top of page

Hasil pencarian

9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Pelawak Zaman Kuno

    PEMAIN widu bernyanyi bersama. Tangkil hyang mendongeng. Pirus dan menmen menceritakan lelucon cabul. Pemain wayang wong disambut tawa dan sorak sorai. Penampilan mereka di panggung luar biasa. Warga desa yang menonton bersuka ria, tertawa terpingkal-pingkal, dan berteriak. Pertunjukan di sebuah pesta pernikahan itu dilukiskan Mpu Monaguna, pujangga dari Kadiri pada abad ke-13 M dalam  Kakawin Sumanasāntaka. Teks itu menggambarkan keberadaan pelawan sejak masa lalu. Dan lawakan cabul rupanya menjadi daya tarik penonton. Menurut arkeolog Supratikno Rahardjo dalam Peradaban Jawa keberadaan pelawak juga disebut dalam beberapa prasasti. Mereka dikenal dengan men-men sebagai pemain pertunjukkan keliling dan ijo-ijo sebagai pemain lawak. Istilah widu dalam Sumanasāntaka merujuk pada aktor, seperti penari, penyanyi, pelantun, dan pemimpin pertunjukan. Namun, menurut Petrus Josephus Zoetmulder, ahli sastra Jawa Kuno, tak jelas apakah yang dimaksud pertunjukan tertentu. Tampaknya, pertunjukan dicirikan oleh mangidung, mawayang, atau berkaitan dengan macarita. Arkeolog Puslit Arkenas, Titi Surti Nastiti dalam Perempuan Jawa menulis bahwa masyarakat Jawa Kuno menyebut pelawak dengan abanol atau mabano dan pirus atau mamirus. Bedanya, abanol mengekspresikan lawakannya dengan gerakan. Sementara mamirus atau pirus melalui pemakaian kata-kata lucu. Dalam Prasasti Wukajana dari masa Balitung disebutkan adanya pertunjukan mamidu oleh sang Tangkil Hyang. Si Nalu menceritakan kisah Bhimma Kumara sambil menari memerankan tokoh Kicaka, si Jaluk menceritakan Ramayana, si Mungmuk melawak dengan gerakan tubuh yang lucu, dan si Galigi mendalang untuk hyang dengan cerita Bhimma Kumara. Lalu dalam relief Karmawibhangga di Candi Borobudur tergambar pemusik jalanan yang meniup sepasang terompet. Di hadapannya, menurut Titi, berdiri seorang laki-laki dalam gerakan lucu. Para penonton pun tertawa melihatnya. Supratikno menduga pelawak tak hanya tinggal dan melakukan aktivitas di desa, pasar, dan daerah sima. Mereka juga sering melawak di istana. Dalam Kakawin Nagarakrtagama disebutkan pelawak hadir menghibur para tamu dalam pesta tahunan kerajaan setiap bulan Palguna di akhir tahun Saka. Seluruh warga Majapahit mengadakan pesta untuk menghormati Sang Prabu. Acara puncak perayaan dipusatkan di ibukota kerajaan. , seorang ronggeng menandak sambil melawak berpasangan dengan pejabat sepuh daerah. Kerena berbakat membadut, dia dengan kocaknya memperagakan isi kidung yang ditembangkannya. Dia berjalan berkeliling menjemput pejabat untuk menari dengannya. Pola tingkahnya menerbitkan gelak tawa. Dia sampai dipanggil Sri Paduka untuk minum bersama. Dia dianugerahi kain indah oleh beberapa pejabat.

  • Menyambung Nyawa di Udara China

    TEROR pemboman udara Jepang menghantui Kota Chongqing (Chungking) dan sekitarnya. Chongqing menjadi ibukota darurat Republik Cina di bawah pemerintahan nasionalis pasca-jatuhnya Nanjing (Nanking) akibat serbuan Jepang pada Perang Sino-Jepang II yang bermula pada 7 Juli 1937. Chongqing mulai jadi sasaran pemboman pesawat-pesawat Jepang pada 18 Februari 1938. Nyaris 300 serangan udara dengan ribuan ton bom tercatat digulirkan pesawat-pesawat Kaigun (Angkatan Laut) dan Rikugun (Angkatan Darat) Jepang. Sasarannya tak hanya basis-basis militer, namun juga sejumlah sekolah, rumahsakit, gereja, dan permukiman sipil. Kengerian invasi dan pemboman itu, yang diselingi beberapa rekaman asli, menjadi narasi pembuka film bertajuk Air Strike garapan sutradara Xiao Feng. Sang sineas ingin lebih dulu mengingatkan penonton akan keganasan agresi Jepang dan dampak-dampaknya yang tak terperikan sebelum menyajikan beragam plot dramatis dan heroik seputar tragedi berdarah di Chongqing. Premis film ini berfokus pada tiga sub-kisah yang lantas mengerucut di pertengahan film. Pertama , tentang sebuah skadron berisi para kadet muda Angkatan Udara (AU) Cina yang dipimpin penasihat militer Amerika Serikat (AS) Kolonel Jack Johnson (Bruce Willis). Kedua , tentang seorang opsir penerbang Xue Gang Tou (Liu Ye) yang punya misi menyelundupkan mesin kode buatan Inggris, dan ketiga, kisah seorang Paman Cui (Fan Wei) yang mewakili kegetiran hidup warga sipil Chongqing akibat teror pemboman. Tak ketinggalan, Air Strike juga menyisipi aktivitas rumahsakit dengan banyak tenaga medis asing, termasuk dokter asal Amerika Steve (Adrien Brody), yang kepayahan akibat terus kebanjiran pasien akibat pemboman. Adrien Brody (kanan) di suatu adegan dalam film Air Strike. (Lionsgate). Dalam kisah skadron yang berbasis di Pangkalan Udara Chongqing, Kolonel Johnson tak hanya direpotkan oleh minimnya alutsista tapi juga oleh inferiornya kekuatan AU Cina. Hanya dengan belasan pesawat tempur buatan Uni Soviet seperti Polikarpov I-15 (153) dan Polikarpov I-16, mereka mesti menghadapi kekuatan udara Jepang yang lebih superior dengan pesawat Zero dan pesawat Pembom Mitsubishi G3M-nya. Ego menggebu untuk membalas kekejaman Jepang para kadetnya acapkali juga merepotkan Johnson. Tak jarang mereka indisipliner dan sulit menerima keputusan-keputusan strategis. Satu per satu pilot Cina yang memberi perlawanan terhadap teror udara Jepang berguguran. Untung mereka gugur setelah memberi perlawanan sengit dengan manuver-manuver ciamik. Sementara, perjuangan Gang Tou, pilot yang di- grounded untuk mengawal misi penyelundupan mesin kode, juga tak kalah pelik. Dia berjibaku melindungi truk bermuatan penting itu dari Pelabuhan Yixi menuju markas pusat militer Cina di Chongqing. Bahaya tak semata berasal dari serangan udara Jepang, tapi juga dari mata-matanya. Adapun Paman Cui, yang remuk hatinya setelah tahu putranya tewas oleh serdadu Jepang, memilih mendarmabaktikan dirinya untuk kepentingan militer Cina. Uang yang didapatnya dari kontes burung dan permainan Mahjong, dia donasikan untuk militer dan jadi inspirasi buat warga lainnya untuk melakukan hal serupa. Bagaimana kelanjutannya? Baiknya Anda tonton sendiri. Film ini dirilis pada 26 Oktober 2018, setelah sempat beberapa kali ganti judul. Sebelum berjudul  Air Strike , film ini hendak diberi judul  The Bombing dan Unbreakable Spirit . Film bergenre fiksi action yang berangkat dari kepedihan semasa pendudukan Jepang ini tak hanya menampilkan drama tapi juga memanjakan para pecinta genre perang, khususnya pertempuran udara. Visual efek pertempuran udaranya cukup apik dan kualitasnya hanya sedikit di bawah film-film sejenis di era modern, seperti Hurricane (2018), Eternal Zero (2013), Red Tails (2012), The Red Baron (2008), For Those We Love (2007), Flyboys (2006), Pearl Harbor (2001), atau The Tuskegee Airmen (1995). Adegan duel udara Zero Jepang vs I-16 Polikarpov dari AU China. (Lionsgate). Fakta Film dan Sejarah Kendati suara tangis bayi dan anak-anak korban pemboman Jepang dalam berbagai adegan film berbujet 982 miliar rupiah ini terasa menusuk di hati, Air Strike “terpeleset” dalam beberapa detail. Satu di antaranya soal dialog. Kealpaan ini turut disayangkan kritikus Anthony Kao. Dalam cinemaescapist .com, 26 Oktober 2018, dia menyoroti dialog antara Kolonel Johnson dan An Ming Xun (Song Seung-heon), wartawati cantik Xinhua Daily , di markas skadron. “Tambah aneh dan tak logis sebenarnya adegan itu sendiri,” ujar Kao. Yang jauh lebih penting, sutradara menggarap film ini terlalu bernuansa Hollywood. Xiao Feng sama sekali tak menggambarkan atau sekadar menyinggung keberadaan pelatih maupun pilot-pilot Uni Soviet. Padahal faktanya, menurut John Erickson dalam The Soviet High Command: A Military-Political History, 1918-1941 , Soviet jadi penyokong pertama AU Cina dalam Perang Sino-Jepang II lewat pendirian Soviet Volunteer Group. Pilot-pilot sukarelawan Uni Soviet di suatu pangkalan di China pada 1938. (Wikimedia Commons). Sejak Desember 1937 sampai 1940, Soviet tercatat memberi bantuan 563 pesawat tempur dan 322 pesawat pembom yang tidak hanya untuk diterbangkan para pilot sukarelawan Soviet namun juga pilot-pilot Cina di berbagai pangkalan. Penggunaan pesawat Polikarpov I-153 dan I-16 di film ini menjadi buktinya. Memang, sejak ditandatanganinya Pakta Non-Agresi antara Jepang dan Soviet pada April 1941, para pilot sukarelawan Soviet ditarik dari Cina. Itu menyebabkan Cina mengalihkan permohonan bantuan pada Amerika, yang kemudian melahirkan American Volunteer Group (AVG) “Flying Tigers” di bawah komando Brigjen Claire Lee Chennault. Apalagi Xiao Feng mengklaim film fiksinya ini terinspirasi dari kisah nyata. Mestinya eksistensi sokongan Soviet tetap ditampilkan mesti porsinya secuil seperti, misal, dalam Hurricane yang lebih dulu rilis di tahun ini. Kendati yang jadi fokus pengisahannya adalah para pilot Polandia yang bertempur di angkasa Inggris, film itu tetap tak menyingkirkan fakta keberadaan seorang pilot Cekoslovakia dan instruktur asal Kanada di sebuah unit tempur yang sohor, Skadron 303. Satu “kepelesetan” lain yang patut disoroti dari film ini, adalah keberadaan sebuah pesawat tempur P-40 Warhawk. Entah bagaimana datangnya pesawat baru yang sekonyong-konyong jadi rebutan dua penerbang Cina ini. Mestinya, tak hanya ada satu pesawat yang jadi alutsista tambahan dari Amerika sejak menggantikan Soviet pada 1941.  Dalam Army Air Forces in WWII: Vol. 1 , tercatat Amerika menghibahkan ratusan pesawat berbagai jenis hingga berakhirnya Perang Pasifik. Data Film Judul: Air Strike | Sutradara: Xiao Feng | Produser: Jian-Xiang Shi, Buting Yang | Pemain: Bruce Willis, Adrien Brody, Rummer Willis, Fan Bingbing, Liu Ye, Song Seung-heon, Fan Wei | Produksi: China Film Group Corporation, Origin Films, Shanghai Nangou Films, Hollywood International Film Exchange| Distributor: China Film Group Corporation, Blue Box International | Genre: Drama Perang | Durasi: 96 Menit | Rilis: 26 Oktober 2018.

  • Cara Berpakaian Orang Jawa Kuno

    TAK kalah menawan dengan Putri Indumati, ina dan uwa- nya, bersolek mengenakan baju merah. Keduanya belum terlalu tua. Rambut mereka bergelombang, diselingi warna kelabu. Lalu para dayang belia datang bagaikan dewi, mengenakan kemben kain wulang emas. Selendang emas murni yang mereka sampirkan pada bahu tampak berkilauan seperti sayap untuk terbang. Mereka masih keturunan bangsawan sahabat raja. Mereka tengah menghadiri sayembara memperebutkan Putri Indumati. Suasana itu diungkapkan oleh Mpu Monaguna, pujangga dari Kadiri pada abad ke-13 M lewat karyanya Kakawin Sumanasāntaka. Dari gambaran singkat itu terbayang bagaimana pakaian orang-orang pada masa lalu. Selain dari karya sastra, informasi itu juga muncul dalam relief candi dan prasasti.   Menurut Petrus Josephus Zoetmulder, ahli sastra Jawa Kuno, kain wulang adalah perangkat busana perempuan saat seremonial. Bentuknya secarik kain dengan panjang sekitar lima belas kaki yang dililitkan pada batang tubuh. Wulang menutupi tubuh dari pinggang sampai batas atas payudara. Perlengkapan sandang yang dipakai pada abad ke-13 M itu sedikit berbeda dengan cara berpakaian empat abad sebelumnya. Inda Citraninda Noerhadi dalam Busana Jawa Kuna mengelompokkan jenis pakaian yang dijumpai dalam relief di kaki Candi Borobudur. Kebanyakan, khususnya perempuan, digambarkan tak menutupi bagian payudara. Pakaian perempuan paling sederhana hanya selembar kain. Panjangnya sebatas lutut. Cara pakainya diputar di badan dari arah kiri ke kanan dan berakhir di sisi kanan. Kain itu dipakai di bawah pusar. Mereka tak memakai perhiasan atau hanya anting-anting sederhana. Terkadang dilengkapi selendang atau kain kecil di bagian pinggang. Dalam relief itu, perempuan juga digambarkan memakai kain dari sebatas bawah pusar hingga mata kaki atau pergelangan kaki. Mereka biasanya pakai kalung, anting-anting, dan ikat pinggang berupa kain. Hiasan di kepala berupa rambut yang disusun ke atas atau disanggul. Sebagian yang lain, pakaiannya berupa kain panjang yang sama seperti sebelumnya. Namun, dihiasi dengan ikat di bagian pinggul dengan hiasan permata dua susun. Pakaiannya lebih kaya dengan beragam perhiasan, gelang, kalung, anting-anting, kelat bahu, gelang kaki. Dipakai juga semacam tali polos yang diselempangkan dari bahu kiri ke pinggang kanan. Hiasan kepalanya berupa susunan rambut yang diangkat tinggi dan diberi tambahan dengan hiasan permata. Sementara untuk pakaian pria, yang paling sederhana hanya memakai kain serupa cawat atau celana pendek. Ada pula yang memakai kain pendek sampai lutut atau kain panjang hingga mata kaki. Mereka memakai perhiasan seperti gelang, kalung dan anting-anting, ditambah ikat pinggang. Rambutnya disanggul dan diberi hiasan seperti bunga-bunga. Pakaian lengkap biasanya kain panjang dilengkapi ikat pinggang berhiasakan permata. Ikat dada, selempang kasta atau . Perhiasannya ramai, seperti gelang, kalung, anting-anting, kelat bahu, dan gelang kaki. Hiasan kepalanya berupa mahkota yang tinggi berhias permata.  Kelas Sosial Berdasarkan gambaran relief itu, Inda melihat masyarakat biasanya tak memakai perhiasan. Mereka yang berkedudukan tinggi secara sosial seperti bangsawan yang mampu memakai beragam perhiasan, seperti mangkota, anting, kelat bahu, kalung, gelang, gelang kaki, dan sebagainya.   “Pada masyarakat berstatus rendah pakaian fungsinya menutupi dan melindungi, sedangkan untuk yang berstatus tinggi berfungsi menghias tubuh,” jelas Inda. Beda lagi dengan kaum brahmana. Para pendeta digambarkan berjubah yang bahu kanannya terbuka. Dalam prasasti para pendeta diberi pakaian khusus yang disebut sinhel. Hal yang sama diungkapkan catatan Sejarah Dinasti Liang dari abad ke-6 M. Di Jawa, baik pria maupun wanita tidak ada yang mengenakan penutup dada. Namun, mereka mengenakan sarung katun untuk menutupi bagian bawah tubuh. Rambut mereka dibiarkan tergerai. Sementara kalangan bangsawan dan raja mengenakan kain bergambar bunga yang tipis (selendang) untuk menutupi bagian atas tubuh. Mereka pun mengenakan ikat pinggang emas dan anting-anting emas. “Gadis-gadis muda menutupi tubuh mereka dengan kain katun dan mengenakan ikat pinggang sulam,” ungkap catatan yang diterjemahkan W.P. Groeneveltdt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa itu . Tak cuma dari cara berpakaian. Jenis kain pun menunjukkan identitas sosial. Supratikno Rahardjo dalam Peradaban Jawa mengungkapkan berdasarkan data prasasti pakaian laki-laki biasanya disebut wdihan . Sedangkan pakaian untuk perempuan disebut kain atau ken. “Saat upacara sima , di awal rangkaian acara pimpinan desa, yang mendapat anugerah sima dari raja, membagikan harta kekayaannya kepada anggota masyarakat yang berasal dari berbagai lapisan sosial, salah satunya pakaian,” jelas Supratikno. Supratikno menyebutkan beberapa jenis kain yang dikenal dalam sumber-sumber Jawa Kuno. Kain yang masuk dalam jenis wdihan adalah ganjar haju patra sisi, ganjar patra sisi, ganjar haji, ganjar patra, jaro haji, jaro, bwat kling putih, bwat pinilai, pinilai, bwat lwitan, kalyaga, pilih angsit, rangga, tapis, siwakidang, bira/wira, jaga, hamawaru, takurang, alapnya, sularikuning, ragi, pangalih, ambay-ambay, lunggar, bwat waitan, cadar, lwir mayang, putih, raja yoga, pamodana, ron paribu, suswan, prana, sulasih, tadahan, dan syami himi-himi. Sementara yang termasuk ken/kain adalah jaro, kalagya, pinilai, bwat wetan, bwat lor, pangkat, bwat ingulu, kalangpakan, atmaraksa. kaki, putih, rangga, dan kalamwetan. Kain-kain itu, menurut Inda, diberikan kepada seseorang sesuai status sosialnya. Dalam Prasasti Rukam 829 saka (907 M) disebutkan kain jenis ganjar patra diberikan kepada , gelar untuk putra sulung raja. Sementara dalam Prasasti Tunahan 794 saka (872 M) ganjar patra diberikan kepada Sri Maharaja. Pilih maging dalam Prasasti Sangsang (829 saka) juga diberikan kepada Sri Maharaja. Sementara dalam Prasasti Lintakan (841 saka) kain yang sama diberikan kepada . “Di dalam Prasasti Poh (827 saka) wdihan kalyaga diberikan kepada , , , , ,” jelas Inda. Di dalam Prasasti Mulak 800 saka (878 M) disebutkan kain jenis wdihan rangga diberikan kepada . Dalam Prasasti Humanding 797 saka (875 M) wdihan angsit diberikan kepada . Wdihan bira dalam Prasasti Kwak I (801 saka) diberikan kepada pejabat , , , , dan sebagainya. Dalam Prasasti Gandhakuti (1042 M) disebutkan penerima hak istimewa diperbolehkan memakai apa saja yang biasa dipakai di dalam Mereka diperbolehkan memakai pakaian pola  ringring bananten yang mungkin artinya kain halus,  patarana benanten,  kain berwarna emas, pola patah,  ajon  berpola belalang, berpola kembang, warna kuning, bunga teratai, berpola biji, kain dengan motif bunga teratai hijau,  sadangan  warna kunyit, kain  nawagraha , dan  pasilih galuh.  “Contoh dalam kebudayaan Jawa (sampai sekarang, ) ternyata terdapat aturan menggunakan pakaian yang berkaitan dengan status sosial,” kata Inda. “Pada penggunaan kain batik, ada motif yang merupakan pantangan.”

  • Utami Mendobrak Kungkungan Adat Jawa

    KETIKA ikut mewakili Indonesia dalam All Indian Women’s Congress di Madras, India pada Desember 1947, Utami Suryadarma berkesempatan menemui pejuang Mahatma Gandhi. Kesempatan itu dimanfaatkan Utami untuk berdialog. “Apakah perjuangan Indonesia akan berhasil?” tanya Utami mengingat kondisi Indonesia sedang mempertahankan kemerdekaan dari Agresi Militer Belanda. “Apabila Anda percaya itu akan berhasil, maka akan berhasil,” jawab Gandhi. Momen bersejarah itu disaksikan dan dicatat oleh Herawati Diah dalam Kembara Tiada Berakhir. Keberangkatan Utami ke India menjadi peristiwa penting dalam perjuangan bangsa mempertahankan kemerdekaan dan perjuangan perempuan Indonesia. Utami memang tak populer dalam sejarah Indonesia. Penyebab terpentingnya apalagi kalau bukan monopoli sejarah oleh rezim Orde Baru. Padahal, Utami aktif dalam perjuangan kemerdekaan sejak remaja. Bersama kakak perempuan sekaligus rekan persekongkolannya, Utari, dia pernah mendirikan Majalah Pahesan (berarti cermin) dengan modal dari patungan uang saku mereka plus bantuan beberapa donatur tetap. Selain Utami dan Utari, pengurus pertama Pahesan adalah Suleki (di kemudian hari menikah dengan Prof. Selo Soemardjan), Erna Djajadiningrat, Marasah, Nun, dan Sjamsidar. Meski tulisan-tulisan Pahesan menggunakan bahasa Belanda, Utami menyebut watak tulisan Pahesan tetap nasionalis. Pahesan seringkali mengangkat nasib kaum perempuan di masanya, seperti kepincangan hak perempuan dalam perkawinan, dan ketidakadilan yang diterima rakyat pribumi. Kritik Utami dan kawan-kawan dalam Majalah Pahesan menjadi perhatian Politieke Inlichtingen Dienst (PID) atau Dinas Intelijen Politik pemerintah Hindia Belanda. Ayah Utami, Raden Ramelan, pernah mendapat teguran dari kepala Kepolisian Surakarta. Raden Ramelan yang kala itu bekerja sebagai pegawai negeri, diperingatkan kalau kedua putrinya akan dipaggil untuk mempertanggungjawabkan tulisan-tulisan mereka di Pahesan . “Tapi ancaman itu tidak pernah dilaksanakan,” kata Utami dalam memoarnya , Saya, Soeriadi, dan Tanah Air . Raden Ramelan menentang keras kedua putrinya, Utami dan Utari, ikut dalam pergerakan nasional atau kegiatan berbau politik meski dia sendiri anggota Budi Utomo. Dia amat khawatir terhadap keamanan kedua putrinya. Utami dan ayahnya sering berdebat sengit soal pandangan politik sampai sang ibu harus turun tangan untuk mendamaikan. Meski berdebat keras, Utami tetap menurut dan luluh oleh pernyataan ayahnya, “Kalau saya tidak bekerja untuk pemerintah Hindia Belanda, bagaimana saya dapat menyekolahkan kamu semua?” Setelah itu, Utami dan Utari harus membujuk sang ayah setengah mati untuk bisa keluar melihat pertunjukan atau kegiatan kepanduan. Utami menyebutnya setengah dipingit. Gagal Jadi Filsuf karena Ayah Setelah lulus dari AMS Yogyakarta, Utami berkeinginan meneruskan pendidikan ke Rechts Hoge School atau ke Fakulteit van Oosters Letter en Wijsbegeerte (Fakultas Sastra Timur dan Filsafat) di Leiden, Belanda. Tapi, kata Utami, “Semua kandas karena larangan orangtua.” Sebagai keluarga ningrat Surakarta, Raden Ramelan membesarkan dan mendidik anak-anaknya dengan budaya amat feodal. Ramelan tak ingin anak-anak perempuannya menempuh pendidikan tinggi karena baginya perempuan yang meraih pendidikan tinggi akan menjadi perawan tua. Pandangan itulah yang dilawan Utami. “Saya bersedia menjadi perawan tua karena sebagai seseorang yang menganggap diri feminis, saya ingin meraih sesuatu dengan kemampuan sendiri,” kata Utami. Utami mengidamkan hidup mandiri dan menentukan jalan hidupnya sendiri, bekerja dan mencari nafkah sendiri. Namun sayang, dia hidup di lingkungan yang masih memegang teguh adat. Ditambah kesulitan ekonomi yang dialami keluarganya, cita-cita Utami untuk menjadi sastrawan dan filsuf akhirnya gugur. Beruntung, Utami kemudian bertemu dengan Soeriadi Suryadarma (KSAU dan KSAP pertama). Pertemuan itu menjadi sebuah keberuntungan bagi Utami, pasalnya dia mendapatkan rekan persekongkolan baru. Soeriadi sepemikiran dengan Utami. “Baginya perempuan sederajat dengan laki-laki,” kata Utami menerangkan pandangan Soeriadi. Soeriadi mendukung penuh seluruh keaktifan Utami baik dalam gerakan perempuan maupun hobi membacanya. Di masa perempuan dalam kondisi terkungkung baik secara budaya maupun sistem sosial itu, seorang gadis tak bisa bergerak sendiri tanpa dukungan pihak lelaki, entah ayah ataupun suaminya. Dukungan Soeriadi tak hanya memuluskan jalan Utami meraih cita-cita tapi sekaligus menjadikan mereka pasangan senasib-seperjuangan. “Saya menolak mencuci kaki calon suamiku dan membuat sembah kepadanya. Untungnya, Soeriadi tidak berbeda pandangan dengan saya, karena jiwanya sama tidak konvensionilnya,” kenang Utami tentang hari pernikahannya. Keaktifan Utami dalam gerakan perempuan dan nasionalis makin menjadi setelah menikah. Lantaran suaminya tentara Hindia Belanda, Utami harus sembunyi-sembunyi jika ingin hadir dalam pertemuan gerakan, salah satunya Kongres Perkumpulan pemuda Putri Indonesia (PPPI), organisasi perempuan dari Jong Java. Semasa pendudukan Jepang, Utami menjadi relawan di Rumah Sakit Subang, membantu dokter Soehardi Hardjoloekito. Ketika tinggal di Batavia, Utami mengikuti satu studie club. Di sanalah dia mulai kenal dengan banyak pejuang perempuan lain seperti Maria Ullfah, Siti Soendari, dan Herawati Diah. Utami kemudian ikut aktif dalam Kongres Perempuan Indonesia. Sebagaimana diungkap Sejarah Setengah abad Kesatuan Pergerakan Wanita Indonesia, pada 1946 Utami duduk sebagai anggota Penerangan Kowani. Sebuah rapat Kowani menyepakati, Utami yang menjabat sebagai ketua Bidang Penerangan Luar Negeri Kowani ditugaskan berangkat ke All Indian Women’s Congress di Madras mewakili para perempuan Indonesia. Utami berangkat bersama anggota Kowani lain seperti Siti Sukaptinah Mangunpuspito, Sulianti, dan Jo Kurnianingrat Sastroamidjojo dengan menunmpang pesawat Kalinga Air milik pengusaha India Biju Patnaik. “Utami orang yang gigih mengupayakan berangkatnya duta-duta perempuan ke Madras,” kenang Herawati . Di India, mereka bertemu Herawati Diah yang datang untuk meliput dan menjadi saksi upaya para perempuan menyebarkan kabar kemerdekaan.

  • Saatnya Belajar dari Sepakbola Jepang

    TODD Rivaldo Ferre dkk. tertunduk lesu. Asa Timnas Indonesia U-19 untuk melangkah lebih jauh di turnamen AFC Cup U-19 2018 tertutup sudah. Langit seolah ikut menangis lewat derasnya guyuran hujan. Sekira 70 ribu suporter di Stadion Utama Gelora Bung Karno jadi saksi kekalahan 0-2 Timnas Indonesia U-19 dari Jepang U-19 di babak perempatfinal, Minggu malam, 28 Oktober 2018. Tim besutan Indra Sjafri gagal menyempurnakan peringatan Sumpah Pemuda ke-90. Ekspektasi publik kembali mentok. Padahal sebelumnya menyeruak harapan besar untuk minimal sampai ke semifinal. Pasalnya, empat semifinalis akan otomatis ikut Piala Dunia U-20 di Polandia 23 Mei-15 Juni 2019 mendatang. Toh, Coach Indra Sjafri tak menyesal dengan hasil itu. Dalam konferensi persnya usai laga, dia justru bangga. “Saya yakin level sepakbola Indonesai dengan Jepang dan negara-negara lain sudah kompetitif,” katanya. Pandangan berbeda justru datang dari pengamat sepakbola dan pembinaan usia dini Timo Scheunemann. “Soal itu saya enggak setuju walau maksudnya coach Indra itu baik, dia mengangkat harapan. Karena memang coach Indra kan kelebihannya di motivasi dalam hal mental dan ingin menunjukkan kalau kita enggak kalah,” ujar Timo saat dihubungi Historia . Menurut mantan pelatih, eks-Direktur Pembinaan Usia Muda PSSI, dan penulis buku Dasar-Dasar Sepakbola Modern , 14 Ciri Sepakbola Modern dan Kurikulum Dasar Sepakbola untuk Pembinaan Usia Dini itu secara objektif kemampuan, pengetahuan taktik, keputusan dalam bermain (Indonesia, red .) masih kentara tertinggal jauh dari Jepang. “Di level junior, pencapaian ini sebenarnya sudah luar biasa. Tapi memang lebih karena faktor coach Indra yang bisa mengangkat nasionalisme, kepercayaan diri, hingga pemain yang mentalnya selama ini sudah kalah sebelum berperang itu dibenahi. Jadi mereka modal semangat, modal tak kalah sebelum bertanding,” lanjut Coach Timo. Berguru pada Murid Tampil di pentas terbesar sejagat kategori usia di bawah 20 tahun sejatinya pernah dicicipi timnas Indonesia di Piala Dunia Junior di Jepang tahun 1979. Kendati pulang dari Jepang dengan hasil remuk redam, setidaknya nama Indonesia pernah tercantum sebagai salah satu tim junior terbaik dunia. Kekalahan itu plus kekalahan dari Jepang pekan lalu sudah semestinya jadi bahan pembelajaran. Kalau perlu, Indonesia balik berguru pada Jepang selaku salah satu raksasa Asia saat ini. Balik berguru? Ya, pada 1991 Jepang pernah berguru ke Indonesia saat membenahi liganya yang saat itu masih semi-profesional. “Semi profesional karena pemain klub, misal Matsushita (maksudnya Gamba Osaka, red .), ya pemainnya diambil dari pegawai Matsushita, bukan orang luar yang memang dikontak karena skill -nya,” ujar Ricky Yacob, pemain legendaris yang jadi pemain Indonesia pertama yang dikontrak klub Jepang, kepada Historia lima tahun silam. Jepang mempelajari betul Galatama (Liga Sepakbola Utama), kompetisi profesional Indonesia yang lahir pada 1979. “Itu awalnya melihat dan mendapatkan konsep (liga) bahwa yang paling bagus model Galatama. Jadi tim-timnya bukan terkait dengan instansi pemerintah tapi dengan perusahaan besar. Tapi justru setelah itu di Indonesia malah terkait dengan pemerintahannya seperti itu. Karena banyak skandal suap juga di Galatama. Namun bukannya dicari solusinya, malah akarnya dicabut (Galatama bubar),” sambung Timo. Jepang pada akhirnya bukan sekadar mampu membuat liga profesional namun  mengembangkannya lebih jauh sehingga laku dijual. Soal pendidikan pelatih dan pembentukan sejumlah akademi di bawah klub-klub profesionalnya juga menjadi inti pembenahan oleh JFA (Federasi Sepakbola Jepang) itu. Hasilnya, pada 1993 Jepang sudah punya kompetisi pro, J-League. Sejumlah pemain Jepang kemudian dilirik klub top Eropa. Kazuyoshi Miura mempelopori “eksodus” pesepakbola profesional Jepang ke liga Eropa ketika dia dikontrak klub Serie A Genoa. Namun, bintangnya tak seterang Hidetoshi Nakata yang mengikuti jejaknya beberapa tahun kemudian dengan klub Perugia. Kazuyoshi Miura, pelopor pemain Jepang di Eropa. (themillenial.it). Di perantauan, mental para pemain Jepang ditempa dan itu terbawa saat mereka pulang untuk membela Timnas Jepang. Hasilnya, sejak 1995 Jepang tak pernah absen masuk Piala Dunia Yunior dan sejak 1998 juga senantiasa lolos ke Piala Dunia. Kemauan Jepang belajar dan melewati fase-fase pembelajaran itu mestinya ditiru Indonesia. Sayang, hal itu justru hilang dari persepakbolaan Indonesia tiga dekade belakangan. “Kalau memang dikatakan (Indonesia) tidak tertinggal, tentu akan terlihat di timnas senior. Tapi nyatanya kita masih tertinggal jauh. Enggak bisa mengejar kalau pendidikan pelatih tidak digencarkan, kemudian akademi-akademi yang ada sudah diperbaiki dan diseriusi lagi, tidak hanya sekadar memenuhi persyaratan,” tambah Timo. Senada dengan Timo, Ricky mengatakan salah satu prasyarat yang harus dilalui untuk memperbaiki persepakbolaan Indonesia adalah kompetisi tingkat junior. “Yang di bawah ini mesti dibenahi dulu, disediakan wadah kompetisi. Di situ kita bisa lihat mana anak yang benar-benar bagus sehingga kita punya database . Jadi enggak terjadi lagi PSSI mau cari pemain usia sekian, 800 orang mesti diseleksi selama tiga hari. Bagaimana menyeleksinya?” ujar Ricky. Beruntung, belakangan PSSI memulai lagi fase-fase itu secara bertahap. Kompetisi usia muda yang berafiliasi dengan klub sudah mulai bergulir, terutama di kategori U-16 dan U-19. “Terakhir saya lihat Tim U-16 Bhayangkara FC melawan PSMS dan itu permulaan yang positif. Tapi yang saya harapkan pembinaan skala ini dijalankan profesional. Jangan melihat investasi akademi sebagai beban, hanya karena menjalankan regulasi, itu yang repot,” ujar Timo. Pembinaan di akademi memang bukan investasi yang “basah”. Namun, itu harus dilalui jika ingin persepakbolaan Indonesia maju. Hasil dari proses panjang itu bisa dilihat dalam prestasi Jepang, China, dan India yang mulai seirus membangun pembinaan pemain usia mudanya. “Mesti dilakukan secara profesional demi Indonesia juga. Karena timnas itu hasil liga profesional yang bagus. Liga yang bagus bahan bakunya ya dari akademi. Kita enggak bisa selalu bicara tentang duit seperti di Eropa,” tutup Timo.

  • Jasa Patnaik untuk Republik

    KECELAKAAN pesawat Lion Air JT 610 di Karawang, Jawa Barat pada 29 Oktober 2018 meninggalkan duka mendalam bagi keluarga para korban. Duka juga melanda sebuah keluarga di India, tempat pilot Bhavye Suneja berasal. “Orang tua Suneja dikabarkan langsung bertolak ke Indonesia untuk mengetahui nasib anaknya tersebut,” tulis cnnindonesia.com 30 Oktober 2018. Kepergian Suneja merupakan sedikit tanda dari besarnya hubungan Indonesia-India yang telah terjalin lama. Di masa Indonesia belum lama lahir dan masih belajar “merangkak”, India dengan tokoh nasionalisnya Jawaharlal Nehru (kemudian perdana menteri) merupakan salah satu pendukung terpenting. Banyak bantuan India tiba di Indonesia. Banyak bantuan itu bisa sampai karena simpati, keberanian, dan kerja keras Biju Patnaik. Bijayananda Patnaik, lebih dikenal dengan Biju Patnaik, merupakan pilot sekaligus pengusaha maskapai penerbangan Kalinga Air. Pria kelahiran Orissa (kini Odisha, India), 5 Maret 1916 itu merupakan pejuang nasionalis India sejak muda. Kesamaan pandangannya dengan Nehru membuatnya menjadi salah satu sahabat yang dipercaya Nehru. Keduanya sama-sama bersimpati pada perjuangan kemerdekaan Indonesia. Hal itu menjadi pertimbangan Nehru memilihnya untuk memikul tanggung jawab dalam membantu perjuangan Indonesia. Pada awal Juni 1947, Patnaik dan istrinya, Gyana Devi, terbang menggunakan pesawat Dakota bernomor registrasi VT-COA milik Kalinga Air ke Lanud Maguwo (kini Adisucipto). Keduanya mengantarkan bantuan obat-obatan untuk Indonesia. Setibanya di Yogyakarta, tanpa keberatan Patnaik mengizinkan pesawatnya dipinjam AURI untuk digunakan melatih para penerbang. Adisucipto, Abdulrahman Saleh, dan Iswahyudi merupakan di antara sedikit penerbang yang menjajal pesawat Patnaik itu. Sementara pesawatnya digunakan AURI, Patnaik memanfaatkan kunjungannya ke Indonesia selama dua minggu untuk berkeliling dan berkenalan dengan tokoh-tokoh politik, terutama Presiden Sukarno. Patnaik lalu menjadi karib dengan Sukarno dan KSAU Suryadarma. Dalam perjalanan pulang, pesawatnya ikut ditumpangi dr. Sudarsono yang kemudian menjadi kepala perwakilan Indonesia di India, corong perjuangan Indonesia di dunia internasional. Kunjungan itu berlanjut ketika Patnaik kembali pada awal Juli. Ancaman Belanda yang akan menembak jatuh pesawatnya bila memasuki wilayah Indonesia tak dihiraukannya. Alih-alih takut, Patnaik justru mengancam balik. “Patnaik mengatakan kepada Aneta bahwa jika dia tidak diberi izin pada hari Minggu untuk melanjutkan perjalanannya, dia akan meminta Pemerintah India untuk segera menarik fasilitas KLM untuk mendarat di India,” tulis Dede Nasrudin dan Wawan Joehanda dalam Palagan Maguwo dalam Mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1949) . Patnaik akhirnya bisa pulang pada 21 Juli. Dalam perjalanan pulang itu dia membawa serta PM Sutan Sjahrir. “Sutan Sjahrir sendiri pergi ke luar negeri atas permintaan Presiden Sukarno untuk mencari dukungan dari dunia luar terhadap posisi Indonesia yang terus dijepit oleh Belanda,” tulis Nasrudin dan Joehanda. Dalam penerbangan itu menumpang pula beberapa perempuan pejuang dari Kowani yang akan menghadiri All Indians Women’s Congress di Madras, India. Utami Suryadarma, istri KSAU Suryadarma, salah satunya. “Semua ini dimungkinkan berkat bantuan saudara Bidu Patnaik. Memang suatu keajaiban, pesawat terbang Patnaik tidak diintersep oleh pesawat pemburu Belanda,” kenang Utami dalam memoarnya, Saya, Soeriadi, dan Tanah Air . Patnaik kembali ke Indonesia pada akhir Juli 1947. Setelah mengunjungi Presiden Sukarno, dia meneruskan penerbangan ke Bukittinggi dan menemui Wapres Moh. Hatta yang sedang tur Sumatera.   “Dengan membawa surat Sukarno yang dibawanya untuk aku, ia segera dibawa oleh beberapa orang polisi militer ke Rumah Tamu Agung. Diceritakannyalah pertemuannya dengan Sukarno dan pesan Sukarno supaya aku diterbangkan ke India abar bertemu dengan Nehru. Kepadaku diberikannya juga pakaian kopilot yang dibuat di Yogya. Dibawakannya pula paspor untukku atas nama Abdullah,” ujar Bung Hatta dalam memoarnya, Untuk Negeriku, Sebuah Otobiografi: Menuju Gerbang Kemerdekaan. Hatta menyambut baik bantuan Patnaik. “Tentu saja aku bersedia untuk pergi menemui sahabat lamaku Jawaharlal Nehru, teman seperjuangan dulu di Brussels, tahun 1927, dalam organisasi Liga Menentang Penjajahan dan untuk Kemerdekaan Nasional.” Hatta memperlakukannya sebagai tamu negara. Malam itu juga Hatta mengajaknya menonton pertunjukan seni di Padang Panjang. Pertunjukan itu antara lain menampilkan tunanetra Arsjad unjuk kebolehan bermain biola. “Patnaik terharu melihat anak buta itu menggesek biola dengan lancar dan baik. Setelah selesai pertunjukan, aku minta pengurus dan anak buta Arsjad datang ke tempatku dan kuperkenalkan mereka kepada Patnaik. Patnaik memuji permainan Arsjad. Pada tempat itu juga dijanjikannya bahwa ia akan meminta Pemerintah Republik Indonesia mengirim anak itu belajar pada suatu akademi musik di Brussels dan semuanya dengan biaya dia,” kenang Hatta. Tiga hari berselang, Patnaik mendaratkan Wapres Hatta di New Delhi. Dia langsung mengantarkan tamu negaranya itu ke kediaman Nehru. Saking dekatnya dengan Nehru, Patnaik sengaja mengerjai Nehru dengan mengatakan bahwa ada tamu dari Indonesia bernama Abdullah. Begitu Nehru menemui tamunya, dia kaget lantaran yang muncul sahabat lamanya, Hatta. Setelah berpelukan dengan Hatta, Nehru langsung memarahi Patnaik dan disambut tawa oleh Patnaik dan Hatta. Meski Hatta tak berhasil mendapatkan bantuan senjata dari Nehru lantaran India belum resmi merdeka, Hatta berhasil mendapatkan jaminan Nehru berupa bantuan obat-obatan dan barang-barang lain yang dikirim lewat Patnaik dan beberapa pilot India lain. Status belum merdeka India itu pula yang membuat –India belum resmi mengakui kemerdekaan Indonesia– AURI mendapatkan masalah ketika pada Mei 1948 mengirim 20 kadetnya ke India untuk menempuh pendidikan penerbang. Beberapa sekolah penerbangan di sana menolak menerima siswa para kadet AURI. Namun kegigihan dr. Sudarsono melobi Nehru dan dibantu upaya Patnaik membuat masalah itu dapat diatasi. “Peranan Patnaik sungguh luar biasa karena ia berani memberi jaminan kepada pemilik sekolah penerbang di India dengan mengatakan bahwa para kadet Indonesia tersebut nantinya akan bekerja untuk Kalinga Air,” tulis Adityawarman Suryadarma dalam Bapak Angkatan Udara Suryadi Suryadarma . Atas kontribusinya yang amat berani itu, Pemerintah Indonesia menganugerahi Patnaik warga negara kehormatan dan Bintang Jasa Utama. “Banyak hal-hal baik kami peroleh dari orang India. Mereka adalah penyelundup-penyelundup ulung. India menderita kelaparan. Sebagai balasan dari berton-ton beras yang kami kirimkan, kawan-kawan di sana menyelundupkan sebuah pesawat terbang untuk kami,” ujar Sukarno dalam otobiografinya yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia . Jasa luar biasa besar Patnaik terhadap AURI juga membuat Suryadarma selalu mengingatnya. “Di kemudian hari, Suryadarma selalu mengingatkan kepada seluruh personel AURI akan jasa Biju Patnaik yang luar biasa bagi pembangunan AURI di masa revolusi kemerdekaan,” tulis Adityawarman.

  • Ketika Djamin Gintings Rindu Tanah Air

    DI depan pintu keberangkatan bandara Ottawa, Kanada, Djamin Gintings mengecup istrinya, Likas Tarigan. Jenderal bintang tiga itu menitipkan sepucuk surat kepada Likas untuk disampaikan kepada Presiden Soeharto. Isinya adalah permintaan Djamin supaya dipulangkan ke Indonesia. Dia tak tahan menetap terus di Kanada yang dingin.    Hari itu, tanggal 10 Oktober 1974, menjadi perjumpaan terakhir Djamin dan Likas. Pada 23 Oktober, ketika Likas masih berada di Jakarta, datang kabar duka dari Kanada: Djamin Gintings meninggal dunia.  “Ah, andai aku tahu itulah kecup terakhir suamiku untukku,” kenang Likas Tarigas kepada Hilda Unu-Senduk dalam Perempuan Tegar dari Sibolangit. Dipakai lalu Diabaikan Lengsernya Presiden Sukarno mengubah konfigurasi dalam jajaran Staf Umum Angkatan Darat (SUAD). Soeharto yang baru naik tampuk kekuasaan mengganti orang-orang yang semula dipilih Yani. Mereka yang jadi korban maupun yang selamat dari peristiwa Gerakan 30 September, semuanya kena copot dari posisi masing-masing. Peter Dale Scott, mantan diplomat Kanada dan pakar politik University of California, dalam jurnalnya yang terkenal “Amerika Serikat dan Penggulingan Sukarno 1965—1967” menyebutkan dari enam perwira staf umum yang diangkat Yani, tiga di antaranya terbunuh: Soeprapto, S. Parman, dan Pandjaitan. Dari tiga orang yang selamat, dua orang disingkirkan Soeharto dalam delapan bulan: Moersjid dan Pranoto.    “Anggota terakhir dari stafnya Yani, Djamin Gintings telah digunakan oleh Soeharto selama menegakkan Orde Baru dan kemudian diabaikan oleh Soeharto,” tulis Scott dalam “The United States and the Overthrow of Sukarno, 1965-1967" yang diterbitkan Journal Pasific Affairs . Djamin Gintings bersama istrinya, Likas Tarigan. (Repro Dari Titi Bambu ke Bukit Kadir ). Posisi Djamin sebagai Asisten II digantikan oleh Soemitro yang semula menjabat panglima Mulawarman di Kalimantan. Djamin sempat menjadi Inspektur Jenderal AD, namun tak lama. Dia kemudian diparkirkan di luar SUAD dan mengisi hari-hari dengan beternak ayam ras. Memasuki 1970, pemerintah menugaskan Djamin untuk memenangkan pemilu. Untuk itu, Djamin memangku jabatan ketua Sektretariat Bersama Golkar Pusat. Jelang pemilu 1971, Djamin sampai turun ke tanah kelahirannya di Tanah Karo untuk kampanye. “Mulai dari Kuta Bangun, Sarinembah, dan mengadakan rapat raksasa di stadion Kabanjahe dengan pengunjung kurang dari 45. 000 orang,” tulis Robert Parangin-angin dalam Djamin Gintings: Maha Putra RI . Hasilnya, Golkar menang mutlak di Sumatera Utara yang mengantarkan Soeharto jadi presiden lewat pemilu perdananya. Djamin Gintings naik pangkat jadi letnan jenderal. Dia juga terpilih menjadi anggota DPR dan duduk dalam Komisi II merangkap ketua Diskusi Luar Negeri. Servis Djamin dirasa telah cukup. Masa pengasingan pun dimulai. Keluar dari Orbit  Pada 22 Maret 1972, Presiden Soeharto melantik Djamin Gintings sebagai Duta Besar Berkuasa Penuh untuk negeri Kanada. Suatu jabatan non militer. Dalam lubuk hatinya, Djamin tak menerima penempatan tugas baru ke negeri yang dekat dengan Kutub Utara itu. “Enggan suamiku menerima jabatan ini, tetapi sebagai abdi negara ia mematuhinya. Kepedihan hatinya dan rasa kecewanya yang menggunung dapat kurasakan,” tutur Likas. Menurut Likas, Djamin mendapat kesan bahwa dirinya disingkirkan. Pekerjaan diplomat bukanlah bidang Djamin yang lama bercimpung sebagai tentara lapangan. Dalam kejenuhannya, Djamin mengatakan bawa dia merasa terbuang. Kesehatannya berangsur-angsur menurun ditambah iklim Kanada yang kurang bersahabat.    Tiga tahun masa tugas di Kanada beringsut kelabu. Agar bisa kembali ke Indonesia, Djamin mengutus istrinya ke Jakarta menemui Soeharto. Tiba di Cendana, Likas diterima Ibu Tien Soeharto. Kepada Tien, Likas menceritakan kesehatan Djamin yang terganggu dan mengharapkan Presiden Soeharto memanggilnya pulang ke Indonesia. Djamin Gintings saat bertugas di Kanada sebagai duta besar. (Repro  Dari Titi Bambu ke Bukit Kadir ). “Rasanya tak sanggup suami saya melewati musim dingin di Kanada, Bu,” kata Likas kepada Tien seraya menyerahkan surat Djamin agar dibaca oleh Soeharto. Tien berjanji untuk menyampaikannya. Tiga hari berselang, surat sampai di tangan Soeharto. Presiden mengatakan telah memproses isi surat Djamin dan meminta Likas menghubungi Menteri Sekretaris Negara Soedharmono. Di kantor Mensekneg, tubuh Likas bergetar lemas. Soedharmono memperlihatkan disposisi presiden terhadap surat Djamin. Isinya: “Tunggu saja kunjungan saya bulan Juli 1975 di Kanada.” Itu artinya, permintaan Djamin ditolak atau setidaknya masih harus menunggu hingga tahun depan.       Apa rupanya persinggungan serius yang terjadi antara Djamin dan Soeharto?  “Tak perlu persinggungan,” kata sesepuh TNI AD Letjen (Purn.) Sayidiman Suryohadiprodjo kepada Historia . Menurut Sayidiman yang mantan Wakil KASAD ini, Djamin bukanlah bagian dari grup jenderal Soeharto. Dia menjelaskan, banyak perwira tinggi AD yang awalnya dipakai Soeharto bukan karena mereka cocok dengan Soeharto tapi karena ketidaksetujuannya yang tegas terhadap Nasakom dan PKI. Setelah masalah itu selesai, orang-orang seperti Djamin pun menjauh dari Soeharto. “Kalau Pak Harto merasa tak cocok dan orangnya juga tidak usaha untuk dekat Pak Harto, ya harus dijauhkan kalau ia pejabat penting,” kata Sayidiman. Djamin termasuk perwira yang enggan merapat ke kubu Soeharto. “Saya suka dia dan sedih ketika dapat kabar ia meninggal ketika jadi dubes di Kanada,” kenang Sayidiman.

  • Nasib Buruk Anak Nyai

    MALANG. Kata itulah yang paling tepat disematkan pada anak-anak tak berdosa yang lahir dari rahim perempuan-nyai di masa kolonial. Mereka menjadi komunitas terbuang, berada di luar masyarakat kulit putih maupun masyarakat pribumi. Anak-anak Indo-Eropa hasil pergundikan antara lelaki Belanda dan nyai pribumi itu tidak punya hubungan yang benar-benar nyata dengan masyarakat pribumi dan tidak mengusahakannya karena terlalu gengsi. Sementara untuk masuk ke dalam masyarakat Eropa mereka mendapatkan penolakan. Meski beberapa anak hasil pergundikan diakui ayah mereka sehingga bisa menyandang nama Eropa, status mereka di masyarakat tetap tidak jelas. Kemunculan anak Indo-Eropa sebagai kelompok baru masyarakat kolonial sudah menjadi kekhawatiran sejak praktik pergundikan dilakukan para kolonialis kulit putih. Kelompok Indo-Eropa ini dikhawatirkan membahayakan prestise kulit putih dan citra kolonial sebagai pemilik budaya yang mereka anggap luhur. Hal ini menjadi titik mula ketiadaan pengakuan masyarakat kolonial akan hubungan antarras. Anak hasil hubungan tuan-gundik diperlakukan dengan buruk bahkan sejak masa VOC. Dalam peraturan VOC tahun 1715 tercantum larangan mengangkat keturunan campuran penduduk asli menjadi pegawai VOC, apalagi bila masih tersedia orang lain (kulit putih tulen) yang berpotensi. Aturan itu diterapkan secara ketat. Bahkan ketika VOC kekurangan pegawai pada 1727, mereka ogah merekrut orang Indo-Eropa dan lebih memilih pedagang kecil Eropa yang belum tergabung di VOC untuk mendaftar. Dalam pengumumannya, VOC menekankan bahwa orang Eropa tulen harus diterima bekerja dengan berbagai cara dan lebih diutamakan dibanding anak-anak Indo-Eropa. Di mata VOC, tulis Jean Gelman Taylor dalam Kehidupan Sosial di Batavia , orang-orang yang lahir di negeri jajahan, khususnya ras campur, statusnya sangat rendah. Mereka hanya bisa menjadi tenaga militer atau juru tulis. Masa depan untuk naik ke jenjang yang lebih tinggi telah tertutup karena posisi tinggi diisi oleh lelaki yang datang dari Belanda. Anak perempuan hasil pergundikan pun mendapat nasib sama buruknya. Gubernur Jenderal C van der Lijn bahkan mengeluarkan aturan yang melarang semua perempuan yang lahir di negeri jajahan pergi ke Belanda tanpa izin khusus pada 1649. Diskriminasi pada orang Indo-Eropa terus berlanjut bahkan ketika kekuasaan dipegang pemerintah Belanda. Asal-usul mereka sebagai ras campur benar-benar menjadi sebuah rintangan untuk mendapat pekerjaan setara orang kulit putih tulen. Diskriminasi ini bahkan tercatat dalam hukum kolonial tahun 1839. Anak-anak yang lahir dari hubungan lelaki Eropa dan perempuan non-kulit putih kehilangan hak istimewa untuk mengenyam pendidikan Eropa, terlebih di Royal Academy Delft, Belanda. Padahal, pemerintah Belanda hanya mengangkat orang-orang lulusan Royal Academy untuk menjadi pejabat eselon. Oleh karena itulah orang Indo-Eropa tidak dapat menjadi pegawai tinggi pemerintahan. Departemen dalam negeri Hindia-Belanda di Jawa dan Madura juga tidak menerima anak-anak Indo-Eropa. Pemerintah tak ingin penduduk negeri jajahan berhadapan dengan anak-anak yang lahir dari hubungan ilegal, terlebih bila mereka duduk di dalam pemerintahan. Bagi pemerintah kolonial, kehadiran mereka dalam tubuh pemerintahan hanya mencoreng citra Belanda sebagai negara beradab. Diskriminasi yang mereka terima kemudian memuncak dan membuat orang-orang Indo-Eropa muak pada 1848. Pemerintah kolonial kemudian membuat pertemuan di Socitet de Harmonie. Dalam pertemuan tersebut, dilancarkan kritik atas diskriminasi terhadap kaum Indo-Eropa untuk memperoleh pendidikan dan pekerjaan sama seperti orang-orang yang didatangkan dari Eropa. Orang-orang yang melancarkan protes tersebut kebanyakan tokoh Eropa terkemuka yang tinggal di Hindia Belanda, seperti Menteri Hindia Belanda WR Baron van Hovel. Protes yang dilancarkan kaum Indo-Eropa ini sempat membuat Gubernur Jenderal JJ Rochussen cemas akan terjadi pemberontakan. Saking cemasnya, dia sampai menerapkan status siaga tinggi pada malam 12 Mei 1848 dan memerintahkan garnisun Batavia berjaga-jaga di Harmonie. Namun kekhawatiran itu tak terbukti karena petemuan berlangsung lancar. Tetap saja, anak Indo-Eropa yang bisa duduk di pemerintahan dan mendapat pekerjaan layak adalah Indo-Eropa yang lahir dari ayah kaya atau berpangkat tinggi. Padahal, kebanyakan anak hasil pergundikan pada abad ke-19 lahir dari hubungan nyai dengan anggota militer berpangkat rendah. Anak-anak Indo-Eropa yang tidak beruntung itu kebanyakan menjadi tukang, penjahit, petugas telegraf, tukang pos, mekanik, dan petugas pengukuran kadaster. Dalam Nyai and Pergundikan di Hindia Belanda, Reggie Baay menulis, tingkat pengangguran, kemiskinan, dan kejahatan di kalangan Indo-Eropa sangat tinggi. Di antara mereka ada perempuan Indo-Eropa bernasib sial yang masuk ke dunia prostitusi. Karena kemiskinan, kadang gadis-gadis Indo-Eropa dijual ke orang Tionghoa kaya. “Kerutunan ras kulit putih ini bertempat tinggal di ratusan rumah di lingkungan kumuh kota-kota di Hindia Belanda serta di perkampungan kotor dekat tangsi-tangsi,” tulis anggota parlemen Henri van Kol, seperti dikutip Baay.

  • Kembalinya Trah Ken Angrok di Periode Akhir Majapahit

    WISNUWARDHANA naik takhta didampingi Narasinghamurti sebagai pembantu utama raja. Keduanya memerintah bagaikan dua naga dalam satu lubang yang membawa damai di negeri Singhasari. Antara keturunan Tunggul Ametung dan keturunan Ken Angrok untuk sementara tak lagi berebut panggung. Namun, asal-usul itu kembali dianggap penting ketika Kerajaan Majapahit mencapai ujung kisahnya. Sebelumnya, keturunan Tunggul Ametung dan keturunan Ken Angrok saling curiga dan saling tusuk demi duduk di singgasana. Sampai Wisnuwardhana, keturunan Tunggul Ametung dan Ken Dedes, memerintah bersama Narasinghamurti, keturunan Ken Dedes dan Ken Angrok. “Kekuatan yang dibangun segitiga. Ken Dedes di tengah, Ken Angrok di kanan, Tunggul Ametung di kiri, sampai kemudian (menurunkan, red. ) Kertanagara lalu Majapahit,” kata Dwi Cahyono, dosen sejarah Universitas Negeri Malang. Dwi mengatakan mulai dari kekuasaan Hayam Wuruk usaha membuka kembali asal-usul itu mulai terlihat. Lewat tur akbarnya ke Lumajang yang diabadikan lewat Nagarakrtagama membuka kembali kalau Singhasari berkontribusi pada lahirnya Majapahit. Garis-garis leluhurnya pun jadi semakin terlihat. Setelahnya kekuatan Singhasari mulai kembali tampil. “Sejak itu ada semacam Singhasari  come back  di masa Majapahit. Trah-trah Singhasari menguat. Pada masa akhirnya, Majapahit lebih condong dikuasai oleh garis keturunan dari penguasa Tumapel,” jelas Dwi. Puncaknya ketika muncul tiga tokoh Majapahit yang memakai nama Girindrawarddhana. Mereka adalah Girindrawarddhana Dyah Wijayakrana, Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya yang menjadi raja Majapahit, dan Girindrawarddhana Dyah Wijayakusuma Sri Singhawarddhana. Nama mereka diketahui lewat Prasasti Waringinpitu (1447 M), Prasasti Ptak, dan Prasasti Jiwu, keduanya berasal dari tahun 1486 M. “Saya sempat bertanya-tanya wangsa apa kok pakai Giri,” kata Dwi. “Apakah hanya karena memuja Siwa, tempat bersemayam di Girisa. Mengapa Girindra? Giri itu apa?” Dwi menjelaskan, nama itu mengarah pada Tumapel, tempat awal berdirinya Singhasari. Dari segi kewilayahan di Jawa Timur, Tumapel berada di tempat yang tinggi. Dan Giri berarti gunung. “Ini sengaja untuk mengabadikan gejala apa yang saya sebut sebagai Singhasari  comeback ,” lanjutnya. Kebetulan, kata Dwi, pasca pemerintahan Hayam Wuruk, Majapahit banyak mengalami konflik keluarga. Muncul banyak garis keturunan dari luar garis Tumapel. Misalnya, trah dari Blambangan, Sumatra, dan Champa. “Sudah campur aduk. Karenanya seperti ada pemurnian kembali. Ini juga nuansa comeback ,” ujar Dwi. Hasan Djafar dalam  Masa Akhir Majapahit menyebut tokoh-tokoh bergelar Girindrawarddhana pada periode Majapahit akhir memang masih keturunan langsung dari Ken Angrok. Ken Angrok dianggap sebagai pendiri Dinasti Girindra (Girindrawangsa) atau Dinasti Rajasa (Rajasawangsa). “Girindrawarddhana hanya nama gelar yang dipakai oleh raja-raja Majapahit akhir penerus Dinasti Girindrawangsa,” jelas Hasan. Sementara pada masa Girindrawarddhana juga Pararaton dibuat. Sejarawan Warsito. S. lewat “Benarkah Ken Arok Anak Desa?” Pusara Djilid XXVII No.3-4 Maret-April 1966 , menulis Pararaton diciptakan dalam rangka legitimasinya sebagai keturunan Ken Angrok. Pararaton masih menyebut nama Raja Kertabhumi (1468-1478). Maka, bisa disimpulkan kitab itu disusun tak lama sesudah tahun 1478. Tak lain, yang menyusunnya adalah Girindrawardhana. Pararaton, menurut Warsito, berasal dari  pa-raratu-an yang artinya  ratu ning ratu  atau  the king of kings . Raja yang dimaksud adalah Ken Angrok. Selain menjadi raja, Ken Angrok juga moyang raja-raja berikutnya. “Dengan demikian Ken Angrok adalah maharaja penegak dinasti. Sedang yang menyusun sejarah resmi itu tentunya anak cucu Ken Angrok. Itu tak lain adalah Maharaja Girindrawardhana,” catat Warsito. Sebaliknya, Warsito menilai  Nagarakrtagama lebih merupakan sejarah dari keturunan Ken Dedes dengan Tunggul Ametung. Isinya sangat subyektif. Prapanca begitu menonjolkan dan memuji keturunan Ken Dedes dan Tunggul Ametung, seperti Kertanagara dan ayahnya, Wisnuwardhana. Menurut Warsito Pararaton dan Nagarakrtagama memunculkan periode sejarah yang hampir bersamaan. Keduanya mengangkat masa Singhasari hingga Majapahit. Kendati begitu keduanya berasal dari dua partai yang bertentangan. “Yaitu partai Ken Angrok yang beragama Hindu dan partai Ken Dedes yang beragama Buddha,” lanjut Warsito.  Warsito pun tak sepakat dengan anggapan Ken Angrok moyang raja-raja Majapahit. Pasalnya, tak semua penguasa Majapahit secara genealogis keturunan Ken Angrok. Separuh dari kitab Pararaton meriwayatkan Ken Angrok yang sepanjang hidupnya diliputi perebutan pengaruh politik dan kondisi politik yang tak kondusif. Dinasti-dinasti saling berebut pengaruh. Ada kubu Dandang Gendis atau Kertajaya bersama Tunggul Ametung yang terus tak berdamai dengan kubu Ken Angrok. “Apa yang dikerjakan Ken Angrok adalah persiapan merebut kembali takhta Kerajaan Tumapel, jadi merupakan suatu agitasi dan kampanye politik,” jelas Warsito.  Sementara itu, Pararaton merupakan suatu manifestasi politik dari raja Majapahit keturunan Ken Angrok. Dalam hal ini Girindrawardhana, membuktikan haknya atas takhta Majapahit yang sebelumya dikuasai oleh keturunan Ken Dedes dan Tunggul Ametung. “Haknya atas takhta Majapahit itu dia tunjukkan dalam Pararaton . Jelas ditunjukkan dalam karya itu, Ken Angrok merebut kekuasaan dari Tunggul Ametung karena dialah ahli waris yang berhak atas takhta Tumapel,” ujarnya.  Mengapa kemudian Girindrawardhana bisa dianggap sebagai keturunan dinasti Ken Angrok? Warsito mengatakan dinasti Ken Angrok dalam Pararaton disebut Girindrawangsa. Artinya keturunan Dinasti Siwa (Girindra = penguasa gunung). “Kalau gitu percaturan Ken Angrok akhirnya sampe akhir Majapahit. Singhasari  come back  akhirnya, Angrok  come back  juga. Ini kelihatan sekali. Indikasinya penguasa-penguasa Tumapel kembali menguat,” tambah Dwi.*

  • Hoaks, Tantangan Pemuda Masa Kini

    PERKEMBANGAN teknologi informasi memudahkan hidup kaum muda. Hari-hari ini mereka menikmati hidup yang lebih nyaman ketimbang generasi sebelumnya. Tetapi hidup nyaman juga menjadi tantangan besar bagi anak muda dalam menjalankan perannya sebagai penjaga persatuan bangsa. “Musuh kehidupan yang luar biasa adalah kehidupan yang baik,” kata Alissa Wahid, aktivis sosial Jaringan Gusdurian, dalam talkshow ‘Peran Pemuda Dalam Sejarah Bangsa’ di pelataran parkir gedung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Jakarta, 28 Oktober 2018. “Bingung ya, kalian?” tanya Alissa kepada puluhan peserta talkshow . Sebagian besar mereka siswa sekolah menengah atas dari berbagai daerah di Indonesia. “Kalau hidup kita nyaman, hidup kita enak, kita menikmati saja hidup itu sehingga tidak bisa mencapai hal-hal yang luar biasa,” lanjut Alissa. Alissa menerangkan perbedaan kehidupan pemuda zaman ini dengan pemuda lampau. Menurut Alissa, pemuda pada masa lampau memiliki kehidupan yang lebih sulit daripada pemuda sekarang. Alissa mencontohkan kehidupan pemuda pada zaman penjajahan. Informasi dikuasai sekelompok orang, pendidikan masih terbatas, dan teknologi belum berkembang. Keadaan terjajah menambah beban hidup kaum muda. Pemuda dari satu suku dengan suku lainnya pun saling curiga. Keadaan yang tidak enak itu mendorong kaum muda untuk mengubahnya. Kaum muda punya cita-cita bersatu. Persatuan modal penting untuk menuju cita-cita yang lebih besar, yaitu kemerdekaan. Wujud tekad bersatu tertuang dalam Sumpah Pemuda 1928. Hasilnya kelihatan pada 1945. Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Kaum muda kembali berperan dalam periode ini. Setelah merdeka, tugas kaum muda adalah menjaga persatuan. “Kita sekarang sudah bersatu. Tapi jangan dianggap bersatunya Indonesia itu dengan sendirinya akan selamanya seperti itu,” tambah Alissa. Dia menceritakan bangsa yang gagal menjaga persatuan. “Dulu ada negara namanya Yugoslavia. Presidennya, Josep Broz Tito, ikut memprakarsai gerakan Non-Blok bersama Presiden Sukarno. Tapi sekarang negara itu sudah tidak ada karena terpecah-belah,” kata Alissa. Pembicara lain, Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan Kemdikbud, turut memaparkan pentingnya kaum muda merawat persatuan. “Keinginan untuk bersatu itu, mau tak mau, harus terus dipupuk, ketika kita menyadari bahwa kita tidakbisa sendirian di atas muka bumi ini,” kata Hilmar. Hilmar memandang persatuan tidak tumbuh dengan sendirinya, melainkan muncul dari kinginan bersatu. Sejarah Sumpah Pemuda 1928 dapat menjadi patokan bagi pemuda masa sekarang dalam memenuhi tugasnya. “Dengan mengingat dasar sejarah. Ya, itu dasarnya. Jadi sekarang ini, kita mau tahu bangsa ini mau ke mana, dan segala macam, tidak usah ke mana-mana. Lihat perjalanan sejarahnya saja,” lanjut Hilmar.   Menurut Hilmar, Sumpah Pemuda 1928 tak berhenti sebatas tiga pernyataan saja: kebangsaan, tanah air, dan bahasa. Sumpah Pemuda 1928 mengamanatkan kepada generasi depan agar terus memperkuat tiga pernyataan itu. “Di dalam pernyataan itu dibilang, bahwa apa yang disumpahkan itu, dari waktu ke waktu, mesti terus diperkuat. Jadi jangan dikira kalau Sumpah Pemuda dibaca, urusannya sudah selesai. Dibilang di situ, bahwa apa yang disumpahkan itu harus diperkuat,” terang Hilmar. Pemuda dan Hoaks Upaya kaum muda sekarang untuk memperkuat Sumpah Pemuda 1928 tak pernah gampang. Hidup mereka sekarang memang jauh lebih mudah daripada generasi sebelumnya. Tetapi tantangan mereka juga berat. Salah satu tantangan besar itu berupa percepatan arus informasi dan berita di media sosial. Tak jarang banyak informasi dan berita palsu (hoaks). “Repotnya lagi, karena hoaks dibikin dengan sengaja, tujuannya bukan untuk membuat orang hidupnya jadi lebih baik, melainkan supaya saling curiga,” kata Ratih Ibrahim, pembicara dari Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo). Hoaks di media sosial kerap kali menimbulkan perpecahan masyarakat. Isu-isu sektarianis menjadi bahan bakar paling mudah untuk menyulut amarah kaum muda. “Jika sudah begitu, cita-cita Indonesia tetap langgeng jaya selama-lamanya yang diusahakan para pemuda masa lampau, Sumpah Pemuda, bisa bubar,” ungkap Ratih. Ratih mengingatkan kaum muda agar mengendalikan jarinya. Menyebarkan informasi salah itu mudah, tapi memperbaiki pikiran rusak itu sulit. “Tahan jempol kita, periksa dulu sebelum share ,” pinta Ratih. Sebab dampak hoakspada pikiran anak muda cukup gawat. Hoaksakan merusak cara pikir anak muda. “Kebayang tidak kalau tiap hari kita sebarkan hoaks? Lama-lama pikiran kita akan terjejali berita bohong,” lanjut Ratih. Segala sesuatu akan dianggap benar. Daya kritis pun menumpul. Ratih berbagi tips untuk lawan hoaks. “Kaum muda harus resourceful . Bagaimana caranya? Dengan membaca,” kata Ratih. Membaca sumber-sumber terpercaya turut melatih orang berpikir kritis, tidak mudah percaya pada hasutan dan informasi serampangan. “Semakin tinggi literasi seseorang, semakin sulit dibohongi,” kata Ratih. Pada akhir talkshow , ketiga pembicara mengatakan Indonesia 20-30 tahun mendatang akan sangat bergantung pada anak muda hari ini. “Pemuda Indonesia 1928 tahu persis mau ke mana bangsa ini. Orang sekarang bilang visioner, pandangan jauh ke depan,” kata Hilmar. Sekarang giliran kaum muda hari ini menentukan arah bangsa ke depan. “Dua puluh tahun lagi, kamu itu ada di mana? Melakukan apa? Kontribusimu, peranmu di dalam bangsa dan negara ini, sebelah mana? Tak perlu dijawab sekarang, tapi kamu pertanyakan terus di dalam hati,” kata Hilmar menutup talkshow .

  • Si Gundul dalam Memori

    PAGI 15 Agustus 2016 itu, pemain legendaris Jerman dan Borussia Dortmund (1982-1993) Lars Ricken baru saja menutup diskusi di hadapan 35 wartawan asing di sebuah lounge di Stadion Signal-Iduna Park. Momen itu langsung dimanfaatkan Indra Citra Sena, wartawan Tabloid Bola, untuk berfoto bareng sang legenda sambil memamerkan souvenir topi dan stiker berlogo Bola dan stiker Si Gundul. Pesanan kantor buat dokumentasi, katanya. Di pertengahan Agustus itu, hanya dua wartawan dari Indonesia yang diundang Bundesliga menyaksikan laga DFL Cup antara Borussia Dortmund vs Bayern Munich pada 14 Agustus dan tur ke Dortmund. Indra salah satunya. Pertemuan dengan Ricken dan beberapa petinggi Dortmund merupakan bagian dari tur. Selain diberikan kepada Ricken, maskot Si Gundul juga dihadiahkan Indra untuk Carsten Cramer, Chief Operating Officer BVB, badan hukum klub itu. “ This is Si Gundul. The icon of our media ,” cetus Indra menerangkan saat Ricken dan Cramer memerhatikan stiker Si Gundul. Keduanya menyambut dengan senyum hangat. Sebetulnya, stiker dan topi Si Gundul juga diberikan kepada Lothar Mätthaus, legenda timnas Jerman dan Bayern Munich (1979-2000), yang ditemui di sebuah restoran di Düsseldorf sebelum laga. Namun, sambung wartawan berkepala plontos yang agak mirip Si Gundul itu, “Mätthaus enggak mau karena posisi dia di media juga waktu itu, Fox Sports .” Toh, Indra bisa memahami dan tetap senang. Selain bisa memperkenalkan Si Gundul pada bos Dortmund dan Ricken, Indra juga bisa menyebarkan Si Gundul lewat kaos, stiker, dan topi yang diberikan kepada Jean Zahibo, wartawan undangan asal Pantai Gading, sebelum kepulangan kami ke tanah air. Kenangan bersama Indra tiga tahun silam di negerinya Gottlieb Daimler dan Adi Daessler itu seketika menyeruak kala mendengar Bola akan gulung tikar dua pekan lalu. Keputusan bubar itu dituangkan redaksi dalam akun Twitter @TabloidBOLA, 17 Oktober 2018: “Sesuai sejarahnya, edisi pertama BOLA pada 1984 terbit pada hari Jumat dan akan berakhir pada Jumat pula. Terbit 56 halaman dan full color . #TerimaKasihPembaca .” Maskot Si Gundul di tangan legenda Jerman dan Borussia Dortmund, Lars Ricken (kanan). (Dok. Indra Citra Sena) Berakhirnya Bola pada Jumat, 28 Oktober, mengakhiri pula eksistensi Si Gundul yang mejeng di rubrik Sepakbolaria. Jika Tabloid Bola, lahir pada 1984, awalnya bermula dari sisipan di Koran Kompas , karakter Si Gundul karya Hanung Kuncoro alias Nunk pertamakali hadir di Bola empat tahun berselang bersamaan dengan Bola lepas dari sisipan Kompas. Karakter berkepala plontos itu kerap mengundang tawa pembaca dengan beragam adegan slapstick -nya. Dalam perkembangannya, Si Gundul tak hanya mengisi rubrik Sepakbolaria namun juga opini dan dijadikan beragam ilustrasi tulisan lain, dan gambar di kaos merchandise yang dijual Bola sekitar tahun 1990. Saking nyantolnya Si Gundul di dalam memori masyarakat, tak mengherankan bila banyak warganet penggila bola prihatin terhadap kabar penghentian Bola dan menumpahkan nostalgia di beragam linimasa media sosial. Asal Usul Si Gundul Si Gundul, dengan hanya dua helai rambut menjuntai di kepala gundulnya plus wajah minimalis berupa sebidang oval dengan dua titik sebagai sepasang mata dan segaris lengkung mulut, merupakan karakter jenaka yang begitu kuat. “Kenapa seperti itu? Saya melihatnya kan gini . Bola itu kan bulat ya. Saya harus bikin maskot atau ikon yang simple , polos, sporty dan menggemaskan. Ya dari corat-coret yang awalnya saya bikin, ketemulah bentuk Si Gundul itu. Lalu untuk menguatkan karakternya, kita harus kuasai bahasa tubuhnya, bahasa ekspresi,” ujar Hanung saat dihubungi Historia. Si Gundul pertamakali mengorbit pada 17 Juni 1988. Hanung menamakan strip kartunnya “Sepakbola La La La”. Saat itu, Hanung yang baru lulus dari Jurusan Ekonomi Universitas Diponegoro, baru sekadar ilustrator lepas. Namun karena mengidamkan kerja di media dan untuk membunuh waktu di saat belum memiliki pekerjaan tetap, dia sering mengirim strip kartun ke Bola. “Waktu terbit pertamakali di tanggal itu saya enggak menyangka. Saya lihat Tabloid Bola di peron Stasiun Tawang untuk nunggu kereta api ke Jakarta. Waktu itu saya sedang ingin tes masuk PGN (Perusahaan Gas Negara). Habis itu saya beranikan main ke kantor Bola sekaligus ambil honor,” lanjut pria asli Rembang itu. Honor Hanung kala Rp15 ribu terbilang besar. “Buat membandingkan, harga nasi goreng saja waktu itu cuma Rp600,” jelasnya. Bukan main senangnya Hanung. Makin semangat dia mengirim strip kartun Si Gundul, terlebih dia juga gagal masuk masuk PGN. “Akhirnya September (1989) saya kembali ke Jakarta. Wapemred (wakil pemimpin redaksi) Pak Sumohadi Marsis ingin ketemu. Pas mengobrol, dia tanya keseriusan saya untuk jadi ilustrator Bola . Saya jawab serius karena memang cita-cita saya memang itu. Akhirnya setelah ikut beragam tes, Mei 1990 saya resmi di Bola ,” kenangnya. Strip kartun bernama Sepakbola La La La itu kemudian berganti nama jadi Sepakbolaria. “Memang saya yang ganti sendiri biar lebih efisien dan simple menyebutnya. Tidak belibet . Sama redaksi juga enggak masalah saya ganti,” tambah Hanung. Sejak 1988 sampai Bola edisi terakhir, terbit 26 Oktober 2018, bentuk Si Gundul sudah mengalami enam kali perubahan. “Ya tidak terasa saja itu berubah. Bentuk pertamanya pun sebelum saya kirim ke Bola yang diterbitkan 1988 itu sudah lupa . File lama saya sudah enggak tahu ke mana,” ujarnya. Lantas, bagaimana kelanjutan “hidup” Si Gundul setelah Bola gulung tikar mengingat hak patennya secara resmi sudah dimiliki Bola ? “Hak paten itu dibeli secara resmi pada 2011. Jadi yang dibeli karya intelektualnya. Tetapi hak cipta masih pada saya. Soal kelanjutan, memang Si Gundul kan aset punya Bola . Tapi kan saya sebagai penciptanya masih ada. Alangkah mubazir kalau Si Gundul juga sudah tidak ada lagi. Saya berharap Si Gundul masih bisa eksis, entah bagaimana caranya. Senin (29 September 2018) nanti ada RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham). Selasa akan keluar hasilnya. Kalau toh diserahkan pada saya, akan saya kelola mandiri. Kalau ada hasil lain, biar nanti ada pembicaraan lain lagi,” tutupnya.

  • Asal Usul Kata Sontoloyo

    DALAM acara pembagian sertifikat lahan di Lapangan Sepakbola Ahmad Yani, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan (23/10/2018), Presiden Joko Widodo menyebut “politikus sontoloyo” untuk cara-cara politik yang tidak beradab, tidak beretika, tidak bertata krama Indonesia. Cara-cara politik adu domba, memfitnah, memecah belah hanya untuk merebut kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Kata “sontoloyo” pun ramai diperbincangkan di media sosial. Lema ini mengingatkan pada tulisan Sukarno berjudul “Islam Sontoloyo” di Majalah Pandji Islam pada 1940. Tulisan itu lahir setelah Sukarno membaca berita kriminal di suratkabar Pemandangan , 8 April 1940. Berita itu tentang seorang guru agama yang dijebloskan ke penjara karena memperkosa salah seorang muridnya. Melalui tulisannya, Sukarno menegaskan bahwa guru agama itu sontoloyo, bukan Islamnya yang sontoloyo. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia , sontoloyo artinya konyol, tidak beres, bodoh. Mengenai asal usulnya, wikipediawan pencinta bahasa Indonesia Ivan Lanin menerangkan, “saya belum menemukan sumber yang sahih, tetapi konon kata ini mulai dipakai sebagai kata makian (kasar) pada sekitar 1935 sebagai pelesetan dari ‘kontol loyo’ (kontol = alat kelamin laki-laki; loyo = lemah sekali).” Menurut Ivan, ada rujukan lain yang mengatakan “sontoloyo” berarti “gembala bebek” dalam bahasa Jawa. Berdasarkan hal ini, ada yang beranggapan bahwa arti kata ini sebagai kata makian tercetus saat kesal menunggu sang gembala mengangon bebeknya dengan lamban. “Ada komentar di IG (saya), katanya arti gembala bebek dipakai di daerahnya, Brebes,” kata Ivan. Dan Brebes dikenal sebagai sentra peternakan bebek. “Saya belum tahu daerah mana lagi di Jawa yang memakai makna ini,” kata Ivan, “tetapi suatu kata bisa saja dimaknai berbeda dalam bahasa yang berbeda.” Sementara itu, Philip Yampolsky dalam “Music on Dutch East Indies Radio in 1938: Representations Unity, Disunity, and The Modern , ” mencatat bahwa Koesbini menyanyikan lagu keroncong berjudul Sontolojo di radio NIROM Surabaya pada 1938. Menurut Philip,  sontolojo mungkin terkait dengan Jawa Timur. Sebab, sebuah komposisi gamelan Jawa Timur dengan judul ini diperdengarkan tiga kali pada 1938 dalam siaran musik gamelan Jawa Timur oleh NIROM , sanggar studio Surabaya ( klenengan dari Studio Nirom meloeloe gending2 Djawa Timoer ). “Lagu yang dibawakan oleh The Melody Band itu bisa jadi secara musikal terkait dengan melodi Jawa Timur (atau ke Jawa Tengah Ladrang Sontoloyo ), atau bisa saja hanya meminjam judul. Perhatikan bahwa dalam siaran lain oleh The Melody Band, Koesbini menyanyikan Krontjong Gembala Sontolojo , yang mungkin adalah lagu yang sama dengan Sontolojo ,” tulis Philip termuat dalam Sonic Modernities in the Malay World. Philip menyebut Ladrang Sontoloyo – ladrang adalah salah satu bentuk komposisi karawitan. Ladrang Sontoloyo , menurut Ensiklopedi Wayang Indonesia: Jilid 1, diciptakan pada masa pemerintahan Paku Buwana V yang hanya bertakhta tiga tahun. Jadi, sejauh ini sumber tertua yang menyebut kata “sontoloyo” berasal dari tahun 1820-1823. Sumber lain, dalam Bahasa dan Budaja Vol. 1-3 (1952), disebutkan kemungkinan akar kata sontoloyo: “ada sebuah kata yang belum tahu bagaimana bentuknya yang asli, ialah nama gending Sontolojo dengan kalimat permulaan Sontolojo, angon bebek ilang loro . Mungkinkah cantalaya (tempat ketenangan) asalnya?”

bottom of page