Hasil pencarian
9584 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Agen CIA Pertama di Indonesia
PADA suatu malam di awal tahun 1950, Rosihan Anwar, pemimpin redaksi harian Pedoman , bertamu ke rumah seorang Amerika Serikat. Orangnya sudah agak berumur, badannya gempal, kepalanya dicukur licin, murah senyum, dan suka tertawa. Dia tinggal sendirian di rumah besar yang agak ke dalam, di pinggir jalan raya Bogor menuju Jakarta. Dia bolak-balik Bogor-Jakarta karena pekerjaannya sebagai atase di Kedutaan Besar Amerika Serikat.
- Gundala Bukan Jagoan
Jagat Sinema Bumilangit telah merilis film pertamanya: Gundala (2019). Film arahan Joko Anwar ini bisa ditonton di bioskop tanah air mulai 28 Agustus 2019. Jagoan karya komikus Harya Suraminata atau Hasmi yang ditunggu-tunggu itu akhirnya datang juga. Tapi, ia malah membantahnya. “Aku bukan jagoan,” kata Sancaka. Dia menolak membantu para aktivis pasar melawan preman pasar. Lalu seseorang tiba-tiba memukul Sancaka dengan balok kayu dari belakang, berniat menjajal kekuatan Sancaka. Benar saja, seketika dia pingsan. Sancaka memang manusia biasa. Para aktivis pasar mengira Sancaka memiliki kekuatan super. Dia pernah sekali mengeluarkan petir dari tangannya ketika dikeroyok 30 preman. Namun ternyata itu tidak disengaja Sancaka. Lalu siapa Gundala jika bukan jagoan? Tara Basro memerankan Wulan, aktivis pasar sekaligus teman Sancaka. (Fernando Randy/Historia). Memanusiakan Jagoan Selain karena Sancaka adalah manusia biasa secara fisik, dia juga manusia biasa secara mental. Dia lahir dari kelas sosial paling bawah, seorang anak buruh. Dia lalu tumbuh menjadi anak jalanan dan bertahan hidup di kota yang keras. Kebutuhan untuk bertahan hidup membuatnya menjadi individualis. Sancaka selalu berusaha untuk tidak peduli pada hal sekitar. Dia tak mau terlibat urusan orang lain. Dia layaknya orang biasa yang tinggal di rumah susun dan harus sibuk kerja untuk makan. Meski akhirnya kondisi sosial yang semakin buruk dan menyebabkan berbagai kekacauan membuka kepeduliannya, Sancaka tetap mengalami proses hidup seperti kebanyakan orang. "Kita mementingkan diri sendiri. Yang orang kaya, mereka merasa bisa melanggar hukum karena mereka bisa lepas dari itu (karena) punya uang. Yang di bawah juga seperti itu, mereka melanggar hukum karena mereka mencari uang," kata Joko Anwar, di sela premier Gundala . Ketika telah menjadi Gundala, Sancaka ditanya, “kamu siapa?” “Rakyat,” jawab Gundala. Gala premier film Gundala (2019). (Fernando Randy/Historia). Terlepas dari apakah membawa nama ‘rakyat’ terlalu berlebihan, dia terlihat hanya berusaha untuk tidak di-jagoan-kan. Seperti hendak mengatakan "tak perlu jadi jagoan untuk berbuat baik". Sesederhana itu. "Gundala kan kita semua. Banyak dari kita yang tidak peduli ketidakadilan. Orang di- abuse , dilecehkan di depan kita, kita diam saja. Banyak banget di Indonesia. Sama seperti Sancaka di awalnya," kata Joko Anwar. Joko Anwar juga memasukan drama dan humor yang pas di beberapa adegan. Kadang lugu, kadang lucu, bahkan kadang Sancaka terlihat cupu. Ini membuat Sancaka sangat manusiawi. Selaras dengan itu, tokoh-tokoh di Gundala lainnya juga tidak digambarkan "hitam putih". Pengkor misalnya, sebagai musuh Gundala, bukan berarti dia jahat secara murni. Ada latar belakang kenapa dia menjadi jahat serta ada bagian di mana dia bukanlah orang jahat. Tokoh Pengkor hendak mengatakan bahwa seseorang tidak pernah menjadi jahat sejak orok. Bahkan dia mengajak penonton mempertanyakan ulang mana yang baik dan mana yang buruk. Bront Palarae memerankan Pengkor, musuh Gundala. (Fernando Randy/Historia). Disambar Petir Bicara soal kekuatan Gundala, hubungan Sancaka dengan petir bermula sejak kecil. Sancaka kecil, sangat takut dengan petir. Setiap hujan turun dan petir mulai berkilatan, Sancaka langsung bersembunyi. Ternyata, dia trauma karena pernah disambar petir. Hingga dewasa, petir terus mengikuti Sancaka. Jika dia ada di luar ketika hujan, sudah pasti disambar petir. Untuk mencari tahu persoalan petir itu, dia harus membaca buku. Dia juga belajar bagaimana alam bekerja. Tentu saja, Joko Anwar tidak akan memberi kuliah ilmu fisika di film ini. Tapi dia membuat munculnya kekuatan petir serta keterkaitannya dengan desain kostum Gundala menjadi masuk akal. Komik superhero seringkali dianggap murni fiksi alias tidak ilmiah. Dalam versi komik sendiri, episode Gundala Putra Petir (1969) yang menceritakan awal mula Gundala, Gundala mendapat kekuatannya dari Kaisar Kronz dari Kerajaan Petir. Namun, tidak sepenuhnya cerita dibuat asal-asalan. Anton Kurnia dalam "Komik Superhero Indonesia: Gundala dan Telur Columbus", di harian Sinar Harapan , 2003, mencontohkan komik Gundala episode Dr. Jaka dan Ki Wilawuk yang menurutnya memiliki dasar gagasan yang kuat. Hasmi, menurut Anton, memiliki wawasan dan menggunakan riset untuk membuat episode itu. ”Seperti sekilas terbaca dari Dr. Jaka dan Ki Wilawuk , komik kita ternyata bisa cerdas, intelek, imajinatif dan oleh karenanya memperkaya para pembacanya. Ia membuktikan bahwa tuduhan sebagian orang bahwa komik kita cenderung dangkal, abai terhadap riset dan referensi, tidak mendidik dan membodohkan, ternyata tak sepenuhnya benar,” ungkap Anton. Sedangkan soal wujud petir yang dibuat dengan Computer-generated imagery (CGI) dalam film ini sendiri sudah cukup memuaskan. Nampaknya kurang tepat bila hendak membandingkannya dengan garapan Marvel Studios misalnya. Hanah Al Rasyid memerankan Cantika, salah satu anak buah Pengkor. (Fernando Randy/Historia). Menjawab Zaman Joko Anwar memang hanya meminjam tokoh Gundala. Dia tidak serta merta meniru cerita komik Gundala karya Hasmi yang dibuat sejak 1969 tersebut. Sebagian besar cerita dibuat menyesuaikan konteks Indonesia hari ini. “Kita membuat karakter ini relevan dengan Indonesia sekarang. Concern Indonesia sekarang itu apa? Jadi harus dimasukan. Kalau kita punya tokoh Gundala yang besar banget , orang semua kenal dan kalau kita tidak menggunakannya untuk menyuarakan apa yang tejadi di Indonesia kan sayang banget ,” kata Joko Anwar. Sejak awal Joko Anwar berusaha menyentuh persoalan buruh yang menjadi latar belakang masa kecil Sancaka. Dia kemudian juga menarasikan kehidupan kaum miskin kota serta relasi rakyat, penguasa, dan mafia. “Pak Hasmi dan bapak-bapak yang dulu bikin komik, bikin tokoh-tokoh jagoan ini, mereka ingin bersuara, saya yakin. Cuma zaman dulu kan tidak bebas seperti sekarang. Jadi mereka pakai satir, sindiran, komedi. Di masa kini, kita punya kesempatan bersuara lebih bebas kalau nggak kita suarakan, kita mengkhianati kebebasan itu,” kata Joko Anwar. Joko Anwar, sutradara Gundala (2019). (Fernando Randy/Historia). Abimana Aryasatya, pemeran Gundala, mengaku tidak terlalu sulit menjadi Gundala yang hidup dalam kondisi sosial tersebut. “Emang kamu pikir saya nggak pernah jadi buruh? Hahaha. Tapi nggak mungkin diceritain panjang. Saya (pernah) hidup di level sosial ekonomi yang sama dengan Sancaka. Jadi nggak perlu research terlalu berat,” katanya kepada Historia . Abimana mengaku pernah tinggal di rumah susun yang menjadi rumah Sancaka dalam film. “Rumah susun yang dipakai syuting, saya pernah tinggal di situ. Jadi research -nya juga lebih gampang kan . Jadi nggak perlu gua harus tinggal di sana, gua tinggal recall memori saja,” ungkapnya. Sepanjang 119 menit, penonton disuguhi cerita panjang Gundala dengan berbagai karakter pendukungnya. Beberapa karakter memang hanya mendapat sedikit porsi. Adegan kekerasan yang cukup menggigit nampaknya tidak ramah anak. Sebagai pembuka sekaligus pengantar ke Jagat Sinema Bumilangit selanjutnya, Gundala terbilang epik.
- Komandan Kerjai Bawahan
Kopassus merupakan pasukan elite kebanggaan Angkatan Darat dan juga Indonesia. Panglima TT III Siliwangi Kolonel A.E. Kawilarang membentuknya untuk mendapatkan pasukan dengan mobilitas tinggi yang terdiri dari prajurit-prajurit andal, terutama dalam pergerakan senyap. Di antara panglima-panglima pasukan yang pernah bernama Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) itu adalah Kolonel Mung Parahadimulyo (1958-1964). Kendati namanya kurang populer, terlebih saat ini, Mung dikenal oleh generasi pejuang angkatan 45 atau generasi setelahnya sebagai tentara tulen yang tegas dan jujur. Mendiang Soehari Sargo, pejuang angkatan 45 yang kemudian menjadi pengamat otomotif terkemuka, ingat betul bagaimana tegas dan jujurnya Mung. Suatu ketika, Mung dikirimi jatah beras prajurit oleh bawahannya. Alih-alih langsung mengambilnya, Mung menimbang ulang jatah beras itu. Ternyata, jatah beras yang didapatnya kelebihan dari yang seharusnya. Dia pun menanyakan kepada bawahannya siapa yang menimbang dalam penjatahan beras itu. “Langsung ditempeleng itu yang menimbang,” kata Soehari kepada Historia.id beberapa tahun silam di rumahnya, bilangan Cinere, Depok. “Kalau saya dapat lebih banyak berarti kan ada jatah lain yang dikurangi. Orang itu pasti dapat lebih sedikit. Ulangi semuanya!” kata Mung memberi perintah sebagaimana ditirukan Soehari. Ketegasan dan kejujuran Mung itu juga dikenang betul oleh Kolonel Penerbang (Purn.) Pramono Adam. “Kalau Pak Mung itu prajurit betul. Hebat banget. Tentaranya, Kopassus sendiri udah keder,” ujar lelaki yang akrab disapa Pram itu kepada Historia.id. Pram mengenal Mung ketika di-BKO-kan ke Kodam Mulawarman semasa Konfrontasi (1963-1965). Sejak awal 1965, Kodam itu dipimpin Mung. Pram kerap diminta Mung mengantarkan inspeksi ke perbatasan menggunakan helikopter. Suatu hari, Pram melihat Mung memarahi anak buahnya yang kedapatan naik sepeda motor. “Siapa yang nyuruh kamu naik motor? Kamu beli dari mana? Pulang!” kata Pram menirukan Mung memarahi prajurit Baret Merah itu. Pram sendiri pernah kena semprot Mung. Ceritanya berawal dari ketika dia bersama Suwoto Sukendar (KSAU 1969-1973) dan beberapa prajurit lain jajan rujak karena lapar. Tak lama setelah itu, kata Pram, “Pak Mung datang. ‘Ngapain kamu makan, boros-borosin aja,” sambung Pram menirukan Mung. Namun, seingat Pram, Mung tak hanya mengajarkan kedisiplinan lewat bentakan. Pernah suatu ketika Mung mengajarkan kedisiplinan lewat kejahilan. Peristiwa itu terjadi saat Mung hendak pulang dari perbatasan ke Tarakan dengan menumpang helikopter Mi-6 yang dipiloti Pram. “Udah siap satu jejeran (pasukan, red. ) mau kasih hormat. Lihat aku, pas di depan, Pak Mung turun terus di bawah pesawat. (Dia) terus melompat pagar di ujung sana, pergi sendiri jalan kaki ke mess. Lha ini (pasukan) yang siap mau menghormat, ‘ke mana ini (komandan)?’ Aku tahu, aku cengar-cengir sendiri,” ujar Pram sambil tertawa.
- Merekam Sejarah Musik Ilustrasi Film
FILM dan musik dua produk seni berbeda. Yang pertama menekankan bahasa gambar, sedangkan yang kedua memadukan ragam suara. Tapi keduanya bisa menyatu dalam film. Musik dalam film lazim disebut musik ilustrasi ( music score ). Kegunaannya untuk memperkuat cerita film. Nyaris sejajar dengan aspek sinematografi.
- Bidan Diciptakan Agar Angka Kematian Ibu dan Bayi Bisa Ditekan
TINGGINYA angka kematian ibu dan bayi (AKI) pada awal abad ke-19 memunculkan ide pengadaan bidan di negeri jajahan. Kala itu, bidan Eropa masih sangat terbatas. Dus , pelayanan kebidanan hanya diperuntukkan bagi orang Eropa yang ada di kota besar. Alhasil, dukun beranak jadi andalan dalam membantu persalinan orang pribumi dan indo. Bahkan, terkadang perempuan kulit putih di pelosok pun menggunakan jasa mereka. Praktik tersebut amat tidak disukai ahli medis Eropa. Mereka menganggap dukun bayi tidak hiegenis dan kurang pengetahuan. Mereka juga berpendapat, ketidaktahuan dan kenekatan dalam menangani kasus kelahiran yang sulit jadi biang kerok kematian ibu dan anak. Untuk itulah para dokter Eropa memperkenalkan profesi bidan ke negeri jajahan. Tujuan utamanya, menggusur eksistensi dukun dan menekan AKI. Dinas Layanan Medis Sipil pada 1809 mengeluarkan aturan, dokter-dokter di kota besar seperti Batavia, Surabaya, dan Semarang ditugaskan melatih perempuan pribumi dan Eropa menjadi bidan. Tugas serupa juga dibebankan pada bidan-bidan Eropa mulai 1817. Di tahun yang sama, Direktur Agrikultur, Seni, dan Ilmu Pengetahuan CGC Reinward meminta ahli kandungan yang berdinas di kota untuk mengajari dan mengawasi bidan ketika menangani kasus kelahiran sulit demi mencegah kematian ibu. Sayangnya, kata Liesbeth Heeselink dalam bukunya Healers on The Colonial Market, rencana ini dijalankan tidak sesuai harapan. Pada 1825 sekolah bidan didirikan di Batavia. Namun, ia sepi peminat. Sekolah bidan pun mengalami buka-tutup selama beberapa dekade. Getolnya upaya Belanda menghadirkan praktik kebidanan di negeri jajahan berbenturan dengan antusiasme penduduk pribumi yang amat minim. Pada 1836, pemerintah hendak mengisi posisi bidan di tingkat kota yang kosong dengan kembali membicarakan ide pelatihan bidan pribumi. Menurut Kepala layanan medis EA Fritze, mengajarkan perempuan pribumi untuk memenuhi kebutuhan bidan hingga ke luar Jawa harusnya tidak sulit. Dua tahun kemudian, beberapa perempuan pribumi berhasil di- opyak-opyak untuk masuk sekolah bidan setelah diiming-imingi pekerjaan, sekolah gratis, bahkan mendapat biaya hidup. Namun tak lama setelah program ini berjalan, Fritze lengser dari jabatan. Ia digantikan oleh P.J. Godefroy. Menurut Godefroy rencana pendidikan bidan punya tiga kendala, yakni anggaran, sulitnya mencari murid perempuan, dan ketidakpastian ibu hamil menggunakan jasa bidan. Pada 1850 pendidikan bidan bagi perempuan pribumi kembali dibuka di Batavia oleh dokter W Bosch. Dokter HB van Buuren yang menulis laporan pada 1897-1898 menyebut pelatihan yang diberikan cukup bagus. Dalam laporannya, Van Buuren menulis ada 20 gadis pribumi yang menjalani pelatihan selama dua tahun. Pengajaran yang diberikan di tahun pertama seputar membaca, menulis, dan aritmetika. Ilmu kebidanan baru diajarkan pada tahun kedua. Sayangnya, setelah dua tahun sekolah ini ditutup karena kurang peminat. Pada 1873, para ahli medis kembali menggalakkan penjaringan calon bidan. Ada 142 perempuan yang bersedia masuk sekolah bidan. Namun di tengah jalan, hanya setengahnya yang meneruskan praktik kebidanan, mayoritas bekerja di Jawa. Pada tahun berikutnya mereka kesulitan mendapat murid baru. Dalam artikel “Midwives, Missions, and Reform” dalam buku Medicine and Colonial Identity Hillary Marland menyebut, pada 1875 sekolah bidan tersebut terabaikan karena ongkos yang terlalu mahal. Kas mereka ludes untuk keperluan tunjangan yang harus disediakan. Mereka harus membayar biaya operasional sekolah, jaminan gaji cukup sebagai iming-iming agar gadis pribumi mau mendaftar, dan biaya kampanye praktik kebidanan untuk menyingkirkan dukun beranak. Ide tentang pelatihan bidan bagi gadis pribumi baru kembali mencuat tahun 1886. Program pelatihan baru dibentuk dengan model privat. Para dokter Eropa dibayar oleh pemerintah per murid. Program mulai diberlakukan pada 1891. Namun hingga 1897, tetap sepi peminat. Jumlah murid yang bisa dijaring hanya 14 orang. Sementara di Belanda, sekolah kebidanan menelurkan 60-70 bidan terlatih tiap tahunnya. Meski sepi peminat, bidan-bidan yang sudah lulus pelatihan bekerja dengan baik. Selama enam bulan Van Buuren mendampingi dua bidan pribumi membantu persalinan di Kediri. Hasilnya cukup membuatnya gembira. Per Mei-Juli 1898, ada 100 perempuan pribumi, 14 orang Tionghoa, dan tiga orang Eropa yang proses kelahirannya dibantu bidan pribumi. Angka ini meningkat jika dibandingkan tahun 1885. Dalam setahun hanya sekira 25 ibu hamil yang mempercayakan persalinannya pada bidan pribumi.
- Soeroso, Banteng Muda Musuh Belanda
BEBERAPA waktu lalu jagat media sosial sempat dihebohkan dengan perlakuan brutal sekelompok vandalis di Cianjur , Jawa Barat, yang menghancurkan tiga Tugu Penjelas Nama Jalan (TPNJ). Salah satu TPNJ itu menginformasikan riwayat seorang pejuang kemerdekaan bernama Soeroso. Siapakah dia? Dalam blog pribadinya , Ahmad Samantho menyebut Soeroso sebagai salah satu kakeknya. Menurut penulis sejarah asal Bogor itu, Soeroso memiliki nama lengkap Raden Soeroso dan merupakan putra dari Raden Soemarsono yang pernah tinggal di wilayah Cibalagung (masuk dalam wilayah Ciomas, Kota Bogor). “Ketika masih kecil, saya sering melihat lukisan pinsil Kakek Soeroso dipajang di rumah Eyang Uti (nenek Samantho) dan di rumah Mbah Buyut Soemarsono,” ungkap Samantho. Keterangan Ahmad Samantho ditegaskan oleh Sukarna (98). Kepada saya, eks pejuang kemerdekaan di Bogor itu berkisah bahwa Soeroso masih terhitung pimpinannya di BBRI (Barisan Banteng Republik Indonesia) cabang Bogor. Ketika sedang hebat-hebatnya perlawanan para pejuang Indonesia terhadap pasukan Inggris pada awal 1946, secara sukarela Soeroso bersama 10 anak buahnya hijrah ke Cianjur. “Karena saat itu konvoi tentara Inggris sering melewati Cianjur, Pak Soeroso memutuskan untuk “menunggu” mereka di sana,” ujar Sukarna. Di kota penghasil beras itu, Soeroso lantas membangun basis perlawanan. Selain melatih para pemuda setempat, dia pun terlibat aktif dalam pengadaan senjata untuk melawan musuh. Dalam sebuah dokumen berjudul “Beberapa Catatan Tentang Sejarah Perjuangan Rakyat Cianjur dalam Merebut dan Mempertahankan Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1942—1949” yang disusun oleh Tim Sejarah Dewan Harian Cabang Angkatan 1945 Kabupaten Cianjur, dikisahkan Soeroso pernah menyumbang 10 senjata bekas tentara KNIL kepada para pejuang yang beroperasi di Cipanas. Dalam buku Pertempuran Konvoy Sukabumi-Cianjur 1945-1946 , Letnan Kolonel (Purn.) Eddie Soekardi (Komandan Resimen ke-13 TRI Komandemen Jawa Barat) menyebut nama Soeroso sebagai pimpinan gerilyawan kota yang aksi-aksinya sangat impresif. Dalam suatu aksi penghadangan di pusat kota Cianjur pada Maret 1946, Soeroso dan anak buahnya berhasil mengganggu pergerakan Bataliyon 3/3 Gurkha Rifles (suatu kesatuan elit militer Inggris dari Divis ke-23 British India Army) dari Bandung ke Sukabumi. Bersama gerilyawan-gerilyawan lain dari Yon 3 Resimen III TRI, Lasykar Hizbullah dan Sabilillah, Laskar BBRI pimpinan Soeroso (lebih dikenal sebagai Pasukan Banteng Soeroso) melakukan penyerangan lewat aksi hit and run terhadap Yon 3/3 Gurkha Rifles yang diperkuat oleh tank Sherman, panser wagon, brencarrier dan truk-truk berisi pasukan. Kendati hanya menggunakan molotov cocktail ( bom sederhana yang terbuat dari botol yang diisi bensin dan disertai sumbu) dan beberapa pucuk senjata saja, mereka melakukan serangan terstruktur khas tentara Jepang dari sudut-sudut pertokoan dan lorong-lorong rumah yang berderet sepanjang pusat kota Cianjur. “Bagi para serdadu Gurkha Rifles, situasi itu cukup membingungkan. Mereka hanya bisa bertahan dan membalas serangan tersebut sekenanya dari balik kendaran-kendaraan tempur mereka,” kata Eddie Soekardi. Ketidakberdayaan salah satu satuan elit militer Inggris dalam Perang Dunia II sempat dicatat oleh sumber Inggris sendiri. Dalam The Fighting Cock: The Story of The 23rd Indian Division , Kolonel A.J.F Doulton memuji pergerakan taktis gerilyawan Indonesia yang sempat membuat para serdadu Gurkha panik dan terpukul. “Ini menjadi suatu bukti, orang-orang Indonesia mengalami kemajuan dan semakin militan…” tulis Doulton. Tetapi karena kurang lengkapnya persenjataan para pejuang Indonesia, Cianjur pada akhirnya jatuh juga ke tangan tentara Inggris. Sebagai markas, para prajurit Inggris memilih bekas gedung Pabrik Es (sekarang menjadi Gedung Gelanggang Muda Cianjur). Pasukan Banteng Soeroso sendiri kemudian menyingkir ke arah Pasar Suuk (sekarang Jalan Barisan Banteng) dan mendirikan markas di sebuah rumah yang ditinggal pemiliknya (sebuah keluarga Belanda). Zoehdi (95) masih ingat bagaimana Soeroso kerap melatih anak buahnya berbaris di sekitaran Pasar Suuk. Bunyi aba-abanya yang khas dan terdengar tegas, seolah menembus rimbunan pohon-pohon mahoni yang saat itu banyak tumbuh di sana. “Saya mengenang Pak Soeroso itu sebagai pemuda pemberani, badannya kekar dan sorot matanya tajam menantang, mirip seekor banteng muda”ungkap eks anggota milisi Angkatan Pemoeda Indonesia (disingkat API, sebuah milisi perjuangan rakyat Indonesia yang didirikan pada akhir 1945) tersebut. Keberanian Soeroso memang sangat populer di kalangan para pejuang Cianjur saat itu. Dikisahkan oleh Zoehdi, Soeroso pernah nekad mengejar sebuah pesawat tempur Inggris hanya menggunakan sepeda motor dan sebuah stengun. Akhir 1946, tentara Inggris mulai meninggalkan Indonesia. Sebagai penggantinya maka tentara Belanda mulai bermunculan dan menjadi penguasa sebenarnya. Situasi tersebut jelas membuat para pejuang Indonesia semakin menguatkan perlawanannya. Mereka tak mau Belanda menjajah lagi untuk kedua kalinya. Di Cianjur, nyaris setiap hari hidup tentara pendudukan tak pernah tenang. Selalu saja ada dari mereka yang terbunuh atau hilang diculik gerilyawan Republik. Salah satunya adalah Pasukan Banteng Soeroso. Dengan modal senjata seadanya, hampir tiap malam, mereka melakukan aksi teror terhadap asrama militer Belanda yang berada di wilayah Kampung Tangsi (sekarang menjadi Gang Pangrango) dan induk pasukan mereka yang bermarkas di Joglo (sekarang menjadi gedung Komando Distrik Militer 0608 Cianjur, Toserba Slamet, gedung Markas Corps Polisi Militer). Merasa terganggu dengan serangan-serangan Banteng Soeroso ini, maka militer Belanda kemudian melancarkan suatu operasi intelijen untuk menjebak pimpinan milisi Republik itu. Maka disebarlah telik sandi ke pinggiran kota dan pelosok desa. Setelah semua informasi terkumpul, intelijen militer Belanda lantas membuat skenario penangkapan. Singkat cerita, “diutuslah” oleh militer Belanda seseorang (yang berpura-pura sebagai pejuang) ke markas Banteng Soeroso. Dengan dalih membahas strategi perjuangan selanjutnya, sang telik sandi itu mengundang Soeroso untuk menemui sekumpulan gerilyawan kota di sebuah warung makan yang masuk dalam wilayah Satoe Doeit (sekarang Jalan Soeroso atau Ampera). Tanpa kecurigaan, Soeroso menyanggupi undangan tersebut dan datang ke Satoe Doeit, bersama dua ajudannya, Sjamsoe dan Slamet. Menurut kesaksian Sjamsoe, sekira jam 19.00 mereka tiba di warung makan itu dan langsung memesan makanan. Saat santap malam itulah, satu peleton tentara Belanda mengepung tempat tersebut. Soeroso yang sadar dirinya masuk dalam jebakan lantas melakukan perlawanan. Pertempuran tidak seimbang pun berlangsung cukup seru. “Kami bertiga bertarung habis-habisan, kami masing-masing hanya menggunakan sepucuk pistol,” kenang Sjamsoe. Sayang, saat hendak meloloskan diri ke luar warung makan, sebutir peluru menghantam tepat dada Soeroso. Dia pun terjungkal. Diikuti Slamet yang juga tertembak dan bermandikan darah. Lantas bagaimana nasibnya Sjamsoe,? Begitu terjungkal karena hantaman peluru, beberapa warga setempat langsung membawanya ke seorang dokter bernama Ojo. Kendati mengalami luka berat, Sjamsoe nyawanya masih bisa diselamatkan dan bisa melanjutkan hidupnya hingga awal tahun 2000. *
- Membantah Sriwijaya Fiktif
Sriwijaya itu kerajaan fiktif. Begitu kata Ridwan Saidi, budayawan Betawi, dalam video yang diunggah di kanal YouTube “Macan Idealis”. Menurutnya, keberadaan Kerajaan Sriwijaya selama ini adalah produk historiografi Belanda. Informasi adanya Kerajaan Sriwijaya di Sumatra disebarkanpada masa Hindia Belanda. Menurutnya, kolonialisme dalam hal ini memiliki kepentingan merusak bangsa. “Kalau mau merusak suatu bangsa, rusaklah sejarahnya. Pada generasi pertama itu historiografi Belanda semua. Kebanyakan mereka bukan berlatar sejarawan tapi berlatar arkeolog. Kebanyakan dongeng tulisannya,” ujar Ridwan Saidi. Untuk mendukung pernyataannya, Ridwan Saidi menjelaskan keterangan yang menurutnya dicatat oleh I-Tsing. Menurutnya I-Tsing adalah seorang pengelana dari Tiongkok yang diminta Kaisar Tiongkok untuk mencari di mana letak Sriwijaya, karena waktu itu kapal dagang Tiongok terpendam di laut sekitar Teluk Benggala dan Selat Malaka. “Ini pada abad ke-7. I-Tsing lalu pergi mencari. Dia meluangkan waktu 25 tahun mencari lokasi Sriwijaya. Ke Bali segala macam dia pergi,” katanya . Menurut Ridwan Saidi, dalam laporan I-Tsing yang d ia baca, sang pengelana itu dalam perjalanannya mampir di Kedah. Di sana, d ia bertanya pada masyarakat Kedah perihal letak Sriwijaya. “Orang Kedah mengatakan ke I-Tsing, ‘Sriwijaya punya kerajaan itu tak ada lah di sini, itu ada di Koromandel, pantai timur India. Itu bukan kerajaan. Itu adalah bajak laut’,” kata Ridwan Saidi. I-Tsing pun pergi ke Koromandel. Menurut Ridwan, di sana I-Tsing berjumpa dengan suku bangsa bernama Wijayaraya. Mereka pun ditanyai I-Tsing, yang kemudian mengaku kalau memang mereka telah mengganggu kapal Tiongkok. “Karena nggak mau nyetor zaman sekarang itu ditenggelemin,” kata Ridwan Saidi. Namun, bangsa Wijayaraya itu rupanya diperintah oleh suku bangsa Shapur dari Persia. I-Tsing pun pergi ke Shapur. “Total 25 tahun (perjalanan I-Tsing, red. ). Jadi waktu kembali (ke Tiongkok, red. ) kaisar yang nyuruh udah mati,” ujar Ridwan Saidi. Siapakah I-Tsing? Di luar pendapatnya yang kini menjadi viral itu, I-Tsing atau Yi Jing memang pernah singgah di Nusantara pada abad ke-7. Dia juga pernah berkunjung ke Kedah. Namun, tujuannya bukan untuk mencari bajak laut Sriwijaya, tetapi singgah sementara untuk kemudian belajar agama di Nalanda, India. I-Tsing merupakan biksu asal Tiongkok dari masa Dinasti Tang yang melakukan perjalanan ziarah ke India. Dia menuliskan perjalanannya, di antaranya Kiriman Catatan Praktik Buddha-Dharma dari Lautan Selatan (Nanhai Jigui Neifa Zhuan), Riwayat Para Mahabiksu yang Mengunjungi IndiadanNegeri-Negeri Tetangga untuk Mencari Ajaran di Masa Dinasti Tang (Da Tang Xiyu Qiufa Gaoseng Zhuan), dan Mulasarvastivada-ekasatakarman . Shinta Lee, penerjemah catatan I-Tsing dari Komunitas Sudimuja dan Jinabhumi, menjelaskan, sejak usia 18 tahun, I-Tsing sudah berangan-angan berziarah ke India, pusat pembelajaran Buddhadharma. I mpian itu baru terlaksana ketika d ia berumur 37 tahun. Pada 671, bertolak dari Guangzhou, I-Tsing berlayar selama 20 hari dan mendarat di Foshi. Di sana, dia menetap selama enam bulan dan belajar tata bahasa Sanskerta. Raja setempat membantunya mengantarkan ke Moluoyou (Melayu). Setelah tinggal selama dua bulan, I-Tsing menuju ke Jiecha (Kedah). Dari Kedah pada 671, I-Tsing mengunjungi daerah demi daerah. Dia kemudian tiba di Tamralipti, pelabuhan di pantai timur India pada 673. Secara bertahap, dia melanjutkan perjalanan ke India. “Melewati perjalanan yang penuh tantangan, akhirnya dia sampai di tempat-tempat yang dituju, tempat-tempat ziarah yang berhubungan dengan Buddha,” kata Shinta dalam diskusi di acara Borobudur Writers Cultural and Festival ke-7, tahun 2018, di Hotel Manohara, Magelang, Jawa Tengah. Selama sepuluh tahun, sejak 675-685, I-Tsing belajar dan tinggal di Nalanda. Dia mengumpulkan kitab-kitab ajaran Buddha. Pada 685, I-Tsing mulai memikirkan cara kembali ke negaranya. Setelah berlayar dari Tamralipti selama dua bulan, dia kembali singgah di Kedah. Dia tinggal di Kedah selama beberapa waktu untuk menunggu kapal dan arah angin yang mendukung. “Setelah satu bulan berlayar, d ia tiba kembali di Melayu untuk kedua kalinya, yang menurutnya sudah menjadi bagian dari Shili Foshi dan ada banyak daerah di bawah kekuasaannya,” kata Shinta. Di Shili Foshi, I-Tsing tinggal selama empat tahun (685-689). Selanjutnya,dia naik kapal, namun bukan untuk pulang. Dia hanya bermaksud menitip surat untuk meminta kertas dan tinta yang akan digunakannnya menyalin sutra. Dia juga meminta biaya mempekerjakan penyalin. Namun, I-Tsing malah terbawa kapal itu pulang ke Tiongkok. Dia hanya tinggal selama tiga bulan karena kitab yang dia bawa dari India sebanyak 500.000 sloka Tripitaka, tertinggal di Shili Foshi. Dia pun kembali ke sana. Selama lima tahun tinggal di Shili Foshi, I-Tsing bertemu biksu lainnya bernama Da Jin. Dia menitipkan sutra dan tulisannya kepada Da Jin untuk dibawa pulang ke Tiongkok. Tulisan itu di antaranya Kiriman Catatan Praktik Buddhadharma dari Lautan Selatan (Nanhai Jigui Neifa Zhuan) empat jilid, Riwayat Para Mahabiksu yang Mengunjungi India dan Negeri-Negeri Tetangga untuk Mencari Ajaran di Masa Dinasti Tang (Da Tang Xiyu Qiufa Gaoseng Zhuan) dua jilid. I-Tsing berkelana di luar negeri selama 25 tahun. Pada 695,dia kembali ke Tiongkok dan disambut kaisar perempuan, Wu Zetian. Dia membawa pulang sekira 400 teks Buddhis, 500.000 sloka, dan peta lokasi Vajrasana Buddha. Shili Foshi adalah Sriwijaya Foshi atau Shili Foshi dalam catatan I-Tsing tak lain adalah Sriwijaya. Sejarawan Slamet Muljana dalam Sriwijaya menjelaskan bukan hanya I-Tsing yang menyebutnya begitu. Pada masa Dinasti T’ang, Shili Foshi adalah sebutan bagi Sriwijaya. “Nama Shili Foshi (Che-li-fo-che), baik yang tercatat dalam Sejarah Dinasti T’ang maupun dalam karya I-Tsing adalah transkripsi dari Sriwijaya. Transkripsi demikian mudah dipahami,” tulis Slamet Muljana. Penyamaan Shili Foshi dengan Sriwijaya cocok antara lokasi I-Tsing dan lokasi penemuan prasasti sezaman yang menyebut kata Śrīvijaya, yaitu Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di dekat Palembang Berasal dari 683 dan Prasasti Kota Kapur yang ditemukan di Bangka dari 686. Sementara itu, pada 685-689 I-Tsing tengah menetap di Shili Foshi atau Sriwijaya. “Kelihatannya, ibu kota awalnya disebut Foshi, setelah kerajaan itu berkembang pesat dan meluas hingga Melayu, maka seluruh kawasan dan ibu kotanya menyandang istilah Shili Foshi,” kata Shinta. Mengenai lokasinya, I-Tsing sudah membahas dalam catatannya. Khususnya dalam buku Nanhai, dia mencatat ketika di Shili Foshi, “pada pertengahan bulan delapan dan pertengahan musim semi (bulan dua), lempeng jam tidak berbayang. Seseorang yang berdiri di tengah hari tidak berbayang. Matahari tepat di atas kepala dua kali dalam setahun.” Dari berita ini, Slamet Muljana, menyimpulkan Shili Foshi pasti terletak di garis khatulistiwa. I-Tsing juga bercerita, d ia berlayar ke utara menuju Tiongkok tanpa singgah di Foshi. Artinya, pelabuhan Melayu menjadi tempat persinggahan kapal dari Selat Malaka yang akan menuju Tiongkok sambil menunggu datangnya angin barat. Menurut Slamet Muljana, karena perjalanan I-Tsing dari Foshi ke India melalui pelabuhan Melayu, letak Foshi haruslah di sebelah tenggara pelabuhan Melayu. Tak mungkin di sebelah baratnya. Adapun Melayu letaknya di Sumatra. Menurut Bambang Budi Utomo, arkeolog senior Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, dulu nama Melayu dicatat oleh pelaut-pelaut asing untuk menyebut seluruh Pulau Sumatra. “Banyak yang belum tahu kalau Malayu itu dulu sebutan untuk Sumatra, selain sebutan Swarnadwipa atau Swarnabhumi ,” ujar Bambang dalam diskusi di acara pembukaan Festival Pamalayu di Museum Nasional, Jakarta, baru-baru ini. Dalam Prasasti Dharmasraya (Padang Roco), secara spesifik Malayu disebutkan ada di Swarnnabhumi. Prasasti ini tertulis di alas arca Amoghapasa. Arca ini menjadi hadiah dari Sri Maharajadhiraja Krtanagara Wikrama Dharmmottunggadewa di Kerajaan Singhasari kepada Sri Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmmadewa hampir delapan abad yang lalu. Sriwijaya Bukan Bajak Laut Jika Ridwan Saidi yakin kalau Sriwijaya lebih merupakan bajak laut setelah membaca catatan I-Tsing, namun biksu itu sendiri menulis hal yang berbeda tentang Sriwijaya. Dia bersaksi kalau Sriwijaya (Shili Foshi) merupakan pusat pembelajaran terkenal pada masa itu. Dalam catatan I-Tsing berjudul Mulasarvastivadaekasatakarman, biksu itu menulis Sriwijaya adalah kota yang berbenteng. Di sana terdapat ribuan biksu Buddhis yang menuntut ilmu. Mereka menganalisis dan mempelajari semua mata pelajaran persis seperti yang ada di Kerajaan Tengah (Madhyadesa, India). Pun tata cara dan upacaranya juga tak berbeda. “Jika seorang biksu dari Tiongkok ingin pergi ke India untuk mendapatkan ajaran dan melafalkan kitab asli, lebih baik dia tinggal di sini (Sriwijaya, red . ) selama satu atau dua tahun dan mempraktikkan tata cara yang benar, baru berlanjut ke India Tengah,” tulis I-Tsing. Sementara berita itu diperjelas lagi dengan penyataan dalam Prasasti Karang Brahi dan Kota Kapur, Srivijaya di sana tampil sebagai kadatuan yang menguasai daerah asal prasasti itu. “Keberhasilan!... Wahai sekalian dewata yang berkuasa, yang sedang berkumpul dan yang melindungi kadatuan Srivijaya ini…,” sebut prasasti Kota Kapur. Ninie Susanti, arkeolog Universitas Indonesia, menjelaskan dalam hal ini, Sriwijaya memang tak pernah menyebut dirinya kerajaan, tetapi kadatuan . “ Kadatuan berasal dari kata datu, artinya orang yang dituakan,” katanya. Menurut ahli epigrafi, Boechari, secara harfiah, kadatuan yang sepadan dengan karatwan (Jawa Kuno) berarti tempat datu, yaitu puri, istana, atau keraton. Sementara arkeolog dan sejarawan Prancis, George Coedes, mengartikan kadatuan sebagai wilayah yang dikuasai oleh datu atau kerajaan. Begitu pula sejarawan Jerman, Hermann Kulke, menafsirkan kadatuan sebagai tempat datu, dalam arti tempat tinggal atau keratonnya. Untuk lebih meyakinkan lagi akan keberadaan tempat bernama Sriwijaya, bisa juga membaca keterangan dalam prasasti wangsa Cola dari India. Dalam Prasasti Tanjore dari 1030, dikisahkan Rajendracola I yang naik takhta pada 1012, menyerang negeri-negeri di seberang lautan. Salah satunya bernama S rivijayam.
- Teknokrat Olahraga dalam Riwayat (Bagian II – Habis)
DALAM film Susi Susanti: Love All yang akan beredar di bioskop-bioskop Tanah Air mulai 24 Oktober 2019 nanti, aktor Lukman Sardi akan memerankan Mangombar Ferdinand Siregar, teknokrat olahraga legendaris. Lukman mengaku tertantang memerankan tokoh yang mengarsiteki prestasi monumental medali emas Susy Susanti dan Alan Budikusuma di Olimpiade Barcelona 1992 itu. Untuk menyelami karakternya, Lukman membaca biografi Siregar, Matahari Olahraga Indonesia, serta mewawancara sejumlah eks-pebulutangkis nasional. “Menarik, soal bagaimana seorang teknokrat olahraga tapi dia juga menjadi keluarga dari pemain-pemain bulutangkis ini. Apalagi sebelumnya dia sempat di PRSI (Persatuan Renang Seluruh Indonesia) tapi kemudian dia harus bisa memahami banyak hal lain dalam dunia olahraga itu sendiri. Dia sangat concern dengan olahraga,” tutur Lukman Sardi kepada Historia di sela peluncuran poster resmi Susi Susanti: Love All , 20 Agustus 2019. MF Siregar memulai kiprahnya di bidang olahraga dari mengurusi cabang akuatik. Saat pergantian rezim dari Sukarno ke Soeharto, bintangnya kian terang hingga dia menduduki jabatan sekjen di Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat. Namun, Siregar merasa ada yang kurang. Walau sudah lama turut dalam Asian Games (sejak 1951) dan Olimpiade (sejak 1952), gaung Indonesia justru belum terdengar di Asia Tenggara. Kontingen Indonesia, dipimpin Siregar, baru turut serta dalam SEA Games pada 1977 di Kuala Lumpur, Malaysia. Kendati tiada sambutan terhadap kedatangan kontingen Indonesia yang berisi 313 atlet cum ofisial, Indonesia pulang dengan gelar juara umum. Sukses itu lantas membuat negara-negara tetangga belajar ke Indonesia. Dari Indonesia pula mereka baru mengenal metode pelatnas. “Ide untuk pelatnas di luar negeri itu datang dari Pak Suprajogi dan saya. Ternyata hasilnya luar biasa. Ini merupakan pengembangan dari sistem pelatnas yang sudah kami lakukan di cabang renang pada 1961 di Bandung sebagai persiapan ke Asian Games IV (1962),” tutur Siregar dalam biografinya. Firasat Olimpiade dan Air Mata Barcelona Percaya atau tidak, Siregar pernah melontarkan dua firasat soal prestasi Indonesia di olimpiade yang terbukti benar. Kedua firasat itudiungkapkannya dua tahun sebelum datangnya medali pertama dan enam tahun sebelum Susy dan Alan membawa pulang dua emas pertama. Firasat itu, kata Siregar dalam Guru-Guru Keluhuran: Rekaman Monumental Mimpi Anak Tiga Zaman , dikeluarkannya usai dianugerahi medali emas L’Ordre Olympique. Anugerah yang diserahkan langsung oleh Wakil Ketua IOC Alexandre Siperco di Gedung KONI, Jakarta, 29 Januari 1986. “Saya anggap pemberian ini kepada rakyat Indonesia, bukan saya pribadi. Saya bertekad agar bangsa Indonesia dapat disejajarkan dengan negara maju di olahraga. Saya ingin lihat bendera Merah Putih berkibar di Olimpiade 1988 dan mendengar lagu ‘Indonesia Raya’ dikumandangkan di Olimpiade 1992,” kata Siregar, yang menjadi orang Indonesia ketiga yang menerima anugerah dari IOC setelah Sri Sultan Hamengkubuwono IX (Silver Olympic Order, 1983) dan R. Maladi (Silver Olympic Order, 1984). Firasat Siregar benar. Trio atlet panahan Nurfitriyana Saiman, Kusuma Wardhani, dan Lilies Handayani mempersembahkan medali (perak) pertama buat Indonesia di Olimpiade Seoul 1988. Saat itubendera dwiwarna dikerek ke atas meski hanya di pucuk tertinggi kedua. Sedangkan bendera Merah Putih dikibarkan di tiang tertinggi diiringi “Indonesia Raya” terjadi di Barcelona 1992. Pencapaian yang sekaligus menjawab tuntutan penguasa rezim Orde Baru. Saat itu, Siregar yang dipercaya menjadi Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi PBSI dibebani tugas berat. Presiden Soeharto memintanya memimpin misi emas mengingat prestasi bulutangkis Indonesia di berbagai kompetisi internasional tengah di puncak. Mau tak mau, Siregar mengurusi hampir semua persiapan. Mulai soal asupan nutrisi hingga mental pemain, semua jadi hal yang terus dipikirkannya. “ Dia sangat sadar akan konsekuensi dan tanggungjawab tugasnya itu. Mungkin karena beban berat di pundaknya, dia sampai serangan jantung. Sebagai pribadi, yang saya pikirkan adalah berjuang untuk opa,” kenang Susy Susanti dalam testimoninya di biografi Siregar. “Opa” merupakan panggilan Siregar yang diberikan oleh anak-anak asuhnya saking intimnya pendekatan Siregar dengan para pemainnya. Selain Susy, Alan turut merasakannya. Suatu ketika, Alan tampil buruk di Thomas Cup 1992 dan jadi biang kekalahan di final. Padahal, ajang itu dijadikan PBSI sebagai pemanasan jelang olimpiade. Alhasil, Alan dimarahi habis-habisan oleh pelatihnya, Indra Gunawan dan Rudy Hartono. “Akibat kekalahan itu saya sempat frustrasi,” kata Alan kepada Historia . Di situlah Siregar datang sebagai penyelamat. Siregar menenangkan Alan dan mengimbaunya untuk lebih keras dalam latihan selepas Thomas Cup. Alan pun manut dan dengan suntikan motivasi lain dari tunangannya, Susy, Alan pun bangkit. “Sesudah pulang saya diberi motivasi lagi setelah sempat seminggu terpuruk, stress, depresi. Setelah diberi motivasi, saya melakukan program berbeda. Biasanya yang sehari enam jam, untuk olimpiade ditambah durasinya. Benar-benar habis fisik kita di lapangan. Kalau habis latihan biasanya badan susah dibikin bangun lagi,” sambungnya. Alan berhasil menjungkirkan prediksi yang lebih banyak mengunggulkan Ardy B. Wiranata, lawan Alan, dalam final tunggal putra bulutangkis olimpiade. Indonesia akhirnya membawa pulang dua emas, dua perak, dan satu perunggu di Olimpiade Barcelona 1992. Semuanya berasal dari cabang bulutangkis. Selain Alan dan Susy, dua perak lain disumbangkan Ardy Wiranata dan pasangan Eddy Hartono/Rudy Gunawan, serta perunggu dari Hermawan Susanto. Sayangnya Siregar tak bisa melihat anak-anak asuhnya meraih itu semua dengan mata kepalanya sendiri. Ia dilarang dokter menyaksikan langsung karena kondisi jantungnya masih dalam tahap pemulihan. Pun begitu, ia tetap bisa merasakan haru Susy Susanti dan Alan yang berlinang air mata kala mendengar “Indonesia Raya” di podium utama. “Kapan lagi bendera kita bisa berkibar di podium olimpiade – tiga sekaligus lho. Belum tentu bisa ditandingi oleh negara lain,” papar Siregar. Kiprah Siregar lantas tutup buku mulai 2007 akibat kondisi kesehatannya yang kian menurun selepas menjabat anggota Dewan Kehormatan KONI Pusat. Tiga tahun berselang, 3 Oktober 2010, ia mengembuskan nafas terakhir. Sebelum tiada, ia sempat prihatin dengan anjloknya prestasi olahraga Indonesia di SEA Games 2005. Baginya, itu adalah hasil dari pembinaan olahraga yang amburadul, di mana sistemnya telah melenceng dari yang pernah ia tanamkan. Ia juga sempat mengkritik Pekan Olahraga Nasional (PON) yang tak menelurkan atlet-atlet binaan bermutu untuk dibawa ke pentas internasional. “Yang terjadi di PON adalah jual-beli atlet yang semakin marak. Semua daerah ingin menjadi juara umum tetapi tidak mau bersusah payah melakukan pembinaan,” katanya.
- KPK Melawan DI/TII
Idham Chalid dari NU membantu pemerintah melawan DI/TII dengen membentuk Kia Pembantu Keamanan.
- KPK Melawan DI/TII
SEPULANG dari Bandung menuju Jakarta, Idham Chalid, Ketua I PBNU, menginap di Puncak. Tiba-tiba gerombolan DI/TII menembakinya dari arah perbukitan. Dia tiarap di kolong ranjang. Untungnya, segera datang bantuan tentara dari Cipanas. Kontak senjata berlangsung berjam-jam. Malam menjadi bising karena desingan peluru. Mereka lari menjelang subuh dengan menderita banyak korban jiwa dan luka-luka. Di pihak tentara juga ada yang terluka. Pengalaman lain yang dialami Idham ketika naik kereta api menuju Jawa Timur. Dia ditembaki gerombolan DI/TII antara Gambir dan Pegangsaan. Beruntung peluru hanya mengenai ujung kopiah ajudannya, H. Djumaksum. “Sasaran tembakan pastilah saya, menteri yang mengurusi keamanan,” kata Idham dalam biografinya, Tanggungjawab Politik NU dalam Sejarah. Dari 24 Maret 1956 hingga 9 April 1957, Idham menjabat Wakil Perdana Menteri merangkap Kepala Badan Keamanan. Salah satu perhatian utama Kabinet Ali Sastroamidjojo II itu adalah pemulihan keamanan dari DI/TII di Jawa Barat, Jawa Tengah, Aceh, dan Sulawesi Selatan. “Tugas saya yang paling berat adalah menghadapi gerombolan yang membawa dalil-dalil agama Islam, yaitu Darul Islam Kartosuwiryo di Jawa Barat, Ibnu Hadjar di Kalimantan Selatan, Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan, dan Tengku Daud Beureueh di Aceh,” kata Idham . Menurut Idham, DI/TII merugikan Islam. Banyak umat Islam yang menjadi korban kekejaman mereka. Mungkin di Aceh tidak terjadi perbuatan seperti di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan di mana gerombolan DI/TII membakar madrasah dan masjid yang tidak sependapat dengan mereka. “NU yang dianggap sebagai pengkhianat Islam karena keluar dari Masjumi juga dianggap musuh utama DI/TII. Mereka menganggap NU membantu Republik Indonesia Kafir (RIK). Apalagi salah seorang ketuanya menjadi wakil perdana menteri yang memegang urusan keamanan. Beberapa orang pimpinan cabang NU di Jawa Barat dibakar rumahnya oleh DI/TII, bahkan ada yang ditembak mati. Suatu rapat NU pernah diserang mereka,” kata Idham. Sejarawan Cornelis van Dijk mengungkapkan bahwa pada Juli 1953 DI/TII melancarkan aksi serentak. Komandan DI/TII di Ciamis Selatan, Uchjan Effendi, memerintahkan pasukannya meningkatkan aksi untuk mengacaukan musuh. Mereka melakukan tindakan apa pun untuk membuat kekacauan. “Angkatan Kepolisian Negara Islam, misalnya, ditugaskan untuk menghukum warga yang tidak sepakat dengan Darul Islam. Uchjan juga memberikan perintah kepada masing-masing satuan Angkatan Kepolisian yang beroperasi pada tingkat kecamatan. Mereka ditugaskan untuk membunuh paling sedikit satu orang warga dan membakar paling sedikit lima bangunan yang didirikan pemerintah Republik dalam waktu dua minggu. Ancamannya, bila ada anggota yang gagal melakukan aksi ini akan dituntut secara hukum,” tulis Van Dijk dalam Darul Islam: Sebuah Pemberontakan. Dalam menghadapi DI/TII, Idham melibatkan para kiai. Dia membentuk KPK (Kiai-Kiai Pembantu Keamanan) yang diketuai KH Muslich dari Jakarta. Anggotanya ditunjuk satu orang dari masing-masing wilayah di mana terdapat DI/TII. Khusus untuk Jawa Barat sebagai daerah yang paling luas dikuasai DI/TII, KPK menunjuk dua orang wakil yaitu KH Dimyati (Ciparai) dan Moh. Marsid. Anggota KPK lainnya antara lain KH Baidowi Tafsir (Jakarta), KH Malik (Jawa Tengah), KH As’ad Syamsul Arifin (Jawa Timur), KH Ahmad Sanusi (Kalimantan), KH Zahri (Lampung), KH Jusuf Umar (Sumatra Selatan), KH Kahar Ma’ruf (Sumatra Tengah), Tengku Mohammad Ali Panglima Pulen (Aceh dan Sumatra Utara), dan KH Abdullah Joesoef (Sulawesi). “Mereka dengan sungguh-sungguh melaksanakan panggilan kewajibannya sebagai seorang Islam dan warga negara untuk berbicara dengan rakyat tentang kesadaran mematuhi ajaran agama dan hidup bernegara,” kata Idham. Mereka menghubungi para kiai di daerah masing-masing untuk menyampaikan kesadaran itu karena gangguan keamanan yang berlarut-larut merugikan negara dan rakyat. Mereka melakukan kegiatannya melalui pengajian atau kegiatan lainnya. Panglima-panglima militer di daerah gembira dengan adanya KPK. Dalam setiap peninjauan maupun operasi militer mereka selalu mengikutsertakan KPK. Di daerah yang berhasil dikuasai, sang kiai memberikan ceramah kepada rakyat. Mereka juga memberikan penyadaran kepada anggota gerombolan DI/TII yang menyerah. “Mereka sama sekali tidak diganjar dengan nilai penghasilan tertentu, tetapi hanya mendapat sekadar uang jalan dan uang saku,” kata Idham. “Jasa kiai-kiai pembantu keamanan tidak bisa saya lupakan.”*
- Teknokrat Olahraga dalam Riwayat (Bagian I)
NAMANYA tak dikenal luas. Padahal, perannya begitu besar di balik sejumlah prestasi monumental olahraga Indonesia. Maklum, Mangombar Ferdinand Siregar bukan pelatih apalagi atlet. Namun di antara para stakeholder olahraga nasional, ia salah satu teknokrat olahraga paling dihormati. Hingga kini namanya tenggelam lantaran terbilang langka media-media nasional yang mengulas. Sayup-sayup terdengar lagi namanya saat media-media ramai memberitakannya wafat, 3 Oktober 2010. Pun begitu, generasi milenial setidaknya akan “berkenalan” dengannya lewat film bertema biopik olahraga, Susi Susanti: Love All garapan sineas Sim F. Di film yang akan tayang 24 Oktober 2019 itu, sosok Siregar diperankan Lukman Sardi. Siregar merupakan sosok besar di balik sukses Susy Susanti dan Alan Budikusuma mempersembahkan dua medali emas pertama buat Indonesia di olimpiade (Barcelona, 1992). Sebelumnya sang teknokrat juga turut terlibat dalam sukses negeri di Asian Games 1962. Dalam bergulirnya zaman, ia juga tokoh di balik viralnya panji olahraga dan seruan: “Memasyarakatkan Olahraga dan Mengolahragakan Masyarakat”. Di Garis Belakang Tujuh belas hari sebelum Persija berdiri, Siregar dilahirkan di Kwitang, Jakarta pada 11 November 1928. Sebagai anak pegawai Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM), perusahaan pelayaran Belanda, Siregar kecil menikmati pendidikan bermutu di Christelijke Idenburgh School. Semasa bocah, Siregar menyenangi banyak olahraga. Sofbol, sepakbola, dan renang paling digandrunginya. Namun, kepada olahraga air itulah hati Siregar akhirnya berlabuh. Dia sering bolos sekolah Minggu hanya untuk memuaskan diri berenang bersama teman-temannya di Kanal Banjir Barat maupun di Pantai Zandvoort (kini Sampur, Cilincing). Suatu ketika, ia nyaris kena petaka di lepas pantai itu. “Saya berenang agak ke tengah. Tiba-tiba sudah terbawa gelombang. Sebetulnya sudah tenggelam. Namun saya tidak panik. Saya injak-injak tanah saja, terus kan muncul. Lalu melambaikan tangan sampai ada yang menolong,” kenang Siregar, dikutip Brigitta Isworo Laksmi dan Primastuti Handayani, dua jurnalis senior yang merangkai biografi Siregar, Matahari Olahraga Indonesia. Sebagaimana para tokoh di masanya, pendidikan Siregar sempat terganggu di masa peralihan dari kolonialis Belanda ke pemerintahan militer Jepang. Pendidikannya di Van Lith School selepas lulus dari Christelijke Idenburgh terhenti. Namun, statusnya sebagai “anak negeri” membuatnya bisa meneruskan pendidikan ke sekolah Jepang Dai Ichi/Dai Ni. Namun, ia tak bisa sering beraktivitas olahraga lantaran sebagai pelajar ia acap dikenakan kinrohoshi alias kerja bakti. Pasca-Perang Dunia II, kawan-kawannya semasa di sekolah Belanda memilih ikut NICA (Nederlands Indisch Civil Administratie), sedangkan Siregar pilih pro-republik dengan jadi sukarelawan Palang Merah Indonesia (PMI). Pun begitu, Siregar tetap berhubungan baik dan turut mengambil faedahnya. “Di usia sekitar 15 tahun saya dan banyak pemuda lain, di antaranya Chairil Anwar, bergabung dengan PMI. Kami pernah bertugas mengirim, secara ilegal, senjata dan obat-obatan ke Yogyakarta dari Jakarta dengan keretaapi. Bekerjasama dengan orang Ambon anggota NICA menyuplai senjata untuk pihak pribumi,” terang Siregar dalam Guru-Guru Keluhuran: Rekaman Monumental Mimpi Anak Tiga Zaman . Siregar dan kawan-kawannya mendapatkan suplai obat-obatan dan persenjataan itu dari teman-teman lamanya yang memilih ikut NICA, terutama para serdadu Ambon di Batalyon X NICA di Pejambon. Barang-barang selundupan itu lazimnya mereka sembunyikan di sela-sela dinding gerbong. Cara itu kerapkali sukses mengelabui pemeriksaan Belanda di Stasiun Kranji. Selain terus melanjutkan sekolahnya di SMA Adam Bachtiar, Siregar juga aktif di Ikatan Pemoeda Peladjar Indonesia (IPPI) Jakarta. Selain itu, dia aktif di Perkoempoelan Renang Tirta Kencana. Di perkumpulan renang itu selain kembali bisa menumpahkan hobi renangnya, Siregar dari rekan-rekannya bisa membuka pintu ke dunia militer. Siregar pun mendaftar mobilisasi pelajar di Bandung. Setelah dilatih militer selama tiga bulan di Sumedang, Siregar lalu dijadikan komandan Corps Polisi Militer (CPM) Pelajar Batalyon III Divisi Siliwangi, di bawah Mayor Ruslan Rusli Soetama. MF Siregar saat bertugas di CPM Pelajar Batalyon III Divisi Siliwangi (Foto: Repro "Matahari Olahraga Indonesia"/Dok. Pribadi MF Siregar) Namun sebagaimana kala jadi anggota PMI, Siregar hampir tak pernah terlibat baku tembak di front terdepan. Tugasnya lebih banyak di garis belakang. Pasukan Siliwangi di Jawa Barat jarang mengirim tentara pelajarnya ke palagan. Siregar lebih sering ditugaskan berpatroli ke wilayah-wilayah seperti Tangerang, Serang, dan Pandeglang. Seusai revolusi, rampung pula pendidikan menengah atasnya. Saat demobilisasi tentara pelajar, Siregar memilih meneruskan sekolah ketimbang melanjutlan karier militer. Di Balik Gelanggang Sebagai “orang olahraga”, sayangnya Siregar tak punya rekam jejak istimewa sebagai atlet. Paling banter, ia mewakili kampusnya Akademi Pendidikan Djasmani (APD) Bandung di Pekan Olahraga Mahasiswa (POM) I di Yogyakarta, 1951. Siregar tampil di dua cabang olahraga. Di sepakbola, ia bermain sebagai gelandang. Di atletik, ia berlaga di kategori lari 1.500 meter, 5.000 meter, dan 10.000 meter, serta 3.000 meter halang rintang. Selepas lulus, ia memilih jalur di belakang gelanggang sebagai ofisial cabang renang dan polo air untuk Asian Games 1954 di Manila, Filipina. Siregar dipilih lantaran sudah malang-melintang mengajar pendidikan jasmani di beberapa kampus dan di Djawatan Angkatan Udara (TNI AU). Meski gagal memetik medali di renang, Siregar bisa berbangga timnya meraih perunggu. Di antara salah satu anggota timnya pun turut serta adiknya, Othman Siregar. Menjelang Asian Games 1962 Jakarta, Siregar “naik kelas” menjadi pelatih kepala cabang renang, polo air, dan loncat indah. Pada persiapan pesta olahraga se-Asia itu pula ia berkesempatan bertatapmuka pertamkali dengan Presiden Sukarno. “Menjelang Asian Games saya ditugasi jadi komandan upacara pengukuhan pelatnas kontingen Indonesia di Bandung. Itulah pertamakali berkesempatan bicara dengan Sukarno. Ketika masih di APD pada eksebisi senam akrobatik, hanya bisa menatap Bung Karno,” tutur Siregar. MF Siregar saat menemani rombongan Presiden Sukarno & istrinya Hartini ke Pelatnas Asian Games 1962 di Bandung (Foto: Repro "Matahari Olahraga Indonesia"/Dok. Pribadi MF Siregar) Siregar sukses mengepalai cabang-cabang olahraga akuatik. Indonesia mendapat satu emas, empat perak, dan enam perunggu. Sukses itu mengantarkannya mendapat kesempatan tawaran pendidikan tinggi lanjutan di Springfield College, Massachusetts, Amerika Serikat berkat kerjasama RI-Amerika. Siregar mengambil program master jurusan Physical Education dan lulus pada 1964. “Proses pengajaran di sana mengutamakan kepentingan dan kebutuhan manusia. Itu sangat cocok dengan visi Bung Karno yang berambisi menjadikan manusia Indonesia sebagai manusia yang unggul yang diharapkan bangsa ini,” imbuhnya. Sekembalinya ke Tanah Air, Siregar balik mengurusi Persatuan Renang Seluruh Indonesia (PRSI) sebagai kabid pembinaan. Ia juga dipercaya Menteri Olahraga R. Maladi menjadi direktur Pembibitan dan Pembinaan Prestasi Direktorat Jenderal Olahraga. Semasa Orde Baru, Siregar sudah menjabat Sekjen Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat. Dia jadi salah satu sosok paling dicari wartawan sehubungan dengan batalnya kontingen Indonesia berangkat ke Olimpiade Moskow 1980. Oleh Menlu Mochtar Kusumaatmadja, Siregar hanya diperkenankan memberi alasan bahwa atlet-atlet Indonesia batal ke Negeri Tirai Besi lantaran persiapan PON 1981. “Selain pernyataan tersebut, saya hanya boleh menjawab ‘no comment’ untuk pertanyaan lain, apalagi yang menyangkut pemboikotan. Saya sampai keringat dingin,” ujar Siregar. (Bersambung)
- Kutai di Era Hindia Belanda
RENCANA pemindahan ibu kota akhirnya disiarkan.Dalam keterangan pers di Istana Negara (26/8), Presiden Joko Widodo menyebut jika serangkaian kajian telah dilakukan untuk menetapkan Kalimantan Timur sebagai ibu kota baru Republik Indonesia. “Hasil kajian-kajian tersebut menyimpulkan bahwa lokasi ibu kota baru yang paling ideal adalah di sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur,” ungkap Jokowi. Sebenarnya wilayah Kutai telah lama menjadi sorotan. Sejak masa pemerintahan Hindia Belanda, salah satu daerah di Kalimantan Timur ini menjadi bagian penting dari rencana menguasai Nusantara yang diusung pemerintah kolonial. Kutai tak pernah luput dari perhatian. Usaha Kolonisasi Kontak pertama orang-orang Belanda dengan Kutai terjadi pada 1635. Saat itu Kerajaan Belanda mengirim 5 kapal pimpinan Gerrit Thomassen Pool ke Kutai. Mereka berhasil menjelajahi Sungai Mahakam sebelum kemudian bertemu Raja Kutai. Pada 8 November 1635, pedagang Belanda Pieter Pietersz diutus untuk menghadap Raja Kutai Aji Pangeran Dipati Agung Ing Martapura. Sebagai perwakilan negeri Belanda ia diminta melakukan perjanjian dagang dengan Kerajaan Kutai. “Arti penting diadakannya perjanjian itu untuk Belanda ialah, Kutai yang tadinya tidak begitu dikenal sekarang menjadi relasi dalam dunia perdagangan,” terang Amir Hasan Kiai Bondan dalam Suluh Sedjarah Kalimantan . Hubungan antara Kalimantan dengan Belanda sempat terputus sangat lama pada 1638 ketika Banjarmasin menyerang benteng Belanda dan membunuh ratusan tentaranya. Pemerintah Belanda pun memutuskan untuk melupakan niat menguasai Kutai. Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada1673, sebuah ekspedisi dari Belanda kembali dikirim ke Kutai. Para pejabat kolonial berencana kembali menjalin hubungan baik dengan Raja Kutai. Namun mereka disambut dengan dingin. Tidak ada satupun penguasa yang berencana menerima kedatangan Belanda di negerinya. Ekspedisi-ekspedisi selanjutnya juga masih mengalami kegagalan. Namun bukan Belanda namanya jika menyerah begitu saja. Berdasarkan laporan ekspedisi pejabat van Heys tahun 1675, yang dikutip Anwar Soetoen dkk dalam Dari Swapraja ke Kabupaten Kutai , diketahui bahwa kerajaan Kutai tengah berkonflik dengan kerajaan-kerajaan di sekitarnya. “Keadaan itu akan mempermudah Belanda untuk mengadakan politik adu domba antara satu kerajaan dengan kerajaan yang lain di Kalimantan Timur,” tulis Anwar. Benar saja, pada 1756 Kutai mengadakan perjanjian dengan pejabat kolonial. Saat itu Sultan Kutai direpotkan dengan serangan Kerajaan Berau. Belanda pun menawarkan perlindungan dan berjanji akan membantu meredam serangan Berau. Namun perjanjian itu tidak serta merta membuat Belanda mudah menguasai Kutai. Rakyat masih belum membuka akses untuk Belanda. Upaya menaklukan Kutai pun terpaksa ditunda. Kesempatan yang dinanti para pejabat Belanda akhirnya tiba. Perselisihan di Kesultanan Banjar tahun 1787, antara Pangeran Tamjidillah II dengan Pangeran Amir, memberi jalan untuk Belanda turut campur di dalamnya. Tamjidillah II yang hampir mengalmi kekalahan akhirnya meminta bantuan militer kepada Belanda. Alhasil perjanjian yang mengikat pun harus diterima sebagai konsekuesinya. Di dalam perjanjian tersebut, Kutai ikut digadaikan bersama wilayah lain yang menjadi bagian dari Banjarmasin. Kutai sendiri kekuasaannya telah direbut oleh Banjar sejak abad ke-17. Dalam bukunya, Anwar Soetoen juga disebutkan Belanda bukanlah satu-satunya bangsa Eropa yang menginginkan daerah Kutai. Pihak Inggris juga berlomba menanamkan pengaruhnya di sana. “Daerah Kutai hanya secara de jure saja dikuasai oleh Banjarmasin, Belanda, dan Inggris. Nyatanya waktu perjanjian-perjanjian itu diadakan, tidak ada petugas-petugas yang secara langsung ditempatkan di Kerajaan Kutai. Sehingga dapat dikatakan bahwa Kerajaan Kutai berkembang sendiri, dan tidak mengakui pengaruh Banjarmasin,” jelas Anwar. Belanda baru secara resmi berkuasa atas Kutai pada 1825. Dalam catatan seorang peneliti Leiden, C.A. Mees, De Kroniek van Koetai dijelaskan bahwa saat itu Sultan Muhamad Salehudin (1780--1850) membuat kontrak dengan pemerintah kolonial. Isinya antara lain mengakui pemerintahan Belanda sebagai yang dipertuan di negeri Kutai. Selain itu, Belanda juga diberi kebebasan di dalam urusan pengadilan, bea cukai segala jenis perdagangan, pajak orang-orang Tiongkok, dan aturan pajak pertambangan. "Sejak saat itu diangkatlah seorang civiel gezag hebber bernama H. van Dewall," tulisnya Membangun Potensi Kehadiran pemerintah Hindia Belanda di Kutai tidak melulu soal kerugian. Kedatangan mereka membuka peluang bagi Kutai untuk menaikkan pendapatan ekonominya. Hasil alam yang begitu melimpah di tanah Kalimantan belum dimanfaatkan dengan maksimal oleh rakyat Kutai. Sehingga ketika Belanda datang kesempatan mengeksplorasi wilayah potensial di Kutai mulai terbuka. Melalui perjanjian yang ditandatangani pada 9 Desember 1882, pemerintah kolonial berhak membuka area pertambangan dan minyak tanah di beberapa titik di wilayah Kutai. Durasi perjanjian itu cukup panjang, yakni 75 tahun, dengan berbagai syarat yang disetujui oleh kedua pihak. Sebagai gantinya, penguasa Kutai Sultan Muhammad Sulaiman menerima uang sewa tanah dan cukai dari setiap liter minyak yang diambil pemerintah Belanda. Perusahaan pertambangan batu bara milik Belanda mulai berjalan pada 1888. Sementara perusahan minyak tanah yang dikepalai J.H. Menten beroperasi setahun kemudian. “Penghasilan berlimpah yang diterima oleh kerajaan dipergunakan sebaik-baiknya untuk memperkaya Kerajaan Kutai. Boleh dikatakan barang-barang milik kerajaan sekarang dihasilkan pada masa itu. Seperti mahkota raja yang terbuat dari 3 kilogram emas murni,” tulis Amir. Selain membuka area pertambangan, pemerintah Belanda juga membeli hasil-hasil hutan kepada raja. Harga pembeliannya pun terbilang tinggi, hampir sama dengan pedagang pada umumnya. Menurut data milik pemerintah Belanda di Kutai yang dimuat Kudungga vol IV , barang-barang dari Kutai itu nantinya akan dijual ke luar negeri, salah satunya Singapura. “Keadaan ini menimbulkan kegairahan bekerja yang tiada taranya di kalangan rakyat, yang dengan giat mengumpulkan hasil-hasil hutan dan memajukan pertanian karena mereka mendapat dorongan dari sultannya sendiri. Usaha mana sedikit banyaknya dapat memberikan kemakumaran bagi rakyatnya,” ungkap Anwar.





















