top of page

Hasil pencarian

9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Kisah Bowo Anak Kebayoran

    Kiprah Prabowo Subianto begitu mentereng sebagai prajurit TNI. Potretnya yang gagah acapkali terlihat dalam balutan seragam Kopassus. Namun cerita masa kecil calon presiden kita ini tak banyak dikulik kepada publik. Bagaimana kisah masa kecil Bowo –panggilan akrab Prabowo?   “Waktu itu (masa kecil), saya banyak dipengaruhi kakek saya, Pak Margono seorang pejuang perintis kemerdekaan,” kata Prabowo kepada tabloid The Politic dilansir Gerindra TV . Trah Prabowo berasal dari keluarga aristokrat yang ikut mewarnai perjalanan sejarah negeri ini. Kakeknya, Margono Djojohadikusumo adalah pengikut Budi Utomo, anggota BPUPKI, dan pendiri Bank Negara Indonesia (BNI). Nama kedua Prabowo diambil dari nama pamannya, Subianto Djojohadikusumo, perwira yang gugur dalam Pertempuran Lengkong di Tanggerang, Januari 1946. "Akhirnya waktu saya lahir, saya diberikan nama Prabowo Subianto agar seolah-olah menggantikan anaknya (Margono) yang gugur, untuk meneruskan cita-cita mereka," tutur Prabowo. Hidup Berpindah-pindah Prabowo Subianto Djojohadikusumo lahir di Jakarta, 17 Oktober 1951. Anak ketiga dari pasangan Sumitro Djojohadikusmo dengan Dora Sigar. Nama saudari-saudaranya antara lain Maryani, Biantiningsih, dan Hashim Djojohadikusmo. Prabowo bertumbuh sebagai anak Kebayoran yang tinggal di Jalan Sisingamangaraja, ketika kawasan itu belum seramai dan semacet sekarang. Ayah Prabowo, Sumitro juga bukan orang sembarangan. Sumitro merupakan guru besar bergelar profesor di Fakultas Ekonomi UI dan menjabat sebagai dekan di sana. Prabowo kecil sering diajak Sumitro main ke kampus tempatnya mengajar di bilangan Salemba, Jakarta Pusat. Di zaman Sukarno, Sumitro lebih dikenal sebagai politisi kawakan dari Partai Sosialis Indonesia (PSI). Di tengah perjuangan politiknya, Sumitro memilih membelot bersama sejumlah panglima militer pembangkang dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Perjuangan Semesta (Permesta). Bergelut dalam gerakan yang menentang pemerintah menyebabkan Sumitro terpaksa melarikan diri dari Indonesia. Sumitro hidup berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain mengindari penangkapan. Dalam pelariannya, Sumitro difasilitasi oleh diplomat senior Des Alwi yang juga sama-sama pentolan PSI. Di balik “petualangan” ini, ada istri dan anak-anak yang ikut kena imbas sepak terjang politik Sumitro. “Ayah mereka (Sumitro) terus giat melanjutkan perjuangan dan sekaligus menghindari kemungkinan tertangkap oleh pihak Jakarta yang terus mengintai ke mana keluarga ini pergi. Inilah mengapa keluarga Sumitro tak pernah menetap lebih dari dua tahun,” tulis tim penulis biografi Sumitro Jejak Perlawanan Begawan Pejuang: Sumitro Djojohadikusumo. Prabowo waktu kecil. Tampan dan imut. Foto: Prabowo Subianto/Instagram Usia Prabowo baru menginjak lima tahun saat Sumitro memilih jalan terjal sebagai buronan negara. Selama masa pelarian ayahnya, Prabowo menginjakan kaki di berbagai berbagai belahan dunia. Berturut-turut, Prabowo bermukim di Singapura selama dua tahun, di Hongkong setahun, di Malaysia dua tahun, di Swiss dua tahun, dan di Inggris dua tahun.  “Ia mengikuti ayahnya yang berpindah-pindah dalam masa pengasingan. Tak heran, sikapnya pun kebarat-baratan dan cenderung arogan,” tulis Femi Adi Soempeno dalam Prabowo: Dari Cijantung Bergerak ke Istana. Menurut Prabowo, dirinya kerap mengalami diskriminasi di negara-negara yang disinggahinya. Sedari kecil, dia terbiasa hidup dalam lingkungan minoritas. Lambat laun, Bowo tumbuh menjadi anak yang tangguh.  “Waktu saya sekolah di luar negeri, seringkali saya satu-satunya anak yang bukan kulit putih. Bagi saya itu adalah suatu pengalaman yang sangat mendidik,” kenang Prabowo. “Di sekolah saya sering dihina. Saya merasakan bagaimana hidup sebagai minoritas.” Anak Brilian Singapura menjadi negeri asing pertama yang disinggahi Prabowo. Di kawasan Bukit Timah, keluarga Sumitro tinggal berdekatan bersama sepuluh keluarga pelarian PRRI-Permesta yang lain. Keluarga Sumitro bermukim di Delkeith Road. Tak banyak cerita yang diperoleh dari Singapura. Sekira tahun 1959, Prabowo pindah ke Hongkong. Tersebutlah nama Kolonel Jacob Frederick Warouw yang berjasa mempersiapkan perpindahan ini. Warow adalah atase militer Indonesia di Beijing, yang juga menjabat sebagai wakil perdana menteri Permesta. Warouw menyediakan flat berkamar tiga yang cukup besar untuk ditempati Sumitro bersama istri, anak perempuannya, dan juga Prabowo. Prabowo bersama ibunya, Dora Sigar dan saudari-saudaranya: Maryani, Bianti, dan Hashim. Foto: Prabowo Subianto/Instagram Dilansir laman resmi prabowosubianto.info. di Hongkong, Prabowo senang main perang-perangan bersama anak sebayanya. Ketika Prabowo mengetahui bahwa salah satu teman mainnya ada yang anak tentara, Prabowo meminta izin untuk dipinjami bedil milik ayahnya. Menurut teman-temannya semasa di Hongkong , Prabowo adalah anak yang pemberani dan cenderung cepat marah. Sisi temperamental Bowo mulai terlihat. Setahun kemudian, tepatnya tahun 1960, Prabowo pindah lagi ke Malaysia. Di sana, Bowo tinggal bersama keluarganya di daerah Petaling Jaya, Kuala Lumpur. Sumitro membuka pabrik perakitan alat elektronik untuk menghidupi keluarganya. Sementara itu, Bowo kecil bersekolah di Victoria Institution, sekolah Inggris paling bergengsi di Malaysia. Usianya masih menginjak sembilan tahun. Saat itu, hubungan Indonesia dengan Malaysia mulai memburuk. Bowo acapkali mendapat olok-olok dari teman sekolahnya yang berisi umpatan kepada Presiden Indonesia, Sukarno. Ledekan itu malah bikin Bowo jadi berang pada ayahnya. Bowo mempertanyakan alasan mengapa keluarganya memilih tinggal di Malaysia seraya melontarkan ultimatum. “Saya tahu Papi berseberangan dengan Sukarno. Tapi saya tidak tahan, semua meledek negara kita. Kalau sampai satu tahun lagi saya di sini, saya akan menjadi pro Sukarno,” demikian ucapan Bowo sebagaimana tercatat dalam biografi Sumitro. Memasuki masa remaja, Prabowo hijrah ke Eropa. Dia dan keluarganya menetap di Swiss. Bowo bersekolah di International School yang terletak di Zurich. Sebagian besar yang bersekolah di sana adalah anak-anak dari Amerika.   Hari pertama masuk sekolah, lagi-lagi Bowo dilecehkan. Sebagai anak baru, Bowo memperkenalkan dirinya berasal dari Indonesia. Seseorang kemudian menanyakan dirinya apakah rakyat Indonesia masih tinggal diatas pohon. Pengalaman itu tak bisa dilupakan oleh Prabowo sampai kapanpun. “Saya akhirnya lebih merasakan kita harus belajar dari Barat. Kita harus akui keunggulan-keunggulan mereka tapi kita juga harus bertekad suatu saat untuk membangun negara kita untuk tidak kalah dengan bangsa lain,” kata Prabowo. Dari Swiss, Prabowo pindah lagi ke Inggris. Pada usianya yang ke-16, Prabowo menamatkan pendidikan bangku sekolah di American School, London. Memasuki perguruan tinggi, Prabowo bahkan diterima sebagai mahasiswa di tiga universitas terkemuka di Amerika Serikat, salah satunya Colorado University. Secara intelegensi, Prabowo tergolong anak brilian. Kecerdasannya di atas rata-rata orang Indonesia saat itu. Itu tak mengherankan sebab Prabowo mengenyam pendidikan di negara maju. Dari segi mentalitas, wataknya cukup keras karena pengalaman bertahan hidup di negeri asing sebagai minoritas. Sumitro kemudian menyarankan Prabowo untuk pulang ke Indonesia. Hal itu dimaksudkan agar Prabowo memperluas jaringan dan relasi, serta pengalaman bergaul dengan sesama aktivis muda dari kalangan PSI. Siapa nyana, pada akhirnya Prabowo memutuskan untuk menjadi prajurit TNI.

  • Pencipta Mars ABRI

    Robertus Robet, aktivis demokrasi dan HAM, ditangkap polisi terkait orasinya dalam aksi Kamisan pada 28 Februari 2019. Dosen dan ketua jurusan sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu lantang menentang masuknya kembali militer aktif ke pemerintahan seperti pada masa lalu yang disebut dwifungsi ABRI. Dalam orasinya, Robet mengajak teman-teman muda untuk mengingat lagu yang dinyanyikan pada masa Reformasi tahun 1998. Lagu ini sudah populer sejak 1990-an. Robet menyanyikannya: Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Tidak berguna Bubarkan saja Diganti Menwa Kalau perlu diganti Pramuka. Naik bis kota gak pernah bayar Apalagi makan di warung Tegal “Lanjutannya terlalu sensitif,” kata Robet. “Tapi, lagu ini jangan-jangan mesti kita ingat kembali. Kenapa? Karena ada ancaman yang muncul di depan kita. Generasi-genarasi baru yang muncul mesti mulai mencipta lagu-lagu semacam ini untuk menghadapi tantangan-tantangan zamannya.” Penggalan video orasi Robet yang direkam dan diunggah di akun Youtube Jakartanicus, kemudian menyebar di media sosial. Robet ditangkap pada Kamis dini hari (7/3). Polri menetapkannya sebagai tersangka ujaran kebencian karena menghina TNI. Lagu yang dinyanyikan Robet itu plesetan dari Mars ABRI. Selain di kalangan ABRI, lagu inibiasanya dipakai untuk siaran khusus di RRI atau TVRI. Lagu ini juga biasa menjadi pembuka acara “Kamera Ria” di TVRI . Bait awalnya begini: Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Setiap saat siap sedia Mempertahankan, menyelamatkan Negara Republik Indonesia Lagu dan aransemen “Mars ABRI” diciptakan seorang anggota ABRI kelahiran Tarutung, Sumatra Utara, bernama Mangasa Adil Tampubolon. Dia mempelajari musik selama empat tahun di Akademi Musik Yogyakarta. Setelah lulus pada 1960, dia menandatangani ikatan dinas dengan TNI-AD. Pada saat yang sama, dia menyunting putri Solo bernama S. Rohima. Mereka dikaruniai tiga anak: Yendro Ario Damero, Arino Lakso, dan Tri Ria Utami. Dalam majalah Dharmasena edisi Februari 1992 terbitan Pusat Penerangan Hankam, disebutkan M.A. Tampubolon pernah bertugas cukup lama di Pusat Penerangan Hankam (sekarang Puspen ABRI). Sesuai  profesi yang ditekuninya, dia memegang jabatan terakhir sebagai kepala Biro Musik Paban IV Spersman (Staf Personel, Pembinaan Tenaga Manusia, dan Pendidikan) Hankam sebelum pensiun tahun 1985. Selain Mars ABRI, M.A. Tampubolon juga menciptakan Mars dan Hymne Persit Kartika Candra Kirana (Organisasi Istri Anggota TNI-AD), Mars dan Hymne Ikatan Kesejahteraan Keluarga ABRI, ABRI Masuk Desa Manunggal, dan Taman Mini Indonesia Indah. “Kedua lagu terakhir (ABRI Masuk Desa dan  Taman Mini Indonesia Indah) diciptakan almarhum memenuhi permintaan Ibu Tien Soeharto, namun belum sempat dipopulerkan karena masih harus diadakan revisi/penyempurnaan di beberapa bagian,” tulis Dharmasena . Selain itu, dia  juga mengarang kurang lebih 40 lagu Pop (lagu-lagu remaja), tetapi masih dalam koleksi pribadi dan belum sempat dipasarkan. M.A. Tampubolon meninggal dunia dengan pangkat terakhir Letnan Kolonel Caj. pada Minggu, 19 Januari 1992. Dia memiliki empat tanda penghargaan: Bintang Gerilya, Satya Lencana Kemerdekaan I dan II, dan Satya Lencana Penegak.

  • Senasib Sepenjajahan

    KETIKA dalam perjalanan kembali dari Bandung ke Jakarta, Jang Yunwon, pencari suaka asal Korea, sekonyong-konyong dihampiri polisi militer Jepang. Ia ditangkap dan dibawa ke markas polisi militer ke-16 di Thamrin, Jakarta. Penangkapan itu terjadi tak lama setelah Jepang menguasai Indonesia. Jang Yunwon menjadi salah satu korban tahap pertama operasi Pencarian Pengkhianat yang dilancarkan Tentara ke-16 AD Jepang. Ia, menurut Kim Moon Hwan, kolumnis harian berbahasa Korea di Indonesia Hanin News, merupakan orang Korea pertama yang menetap di Indonesia. Jang Yunwon menjadi buron setelah memberikan bantuan dana untuk gerakan perlawanan rakyat Korea pada 1 Maret 1919. Dia kemudian mencari suaka ke Beijing sampai akhirnya menetap di Batavia dan menjadi penasihat Gubernur Jenderal Hindia untuk urusan Jepang sebelum akhirnya ditangkap. Jang Yunwon yang ditahan selama beberapa hari di Markas Polisi Militer di Thamrin, mengalami penyiksaan dan pemukulan sebelum dipindah ke Penjara Glodok. Beberapa hari setelahnya, Jang Yunwon dipindahkan ke Penjara Salemba. Bersama 50 tahanan lain yang sebagian orang kulit putih, Jang dipaksa berjalan kaki dari Glodok ke Salemba. “Ini adalah cara Jepang mempermalukan orang kulit putih,” kata Kim Moon Hwan dalam Seminar Memperingati 100 tahun Pergerakan 1 Maret 1919 di Unika Atma Jaya (4/03/2019). Sementara Jang Yunwon dipenjara, orang-orang Korea ditugaskan oleh tentara Jepang untuk menjadi sipir bagi tahanan perang. Ada sekira 14 ribu orang Korea yang dikirim Jepang ke Indonesia untuk keperluan menjaga penjara di Jakarta, Bandung, Cilacap, Surabaya, dan Malang. Namun, orang-orang Korea yang dikirim ke Indonesia tak semua bertugas menjaga penjara. “Selama bertugas di Indonesia, mereka juga jadi pengajar Heiho. Lewat sana orang-orang Korea berinteraksi dengan orang Indonesia. Mereka berbagi nasib yang sama, dijajah Jepang,” kata Rostineu, Dosen Bahasa dan Budaya Korea UI, yang juga menjadi pembicara seminar. Para sipir Korea itu tak tahan dengan sikap semena-mena Jepang. Ketika Jepang makin terdesak dalam Perang Dunia II, kontrak kerja mereka diperpanjang sepihak oleh Jepang. Para sipir Korea itu pun melawan, namun kalah dan dihukum. Meski berpakaian militer Jepang, sebagian dari mereka antipati terhadap Jepang. Perasaan senasib sebagai kaum terjajah dan diperlakukan sewenang-wenang oleh Jepang ini membuat beberapa orang Korea memilih ikut andil dalam perjuangan Indonesia. Faktor geografis tak jadi penghalang untuk melawan penjajahan bersama bangsa lain. “Di Garut empat orang Korea terlibat dalam perlawanan terhadap Jepang. Mereka ikut terjun ke medan perang,” kata Hendi Johari, pembicara seminar. Pasca-kekalahan Jepang, orang-orang Korea di Indonesia ini mengalami masa sulit. Di satu sisi, mereka khawatir dibabat habis tentara Sekutu sebagai pemenang perang, di sisi lain, kembali ke kampung halaman menjadi hal yang muskil dilakukan. Jang Yunwon yang kemudian bebas setelah Jepang kalah, mendirikan HImpunan Rakyat Korea di Jawa pada 1 September 1945. Himpunan ini menyatukan orang-orang Korea yang berusaha kembali ke negerinya. Meski demikian, sedikit yang berhasil pulang. Jang Yunwon sendiri tetap tinggal di Jakarta sampai meninggal tahun 1947.

  • Peringatan Serangan Umum 1 Maret Menuju Hari Besar Nasional

    KENDATI Serangan Umum 1 Maret 1949 berperan penting dalam membuktikan eksistensi Republik Indonesia kepada dunia internasional via Radio AURI PC2, peristiwa itu hingga kini masih diperingati sebatas oleh pemerintah Kota Yogyakarta. Tak seperti Pertempuran Surabaya yang dijadikan Hari Pahlawan, Serangan Umum hanya dirayakan secara lokal. Salah satunya, oleh Komunitas Djokjakarta 1945. Bersama dengan ratusan reenactor (pereka ulang sejarah) dari seluruh Jawa, Medan, dan Palangkaraya, Komunitas Djokjakarta 1945 menghelat aksi teatrikal Serangan Umum 1949 di Jalan Malioboro-Kompleks Benteng Museum Vredeburg, Jumat 1 Maret 2019. Aksi teatrikal itu menjadi puncak acara peringatan 70 tahun Serangan Umum yang diadakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DIY. Dengan mengadakan peringatan itu, Pemprov DIY amat berharap Serangan Umum 1 Maret dijadikan hari besar nasional. Tujuannya, agar generasi milenial di seantero negeri insyaf bahwa operasi militer TNI bersama elite sipil dan rakyat Yogya patut dibanggakan bersama, tidak hanya oleh orang Yogyakarta. “Ini juga salah satu keinginan Ngarso Dalem Sultan Hamengkubuwono X, agar peristisa ini tidak hanya berhenti sebagai peringatan rutin yang hanya dimiliki beberapa orang dan kota tertentu. Sementara sebetulnya Serangan Umum 1 Maret punya makna yang sangat besar bagi kita sebagai bangsa Indonesia,” terang sejarawan UGM Profesor Sri Margana dalam sarasehan dan diskusi “Peringatan 70 Tahun Serangan Umum 1 Maret 1949” di Hotel D’Senopati, Jumat malam, 1 Maret 2019. Serangan Umum (SU) digagas Menhan Sri Sultan Hamengkubuwono IX untuk mematahkan propaganda Belanda. Setelah melancarkan Agresi Militer II pada 19 Desember 1948 dan menahan pimpinan republik, Belanda mengklaim Indonesia sudah musnah. Sosiodrama/teatrikal kolosal di depan Benteng Vredeburg pada 3 Maret 2019 menjadi puncak peringatan 70 tahun Serangan Umum 1 Maret (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Gagasan Hamengkubuwono IX itu lalu diterima Panglima Sudirman dan ditindaklanjuti dengan memerintahkan Letkol Soeharto untuk melaksanakan serangan kilat selama enam jam itu. Alhasil, pada pagi 1 Maret Belanda dikejutkan serangan yang datang dari berbagai sudut mata angin Yogyakarta. SU memberi bukti kepada para delegasi Komisi Tiga Negara, yang sedang berada di dalam kota, RI dan TNI-nya masih eksis. “Hasil dari operasi itu menjadi bahan para elite sipil untuk berjuang secara diplomatik, yang kemudian membuat Belanda mau berunding. Dari situ pula negara-negara lain di dunia satu per satu makin banyak yang mengakui kedaulatan Indonesia. Berlanjut kemudian pada hasil Konferensi Meja Bundar yang membuat Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949,” tambah Margana. Hari Penegakan Kedaulatan RI? Ide membuat SU menjadi hari besar nasional pertamakali diutarakan Sri Sultan Hamengkubuwono X kepada Presiden Joko Widodo. “Pada 31 Oktober 2018, Sultan sebagai Gubernur DIY sudah bertemu dan minta menjadikan Serangan Umum menjadi hari besar nasional,” ujar Kepala Dinas Kebudayaan DIY Aris Eko Nugroho. Presiden memberi lampu hijau. Prosesnya kini sudah “setengah jalan”. Pihaknya, kata Aris, sudah mengajukan naskah akademik ke Sekretariat Negara. “Pada 21 Februari kita juga sudah berkirim surat ke Kementerian Pertahanan dan sekarang kita menunggu keputusan pemerintah pusat,” lanjutnya. Naskah akademik itu dibuat oleh tim peneliti dan pengkaji yang dipimpin Sri Margana, tak lama setelah Sultan Hamengkubuwono X menghadap Presiden Jokowi. Tim merangkum semua buku, memoar, serta tuturan pelaku peristiwa. “Selain itu, akhir tahun lalu kita juga membuat seminar di Dinas Kebudayaan DIY untuk mendapatkan usulan, masukan, dan kritikan lebih lanjut dari para tokoh. Setelah naskahnya rampung, kita juga diminta mempresentasikannya ke Setneg terkait alasan-alasan serta tujuan pengusulan ini. Kalau disetujui, nanti akan diadakan lagi seminar berskala nasional yang hasilnya akan diajukan secara resmi untuk ditetapkan oleh presiden,” sambung Margana. Untuk penamaan harinya, Margana mengakui belum final dan siapapun diperkenankan memberi usulan. Namun, dia menyimpulkan ada satu yang paling logis: Hari Penegakan Kedaulatan Republik Indonesia. “Tanggal 17 Agustus 1945 kan negara sudah proklamasi, tapi tidak lama kemudian Belanda agresi untuk menguasai lagi. Jadi para tentara dan rakyat berjuang untuk menegakkan kedaulatan. Dan pada 17 Agustus itu kan belum semua negara mengakui keberadaan Indonesia, tapi setelah peristiwa itu banyak negara yang sudah mau mengakui kedaulatan negara kita,” kata Margana. Prof. Sri Margana dalam Seminar Kesejarahan dalam rangka Peringatan 70 tahun Serangan Umum 1 Maret 2019 (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Pertimbangan lain kenapa “Hari Penegakan Kedaulatan Republik Indonesia” yang dipilih sementara, karena tim ingin menggarisbawahi bahwa kedaulatan Indonesia yang ditegakkan lewat Serangan Umum itu tidak akan berhasil tanpa kemauan bersatu dari elite sipil, TNI, dan rakyat. Kedaulatan yang ditegakkan jadi merupakan milik bersama. Namun, kemunculan usulan yang berbarengan dengan masa kampanye justru menimbulkan pertanyaan, kenapa baru sekarang? “Karena dulu fokus soal peristiwa ini masih berkutat pada siapa penggagasnya. Ada banyak klaim. Utamanya Soeharto. Apalagi waktu masih era Orde Baru soal ini masih cukup panas secara politik karena Pak Harto masih hidup, masih memimpin. Tapi setelah Pak Harto lengser, baru muncul banyak saksi-saksi sejarah lain,” jelas Margana. “Semua memiliki kontribusi pada bidangnya masing-masing. Karena dalam peristiwa Serangan Umum, ada begitu banyak peran yang harus dimainkan dengan baik. Kita harus menempatkan peran setiap tokoh pada zaman dan peristiwa itu sendiri. Kenapa baru sekarang peristiwa ini diusulkan? Ya tidak dimungkiri bahwa secara politis sekarang suasananya lebih kondusif sejak reformasi.”

  • Kematian Igning Bikin Indonesia Pening

    OPSIR Muda Udara II Boediardjo kaget. Sebuah kawat datang dari Yogyakarta ketika pesawat RI-002 yang ditumpanginya menuju Manila masih di udara. Perwira Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) itu langsung sedih. Kawat itu mengabarkan berita duka. Namun, instruktur di Sekolah Radio Telegrafis Udara AURI itu tak langsung memberitakan isi kawat. Sebab, penerbangan tanggal 23 November 1947 itu membawa Mr. Sjafruddin Prawiranegara dan delegasinya yang akan menghadiri konferensi ECAFE kedua di Baguio, Filipina, 24 November-6 Desember 1947. Baru setelah pesawat mendarat di Bandara Makati, Boediardjo menemui Opsir Udara II Petit Muharto, rekannya dalam penerbangan itu. “Harto, Igning meninggal, tetapi kakakmu juga,” ujarnya, dikutip Irna HN Soewito dan kawan-kawan dalam Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950 . Tangis Boediarto pun pecah. Keduanya tak pernah menyangka hidup Igning, nama alias Kapten Ignacio Espina, berakhir tragis. Perwira intelijen AD Filipina itu datang ke Indonesia untuk tugas melatih taktik gerilya. Dia menumpang pesawat yang sama, yang juga diawaki Boediardjo dan Muharto. Yang lebih tragis lagi, Igning tewas bersamaan dengan Kapten AL Deddy Muhardi, kakak Muharto yang ditugaskan mendampingi Igning selama di Yogyakarta. “Tidak terbayangkan bagaimana perasaan Petit, sebab dialah yang harus menyampaikan berita duka ini kepada pihak Filipina,” ujar Boediardjo dalam memoarnya, Siapa Sudi Saya Dongengi . Malam itu juga Muharto mendatangi markas besar Intelijen Angkatan Darat Filipina. Kepada Mayor Primitivo San Agustin, deputi Kepala G-2 AD Filipina, Muharto menyampaikan berita kematian Igning. Tapi alih-alih mendapat simpati atau penghargaan semestinya, Muharto justru dicurigai. Pihak Filipina curiga Muhardi adalah seorang perwira sekaligus agen komunis. Mereka curiga Muhardilah yang membunuh Igning. Muharto jelas kaget. Berulangkali dikatakannya bahwa dia sendiri baru mendapat kabar setelah di Bandara Makati. Namun, upaya itu tak berhasil mengubah pendirian para interogator. Permintaan Muharto agar Boediardjo selaku pemberitahu kabar dihadirkan, ditolak. “Sampai jauh malam Muharto diinterogasi oleh 12 orang yang penuh emosi dan bertele-tele,” tulis Irna. G-2 AD Filipina akhirnya memutuskan agar pemerintah Indonesia segera memulangkan jenazah Igning. Kepada Indonesia juga dimintakan agar menyatakan penyebab kematian Igning adalah kecelakaan, bukan pembunuhan. “RI-002 segera balik ke Yogya,” ujar Boediardjo. Pada 29 November, RI-002 bertolak kembali ke Manila untuk memulangkan jenazah Igning dengan rute Yogyakarta-Pekanbaru-Labuan-Manila. Kendati penerbangan VIP, RI-002 tak hanya mengangkut awaknya plus peti jenazah Igning tapi juga mengangkut 20 siswa penerbang yang akan menempuh pendidikan penerbang di India. Cuaca buruk dan menipisnya bahan bakar memaksa RI-002 mendarat di Changi, Singapura. Kepada komandan RAF (AU Inggris), Pilot Bob Freeberg dan navigator Muharto langsung memberitahukan alasan pendaratan darurat pesawatnya dan juga menjelaskan peti jenazah yang diangkut pesawatnya berisi jenazah Achmad. Lantaran orangtua Achmad orang kaya, dia ingin menguburkan anaknya di kampung halaman, Pekanbaru. Untuk itu, Bob meminta dicarikan bahan bakar agar bisa melanjutkan penerbangan ke Pekanbaru. Begitu RAF percaya, Muharto dan Boediardjo (radio operator) langsung mengontak perwakilan Indonesia di Singapura Mr. Utoyo Ramelan, kakak ipar KSAU Komodor Suryadarma. Orang yang dikontak pun datang tak lama kemudian bersama seorang pejabat, dan memberikan bantuan bahan bakar yang dibayar oleh Kantor Penghubung. Namun sesaat sebelum Bob menerbangkan pesawat, masalah tiba. Director of Civil Aviation (DCA) meminta jurisdictie atas pesawat yang dipiloti Bob itu dan menuntut RI-002 diterbangkan ke Bandara Kallang untuk diperiksa. Pers pun mencium misi rahasia AURI itu. Meski oleh Muharto dijelaskan bahwa pesawat membawa peti jenazah seorang pria asal Riau, The Strait Times memberitakan bahwa jenazah Achmad yang diangkut RI-002 merupakan Achmad Sukarno, presiden Indonesia. Setelah tiga pekan menahan RI-002, DCA akhirnya mempercayai keterangan awak pesawat itu. Pesawat RI-002 pun kembali mengudara menuju Labuan, Kalimantan Utara yang kala itu masih milik Inggris. Sama seperti pendaratan di Changi, begitu mendarat di Labuan Bob-Muharto-Boediardjo langsung ditodong otoritas bandara dengan pertanyaan tentang peti jenazah. Lagi-lagi, jawaban yang sama diberikan oleh para awak RI-002. Belum cepatnya arus informasi membuat otoritas bandara langsung percaya. Maka setelah makan siang dan mendapat bahan bakar, Bob langsung menerbangkan pesawat menuju Manila. Di Bandara Makati, para personil G-2 AD Filipina langsung menjemput peti jenazah Igning begitu RI-002 mendarat. Setelah memeriksa dengan seksama, mereka memastikan bahwa jenazah yang dibawa benar merupakan jenazah Igning. Di acara pemakaman, Muharto ikut memberi kata sambutan. Atas nama para pejuang Indonesia, Muharto mengatakan bahwa Igning merupakan orang baik yang mendapat sambutan luar biasa dari para pejuang. Pemerintah Filipina pun menyatakan masalah Igning selesai bersamaan dengan dikebumikan jasadnya. “Akhirnya segala keraguan lenyap sudah. Persahabatan dan solidaritas Indonesia-Filipina tetap terjaga,” ujar Boediarto.

  • Saling Hajar Masyumi-PKI

    PEMILU 2019 akan berlangsung 44 hari lagi. Namun persaingan antar partai  politik (terutama partai-partai politik terkemuka) dan calon presiden sudah terasa sejak hari-hari kemarin. Berbagai cara dilakukan untuk menonjolkan kualitas masing-masing konstestan. Tak jarang itu dilakukan lewat prilaku saling menjatuhkan dan menjelek-jelekan lawan politik. Media sosial menjadi palagan efektif untuk melontarkan kampanye dan sumpah serapah politik. Kompetisi antara kubu #2019 Ganti Presiden dengan #2019 Tetap Jokowi pun terselenggara dalam situasi yang banal dan nyaris tanpa akal sehat. Situasi yang nyaris sama pernah terjadi menjelang berlangsungnya Pemilu 1955. Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) dan PKI (Partai Komunis Indonesia) adalah dua partai politik yang kerap terlibat adu tegang. Tidak hanya lewat poster, para juru kampanye kedua partai politik itu tak jarang menghamburkan provokasi yang kadang menimbulkan adu fisik antar masing-masing massa pendukung. Isu Anti Agama Bagi Masyumi, isu paling efektif untuk menghajar PKI adalah soal isu “keatheisan” partai berlambang palu arit tersebut. Dalam surat kabar Abadi , 30 Maret 1954, tokoh Masyumi Jusuf Wibisono menyatakan adalah suatu kemustahilan bagi pihak-pihak yang akan menyatukan kalangan agama dengan kalangan komunis. Terlebih kaum komunis tidak mengenal Tuhan dan agama. Itu pula yang diyakini para pemimpin Masyumi yang melihat “niat jelek” PKI kala mengusulkan mengganti sila “Ketuhanan yang Maha Esa” dalam Pancasila dengan prinsip kebebasan beragama. “Suatu langkah pertama menuju peresmian “kebebasan propaganda antiagama”,” demikian menurut pernyataan sikap yang dikeluarkan BKOI (Badan Koordinasi Organisasi Islam) dalam Abadi , 18 Januari 1955. Isu yang menempatkan PKI sebagai lawan kaum beragama, disantap habis oleh masyarakat kebanyakan terutama di daerah-daerah. Di Cianjur, Atikah masih ingat saat remaja dirinya berkawan akrab dengan seorang putri dari tokoh PKI setempat. Namun menjelang Pemilu 1955 berlangsung tetiba orangtuanya yang merupakan pengikut Masyumi fanatik melarang Atikah untuk berkawan lagi dengan karibnya itu. “Alasannya dia orang kafir yang membenci agama,” kenang perempuan kelahiran Cianjur 74 tahun lalu tersebut. Menghadapi serangan politik itu, tentu saja PKI tak tinggal diam. Remy Madinier dalam bukunya Partai Masjumi: Antara Godaan Demokrasi&Islam Integral menyatakan sebagai upaya untuk menampik isu tersebut, PKI berupaya keras menampilkan  wajah yang lebih toleran terhadap agama. “D.N. Aidit mengeluarkan pernyataan bahwa Indonesia harus menjadi “taman di mana semua agama dan keyakinan politik hidup secara harmonis dan sama-sama berjuang bahu membahu untuk menghancurkan imperialism”,” ujar peneliti sejarah Maysumi dari Prancis itu. Aidit juga pernah ‘menyiratkan’ bahwa Nabi Muhammad bukan hanya milik golongan tertentu dan PKI tidak anti agama. Pada 28 April 1954 saat sebagai Sekretaris I PKI ia berpidato di depan kader PKI Malang:  “Nabi Muhammad Saw. bukanlah milik Masyumi sendiri, iman Islamnya jauh lebih baik daripada Masyumi. Memilih Masyumi sama dengan mendoakan agar seluruh dunia masuk neraka. Masuk Masyumi itu haram dan masuk PKI itu halal!” ujarnya. Menurut Remy, kata-kata Aidit sontak mendapat respon keras dari para aktivis Masjumi setempat yang langsung mengepung podium tempat Aidit berpidato. Setelah dipaksa oleh Hasan Aidid (Ketua Masjumi Cabang Surabaya), untuk menarik perkataannya, Aidit pun berujar ke khalayak yang mengepungnya:  “Apabila diantara saudara ada yang tersinggung oleh ucapan-ucapan saya, maka saya meminta maaf. Saya hanya ingin mengatakan bahwa PKI tidak anti agama.” Tuduhan Pro AS Menjelang Pemilu 1955, bertiup kencang isu yang menuduh Masyumi bermain mata dengan AS (Amerika Serikat). Kendati ditolak mentah-mentah oleh kalangan pemimpin Masyumi, hubungan antara Masyumi-AS memang pernah terjalin. Setidaknya itu diakui oleh mantan agen intelijen CIA (Agency Intelijen Pusat) Joseph Burkholder Smith dalam Potrait of a Cold Warriors . “Perhitungan kami atas situasi di Indonesia menjelang Pemilu 1955 adalah bahwa Masyumi merupakan kekuatan tanding yang dibutuhkan Indonesia untuk menghentikan kecenderungan Sukarno dan para pendukung politiknya bergerak kea rah kiri, menuju suatu pemerintahan otoriter yang didukung oleh PKI,” tulis Joseph. Sebagai tindak lanjut dari dukungan itu, CIA menggelontorkan dana sebesar $1 juta ke Masyumi. Demikian menurut Tim Weiner dalam Membongkar Kegagalan CIA. Isu yang bertiup kencang itu tentu saja menjadi amunisi yang handal bagi PKI menghajar Masyumi sebagai partai politik yang didukung oleh kaum imperialis. Tak jarang tuduhan itu dilontarkan di depan khalayak dan memanaskan kuping para pendukung partai berlambangkan bulan sabit tersebut. Para pemimpin Masyumi sangat sadar bahwa isu yang ditiupkan PKI itu cukup mengganggu. Dalam sebuah pertemuan Masyumi di Jember pada 21 Juli 1954, Ketua Pengurus Masyumi Cabang Sukabumi Muchtar Chazaly bertanya kepada hadirin: “Apakah di sini ada yang memiliki potret (Dwight D.) Eisenhower (Presiden AS saat itu)?” Pertanyaan itu dijawab secara serempak oleh sekira 10.000 massa Masyumi dengan kata: tidak! Sang politisi Masyumi itu lantas menyimpulkan bahwa itulah buktinya bahwa Masyumi bukan agen AS, seperti yang dituduhkan oleh orang-orang komunis. Secara sinis, Muchtar malah menyebut bahwa justru PKI merupakan agen-agen Uni Sovyet dan Tiongkok karena mereka kerap memajang foto para pemimpin komunis seperti Malenkov, Mao Tse Tung dan lain-lain.

  • Kisah Sedih Sang Gubernur

    Kota Bandung bukan tempat yang tentram pada bulan-bulan setelah proklamasi kemerdekaan. Pasukan Sekutu yang terdiri dari dua batalion (2.000 prajurit) tentara Inggris dari kesatuan Gurkha tiba di sana pada 12 Oktober 1945. Tentara Sekutu dipimpin oleh Komandan Brigade ke-37 Inggris, Brigadir Jenderal Mac Donald. Pasukan Belanda turut tergabung di dalamnya. Gubernur Jawa Barat, Soetardjo Kartohadikusumo kepayahan menghadapi tamu asing bersenjata modern ini. “Saban malam rumah gubernuran di pekarangan bagian belakang mendapat serangan serdadu Belanda dengan granat dari jauh, tetapi tidak sampai mengenai rumah,” tutur Soetardjo dalam memoar Soetardjo: “Petisi Soetardjo” dan Perjuangannya yang dituliskan anaknya Setiadi Kartohadikusumo. Rakyat Bandung tak tinggal diam. Kedatangan Sekutu disambut pamflet yang bertebaran ke berbagai penjuru kota. Isinya seolah-olah menyatakan perang terhadap Sekutu. Segala cara dan senjata dianjurkan untuk digunakan bertempur, mulai dari bambu runcing, golok, senapan, hingga ular berbisa. Cara penyambutan itu diinsiasi oleh berbagai organisasi perjuangan baik politik maupun militer. Saling Serang  Serangan pertama terhadap prajurit patroli Gurkha terjadi pada 21 November 1945. Eskalasi bersenjata selanjutnya memuncak pada tiga hari berturut-turut. Harian Merdeka, 24 November 1945 melaporkan bahwa selama seminggu terakhir, tembakan-tembakan terdengar sepanjang pagi dan malam di seluruh kota. Pada malam hari pertempuran terbuka pecah dan revolusi di Bandung pun mulai memasuki fase yang paling sengit. Pada 26 November 1945, para pemuda mengganggu iring-iringan RAPWI (Recovery of Allied Prisoners of War and Internees), organisasi yang mengurus tawanan perang, dari Cimahi menuju bandara di Bandung. Walhasil, iring-iringan tak jadi diterbangkan ke Jakarta. Untuk menyikapinya, Sekutu mengirim sekompi pasukan untuk membersihkan “gerombolan pengacau.” Sebanyak sepuluh orang Indonesia tewas dan lima orang lainnya mengalami cedera. Kontak senjata merembet lagi dan terus berlanjut memasuki Bandung. Dalam suatu pertemuan, Jenderal Mac Donald meminta pertanggungjawaban Soetardjo atas serangan bersenjata pasukan Indonesia. Mac Donald juga meminta agar barikade harus disingkirkan dari jalan. Namun, Soetardjo menolak tudingan dan permintaan Mac Donald. Pertemuan diakhiri dengan tuntutan agar dalam dua hari ke depan, penduduk Indonesia di Bandung harus pindah ke arah selatan. Tuntutan Sekutu membagi kota Bandung diikuti serangkaian ultimatum. Peringatan itu sebagaimana dicatat sejarawan John Smail dalam Bandung Awal Revolusi 1945-1946 antara lain,  tidak ada warga sipil yang diperbolehkan berada pada radius 200 meter dari posisi Sekutu. Selain itu, pihak Indonesia harus menjauhi wilayah sekitar gedung-gedung penahanan tawanan perang Sekutu (RAPWI) meliputi Hotel Savoy Homann dan Hotel Preanger. Setiap penduduk laki-laki yang menjaga atau berada di dekat barikade jalan akan ditembak.  “Hal itu oleh rakyat tidak dipenuhi. Maka setiap malam terjadi lah pertempuran antara tentara Sekutu dan pasukan bersenjata Indonesia. Rumah gubernuran pun acapkali menjadi inceran musuh,” kenang Soetardjo. Situasi genting dan krisis ini kelak menjadi cikal bakal peristiwa Bandung Lautan Api. Mengungsikan Keluarga Gempuran terhadap kota Bandung mengancam keselamatan Soetardjo sekeluarga. Untuk alasan keamanan, Soetardjo mengungsikan keluarganya ke Majalaya. Wilayah yang terletak di arah selatan Bandung itu terkenal dengan curah hujan yang tinggi. Dalam kampung itu, Soetardjo tetap mengawasi jalannya pertempuran bersama bupati Bandung. Di Majalaya, keluarga Soetardjo dititipkan di rumah pesanggrahan Menteri Dalam Negeri Wiranatakumah. Kadangkala, Soetardjo terpaksa bolak-balik ke Bandung untuk urusan kegubernuran dan balik lagi ke Majalaya untuk mengunjungi keluarga.  Apabila situasi kondusif, keluarganya diboyong kembali ke Bandung, Namun, saat situasi memanas, pengungsian kembali terjadi. Pengungsian sering kali berlangsung pada saat hujan lebat. Akibatnya fatal. Bolak-balik mengungsi berdampak terhadap penurunan kesehatan  i stri Soetardjo, Siti Djaetoen Kamarroekmini Pada 1947, Siti Djaetoen, meningggal dunia di Surakarta. Duka ini terjadi setelah Soetardjo dipindahtugaskan ke Jawa Tengah sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Menurut Soetardjo, selama di Solo, Siti Djaetoen menderita penyakit jantung sesudah mereka sekeluarga pindah dari Bandung disebabkan perjuangan revolusi. “Pada waktu mana ia dengan anak-anaknya seringkali harus saya ungsikan di desa daerah Majalaya sebelah selatan Bandung, seringkali pada waktu malam di bawah hujan lebat,” ujar Soetardjo. Setelah pengakuan kedaulatan, keadaan berangsur-angsur tentram. Soetardjo kemudian menikah lagi dengan janda bupati Bantul, Siti Surat Kabirun (keponakan Sri Sultan Hamengkubuwono IX), dan Koes Sabandinah (adik Sri Paku Alam VII).

  • Sepakterjang Batalyon yang Hilang

    PULAU Jawa adalah kunci. Siapa yang menguasai Jawa, akan menguasai Nusantara yang kaya alamnya. Jepang menyadari ini demi menunjang keberlanjutannya di Perang Pasifik. Alhasil, kepentingannya pun berbenturan dengan Sekutu, yang Belandanya sudah lebih dulu menguasai Nusantara. Di Laut Jawa, Komando ABDA (Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Australia) berjibaku dengan Jepang sejak 28 Februari 1942. Kapal penjelajah HMAS Perth (Australia) dan USS Houston (AS) jadi korban. Hal itu membuat Komando ABDA di darat cemas sambil sebisanya menghimpun kekuatan yang dipusatkan di Bandung. Namun, kisah-kisah perlawanan Sekutu di Jawa pada Perang Dunia II selama ini hanya mengungkap sepakterjang serdadu Belanda, Inggris, dan Australia, minus Amerika. Padahal, Amerika punya perwakilan di sana. Bahkan, sampai ada pasukan darat AS yang sohor dengan julukan “The Lost Battalion” alias Batalyon yang Hilang. “Kalau untuk kekuatan di udara, Amerika punya beberapa pilot Angkatan Darat. Kekuatannya berupa beberapa pesawat P-40 dari Skadron 17 yang berbasis di Blimbing, daerah Jombang, Jawa Timur. Salah satu ace -nya (pilot andalan) Letnan Satu Henry Keegan. Tercatat dia sendirian menembak jatuh lima pesawat Jepang,” tutur sejarawan Iwan ‘Ong’ Santosa dalam diskusi “Defense of Java and the Dutch East Indies: World War II” di @America, Jakarta, 26 Februari 2019. Selain itu, lanjut Iwan Ong, ada satu Bomber Group 19 pimpinan Letkol Eugene L. Eubank yang berisi pesawat-pesawat pembom B-17 di Singosari yang sekarang menjadi Bandara Abdulrahman Saleh di Malang. Namun tetap saja, unit-unit udara itu tak mampu memukul mundur Jepang yang dengan cepat bermanuver hingga ke garis pertahanan Leuwiliang, Bogor Barat pada 2 Maret 1942. Kiprah Serdadu Texas di Leuwiliang Selama tiga hari, pasukan Sekutu sempat menahan gerak laju pasukan Detasemen Nasu dari Divisi II Angkatan Darat Jepang di Leuwiliang sebelum akhirnya ditarik mundur ke Bandung. Satu unit yang paling memberikan perlawanan gigih adalah para serdadu dari Texas, satu-satunya pasukan darat Amerika di Jawa. Sepakterjang serdadu Texas yang nama resminya Texas National Guard ini bermula ketika mereka dimobilisasi untuk memperkuat pertahanan Amerika di Filipina, 25 November 1940. Satuan berisi pemuda sukarelawan asal Texas itu lalu dilebur ke dalam Resimen Artileri ke-131 Batalyon ke-2 di bawah Divisi ke-36 AD Amerika. Dipimpin Letkol Blucher S. Tarp, pasukan berkekuatan 558 personel itu berangkat dengan kapal transport USS Republic pada 21 November 1941 via San Francisco. Namun mereka urung menuju Filipina karena telah direbut Jepang. Menurut Frank Fujita, veteran Texas National Guard berdarah Jepang-Amerika, dalam memoar berjudul Foo: A Japanese-American Prisoner of the Rising Sun , mereka dialihkan ke Australia. Pada 11 Januari 1942, merkea dikirim ke Jawa via Brisbane-Surabaya. Pasukan Garda Nasional Texas yang dimasukkan ke Resimen Artileri ke-131 Batalyon ke-2 di bawah Divisi ke-36 AD Amerika (Foto: Texas Military Forces Museum) Medio Februari, mereka dipindah ke Bogor untuk digabungkan dengan pasukan dari Australia. Pasukan Texas ini dijadikan bagian dari joint force berjuluk “Blackforce” yang dipimpin perwira Australia Brigadier (setara brigjen) Arthur Seaforth Blackburn. Texas Guard berada di Blackforce bersama Resimen Kavaleri 3 Hussars (Inggris) dan Batalyon 2 Pioneer. “Tiga hari (2-5 Maret) mereka menahan pasukan Jepang di Leuwiliang. Jadi pasukan Jepang yang mendarat di Banten dan masuk ke Bogor, ditahan pasukan ini. Pasukan dari Texas ini yang jadi andalan untuk mendukung tembakan meriam terhadap Jepang,” kata Iwan Ong menjelaskan kepada Historia. Kelly E. Crager dalam Hell Under the Rising Sun: Texan POWs and the Building of the Burma-Thailand Death Railway mencatat, Blackburn menempatkan kekuatan intinya di sisi timur tepi Sungai Cianten. “Pasukan Amerika menembak (meriam) dengan sangat akurat ke arah seberang sungai di mana pasukan Jepang berada. Tapi kemudian pada 4 Maret (5 Maret WIB), Jenderal Ter Poorten (Panglima ABDA) memerintahkan mundur ke Bandung via Sukabumi,” tulis Crager. Namun, sisa pasukan Texas ditawan pasca-Belanda menyerah di Kalijati, 8 Maret 1942. Sejak kapitulasi itulah keberadaan pasukan Texas tak diketahui lagi oleh para petinggi militer Amerika. Dari sinilah julukan “The Lost Battalion” bermula. Menurut Ronald Marcello dalam Lone Star POWs: Texas National Guardsmen and the Building of the Burma-Thailand Railroad, keberadaan mereka baru diketahui dari informasi tawanan perang lain pada 16 September 1944. Kala itu, sekira 2000 tawanan perang asal Australia dan Inggris hendak dibawa dari Burma ke Jepang. Tapi di tengah jalan, dua kapal Jepang yang membawa mereka ditenggelamkan dan para tawanan itu diselamatkan sebuah gugus tugas kapal selam Amerika. Dari merekalah Amerika baru mendengar kabar tentang keberadaan pasukan Texas itu, di mana sekira 500 personelnya dijadikan romusha. Ternyata, sejak kapitulasi di Kalijati, mereka dan ratusan penyintas awak USS Houston dibawa dari Batavia (kini Jakarta) ke Burma untuk dipekerjakan dalam pembangunan jalur kereta Burma-Siam (kini Thailand), yang difilmkan Pierre Boulle dengan judul The Bridge on the River Kwai . Keadaan mereka mengenaskan akibat beragam perlakuan kejam Jepang. Dari 500 personel yang dipekerjakan, 86 di antaranya tewas dalam masa tawanan, baik karena disiksa maupun karena kelaparan atau kehausan. Sisanya, dibebaskan di Tamarkan, Burma pada Agustus 1945. Kekejaman terhadap mereka berasal dari dendam Jepang, yang rugi besar dalam pertempuran di tepi Sungai Cianten, Leuwiliang. “Dari tiga hari pertempuran, korban Jepang besar sekali. Sampai di kemudian hari di dekat lokasi pertempuran, dibuat monumen untuk mendedikasikan pasukan Jepang yang gugur. Kini monumennya sudah dipindah ke Museum Taman Prasasti,” sambung Iwan Ong. Dari pengamatan Iwan terhadap situs pertempuran yang letaknya tak jauh dari kampus Institut Pertanian Bogor (IPB), menurutnya, “Beberapa battle site -nya masih utuh. Sekarang lokasi tepatnya di lingkungan Museum Pasir Angin. Sisa-sisa pillbox -nya juga masih ada. Ya karena enklave komplek museum, jadinya masih terpelihara. Kalau tidak, mungkin sekarang sudah habis tak berbekas.”

  • Bandit-bandit Kakap di Batavia

    SUATU malam di Kampung Melayu, Batavia, pada 1907. Keheningan pecah. Suara pistol berkali-kali terdengar. Enam bandit beraksi di rumah orang Tionghoa. Mereka berhasil membawa kabur perhiasan dan barang senilai 300 gulden. Warga berusaha mengejar. Tapi nyali mereka ciut ketika beberapa bandit melepaskan pelor ke udara.

  • Di Balik Ciuman yang Diabadikan

    MASYARAKAT Kota Yogyakarta digegerkan oleh aksi vandalisme yang menyasar relief Monumen Serangan Oemoem 1 Maret 1949 di kompleks Museum Benteng Vredeburg. Pelakunya masih diburu polisi. Tindakan vandalisme itu diduga terjadi pada Jumat, 15 Februari 2016 dini hari. Aksi vandalisme ternyata juga terjadi di Amerika Serikat (AS). Perilaku tak terpuji itu menyasar patung Unconditional Surrender atau biasa dikenal sebagai patung V-J Day pada Selasa, 19 Februari 2019 waktu setempat, sebagaimana dikutip ABC News , 20 Februari 2019. Sama seperti di Yogyakarta, hingga kini kasus vandalisme ini masih dalam tahap penyelidikan kepolisian. Patung berbentuk seorang serdadu AL AS dan seorang wanita yang tengah berciuman itu dibuat untuk merayakan kemenangan Sekutu atas Jepang di Perang Dunia II. Dalam aksi vandalisme tersebut, kaki kiri patung wanita, yang menggambarkan sosok Gretta Zimmer Friedman, seorang perawat di klinik gigi, dicoret dengan tulisan “#MeToo” berwarna merah. Ironisnya, aksi vandalisme terjadi tak lama setelah George Mendosa, sosok serdadu AL di patung itu, meninggal pada 16 Februari 2019 dalam usia 95 tahun. Mula Foto Ikonik Patung Unconditional Surrender dibuat Seward Johnson II berdasarkan foto lawas karya fotografer AL AS Victor Jorgensen yang menangkap pose fenomenal pada perayaan V-J Day di Times Square, 14 Agustus 1945. Kisah di balik jepretan foto itu juga merupakan aksi spontan Mendonsa. Mendosa merupakan seorang pelaut kelas satu yang bertugas di kapal perusak USS The Sullivans (DD-537). Dia ikut serta ketika USS The Sullivans ambil bagian dalam operasi amfibi di Hollandia (kini Jayapura), medio April 1944. Sedangkan Gretta Zimmer Friedman, adalah pelarian dari Austria saat Perang Dunia II berkecamuk di Eropa dan kemudian menjadi perawat dokter gigi. Gretta wafat pada 2016 di usia 92 tahun, di Richmond, Virginia. Saat berciuman, Mendonsa dan Gretta tak saling kenal. Mereka hanya dua dari puluhan ribu manusia yang menyemut dan ikut larut dalam euforia perayaan V-J Day. Mendonsa sedang mendapat cuti tugas, pun dengan Gretta yang sedang libur dari pekerjaannya. Mendonsa spontan mencium Gretta yang kebetulan berada di sebelahnya, lalu dijepret Eisenstaedt. Foto itu booming setelah Majalah Life menjadikannya cover dua pekan setelahnya . Life hanya menampilkan fotonya tanpa menyebut siapa kedua insan itu lantaran Eisenstaedt tak mendapatkan informasi kedua muda-mudi itu. Di waktu hampir bersamaan, muncul pula foto serupa miliki Victor Jorgensen dengan angle sedikit berbeda. Serupa foto milik Eisenstaedt, dua pemuda di foto milik Jorgensen pun masih misterius. Selama 74 tahun Mendonsa mengklaim itu adalah foto dirinya, namun tak satu pihak pun mengakui, termasuk majalah Life. Klaim Mendosa baru diamini banyak pihak tahun 2012, setelah Lawrence Verria dan George Galdorisi menelitinya. Hasil penelitian Verria-Galdorisi itu dibubukan Naval Institute Press dengan jugul The Kissing Sailor: The Mystery Behind the Photo That Ended World War II. Dalam risetnya, Verria dan timnya melakukan pemindaian wajah dengan teknologi facial recognition yang kemudian diteliti ulang oleh sejumlah ahli fotografi. “Hasilnya sangat menakjubkan. Tidak diragukan lagi orang ini layak mendapat pujian sepanjang hidupnya,” ujar Verria. Pengakuan terhadap Mendonsa lebih meluas lagi setelah tim Mitsubishi Electric Research Laboratories (MERL) di Cambridge, Massachussetts, melakukan riset serupa. MERL menggunakan teknologi pemindaian wajah Leading-Edge-3-D dan hasilnya juga jadi bukti bahwa sosok pelaut di pose bersejarah itu adalah Mendonsa. “Dengan kombinasi teknologi itu dan analisis para ahli foto, menghasilkan bukti nyata bahwa George Mendonsa, adalah pelaut dalam pose ciuman di majalah Life 1945 itu,” ungkap Robert Hariman dan John Louis Lucaites dalam No Caption Needed: Iconic Photographs, Public Culture and Liberal Democracy . Diabadikan Lewat Patung Foto Mendosa dan Gretta karya Jorgensen menjadi acuan Seward Johnson dalam  membuat patung Unconditional Surrender. Johnson membuat patung perunggu setinggi 7,6 meter itu atas permintaan Sarasota Season of Sculpture (kini Sarasota Sculpture Center/SSC) yang mengadakan pameran di Sarasota pada 2005. “Direktur (SSC) Jill Kaplan merasa foto itu jadi kenangan yang paling diingat terkait perayaan V-J Day buat masyarakat Amerika. Foto tenar itu menjadi simbol abadi dalam perayaan berakhirnya perang,” tulis Susan Goldfarb yang dimuat dalam Longboat Key Life , 15 Februari 2008. Setelah beberapa kali dibongkar-pasang untuk dipindah, pada 2015 patung Unconditional Surrender dipasang secara permanen di New York. Johnson membuat beberapa patung serupa untuk dipasang secara permanen di Civitavecchia (Italia), Sarasota (Florida), Royal Oak (Michigan), Key West (Florida), dan Bastenaken (Belgia). Patung yang dijadikan sasaran vandalisme baru-baru ini adalah patung versi kedua karya Johnson yang dipasang di Sarasota.

  • Manuver Politik Jelang Pemilu 1955

    SUARA gamelan sayup-sayup terdengar di kejauhan. Warga desa berbondong-bondong langsung mendatanginya untuk menonton. Pentas ketoprak di lapangan kampung itu merupakan bagian dari kampanye yang dilakukan PKI. Lantaran bagian dari kampanye, dialog para pemain dalam ketoprak itu banyak berisi slogan-slogan komunis. Para pemain ketoprak biasanya sudah ahli dalam menyisipkan slogan partai tanpa mengganggu isi cerita. Teknik ini sangat efektif dalam mempopulerkan slogan karena bisa lama diingat dan disukai warga desa. “Orang-orang desa banyak berdatangan karena pada umumnya kekurangan hiburan. Sejauh itu, belum ada partai politik lain di Yogyakarta yang memiliki ide kampanye seperti PKI,” tulis Selo Soemardjan dalam Perubahan Sosial di Yogyakarta. Selain menggelar kesenian tradisional, PKI juga berkampanye dengan cara melakukan kunjungan langsung terhadap calon pemilih atau anjang sana . Untuk mencegah kejenuhan calon pemilih gara-gara dikunjungi kader yang itu-itu saja, PKI di Gunung Kidul membuat sistem rolling . Tiap kader mengunjungi tempat yang berbeda dalam satu periode. Cara ini cukup efektif karena pemilih yang rumahnya sering dikunjungi biasanya pakewuh kalau tidak memberikan suara. Partai politik selain PKI biasanya membatasi diri pada ceramah tentang masalah yang sedang hangat, program partai, dan pemasangan poster partai. Ceramah biasanya dilakukan di tempat terbuka, semisal Stadion Kridosono. Partai yang tidak punya cukup anggaran kampanye, seringkali menarik pemimpin formal, informal, atau tokoh masyarakat berpengaruh sebagai kader untuk menjaring suara. Ikatan kekeluargaan bahkan menjadi jalan terbaik untuk melakukan pendekatan di desa. Selain kampanye dari partai politik, sosialisasi mengenai pentingnya mengikuti pemilu, tugas konstituante, dan peran partai politik, juga dilakukan Kementerian Penerangan yang bekerjasama dengan Kementerian Dalam Negeri. Tugas ini cukup sulit dilakukan mengingat angka buta huruf sangat tinggi. Di Yogyakarta, misalnya, angka buta huruf mencapai 60%. “Penduduk perkotaan biasanya mempunyai hubungan yang lebih erat dengan partai politik. Mereka lebih terdidik serta lebih paham dibanding penduduk di pedesaan,” tulis Selo Soemardjan. Di masa kampanye untuk Pemilu 1955 itu, persaingan antarpartai sangat terlihat, terutama partai dengan sasaran massa yang sama semisal NU dan Masyumi –NU memisahkan diri dari Masyumi pada 1952. Kedua partai berbasis agama ini bersaing untuk menarik dukungan para santri. Masyumi juga sempat bersitegang dengan Sukarno pada 1953. Kala itu, terjadi polemik antara Presiden Sukarno  dan pemimpin Masyumi Isa Ansyari. Sukarno menginginkan negara kebangsaan daripada negara Islam. Sementara, Isa Ansyari menganggap sikap Sukarno sebagai pengingkaran hak-hak demokratis orang Islam. Sementara, PKI dan PNI bersaing untuk mendapatkan dukungan kaum abangan. Pejabat abangan dan elite sosial cenderung mendukung PNI karena identik dengan nasionalisme. PNI sangat membanggakan kedekatannya dengan Sukarno dan menggunakannya sebagai bahan kampanye. Mereka juga mengklaim punya peran besar dalam menentang kolonialisme. Dengan taktik kampanye ini, PNI cukup berhasil. Di Jakarta, para pegawai negeri sipil, kecuali pegawai Kementerian Agama, lebih banyak yang memilih PNI. Alhasil, PNI mendapat suara terbanyak dalam pemilu 29 September 1955 yang diikuti 118 peserta dengan 36 partai politik, 34 organisasi kemasyarakatan, dan 48 perorangan. PNI tercatat memperoleh 22,3% suara. Meski jumlah suara yang didapat PNI lebih banyak dari Masyumi dengan 20,9%,  keduanya mendapat 57 kursi di DPR. Sementara NU mendapat 45 kursi dengan perolehan suara 18,4%. PKI mendapat 39 kursi dengan perolehan 16,4% suara. "PKI, PNI, NU merupakan partai-partai besar di Jawa Timur dan Tengah. Sedangkan Masyumi kuat di semua provinsi, kecuali Jawa Timur dan Tengah," tulis William Liddle dalam Partisipasi dan Partai Politik . Tingginya suara Masyumi di berbagai provinsi sudah dibuktikan pada pada pemilu percobaan di daerah. Tahun 1951 di Yogya, misalnya, Masyumi memenangkan 15 dari 40 kursi DPRD DIY. Selo Soemardjan menyebut, kemenangan Masyumi lantaran kuatnya Muhammadiyah di Yogyakarta.

  • Mencicipi Masakan Kuno

    Makanan disajikan melimpah di atas tikar, dialasi daun pisang sepanjang dua kaki dan selebar satu kaki sebagai ganti taplak. Makanan mereka seperti makanan kita, bergaram. Ada yang dipanggang, dirempahi, digoreng. Namun mereka hanya menggunaan minyak sebagai ganti mentega. Jamuan mereka seringkali sangat bersahaja, terdiri dari domba, kambing, atau seperempat sapi dan kerbau panggang. Dari catatan Van Goens itu, dapat sedikit terbayang penyajian masakan pada masa lalu. Duta VOC di Batavia itu beberapa kali mengunjungi Keraton Mataram ketika Amangkurat I (1645-1677) berkuasa. Sayang, penjelasannya kurang detail, sehingga masih sulit membayangkan rasa makanan itu, selain kalau masakan itu dirempahi. Epigraf asal Australia, Antoinette M. Barret Jones dalam Early Tenth Century Java from the Inscriptions , memperkirakan bumbu masakan pada zaman kuno, paling tidak di Jawa pada abad ke-10 M. Dia menyebut rasa masakannya berbeda dengan sekarang. Beberapa bahan masakan baru dikenal masyarakat Nusantara setelah orang Eropa menemukan Benua Amerika. Misalnya cabai, nanas, sawo, jagung, papaya, markisa, srikaya, jambu batu, dan singkong. Bumbu Jawa yang kini populer baru kemudian diimpor. Jintan misalnya, tumbuh di Timur Tengah. Kuma-kuma ( saffron ) dibawa dari wilayah Mediterania. Ketumbar aslinya dari Timur Tengah dan wilayah Mediterania. Tanaman untuk bumbu yang diketahui ditanam di Jawa sejak lama adalah merica, lada hitam, lada putih, dan cabe Jawa. Sementara kemukus telah menjadi produk ekspor ke Tiongkok sejak 1200-an. Sementara itu, laos merupakan tanaman asli Jawa. Penjelajah Italia, Marco Polo pernah mencatat tanaman ini diproduksi di Jawa sekira abad ke-13 M. Adapun jahe dan bawang disebut sebagai produk yang diperjualbelikan di desa. “Kita dapat memperkirakan makanan pada abad 10 M mungkin saja dibumbui dengan jahe, kunyit, kapulaga, dan laos, juga merica,” tulis Antoinette. Menurut Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid I: Tanah di Bawah Angin , meski terkenal sebagai negeri rempah dan terbiasa merempahi makanannya, rupanya tak banyak orang Eropa dan Tiongkok yang protes akan rasanya. Pada masa itu tidak pernah ada yang mengemukakan bahwa makanan di Asia Tenggara terlalu banyak bumbu, pedas, atau terlalu banyak memakai rempah. “Mungkin karena kedua bangsa pemakan daging ini, yang ingin menyembunyikan rasa daging lama mereka, ketika itu juga sudah terbiasa dengan rasa rempah dalam makanan Asia Tenggara,” tulis Reid. Aneka ragam tanaman juga sohor di pasar-pasar Asia Tenggara, seperti asam, kunyit, jahe, kemukus, calamus. Semuanya digunakan sebagai bahan penyedap makanan dan obat-obatan.   “Bahan makanan yang masih digunakan sampai saat ini, misalnya gula aren, minyak, beras, asem, dan terasi, bagi Jawa merupakan komoditas ekspor,” tulis Reid. Bagi mereka yang berada di kawasan Asia Tenggara, terasi dan kunyit merupakan bahan makanan pedas paling umum hingga diperkenalkannya cabai dari Amerika selatan pada pengujung abad ke-16. Berdasarkan laporan orang Belanda pada 1596 cabai telah tumbuh di beberapa bagian Jawa. Bahkan, gubernur Belanda di Banten menggunakannya sebagai pengganti lada ketika lada langka. “Lada hitam kendati dijual di mana-mana tak begitu penting artinya dalam makanan orang Asia Tenggara,” tulis Reid. Kemudian terasi yang sejak dulu bahan makanan ini dinilai sebagai penyempurna makanan. “Tidak sempurna makan nasi tanpa ikan, dan terutama terasi yang kaya protein dari ikan,” catat Reid. Terasi bagi orang Melayu disebut belacan. Orang Thailand menyebutnya kapi . Di Burma, terasi disebut nga-pee , di Vietnam nuoc mam . Terasi menjadi makanan kegemaran orang Asia Tenggara. Resep Warisan Masa Lalu Hingga kini sulit mendapatkan sumber yang menjabarkan resep masakan masa kuno. Berdasarkan penjelasan Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang, ada sedikit petunjuk dalam relief Candi Borobudur. Terdapat penggambaran dua ekor kepiting dan empat ekor ikan. Masing-masing hanya nampak bagian atasnya, yaitu sepasang capit kepalanya. Menurut Dwi, bisa jadi bagian bawahnya mungkin terendam kuah.   “Boleh kadi kuah bersantan, kata santen telah kedapatan dalam bahasa Jawa Kuna dan Jawa Tengahan, dalam arti: diperas dari daging kelapa, seperti disebut pada Kakawin Ramayana , Bharatayuddha , Sumanasantaka , kitab Tantri Kadiri , Korawa- srama ,” jelas Dwi. Kendati tak banyak petunjuk, menurut peminat kuliner dan arkeolog Lien Dwiari Ratnawati, racikan bumbu di Bali bisa menjadi contoh setidaknya bumbu yang dipakai pada era Majapahit. “Ketika Islam mendesak, banyak orang Majapahit lari ke Bali,” kata kepala Subdirektorat Warisan Budaya Tak Benda Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu. Masyarakat Tenganan, Pegrisingan misalnya. Dalam perayaan tertentu hingga kini masih menyajikan nasi tumpeng lengkap dengan berbagai jenis lauk seperti dalam prasasti. Tradisi Bali hingga kini masih mewarisi dan mempertahankan beberapa resep masakannya dalam bentuk Lontar Dharma Caruban. Beberapa resep dicatat misalnya otak-otak, beragam sate, ayam panggang, hingga brengkes yang pengolahannya hampir sama dengan pepes. Murdijati Gardjito, profesor dan peneliti di Pusat Kajian Makanan Tradisional, Pusat Studi Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta menyoroti minimnya penulisan resep masakan pada masa lalu juga berkaitan dengan masalah gender. Memasak sejak dulu dipandang sebagai urusan domestik. Hanya perempuan yang di dapur. “Dari dulu kan perempuan tidak dididik untuk menulis. Sudah tidak menulis, selalu di dapur, tidak keluar. Serat Centini saja hanya menyebut nama makanannya. Tidak pernah ada cerita bagaimana membuatnya,” ujarnya. Kendati begitu banyak kekayaan kuliner masa lalu yang masih bisa dicicipi pada hari ini. “Mereka mewarisinya secara lisan,” katanya.

bottom of page