top of page

Hasil pencarian

9580 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Sudah Kena Pes Tertimpa Apes

    PADA 1910, wabah pes menyerang Malang, Jawa Timur. Tak butuh lama bagi nestapa ini untuk menyebar ke daerah-daerah lain. Semarang dan Yogyakarta jadi korban berikutnya. Akibatnya, dari 1910-1939, pes memakan 39.254 korban jiwa di Jawa Timur, 76.354 di Jawa Tengah, dan 4.535 di Yogyakarta. Wabah pes terus merembet ke barat Jawa. Pada 1920-an, pes menyerang Cirebon, Priangan, dan Batavia dengan angka kematian yang terus meningkat. Dari 1933-1935, wabah pes mencapai puncaknya di Jawa Barat dengan kematian mencapai 69.775 jiwa. Untuk menanganinya, pemerintah Hindia Belanda memerintahkan Burgerlijke Geneeskundige Dienst (BGD, Dinas Kesehatan Publik) membentuk program pemberantasan pes. Ketika wabah pes makin menjadi dan menjalar ke berbagai daerah, pemberantasan pes tidak lagi dinaungi BGD yang berada di Batavia melainkan diurus daerah masing-masing. Pada 2 Januari 1915, persiapan pembentukan Dienst der Pestbestijding (DDP, Dinas Pemberantasan Pes) di tiap daerah terjangkit pes. Tiga minggu kemudian, 28 Januari 1915, Gubernur Jenderal Alexander Willem F Idenburg mengeluarkan surat keputusan No.2 yang menetapkan Dienst der Pestbestijding sebagai lembaga otonom untuk melayani distrik terjangkit pes. DDP, yang keberadarannya terlepas dari BGD, kewenangannya berada di masing-masing karesidenan. Petugas kesehatan, mulai dari mantri, perawat Eropa, hingga dokter Jawa, dikirim ke kampung-kampung untuk memeriksa penduduk pribumi. Tjipto Mangunkusumo, salah satunya, yang ikut memberantas pes di Malang. Di Surakarta, mantri pes dan pengawasnya datang ke rumah penduduk untuk memeriksa setiap Rabu. Kegiatan mereka menutupi ketiadaan dokter-dokter Eropa, yang jarang sekali mau berkunjung ke kampung. Selain karena akses yang suliit dijangkau dari kota, ketidakmauan dokter Eropa disebabkan adanya kesenjangan kelas dan sentimen rasial yang bikin dokter kulit putih enggan menyentuh pasien pribuminya. Diskriminasi itu tampak jelas jika dibandingkan dengan penanganan pes pada orang Eropa. Para kulit putih penderita pes umumnya langsung dilarikan ke rumah sakit secara cuma-cuma, dapat makanan bergizi gratis, dan pemeriksaan rutin setiap hari oleh dokter kulit putih. Sementara, orang yang tinggal serumah dengan pasien pes kulit putih harus menjalani isolasi selama dua minggu. Mereka menjalaninya dengan fasilitas amat layak, berupa bangunan barak observasi kokoh dan luas. Kondisi itu berbeda jauh dari yang diterima kaum terjajah. Jika satu warga terbukti menderita pes, satu kampung langsung diungsikan ke barak obsevasi. Barak untuk pribumi itu terbuat dari papan, beratap daun, dan terdapat tiang bambu. Hal ini jadi paradoks lantaran pemerintah memerintahkan penduduk pribumi untuk mengganti bahan baku rumah mereka dari bambu jadi bata dan kayu. Banyak penduduk menolak dipindahkan ke barak. “Kebanyakan orang pribumi menganggap ekses penerapan kebijakan pemerintah kolonial jauh lebih menakutkan dan menyengsarakan dibanding penyakit pes itu sendiri,” tulis Martina Safitri dalam tesisnya “Dukun dan Mantri Pes”. Penanganan pes pada pribumi pun bukan karena pemerintah kolonial peduli pada kesehatan warga jajahannya, melainkan semata tak ingin tertular penyakit nestapa itu. Terkadang, pemerintah tak bisa berbuat banyak menghadapi penolakan warga untuk diungsikan. Pasalnya, jumlah polisi dan pejabat desa yang mengamankan rumah tidak sebanding dengan jumlah rumah yang harus dijaga. Itu antara lain bisa dilihat di Desa Gandjar, Malang yang memiliki 150 keluarga yang harus dipindahkan sedangkan jumlah polisi hanya 2-3 orang. Banyak penduduk yang sudah dipindahkan pun nekat kembali ke desa pada malam hari untuk menjaga rumah masing-masing. Mereka kembali ke barak, yang letaknya di luar permukiman, menjelang pagi. Main kucing-kucingan itu disebabkan penduduk khawatir barang-barang di rumah mereka raib atau lebih buruk lagi, rumah mereka dibakar karena dianggap sarang tikus berkutu pembawa penyakit pes. “Pada abad ke-20, beberapa Layanan Pes membakar habis sebuah desa yang dijangkiti pes. Tindakan ini meningkatkan kecurigaan kaum nasionalis pada layanan medis Eropa,” tulis Peter Boomgard dalam “The Development of Colonial Health Care in Java”. Rumah-rumah yang sudah dibakar itu kemudian dibangun ulang dengan bata dan kayu. Namun, jumlah kompensasi dari pemerintah amat kecil sehingga sulit membangun ulang rumah yang sudah dibumihanguskan sekampung itu. Di Semarang, bila seseorang tidak bisa melakukan perbaikan rumah sesuai aturan, terpaksa menyerahkan tanahnya kepada gemeente. Aturan yang memberatkan penduduk itu masih ditambah lagi dengan kewajiban mengapur tembok rumah dan rutin menjemur semua perlengkapan, seperti kasur, bantal, pakaian dan lain-lain. Namun, tembok rumah siapa yang harus dikapuri jika tanahnya direbut?

  • Penyakit yang Ditakuti pada Zaman Majapahit

    Kebetulan waktu itu Prabu Jayanagara sakit bengkak sehingga tak dapat keluar. Tanca disuruh memotong bengkak itu. Ia mendatangi tempat sang raja tidur. Dipotongnya bengkak itu oleh Tanca sekali, dua kali. Tapi tak mempan.   Tanca meminta baginda raja meninggalkan baju zirahnya, yang kemudian diletakkan di sebelah tempat tidur. Berhasilah operasi Tanca, bengkak itu dipotongnya. Begitulah kisah akhir hidup Raja Jayanagara berdasarkan naskah Pararaton. Earl Drake dalam Gayatri Rajapatni: Perempuan Di Balik Kejayaan Majapahit, menafsirkan bengkak itu sebagai tumor. Sementara Slamet Muljana dalam Menuju Puncak Kemegahan menyebut penyakit itu bubuh atau bisul. Setelah selesai mengoprasi penyakit Jayanagara, Tanca malah mengambil kesempatan itu untuk menikam sang raja. Dia kemudian ditikam balik oleh Gajah Mada. Epigraf Universitas Gadjah Mada, Riboet Darmosoetopo dalam Sima dan Bangunan Keagamaan di Jawa Abad IX-X TU menjelaskan, pada masa Jawa Kuno penyakit termasuk dalam wikara, artinya perubahan, khususnya keadaan tubuh dan mental yang lebih buruk dari biasanya. Berdasarkan data prasasti abad ke-9-10 dan kesusastraan, ada bermacam-macam wikara. Ada wikara yang disebabkan penyakit, wikara sejak lahir, wikara yang terjadi karena perubahan kejiwaan, dan wikara karena kena kutuk. Wikara yang disebabkan penyakit adalah bubuhên atau wudunen (bisul) . Lalu ada Bulêr atau sakit katarak dan sakit mata lainnya yaitu belek. Kemudian ada Humbêlên atau sakit pilek, wudug atau lepra, panastis atau sakit malaria, dan ulêrên atau sakit karena cacing. Sementara yang termasuk wikara bawaan sejak lahir di antaranya bisu (tak dapat bicara), picêk ( buta), pincak atau tumbung (indra pembau yang kehilangan daya bau), bule (albino), busung ( berperut besar). Pun beberapa penyakit kelamin seperti burut atau wêlu (hernia), darih ( impoten pada perempuan), dan kuming ( impoten pada laki-laki). Kemudian beser ( selalu buang air kecil), pandak ( cebol atau kerdil), gambol ( berpunuk), hayan (ayan atau epilepsi), mengi atau asma ( bengek ), wungkuk (bongkok), serta kdi ( banci). Adapula wikara yang disebabkan gangguan jiwa seperti buyan ( gila) dan janggitan ( sakit jiwa karena terkena kutuk). Wikara yang disebabkan kena kutuk dapat bersifat jasmani maupun rohani. Prasasti Wiharu II (851 Saka atau 929) menyebut ada orang yang meninggal dunia karena perutnya membengkak ( matya busunga ). Prasasti itu juga mencatat penderita ayan ( ayana ), orang yang disambar petir padahal tak sedang hujan ( samberen ing glap tanpa hudan ), dan tenggelam di bendungan ( klêmakên ring dawuhan ). Penyakit karena kutukan dibahas pula dalam Kitab Rajapatigundala , naskah undang-undang yang ditulis Raja Bhatati (nama lain Kertanagara) dan disusun kembali pada zaman Majapahit. Pada bagian sapatha disebut nama-nama penyakit yang akan menimpa orang jika tak mematuhi hukum. “…, untuk orang yang tidak mematuhi, dia akan mendapat kesengsaraan,… hidup mereka akan tanpa mendapat kesehatan, mereka akan sakit kusta, tidak dapat melihat dengan sempurna, sakit gila, cacat mental, buta, bungkuk. Maka semua orang yang tidak mematuhi akan dikutuk oleh Raja Patigundala yang suci,” sebut kitab itu. Pun dalam Kitab Korawacrama yang diperkirakan berasal dari abad ke-14. Dikisahkan Bhatara Guru terkejut ketika melihat banyaknya penyakit yang diderita manusia. “ …, terkejutlah Bhattara guru ketika melihat manusia, ternyata banyak yang menderita sakit, ada wudug (lepra), ana buyan (gila), ana wiket (mempunyai banyak luka), pincang welu (hernia), beser (selalu ingin buang air), turuh (kerusakan pada salah satu organ tubuh), apus (kehilangan tenaga), wuta (buta), tuli (tuli), bisu (bisu), barah (lepra yang sudah parah), uleren (cacingan), umis (pendarahan), lampang (sejenis penyakit kulit), bule (albino), gondong (leher membengkak), amis antem (berbau amis), masegir (berbau tidak enak), apek (berbau apek), demikian keadaan manusia,…” tulisnya. Kendati begitu, menurut Riboet, ada anggapan bahwa sebagian orang yang mempunyai cacat jasmani justru mempunyai kelebihan kekuatan rohaniah. Karenanya mereka dijadikan abdi dalem palawija atau abdi dalem ameng-amengan. Mereka itu tergolong watak i jro atau golongan dalam keraton. Mereka terdiri atas orang wungkuk (bongkok), bule , pandak, wuta (buta), jenggi (berkulit hitam), pincang, dan kdi (banci). Di antara macam-macam wikara itu, ada tujuh wikara yang sangat ditakuti oleh masyarakat Jawa Kuno, yaitu kuming (impoten), panten (banci), gringen (sakit-sakitan), wudug (lepra), busung (perut membengkak), janggitan (gila), dan keneng sapa (terkena kutuk). Bahkan ada sejumlah wikara yang dapat menghancurkan kehidupan suami istri. Di antaranya kuming, panten, wudug, dan ayan. Hal itu termaktub dalam teks hukum Agama atau Kutaramanawa yang berlaku, khususnya pada masa Majapahit. Isinya, seorang istri boleh membatalkan perkawinannya jika suaminya menderita beberapa penyakit tertentu, yaitu gila, batuk kering, ayan, impoten, dan banci. Bila akhirnya istri tak suka kepadanya, sang istri diimbau untuk menunggu tiga tahun. Selama itu sang suami diberi kesempatan untuk berobat. Namun, jika selama tiga tahun tak sembuh, kata aturan itu, jangan salahkan istri kalau menikah lagi dengan orang lain. “ Tukon (mahar) tak usah dikembalikan kepada suaminya. Menunggu dahan bertunas namanya,” tulis aturan itu.

  • Yang Seteguh Batu Karang: Kisah Grace Walandaow Hartono

    JAKARTA, 16 November 2018. Pemakaman Tanah Kusir siang itu dilanda haru. Isak tangis dan sedu sedan mengiringi turunnya peti mati ke dalam liang lahat. Dengan khidmat, seorang pendeta perempuan mengumandangkan kidung pujian, diikuti oleh sebagian besar hadirin yang ada di sana. “Batu karang yang teguh… Kau tempatku berteduh… Karna dosaku berat dan kuasanya menyesak… Oh bersihkan diriku oleh darah lambung-Mu…” Kidung pujian berjudul Batu Karang yang Teguh seolah mewakili cerita hidup Grace Walandaow Hartono, perempuan yang hari itu telah pergi ke haribaan-Nya. Tak ada sanak saudara dan sahabatnya yang menyangsikan bagaimana tabah dan kuatnya Grace mengarungi hidup sepeninggal sang suami, Letnan Jenderal KKO Hartono. Pyongyang, Korea Utara, awal Januari 1971. Kapten KKO Krisna Rubowo (sekarang kolonel purnawirawan) masih ingat peristiwa itu. Begitu mendengar kabar dari Jakarta bahwa atasannya Letjen KKO Hartono (saat itu menjabat sebagai duta besar Indonesia untuk Korea Utara) telah meninggal, sejenak dia merasa itu seperti mimpi. Hal yang sama juga dirasakan oleh Grace saat beberapa jam kemudian diberi tahu oleh Krisna soal berita sedih itu. “Ya bagaimana mau percaya, waktu terakhir pergi dari Pyongyang dia ada dalam keadaan sehat walafiat,” kenang perempuan kelahiran Surabaya pada 21 Desember 1937 itu. Letjen KKO Hartono ditemukan meninggal dalam kondisi kepala bagian belakang tertembak pada Rabu pagi, 6 Januari 1971. Berbagai rumor bertebaran. Ada yang menyebut dia bunuh diri karena merasa frustrasi dengan kondisi politik saat itu. Namun, ada juga yang curiga, Hartono dibunuh sebagai upaya desukarnoisasi rezim Orde Baru di tubuh TNI AL. Pemerintah sendiri via Menteri Luar Negeri Adam Malik menyatakan bahwa sebab kematian Hartono adalah pendarahan di otak. “Ini merupakan keterangan resmi pemerintah dan sudah tidak akan ada lagi penjelasan-penjelasan lain,” ujar Adam Malik seperti dikutip Julius Pour dalam G30S: Fakta atau Rekayasa . Menurut Grace, secara langsung Laksamana Sudomo sendiri pernah bicara kepadanya bahwa kematian Hartono memang karena bunuh diri. Itu terkait rasa frustrasi sang komandan KKO itu terhadap upaya penciutan korpsnya tersebut oleh pemerintah Orde Baru. “Tapi saya tak pernah percaya kepada tuduhannya itu,” ujar Grace kepada saya. Grace sangat yakin Hartono tidak akan pernah melakukan hal sebodoh itu. Seberat apapun masalah yang dihadapinya, dia akan selalu rasional. Itulah sifat asli Hartono yang selama hidupnya sangat dia kenal. “Tapi sudahlah, saya sudah ikhlas kehilangannya dan memaafkan mereka yang telah membunuh suami saya,” ujarnya dalam nada lirih. Sepeninggal sang suami, hidup Grace dan keempat putrinya praktis berubah. Meskipun tersedia dana pensiun bulanan Hartono, namun itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Itulah yang membuat Grace memutuskan turun langsung menjadi tulang punggung keluarganya. Awalnya Grace sempat bingung akan bekerja di mana. Untung ada Els J. Item. Atas kebaikan sepupunya itu, dia bisa bekerja pada bagian administrasi di ITT, perusahaan elektronik asal Eropa, cabang Jakarta. “Mama lumayan lama bekerja di ITT, dari 1972 sampai 1984,” tutur Nenny Hartono (53), putri ketiga dari Grace dan Hartono. Lepas dari ITT, Grace bekerja di Sario, perusahaan jasa pengiriman paket bahan makanan ke luar negeri. Di sini dia pun menempati posisi sebagai tenaga administrasi, membantu salah seorang kenalannya. Grace sendirian memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari empat putrinya. Kendati tidak bisa menikmati hidup mewah, namun hasil dari pekerjaannya cukup untuk membiayai semua keperluan pokok terutama menyewa rumah dan membayar pendidikan anak-anaknya. Lantas adakah keinginan untuk membangun kembali rumah tangga baru? Grace tak pernah berpikir untuk mencari pendamping hidup lagi. Dalam pikirannya, dia tak yakin akan ada seorang laki-laki yang dapat menggantikan sosok Hartono dalam cinta kasih kepada dirinya dan keluarga. “Mama juga bilang ingin fokus membesarkan anak-anaknya,” ungkap Nenny. Tentang kecintaan Grace kepada Hartono, ada sebuah ungkapan yang kerap dikatakan perempuan berwajah lembut itu: “Mencintai seorang prajurit itu sangatlah mudah. Yang sulit justru mengatasi jarak (saat kita jauh), mengendalikan rasa takut (akan kehilangannya) dan memahami jiwa pengorbanannya. Tapi mencintainya adalah hal yang paling mudah, karena saya pernah melakukannya.” Seiring anak-anaknya mulai bisa mandiri, Grace pensiun bekerja pada 1990-an. Para putrinya yang kemudian mengurus semua kebutuhan dirinya. “Kerjaan saya di rumah, sebagian besar hanya membaca,” ujar perempuan sepuh yang pandai berbahasa Inggris dan Belanda itu. Sementara itu, dari waktu ke waktu, banyak petinggi di KKO (sekarang Korps Marinir) menyangsikan sebab kematian yang dilansir oleh pemerintah Orde Baru dan Laksamana Sudomo. Bahkan, dalam program Lacak di Trans TV pada 2004, sesepuh Korps Marinir, Letnan Jenderal (Purn.) Ali Sadikin menyebut kematian koleganya itu sangat kental warna politisnya. “Saya mendapat informasi bahwa Hartono dibunuh akibat adanya konspirasi tingkat tinggi,” ujar mantan gubernur DKI Jakarta itu. Mengemukanya kasus Letjen KKO Hartono tersebut menyebabkan pihak TNI AL kembali menelusuri keluarga mantan panglima KKO itu. Tak lama setelah penayangan program Lacak , Kepala Staf TNI AL Laksamana Bernard Kent Sondakh melalui Mayor Jenderal A. Rifai, Komandan Korps Marnir (2002-2004), menghadiahkan sebuah rumah di Pamulang, Tangerang Selatan untuk Grace dan anak-anaknya. Penerus A. Rifai, yakni Mayor Jenderal Nono Sampono empat tahun kemudian mengajak Grace dalam peresmian nama “Hartono” untuk Kesatrian Korps Marinir di Cilandak. “Waktu meresmikan Kesatrian Hartono, saya terharu dan puas karena nama suami saya sudah kembali pulih di lingkungan pasukan kebanggaannya,” ujar Grace. Akhirnya mimpi yang selalu didekap erat oleh perempuan berhati teguh itu terwujud juga, tepat sepuluh tahun sebelum dia pergi.*

  • Kepala Polisi Era Revolusi

    JAKARTA, pertengahan Oktober 1945. Kabar buruk bertiup kencang dari Bekasi: pasukan Kaigun atau Angkatan Laut Jepang yang akan bergerak ke arah Bandung dengan kereta api dicegat lalu dibantai di tepi Kali Bekasi. Tak jelas siapa pelakunya. Tentara Keamanan Rakyat (TKR) setempat yang saat kejadian ada di situ, alih-alih mencegah malah terlibat dalam pembantaian.

  • Sebelum Soekanto Jadi Kepala Polisi

    DENGAN berpakaian preman, Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo kerap mengunjungi tempat-tempat yang dianggap rawan. Tengah malam, sebelum pulang ke rumah, dia singgah ke kantornya. Di ruang penjagaan, dia menemukan komandan jaga, seorang inspektur berkebangsaan Belanda, tidur terlelap. Soekanto ingin memberi pelajaran. Dia merogoh saku sang inspektur dan mengambil revolver. Soekanto juga melaporkan peristiwa itu ke atasannya agar memberikan sanksi. Yang terjadi, petugas itu dipecat dari kepolisian.

  • Anak Pandu Jadi Polisi

    SIANG bolong, 7 Juni 1908, tangisan bayi pecah. Kegembiraan menyelimuti pasangan Martomihardjo dan Kasmirah atas kelahiran putra pertama mereka setelah delapan tahun penantian. Martomihardjo seorang pamongpraja dari Purwerejo, Jawa Tengah, yang saat itu menjabat asisten wedana di Jasinga, Bogor –terakhir sebagai wedana di Tangerang dan kadang-kadang asisten wedana di Bogor. Sementara Kasmirah, juga dari keluarga priayi, asli Bogor.

  • Taktik Banten Taklukkan Pakuan Pajajaran

    Kerajaan Pajajaran didirikan pada 1333 oleh beberapa bangsawan dari Galuh. Kerajaan yang beribu kota di Pakuan (kini, Bogor) itu untuk pertama kalinya berhasil menyatukan seluruh wilayah Jawa Barat, dari selatan sampai utara, di bawah kekuasaan tunggal. Pajajaran melancarkan serangan ke pelabuhan-pelabuhan pesisir utara, termasuk ke Wahanten Girang atau Banten Girang. Sejarawan Claude Guillot mencatat bahwa karena tak ada satu indikasi pun yang memungkinkan dugaan bencana alam, terpaksa disimpulkan bahwa Banten Girang musnah dalam perang sekitar tahun 1400. Banten Girang hancur dan perekonomian berhenti. “Untuk periode tersebut diketahui hanya satu serangan terhadap kota ini yang menurut teks berbahasa Sunda, Carita Parahyangan , dilakukan oleh pasukan Pajajaran,” tulis Claude Guillot dalam Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X–XVII . Banten berada di bawah kekuasaan Pajajaran hingga awal abad ke-16. Ketika kekuasaan Pajajaran merosot, Kerajaan Demak, melancarkan beberapa serangan ke Banten paling tidak mulai tahun 1520. Untuk menghadapi serangan pasukan Islam itu, pada 1511 penguasa Banten berusaha meminta bantuan kepada Portugis di Malaka. Penguasa Demak kemudian mengutus seorang ulama, Sunan Gunung Jati dan anaknya, Hasanuddin, ke Banten Girang, untuk membantu dari dalam. Portugis tidak segera merespons permintaan penguasa Banten. Penguasa Banten yang disebut “Sanghyang” keburu meninggal dan mungkin peristiwa inilah yang melemahkan kekuatan militer Banten. Sunan Gunung Jati pun memanfaatkan kesempatan itu untuk memberi tahu pasukan Demak agar merebut pelabuhan Banten. “Di pengujung tahun 1526, Sunan Gunung Jati dan anaknya, Hasanuddin, dibantu dari dalam oleh Ki Jongjo, salah seorang petinggi kota yang menjadi mualaf dan memihak kaum Islam, pasukan Demak berhasil merebut pelabuhan Banten, kemudian ibu kota Banten Girang,” tulis Guillot. Setahun kemudian, pada 1527, Sunan Gunung Jati merebut pelabuhan Sunda Kelapa di Jakarta. Jadi, lanjut Guillot, dinasti Islam bukanlah pendiri Banten. Sebenarnya dinasti ini merebut kekuasaan dari sebuah negara yang memiliki sejarah panjang dan yang kemakmurannya sejak lama bertumpu pada penghasilan biji lada dan perdagangan internasional. Sunan Gunung Jati kemudian menetap selamanya di Cirebon. Hasanuddin menggantikannya berkuasa di Banten. Dia memerintah selama beberapa tahun di Banten Girang. Ayahnya kemudian memerintahkan untuk memindahkan istana ke pelabuhan Banten. Di sana, dia membangun istana Surosowan, alun-alun, pasar, masjid agung, dan masjid di kawasan Pacinan. Hasanuddin meninggal dunia pada 1570, pada tahun yang sama dengan ayahnya. Dia digantikan anaknya, Maulana Yusuf. Pembangunan yang dilakukannya dalam naskah Babad Banten disebut gawe kuta buluwarti bata kalawan kawis (membangun kota dengan menggunakan bata dan karang). Yusuf membangun saluran-saluran, bendungan, benteng pertahanan, memperluas serambi masjid agung yang dibangun ayahnya, dan membangun sebuah masjid di Kasunyatan. Selain pembangunan fisik, dia juga mengembangkan perkampungan dan pertanian (ladang dan sawah). Peran lain Yusuf yang sangat penting adalah penyebaran agama Islam melalui penaklukan . “Beliau berhasil meruntuhkan seluruh kerajaan Sunda yang berkedudukan di Pakuan Pajajaran. Penyerangan ini dilandasi oleh tekadnya untuk menyebarkan agama Islam ke daerah pedalaman Banten, sehingga sejak saat itu Jawa Barat menjadi daerah penyebaran agama baru ini,” tulis Heriyanti Ongkodharma Untoro dalam Kapitalisme Pribumi Awal: Kesultanan Banten 1522-1684 . Menurut H.J. de Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud dalam Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa , motivasi lain Banten menyerang Pajajaran mungkin merasa penyaluran hasil bumi ke kota pelabuhan, guna usaha perdagangannya, terancam. Mungkin juga harapan untuk mendapat banyak rampasan perang merangsang semangat tempur mereka. Seperti strategi kakeknya ketika merebut Banten, keberhasilan Yusuf menaklukkan Pajajaran juga berkat bantuan orang dalam. De Graaf dan Pigeaud mencatat, berdasarkan uraian yang cukup panjang dalam Sadjarah Banten dapat disimpulkan bahwa kemenangan tentara Banten dipermudah oleh pengkhianatan seorang pegawai raja Pajajaran. Pengkhianat itu telah membuka pintu bagi saudaranya yang memegang komando atas sebagian laskar Banten. Dari cerita itu juga diketahui bahwa sudah ada orang Su n da Islam yang ikut bertempur di pihak Banten. Sadjarah Banten juga menyebut banyak penguasa dan alim ulama ikut menyerang Pakuan. “Pimpinan agama dipegang oleh Molana Judah (dari Jeddah, Arab); tentang Molana ini tidak diketahui lebih lanjut,” tulis De Graaf dan Pigeaud. Setelah Pakuan jatuh dan raja beserta keluarganya menghilang, golongan bangsawan Sunda masuk Islam. Karenanya mereka diperbolehkan tetap menyandang pangkat dan gelarnya. Setahun setelah penaklukkan Pakuan Pajajaran, Maulana Yusuf meninggal dunia pada 1580.

  • Ketika Arsitek Belanda Masuk Islam

    Pesulap sohor Deddy Corbuzier mengumumkan telah memeluk agama Islam pada 21 Juni 2019. Sebelumnya dia penganut Katolik. Dia berkeputusan pindah agama setelah mempelajari Islam selama hampir setahun. Kabar itu memperoleh beragam tanggapan dari khalayak. Tanggapan itu mirip dengan sikap orang-orang pada masa kolonial terhadap seorang Eropa yang masuk agama Islam. Tidak banyak orang Eropa masuk Islam di Hindia Belanda. Dua nama dapat menjadi contoh dari yang sedikit itu: Snouck Hurgronje dan Charles Prosper (C.P.) Wolff Schoemaker. Nama pertama sudah begitu sohor. Kisahnya kontroversial. Snouck seorang mata-mata pemerintah kolonial, mantan penganut Protestan, kemudian menjadi seorang muslim. Dia fasih beragam bahasa dan ilmu-ilmu humaniora sehingga berhasil duduk di kursi profesor Universitas Leiden. Nama kedua tak begitu sohor seperti Snouck. Sedikit orang tahu kisahnya. C.P. Wolff Schoemaker seorang arsitek berkebangsaan Belanda. Dia memberi kota Bandung wajah modern nan apik melalui bangunan rancangannya sepanjang periode 1920—1930-an. C.P. Schoemaker lahir di Banyubiru, Ambarawa, Jawa Tengah, pada 25 Juli 1882. Ayahnya bernama Jan Prosper (J.P.) Schoemaker, seorang pensiunan kapten Koninklijk Nederlansch Indisch Leger (KNIL atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda). Dihormati mahasiswa, dicibir teman J.P. Schoemaker penganut Katolik dan sangat mengkhawatirkan perkembangan Islam di Hindia Belanda. Menurutnya, pemerintah kolonial lalai menyikapi perkembangan itu. Dia sampaikan kritiknya kepada pemerintah melalui buku Het Aziatische Gevaar pada 1908. Beberapa tahun kemudian, kekhawatiran J.P. Schoemaker justru menimpa keluarganya sendiri. Anak kandungnya malah menganut Islam.  “Dengan alasan yang tidak diketahui, Wolff Schoemaker keluar dari agama Kristen Katolik sekitar 1915 dan menjadi seorang muslim,” tulis C.J. van Dullemen dalam Arsitektur Tropis Modern Karya dan Biografi C.P. Wolff Schoemaker . Salmon Priaji Martana menyebut kepindahan agama Schoemaker memiliki dua versi cerita. “Ketertarikannya pada kebudayaan Islam sudah dimulai semenjak menjabat direktur di Gemeentewerken Batavia,” tulis Salmon dalam Wolff Schoemaker Karya dan Lingkup Dunia Sekelilingnya . Gemeenterwerken adalah Dinas Pekerjaan Umum. Schoemaker menjabat direktur bagian Batavia selama 1914—1917. Versi cerita kedua menuturkan bahwa mojang Priangan menjadi penyebab kepindahan agama Schoemaker. “Schoemaker berpindah agama Islam semenjak pernikahannya dengan seorang mojang Priangan,” catat Salmon. Tetapi keterangan ini meragukan. Dullemen mencatat Schoemaker menikah lima kali. Empat istrinya orang Belanda dan satu lainnya orang Tionghoa. Tidak ada catatan tentang istri Schoemaker dari golongan anak negeri. Keputusan Schoemaker menjadi seorang muslim tersebar luas baru pada 1930-an. Ketika itu dia telah menjabat sebagai asisten profesor dalam bidang sejarah arsitektur dan ornamen di Technische Hoogeschool Bandoeng (THB, sekarang Institut Teknologi Bandung). Dia mulai menggunakan nama Kemal untuk menunjukkan identitas Muslim. Karuan orang-orang di sekitar Schoemaker mulai bereaksi. Para mahasiswanya dari kalangan anak negeri menaruh hormat atas keputusan Schoemaker masuk Islam. Schoemaker seorang berpendidikan tinggi, mempunyai reputasi bagus sebagai arsitek, dan berselera tinggi terhadap seni dan budaya. Maka keputusan Schoemaker menjadi muslim dianggap turut mengangkat marwah Islam di mata kolonialis. Lazim pada masa itu, kolonialis memandang Islam sebagai agama terbelakang dan umat muslim adalah orang-orang anti-ilmu pengetahuan. Sebaliknya, rekan-rekan kerja Schoemaker justru mencibirnya. “Beberapa orang menganggap langkah ini sangat tidak umum dan diasosiasikan dengan penurunan status sosial,” ungkap Dullemen. Kritik untuk Umat Muslim Tetapi Schoemaker enggan repot dengan pendapat orang. Dia terus giat menggali Islam dan bergabung ke organisasi Islam seperti Persatoean Islam Barat di Bandung. Atas nama organisasi itulah dia menulis sebuah pengantar di buku Cultuur Islam karya Mohammad Natsir (kelak menjadi tokoh Masyumi) pada 1937.   Dalam pengantar buku termaksud, Schoemaker memuji Islam sebagai pendorong maujudnya semangat dan peradaban ilmiah di Eropa pada abad pertengahan. Menurutnya, orang-orang Eropa berutang kepada ikhtiar filsuf dan ilmuan muslim dalam mengkaji kembali karya-karya pemikir Yunani dan Romawi di bidang filsafat, kebudayaan, dan sastra. “Semangat ini dengan lekas masuk ke benua Eropa (terutama dengan melalui Spanyol) dan terus mendirikan persediaan untuk Kebangkitan ( Renaissance ) pada akhir-akhir Abad Pertengahan,” tulis Schoemaker. Meski memuji peranan Islam di Eropa, Schoemaker juga mengakui adanya degradasi peradaban pada sebagian besar umat muslim pada abad ke-20. “Kemunduran Kebudayaan Islam yang tadinya amat luhur itu, antara lain, disebabkan oleh percampuran bangsa, dan karena orang-orang Islam di zaman belakangan itu tidak sanggup menjalankan semua ajaran agama yang semulia ini, dengan sempurna, yang pada hakikatnya amat keras mendorong kepada kemajuan dan kemenangan dunia,” ungkap Schoemaker. Salah satu degradasi peradaban Islam tampak pula dalam bidang arsitektur. Schoemaker mengupasnya secara terang dalam artikelnya di buku Cultuur Islam . Bagi Schoemaker, arsitektur menggambarkan peradaban suatu kaum. Tinggi rendahnya peradaban tersua dalam gagasan dan bentuk arsitektur bangunan suatu kaum. “Segenap kedudukan ruhani salah satu bangsa, pemandangan hidupnya, cita-citanya, dapat dirupakan dalam bangun-bangunan yang didirikannya. Arsitektur ialah salah satu kelahiran kekuatan-kekuatan ruhani yang hidup dalam kalangan satu kaum,” terang Schoemaker. Masjid Cipaganti, berdiri tahun 1930-an, rancangan Prof. Kemal C.P. Wolff Schoemaker di Bandung, Jawa Barat. (humas.bandung.go.id) Merancang Masjid Schoemaker berani mengatakan arsitektur di kalangan umat Islam tengah merosot setelah melihat bentuk-bentuk masjid di Hindia Belanda. “Demikianlan di seluruh tanah Jawa ini, boleh dikatakan tidak ada satu pun masjid yang menarik perhatian dan membangunkan semangat. Tidak ada satu pun yang mempunyai arti sebagai buah arsitektur, baik tentang bangunnya ataupun tentang buatan bagian-bagiannya yang terkecil,” demikian Schoemaker memberikan penilaian. Lima tahun sebelum kritik Schoemaker muncul di buku Cultuur Islam , dia telah merancang sebuah masjid berdasarkan gagasannya tentang arsitektur Islam. Masjid ini terletak di Nijlandweg (sekarang Jalan Cipaganti), Bandung. Masjid ini menampilkan pengaruh Arab, Eropa, dan tradisional Hindia Belanda. Pengaruh Arab tersua dalam lengkung tapal kuda di pintu masuk dan hiasannya, yaitu keramik masjid dengan teks huruf Arab. Pengaruh Eropa muncul dalam denah simetris berbentuk salib Yunani. Gaya ini biasa Schoemaker pakai dalam bangunan rancangannya seperti Gereja Bethel dan Jaarbeurs. Bentuk atap masjid menyerupai atap gereja Bethel dengan bertumpu pada konstruksi baja modern. Konstruksinya sangat mirip dengan pendopo Jawa. Inilah masjid pertama dan terakhir rancangan Schoemaker. Dia tak pernah lagi mewujudkan gagasannya tentang bagaimana seharusnya arsitektur Islam. Dia lebih banyak merancang bangunan swasta untuk fungsi profan. Sebagai seorang Belanda muslim, Schoemaker mempunyai aspek hidup yang unik. Dia telah menggali ajaran Islam bertahun-tahun dan akhirnya menunaikan haji pada 1938. Dia mungkin mengetahui adanya larangan dalam Islam menampilkan lukisan atau patung berfigur manusia dan binatang. Tetapi dia masih membuatnya hingga akhir hayat. Dia bahkan membuat lukisan perempuan telanjang. Schoemaker wafat di Bandung pada 22 Mei 1949. Keluarga memakamkannya sebagai seorang Katolik. Mereka bilang Schoemaker kembali memeluk Katolik di tempat tidur, sebelum ajal menjemputnya.

  • Cara Perempuan Zaman Kuno Mengakhiri Pernikahan

    Terutama gadis bangsawan, mereka seringkali menikah karena alasan politik. Kendati begitu, banyak perempuan yang tak bahagia dalam pernikahannya boleh mengajukan cerai. Pada masa Majapahit pernikahan diatur dalam teks hukum Agama atau Kutaramanawa . Disebutkan seorang istri boleh membatalkan perkawinannya jika suaminya menderita beberapa penyakit tertentu.  Jika laki-laki menderita penyakit gila, batuk kering, ayan, impoten, banci, dan akhirnya istri tak suka kepadanya, sang istri diimbau untuk menunggu tiga tahun. Selama itu sang suami diberi kesempatan untuk berobat.  Jika selama tiga tahun tidak sembuh, kata aturan itu, jangan salahkan istri kalau dia menikah lagi dengan orang lain. " Tukon (mahar) tak usah dikembalikan kepada suaminya. Menunggu dahan bertunas namanya,” tulis aturan itu. Adapun soal aturan cerai, harus ada empat bukti. Dinamakan  siddhaatadin , yaitu saksi, memecah uang yang diucapkan oleh saudara dari pihak laki-laki, memberikan air untuk mencuci muka, dan memberikan butir beras. Jika empat bukti tak dilakukan perceraian tidak sah. Perkawinan belum terpisah. Karenanya, perempuan akan didenda empat laksa oleh raja yang berkuasa apabila dia menikah dengan laki-laki tanpa bukti-bukti perceraian. Peter Carey dalam Perempuan - PerempuanJawa  menyebutkan pada masa perkembangan Islam beberapa putri bangsawan juga tercatat pernah mengajukan cerai atas suami-suami mereka.  Raden Ayu Notodiningrat, cucu Mangkunegoro II (bertakhta 1796-1835), menderita dalam perkawinannya. Dia menikah dengan Bupati Probolinggo di ujung timur Jawa yang kasar dan tak sopan. Dia pun mengajukan perceraian atas dasar penganiayaan dan berhasil pada 1821. Tuduhannya itu dia sampaikan kepada eyangnya. Isinya, dia merasa sang suami tak memperlakukan dirinya sesuai dengan martabat dan kelahirannya sebagai bangsawan. Pertama, dia tak dipercaya kalau uang rumah tangga tak bersisa. Suaminya tak mau memahami bagaimana uang itu telah dihabiskan. Kedua, ketika suaminya marah, dia disiksa. Nama orangtuanya pun difitnah. Ketiga, setiap kali sang putri membuat kesalahan sedikit saja dalam melayani, suaminya akan mengatakan hal-hal yang tidak benar tentangnya. "Membandingkan saya dengan seorang teledek jalanan atau seorang pelacur,” tulis Raden Ayu Notodiningrat. Kasus lainnya menimpa Ratu Bendoro, anak Sultan Hamengkubuwono I dari Yogyakarta. Secara hukum dia dipisahkan dari suaminya, Raden Mas Said atau Mangkunegara I pada Desember 1763. Itu usai suatu periode yang amat pahit dan sengit antara kedua istana. Baik Ratu Bendoro maupun Ratu Ayu Notodiningrat memperoleh perceraian dengan membawa perkara kepada Penghulu Surakarta di Pengadilan Surambi di Kasunanan. “Putusan dalam kasus Ratu Bendoro menjadi preseden bagi kasus Raden Ayu Notodiningrat hampir 60 tahun sesudahnya,” tulis Carey. Carey pun menjelaskan perceraian bisa diperoleh seorang istri dengan berbagai dalih. Yang paling umum adalah pelanggaran kontrak pernikahan. Biasanya dengan alasan kurangnya dukungan dan atau desersi (melarikan diri) suami. Perceraian demikian dikenal sebagai talak . “Ini didasarkan pada hukum syafi’i  yang kondang dan dikenal seantero Pulau Jawa,” jelas Carey. Ada juga istilah taklek . Ini merupakan perceraian bersyarat yang diucapkan dalam upacara pernikahan. Melalui sistem ini, seorang perempuan pun menjadi lebih mudah mendapatkan perceraian. Pasalnya suaminya telah berjanji bahwa dia bisa dianggap membuat talak  jika mengabaikan, menganiaya, atau tidak memberi dukungan finansial kepada sang istri. Terakhir, perceraian yang disebut mancal . Di sini, sang istri membeli kebebasannya sendiri. Harga kebebasan itu bisa saja sejumlah mas kawin yang dibayar kepada keluarga pengantin perempuan ketika menikah atau disisakan sebagai utang. Namun biasanya harganya lebih tinggi daripada itu. “Selain persetujuan suami sangat penting dan pengumuman pembatalan resmi harus diucapkan oleh penghulu yang berurusan dengan semua hal menyangkut perkawinan, perceraian, warisan, di Pengadilan Surambi, ruang terbuka di depan Masjid Agung,” jelas Carey. Kasus-kasus seperti itu, menurut Carey, menunjukkan kalau perempuan bangsawan atau putri raja Jawa bukan budak belian suami seperti yang sering digambarkan dalam literatur kolonial Hindia Belanda. Perempuan Jawa memiliki hak hukum. Semakin tinggi kelahiran mereka, semakin besar kemungkinan mereka menggunakan hak itu dalam kasus desersi atau kekerasan pihak suami.

  • Aneka Warna Kostum Persija

    PERSIJADAY. Dua kata yang akan berlaku kala klub kebanggaan ibukota Persija Jakarta berlaga di kompetisi manapun. Di momen itu, kelak takkan hanya puluhan ribu Jakmania yang akan memerahkan seisi stadion, pun juga para PNS Pemprov DKI. Bentuk dukungan, begitu kata Gubernur Anies Baswedan kala mengorbitkan wacana mewajibkan para PNS mengenakan kostum Persija kala Persija Day . Wacana itu dilontarkannya usai menjamu Persija dan Jakmania ber-halal bihalal di rumah dinas gubernur, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, 27 Juni lewat. “Kalau hari itu Persija tanding, kita akan dukung dengan cara menggunakan kostum Persija. Kostumya sendiri sedang dipersiapkan desainnya supaya kalau rapat-rapat juga tidak pakai kaos oblong,” kata Anies, dikutip Kumparan , Senin (1/7/2019). Wacana itu tak pelak mengundang pro-kontra. Ketua Fraksi PDIP di DPRD DKI Gembong Warsono mencibir bahwa Anies lebay. Sementara, Ketua Fraksi Golkar Ashraf Ali mengingatkan soal lebih penting menyelesaikan stadion untuk markas Persija terlebih dulu ketimbang gembar-gembor soal jersey. Gubernur DKI Anies Baswedan saat menggelar halal bihalal dengan Persija (Foto: Twitter @Persija_Jkt) Terlepas dari pro-kontra, jersey atau kostum merupakan atribut wajib fans sebagai bentuk dukungan. Saat Persija berlaga, Anies memang cukup sering nongol di stadion lengkap dengan atribut Persija. Jersey yang dipakainya kadang berwarna oranye cerah, kadang merah. Dua warna itu merupakan warna kostum tim Macan Kemayoran. Warna kebanggaan yang tentunya berkelindan dengan lahirnya Persija dengan nama Voetbalbond Boemipoetera (VBB) pada 28 November 1928. Nama klub berubah lagi seiring zaman menjadi Voetbalbond Indonesische Jacatra (VIJ) pada 30 Juni 1929, dan Persidja (EYD: Persija) pada Mei 1942, akibat peralihan penguasa negeri dari Hindia Belanda ke Jepang yang mengharuskan penghapusan nama-nama yang berbau Belanda. Merah, Oranye, Merah Lagi Saat halal bihalal dengan Persija dan Jakmania akhir Juni silam, Anies mengenakan jersey Persija berwarna merah. Warna jersey Anies itu berbeda dari yang dikenakannya saat menjamu iring-iringan pawai tim Persija usai juara Liga 1 2018 di Balai Kota, Desember 2018, yakni oranye. Dalam perjalanan sejarahnya, Persija memang pernah berganti warna kostum dari merah ke oranye, dan kini merah lagi. Di masa kolonial, Voetbalbond Indonesische Jacatra (VIJ) –nama resmi klub sebelum menjadi Persija, berdiri pada 30 Juni 1929– menggunakan warna jersey merah dikombinasi celana putih. Dwi warna “rasa” Indonesia itu, yang diprakarsai pendiri klub Soeri dan A. Alie Soebrata, dipilih sebagai bentuk dukungan klub terhadap pergerakan kemerdekaan. Saat masih bernama VIJ, Persija disebut menggunakan warna merah dan putih (Foto: persija.id) “Merah adalah kekoeatan dan Poetih adalah kehaloesan,” tulis artikel “Riwajat VIJ” di edisi khusus “Sepoeloeh Tahoen VIJ” yang dimuat suratkabar Pemandangan , 20 September 1938. Warna merah dan putih tetap dipertahankan melewati zaman pendudukan Jepang hingga Indonesia merdeka. Dwi warna sebagai penegas bahwa Persija turut dalam gerakan pemersatu bangsa baik di dalam maupun luar lapangan, antara lain dengan menyokong pendirian PSSI. “Warna merah dan putih tetap dipertahankan walau VIJ sudah mengindonesiakan namanya menjadi Persija. Di bawah Joesoef Jahja, Persija masih tetap sama seperti dulu yang menjadi pusat bertemunya pemain dari berbagai macam suku bangsa di Indonesia,” ungkap Ario Yosia dalam Gue Persija. Warna merah-putih akhirnya diganti ketika Persija diasuh Gubernur DKI Sutiyoso pada 1997. Saat itu, Persija tengah terpuruk sampai berada di urutan ke-10 Divisi Barat Liga Indonesia musim 1996/1997. “Sutiyoso galau. Ia sudah berusaha mendongkrak prestasi Persija sejak 1997. Sutiyoso ingin warga ibukota disatukan oleh sebuah bahasa universal: sepakbola. Ia bikin gebrakan menjelang Liga Indonesia 1997/1998 yang bergulir tanpa sponsor. Ia merekrut manajer tim perempuan enerjetik Diza Rasyid Ali dan mulai mengganti warna jersey-nya dari merah menjadi oranye kemerahan,” sebut Hardy R. Hermawan dan Edy Budiyarso dalam biografi IGK Manila, Panglima Gajah, Manajer Juara. Warna oranye dianggap Sutiyoso sebagai warna yang megah. Selain itu, untuk membedakan dari tim-tim lain yang juga kerap pakai warna merah, seperti PSM Makassar, Persipura Jayapura, atau timnas Indonesia. Kostumnya juga disematkan gambar kepala macan sebagai penegasan julukan Macan Kemayoran. Jakmania turut mempopulerkan warna oranye sejak 1997 (Foto: Fernando Randy/Historia) Warna oranye lantas dipopulerkan Jakmania, organisasi pendukung Persija yang juga lahir pada 1997. Aura oranye itu terbukti mendongkrak prestasi. Di Liga Indonesia 1997/1998, Persija melonjak ke posisi dua klasemen Divisi Barat. Sialnya, Liga Indonesia dihentikan gara-gara huru-hara Mei 1998. Namun, tak lama setelah liga kembali digulirkan, Persija berhasil juara lagi di Liga Indonesia 2001. Lima belas tahun berselang, Persija kembali mengenakan kostum merah. Momen comeback itu tepatnya dimulai saat Indonesia Soccer Championship (ISC) 2016. Kostum merah didampingi warna putih, hitam, dan kuning –sebagai kostum kedua dan ketiga– ini masih dipertahankan sampai sekarang. “Warna merah jadi warna utama karena merupakan warna legendaris Persija. Juga karena ada permintaan dari warga Jakarta dan klub anggota Persija. Oranye dijadikan warna ketiga,” tandas Gede Widiade saat masih menjabat Direktur Utama Persija, dilansir Bolalob , 29 November 2017.

  • Jalan Panjang Piala Dunia Kaum Hawa

    PERIODE musim panas dalam sepakbola dunia tahun ini masih diramaikan isu-isu transfer, soal AC Milan yang disanksi financial fair play hingga tak bisa ikut Europa League , atau Copa América yang sudah memasuki fase semifinal. Sayang, isu-isu itu nyaris tak memberi tempat pada pemberitaan tentang Piala Dunia-nya kaum hawa. Piala Dunia Wanita FIFA tahun ini yang dihelat di Prancis, 7 Juni-7 Juli 2019, sudah edisi kedelapan. Pekan ini juga sudah masuk ke babak semifinal. Nama-nama bidadari lapangan hijau seperti Valentina Giacinti, Megan Rapinoe, Steph Houghton, Sakina Karchaoui tetap masih asing di telinga. Kalau pemain sekaliber mereka masih asing di telinga, apalagi srikandi-srikandi lapangan hijau tanah air. Padahal, sepakbola di tanah air sempat digemari para kaum hawa sejak akhir 1960-an. Putri Priangan menjadi klub sepakbola wanita  pertama di Indonesia. Namun, dari masa ke masa sepakbola putri Indonesia justru berjalan mundur dan di era “4.0”, para remaja putri lebih kenal dan suka futsal ketimbang sepakbola wanita. “Kita kan memang di (budaya, red .) Timur, pasti ada pro dan kontranya. Padahal seragam (tim bola) enggak ketat juga sebenarnya. Hanya celana pendek. Namanya juga main bola. Dulu saya sih tak peduli orang mau bilang apa. Apa salahnya aktivitas olahraga,” kata eks kiper timnas putri 1980-an Mutia Datau kepada Historia . Perhatian di era milenial sebatas berdirinya Asosiasi Sepakbola Wanita Indonesia (ASBWI) yang baru lahir Desember 2017, dengan ketuanya Papat Yunisal, legenda sepakbola putri 1980-an. Timnas putri sempat berlaga di Asian Games 2018 Jakarta-Palembang. Hasilnya, babak belur. “Sepakbola wanita ini lebih banyak kendalanya, baik di dalam maupun di luar lapangan. Ya karena sebelumnya tidak ada kejelasan agenda PSSI melalui Asprov. Apalagi kalau ganti kepemimpinan (PSSI). Perhatian dan kebijakan soal sepakbola wanita ikut terganti,” tutur Papat saat berbincang dengan Historia pada 2017 sebelum jadi ketua ASBWI. Lika-liku Piala Dunia Wanita Sejatinya, kaum hawa sudah terlibat aktivitas tendang bola seiring dengan sejarah sepakbola itu sendiri. Mengutip situs FIFA, permainan Cuju (Ts’u-chü) di China diakui sebagai “leluhurnya” sepakbola dan wanita tercatat sudah ikut memainkan olahraga yang awalnya hanya untuk prajurit itu sejak era Dinasti Han (25-220 Masehi). Klub pertama wanita berasal dari Inggris, bernama Mrs Graham’s XI. Tim Tate dalam Girls with Balls: The Secret History of Women’s Football mengungkap, tim yang lahir pada 1881 itu turut mewakili Skotlandia melawan sekumpulan wanita Inggris di Stadion Easter Road, Edinburgh, Skotlandia pada 9 Mei 1881. Laga itu disebut-sebut sebagai laga internasional pertama sepakbola wanita. Seiring zaman, sepakbola modern yang dimainkan kaum hawa menyebar ke pojok-pojok Eropa, sampai ke Asia, Oseania, Amerika, hingga Afrika. Turnamen-turnamen regional tumbuh bak jamur di musim hujan. Namun, baru pada 1991 FIFA menyediakan wadah setara dengan sepakbola kaum Adam yang sudah punya Piala Dunia semenjak 1930. Pada 1991 itulah Piala Dunia Wanita dihelat untuk pertamakalinya di China. Eksistensi Piala Dunia Wanita itupun buah dari tekanan sana-sini sekaligus respon terhadap dicabutnya sanksi larangan para wanita bermain bola di sejumlah negara macam Australia (1960), Jerman (1970), Inggris (1971), Belanda (1971), dan Brasil (1979). Betapapun terlambat, perhelatan itu merupakan bentuk pengakuan. Sebelum Piala Dunia Wanita 1991, sudah lebih dulu digelar turnamen sejenis yang dihelat pihak-pihak yang lebih perhatian. Coppa del Mondo/Martini Rosso Cup di Italia pada 6-15 Juli 1970, misalnya. Menurut C. D. Fisher dalam tulisannya, “The Face of Football Bodies: ‘Resisting Market Enclosure and Imagining Another (Football) Future’” yang terangkum dalam Seven Faces of Women’s Sport , Piala Dunia tak resmi itu digelar Federation of Independent European Female Football (FIEFF). FIEFF sendiri merupakan badan sepakbola wanita independen Eropa yang berdiri pada 1969 dan berbasis di Italia. Ia semacam UEFA-nya sepakbola wanita. “Pesertanya baru delapan negara yang kebanyakan dari Eropa. Hanya Meksiko yang mewakili Benua Amerika. Denmark keluar jadi pemenangnya setelah mengalahkan Italia 2-0 pada laga final di Stadio Communale, Turin,” tulis Fisher. Perwakilan Asia, Afrika, dan Oseania belum menunjukkan batang hidung di gelaran serupa setahun berselang. FIEFF kembali menyokong Piala Dunia Wanita di Meksiko, Campeonato de Fútbol Femenil, 15 Agustus-5 September 1971. Enam tim berpartisipasi dalam turnamen, termasuk Argentina yang jadi peserta tambahan. Denmark kembali jadi “Ratu Sepakbola Wanita Dunia” dengan menghajar Meksiko 3-0 di final. Dua perhelatan itu jadi bukti bahwa kaum hawa juga butuh diberi wadah oleh FIFA. Namun FIFA bersikeras tak mengakui. FIFA justru mengakui laga persahabatan Prancis vs Belanda di Stade Auguste Damette, Hazerbrouck, 17 April 1971 sebagai laga internasional timnas wanita pertama. Padahal, sebelum itu sudah banyak laga-laga antarnegara. Laga Inggris vs Skotlandia pada 1881 bahkan terjadi jauh sebelum laga Prancis-Belgia itu. Skuad Timnas Wanita Prancis yang berlaga di Piala Dunia Wanita 1971 di Meksiko (Foto: fifa.com) “Kami saat itu masih amatir, bukan pemain profesional. Salah satu kawan kami, pemain sayap Michele Wolf, terpaksa tak bisa ikut. Dia harus tetap bekerja di toko demi bisa cari makan. Dia menolak kehilangan pekerjaan demi pertandingan sepakbola,” kenang Ghislaine Royer-Souef, kiper tim wanita Prancis, saat reuni dengan kawan-kawan setimya di Nice, kepada The New York Times , 25 Juni 2019. Royer-Souef dkk. juga tampil di Piala Dunia tak resmi Meksiko 1971. Lewat prakarsa Federazione Femminile Italiana Gioco Calcio (FFIGC), keberlanjutan turnamen terus berlangsung setiap tahun di Italia dalam turnamen Mundialito. Empat edisinya masing-masing dimenangi Italia (1984, 1986) dan Inggris (1985, 1988). Gelaran Mundialito juga mulai diikuti tambahan tim-tim dari Asia seperti China dan Jepang, serta Amerika Serikat (AS) mewakili Benua Amerika. Benua Asia juga tergelitik bikin perhelatan serupa. Pada 1978, induk organisasi sepakbola Taiwan (CTFA) menggelar Women’s World Invitation Tournament, memperebutkan Piala Chunghua. Karena tidak diakui FIFA, pesertanya tak hanya timnas, melainkan juga klub. Digelar tiga tahun sekali, edisi pertamanya dimenangkan klub Reims FF (Prancis) dan HJK (Finlandia) sebagai juara bersama. Klub Jerman Bergisch Gladbach dua kali juara, 1981 dan 1984, dan Taiwan baru bisa juara di edisi terakhir 1987. Kesuksesan serangkaian turnamen di atas lantas memunculkan banyak desakan dan tekanan untuk FIFA. Badan sepakbola dunia itu baru bisa menjawab dengan merestui turnamen pendahuluan, FIFA Women’s Invitation Tournament pada 1988. “Pembicaraan soal itu sudah sejak 1983 dan makin intens pada 1984, di mana (Presiden FIFA, João) Havelange sudah bicara soal rencana Piala Dunia Wanita ke media. Pembahasannya makin serius pada Kongres FIFA 1986 hingga diputuskan turnamen invitasi digelar di China pada 1988,” tulis Jean Williams dalam A Beautiful Game: International Perspectives on Women’s Football . Amerika Serikat menangi Piala Dunia Wanita edisi pertama 1991 (Foto: Instasgram @fifamuseum) Dua belas tim dari enam konfederasi diundang dalam perhelatan invitasi 1-12 Juni 1988 itu. Thailand selaku wakil Asia Tenggara juga diikutsertakan dalam turnamen itu. Norwegia keluar sebagai juara setelah melibas Swedia 1-0 di final yang dimainkan di Stadion Tianhe, Guangzhou. Setelah dianggap sukses, barulah FIFA menggelar Piala Dunia Wanita resmi pada 16-30 November 1991. China kembali dipercaya menjadi tuan rumah. Dua belas tim dari enam konfederasi, termasuk Selandia Baru yang mewakili zona Oseania, berpartisipasi dalam turnamen setelah lolos dari tahap kualifikasi yang diikuti 48 tim. Piala Dunia Wanita 1991 itu dimenangi AS usai mengalahkan Norwegia, 2-1 di final. “Kami bermain di (Piala Dunia tak resmi) 1971 dan butuh waktu 20 tahun untuk melihat Piala Dunia yang resmi. Saya senang dengan perubahan yang terjadi. Hanya saja saya masih tak bisa memahami perasaan tentang mengapa butuh waktu begitu lama,” ujar Jocelyne Ratignier, pemain timnas wanita Prancis 1971.

  • Impor Beras Burma Sebabkan Wabah Pes di Jawa

    PACEKLIK melanda Jawa. Persediaan beras berkurang drastis hingga kekurangan. Pemerintah kolonial Hindia Belanda lantas mengimpor beras dari Burma, India, dan Tiongkok. Per Agustus 1910, peningkatan jumlah impor terjadi hingga bulan berikutnya. Beras impor itu dikirim lewat kapal-kapal dan berlabuh di Surabaya. Dari Surabaya, beras diangkut kereta api ke daerah di selatan Surabaya yang mengalami paceklik. Bersamaan dengan kebijakan impor beras itu, Burma sedang dilanda wabah pes. Namun, para petugas tidak mencurigai banyaknya tikus mati dan kutu-kutu saat muatan sampai di Sidoarjo. “Bisa diperkirakan, perjalanan yang berbulan-bulan itu, tikus ikut di dalam kapal, dia (tikus, red .) mencemari sambil makan berasnya kemudian buang kotoran di situ,” ujar Agus Setiawan, pengampu sejarah kesehatan di UI, kepada Historia . Lewat beras impor itulah penyakit pes terbawa dari Burma ke Jawa. Perjalanan yang rencananya dilanjutkan ke Malang lalu ke Wlingi batal akibat terputusnya jalur Malang-Wlingi oleh banjir pada akhir 1910. Alhasil, beras impor berikut tikus berkutu pembawa pes itu menginap di gudang-gudang sekitar Stasiun Malang. “Jadi ketika sudah sampai kota tujuan, banyak beras itu sudah tercemar sekaligus tikusnya ikut datang,” sambung Agus. Udara Malang yang lembab membuat perkembangbiakan kutu-kutu tikus pembawa nestapa di gudang beras berjalan cepat. Namun, tak ada kecurigaan saat ditemukan banyak tikus mati. Kecurigaan adanya penyakit pes baru muncul ketika 17 orang di Desa Turen, Malang meninggal setelah demam beberapa hari. Pes menular lewat gigitan kutu tikus pembawa bakteri YersiniaPestis . Orang yang terkena pes mengalami gejala mirip flu: demam selama dua sampai enam hari, kejang, pendarahan (bila menyerang aliran darah), batuk darah (bila menyerang paru), dan benjolan pada ketiak atau leher (bila menyerang limfa). Wabah pes pun melanda Malang. Dalam tesisnya “Dukun dan Mantri Pes”, Martina Safitri menyebut wabah dengan cepat menjalar ke Karanglo. Pada Maret 1911, hampir semua distrik di Malang dilaporkan terjangkit pes. Penyakit ini kemudian menjalar ke barat, yakni Kediri, Blitar, Tulungagung, dan Madiun. Surabaya sebagai tempat transit pertama karung-karung pembawa pes pun tak lepas dari penyakit ini. Pada April 1911, pemerintah mengeluarkan penetapan status epidemi pes. Bersamaan dengan itu, pengiriman beras dari luar Hindia-Belanda turun drastis. Pada akhir 1911, dilaporkan dua ribu orang meninggal akibat pes. Melalui pelabuhan Tanjung Mas, pes masuk Semarang pada 1916. Dalam skripsi berjudul “Wabah Pes Di Kota Semarang”, Andhika Satria menulis tikus-tikus berkutu itu turun di pelabuhan dari kapal dagang asal Surabaya yang singgah. Penyakit pes menyerang perkampungan penduduk yang kotor dan lembab tak lama kemudian. Antara Oktober 1916 sampai Desember 1917, belasan desa terserang pes. Ratusan orang tewas di Semarang. Untuk menanggulanginya, Burgerlijke Geneeskundige Dienst (BGD, Dinas Kesehatan Publik) mendatangkan dokter dari Eropa, merekrut mantri, dan memberikan vaksin. Dua jenis vaksin dipakai untuk memberantas pes, yakni 54.017 vaksin Jerman dan 11.703 vaksin Haffkine dari Inggris. Dalam tujuh bulan, sebanyak 65.720 orang diberi vaksin dengan mengerahkan dokter (di kota) dan mantri yang blusukan ke kampung-kampung. BGD lalu mengeluarkan aturan: bila salah satu anggota keluarga terbukti kena pes, seluruh keluarga harus dievakuasi dan tinggal di barak isolasi selama 15 hari. Pasien dan keluarganya kemudian diobservasi untuk penyembuhan dan pencegahan pes agar tak makin meluas. Tapi dalam praktiknya, jika ada seorang warga terkena pes, bukan hanya sekeluarga yang dievakuasi tapi seluruh desa. Mereka baru boleh meninggalkan barak isolasi setelah 30 hari. Akibatnya, banyak warga menolak dievakuasi lantaran takut barang-barang di rumah mereka hilang atau lebih parah, rumah mereka dibakar karena dianggap sarang tikus. Di Malang, tempat pertama pes mewabah, penduduknya dipaksa membakar rumah yang terindikasi sarang tikus. Mereka juga harus membongkar rumah bambu mereka lantas membangun ulang dengan kayu atau bata tanpa kompensasi yang sesuai dari pemerintah kolonial. “Padahal logikanya penduduk yang rumahnya berbahan dasar bambu mayoritas adalah penduduk pribumi yang tidak memiliki banyak uang,” tulis Martina. Pemerintah memang memberikan perkakas secara gratis, namun beberapa material rumah harus dibeli dengan kocek sendiri. Parahnya, penjualan kayu dan bahan material lain dimonopoli hingga harganya selangit.

bottom of page