogyakarta sedang berkumpul membincangkan rencana kongres perempuan pascamerdeka, 15-17 Desember 1945. Perang tak membuat mereka patah semangat untuk berkumpul dan menyatukan pikiran guna mendukung kemerdekaan. Pasca-proklamasi, aktivis perempuan di Yogyakarta sudah membentuk Persatuan Wanita Indonesia (Perwani), perubahan dari Fujinkai bentukan Jepang. Di saat yang sama, ex-anggota Fujinkai Jakarta membuat Wanita Negara Indonesia (Wani). "Kalau di Jogja Perwani mengajarkan tentang pengentasan buta huruf supaya masyarakat bisa lebih memahami tentang identitas Indonesia. Akan sulit mengajarkan identitas Indonesia bila membaca pun mereka tak bisa," kata Galuh Ambar Sasi, peneliti sejarah dan dosen Universitas Kristen Satya Wacana, pada Historia. Setelah Sultan Hamengkubuwono IX mengeluarkan amanat 5 September 1945 bahwa Yogyakarta bagian dari Indonesia, gerakan perempuan makin gencar melakukan sosialisasi. Mereka mengajarkan lagu "Indonesia Raya", pekik merdeka, dan baca-tulis. Selain itu, mereka juga mengajari tentang pengertian negara, Indonesia, jabatan pemerintahan, dan arti bergabungnya Yogyakarta menjadi bagian dari Republik Indonesia. Dari para aktivis perempuan itulah identitas Indonesia mulai dimunculkan kembali dan disebarkan ke masyarakat di desa-desa. Ketika menyelenggarakan sosialisasi, ide untuk mengadakan kongres muncul. Diraihnya kemerdekaan memunculkan keinginan para aktivis perempuan untuk punya organisasi skala nasional sebagai wadah berkumpul dan menyatukan gerakan. Sejak pendudukan Jepang, mereka tidak bisa berkumpul dan bergerak karena seluruh organisasi perempuan dibubarkan dan harus melebur jadi Fujinkai. Maka, disepakatilah saat itu untuk mengadakan kongres di bulan Desember 1945. Namun apa daya, bombardir Inggris pada 27 November membuyarkan rencana itu. Mulanya para aktivis perempuan ingin berkongres di Senisono, tempat Kongres Pemuda 1945. Namun sehari setelah pengeboman Inggris, Sultan Hamengkubuwono IX mengeluarkan imbauan untuk tidak mengadakan kongres atau berkumpul di Yogyakarta karena tidak aman. "Kalau ada kongres besar lagi dikhawatirkan serangan musuh makin banyak. Mereka lantas berpikir untuk keluar dari Jogja," kata Galuh. Bombardir Inggris juga membuat panitia dan calon peserta kongres khawatir hingga membatalkan kedatangan mereka. Beberapa anggota panitia lantas mengundurkan diri. Panitia persiapan yang tersisa pun hanya lima orang, yakni Ny. Soesanto (ketua), Ny. S. Iman Soedijat (penulis I), Sri Soendari Imam Panudja (penulis II), Ny. Din Soerjadiningrat (bendahara I), dan Ny. Soekardi (bendahara II). Lokasi kongres akhirnya dipindah ke Klaten dengan alasan dekat dari Yogya dan aman. Beruntung, Bupati Klaten Yudhonegoro menyediakan Gedung Kabupaten sebagai tempat kongres. Ia bahkan ikut jadi panitia pembantu kongres itu. Untuk akomodasi panitia kongres yang harus bolak-balik Yogya-Klaten, para perempuan menggunakan dana dari Perwani di samping jip pinjaman dari Sultan Hamengkubuwono IX. Situasi genting akibat perang itu tidak membuat para perempuan takut demi menyelenggarakan kongres. Terkadang di jalan mereka digeledah oleh tentara atau laskar. Bahkan, mereka harus menyingkir karena adanya pertempuran. Betapapun beratnya rintangan, semangat untuk kembali berkumpul tetap menyala di dada mereka. Dalam Wanita Dulu Sekarang dan Esok, Ani Idrus mencatat kongres yang diselenggarakan pada 15-17 Desember 1945 itu diikuti oleh utusan dan pemimpin dari berbagai organisasi perempuan. Selain Wani dan Perwani, ada Muslimat, Aisyiah, Wanita Katolik, Pemuda Putri Indonesia, Wanita Taman Siswa, dan lain-lain. Peserta kongres amat senang lantaran sudah lama tidak berkumpul dan membicarakan masalah perempuan. Dalam pertemuan itu, mereka membahas pergerakan perempuan supaya dapat ikut menegakkan kemerdekaan yang sudah diplokamirkan. Mereka menyepakati untuk selalu mengucapkan salam dan pekik merdeka dan memakai lencana merah putih. "Pertemuan di Klaten itu penting karena jadi tempat pertukaran pikiran aktivis perempuan yang gerakannya sempat mati setelah Perang Dunia II sampai berakhirnya penjajahan Jepang," kata Galuh. Pada hari ketiga kongres, para perempuan sepakat untuk membuat organisasi bersama. Sayangnya, tidak semua organisasi bisa melebur. Pasalnya, sebagian perwakilan organisasi perempuan yang datang merupakan afiliasi dari organisasi lain seperti Aisyiyah yang bagian Muhammadiyah atau Wanita Taman Siswa. Hanya Perwani dan Wani yang difusikan menjadi Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari). “Tadinya nama yang diusulkan Perwindo, Persatuan Wanita Indonesia namun beberapa anggota kongres menolak karena Perwindo terdengar seperti nama partai politik,” kata Galuh. Nama Perwari akhirnya dipilih karena terdengar lebih feminin. Kongres juga menetapkan Sri Mangunsarkoro sebagai ketua dan Darmiyati (Ny. Hadiprabowo) sebagai wakilnya.

  • Umbu Landu Paranggi dan Yori Antar Raih Penghargaan Akademi Jakarta 2019

    Penyair Umbu Landu Paranggi dan arsitek Yori Antar meraih Penghargaan Akademi Jakarta 2019 atas "pencapaian sepanjang hayat" di bidang humaniora. Penghargaan tersebut diserahkan oleh Ketua Akademi Jakarta Taufik Abdullah di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, 16 Desember 2019. Penghargaan Akademi Jakarta awalnya bernama Hadiah Seni. Pertama kali diberikan kepada penyair dan dramawan WS Rendra  pada 22 Agustus 1975. Kemudian pada 1978 Hadiah Seni diberikan kepada pelukis Zaini. Setelah itu, Hadiah Seni absen selama 25 tahun. Pada 11 Maret 2003 Akademi Jakarta kembali memberikan Hadiah Seni kepada perupa Gregorius Sidharta. Tahun berikutnya Hadiah Seni diberikan kepada koreografer Gusmiati Suid dan pemusik Nano S. Pada 10 November 2005, Hadiah Seni berubah menjadi Penghargaan Akademi Jakarta yang diberikan kepada koreografer Retno Maruti. Sejak itu, berturut-turut Penghargaan Akademi Jakarta diberikan kepada para insan seni yang dipilih oleh dewan juri. Tahun 2019, Penghargaan Akademi Jakarta diberikan kepada dua orang yang dianggap berjasa dalam kesusastraan dan arsitektur Indonesia: Umbu dan Yori. Keduanya bagian dari sejarah yang kemudian menjadi bangunan sastra dan arsitektur Indonesia hari ini. "Dilihat dari konteks kehidupan dan budaya kita selama ini hingga kini, dinamika hiruk pikuk serta keserbamungkinannya, dua tokoh ini, menjadi sangat menarik, penting dan niscaya karena sangat relevan," kata Riris K. Toha, Ketua Dewan Juri Penghargaan Akademi Jakarta 2019. Gregorius Antar Awal atau kerap disapa Yori Antar, lahir di Jakarta pada 4 Mei 1962. Yori lulus dari Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia pada 1989. Pada 2008, setelah melakukan ekspedisi ke Sumba-Flores, Yori mendirikan Rumah Asuh. Yayasan yang bertujuan untuk menyelamatkan situs atau bangunan tradisional yang terancam punah di berbagai daerah di Indonesia. Yayasan ini telah mendirikan kembali berbagai rumah adat, dari rumah tenun Dayak Sintang, rumah adat Mbaru Niang di Wae Rebo, hingga rumah adat Ngata Toro di Sulawesi Tengah. Rumah Asuh tak semata-mata membangun rumah adat, namun telah menjadi jembatan antara pengetahuan masa lalu masyarakat adat kepada generasi penerusnya. Bahkan, tak hanya rumah adat yang terancam punah, Yori juga berupaya menggali kembali memori masyarakat adat terhadap rumah-rumah adat mereka yang telah punah dan hanya tersisa dari ingatan-ingatan para tetua. Pada 2010, Yori Antar bersama fotografer Oscar Motuloh dan Jay Subyakto mendirikan Liga Merah Putih. Mereka menggelar berbagai pameran foto antara lain, pameran foto situs Kota Tua Trowulan, pameran foto Sawah Lunto, pameran foto Singkawang, dan ekspedisi situs Muara Jambi pada 2012-2013. "Dilihat dari kreativitas dan totalitas dedikasinya, pada pemahaman, penggalian, pendokumentasian, pelestarian dan pembangunan kembali arsitektur lokal, termasuk dorongan terbangunnya kesadaran masyarakat untuk menghargai jati dirinya, melalui arsitektur Nusantara tersebut, maka penghargaan Akademi Jakarta 2019 diserahkan kepada saudara Yori Antar," kata Riris. Sementara itu, Umbu Wulang Landu Paranggi, lahir di Waingapu, Nusa Tenggara Timur pada 10 Agustus 1943. Sejak 1960, puisi-puisinya telah tersebar di berbagai media massa seperti Mimbar Indonesia, Gadjah Mada, Basis, Gema Mahasiswa, Mahasiswa Indonesia, Pelopor Yogya , hingga  Majalah Kolong. Puisi-puisinya juga terbit dalam antologi bersama, Manifes (1968), Tonggak III  (1987), Teh Ginseng  (1993), Saron  (2018), dan Tutur Batur  (2019). Pada 1969, ketika mengasuh ruang sastra di mingguan Pelopor Yogya , yang berkantor di Jalan Malioboro, Umbu bersama Iman Budhi Santosa, Teguh Ranusastra Asmara, Ragil Suwarno Pragolopati, Suparno S. Adhy, Ipan Sugiyanto Sugito, Mugiyono Gitowarsono, mendirikan Persada Studi Klub (PSK). PSK melahirkan penyair-penyair ternama seperti Linus Suryadi AG, Emha Ainun Najib, Korrie Layun Rampan, dan sebagainya. Umbu sendiri saat itu dijuluki sebagai Presiden Malioboro. Pada 1975, Umbu pulang ke Sumba. Tiga tahun kemudian dia menetap di Bali. Pada 1979, ia menjadi redaktur sastra di harian Bali Post  dan menjadi guru bagi para sastrawan muda Bali. Beberapa muridnya di Bali antara lain, Putu Fajar Arcana, Cok Sawitri, Oka Rusmini hingga Raudal Tanjung Banua. Umbu aktif membina komunitas Jatijagat Kampung Puisi, Bali, hingga meninggal pada 6 April 2021. "Selama 50 tahun lebih, tanpa pamrih, tanpa menghendaki panggung, dan tanpa jaminan apapun dari masyarakat, dia bekerja hanya untuk membangun kehidupan dan budaya serta siapa Indonesia. Melalui puisi, pembimbingan dan pengembangannya," kata Riris.

bottom of page