top of page

Hasil pencarian

9580 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Saat Bung Tomo Dilarang Bicara

    JIKA dilihat rentang waktunya (8 Desember 1947-17 Januari 1948), Perundingan Renville bisa jadi merupakan perundingan terlama yang pernah dilakukan Indonesia dengan negara lain. Ajang perang diplomasi antara Indonesia dengan Belanda tersebut dilakukan di atas kapal USS Renville berbendera Amerika Serikat yang tiba di pelabuhan Tanjung Priok pada 2 Desember 1947. Delegasi Indonesia beranggotakan Amir Sjarifuddin, Ali Sastroamidjoyo, Tjoa Sik Ien, Mohamad Roem, Agus Salim, Nasrun dan Juanda. Sementara di kubu seberang, tim Belanda diperkuat oleh Abdulkadir Widjojoatmodjo, Jhr van Vredenburg, Soumokil, Pangeran Kartanegara dan Zulkarnain. Perundingan berjalan alot. Panas di dalam, begitu juga diluar. Rupanya, langkah pemerintah untuk turut dalam perundingan Renville banyak dicecar banyak pihak. Salahsatu yang vokal mengecam adalah Sutomo (lebih dikenal dengan sebutan Bung Tomo), mantan Ketua Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) yang kemudian diangkat menjadi salahsatu pucuk pimpinan tentara. “Tomo dari Barisan Pemberontak Republik Indonesia. Dalam pidatonya dia menguraikan keadaan politik waktu itu, dan menunjukkan bahwa kemerdekaan negara Indonesia terancam akan menjadi tanah jajahan kembali. Perundingan Renville, menurut pembicara membawa malapetaka. Waktu itu Bung Tomo pangkatnya jenderal mayor penuh,” tulis Subagiyo I.N dalam K.H. Masjkur: Sebuah Biografi . Pidato bung Tomo membuat delegasi Indonesia di perundingan kehilangan fokus. Akibatnya, Perdana Menteri Amir Sjarifuddin -yang juga ketua delegasi- memerlukan diri untuk menyampaikan kawat khusus ke wakil perdana menteri untuk diteruskan kepada Sukarno sebagai kepala negara. “Oleh pihak yang bersangkutan disampaikan bahwa pidato Tomo pada tangal 15 Desember 1947 sangat menyukarkan perundingan. Dikemukakan bahwa ada kemungkinan pidato itu akan dipakai Belanda di muka sidang Dewan Keamanan. Dengan demikian pekerjaan juga akan terancam sedangkan kita mencoba dengan segala usaha mempertahankan Republik. Pidato itu mesti dihilangkan pengaruhnya di kalangan internasional,” tulis Amir Sjarifudin dalam surat kawatnya yang dikirim dari geladak kapal Renville, pagi hari 17 Desember 1947. “Minta kepada PJM Presiden supaya diperintahkan Tomo jangan berpidato lagi dan merugikan perjuangan sekarang yang sudah begitu sukar,” sambung Amir dalam surat kawatnya yang tersua di arsip Sekretariat Negara 1946-1949 . Surat kawat atau telegram dari Amir pun segera ditindaklanjuti oleh sekretariat perdana menteri dan meneruskannya ke Sekretariat Negara untuk kemudian ditembuskan kepada presiden Sukarno. “Karena ternyata betapa besarnya dan menyukarkan perundingan Indonesia-Belanda maka dengan ini sudilah kiranya Paduka Tuan menyampaikan kepada Paduka Jang Mulia Presiden supaya selekas mungkin diadakan larangan dari P.J.M Presiden bagi anggota ketentaraan untuk mengadakan pidato,” tulis Maria Ulfah Santoso, dari sekretariat perdana menteri, kepada pihak Sekretariat Negara dengan nomor surat 3676/Pres/V dengan perihal mengenai larangan berpidato sebagai opsir atau perwira. Sore dihari yang sama, 17 Desember 1947, terbit surat perintah dari Sukarno -sebagai presiden sekaligus panglima tertinggi angkatan perang- kepada Soedirman. Isinya memerintahkan panglima besar untuk melarang Soetomo atau bung Tomo berpidato di muka umum. “Meneruskan dengan segera kepada jenderal mayor Soetomo (bung Tomo) perintah kami, supaya mulai hari ini tanggal 17 Desember 1947 menghentikan segala pembicaraan dan pidato di muka umum, baik dengan radio maupun dengan cara lain, sampai kami menarik kembali perintah ini,” seperti ditulis dalam surat perintah bernomor P.T/56 yang diteken Sukarno. Bicara Kembali Perundingan Renville pun selesai pada 17 Januari 1948. Hasilnya, tulis Iin Nur Insaniwati dalam Mohamad Roem: Karier Politik dan Perjuangannya, 1924-1968 , mengecewakan banyak pihak. Beberapa keputusan yang dipandang merugikan pihak Indonesia seperti wilayah RI yang menyempit dan kewajiban pengosongan daerah kantong dengan memindahkan tentara nasional RI ke wilayah Republik. Akibat politik lainya adalah penolakan sejumlah partai seperti Masyumi dan PNI terhadap hasil Renville, padahal keduanya masuk dalam kabinet Amir Sjarifuddin jilid II. Masyumi menolak keputusan Renville sehari sebelum perundingan selesai -16 Januari 1948-, sementara PNI menolak keputusan sehari paska penandatanganan, 18 Januari 1948. Seminggu setelah keputusan Renville, Amir Sjarifuddin menyerahkan mandat kembali kepada Sukarno. Pada 29 Januari 1948, terbentuk kabinet baru, dengan Perdana Menteri Mohamad Hatta. Bagaimana nasib Soetomo atau Bung Tomo yang dilarang bicara di muka umum? Seiring dengan bubarnya kabinet Amir Sjarifuddin, Soetomo pun mencoba menghadap Sukarno. Ia menyatakan dirinya siap menyokong kebijakan kabinet baru yang akan dibentuk. Atas sikapnya itu, Sukarno pun melunak. Ia mencabut pelarangan pidato bung Tomo. Pada pukul 9 pagi, tanggal 27 Januari 1948, Sukarno meneken surat perintah bernomor 1/P.T/48 kepada panglima besar Soedirman. “Memberi perintah kepada Panglima Besar Tentara Nasional Indonesia untuk meneruskan kepada jenderal mayor Soetomo (bung Tomo) bahwa larangan tersebut dalam surat perintah tanggal 17 Desember 1947 nomot P.T/56 mulai hari ini ditarik kembali,” tulis Sukarno. Surat dari Sukarno pun direspon oleh Soedirman. Pada 2 Februari 1948, pukul 10 pagi, Soedirman meneken surat perintah harian bernomor 15/PB/48/I yang menerangkan pencabutan larangan berbicara dimuka umum yang dikenakan kepada Soetomo sejak akhir 1947. Akhirnya, Bung Tomo pun bebas berbicara kembali, setelah dilarang bicara di muka umum selama hampir dua bulan.

  • Menang atau Mati! Ancaman Mussolini untuk Tim Azzurri

    KEMENANGAN dan mempertahankan trofi Piala Dunia menjadi harga mati untuk Gli Azzurri (julukan timnas Italia). Pesan bernada ancaman dilayangkan Il Duce , pemimpin fasis Italia Benito Mussolini, kepada tim besutan allenatore Vittorio Pozzo di Piala Dunia 1938 yang digelar di Prancis. Pada Piala Dunia 1934 yang digulirkan di “rumah sendiri”, Mussolini bangga. Trofi Jules Rimet yang diraih tim Italia dijadikannya alat penegas propaganda doktrin fasisme, tidak hanya untuk menyatukan rakyatnya tapi juga kepada dunia. Pengaruh politik begitu kuat menyesaki masa di ambang pintu Perang Dunia II itu. Austria yang jadi salah satu kekuatan sepakbola Eropa 1920-1930-an batal ke Prancis lantaran negeri mereka dicaplok Adolf Hitler, diktator Nazi-Jerman rekan Mussolini, medio Maret 1938. Meski bersahabat dekat, Mussolini menyimpan persaingan pada Hitler. Mussolini yang lebih dulu merintis ideologi ekstrem kanan dari Hitler tak ingin trofi Jules Rimet direbut tim lain, apalagi Jerman. Rekan fasis mereka lainnya, Spanyol, urung tampil gara-gara Perang Saudara. “Italia sebagaimana rekan-rekan Jerman mereka, tak ingin gagal di lapangan sepakbola maupun medan perang,” ungkap Phil Ball dalam Morbo: The Story of Spanish Football. Italia berangkat ke Prancis tidak lagi mengandalkan pemain oriundi (keturunan Italia yang lahir di Amerika Selatan), yang beberapa di antaranya seperti Enrique Guaita memilih kabur ke Amerika Selatan demi menghindari wajib militer. Pelatih kepala Pozzo justru “berjudi” dengan membawa pemain-pemain muda. Hanya Giuseppe Meazza dan Giovanni Ferrari di tim itu yang merupakan veteran Piala Dunia 1934. “Tim Azzurri mesti menjawab keraguan terkait kemenangan mereka empat tahun sebelumnya, apakah mampu menang jika bukan tuan rumah dan bermain di tempat lain. Mereka juga harus membuktikan bahwa tim mereka punya kemampuan mumpuni, mengingat banyaknya tuduhan pengaturan skor atau suap dalam kemenangan mereka di 1934,” tulis Tim Harris dalam Sport: Almost Everything You Ever Wanted to Know . Di Prancis 1938, La Nazionale (julukan lain tim Italia) juga tampil beda. Mereka mengganti seragam biru langit-putih empat tahun sebelumnya dengan seragam hitam-hitam khas “Fascio”. Para pemain juga selalu melakukan hormat ala fasis jelang kickoff. Toh, Italia mulus melewati fase demi fase. Mereka menyingkirkan Norwegia 2-1, tuan rumah Prancis 3-1, serta Brasil 2-1 di semifinal. Pada partai puncak, mereka bersua Hungaria yang sedang menanjak jadi salah satu tim adiwisesa Eropa. Tahu bahwa para pemainnya akan meladeni lawan berat, Mussolini mengirim telegram berisi ancaman: “ Vincere o morire !” yang artinya “Menang atau mati!” Ancaman itulah yang mungkin membuat para pemain mati-matian di final hingga menang 4-2. Nyawa mereka pun masih utuh sepulangnya ke Italia. “Saya mungkin membiarkan terjadinya empat gol ke gawang saya, namun setidaknya saya menyelamatkan nyawa mereka,” kenang kiper Hungaria Antal Szabo, yang tak menyesal timnya kalah dari Italia di final Piala Dunia 1938, sebagaimana dikutip Diane Bailey dalam Great Moments in World Cup History . Tapi benarkah tim Italia tampil disertai ancaman pertaruhan nyawa pada laga final di Stade Olympique de Colombes, Paris, 19 Juni 1938 itu? “Beberapa orang menafsirkan bahwa pesan telegram itu tidak secara harfiah. Pesan ‘Menang atau Mati’ mungkin hanya sebagai ungkapan dengan cara ekstrem oleh Mussolini untuk menyatakan: ‘Lakukan yang terbaik!’,” lanjut Bailey. Bertahun-tahun kemudian, bantahan datang dari Pietro Rava, salah satu punggawa Italia di Piala Dunia 1938. Dia menyanggah timnya mendapat telegram ancaman mati itu dari Mussolini. “Tidak, tidak, tidak. Itu tidak benar. Dia (Mussolini) mengirim telegram hanya untuk mendoakan kami, bukan ancaman menang atau mati,” kata Rava kala diwawancara Simon Martin dari The Guardian pada 2001. Lepas dari benar-tidaknya telegram ancaman yang memunculkan beragam versi itu, Rava dkk diundang Mussolini ke Palazzo Venezia di Roma pasca-kemenangan mereka. Setiap pemain diguyur bonus 8000 lira dan masing-masing sekeping medali emas fasis.

  • Hulagu Khan Menaklukkan Baghdad

    PADA 1257, Hulagu Khan (1218-1265), cucu Genghis Khan, mengulang kebengisan kakeknya di Baghdad. Seperti biasa sebelum menyerang, penguasa Mongol itu mengirim utusan untuk mengultimatum Khalifah Abassiyah, Al-Mustasim Billah, untuk menyerah tanpa syarat. Namun, astronom Husim al-Din menyarankan agar Hulagu Khan membatalkan niat mengepung Baghdad karena berbagai pertanda dan planet-planet tidak mendukungnya. Apabila Hulagu Khan tidak membatalkan rencananya, kata Husim al-Din, enam petaka akan muncul di hadapannya: semua kuda akan mati dan seluruh tentaranya akan jatuh sakit, matahari tidak akan terbit, hujan tidak akan turun, badai akan menerjang dan dunia akan hancur oleh gempa bumi, rumput tidak akan tumbuh, dan Raja Agung (Hulagu Khan) akan wafat tahun ini juga. “Terjebak dalam dilema ini, Hulagu memanggil Nasir al-Din al-Tusi, ahli matematika (penemu trigonometri), mantan anggota sekte Hasyasyin. Hulagu mengangkatnya sebagai penasihat pasca penghancuran Alamut,” tulis Fernando Baez, pakar perbukuan dan perpustakaan asal Venezuela, dalam Penghancuran Buku dari Masa ke Masa. Menurut Antony Black, profesor emeritus di Universitas Dundee, Skotlandia, al-Tusi dikenal sebagai ahli matematika dan astronom yang cukup tenar. Kecakapan itu justru menimbulkan masalah baginya: dia dipaksa bekerja selama kurang lebih 20 tahun sebagai astrolog di benteng Alamut (selatan Laut Kaspia) milik kelompok Nizari-Ismailiyah (sekte Hasyasyin). Benteng pertahanan itu dilengkapi perpustakaan yang terkenal, sehingga dia tetap bisa melanjutkan aktivitasnya sebagai astronom. “Kaum Ismailiyah percaya bahwa dunia diatur oleh revolusi-revolusi ilahiah yang dapat dilacak di bintang-bintang, dan kelihatannya kaum Naziri Ismailiyah memercayai al-Tusi ketika dia mengatakan, sewaktu Mongol menyerang benteng mereka (1255-1256), bahwa saat ini adalah waktunya untuk menyerah. Al-Tusi kemudian menjadi astrolog dan penasihat Hulagu. Dia mendukung ekspedisi Hulagu melawan Baghdad,” tulis Antony Black dalam Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi hingga Masa Kini. Setelah mendengarkan pendapat dari seluruh penasihat Hulagu, al-Tusi mengatakan “perhitungan-perhitungan itu (Husim al-Din) salah semua. Tak akan terjadi apa-apa jika Anda menyerang Baghdad.” Kalimat tersebut, menurut Baez, menjadi penentu bagi Hulagu menyerang Baghdad. Dia segera memerintahkan pasukannya menyeberang Sungai Tigris. Setelah menghancurkan desa-desa di pinggir Baghdad, pasukan Mongol mengepung kota itu pada 15 November 1257. Sang Khalifah balik menyerang di Bashira. Dalam empat jam pertempuran, 12.000 tentara tewas. Pada 4 Februari 1258, Hulagu menerima kabar bahwa pasukannya telah memasuki Baghdad. Pertempuran sengit terjadi di dalam kota selama sepekan. Khalifah Al-Mustasim menyerah, namun pertumpahan darah terus terjadi. Lebih dari 500.000 mayat bergelimpangan di jalanan. Hulagu menangkap Sang Khalifah dan membawanya masuk Istana Rihainiyyin. Dalam istana, seluruh anggota kerajaan –kecuali satu putra dikirim kembali ke penjara– dihabisi tanpa ampun. “Tubuh Sang Khalifah dibungkus dengan karpet dan dipukuli sampai mati karena telah dinubuatkan apabila darah Sang Khalifah menetes ke tanah, bangsa Mongol bakal sengsara,” tulis Baez. Pasukan Mongol kemudian membawa naskah-naskah di perpustakaan ke muara Sungai Tigris dan dilempar ke sungai agar tintanya bercampur dengan darah. “Inilah penghancuran yang direncanakan matang dengan maksud menghancurkan kebanggaan intelektual rakyat Baghdad,” tulis Baez. Pada masa itu, Baghdad memiliki sekolah-sekolah terpenting di bidang hukum, matematika, dan sastra. Baghdad memiliki kekayaan bibliografis yang tak terperikan. “Khalifah Abassiyah, Abu Ahmad Abdullah ibn al-Mustasim, dikenal sebagai Al-Mustasim Billah, membawa buku-buku itu dari seluruh penjuru Persia,” tulis Baez. Keturunan Genghis Khan lainnya, Timurleng, menyerang Baghdad pada 1393 dan meluluhlantakkan apapun yang dia temukan. Tentaranya bergerak ke Suriah dan menghancurkan setiap buku yang dimiliki lawan mereka. Setelah penaklukan Baghdad, menurut Antony, al-Tusi diangkat sebagai wazir (menteri) dan pengawas lembaga-lembaga agama untuk Hulagu dan penerusnya. Hulagu mempunyai sebuah observatorium yang dibangun untuk al-Tusi yang memungkinkannya menyusun tabel-tabel astronomi baru. Dia menulis banyak karya, di antaranya Peraturan dan Kebiasaan Raja-raja Kuno (mungkin dipersembahkan untuk seorang raja Mongol), yang berisi nasihat-nasihat tentang keuangan negara.

  • Menengok Remaja Lewat Film Sezaman

    DENGAN baju seragam tak dimasukkan ke celana, Dilan (Iqbaal Ramadhan) masuk ke kelas Milea (Vanesha Prescilla) saat jam pelajaran. Dia memberi Milea bungkusan plastik sebagai kado ulang tahun. Saat dibuka Milea di rumah, bungkusan itu berisi buku Teka-Teki Silang (TTS) yang sudah diisi. Aneh! Tapi Milea tertawa terbahak ketika membaca surat Dilan yang mengatakan bahwa dia tak ingin Milea pusing mengisi TTS itu, maka Dilan melakukannya. Itulah cuplikan film Dilan 1990 yang rilis 25 Januari 2018. Diangkat dari novel Pidi Baiq dengan judul sama, Dilan 1990 menambah deretan film bertema remaja yang diangkat dari novel. Seperti Ali Topan Anak Jalanan (1977), Gita Cinta dari SMA (1979), dan Lupus, Tangkaplah Daku Kau Kujitak (1986), Dilan 1990 juga menjadi gambaran kehidupan remaja di eranya. Ratna Noviani dalam artikel “Konsep Diri Remaja dalam Film Indonesia”, termuat di Jurnal Kawistara April 2011, menulis bahwa film remaja menggambarkan konsep remaja ideal yang berubah dari masa ke masa. Di tahun1970-an, remaja ideal digambarkan lewat sosok Galih (Rano Karno) dalam Gita Cinta dari SMA. Galih remaja pintar, anak basket, dan terampil berkesenian mulai dari main gitar, mencipta lagu, sampai membuat puisi. Gambaran itu kebalikan dari sosok macam Ali Topan (Junaedi Salat). Meski pintar, Topan menjadi gambaran remaja nakal lantaran suka merokok, berkelahi, dan anak motor. Kepintarannya tak mampu membuat publik mencapnya positif. Tapi stigma Topan belum tentu miring bila dia hadir pada 1980-an, saat konsep remaja ideal berubah jadi lebih santai. Ikon remaja ideal 1980-an, Lupus (Ryan Hidayat), merupakan sosok nakal dan jahil. Tapi karena cerdas dan berprestasi dengan bekerja sambilan sebagai wartawan majalah remaja Hai, Lupus bisa diterima masyarakat. Dilan pun sama. Meski anak motor seperti Topan, Dilan lebih diterima oleh lingkungannya karena zaman tempatnya tumbuh sudah lebih permisif. Tak heran bila penerimaan orangtua cewek gebetan Topan dan Dilan terhadap kedua tokoh itu berbeda. Saat menghadiri ulangtahun Anna (Yati Octavia), Topan langsung diusir ibunya Anna sedangkan Dilan diterima dengan hangat oleh ibunya Milea. Status sama, nasib beda. Adanya perubahan dalam menanggapi perilaku remaja terlihat jelas dari ketiga film. Dilan, Topan, dan Lupus mendapat respon berbeda ketika melawan guru mereka. Topan langsung dipanggil kepala sekolah lalu diskors selama sebulan akibat melawan. Topan hanya bisa pasrah menerima hukuman itu. Sementara, Lupus hanya mendapat nasehat halus dari kepala sekolah setelah tertangkap basah berusaha kabur dari razia rambut gondrong di sekolah. Namun di masa Dilan, justru guru yang lebih lunak dari murid. Amukan kasar Dilan karena kerah bajunya ditarik guru Suripto (Teuku Rifnu Wikana) justru berbalas tanggapan tenang kepala sekolah. “Berbeda dengan dekade sebelumnya, remaja pada film remaja 1980-an ditampilkan lebih aktif, enerjik, dan berani berdebat serta bernegosiasi termasuk dengan orang tua,” tulis Ratna. Sebagai film bertema remaja, ketiga film jelas menampilkan kisah asmara berikut jurus-jurus mendekati pujaan hati para tokoh utama. Namun, film-film sebelum Dilan 1990 lebih realistis. Lupus, misalnya, batal mengapel Poppy (Nurul Arifin) lantaran lupa menanyakan alamat rumah Poppy ketika janjian dan tak punya nomor telepon rumah si gadis. Keteledoran yang membuahkan omelan Poppy itu selain menghadirkan humor, biasa terjadi pada orang yang sedang dimabuk asmara. Namun, Dilan 1990 menampilkan banyak adegan “ujug-ujug”. Dilan digambarkan selalu menelepon Milea lewat telepon umum, tapi dari mana dia mendapat nomor telepon rumah Milea tak pernah jelas. Dilan juga tahu alamat rumah Milea meski tak pernah bertanya atau diberitahu. Yang lebih tak realistis, Dilan tahu loper koran yang biasa ke rumah Milea meski tak pernah bertanya atau diberitahu. Bukankah mengerikan ketika orang lain tahu hal mendasar tanpa pernah bertanya? Ketidakcermatan dalam menangani fakta jelas terjadi pada Dilan 1990 . Saat berulangkali menelepon Milea via telepon umum, Dilan tak pernah mengantri. Dilan bahkan kerap mendapati keadaan sepi di mana hanya ada dia dan telepon umum. Padahal, di masa telepon selular belum ada itu telepon umum merupakan satu-satunya alat komunikasi jarak jauh langsung yang ada di masyarakat. Antrian mengular biasa terjadi di berbagai telepon umum. Fenomena itu bahkan sampai diabadikan Wiwiek Sumbogo lewat lagunya “Telepon Umum” (1987). Dilan 1990 juga berupaya mengemas hal mengerikan menjadi manis. Itu ditampilkan antara lain dalam dialog saat Dilan menelepon Milea. “Jangan pernah bilang ke aku ada yang menyakitimu,” kata Dilan. “He he he. Kenapa?” tanya Milea. “Nanti, besoknya orang itu akan hilang!” Kalimat rayuan Dilan itu identik dengan kalimat penguasa Orde Baru. Rezim militeristik itu selama berkuasa gemar mengedepankan intimidasi. Hal itulah yang mungkin merasuk ke alam bawah sadar Dilan. Kebetulan, dia merupakan anak seorang prajurit TNI AD. Kalau bukan hendak menampilkan sosok remaja di masa militeristik berkuasa, Dilan 1990 jangan-jangan membawa pesan bahwa remaja ideal adalah remaja seperti Dilan.

  • Aliansi Setengah Hati

    Gar Soepangat (89) selalu ingat kejadian itu. Suatu malam, ia memimpin satu seksi pasukan menyelundup ke Purwakarta. Dalam gerakan itu, selain berhasil menculik beberapa pejabat pemerintahan yang dibentuk Belanda, pasukannya pun berhasil menempelkan ratusan selebaran anti Belanda dan memasang bendera kecil merah putih di beberapa sudut kota. “Besoknya dari radio, kami mengetahui Belanda sangat marah dengan aksi kami itu hingga mereka mendatangkan pasukan yang lebih kuat dari Jakarta,” kenang eks anggota gerilyawan Satoean Pemberontak 88 itu. Sejak Juli 1948, situasi kemananan di Jawa Barat memang semakin kritis. Kendati sejak Februari 1948, Divisi Siliwangi sudah hijrah ke wilayah Republik, berbagai gangguan terhadap pemerintah sipil bentukan Belanda nyatanya semakin menggila. Alih-alih mengendalikan situasi, polisi dan tentara Belanda malah tersudut di pos masing-masing. Inisiatif penyerangan berpindah ke tangan kaum gerilyawan. Kondisi tersebut menyebabkan Panglima Tertinggi Tentara Belanda di Indonesia Letnan Jenderal S.H. Spoor mencopot Mayor Jenderal Durst Britt dari jabatannya sebagai Komandan Divisi 7 December (Divisi C) dan menggantikannya dengan Mayor Jenderal (KNIL) E. Engles “Mayor Jenderal Engles menemukan kenyataan pahit Jawa Barat merupakan ‘het centrum van de guerilla-activiteit in de Archipel’ (pusat kegiatan gerilya di Nusantara),” tulis Himawan Soetanto dalam Long March Siliwangi . Namun kemajuan itu tidak serta-merta membuat para gerilyawan di Jawa Barat cepat puas. Untuk lebih mengefektifkan perlawanan, pada 17-19 November 1948, empat organ besar perlawanan di Jawa Barat yakni Satoean Pemberontak 88 (unsur Divisi Siliwangi), Barisan Banteng (unsur nasionalis), Bamboe Roentjing (murbais) dan Tentara Islam Indonesia (islamis) membentuk Pemerintah Rakjat Djawa Barat (PRDB). Mereka mengangkat Oya Soemantri untuk posisi pimpinan. “Sebagai ujung tombak perlawanan didirikan pula Divisi 17 Agustus dengan pimpinan Letnan Kolonel Muhidin Nasution dari Bamboe Roentjing,”ujar Robert B. Cribb kepada Historia. Kendati demikian, PRDB dan Divisi 17 Agustus tak pernah menemukan bentuk perlawanan yang kompak terhadap posisi Belanda. Selain ideologi, perbedaan taktik dan strategi pun menjadi masalah yang menjadikan organ-organ perjuangan tersebut tak pernah seia-sekata dalam tindakan. Misalnya, jika Bamboe Roentjing bermimpi Divisi 17 Agustus dapat menjadi kekuatan militer nyata pengganti Divisi Siliwangi yang hijrah ke kantong-kantong Republik di Jawa Tengah dan Yogyakarta, maka Barisan Banteng, Satoean Pemberontak 88 dan Tentara Islam Indonesia tidak demikian adanya. Barisan Banteng dan Satoean Pemberontak 88 memaknai perlawanan mereka hanya sebatas perjuangan awal semata. Makanya mereka tetap konsisten dengan perlawanan-perlawanan psikologis lewat sabotase, kontra-intelijen, dan agitasi-propaganda. Sementara menurut C.van Dijk dalam Darul Islam, Sebuah Pemberontakan , Tentara Islam Indonesia memiliki agenda tersendiri secara politis yakni menjadikan Jawa Barat sebagai Darul Islam (negara Islam) yang tentu saja harus terbebas dari pengaruh Republik. Pada 19 Desember 1948, Belanda melakukan agresi militernya yang ke-2. Situasi tersebut mengharuskan Divisi Siliwangi kembali ke Jawa Barat sesuai perintah kilat Panglima Besar Jenderal Soedirman. “Tentu saja SP 88 dan Barisan Banteng menyambut baik kedatangan kembali Divisi Siliwangi, sebaliknya Tentara Islam Indonesia dan Bamboe Roentjing bersikap dingin-dingin saja,” ujar Gar Soepangat . Aliansi antar organ perjuangan pun semakin rapuh. Klimaksnya terjadi awal Agustus 1949 saat pemerintah Indonesia memerintahkan seluruh kekuatan bersenjatanya melakukan gencatan senjata menyusul Perjanjian Roem-Royen. “Tentara Islam Indonesia dan Bamboe Roentjing menolak keras perintah itu karena ketidakyakinan akan niat baik politik Belanda,” ujar Gar. Perbedaan sikap tersebut otomatis membuat Divisi 17 Agustus bubar. Satoean Pemberontak 88 dan Barisan Banteng menyatakan loyal terhadap perintah para petinggi Republik. Sedangkan Bamboe Roentjing dan Tentara Islam Indonesia memutuskan untuk kembali ke hutan-hutan Jawa Barat guna kembali melakukan perlawanan terhadap Belanda dan Republik Indonesia. Sejarah mencatat, perlawanan Bamboe Roentjing baru bisa berakhir pada 1954 sedangkan pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia mencapai akhir riwayatnya pada 1962.

  • Soe Hok Gie dan Para Penyusup di UI

    Aksi kartu kuning Ketua BEM Universitas Indonesia (UI), Zaadit Taqwa, menjadi perbincangan. Pasalnya, protes simbolik itu dilayangkan kepada Presiden Jokowi ketika menghadiri sidang Dies Natalis Universitas Indonesia ke-68, (2/2). Meski mendapat dukungan karena dianggap berani, tak sedikit pula yang mengecam perbuatan mahasiswa jurusan Fisika fakultas MIPA tersebut. Cercaan bahkan datang dari sesama almamater. Tersiar kabar bahwa Zadit membawa muatan kepentingan dari partai politik tertentu dalam sepak terjangnya di kampus. Cuitan dari Saifulloh Ramdani, Ketua BEM FIB UI periode 2013, misalnya. Dalam serangkaian twit- nya , Saifulloh membeberkan adanya penyusupan kader-kader PKS (Partai Keadilan Sejahtera) di kampus UI yang telah menggeliat sejak lama. Kepentingan politik tertentu yang dibawa oknum-oknum mahasiswa UI memang telah berlangsung lama. Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa UI Angkatan ’66 tak tutup mata akan masalah itu. Dalam artikelnya berjudul “Wajah mahasiswa UI yang bopeng sebelah” (dimuat dalam harian Indonesia Raya, 22 Oktober 1969) Gie membongkar prilaku tersebut. “Sebagai aktivis mahasiswa saya ‘kenyang’ dengan pengalaman ini. Di ‘republik kecil’ saya (UI), saya pernah menjadi ‘gubernur’ (ketua senat) dan saya kira saya cukup tahu betapa tidak sehatnya kehidupan kemahasiswaan di tempat saya. Di ‘republik kecil’ yang bernama Universitas Indonesia kita bisa jumpai segala macam kejorokan-kejorokan yang biasa kita temui dalam republik yang lebih besar – dalam Republik Indonesia,” ungkap Gie. Gie tak mengetahui persis ada berapa ormas yang menempatkan UI sebagai project utamanya. Istilahnya: “menggarap UI”. Namun tak dimungkiri, beberapa tokoh mahasiswa telah “dititipkan” membawakan misi organisasi. Melawan Tiran di Kampus Pada pertengahan 1968, Gie masih mengingat bagaimana pimpinan mahasiswa UI geger karena mendapatkan dokumen HMI (Himpunan Mahasiswa Islam – red ) mengenai pengambilalihan Dewan Mahasiswa UI oleh PB HMI. “Pernah soal ini dikonfrontir secara lisan, tetapi jawabannya berbelit-belit, walaupun tidak disangkal,” tulis Gie. HMI diduga kuat mempunyai kaitan erat dengan Masjumi, partai politik Islam yang dilarang pada 1960. Selain itu, pada waktu pembentukan Dewan Mahasiswa, senat-senat tak didekati dan dimintakan pendapatnya. Yang didekati adalah komisariat-komisariat ormas dari PMKRI (Perkumpulan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia), dan lainnya. Gie dan mahasiswa-mahasiswa lain yang bukan anggota ormas menyaksikan bahwa aktivis-aktivis ormas bermaksud mendominasi Dewan Mahasiswa. Pihak yang paling dirugikan adalah golongan mahasiswa independen yang berorientasi intra kampus. Kelompok ini banyak terkonsentrasi di Fakultas Sastra, Fakultas Psikologi, dan Fakultas Kedokteran Gigi. Ketiga fakultas tersebut memiliki sentimen anti ormas yang sangat kuat. Para ketua senat ketiga fakultas, pada Juni 1969 kemudian membentuk Koordinasi Kegiatan Kemahasiswaan (KKK) untuk menarik diri dari manipulasi ormas yang menjangkiti kampus. Pertemuan antara ketiga ketua senat yang membangkang itu dengan Rektor Sumantri Brodjonegoro gagal mencapai penyelesaian tentang komposisi Dewan Mahasiswa. Seminggu setelah pertemuan itu, Dewan Mahasiswa malah melarang KKK-UI berikut program kegiatannya. “Ormas-ormas sering berpretensi bahwa mereka adalah ‘pemilik’ dari UI. Soal ini amat menyakitkan hati orang yang tidak berormas,” tulis Gie dalam Indonesia Raya . Kebobrokan lain yang disoroti Gie adalah penyalahgunaan dana infrastruktur kampus. Dalam catatan hariannya, 23 Oktober 1969, Gie mengungkap korupsi di mesjid kampus yang mencapai jutaan rupiah setiap tahun. Gie mengilustrasikan, jika ada yang bilang tak ada korupsi di UI, maka ada dua kemungkinan: ia bodoh sekali sehingga tak dapat mencium bau korupsi atau apatis karena menganggapnya sebagai urusan internal UI. Dalam berbagai media massa, beberapa kali Gie mengangkat persoalan dan carut-marut yang terjadi di UI. Artikel Gie ditulis dengan kemarahan bercampur muak. Dia menyalahkan ormas-ekstra atas kebuntuan dalam masalah kemahasiswaan di UI. Khawatir kritiknya bisa menjadi batu sandungan, Gie sempat mengajukan pengunduran diri sebagai dosen muda di Fakultas Sastra. Namun pengajuan itu ditolak oleh Harsja Bachtiar, Dekan Fakultas Sastra. Secara tersirat, Harsja tak melarang Gie untuk bersuara. “Sekali-kali mereka juga harus digituin agar mereka juga giat memperbaiki situasi keuangan,” kata Harsja Bachtiar sebagaimana dikutip Gie dalam catatan hariannya tertanggal 22 Oktober 1969 yang kemudian dibukukan Catatan Seorang Demonstran . “Saya merasa hormat atas sikap Harsja yang begitu etis dan jujur,” tulis Gie. Menurut John Maxwell, Soe Hok Gie telah terlibat dalam pergolakan politik sepanjang dasawarsa 1960-an, tetapi ia merasa bahwa konflik di kampusnya sendiri adalah pengalaman yang paling menyedihkan. “Tidak hanya menentang lawan-lawannya di lembaga mahasiswa, ia juga menjadi lawan para pemimpin senior universitas,” ujar Maxwell dalam disertasinya yang dibukukan Soe Hok-Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani . “Tetapi ia merasa bahwa ia tidak mempunyai pilihan lain kecuali memancing opini publik terhadap masalah ini.”

  • Hijrah Sang Maung

    WAJAH Letnan Kolonel A.E. Kawilarang mendadak berubah kelam. Ketika pasukannya tengah asyik-asyiknya menghadapi tentara Belanda di wilayah Sukabumi dan Cianjur, tetiba datang perintah dari Markas Besar Tentara di Yogyakarta lewat Mayor Islam Salim bahwa seluruh kekuatan Brigade II Soerjakantjana yang dia pimpin harus hijrah ke Jawa Tengah dan Yogyakarta. “Seperti (mendengar) halilintar di siang hari bolong rasanya…”ungkap Kawilarang seperti dituliskan dalam biografinya yang disusun Ramadhan KH, Untuk Sang Merah Putih . Kawilarang hanya salah satu dari unsur Divisi Siliwangi yang merasa kecewa dengan hasil Perjanjian Renville. Umumnya tak ada prajurit yang paham, mengapa pemerintah menyetujui kesepakatan yang kesannya sangat merugikan pihak Republik itu . Namun, sebagai seorang tentara yang harus patuh pada disiplin, para komandan di lapangan akhirnya bisa menguasai diri. “Daripada kita capek mikirin politik pemerintah, ya sudah kita terima saja perintah itu, kita ini kan cuma bawahan…” ujar Letnan Kolonel (Purn) Eddie Soekardi, salah satu eks perwira dari Brigade IV Guntur I. Turun Gunung Awal Februari 1948, para maung (sebutan untuk para prajurit Siliwangi yang artinya harimau) mulai keluar dari hutan dan gunung di seluruh Jawa Barat. Mereka bukan saja membawa diri mereka masing-masing tetapi ada juga yang mengikutsertakan seluruh anggota keluarganya. Menurut buku Hijrah Siliwangi yang diterbitkan oleh Dinas Pembinaan Mental Angkatan Darat, jumlah keseluruhan peserta hijrah adalah 30.000 orang. Sebagai titik temu seluruh rombongan Divisi Siliwangi dari pelosok Jawa Barat, dipilihlah Cirebon. Dari kota udang tersebut, mereka berangkat ke wilayah Republik dengan menggunakan tiga cara: diangkut dengan kapal laut menuju Rembang, menggunakan kereta api hingga Yogyakarta dan berjalan kaki hingga Wonosobo atau Gombong. Selanjutnya dari kedua kota itu, rombongan menggunakan kereta api dan truk menuju Yogyakarta dan sekitarnya. Saat menuju tempat tujuan hijrah inilah, pihak Belanda dikejutkan dengan performa prajurit-prajurit Siliwangi. Kendati berpakaian compang-compang, mereka tetap menunjukan disiplin tinggi laiknya tentara profesional. Termasuk saat seluruh prajurit harus menyerahkan senjata masing-masing guna diangkut secara terpisah, sesuai kesepakatan dengan pihak pengawas dari Komisi Tiga Negara (KTN). “Berbeda dengan penggambaran yang kerap ditulis koran-koran Belanda bahwa TNI itu sejenis kumpulan perampok dan ekstrimis, mereka justru terlihat seperti pasukan yang sangat teratur dan memiliki disiplin…” ujar Piere Heyboer dalam De Politionele Acties . Dukungan Rakyat Pihak Belanda pun harus menemukan kenyataan bahwa “para gerombolan” tersebut mendapat dukungan penuh dari rakyat. Itu dibuktikan dengan sambutan antusias masyarakat sepanjang rute hijrah. Ketika memasuki Cirebon saja (yang merupakan wilayah Belanda), rakyat sudah berderet sepanjang jalan seraya tak henti-hentinya memekikkan kata “merdeka” setiap lewat barisan prajurit Siliwangi yang tengah bergerak menuju stasiun kereta api dan pelabuhan. “Untuk menghentikan histeria rakyat, tentara Belanda yang mengawal para prajurit Siliwangi itu tak jarang menembakkan senjatanya ke udara,” tulis Himawan Soetanto dalam Yogyakarta, 19 Desember 1948 . Sebaliknya, para pengawal dari pihak tentara Belanda terutama dari satuan KST (Korps Pasukan Khusus) dan Batalyon Infanteri V Andjing NICA (yang anggotanya terdiri dari orang-orang Indo Belanda dan bangsa Indonesia) kerap berprilaku provokatif. Selain mengejek dengan sebutan “rampokers”, mereka pun kerap menyanyikan lagu-lagu berbahasa Belanda yang isinya menghina kaum gerilyawan. Banyak anggota Siliwangi yang paham bahasa Belanda merasa terhina dengan provokasi tersebut, namun demi disiplin mereka terpaksa mendiamkannya. Selama perjalanan perlakuan buruk juga diterapkan oleh pihak militer Belanda. Menurut Maman Soemantri, salah satu veteran Siliwangi yang ikut hijrah, pemberian jatah makan dilakukan laiknya kepada binatang. “Mereka menyajikan makanan buat kami dalam kaleng-kaleng bekas kornet dan sardencis yang kadang sudah berkarat,” ujar eks prajurit Divisi Siliwangi dari Brigade Kian Santang tersebut. Kapal Plancius yang disediakan untuk pengangkutan pun kondisinya sangat kotor, hingga menyebabkan banyak prajurit dan anggota keluarga prajurit yang sakit. Perlakuan-perlakuan buruk itu tak jarang menimbulkan keributan kecil di antara para prajurit Siliwangi dengan prajurit Belanda. Sepuluh hari kemudian, hampir seluruh kekuatan Divisi Siliwangi telah sampai ke wilayah Republik. Di Stasiun Tugu Yogyakarta, mereka langsung disambut oleh Perdana Menteri Mohammad Hatta, Panglima Besar Jenderal Soedirman dan ribuan masyarakat Yogyakarta.

  • Menggenjot Citra Fasis Lewat Sepakbola

    SEBAGAI seorang fasis, Benito Mussolini memanfaatkan betul kesempatan saat mendapat kepercayaan dari Raja Victor Emmanuel III untuk menjabat perdana menteri. Il Duce , demikian dia menjuluki dirinya, mengubah hampir semua aspek pemerintahan dan kebijakan sesuai doktrin fasisme. Namun, Mussolini punya cara jitu menyatukan rakyat Italia di bawah panji “fascio”: lewat sepakbola. Sang diktator yang fans klub SS Lazio itu memang hobi menonton sepakbola. “Mossolini rutin menonton (laga-laga Lazio) di tribun stadion. Il Duce bahkan membangun stadion baru (Stadio Olimpico) untuk Lazio, menggantikan stadion lama, Stadio del Partito Nazionale Fascista,” tulis Franklin Foer dalam Mussolini’s Team . Bak ketiban durian runtuh, Mussolini berkesempatan mempopulerkan fasisme ke khalayak dunia lewat Piala Dunia 1934. Mussolini langsung bergerak cepat melobi petinggi FIFA. Hasilnya, Italia ditetapkan jadi tuan rumah event empat tahunan itu dalam pertemuan para petinggi FIFA di Stockholm, Swedia, 9 Oktober 1932. “Demi menyukseskan Piala Dunia 1934, pemerintah Italia mengucurkan dana 3,5 juta lira,” singkap David Goldblatt dalam The Ball is Round: A Global History of Football . Mussolini bahkan turun tangan sendiri dalam komite persiapannya. Dia pribadi yang memilih delapan lokasi penyelenggaraan: Bologna, Firenze, Genoa, Milan, Napoli, Trieste, Roma, dan Turin –tempat stadion yang menyandang nama Mussolini, Stadio Benito Mussolini, berada. Rakyat kelas pekerja dimanjakan dengan disediakannya tiket keretaapi gratis menuju stadion. Pemerintah juga memberikan ribuan tiket dengan harga murah meriah. Campur tangan Mussolini tak hanya sampai situ, tapi juga merambah ke internal Gli Azzurri (timnas Italia). “Dia ikut berbicara dengan pelatih timnas Victorio Pozzo untuk memastikan Italia menurunkan tim terbaik,” tulis Fernando Fiore di buku The World Cup: The Ultimate Guide to the Greatest Sports Spectacle in the World. Berbekal keleluasaan memanfaatkan “diaspora” berlandaskan kebijakan dwi-kewarganegaraan dari Mussolini, Pozzo memanggil lima pemain oriundi (orang yang lahir dan menetap di Amerika Selatan tapi berasal dari keturunan para imigran Italia). Satu diambil dari Brasil: Anfilogino Guarisi. Empat lainnya dari Argentina: Raimundo Orsi, Enrique Guaita, Luis Monti, Attilio DeMaria. Dua nama terakhir ikut memperkuat timnas Argentina di Piala Dunia 1930. Pozzo “memanggil paksa” kelima oriundi tersebut dan menyamakan tugas membela timnas Italia selayaknya wajib militer. “Jika mereka rela mati untuk Italia, maka mereka bisa bermain sepakbola untuk Italia,” cetus Pozzo dikutip Clemente Angelo Lisi dalam A History of World Cup: 1930-2010. Agenda besar Mussolini berjalan mulus. Polesan doktrin fasisme lewat sepakbolanya ikut menentukan keberhasilan Italia merebut Piala Dunia 1934. Di final, Italia menang 2-1 atas Cekoslovakia. Namun, kontroversi menyelimuti partai final. Mussolini dituding meramu match-fixing demi kemenangan Italia. Sehari sebelum final, Mussolini mengundang Ivan Eklind, wasit asal Swedia yang ditunjuk memimpin laga final, untuk makan malam. “Eklind diduga sudah disuap dan kemudian memang terbukti bahwa dia dan Mussolini, makan malam bersama di malam sebelum final untuk membicarakan taktik dalam tanda kutip,” sebut Kevin E. Simpson dalam Soccer under Swastika .

  • Dari Lapangan Kembali ke Lapangan

    BETAPAPUN jauhnya melangkah hingga ke dunia perbankan dan hiburan, Muthia Datau tetap kembali ke lapangan. Namun bukan lagi sebagai pemain, tapi sebagai pegiat sepakbola putri. Muthia memulai karier sepakbolanya di usia belasan tahun bersama tim Buana Putri Jakarta. Perkembangannya yang pesat menjadikannya pilar inti di bawah mistar tim nasional PSSI putri sejak 1977. Kariernya berhenti setelah dia gantung sarung tangan di Buana Putri pada 1985. Seperti lazimnya pesepakbola putri, Muthia pensiun dari sepakbola lantaran menikah. Perempuan cantik itu dipinang Herman Felani, aktor yang beradu akting dengan Muthia antara lain di film Malu-Malu Kucing (1980), Sirkuit Kemelut (1980), dan Intan Mendulang Cinta (1981). Kebintangan di lapangan membuat Muthia bisa terjun ke dunia hiburan, mulai dari model foto majalah hingga bintang iklan. Bekal itu kemudian membukakan jalan bagi masuknya tawaran main film. Muthia langsung menyambarnya. Pendapatan di dunia hiburan jauh lebih menjanjikan daripada di sepakbola. “Kalau dibilang upah (dalam sepakbola), ya mohon maaf ya, kita enggak ada. Begitu juga dengan gaji (tidak ada). Karena kita itu di sepakbola memang karena hobi. Bisa jalan-jalan ke luar negeri saja kita sudah senang. Uang saku juga saya lupa, pernah dapat atau tidak. Paling hanya ongkos saja, saya juga lupa berapanya,” tutur Muthia kepada Historia. Namun di dunia layar lebar, ibu tiga anak itu tak bertahan hingga tahun 1990-an. Muthia terakhir tampil di layar lebar tahun 1983 lewat film perjuangan Tapak-Tapak Kaki Wolter Monginsidi . Muthia justru banting setir ke dunia perbankan. “Sempat jadi ibu rumah tangga. Kemudian kerja di Bank Duta 10 tahun. Terus, di Bank Nusa juga kira-kira 10 tahun. Saya berhenti setelah kedua bank itu merger,” lanjutnya. Memasuki tahun 2000, Muthia mulai gandrung olahraga kebugaran yoga. Yoga merupakan resep perempuan berusia 58 tahun itu bisa tetap fit dan segar sampai zaman now hingga bisa terus menyelesaikan beragam kesibukan dari segudang aktivitasnya. “Saya yoga sudah dari tahun 2000. Tubuh kita ini kan semakin tua akan semakin bungkuk. Tapi yang saya rasakan dengan yoga, saya semakin sehat, tulang saya masih kuat, pernapasan saya bagus, tulang belakang saya tetap sehat,” imbuhnya . Setelah mengambil program instruktur, tahun 2013 Muthia mendirikan sanggar bernama “Yoga by Muthia Datau” di Jalan Warung Jati Barat (Warung Buncit), Jakarta Selatan. Kini, selain disibukkan jadwal syuting, Muthia “kembali” ke lapangan dengan menjadi anggota kepengurusan Asosiasi Sepakbola Wanita Indonesia (ASWI). Organisasi yang terbentuk 8 Desember 2017 itu diketuai Papat Yunisal . “Saya sekarang duduk di Komite ASWI. Saya di bidang (Komite) Bisnis, di bawah bu Papat. Sepakbola wanita sekarang digalakkan lagi, ini karena kita tuan rumah Asian Games (2018). Mau enggak mau kita harus ikut. Kita lihat saja nanti. Kita sendiri enggak ada target muluk-muluk. Jangan sampai ada beban, berikan saja yang terbaik,” tandas Muthia.

  • Lika-liku Perjuangan Hak Pilih Perempuan

    KENDATI diskriminasi terhadap perempuan di ranah domestik maupun publik masih terjadi hingga detik ini, perempuan Indonesia tak lagi direpotkan oleh perjuangan hak pilih. Di masa lalu, hak politik personal sebagai warganegara itu merupakan impian. Perjalanan perjuangan hak pilih perempuan dimotori organisasi-organisasi perempuan Indonesia pada 1930-an. Di tahun-tahun sebelumnya, sedikit sekali catatan tentang perjuangan mereka. “Ada beberapa alasan atas kelambanan dalam menyadari isu hak pilih. Organisasi konservatif, biasanya berdasar agama, meyakini bahwa perempuan tidak siap untuk berperan dalam urusan politik dan tidak pernah didorong untuk melakukannya. Selain itu, politik selalu diartikan sebagai dunia laki-laki,” tulis Susan Blackburn dalam Women and the State in Modern Indonesia. Hal itu membuat perempuan Belanda di Hindia-Belanda lebih cepat memperjuangkan secara terorganisir hak pilih ketimbang perempuan Indonesia. Pada 1908, mereka mendirikan cabang Asosiasi Hak Pilih Perempuan (Vereeniging voor Vrouwenkiesrecht, VVV) di Hindia Belanda. Ketika Dewan Rakyat (Volksraad) didirikan tahun 1918, VVV langsung merespons dengan mengajukan usul soal hak pilih aktif perempuan. Mereka juga mendesak gubernur jenderal memberi kesempatan pada perempuan ikut pemilihan dewan kota. Di Dewan Rakyat, baik anggota yang orang Belanda maupun Indonesia sebetulnya sepakat Dewan Rakyat boleh diisi perempuan. Cora Vreede de Stuers dalam Sejarah Perempuan Indonesia mencatat beberapa dukungan dari laki-laki Indonesia pada rapat Dewan Rakyat tanggal 5 Juli 1919. AL Wawo Runtu, bupati Sonder di Minahasa, mendukung hak-hak perempuan untuk hadir menyuarakan pendapat baik di Dewan Rakyat maupun jenjang di bawahnya. Kedudukan perempuan Jawa pun dibela oleh Tjipto Mangunkusumo dan Achmad Djajadiningrat. Dukungan para lelaki terhadap kedudukan perempuan di Dewan Rakyat terjadi lantaran belum adanya perempuan yang bisa masuk ke Dewan Rakyat dan minimnya perempuan Indonesia yang tertarik dengan ide hak pilih. Pandangan itu sejalan dengan pandangan Menteri Kolonial Belanda Plyte. Dia mendukung hadirnya perempuan di Dewan Rakyat karena tak ada alasan kuat untuk melarang kehadiran perempuan di Dewan Rakyat. Bermula di Tahun 1930-an Dari penelusuran Historia , pembahasan tentang hak pilih pertamakali muncul di Kongres Perikatan Perempuan Istri Indonesia (PPII) I yang dilaksanakan di Surabaya, 13-18 Desember 1930. Hasil kongres menyepakati dibentuknya Badan Perantara (BP). Selain menjadi perantara pengurus PPII dengan organisasi anggota, BP bertugas mempelajari hak pilih. Namun, kongres-kongres berikutnya tak lagi membahas hak pilih perempuan. Kongres Perempuan lebih menitikberatkan perjuangannya dalam masalah pendidikan, perburuhan, dan perkawinan. Suara perempuan tentang hak pilih kembali terdengar pada 1935 ketika pemerintah kolonial menunjuk Cornelia Hendrika Razoux Schultz-Metzer, seorang perempuan Belanda, sebagai anggota Dewan Rakyat. Penunjukan itu melukai hati aktivis perempuan Indonesia lantaran usulan mereka menghadirkan wakil perempuan Indonesia di dewan itu tak digubris. Ketika pemerintah kolonial akhirnya memberikan hak pilih pasif Dewan Kota pada Februari 1938, para perempuan kembali berkumpul. Kongres Perempuan Indonesia (KPI) III di Bandung, Juli 1938 membahas tentang hak pilih aktif bagi perempuan. Aktivis VVV Rangkayo Chailan Syamsu Datu Tumenggung juga hadir di pertemuan itu untuk memberi ceramah. Hasil kongres menyepakati bahwa hak pilih harus terus diperjuangankan sekaligus mendeklarasikan perjuangan KPI di ranah politik. “Jika kita kaum perempuan cuma diberi hak dipilih maka itu suatu kepincangan. Kita boleh duduk dalam Dewan Gemeente (Kota) tapi kita tidak boleh memilih wakil kita sendiri. Artinya, seorang perempuan harus dipilih oleh kaum lelaki. Jadi, jika kita ingin mempunyai wakil di Dewan Gemeente kita harus meminta-minta pada saudara kita kaum lelaki yang punya actiefkiesrecht (hak pilih aktif),” tulis Maria Ulfah dalam “Soal Hak Pilih” yang dimuat di Isteri Indonesia No. 8, Agustus 1941. Menjelang pemilihan Dewan Kota tahun 1939 para perempuan tak patah arang untuk mengusulkan wakil mereka di Dewan Rakyat. Mereka mengajukan wakil dari perempuan Indonesia yang dirasa layak menjadi anggota Dewan Rakyat: Rangkayo Chailan Syamsu Datu Tumenggung dan Maria Ulfah. Lagi-lagi, suara para perempuan Indonesia tak diacuhkan. Cornelia terpilih lagi. Sebagai wujud protes, mereka merencanakan demonstrasi, namun dilarang pemerintah. Empat puluh lima organisasi perempuan kemudian mengadakan pertemuan umum memprotes ketidakpedulian pemerintah. Tuntutan perempuan Indonesia akan hak pilih secara menyeluruh kembali dibahas pada KPI IV di Semarang, Juli 1941. Hasil kongres kemudian dikirim melalui telegram pada anggota Dewan Rakyat. Soeroso, anggota Dewan Rakyat, membacakan tuntutan para perempuan di sidang Dewan Rakyat tangal 4 September 1941. Sidang berlangsung cukup alot lantaran beberapa anggota Dewan Rakyat, T de Raadt, Soeangkoepon, dan Loa Sek Hie, menolak tuntutan itu. Pemerintah Kolonial menanggapi tuntutan dari KPI pada sidang kedua, 9 September 1941. Mr. Van Hasselt sebagai perwakilan dari Pemerintah Kolonial menyatakan belum saatnya memberi hak pilih pada perempuan Indonesia dan perempuan bangsa asing. Akan tetapi, secara prinsip pemerintah tidak keberatan dengan hak pilih perempuan Indonesia dan bangsa asing. Pernyatan ini mengecewakan para perempuan. Perjuangan para perempuan didukung pula oleh perempuan Belanda yang duduk di Dewan Rakyat. “Apakah perempuan di sini, sama seperti di negara beradab lain, memiliki hak untuk berpartisipasi dalam menentukan hukum yang akan dibuat kemudian dipatuhi? Tidak? Lalu, harusnya perempuan Belanda juga tidak bisa. Ya kan? Lalu, itu (hak pilih) seharusnya berlaku untuk semua perempuan yang punya bekal pendidikan,” kata Neuyen Hakker, anggota Dewan Rakyat yang aktif di VVV. Atas desakan dari berbagai pihak, pemerintah akhirnya memberikan hak pilih untuk perempuan Indonesia.Tanggal 20 September 1941 keluar keputusan pemerintah tentang hak memilih secara penuh untuk Dewan Kota. Tapi karena hak pilih ini menyasar perempuan berpendidikan, hanya mereka yang mendaftarkan diri yang bisa ikut memilih anggota Dewan Kota. Meski demikian, hak itu tidak bisa dilaksanakan. Pemerintah kolonial tidak pernah menyelenggarakan pemilihan lagi karena Jepang keburu menduduki Indonesia. Tapi setelah Indonesia merdeka, perempuan langsung memiliki hak pilih yang sama seperti laki-laki walaupun angka partisipasinya masih sangat minim.

bottom of page