top of page

Hasil pencarian

9587 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Menelusuri Gagasan LRT di Indonesia

    Kereta Lintas Rel Terpadu atau Light Rail Transit (LRT) mulai beroperasi secara terbatas di Jakarta sejak Selasa, 11 Juni 2019. Warga boleh naik moda transportasi publik baru berbasis rel ini selama program uji coba gratis. Seluruh rutenya melayang, melintang sejauh 5,8 kilometer dari Kelapa Gading (Utara)—Velodrome Rawamangun (Timur). Satu rangkaian LRT Jakarta terdiri atas dua kereta. Tiap kereta hanya mampu mengangkut 135 penumpang sekali jalan. Lebih kecil dari kapasitas angkut kereta Moda Raya Terpadu atau Mass Rapid Transit (MRT) yang mencapai 350 orang per kereta. Sebab bobot LRT lebih ringan ketimbang kereta MRT. Kesamaan keduanya terletak pada kecepatan, ketepatan waktu, kenyamanan, dan teknologi kiwari. Pembangunan fisik LRT Jakarta mewujud pada Juni 2016. Tetapi gagasan seputar LRT di Jakarta telah mengemuka sejak 1987. Masa inilah gagasan LRT di Indonesia mulai bertumbuh. Wiyogo Atmodarminto, Gubernur Jakarta 1987—1992, memperoleh masukan dari tim gabungan studi sistem angkutan kota untuk mengembangkan transportasi massal berbasis rel. Tim studi menilai penggunaan kereta api sebagai transportasi publik masih rendah. Dari satu juta perjalanan warga per hari di Jakarta, hanya 30.000 perjalanan terlayani oleh kereta api (sekira 3 persen). Selebihnya dengan kendaraan bermotor pribadi dan umum (bus, angkot, dan taksi). “Padahal menurut teori, seharusnya sebaliknya. Pada waktu ini kami mempunyai sasaran agar warga yang dilayani kereta api bisa mencapai 20%,” kata Wiyogo dalam Catatan Seorang Gubernur . Angka 20 persen berasal dari Master Plan Jakarta 1965. Orientasi Angkutan Berbasis Rel Semangat mengembangkan transportasi publik berbasis rel di Jakarta terdorong oleh situasi dan diskusi tentang transportasi publik dari luar dan di dalam negeri. Wiyogo mengetahui Manila, ibukota Filipina, telah membangun sistem LRT pada 1984, lalu menyusul Bangkok, ibukota Thailand. Kemudian pada 1987, Asosiasi International Angkutan Umum menggelar kongres tentang teknologi LRT. “Disimpulkan bahwa sistem LRT mencakup konsep angkutan yang terpisah dari lalu-lintas pribadi, pengembangan rutenya dalam beberapa tahap, sangat fleksibel dan efisien, serta biaya investasi rendah,” catat Roos D, pengamat transportasi dalam “LRT Generasi Trem Modern”, termuat di Kompas , 7 November 1991. Dari dalam negeri, diskusi seputar kemungkinan pembangunan kereta bawah tanah (MRT) di Jakarta kian mengemuka. Tim studi dari Japan International Agency Cooperation (JICA) juga sedang berupaya gencar memperbaiki sistem Kereta Rel Listrik (KRL) komuter Jakarta—Bogor—Tangerang—Bekasi (Jabotabek). Wiyogo ingin menghadirkan alternatif transportasi publik berbasis rel. “Yang kami maksud dengan kereta api di sini adalah kereta api ringan—Light Rail Transport (LRT)—yang tidak seberat kereta api biasa,” kata Wiyogo. Keunggulan LRT di atas moda transportasi publik lainnya bertumpu pada kapasitas angkut dan kecepatan. LRT mampu mengangkut sekira 340 orang per kereta. Dua kali lebih besar daripada kapasitas angkut bus terpandu ( guided bus ). LRT sanggup bergerak lebih cepat daripada bus terpandu dan KRL. Jalur LRT melayang sehingga tidak bersilangan dengan jalur moda transportasi lain seperti KRL atau bus terpandu.   Bus terpandu merupakan salah satu rencana perbaikan transportasi publik pada era Wiyogo. Bus akan melaju di sepanjang jalur Blok M (Selatan)—Kota (Utara), satu jalur dengan MRT. “Bis terpandu bisa dipakai sebagai kelengkapan,” tambah Wiyogo. Dengan demikian, dia lebih mengedepankan moda transportasi massal berbasis rel. Semangat pengembangan transportasi publik berbasis rel di Jakarta merambah ke perusahaan swasta. PT Citra Patenindo Nusa Pratama (PT CPNP), perusahaan milik Tutut Soeharto, menyatakan siap membantu Pemerintah DKI Jakarta mewujudkan rencana pembangunan LRT. PT CPNP telah menghadirkan prototipe kereta LRT di kawasan wisata Taman Mini Indonesia Indah (TMII) pada April 1989. Nama kereta itu aeromovel . Tapi di TMII, penggunaan aeromovel lebih bertujuan untuk wahana wisata. Aeromovel bergerak memanfaatkan tenaga angin dan listrik. Asal teknologi ini dari Brazil. Pemerintah kota setempat sudah menerapkan teknologi aeromovel untuk sistem kereta LRT. Teknologi ini berbeda dari LRT di Eropa. Investasi pengembangan a eromovel Braziljauh lebih murah ketimbang LRT di Eropa dan sejumlah negara Asia. “Hanya US$ tiga juta per kilometer. Kalau ingin perbandingan, LRT (Light Rail Train) yang diterapkan di Bangkok —sama-sama teknologi baru di bidang perkeretaapian— menelan 19 juta untuk lintasan single track dengan panjang yang sama,” tulis majalah Clayperon , Vol. 28, Desember 1989. Tetapi keinginan PT CPNP menjadikan aeromovel sebagai teknologi kereta LRT terganjal regulasi. Aeromovel tidak kunjung menerima sertifikat kelayakan dari pemerintah sebagai moda transportasi publik. Tak ada sertifikat berarti tak ada proyek. Triple Decker Gagal dengan aeromovel sebagai LRT, grup usaha lain milik Tutut Soeharto, PT Citra Lamtorogung Persada (PT CLP), mengajukan konsep penggabungan LRT dengan jalan layang susun tiga ( Triple Decker ). Mereka menggandeng perusahaan swasta asal Swedia, Jerman, Prancis, dan Kanada demi menggolkan proyek ini. Triple decker terbagi atas jalan arteri, jalan tol, dan jalur LRT. Penggabungan ini untuk menyiasati nilai investasi, menekan harga tiket LRT, dan mempersingkat termin balik modal perusahaan tersebut. Menteri Pekerjaan Umum Radinal Mochtar (menjabat 1988—1998) cukup berterima dengan konsep triple decker . “Untuk jangka pendek, triple decker perlu segera dibangun karena investasinya lebih murah, bisa subsidi antara jalan tol dengan LRT,” kata Radinal dalam Eksekutif , Agustus 1996. Triple Decker akan melintang sejauh 25,7 kilometer dari selatan ke utara (Bintaro hingga Kota). Studi pendahuluan bersama tim Sistem Angkutan Umum Massal Jabotabek dan PT CLP menyebut kelak triple decker juga akan membujur sepanjang 36,5 kilometer dari barat ke timur (Tangerang ke Bekasi) dan membentang di pusat perkantoran/pemerintahan. Tidak seperti aeromovel , teknologi kereta LRT dalam triple decker menggunakan tenaga listrik penuh. Daya angkutnya mencapai 25 ribu orang per jam untuk dua arah. “Investasi proyek transportasi baru ini Rp2,2 triliun. Dananya 80% dari pinjaman sindikasi dan 20% modal sendiri,” catat Eksekutif . PT CLP merencanakan pembangunan fisik triple decker mulai pada 1998. Beriringan dengan pembangunan fisik MRT/ subway Jakarta. Kedua proyek itu telah memperoleh lampu hijau dari pemerintah pusat dan daerah. Tetapi bala krisis keuangan melanda Indonesia pada 1998. Rezim Soeharto rontok. Begitu pula dengan sejumlah perusahaan milik anaknya.    Setelah sekian lama terpendam, LRT akhirnya mengada di Palembang pada Agustus 2018, saat Asian Games. Tetapi keberadaannya justru menuai kritik. Antara lain tersebab ketidakjelasan studi pendahuluan dan kelayakan, besaran dana pembangunan, sudah ditinggalkan oleh negara maju, kerugian operasional, dan sengkarut izin operasi. Begitu juga dengan LRT Jakarta. Banyak keberatan dari berbagai pihak. Orang juga menduga LRT Jakarta akan bernasib serupa LRT Palembang. Benarkah demikian? Kita tunggu jawabannya kelak ketika LRT Jakarta mulai beroperasi secara komersial.

  • Akibat Priyayi Berkunjung ke Eropa

    PERKENALAN masyarakat pribumi  dengan bahasa Belanda menjadi jalan untuk mengenal pengetahuan baru tentang negara lain. Selain itu, adanya pengajaran tentang atlas dunia juga turut mendorong hasrat para elit pribumi (termasuk bupati dan pejabat pemerintahan) untuk mulai berpergian ke luar negeri. Walau umumnya membutuhkan waktu lebih lama untuk mempelajari bahasa, tetapi keinginan kuat telah mengantar mereka pada pengalaman besar yang tidak terlupakan. Biasanya setelah kembali ke tanah air, sebagian melanjutkan karir di pemerintahan sementara lainnya menjadi akademisi yang membangun tren intelektual Barat di dalam negeri. Dalam bukunya Nusa Jawa: Silang Budaya Jilid I , Denys Lombard menulis ada sejumlah elit Pribumi di Jawa yang diberi kesempatan pergi ke Eropa. Di sana mereka melihat dan mengadopsi kebiasaan yang tidak ada di negerinya. Kemudian memperkenalkannya kepada masyarakat. "Mereka ini merupakan lambang pertemuan intelektual antara kaum priyayi dan kebudayaan Barat. Perjalanan ke luar negeri yang masih sangat langka merupakan pesona yang dimimpikan semua orang" kata Irawati Durban Ardjo dalam Tari Sunda Tahun 1880-1990 . Raden Aria Natadiningrat, alias Raden Saleh Syarief Bestaman menjadi seniman Indonesia pertama yang mendapat kesempatan pergi Eropa dan tinggal di sana untuk waktu yang cukup lama. Sebagai bangsawan Semarang-Pekalongan, Raden Saleh mempunyai hubungan yang cukup baik dengan pemerintah Hindia Belanda. Hal itulah yang membuat jalannya menuju Eropa menjadi lebih mudah. Namun lebih dari itu, Raden Saleh adalah pelukis yang bakatnya telahdiakui oleh orang-orang Eropa sehingga karirnya begitu terbuka di dunia Barat. Pada 1829 ia mendapat beasiswa belajar melukis ke Eropa, dan tinggal di Belanda, Belgia, Jerman, Prancis, hingga Aljazair dan India. Dari keluarga bangsawan Banten, dua bersaudara Raden Aria Achmad dan Raden Aria Husein Djajadiningrat dikirim bersekolah di Prancis dan Belanda oleh orang tuanya pada awal tahun 1900-an. Hampir setengah dekade tinggal di Eropa, keduanya pulang dengan membawa pengetahuan barat yang sangat baik. Aria Achmad kemudian menjadi bupati Batavia dan anggota volksraad (Dewan Rakyat). Sementara Husein Djajadiningrat memperoleh gelar doktor dalam bidang sastra dan menjadi salah satu intelektual penting dalam ilmu Sosial di Indonesia. Sekitar tahun 1939-1940, bupati Ciamis, Kangjeng Raden Tumenggung Aria Sunarja, mendapat hadiah dari pemerintah Hindia Belanda berupa tiket kunjungan ke Eropa. Dia bersama istri dan seorang anaknya difasilitasi penuh untuk tinggal di sana. Negara-negara yang dikunjungi sang bupati, di antaranya Belanda, Prancis, Austria, Italia, dan Jerman. "Hadiah itu diberikan untuk menghargai jasa-jasanya karena telah membantu pemerintah kolonial di wilayah Ciamis dan sekitarnya" tulis irawati Sekembalinya dari Eropa, Aria Sunarja mulai mengadopsi beberapa bentuk kebaratan dalam kebudayaan lokal di wilayahnya. Seperti telihat pada pernikahan Rd. Sadiah Soenarya (putri bupati Ciamis) dengan Rd. Mohammad Hasan Kartadikusumah (putra jaksa Sukabumi) tahun 1938. Saat itu pengantin pria menggunakan pakaian model takwa senting yang dibuka bagian depannya, dan dipadukan dengan model ves barat kerah tinggi berwarna putih di dalamnya. Pakaian itu dilengkapi dasi kupu-kupu putih, ditambah sapu tangan dan bunga anggrek di dada kiri khas masyarakat Barat. Tidak berbeda jauh, pengantin wanita pun memakai beberapa aksesoris barat yang dipadukan dengan adat lokal. Pakaiannya tetap menggunakan kebaya tetapi hiasan di kepalanya menggunakan diadem (mahkota berlian) dengan tambahan sluier (kain tipis) di atasnya.

  • Tak Ada Dokter, Mantri pun Jadi

    ISTILAH “mantri” kini hampir tak diketahui orang. Di masa lalu, mantri menjadi andalan orang sakit untuk bisa sembuh, selain dokter, perawat, atau bidan. Mantri merupakan petugas medis yang biasanya terdapat di desa dan pelosok. “Mantri cuma ada di Indonesia karena jumlah lulusan kedokteran belum banyak sehingga mantri dikerahkan,” kata Martina Safitry, dosen Institute Agama Islam Negeri Surakarta, pada Historia. Mantri, tulis Martina dalam tesis berjudul “Dukun dan Mantri Pes”, mulanya berarti juru rembug dan sebuah pangkat dalam birokrasi keraton Jawa. Ada mantri guru, mantri tanam, mantri ukur, dan lain-lain. Mantri yang mengurus kesehatan muncul kemudian, ketika wabah cacar menjangkiti Banyumas pada 1847. Wabah itu kebanyakan menyerang buruh pribumi di perkebunan milik Belanda. Lantaran virusnya cepat menyebar dan obat penangkalnya kala itu belum mutakhir, orang-orang Belanda khawatir tertular. Selain itu, wabah cacar yang menyerang buruh membuat usaha perkebunan rugi lantaran jumlah buruh berkurang dan produktivitas turun. Untuk menanggulangi wabah itu, pemerintah kolonial mengirim banyak dokter yang semua orang Belanda. Namun jumlah dokter tak memadai. Lebih lagi, wabah cacar menyerang sampai ke pelosok sementara petugas kesehatan baru terdapat di kota. “Karena keterbatasan jumlahnya, (para dokter, red. ) merasa tidak sanggup untuk menanggulangi keganasan penyakit,” tulis  Baha’udin dalam artikelnya di Jurnal Humaniora, Oktober 2006, “Dari Mantri hingga Dokter Jawa” . Akhirnya, dibentuklah profesi baru di bidang kesehatan dengan memberikan pelatihan kilat kepada pribumi. Saat itulah profesi mantri kesehatan lahir, dengan bermacam kategori. Ada mantri cacar, mantri vaksin, mantri pes, bahkan mantri kakus. Arsip foto menunjukkan, pribumi yang dapat pelatihan mantri hanya lelaki, sehingga populer kalimat “berobat ke Pak Mantri”. Upaya pembangunan medis lebih serius baru muncul pada Oktober 1847, saat Kepala Miliataire Geneeskundige Dienst (Dinas Kedokteran Militer) Dr. William Bosch mengusulkan pada Gubernur Jenderal J.J. Rochussen agar mengadakan pendidikan kedokteran Barat untuk penduduk pribumi. Hasilnya, didirikanlah Dokter Djawa School di Weltevreden, Batavia dengan masa studi dua tahun. Di tahun pertama, para siswa diberi pelajaran seputar Fisika, Kimia, Geologi, Botani, Zoologi, dan analisis terhadap tubuh manusia. Sementara pada tahun kedua, para murid diberikan ilmu bedah, Patologi, Anatomi Patologis, material medica, obat-obat pokok, dan pelatihan praktek di klinik. Ketika lulus, siswa mendapat gelar Dokter Jawa meski sebenarnya mereka bukan dokter, melainkan pembantu dokter Eropa ( hulp geneesher ). Sebagian dari Dokter Jawa itu diberi tugas sebagai mantri cacar. Jumlah petugas medis masih belum memadai kendati sekolah dokter pribumi sudah ada. Maka ketika wabah penyakit seperti malaria atau pes muncul, perekrutan dan pelatihan mantri masih terus dilakukan. Ide pembentukan profesi mantri yang lebih paten dilakukan pemerintah Hindia Belanda pada 1935 dengan mendirikan Sekolah Mantri Kesehatan, bekerjasama dengan Rockefeller Foundation. Distrik Purworkerto ditetapkan sebagai model dan labolatorium pelatihan mantri. Para lulusan sekolah itu ditempatkan di kampung-kampung dan daerah terpencil. Sosok mantri kadang tidak bisa dibedakan dengan dokter Jawa karena mereka menggunakan atribut dan peralatan yang sama. Para mantri juga berperilaku laiknya dokter, menganalisis penyakit pasien dan memberi obat. “Kalau menurut peraturan internasional, yang boleh memberi obat hanya dokter, tapi karena jumlahnya masih sedikit, mantri bertugas seperti dokter umum,” kata Martina. Kehadiran mantri di kampung-kampung menjadi jalan bagi pribumi untuk mengenal pengobatan modern yang tidak berjarak lantaran penyembuh dan pasien sama-sama pribumi. Banyak pasien pribumi lantas berobat ke “Pak Mantri” kala penyakit menyerang. Namun, jalaran banyaknya kritik pada kualitas lulusan dokter jawa, pada 1898 Sekolah Dokter Jawa diubah menjadi School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA). Masa studinya diperpanjang jadi delapan tahun dan gelar yang didapat bukan lagi Dokter Jawa, melainkan Inlandsche Arts (dokter pribumi). “Ada perbaikan kurikulum dan dokter pribumi mulai dicetak. Lulusan eranya Tjipto Mangoenkoesoemo atau Radjiman Wedyodiningrat, bukan difungsikan sebagai mantri atau dokter jawa tapi dokter betulan,” Kata Martina.

  • Tan Malaka di Hong Kong

    HONG KONG yang lazimnya ramai oleh beragam aktivitas bisnis dan kehidupan sosial dengan udara bebas, kini bergejolak. Sekira satu juta penduduknya turun ke jalan menentang Undang-Undang Ekstradisi yang tengah dibahas badan legislatifnya. Jika UU itu disahkah, roda kehidupan di Hong Kong dipercaya takkan lagi sama.

  • Ganja untuk Ritual Pemakaman

    Baru-baru ini sebuah penelitian menunjukkan kalau mengisap ganja sudah dilakukan manusia paling tidak sejak 2.500 tahun lalu di Tiongkok. Dari hasil penelitian para arkeolog dan ahli kimia dari Chinese Academy of Sciences dan Chinese Academy of Social Sciences di Beijing, sejenis ganja teridentifikasi sebagai tanaman yang dibakar dalam ritual di makam purba dari 500 SM. Masyarakat di Pegunungan Pamir, Tiongkok Barat, yang melakukan ritual dengan membakar ganja tersebut. Berdasarkan artikel berjudul “The origins of cannabis smoking: Chemical residue evidence from the first millennium BCE in the Pamirs” yang diterbitkan Science Advance, Rabu (12/6), kandungan ganja ditemukan saat menganalisis potongan kayu sisa pembakaran di makam. Residu yang ditemukan di situs mengandung senyawa kimia yang menunjukkan tingkat tetrahydrocannabinol (THC) dalam kadar tinggi. Itu adalah senyawa tanaman yang bersifat psikoaktif atau bisa memunculkan efek euforia pada penggunanya. Selain sisa kayu bakar, peneliti juga menemukan piring dan mangkuk, manik-manik kaca, kain sutra, dan harpa Tiongkok. Ada pula tulang-belulang manusia yang memiliki lubang ditengkoraknya. Lubang pada tengkorak itu diperkirakan akibat hantaman benda keras. Karenanya para peneliti menduga beberapa orang yang dimakamkan di lokasi itu tewas dalam ritual pengurbanan manusia. “Kita dapat mulai menyatukan gambaran tentang upacara penguburan yang meliputi api, musik dan asap halusinogen, yang semuanya dimaksudkan untuk membimbing seseorang ke dalam kondisi setengah sadar,” tulis para peneliti itu. Sebelumnya, batang dan biji ganja pernah ditemukan di beberapa situs pemakaman di sekitar Eurasia. Namun bukti di pemakaman Pamir, yang diverifikasi oleh teknologi ilmiah canggih, menunjukkan hubungan yang lebih langsung antara tanaman dan ritual pada masa-masa awal. “Temuan baru ini memperluas jangkauan geografis penggunaan ganja di wilayah Asia Tengah yang lebih luas,” kata Mark Merlin, profesor botani di Universitas Hawaii di Manoa, yang tidak ikut serta dalam penelitian ini. Menurut sejarawan yang meneliti ganja itu, temuan ganja itu penting. Artinya ganja pernah digunakan untuk memfasilitasi tubuh berkomunikasi dengan alam baka dan dunia roh. Dari penelitian itu juga bisa dikatakan orang pada masa itu telah sengaja menanam ganja dan secara sadar memilih spesies yang efeknya lebih kuat karena temuan itu mengandung senyawa THC tinggi. “Ganja liar, yang tumbuh secara umum di kaki gunung berair di Asia Tengah, biasanya memiliki kadar cannabinol yang rendah, itu suatu metabolit THC,” tulis para peneliti. History  mencatat ada beberapa bukti bahwa orang-orang dari budaya kuno sudah tahu tentang sifat psikoaktif tanaman ganja. Mereka mungkin telah menanam beberapa varietas yang menghasilkan THC lebih tinggi untuk digunakan dalam upacara keagamaan atau praktik penyembuhan. “Benih ganja yang terbakar telah ditemukan di kuburan dukun di Cina dan Siberia sejak 500 SM,” tulis laman itu. Ilustrasi tanaman ganja dalam Vienna Dioscurides (512 M) Kendati begitu, studi lain pernah diterbitkan oleh para peneliti dari Freie Universität Berlin dua tahun lalu. Lewat jurnal Vegetation History and Archaeobotany diungkapkan kalau ganja telah digunakan di Jepang dan Eropa Timur dalam waktu hampir bersamaan, yaitu antara 11.500 dan 10.000 tahun yang lalu. Sebagaimana dikutip laman New Scientist, penelitian itu mengkaitkan peningkatan penggunaan ganja di Asia Timur dengan meningkatnya perdagangan lintas benua antara Eropa dan Timur antara 4.000 dan 5.000 tahun yang lalu, pada awal Zaman Perunggu. Orang-orang Yamnaya, yang bermarkas di tempat yang sekarang disebut Eropa Timur, diperkirakan telah mengangkut ganja melintasi benua saat mereka melakukan perjalanan ke arah timur. Diperkirakan ganja adalah salah satu barang komoditas di sepanjang Jalur Perunggu ke Asia, yang kemudian jalur itu dikenal sebagai Jalur Sutra. Jalur itu adalah jaringan kuno rute perdagangan yang menghubungkan Eropa dan Cina. "Tanaman ganja tampaknya telah didistribusikan secara luas sejak 10.000 tahun yang lalu, atau bahkan lebih awal,” ujar Tengwen Long, yang memimpin tim peneliti. Dia menambahkan nilai tinggi tanaman sangat bisa digunakan sebagai alat tukar. Selain sifat piskoaktifnya, ganja juga diambil seratnya untuk bahan pembuatan kain.  “Ini akan membuatnya menjadi barang yang ideal,  yaitu sebagai tanaman komersial sebelum ada uang tunai,” jelas Tengwen Long.

  • Mataram Batal Menyerang Banten

    Setelah kekalahan Cirebon, Raja Mataram Sunan Amangkurat I,merencanakan sebuah ekspedisi ke Banten. Waktunya ditetapkan pertengahan tahun 1652. Pamannya, Pangeran Purbaya, ditunjuksebagai pemimpin penyerangan. Tiba-tiba para pemuka agama memberi tahu bahwa ayahnya, Sultan Agung, pada waktu akhir hayatnya telah berpesan agar senjata Mataram pertama-tama harus diarahkan ke timur kemudian ke barat; kalau tidak, Mataram tidak akan memperoleh berkah. “Berarti pertama-tama Blambangan (Banyuwangi, red. ) harus direbut dari orang-orang Bali yang kafir, sebelum dapat menyerang kaum seagama di Banten,” tulis H.J. de Graaf dalam Disintegrasi Mataram di Bawah Mangkurat I. Sunan tak menghiraukan pesan itu. Dia malah memerintahkan para pembuat senapan dan meriam untuk membuat 800 senapan dan banyak meriam kecil dalam satu triwulan. Setelah selesai, dia meminta meriam-meriam itu dicoba di lapangan alun-alun. Sunan juga menyuruh mencoba meriam Belanda diisi peluru yang dua kali lipat lebih besar daripada peluru untuk meriam Jawa. Dia heran meriam Belanda itu hanya sedikit melompat ke belakang. Dia kemudian bertanya apakah meriam Jawa juga bisa diisi peluru yang sama beratnya. Pembuat meriam itu mengisi meriam buatannya dengan peluru dua kali lebih berat kemudian ditembakkan. Meriam Jawa tak sekuat meriam Belanda. “Meriam itu meledak dan hancur berantakan berkeping-keping. Keping terbesar jatuh di depan Sunan,” tulis De Graaf. Sunan luar biasa terkejut. Dia memerintahkan pembuat meriam itu ditangkap. Lapangan dan pintu gerbangnya ditutup semen. Berita yang dilaporkan Rijcklof van Goens, utusan Gubernur Jenderal VOC ke Mataram itu , dibenarkan Babad Sangkala bahwa pada 1651 sebuah meriam meledak di paseban (alun-alun); tidak lama sesudah itu, pintu gerbang dipindahkan. Ini merujuk kepada meledaknya meriam Jawa dan disemennya pintu gerbang ke lapangan besar. Mengapa Sunan memerintahkan mempersiapkan meriam? Menurut Sejarawan Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 2 , seperti halnya gajah, meriam menjadi simbol kekuatan supernatural para raja yang sanggup menggertak dan menakutkan musuh-musuh domestik yang tidak memilikinya. Setelah lama tak digunakan secara militer, meriam-meriam dijadikan sumber magis dan benda-benda keramat dari zaman kejayaan. Di Asia, lanjut Reid, senjata-senjata raksasa itu nampaknya tidak banyak membunuh musuh dalam pertempuran dan tidak mudah dipindah-pindahkan dalam perang seperti halnya di Eropa. “Para penguasa menggunakannya dengan efektif untuk menakut-nakuti warganya. Paling tidak di Aceh dan Mataram, dua di antara ‘kerajaan mesiu’ terbesar, meriam-meriam raksasa digunakan untuk mengumumkan perhelatan umum menggantikan gong dan drum yang digunakan sebelumnya.Di Aceh, bulan puasa diawali dan diakhiri dengan suara dentuman keras dari meriam,” tulis Reid. Meriam yang paling besar dan paling keramat di Mataram, Sapu Jagad, selain untuk mengumpulkan penduduk, juga digunakan untuk menunjukkan kemarahan Sultan bila ingin mengusir para bangsawan kerajaannya, dan untuk perkabungan istana. Sapu Jagad dibuat tahun 1625 pada masa Sultan Agung berada di puncak kekuasaannya. Menurut Reid, pengganti Sultan Agung yang lemah, Amangkurat I , mencoba melakukan hal yang sama pada 1652, tetapi ketika dia menyuruh pembuat senjatanya mengisi mesiu pada meriam besar kebanggaannya, meriam itu meledak berkeping-keping, salah satu keping hampir saja melukai Sunan . Sunan ketakutan dan menganggapnya sebagai pertanda buruk. Dia pun memerintahkan menangkap pembuat meriam itu, mengutuk alun-alun yang besar dan indah itu, dan menembok gerbangnya secara permanen, sehingga menimbulkan kekacauan di keraton. Pada malam harinya, dia bermimpi menakutkan dan dalam beberapa hari seluruh badannya membengkak. Menurut De Graaf, badan Sunan penuh bisul bernanah. Inilah yang mematahkan kemauannya yang keras. Dia menjadi relijius dan meminta para pemuka agama untuk mendoakannya. Dia bersumpah akan melancarkan perang ke timur dan berjanji akan membina hubungan baik dengan Banten.Para pemuka agama bersedia berdoa dan menyembuhkannya. “ Sejak itu hubungan antara Banten dan Mataram bertambah baik, tetapi tidak ada berita akan dilancarkan ekspedisi terhadap Blambangan,” tulis De Graaf.

  • Perang Saudara Berebut Singgasana Majapahit

    SEPENINGGAL Raja Hayam Wuruk terjadi perebutan kekuasaan takhta Majapahit. Pertentangan antara keluarga kerajaan pertama kali muncul ketika Wikramawarddhana atau Bhra Hyang Wisesa memerintah. Wikramawarddhana merupakan suami Kusumawarddhani, putri Hayam Wuruk. Dalam Kakawin Nagarakrtagama, Kusumawarddhani disebut sebagai rajakumari yang berkedudukan di Kabalan. Kendati bukan anak sulung, Kusumawarddhani diangkat menjadi putri mahkota karena lahir dari permaisuri. Namun, yang memakai mahkota adalah suaminya. Wikramawarddhana masih saudara sepupu Kusumawarddhani. Dalam Nagarakrtagama dan Pararaton disebut dia adalah anak Rajasaduhiteswari atau Bhre Pajang, adik Hayam Wuruk. “Wikramawarddhana adalah keponakan dan menantu Hayam Wuruk,” tulis arkeolog Hasan Djafar dalam Masa Akhir Majapahit . Pangkal perselisihan karena Bhre Wirabhumi menuntut takhta dari Wikramawarddhana. Wirabhumi, putra Hayam Wuruk dari seorang selir. Karenanya dia tak berhak atas takhta Majapahit. Kendati begitu, dia masih diberi kekuasaan untuk memerintah daerah bagian timur, yaitu Blambangan. Sedangkan Kusumawarddhani dan suaminya mendapatkan bagian barat dan berkedudukan di Majapahit. Sebenarnya, dalam Pararaton disebut bahwa Wirabhumi masih saudara ipar Wikramawarddhana. Dia menikahi adik Wikramawarddhana yang disebut alemu atau si gendut. Di dalam Pararaton, perseteruan Wirabhumi dan Wikramawarddhana disebut Paregreg, artinya peristiwa huru-hara. Peristiwa itu mulai terjadi pada 1323 Saka atau 1401. Tiga tahun kemudian perseteruan itu menjadi peperangan. Awalnya perang saudara itu dimenangkan oleh Wirabhumi. Namun, setelah Wikramawarddhana mendapat bantuan dari Bhre Tumapel, Kedaton Wetanpun dikalahkan. Wirabhumi melarikan diri, dikejar Raden Gajah (Bhra Narapati) dan tertangkap. Wirabhumi pun dipenggal kepalanya. “Peristiwa ini terjadi pada 1328 Saka (1406),” jelas Hasan. Perang saudara itu muncul pula dalam catatan Tionghoa dari masa Dinasti Ming. Lewat Ming Shih yang diterjemahkan W.P. Groeneveldt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa, disebutkan setelah Kaisar Ch’eng-tsu bertakhta pada 1403, dia mengadakan hubungan diplomatik dengan Jawa. Dia mengirim utusan kepada raja “bagian barat”, Tu-ma-pan dan kepada raja “bagian timur”, Put-ling-ta-hah atau P’i-ling-da-ha. Laksamana Cheng Ho pun pada 1406 menyaksikan kedua raja di Jawa itu sedang saling berperang. Kerajaan bagian timur kalah dan dirusak. “Pada waktu terjadinya peperangan antara kedua raja, perutusan Tiongkok sedang berada di kerajaan bagian timur,” tulis Groeneveldt. Hasan memaknai berita dari Tiongkok itu sebagai perseteruan antara Wikramawarddhana sebagai raja “bagian barat” dan Wirabhumi sebagai raja “bagian timur”. Namun, Peter Amiot dan G. Schlegel, sejarawan yang menyusun literatur Tiongkok Kuno pada 1800-an, menyebut Tumapan sebagai gelar raja barat atau Kerajaan Pajajaran. “Jika hal ini benar, mungkin saja raja-raja Jawa bagian barat yang berasal dari negara lama Tumapel yang terletak di bagian timur pulau, tetap menggunakan nama ini sebagai salah satu gelar mereka?” tulis Groeneveldt. Wikramawarddhana, menurut Hasan Djafar, memerintah Majapahit sampai meninggal pada 1351 Saka (1429). Dia digantikan putrinya, Suhita, yang memerintah pada 1429-1447. Awalnya putra mahkota adalah kakak Suhita, Bhra Hyang Wekasing Sukha. Namun dia keburu mangkat pada 1399 sebelum ditahbiskan menjadi raja. Menurut Hasan, kemungkinan Suhita adalah anak dari putri Wirabhumi. Karenanya Suhita dijadikan pengganti Wikramawarddhana mungkin untuk meredakan persengketaan antara pihak keluarga ayahnya dan keluarga ibunya. Namun, berdasarkan Pararaton , sewaktu Suhita berkuasa, Raden Gajah (Bhra Narapati) dibunuh atas tuduhan memenggal Wirabhumi. “Dengan terjadinya pembunuhan terhadap Bhra Narapati, persengketaan keluarga itu dapat dikatakan masih terus berlangsung,” catat Hasan.*

  • Sejarah Gedung Mahkamah Konstitusi dan Medan Merdeka Barat

    Pagar kawat berduri, ratusan polisi, dan tameng anti huru-hara. Beginilah pemandangan keseharian di halaman depan gedung Mahkamah Konstitusi (MK) Jalan Merdeka Barat, Jakarta, menjelang hari sidang Perselisihan Hasil Pemilu pada Jumat, 14 Juni 2019. Polisi telah melarang massa berunjuk rasa di depan gedung MK. Mereka juga akan menutup Jalan Medan Merdeka Barat ketika sidang berlangsung demi menjaga keamanan gedung MK dan kawasan bersejarah di sekitarnya. Gedung MK belum lama berdiri. Gedung ini mulai dibangun pada Juli 2005. Penggunaan gedung MK secara resmi berlangsung pada 13 Agustus 2007, bertepatan dengan hari jadi MK. Sebelum menggunakan gedung ini, MK berkantor secara nomaden dan menumpang ke beberapa lembaga negara. Antara lain di Hotel Santika, parkir Plaza Centris, dan gedung milik Kementerian Komunikasi dan Informasi. Adolf Heuken dalam Medan Merdeka Jantung Ibukota RI menyebut gedung MK berarsitektur campuran: gaya modern dan neo-klasik. Dua gaya itu terwakili oleh menara 16 lantai (modern) di belakang gedung utama dan pilar besar di sisi depan (fasade) gedung utama (neo-klasik). Paduan dua gaya ini bermaksud menciptakan kesan berwibawa, monumental, dan megah. Pilar di gedung utama berjumlah sembilan, melambangkan jumlah hakim agung MK. Tetapi, menurut Heuken, jumlah pilar ganjil di depan menyimpang dari kode dan semangat arsitektur neo-klasik. Lazimnya pilar fasade berjumlah genap. “Akibatnya gedung gado-gado ini tampak kurang elegan dan maksud semula tidak tercapai,” ungkap Heuken. Heuken juga menyebut ketiadaan standar perancangan gedung di Jalan Merdeka Barat ikut menyumbang ketidakharmonisan lingkungan. Keadaan ini tidak terjadi pada masa sekarang saja, melainkan juga berjejak pada masa kolonial.    Jauh sebelum gedung MK berdiri, Jalan Medan Merdeka Barat bernama Koningsplein West. Peta Koningsplein West sebelum 1900-an menunjukkan bangunan di tepi jalan masih sepi. Hanya ada sejumlah rumah dan museum. Rumah saat itu kemungkinan bergaya indische woonhuis . Tetapi memasuki 1900-an hingga 1930-an sejumlah bangunan baru berdiri dengan beragam gaya. Antara lain bangunan milik pemerintah, rumah pribadi, kantor usaha swasta, perkumpulan teosofi, hotel, dan konsulat negara tetangga. Ada dua bangunan menonjol milik pemerintah di Koningsplein West : gedung Bataviaasch Genotschap van Kunsten Wetenschappen (sekarang menjadi Museum Nasional) dan Rechtshoogeschool (sekarang menjadi Kementerian Pertahanan). Masing-masing bangunan mewakili tahun dan gaya berbeda. Bangunan pertama bergaya klasik dan berasal dari tahun 1864, sedangkan bangunan kedua bergaya modern dan dibangun pada 1924. Catatan mengenai rumah pribadi di Koningsplein West sangat langka. Dalam bukunya, Heuken hanya menghadirkan satu foto tentang dua rumah bergaya modern. Scott Merillees, seorang kolektor kartu pos jadul, menyatakan dua rumah tersebut berlahan lebih sempit daripada rumah model mansion atau bergaya indische woonhuis . Menyiasati keterbatasan lahan, rumah tersebut dibangun bertingkat. Merillees menduga bertumbuh cepatnya populasi orang Eropa di Batavia sebagai penyebab perubahan gaya rumah pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Kebanyakan mereka bekerja sebagai pegawai perusahaan atau pegawai negeri ketimbang pedagang besar. Penghasilan mereka lebih rendah daripada pedagang besar sehingga berpengaruh terhadap kemampuan membeli lahan. Dua rumah tersebut kini sudah runtuh. Tergerus perluasan Museum Nasional pada dekade 1990-an. Demikan catat Merillees dalam Greetings From Jakarta: Postcards of a Capital 1900—1950 . Bangunan swasta di KoningspleinWest terekam dalam koleksi kartu pos lain milik Merillees dari tahun 1902. Sebuah bangunan beratap trapesium dan berlantai agak tinggi dengan beberapa tiang kecil di sejumlah sudut lantai menjadi kantor The Netherlands Indies Sport Company . Perusahaan ini berkutat di bisnis jual beli dan servis sepeda. Memanfaatkan demam sepeda di Hindia Belanda pada 1890-an. Tak jauh dari kantor The Netherlands Indies Sport Company , berdiri sebuah bangunan dengan kubah kecil. Di atasnya terdapat mahkota menyerupai bintang. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat pertemuan (loji) masyarakat Teosofi. Perkumpulan Teosofi berdiri di New York pada 1875. “Mereka memperoleh sambutan baik di kalangan elite Eropa dan Jawa di Hindia Belanda pada 1910-an,” tulis Merillees. Mereka memiliki jadwal pertemuan teratur di loji dan mengumumkannya di media massa. Sekarang loji beralih rupa menjadi gedung Sapta Pesona milik Kementerian Pariwisata. Zaman bergerak. Beberapa bangunan lama di Koningsplein West sempat dirombak. Tujuannya untuk memperbaharui citra. “Usaha ini biasanya meleset. Bagian dalam dan belakang bangunan seringkali tidak diubah,” catat Heuken. Akibatnya lingkungan jadi kurang harmonis. Kini hampir semua bangunan di Jalan Medan Merdeka Barat telah menjadi milik pemerintah, bergaya modern, dan tinggi menjulang. Terdapat satu gedung milik swasta, kantor Indosat Ooredoo di bagian selatan jalan tersebut. Beberapa bangunan tua masih tersisa. Seperti Museum Nasional. Tetapi terbenam di antara ketinggian gedung jangkung modern.

  • Kisah Sang Penghilang Batas

    DI DUNIA sains siapa yang tak mengenal Stephen Hawking? Vonis mati yang diterimanya tidak serta merta membuat hidup ilmuwan ini goyah. Itu dibuktikan denan terus berkaryanya dia di bidang ilmu fisika. Sejak tahun 1960-an tidak henti-hentinya, dia mengguncang dunia dengan spekulasi dahsyatnya tentang alam semesta dan kehidupan makhluk hidup di dalamnya. Dilahirkan di Oxford, Inggris, pada 8 Januari 1942, Hawking merupakan putra sulung dari empat bersaudara. Sejak remaja, dia telah memperlihatkan ketertatikan yang besar terhadap ilmu sains dan teknologi. Ketika belajar di St. Albans, Hawking (16 tahun) bersama kawan-kawannya mampu merakit sebuah komputer dengan memanfaatkan suku cadang bekas jam dan pesawat telepon. Pada 1962, Hawking lulus dari Universitas College, Oxford. Menurut Marcus Chown, seorang mantan astronom radio, walau mendapat gelar kehormatan kelas satu di bidang pengetahuan alam, Hawking pernah mengakui dirinya sebagai pemalas ketika masih menjadi mahasiswa. Tidak puas dengan gelar kesarjanaannya, Hawking pun memutuskan untuk mengejar gelar Ph.D di Universitas Cambridge. Di sana dia memilih jurusan yang waktu itu kurang populer, yakni relativitas umum, salah satu teori tentang gravitasi milik Albert Einstein yang mengantarkannya pada kepopuleran sepanjang masa. Namun belum genap setahun belajar di Cambridge, Hawking harus nenerima kenyataan pahit dalam hidupnya. Bermula dari Natal 1962, ia menyadari tubuhnya semakin lemah tanpa mengetahui sebabnya. Kemudian pada akhir semester pertama di Cambridge, ibunya membujuk Hawking untuk menemui dokter. Setelah melalui rangkaian tes melelahkan selama dua pekan, dokter memvonis Hawking menderita amyotrophic lateral sclerosis (ALS): bentuk paling umum dari penyakit saraf motorik yang menyebabkan kemunduran pada fungsi sel-sel otak. "Pada usia 21 tahun, Hawking menghadapi vonis mati. Yang luar biasa, kendati dia merasa putus asa, dia tidak pernah menyerah." tulis Marcus. Normalnya, penderita penyakit ini hanya akan bertahan hidup tidak lebih dari tiga tahun. Brian Dickie, direktur Asosiasi Pengembangan Riset MND ( motor neurone disease ), menyebut penyakit saraf memiliki tingkatan yang berbeda tergantung dari gen dan lingkungan para penderitanya. "Mengingat obat yang efektif kurang tersedia, kemungkinan Hawking bisa hidup begitu lama bukan lantaran obat tetapi disebabkan oleh jenis penyakitnya." ucap Dickie. Lebih dari itu, alasan Hawking dapat bertahan adalah Jane Wilde. Dia jatuh cinta pada perempuan yang ditemuinya dalam acara pesta mahasiswa di kampusnya. Pasangan itu melangsungkan pernikahan pada 1965. dukungan dari Jane membuat Hawking berjanji akan memanfaatkan sisa waktunya semaksimal mungkin. Ajaibnya, setelah melewati hari-hari bersama perempuan yang dicintainya, perkembangan penyakit Hawking mulai melambat. Semangat hidup Hawking melawan keterbatasannya menjadi penggalan kisah paling menarik dalam buku ini. Penjelasan tentang penyakit yang dideritanya pun disajikan dalam koridor ilmiah yang mudah dicerna awam. Namun sayangnya buku ini tidak menyertakan data-data tentang perkembangan penyakit Hawking. Selain itu tidak adanya wawancara personal berisi pertanyaan lebih intim membuat buku  Stephen Hawking A Mind Without Limits  ini kurang memperlihatkan sisi pribadi Hawking. Menghilangkan Batas Selain menjelaskan perjalanan hidup, buku ini juga mencoba membantu mengarahkan para pembaca pada penemuan-penemuan ilmiah Hawking yang begitu menakjubkan. Dalam buku ini para ahli dihadirkan, sebagai kontributor, untuk menjelaskan bidang keahliannya. Seperti Peter J. Bentley, seorang profesor ilmu komputer yang memaparkan secara rinci teknologi yang terpasang pada kursi roda Hawking untuk membantu kesehariannya. Hawking dikenal sebagai perintis di bidang fisika dan kosmologi modern. Dengan cerdas, ia mampu menggabungkan dua bidang keilmuan yang tidak saling berhubungan tersebut. Namun meski begitu, hampir setengah masa hidupnya dihabiskan tanpa bergerak dan bersuara. Sebelum benar-benar kehilangan kemampuan berbicara, Hawking masih memberikan kuliah umum di beberapa perguruan tinggi di Inggris. Dia selalu membawa keluarga serta asistennya untuk menerjemahkan ucapannya yang sudah tidak jelas. Hawking tidak ingin kekurangannya itu menjadi halangan untuk dia terus berkarya. Namun pil pahit kembali harus ditelan Hawking. Pada 1985, dalam sebuah perjalanan dinas ke CERN (Organisasi Eropa untuk Riset Nuklir), Hawking terserang pneumonia. penyakit itu nyaris merenggut nyawanya. "Dokter-dokter yang menanganinya terpaksa menjalankan operasi trakeonomi untuk memasukkan slang pernapasan, tetapi tindakan ini menyebabkan Hawking kehilangan suaranya." tulis Peter J. Bentley, profesor ilmu komputer di Universitas College, London. Tentu bukan perkara mudah untuk Hawking dapat menerima keadaannya. Karir akademiknya menutut kemampuan berkomunikasi yang baik. Dia harus memberi kuliah di hadapan mahasiswanya, mempresentasikan hasil penelitiannya, bahkan mempublikasikan tulisan-tulisannya. Karena tidak bisa melakukan semua itu, Hawking merasa hidupnya bagai bencana. Tapi bukannya menyerah, Hawking malah mengalihkan perhatiannya pada teknologi. Ia sadar bahwa hanya pengetahuan modern yang dapat membantunya. Untuk itu, Martin King, dokter pribadi Hawking, menghubungi perusahaan teknologi asal California, Words+, yang telah mengembangkan equalizer untuk penderita penyakit saraf motorik. Sistem yang ditawarkan memungkinkan pemakainya memilih kata-kata hanya dengan ketukan tangan. "Sebuah kursor bergerak di bagian atas layar." terang Hawking. "Saya dapat menghentikannya dengan tombol di tangan saya. Dengan cara ini, saya bisa memilih kata-kata yang terpampang di bagian bawah layar. Saya bisa memberikan kuliah, menulis makalah, dan berkomunikasi dengan keluarga saya." Sistem equalizer awalnya dijalankan di sebuah komputer Apple II yang tersambung ke perangkat penyintesis wicara buatan Speech Plus. tidak lama, perangkat lunaknya diganti dengan versi terbaru bernama EZ Keys, buatan perusahaan yang sama. Teknologi itu termasuk paling canggih pada zamannya karena dapat menyimpan lebih dari 4.000 kosakata yang dibutuhkan Hawking. Selama hampir 20 tahun, sejak 1988, Hawking memanfaatkan teknologi penyintesis wicara itu untuk berbagai keperluan ilmiahnya. Namun pada 2005 penyakit ALS yang dideritanya semakin parah. Ia kembali kehilangan kemampuan berkomunikasi karena tidak lagi memiliki kekuatan untuk menekan tombol perangkat wicara di kursi rodanya. Untuk mengatasinya, beberapa asisten serta mahasiswa bimbingannya menciptakan perangkat LED dan sensor inframerah khusus Hawking. Teknologi itu dipasang di kacamata Hawking untuk mendeteksi gerakan kecil pada otot di pipinya. Berkat peranti ini, Hawking dapat terus melanjutkan kegemilangannya dalam membangun ilmu fisika. "Kemampuan komunikasi Hawking kian memburuk ketika dia kehilangan kendali atas otot, dan pada 2011, dia hanya bisa membuat dua kata per menit." tulis Bentley. Setelah itu, Hawking menghubungi salah satu pendiri Intel, Gordon Moore, yang dahulu pernah ditemuinya. Moore kemudian meminta bantuan Justin Rattner, CEO Intel saat itu untuk menyelesaikan persoalan Hawking. Di bawah intel, sebuah tim peneliti dibentuk. Mereka mencoba mencari model komunikasi yang pas bagi Hawking. Berbagai bentuk interface baru pun dicoba untuk mendapat hasil yang sempurna. Percobaan pertama menghasilkan teknologi yang dapat memilih kata dengan cara menggerakkan pupil mata. Namun tidak berhasil karena kelopak mata Hawking selalu turun. Pada percobaan selanjutnya, tercipta teknologi pengukur gelombang otak. Tetapi tidak menunjukkan kemajuan apapun. Akhirnya dengan bantuan asisten mahasiswa Hawking, Jonathan Wood, tim itu dapat menciptakan sistem komunikasi yang canggih. Teknologi yang khusus diciptakan untuk Hawking ini memanfaatkan jaringan saraf tiruan yang mampu memprediksi kata selanjutnya dari sebuah kata yang biasa digunakan Hawking. Misalnya kata "lubang" biasanya diikuti oleh "hitam". Kiprah Nyata Sejak memulai penelitian pasca-doktoralnya, Hawking telah benar-benar fokus pada permasalahan kosmologi, ilmu pengetahuan alam, evolusi, teknologi, dan akhir alam semesta. Dia mengkaji cukup dalam beberapa teori Einstein, terutama yang berhubungan dengan asal mula alam semesta. Pada 1965 dan 1970, Hawking membuat sejumlah teorema besar tentang singularitas:keadaan di mana suatu objek yang dihitung menjadi tak terhingga. Dia bekerja bersama Roger Penrose, ahli matematika Inggris yang mendampingi Hawking dalam sejumlah penemuan penting pertamanya. Penelitian singularitas tersebut menjadi kiprah pertama Hawking dalam mencari bukti terciptanya kehidupan alam semesta. Hawking dan Penrose bahkan berhasil menunjukkan bahwa teori Einstein memiliki kekurangan. Sehingga membuka jalan bagi para ilmuwan untuk terus mencari kebenaran yang sesungguhnya. "Penelitian Hawking tentang singularitas akhirnya membawanya mempelajari aspek destruktif dan misterius yang bertebaran di seluruh alam semesta." tulis Marcus. Setelah mempelajari singularitas, Hawking mulai mengalihkan fokusnya pada salah satu teori paling menakjubkan mengenai alam semesta, yakni lubang hitam. Selama bertahun-tahun, Hawking membuat teori untuk menemukan kebenaran dari “objek hitam” yang baginya tidak benar-benar legam karena berpendar dengan partikel-partikel yang terlepas di sekitarnya. “Jauh dari hampa, ruang ini sesungguhnya sarat energi. Khususnya, partikel-partikel dan antipartikel-antipartikel subatomik yang terus-menerus bermunculan secara berpasangan.” katanya. Hawking mengeluarkan banyak spekulasi yang membuat para ilmuwan dunia kebingungan, sekaligus termotivasi untuk memperdalamnya. Sebagian ilmuwan mencoba membuktikan teorinya dengan memberikan data dan fakta baru. Namun hingga Hawking wafat, belum ada yang secara tepat menjelaskan keadaan dan keberadaan lubang hitam di alam semesta. Secara keseluruhan buku ini  layak untuk dibaca. Pemaparan secara ilmiah dan mendalam, dengan bahasa sederhana, tentang hasil kerja Hawking semasa hidupnya membuat para pembaca akan nyaman mencerna isinya. Walau alangkah lebih baik jika buku  Stephen Hawking A Mind Without Limits  ini memberikan lebih banyak ruang untuk menceritakan keseharian Hawking menghadapi penyakitnya sampai bisa terus berkarya mencengangkan dunia.

  • Makanan para Tahanan

    MIA Bustam, perempuan pelukis anggota Lekra, merasakan jatah makan yang diterima tahanan politik (tapol) 1965 masih manusiawi pada awal ditahan di Vredeburg. Selain diberikan dua kali setiap hari, jam 10 pagi dan 3 sore, menunya pun berupa nasi ditambah oseng-oseng buncis atau kacang panjang, labu siam, dan lauk berupa tempe atau tahu bacem. Lain waktu, menunya berupa gudeg dengan sambal goreng krecek dan tolo. “Memadailah, yang mengurus ransum itu restoran di Danurejan,” kata Mia dalam memoarnya, Dari Kamp ke Kamp . Namun, kondisi itu tak berlangsung lama. Pihak restoran mogok mengirim makanan lantaran Tim Pemeriksa Daerah (Taperda) sama sekali tidak membayar katering itu sejak awal. Jatah makan para tapol pun dikirim dari Penjara Wirogunan sejak itu. Makanan diangkut menggunakan truk. Begitu truk tiba di Vredeburg, para tapol berbaris mengantri sambil membawa besek-besek bekas. Mereka menunggu jatah dari dua narapidana yang ditugaskan membagikan. Menunya jelas jauh lebih buruk dari menu sebelumnya. Grontol, nasi jagung, dan sayur kubis menu mereka setiap hari. Porsi grotolnya pun amat sedikit. Mia dan rekan-rekannya pernah iseng menghitung jumlah butir grontol jatah makan itu: 250 butir jatah untuk tapol perempuan dan 150 butir untuk tapol lelaki. Suasana tahanan biasanya jadi sepi setelah pembagian makan. Semua tapol khusuk mengupas kulit grontol yang tebal lantaran dibuat dari jagung metro yang kulitnya tak bisa dicerna. Setelah itu, akan terdengar bunyi ‘tik-tik’, suara para tapol lelaki menumbuk jagung. Mereka menumbuk dengan cobek buatan. Lumpang dibuat dari tegel batu di halaman kamp yang mereka bongkar. Batu bulat yang ada di sekitar kamp dijadikan penumbuknya. “Maklum, di antara mereka banyak orang tua yang giginya tak lengkap lagi. Ada juga anak muda yang giginya rontok disebabkan penganiayaan pada waktu penangkapan dan pemeriksaan, sehingga sulit mengunyah grontol yang super keras itu,” kata Mia. Lantaran jatah makan yang tersedia cuma kubis busuk dan grontol apek, para tahanan politik (tapol) mulai masak-masak di dalam tahanan. Tapi karena para tapol tak punya bahan makanan lain, yang dimasak pun cuma kubis busuk yang dicuci lantas dimasak lagi untuk dijadikan oseng-oseng, urap, atau pecel. Hanya untuk menambah variasi menu. “Yang dimasak ya sayur kubis tua itu, setelah kuahnya yang asin sekali itu dibuang. Kami tak ingin kena hipertensi,” kata Mia . Para tapol juga mengubah menu grontol. Setelah menumbuk grontol, mereka menjadikannya bubur atau gethuk yang ditambah gula jawa. Bumbunya didapat dari kiriman keluarga. Kompor yang mereka gunakan untuk memasak bahan bakarnya macam-macam. Tapol perempuan membuatnya dari besek bekas yang anyamannya sudah dilolosi, kulit-kulit grontol, atau daun pisang bekas pembungkus kiriman. Daun pisang itu disobek kecil-kecil, dikepang, lantas dijemur agar kering sehingga mudah terbakar. Sementara, tapol lelaki lebih nekat dalam membuat bahan bakar. Selain menggunakan bahan bakar seperti tapol perempuan, mereka mencopoti kolom-kolom atap tahanan. Tentu saja, mereka memilah bagian yang aman kalau dicopot. Kegiatan masak-masak dalam kamp itu jelas sepengetahuan petugas lantaran asap dan bau masakan pasti tercium dari tempat kerja mereka. Saking sedikitnya jumlah makanan, beberapa tapol menderita kelaparan hingga meninggal dunia. Tiap hari jumlahnya makin naik, dari dua, delapan, belasan, hingga puluhan orang. Ketika menginterogasi Mia, Hardjono, dosen yang ikut menginterogasi tapol, bercerita bahwa Taperda bingung bagaimana harus memberi makan tapol yang jumlahnya amat banyak padahal dana untuk konsumsi hampir tak ada. “Suruh saja mereka pulang semua, kecuali yang benar-benar terlibat, maka problem akan terpecahkan dengan sendirinya,” kata Mia. Masalah jatah makan juga terjadi di Kamp Plantungan. Meskipun sudah dibentuk unit-unit produksi untuk memenuhi kebutuhan hidup para tapol, jatah makan sering kurang. Mulanya, ransum berisi nasi dan sayur dengan sepotong tempe atau ikan asin. Ransum ini dibagikan tiga kali sehari. Lama-lama jatah makan berkurang jadi dua kali sehari, dibagikan siang dan malam hari. Karena terus-menerus kurang, menu sarapan diganti jadi tiga potong singkong. Para tapol yang punya uang bisa membeli telur di koperasi, tapi yang kantongnya kering, memilih makan bekicot yang ditemukan di ladang. “Coba bayangkan, dapat jatah nasi tempenya seruas jari, malam tidak ada lauk. Makanya bekicot pun dimakan, dibikin sambel goreng. Itu katanya juga bisa untuk obat bisul. Kalau sekarang suruh makan saya nggak mau,” kata Sumarni, mantan anggota Gerwani yang ditahan di Plantungan, sebagaimana ditulis Amurwani Dwi Lestariningsih dalam Gerwani: Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan. Jika dibandingkan, makanan tapol Plantungan lebih buruk dibanding makanan narapidana. Makanan tapol berasal dari Kodam dan dikelola petugas jaga militer, sedangkan menu narapidana dikelola Direktorat Pemasyarakatan. Jika para narapidana mendapat nasi dari beras kualitas bagus dan bisa makan daging dua kali seminggu, para tapol hanya mendapat sedikit beras dan lauk tempe, ikan asin, atau telur yang diberikan bergantian. Dari penuturan Sugiharto, mantan wakil Komandan Kamp Plantungan, jatah beras di Plantungan sebanyak 300 gram per hari. Namun dari penuturan dr. Sumiyarsi Siwirni Carapobeka, yang dikenal sebagai dokter lubang buaya, jatah beras hanya 100 gram. Jatah ini kemudian berkurang menjadi 75 gram per hari. Lantaran terus bekurang, pemerintah memberikan bantuan beras yang dikenal dengan beras Erwin. “Beras bantuan itu baunya tajam dan tidak enak,” kata Sumiyarsi. Beberapa tapol muntah-muntah setelah memakannya. Sumiyarsi dan beberapa tahanan lain lantas meminta agar beras itu tak lagi dibagikan, namun apa daya usulnya malah dianggap pemberontakan. Ia dipindahkan ke blok C yang disebut “kandang babi”. Jatah beras pun kembali jadi 75 gram per hari.

  • Rencana Pembunuhan Sukarno, Yani, dan Soebandrio

    UNTUK kali pertama sejak bergulirnya reformasi, ancaman pembunuhan menyasar pejabat tinggi negara. Ini diungkapkan langsung oleh Kapolri Jenderal Tito Karnavian pasca kerusuhan menyikapi hasil pemilu 21-22 Mei 2019. Mereka yang jadi target pembunuhan antara lain Jenderal (Purn.) Wiranto (Menkopolhukam), Jenderal (Purn.) Luhut Panjaitan (Menko Kemaritiman), Jenderal Pol. Budi Gunawan (kepala Badan Intelijen Negara), dan Yunarto Wijaya (pimpinan lembaga survei Charta Politika). Mantan kepala staf Kostrad, Mayjen TNI (Purn.) Kivlan Zein disebut-sebut berada di balik rencana pembunuhan tersebut. Kivlan sendiri dan orang-orang yang ditugaskan untuk melancarkan aksi pembunuhan sudah tertangkap. Mereka dinyatakan sebagai tersangka dan terancam jeratan pasal perbuatan makar. Perbuatan makar dengan merencanakan pembunuhan juga pernah terjadi di masa Presiden Sukarno. Pada 28 Mei 1965, Sukarno sendiri yang mengatakan hal itu di hadapan para panglima Kodam se-Indonesia saat berpidato di Istana Olahraga, Senayan. Mereka yang menjadi sasaran pembunuhan adalah Presiden Sukarno, Menteri Panglima AD Letjen Ahmad Yani, dan Wakil Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri Soebandrio. Yani dan Soebandrio merupakan pembantu-pembantu utama Sukarno.    “Salah satu plan adalah, untuk bunuh beberapa pemimpin Indonesia, Soekarno, Yani, Soebandrio, itu yang pertama-tama harus om zeep gebracht , harus dibunuh. Malah kalau bisa sebelum Konferensi Aljazair,” kata Bung Karno dalam pidatonya berjudul “Imperialis Mau Menghantam, Kita Harus Siap Siaga” termuat di kumpulan pidato Bung Karno: Masalah Pertahanan-Keamanan . Menurut Sukarno, rencana pembunuhan itu berasal dari kaum imperialis atau dalam istilahnya disebut nekolim (neo kolonialisme dan imperialisme). Secara tersirat, nekolim merujuk Amerika Serikat (AS) yang memimpin blok Barat dalam percaturan Perang Dingin. Sejak pertengahan 1950-an, AS telah merancang penggulingan Sukarno dengan mensponsori pemberontakan PRRI-Permesta. Sukarno melanjutkan, jika aksi pembunuhan itu gagal, maka akan dilancarkan serangan terbatas. Caranya dengan membongkar rahasia Sukarno, Yani, dan Soebadro. Apakah itu berkaitan dengan skandal pribadi atau perbuatan memalukan lainnya. “Sehingga rakyat akan berontak, memberontak terhadap, Sukarno, Yani, dan Soebandrio,” kata Sukarno. Dugaan Sukarno ini didasarkan atas temuan dokumen rahasia yang diserahkan oleh Soebandrio lewat Badan Pusat Intelijen (BPI). Dokumen tersebut bermuasal dari aksi massa demonstran terhadap gedung Kedutaan Inggris di Jakarta dan kediaman sineas Holiwood, Bill Palmer di kawasan Puncak. Didapatilah salah satu surat mencurigakan yang ditujukan kepada Kementerian Luar Negeri Inggris. Isinya mufakat antara Dubes Inggris Andrew Gilchrist dan Dubes Amerika dengan bantuan sejumlah dewan jenderal di kalangan AD ( our local army friends ) untuk menjatuhkan rezim Sukarno. Belakangan, dokumen yang dikenal dengan nama “Dokumen Gilchrist” itu dinyatakan palsu karena diragukan otentisitasnya. Menurut Anthony Dake dalam disertasinya yang dibukukan In The Spirit of The Red Banteng: Indonesia Communist Between Moscow and Peking 1959-1963 , Soebandrio adalah pemalsu Dokumen Gilchrist. Soebandrio yang tidak memeriksa secara teliti keaslian dokumen itu serta merta menyerahkannya kepada Sukarno untuk maksud dan tujuan politik tertentu.   Namun menurut Peter Dale Scott, mantan diplomat Kanada dan pakar politik University of California, sejak awal Mei 1965 pemasok-pemasok militer Amerika yang mempunyai hubungan dengan CIA (terutama grup Lockhead) sedang merundingkan penjualan perlengkapan dengan komisi-komisi melalui jasa perantara. Ini ditujukan kepada pihak militer Indonesia di luar kelompok Yani dan Nasution sebagai pimpinan resmi AD. “Hadiah-hadiah itu diperuntukkan bagi pendukung-pendukung fraksi ketiga dalam AD yang sampai saat itu kurang dikenal, yaitu Mayjen Soeharto,” tulis Scott dalam artikelnya yang terkenal “U.S. and Overthrouw of Sukarno, 1965--1967” (CIA dan Penggulingan Sukarno) termuat di jurnal Pacific Affairs (1985). Scott menyebutkan bahwa Soeharto mempunyai seorang utusan yang telah lama membina hubungan dengan dinas intelijen Amerika, CIA bernama Kolonel Walandouw.   Seturut dengan Scott, tokoh PNI Manai Sophiaan dalam Kehormatan Bagi yang Berhak: Bung Karno Tidak Terlibat G30S/PKI , mengatakan prasangka Sukarno perihal ancaman terhadap dirinya benar adanya. Pendapat Sophiaan mengacu kepada kemiripan dokumen-dokumen State Department dan CIA yang telah dideklasifikasi. Pada fakta sejarahnya, ancaman pembunuhan sebagaimana yang dikemukakan Sukarno memang tidak pernah terjadi. Namun kedudukan politik Sukarno, Yani, dan Soebandrio ditentukan setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 meletus. Inilah tonggak berakhirnya rezim Sukarno. Yani tewas dalam insiden pagi jahanam 1 Oktober 1965. Pimpinan AD kemudian berpindah kepada Soeharto. Soebandrio ditangkap dan kemudian dipenjarakan selama 30 tahun. Itupun atas perintah dari Soeharto yang memperoleh mandat Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) 1966. Sukarno terjungkal dari kekuasaannya yang pada akhirnya digantikan oleh Soeharto. Demikianlah masa Orde Baru dimulai. Entah makar atau bukan, di balik narasi sejarah seputar penggulingan Sukarno masih menjadi perdebatan di kalangan sejarawan maupun pemerhati sejarah sampai saat ini.*

  • Ekstradisi dari Hong Kong?

    RATUSAN ribu orang menyesaki jalan-jalan utama di Hong Kong. Negeri kepulauan dengan status otonomi khusus di bawah Republik Rakyat China (RRC) itu tengah bergejolak. Massa menggugat upaya “komunisasi” oleh pemerintah daratan sejak Minggu (9/6/2019). Menurut sumber Kepolisian Hong Kong yang dikutip Reuters , Selasa (9/6/2019), massa yang terkonsentrasi sudah berjumlah sekira 240 ribu orang. Massa menetang kembalinya cengkeraman China atas negeri mereka. Namun, aksi unjuk rasa damai itu berubah ricuh pada Selasa (12/6/2019). Bentrokan pecah. Polisi terpaksa melontarkan gas air mata, water cannon , dan bahkan tembakan peluru karet sebagaimana kerusuhan demonstrasi pada 2014. Aksi itu dipicu oleh berlangsungnya sidang Dewan Legislatif Hong Kong untuk mengesahkan Undang-Undang Ekstradisi. UU tersebut dianggap sebagai penggembosan demokrasi di Hong Kong. Jika disahkan, pemerintah RRC bisa leluasa menangkapi para tersangka kasus pidana maupun politik yang melarikan diri ke Hong Kong untuk dibawa kembali ke daratan utama guna disidangkan dengan sistem hukum RRC. “Warga Hong Kong tidak percaya pada pemerintah China,” kata Long Chen, salah satu pengunjuk rasa, dilansir CNN World , Selasa (12/6/2019). Long Chen merupakan pekerja maintenance lepas dan terpaksa tak masuk kerja demi “menyelamatkan” masa depan negerinya. Ia hanya satu dari sekian warga Hong Kong dari beragam latarbelakang yang menggugat kembalinya sistem komunis China menjamah Hong Kong. “Kami merasa tak punya pemimpin saat ini. Ini (aksi protes) adalah harapan terakhir kami. UU ini berbahaya. Kami tak mau melihat China melenyapkan kebebasan kami,” kata Sean, mahasiswa yang turut turun ke jalan. Milik China, Inggris dan Kembali ke China Negeri di Semenanjung Kowloon dengan sekira 263 pulau ini sebelum jadi koloni Inggris merupakan wilayah strategis untuk pelabuhan dan pelayaran milik Dinasti Qing. Tetapi gara-gara kalah dari Inggris di Perang Opium I (1839-1842), Hong Kong diserahkan ke Inggris. Baca juga: Islam di Masa Kedinastian Cina Sedianya penyerahan Hong Kong sudah dilakoni menjelang kekalahan Dinasti Qing lewat Konvensi Chuenpi, 20 Januari 1841. Dalam dokumen The Chinese Repository Volume 10 , konvensi itu dihelat antara dua utusan: Sir Charles Elliot dan Qishan (Jing’an). Isinya adalah: penyerahan kepulauan dan pelabuhan Hong Kong kepada Inggris, ganti rugi perang enam juta dolar oleh China kepada Inggris yang dicicil sampai 1846, pembukaan hubungan resmi dua negara, dan dibukanya pelabuhan Canton dalam 10 hari setelah Hari Raya Imlek. Lukisan kapal-kapal Inggris menguasai Hong Kong karya RB Watson (Foto: sothebys.com) Meski diuntungkan, Inggris belum puas. Menteri Luar Negeri Inggris Lord Palmerston mengganti Elliot dengan Jenderal Henry Pottinger. Kesepakatan dalam konvensi itupun gugur dan perang berlanjut hingga ditandatanganinya Perjanjian Nanking, 29 Agustus 1842. Selain menuntut perdagangan bebas dan ganti rugi perang, Inggris menuntut penyerahan Hong Kong dari Kaisar Daoguang dalam isi perjanjiannya. “Segera setelah perjanjian itu ditandatangani, bendera kuning China (Dinasti Qing) dan bendera Union Jack (Inggris) dikibarkan bersama,” ungkap Sir Harry Parkes, salah satu diplomat yang menyaksikan, dikutip Stanley Lane-Poole dalam The Life of Sir Harry Parkes. Perjanjian itu lantas diratifikasi Kaisar Daoguang pada 27 Oktober dan Ratu Victoria pada 28 Desember di tahun yang sama. Isi perjanjiannya baru berlaku efektif pada 26 Juni 1843, ketika Hong Kong resmi berada di bawah ketiak Kekaisaran Inggris. Cengkeraman Inggris kian meluas setelah Konvensi Peking (Beijing), 18 Oktober 1860. Semenanjung Kowloon disewakan China kepada Inggris. Lewat Konvensi Ekstensi Wilayah Hong Kong (1898), di mana statusnya Inggris menyewa pada China selama 99 tahun, semenanjung ini lantas dijadikan wilayah perluasan Hong Kong. Di bawah kolonialisme Inggris, Hong Kong berkembang pesat, mengingat punya pelabuhan yang strategis. Tidak sedikit tokoh pergerakan yang memilihnya sebagai “suaka”. Tan Malaka, salah satunya, yang berkelana ke banyak negeri pasca-diusir pemerintah kolonial dari Hindia Belanda pada 1922. Tan singgah ke Kowloon, seberang pelabuhan Hong Kong, sejak pindah dari Shanghai dengan nama samaran Ong Soong Lee. “Kotanya dikelilingi perairan dan satu-satunya penghubung dengan Canton adalah jalur kereta api yang tentunya banyak diawasi polisi,” sebut Tan dalam otobiografinya, Dari Penjara ke Penjara, jilid 2. Tan Malaka memang jadi target operasi polisi penyelidik Inggris setelah bersua salah satu koleganya, Dawood. Tan pun diciduk kemudian dan diiterogasi polisi penyelidik Inggris dari Singapura berdarah India, Pritvy Chan. Tan dikira buron Filipina yang tengah dicari-cari oleh sang polisi. Tan kemudian ditransfer ke Markas Besar Kepolisian Hong Kong untuk interogasi lanjutan dengan Kepala Inspektur Murphy. Singkat cerita, Tan dalam tahanan Inggris di Hong Kong pernah diminta pemerintah Hindia Belanda untuk diekstradisi. Beruntung, otoritas Inggris di Hong Kong menolak lantaran kebijakan kolonialis Inggris melindungi para pelarian politik, meski kemudian Tan Malaka dideportasi. Seiring waktu, Hong Kong sempat lepas dari tangan Inggris gegara invasi Jepang, yang dimulai di pagi yang sama saat Jepang menyerang Pearl Harbor, 8 Desember 1941. Hong Kong lantas dibanjiri pengungsi dari kalangan terpelajar yang tak ingin jadi korban Perang Sipil China, usai Perang Pasifik. Banyaknya kaum terpelajar membuat industrialisasi Hong Kong bergulir pada 1950-an. Perlahan, Hong Kong jadi macan ekonomi. Status Hong Kong mulai jadi pembahasan lagi sejak 1979. Muara dari pembahasan itu adalah ditandatanganinya Deklarasi Bersama China-Inggris pada 19 Desember 1984. RRC menuntut Inggris mematuhi perjanjian konvensi tahun 1898. Inggris menyanggupi. Pada 1 Juli 1997, Hong Kong terlepas dari 156 tahun cengkeraman kolonialisme Inggris dan diserahkan ke RRC dengan catatan prinsip “Satu Negara, Dua Sistem”. Lukisan kapal-kapal Inggris menguasai Hong Kong karya RB Watson (Foto: sothebys.com) Hong Kong diizinkan menjalankan pemerintahan sendiri selama 50 tahun. Itu artinya, baru pada 2047 Hong Kong bisa benar-benar 100 persen di bawah sistem politik dan hukum RRC. Namun, Beijing tampaknya tak ingin menunggu sebegitu lama. Beberapa isu sudah lama ditebar ke dewan rakyat Hong Kong. Hal itu memicu protes dari rakyat Hong Kong. Pada 2012, gejolak muncul untuk memprotes rencana masuknya materi kurikulum pro RRC ke sekolah-sekolah di Hong Kong. Dua tahun berselang, demo besar-besaran terjadi untuk menentang regulasi pemilu di Hong Kong, terkait keterlibatan Beijing dalam pemilihan kepala eksekutif daerah otonomi Hong Kong. “Hong Kong hanya akan jadi kota China lainnya yang dikuasai Partai Komunis,” kata aktivis pro-demokrasi cum bos perusahaan media Next Digital Jimmy Lai dalam tulisannya di Nikei Asian Review. Isu UU Ekstradisi yang meletupkan gejolak saat ini makin menegaskan campur-tangan RRC. Tanpa UU Ekstradisi saja, kata massa, sudah terjadi beberapa penculikan oleh otoritas China terhadap sejumlah tersangka yang mengungsi ke Hong Kong. Konglomerat Xiao Jianhua, salah satunya. Dia diculik di Hotel Four Seasons pada Januari 2017. Sang pebisnis itu sudah dibawa ke tahanan di daratan China dan nasibnya belum jelas. “Jika undang-undang ini disahkan, di mana mungkin sebentar lagi, sama saja seperti gong kematian bagi Hong Kong yang dunia ketahui sekarang (bebas dan berdemokrasi),” tandas aktivis politik Ray Wong Toi-yeung, disitat Vox , 11 Juni 2019.

bottom of page