top of page

Sejarah Indonesia

Kisah Sedih Sang

Kisah Sedih Sang Gubernur

Soetardjo harus kehilangan sang istri di tengah kacamuk perang melawan Sekutu.

2 Maret 2019

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Soetardjo beserta istri dan kesebelas anaknya. Foto: repro buku Soetardjo: 'Petisi Sutardjo' dan Perjuangannya.

Kota Bandung bukan tempat yang tentram pada bulan-bulan setelah proklamasi kemerdekaan. Pasukan Sekutu yang terdiri dari dua batalion (2.000 prajurit) tentara Inggris dari kesatuan Gurkha tiba di sana pada 12 Oktober 1945. Tentara Sekutu dipimpin oleh Komandan Brigade ke-37 Inggris, Brigadir Jenderal Mac Donald. Pasukan Belanda turut tergabung di dalamnya. Gubernur Jawa Barat, Soetardjo Kartohadikusumo kepayahan menghadapi tamu asing bersenjata modern ini.


“Saban malam rumah gubernuran di pekarangan bagian belakang mendapat serangan serdadu Belanda dengan granat dari jauh, tetapi tidak sampai mengenai rumah,” tutur Soetardjo dalam memoar Soetardjo: “Petisi Soetardjo” dan Perjuangannya yang dituliskan anaknya Setiadi Kartohadikusumo.


Rakyat Bandung tak tinggal diam. Kedatangan Sekutu disambut pamflet yang bertebaran ke berbagai penjuru kota. Isinya seolah-olah menyatakan perang terhadap Sekutu. Segala cara dan senjata dianjurkan untuk digunakan bertempur, mulai dari bambu runcing, golok, senapan, hingga ular berbisa. Cara penyambutan itu diinsiasi oleh berbagai organisasi perjuangan baik politik maupun militer.


Saling Serang 


Serangan pertama terhadap prajurit patroli Gurkha terjadi pada 21 November 1945. Eskalasi bersenjata selanjutnya memuncak pada tiga hari berturut-turut. Harian Merdeka, 24 November 1945 melaporkan bahwa selama seminggu terakhir, tembakan-tembakan terdengar sepanjang pagi dan malam di seluruh kota. Pada malam hari pertempuran terbuka pecah dan revolusi di Bandung pun mulai memasuki fase yang paling sengit.


Pada 26 November 1945, para pemuda mengganggu iring-iringan RAPWI (Recovery of Allied Prisoners of War and Internees), organisasi yang mengurus tawanan perang, dari Cimahi menuju bandara di Bandung. Walhasil, iring-iringan tak jadi diterbangkan ke Jakarta. Untuk menyikapinya, Sekutu mengirim sekompi pasukan untuk membersihkan “gerombolan pengacau.” Sebanyak sepuluh orang Indonesia tewas dan lima orang lainnya mengalami cedera. Kontak senjata merembet lagi dan terus berlanjut memasuki Bandung.


Dalam suatu pertemuan, Jenderal Mac Donald meminta pertanggungjawaban Soetardjo atas serangan bersenjata pasukan Indonesia. Mac Donald juga meminta agar barikade harus disingkirkan dari jalan. Namun, Soetardjo menolak tudingan dan permintaan Mac Donald. Pertemuan diakhiri dengan tuntutan agar dalam dua hari ke depan, penduduk Indonesia di Bandung harus pindah ke arah selatan.


Tuntutan Sekutu membagi kota Bandung diikuti serangkaian ultimatum. Peringatan itu sebagaimana dicatat sejarawan John Smail dalam Bandung Awal Revolusi 1945-1946 antara lain,  tidak ada warga sipil yang diperbolehkan berada pada radius 200 meter dari posisi Sekutu. Selain itu, pihak Indonesia harus menjauhi wilayah sekitar gedung-gedung penahanan tawanan perang Sekutu (RAPWI) meliputi Hotel Savoy Homann dan Hotel Preanger. Setiap penduduk laki-laki yang menjaga atau berada di dekat barikade jalan akan ditembak. 


“Hal itu oleh rakyat tidak dipenuhi. Maka setiap malam terjadi lah pertempuran antara tentara Sekutu dan pasukan bersenjata Indonesia. Rumah gubernuran pun acapkali menjadi inceran musuh,” kenang Soetardjo.


Situasi genting dan krisis ini kelak menjadi cikal bakal peristiwa Bandung Lautan Api.


Mengungsikan Keluarga


Gempuran terhadap kota Bandung mengancam keselamatan Soetardjo sekeluarga. Untuk alasan keamanan, Soetardjo mengungsikan keluarganya ke Majalaya. Wilayah yang terletak di arah selatan Bandung itu terkenal dengan curah hujan yang tinggi. Dalam kampung itu, Soetardjo tetap mengawasi jalannya pertempuran bersama bupati Bandung.


Di Majalaya, keluarga Soetardjo dititipkan di rumah pesanggrahan Menteri Dalam Negeri Wiranatakumah. Kadangkala, Soetardjo terpaksa bolak-balik ke Bandung untuk urusan kegubernuran dan balik lagi ke Majalaya untuk mengunjungi keluarga.  Apabila situasi kondusif, keluarganya diboyong kembali ke Bandung, Namun, saat situasi memanas, pengungsian kembali terjadi. Pengungsian sering kali berlangsung pada saat hujan lebat. Akibatnya fatal. Bolak-balik mengungsi berdampak terhadap penurunan kesehatan istri Soetardjo, Siti Djaetoen Kamarroekmini


Pada 1947, Siti Djaetoen, meningggal dunia di Surakarta. Duka ini terjadi setelah Soetardjo dipindahtugaskan ke Jawa Tengah sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Menurut Soetardjo, selama di Solo, Siti Djaetoen menderita penyakit jantung sesudah mereka sekeluarga pindah dari Bandung disebabkan perjuangan revolusi.


“Pada waktu mana ia dengan anak-anaknya seringkali harus saya ungsikan di desa daerah Majalaya sebelah selatan Bandung, seringkali pada waktu malam di bawah hujan lebat,” ujar Soetardjo.


Setelah pengakuan kedaulatan, keadaan berangsur-angsur tentram. Soetardjo kemudian menikah lagi dengan janda bupati Bantul, Siti Surat Kabirun (keponakan Sri Sultan Hamengkubuwono IX), dan Koes Sabandinah (adik Sri Paku Alam VII).

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
bottom of page