top of page

Hasil pencarian

9580 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Pekerja Seks dalam Pusaran Revolusi Indonesia

    KEJARAN tentara Belanda dan bertebarannya mata-mata NICA di masa revolusi membuat Sukarno mencari cara untuk menghindari penangkapan. Dia akhirnya memutuskan untuk mengajak para pejabatnya masuk ke lokalisasi. Di sanalah mereka mengadakan rapat untuk menghindari endusan lawan. Selain aman, lokalisasi merupakan sumber informasi akurat. “Pelacur adalah mata-mata yang paling baik di dunia,” kata Sukarno kepada Cindy Adams yang menuliskannya di Untold Story: Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia . Revolusi tak hanya menarik kalangan terpelajar atau pemuda-tentara untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pekerja seks, maling, dan rampok pun banyak yang terlibat. Perempuan pekerja seks yang berjuang umumnya bertugas mengumpulkan informasi dan menyabotase musuh. Ide untuk mengikutsertakan perempuan pekerja seks dan para kriminil dalam perjuangan datang dari Mayor Jenderal dr. Moestopo ketika dicurhati Sultan Hamengku Buwono IX tentang membludaknya pengungsi di masa revolusi. Yogya menjadi penuh sesak, kumuh, dan dilanda krisis pangan. Situasi ruwet itu mengakibatkan kriminalitas meningkat. Moestopo bepikir, daripada para kriminil itu menyusahkan sesama rakyat yang sedang berjuang, lebih baik diajak berjuang. Para copet, maling, rampok, dan pekerja seks di seluruh Yogyakarta lalu dikumpulkan dalam satu barisan bernama Barisan P. Beberapa kriminil dari Surabaya dan Gresik juga ikut direkrut. Moestopo meminta bantuan tentara, salah satunya Kolonel TB Simatupang, untuk melatih para pejuang dari “dunia hitam” itu berdisplin dan melek ilmu dasar kemiliteran. Malam-malam, Moestopo mendatangi Simatupang untuk memintanya mengajar mereka dasar-dasar kemiliteran. Namun, cara mengajar yang diminta Moestopo cukup aneh. Simatupang dibawa ke sebuah ruangan  agak gelap. Di ruangan itu, para perempuan muda sudah berdiri rapi dengan mata tertutup. “Saya tak bisa mengenali mereka,” kata Simatupang seperti dimuat Sinar Harapan, 30 September 1986. Sekira 100 personil Barisan P lalu mengikuti Moestopo pindah ke Subang. Mostopo menamakan pasukan itu Terate (Tentara Rahasia Tertinggi), yang terbagi menjadi Barisan Maling (BM) dan Barisan Wanita Pelatjoer (BWP). Banyak perwira lain, seperti Kahar Muzakkar dan Zulkifli Lubis, juga punya Barisan P. “Saya sempat diminta melatih pasukan dari bekas kriminal Nusakambangan yang dibentuk Kahar,” ujar Kol. (Purn.) Maulwi Saelan kepada Historia . Seperti Maulwi, Kotot Sukardi juga pernah ditugaskan membawahi Barisan P di Yogyakarta. Barisan P Kotot selain diajari dasar-dasar kemiliteran dan telik sandi juga dilatih menyanyikan lagu nasional dan menerima pendidikan kebangsaan. “Selain dilatih jadi mata-mata mereka juga mendapat pelatihan film dan drama. Setelah revolusi selesai, perempuan Barisan P ini diajak main film oleh Kotot Sukardi,” kata Galuh Ambar Sasi, penulis “Menjadi (Manusia) Indonesia” yang dimuat dalam buku Pluralisme dan Identitas  pada Historia. Wilayah operasi Barisan P Kotot meliputi Malioboro, Kuncen, Kepatihan, alun-alun, Bong Suwung, dan sekitar Stasiun Tugu juga Lempuyangan. Para pekerja seks di Barisan P itu mengorek informasi lawan di atas ranjang saat melayani para pembeli jasa yang merupakan pribumi pro-Belanda. Para tentara hidung belang yang menjadi pelanggan mereka tak sadar kalau si perempuan terus menggali informasi darinya, mulai dari jalan tikus ke markas Belanda hingga rute pelarian. Barisan P Kotot sejak awal hanya ditugaskan untuk jadi mata-mata. Sementara, BWP punya tugas lebih. “BWP itu memang sengaja dikerahkan untuk menghancurkan tentara musuh. Semacam psycho - war . Namun karena tidak ada kontrol, malah menularkan penyakit ke pejuang Indonesia sendiri, kayak senjata makan tuan,” kata Galuh. Seringkali, para pelacur tak hanya mengumpulkan informasi tapi juga ikut membantu menyabotase musuh. Sementara, anggota Barisan P lain punya tugas masing-masing. Pengemis bertugas nguping pembicaraan musuh, pencopet ditugaskan mencopet orang kaya di pasar dan menggondol perlengkapan milik tentara Belanda, sementara perampok biasanya menyambangi rumah orang kaya untuk menggasak harta mereka untuk membiayai revolusi. Tindak-tanduk Barisan P ini, tulis Robert Cribb dalam Gejolak Revolusi di Indonesia 1945-1949, menimbulkan keresahan dan kekacauan di kalangan tentara Belanda. Namun, keresahan juga muncul di sebagian kalangan kiblik akibat ide nyeleneh Moestopo merekrut pekerja seks untuk ikut dalam barisan perjuangan. Majalah Revolusioner edisi III, 19 Januari, dalam editorialnya menulis kritiknya atas kebijakan yang membuat banyak orang bersemangat ingin masuk Barisan P itu. Dengan ikut Barisan P, kata editorial itu, sama saja merendahkan harga diri. “Banyak gadis yang mengajukan namanya untuk dicatat sebagai anggota Barisan P. Malahan sudah ada yang jadi opsir pengemis. Kalau begitu terus lama-lama orang tua yang sama akan mengadakan protes keras karena anaknya gemar menjadi kere.” Padahal, setelah perang usai beberapa perempuan anggota Barisan P tak lagi jadi pekerja seks. Beberapa di antaranya menikah dengan teman seperjuangan. Kedaulatan Rakyat edisi 3 Mei 1946 memberitakan, ada pernikahan tiga pasang anggota Barisan P. “Kalau dalam pernikahan biasanya pakai salam-salaman, pernikahan anggota Barisan P ini pakai pekik merdeka. Mereka begitu dihargai setelah revolusi usai. Istilahnya munggah bale , naik pangkat,” kata Galuh.

  • Perempuan dalam Dunia Seni Rupa Indonesia

    DALAM dunia seni rupa Indonesia, hanya ada sedikit nama perempuan perupa. Budaya patriarki yang memposisikan perempuan di bawah lelaki menjadi penyebab utama dalam upaya pembentukan karier perempuan. Lelaki, yang dianggap sebagai pencari nafkah lebih diutamakan dalam urusan pendidikan dan akses aktualisasi diri. Lebih jauh, hal itu juga menjauhkan perempuan dari akses pada pendidikan dan peralatan seni. Tak heran bila seni rupa Indonesia begitu seret dengan kemunculan perempuan perupa. Namun seiring dengan perbaikan zaman, perlahan perempuan perupa bermunculan. Setelah Emiria Soenassa sang pionir, beberapa nama baru bermunculan seperti Sriyani, Zaini, Rahmayani, Yaniar Ernawati, Kartika Afandi, dan beberapa perempuan perupa yang tergabung dalam Grup Sembilan: Ratmini Soedjatmoko, Betsy Lucas, Charlotte Panggabean, Timur Bjerknes, Umi Dahlan, dan Roelijati. “Sesudah dibukanya sekolah seni rupa di ITB dan ASRI, nama perupa perempuan makin bermunculan. Salah satunya Umi Dahlan dari mazhab Bandung yang menampilkan karya bergaya abstrak,” kata Toeti Heraty, ketua Dewan Kesenian Jakarta dekade 1980-an, kepada Historia kala ditemui di kediamannya. Senada dengan Toeti, Astri Wright dalam tulisannya, Indonesia Heritage: Visual Art, juga menilai jumlah perempuan perupa mulai naik pada 1980-an sebagai imbas dari berdirinya institusi pendidikan seni. Banyak perempuan perupa yang telah mendapatkan pendidikan seni, melanjutkan kariernya setelah lulus. Namun, kemunculan banyak perempuan perupa tak otomatis membuat peran perempuan dalam seni rupa tanah air jadi melonjak. Perempuan dalam seni rupa, kata Astri, merupakan generasi tersembunyi. Karier mereka pun tak selalu gemilang. Kartika Affandi misalnya, pada awalnya khawatir dianggap sebagai epigon ayahnya, pelukis Affandi. “Di awal kariernya Kartika pernah mengadakan pameran di TIM, memajang lukisan hitam putih. Sayang sekali tidak ada yang laku. Lalu dia bilang ke saya ndak bisa pulang ke Yogya, akhirnya saya ambil satu lukisannya untuk ditukar dengan tiket ke pulang,” kata Toeti. Tapi Kartika terus mencoba mengembangkan diri tanpa bayang-bayang sang ayah. Dia berhasil. Selain Kartika, ada pula Trijoto Abdullah, putri Abdullah Suriosubroto yang juga adik Basoeki Abdullah. Trijoto disebut-sebut sebagai perempuan pematung pertama Indonesia. Mulanya, Trijoto melukis seperti ayah dan kakaknya. Namun ketika belajar dengan Prof. Tierfelder dan Prof. Schoemaker guru besar ITB, dia mulai mendalami seni patung. Sejak itu namanya lebih dikenal sebagai pematung. Muncul pula nama Ruliyati, yang banyak melukiskan kehidupan rakyat jelata. Setelah itu, nama-nama baru bermunculan, seperti Ida Hajjar, Sri Yunnah, Farida Srihadi, Reni Hoegeng, Ardha, Heyi Ma’mun, Nanik Mirna, Titis Jabaruddin, dan Nunung Ws. Pada dekade terakhir abad XX, Indonesia telah punya lebih dari 100 perempuan perupa. Namun, menurut Agus T. Darmawan dalam tulisannya "Wanita Seni Rupa Indonesia", di Suara Karya 1991, hingga tahun tersebut belum memunculkan nama perempuan perupa yang sepopuler lelaki perupa. Sementara lelaki perupa seperti Affandi atau pematung Edhie Sunarso namanya sudah dikenal dunia internsional, menurut Darmawan dunia seni rupa perempuan Indonesia masih adem-adem saja hingga seolah perempuan dalam seni rupa hadir semata sebagai pelengkap. “Wanita memang tak nampak menggebu di dunia seni rupa, tapi tetap menunjukkan spirit emansipasi yang tak lekang waktu,” tulis Darmawan. Kemunculan perupa perempuan di samping itu juga secara khas membicarakan keperempuanannya. Mereka memiliki tujuan politis akan identitas diri dan karya dalam medan seni.*

  • Akhir Pemerintahan Perempuan di Aceh

    KETIKA Thomas Bowrey tiba, Aceh sudah begitu lama diperintah seorang ratu. Begitu lama hingga rakyat mual ketika menyebut raja. Sebabnya, pemerintahan tirani raja terakhir mereka. Berdasarkan cerita, sang raja adalah seorang tiran paling kejam yang pernah ada.  “Patut dikagumi betapa rakyat rela membiarkan sang raja hidup begitu lama dan memerintah sedemikian kejam,” catat pedagang asal Inggris itu.  Di Aceh, empat putri raja duduk di singgasana secara beruntun setelah 1641. Padahal, di sanalah Tajus Salatin  karya Bukhari al-Jauhari disusun. Di kitab itu termuat kalau raja harus laki-laki.  Denys Lombard dalam  Nusa Jawa: Jaringan Asia  juga menulis masa itu perempuan tak bisa naik takhta karena dinilai kurang arif. Rakyat memerlukan imam untuk tampil di depan umum. Sementara perempuan tidak mungkin mengimami salat. Tidak pula dapat meninggalkan tempat tinggalnya yang terpencil di dalam istana. Namun, agaknya pemerintahan raja yang kejam sebelumnya menjadi salah satu alasan yang membuat rakyat permisif terhadap pemerintahan seorang sultanah. Meski itu bukan berarti pemerintahan perempuan di Aceh tanpa tantangan berarti. Kondisi sosial masa itu dicatat dengan cukup lengkap oleh para penjelajah asing di Aceh. Menurut Anthony Reid dalam Bowrey berdagang di kawasan Samudera Hindia pada 1670-an. Dia tinggal di Aceh saat ratu kedua mangkat pada 1678. Artinya, dia datang saat Sultanah Nurul Alam Nakiyatuddin memerintah (1675-1678). Bowrey mendengar, rakyat begitu waspada setelah Sultan Iskandar Thani mangkat. Itu sebelum istrinya, ratu pertama, Sultanah Tajul Alam Safiyatuddin (1641-1675) memerintah di kerajaan Aceh. Mereka menjaga istana, kota, garnisun, dan semua benteng dengan ketat dalam upaya melindungi diri dari segala bentuk pemerintahan seorang raja. Aturan Bagi Sultanah Orang-orang bijak lalu berkumpul. Mereka memilih ratu sebagai pewaris takhta. Namun, mereka menetapkan beberapa aturan agar pemerintahan ratu tak perlu ditakuti. Pertamaratu tak boleh menikah dan tak boleh bergaul dengan laki-laki. Kedua,tidak satupun lali-laki di kerajaan diperbolehkan melihat rupa sang ratu. Ketiga,para bangsawan, hakim, dan petinggi lainnya tidak boleh melanggar undang-undang atau aturan yang berlaku. Mereka bahkan tak boleh melakukan apa pun tanpa seizin atau kehendak ratu. Keempat,pelayan ratu tak boleh kurang dari 500 orang. Mereka terdiri dari perempuan dan kasim. Kendati banyak aturan yang membatasi, para petinggi kerajaan rupanya sangat hormat dan patuh pada ratu. Tak ada yang berani bertindak atau menangani suatu hal penting tanpa memberitahu ratu.  Sesuai aturan, tak seorang pun lelaki, perempuan maupun anak-anak diperbolehkan melihat rupa sang ratu. Kecuali, para perempuan dan kasim yang merupakan pelayannya. Pun beberapa kasim yang menjadi kepala penasihatnya diizinkan untuk berinteraksi langsung dengan ratu. Para kasim adalah orang yang cerdas yang bertugas memberi saran kepada ratu ketika hendak membuat keputusan.  Konon, kata Bowrey, pelayan ratu berjumlah 100 kasim dan 1.000 perempuan tercantik yang ada di kota atau desa. Para pelayan perempuan ini tampil di muka publik. “Menurut saya, banyak dari mereka yang sangat cantik dan berkulit lebih putih daripada kebanyakan penduduk asli yang ada di sini,” katanya. Selain mereka, jika ada yang punya urusan dengan ratu, harus melalui penasihat ratu. Misalnya, Orangkaya tertinggi atau para Orangkaya lainnya akan datang ke istana. Ia akan menyebutkan urusannya kepada penasihat ratu yang akan menyampaikannya kepada ratu.  Bila ratu mengizinkan akan mengirimkan cap sebagai tanda mereka diterima.  “Apabila cap itu tak diberikan, berarti mereka tak boleh lagi mengajukan hal itu dan harus beralih ke urusan lain,” tulis Bowrey.  Pada 1675, Ratu Tajul Alam Safiyatuddin wafat. Usianya sudah lanjut. “Saya sedang ada di Aceh ketika ratu mangkat, dan saya menyaksikan bagaimana rakyat berkabung untuknya,” ujar Bowrey. Ketika putri Iskandar Muda itu mangkat, para pejabat istana sudah menunjuk penggantinya. Dia berusia kurang dari 60 tahun ketika dinobatkan. “Rakyat kemudian menyadari fakta bahwa kematian sang ratu tak menyebabkan pergantian jenis kelamin atas siapa yang kelak memerintah,” kata Bowrey.  Akhirnya, sebagian besar penduduk desa yang tinggal sekitar 20 atau 30 mil (kurang lebih 30-50 km) dari Aceh menentang sistem pemerintahan seperti ini. Mereka menginginkan seorang raja. Menurut mereka pawaris takhta sebenarnya masih hidup dan punya beberapa putra. Kepadanya mereka akan tunduk. Pewaris itu ada bersama penduduk di pedalaman. Dialah dalang di balik penentangan itu. Dia kerap menyebarkan prasangka buruk tanpa bukti di kota maupun desa.  Menolak Sultanah Tak cuma Bowrey, penjelajah dan navigator berkebangsaan Inggris, William Dampier juga mencatat kehidupan sosial Aceh di bawah ratu. Dia tinggal selama beberapa bulan di Aceh pada 1688-1689 dan membuat catatan perjalanan. Di dalamnya berisi soal konflik setelah ratu ketiga mangkat.  Ketika itu, Sultanah Inayat Syah Zakiyatuddin (1678-1688) sedang memerintah. Dia menggantikan Nurul Alam Nakiyatuddin (1675-1678). Dalam catatan Dampier, ratu Aceh adalah perawan tua yang dipilih dari keluarga kerajaan. Dia mengaku tak paham bagaimana upcara pemilihan itu berlangsung. Pun soal siapa yang memilihnya. “Tetapi saya menduga mereka adalah para orangkaya,” katanya.  Setelah terpilih, sang ratu terikat dengan istananya. Dia jarang melakukan perjalanan ke luar negeri. Ratu juga jarang terlihat oleh orang kelas bawah kecuali beberapa pelayannya.  Namun, sekali dalam setahun dia akan berpakaian putih dan duduk di atas gajah. Dalam sebuah arak-arakkan, ia akan pergi ke sungai untuk mandi. “Tetapi saya tidak tahu apakah rakyat jelata diperbolehkan menonton sang ratu dalam prosesi seperti ini,” tulisnya. Zakiyatuddin wafat pada 1688. Waktu dia mangkat, Dampier tengah dalam perjalanan menuju Tonkin (kini di Vietnam utara).  Zakiyatuddin digantikan Sultanah Kamalat Shah yang memerintah hingga tahun 1699.  Banyak orangkaya yang tidak menyetujui pemilihan itu. Mereka menghendaki kembali laki-laki naik takhta. Empat orangkaya yang hidup jauh dari istana angkat senjata demi menentang ratu baru dan orangkaya lainnya. Mereka pun menghimpum 5.000-6.000 tentara untuk menyerbu kota.  “Keadaan ini terus berlanjut. Bahkan ketika kami tiba di sini dan beberapa lama setelahnya,” jelas Dampier.  Menurut Anthony Reid dalam  Menuju Sejarah Sumatra: Antara Indonesia dan Dunia , sang ratu akhirnya mengundurkan diri pada 1699. Namun, bukan karena tuntutan itu, melainkan fatwa dari Makkah yang menegaskan pemerintahan perempuan bertentangan dengan ajaran Islam. Padahal, pemerintahannya mendapat bantuan dari para ulama, khususnya Kadli Malikul Adil Syekh Abdurrauf Syiahkuala. “Peristiwa ini menandakan akhir dari pemerintahan ratu di kerajaan setelah berlangsung selama 59 tahun berturut-turut,” tulis Reid.

  • Pembersihan Setelah Pembantaian di Tanjung Priok

    NERAKA itu menghampiri A.M. Fatwa tepat seminggu setelah insiden berdarah di Tanjung Priok. Didampingi pengacaranya, lelaki asal Bone tersebut tengah diperiksa polisi ketika beberapa petugas dari Satuan Intel (Satuan Tugas Intelijen Khusus ABRI) langsung menyeretnya. “Pengacara saya diancam saat akan mendampingi saya,” ujar Fatwa. Fatwa dibawa ke markas CPM di Jalan Guntur, Jakarta. Dia diperlakukan tanpa mengenal kemanusiaan: dipukuli, disimpan dalam sel penuh air kencing, dihina dan dilarang mengaji serta salat lima waktu. Setelah puas memperlakukannya secara biadab, Satsus Intel membawa Fatwa dengan tangan terbelenggu ke Rumah Tahanan Militer Cimanggis, Depok. “Di sanalah saya bergabung dengan sekitar 200 orang tahanan kasus Tanjung Priok yang kebanyakan menderita luka-luka akibat tembakan,” tutur lelaki yang pernah menjabat sebagai wakil ketua MPR periode 2004-2009 itu. Tuduhan Rapat Gelap Fatwa diciduk oleh aparat karena dituduh terlibat rapat gelap pada 18 September 1984 (kemudian dikenal sebagai Peristiwa Lembaran Putih). Menurut Kepala Humas Kejaksaan Agung A.A. Ngurah S.H., bertempat di rumahnya di kawasan Jakarta Timur, Fatwa bersama sejumlah tokoh bermufakat membuat aksi balas dendam atas apa yang dialami umat Islam di Tanjung Priok seminggu sebelumnya. “Lewat teror yang meresahkan masyarakat dan merusak wibawa pemerintah,” demikian kata Ngurah dalam Rekaman Peristiwa ’84 yang dikeluarkan oleh Sinar Harapan . Anehnya, teror ledakan itu baru terjadi pada 4 Oktober 1984, menimpa beberapa kantor BCA (Bank Central Asia). Fatwa menyangkal tuduhan itu. Dia beralibi bahwa pertemuan tersebut sudah direncanakan jauh sebelum Peristiwa Tanjung Priok. Kalaupun ada pernyataan mendesak pemerintah untuk menyelidiki secara tuntas dan obyektif kasus Peristiwa Tanjung Priok, itu terjadi secara spontan saja. Sehari sesudah kejadian berdarah di Tanjung Priok, pemerintah meringkus satu persatu para pendakwah keras yang kerap aktif di mesjid-mesjid sekitar Jakarta Utara. Mereka adalah Abdul Qadir Djaelani, Tony Ardie, Abdul Rani Yunsih, dan Mawardi Noor. Ulama sepuh Prof. Oesman al-Hamidy, rektor Perguruan Tinggi Dakwah Islam, dicokok dan dijebloskan ke dalam tahanan pada 19 September 1984. Berikutnya pihak militer kemudian menangkap Salim Qadar, Ratono, dan Yayan Hendrayana pada Oktober 1984. “Kesembilan orang ini (termasuk Fatwa) dianggap oleh pemerintah memegang peranan penting dalam Peristiwa Tanjung Priok,” tulis Tapol London dalam  Muslim on Trial . Selama di tahanan, mereka diperlakukan secara tidak manusiawi. Rata-rata mendapatkan bogem mentah, sundutan rokok, dan penyiksaan-penyiksaan psikologis. Fatwa menjadi saksi bagaimana anggota Polisi Militer di Jalan Guntur memperlakukan Tony Ardhie yang sudah terlihat payah dan kedinginan. “Ketika saya baru datang ke Guntur, saya lihat mereka menyiramkan air dingin ke tubuh Tony yang sudah tak berdaya,” kenangnya. Dharsono Mengamuk Namun, tidak ada penangkapan yang paling heboh selain terhadap H.R. Dharsono, eks Panglima Kodam Siliwangi sekaligus mitra Soeharto saat meruntuhkan kekuasaan Presiden Sukarno pada akhir 1960-an. Namun, sejak dipecat dari jabatan sekretaris jenderal ASEAN pada 1976, Dharsono segera menempatkan dirinya di barisan oposisi pemerintah Orde Baru. Beberapa hari usai Peristiwa Tanjung Priok, Dharsono bersama Fatwa dan tokoh-tokoh lainnya, ikut membubuhkan tanda tangan protes kepada pemerintah. Dalam nota protes yang kemudian dikenal sebagai Peristiwa Lembaran Putih itu, para penanda tangan mendesak pemerintah Orde Baru untuk bertanggung jawab atas tumpahnya darah rakyat di Tanjung Priok. “Berbeda dengan saya yang langsung ditangkap, Pak Ton (panggilan akrab H.R. Dharsono) baru diambil pada 8 November 1984,” ujar Fatwa. Di pengadilan Jakarta pada 19 Agustus 1985, Dharsono pun “mengamuk”. Bersama para pembelanya yang dipimpin advokat senior Adnan Buyung Nasution, dia berupaya menelanjangi peranan pasukan keamanan dalam kejadian berdarah di Tanjung Priok. Salah satunya dengan mencela keputusan Dandim 0502 Letnan Kolonel Butar-Butar untuk memanggil bantuan dari Arhanud (Artileri Pertahanan Udara). “Mereka ini dilatih untuk melakukan pertempuran bukan untuk menghadapi massa pengunjuk rasa!” ungkap Dharsono. Dharsono pun mempertanyakan peran Syarifin Maloko sebagai provokator dalam acara tablig akbar sebelum meletusnya insiden berdarah di Tanjung Priok. Dia menggugat tidak ikut ditangkapnya Syarifin karena ada kemungkinan lelaki asal Nusa Tenggara Barat itu sebagai intel tentara. Selain Syarifin, Dharsono juga menanyakan keberadaan Hamzah Haryana, salah satu peserta yang hadir dalam penandatanganan protes di kediaman Fatwa. Dia menyebut perilaku Hamzah sangat mencurigakan karena berlaku sebagai provokator dengan meminta dirinya menyediakan bom guna melancarkan aksi teror. Namun, pembelaan Dharsono itu sia-sia. Alih-alih mendapat kebebasan, pejuang Perang Kemerdekaan itu malah divonis 10 tahun penjara. Keputusan yang dikecam dan disesali khalayak. “Tidak sepantasnya Jenderal Dharsono duduk sebagai terdakwa di pengadilan ini,” ujar almarhum Fatwa dalam memoarnya,  Menggugat dari Balik Penjara: Surat-surat Politik A.M. Fatwa .*

  • Awal Mula Hostes di Jakarta

    ANDA penggemar dunia gemerlap (dugem) kota-kota besar? Jika iya, anda pasti tak asing dengan perempuan pendamping untuk tetamu di tempat hiburan malam. Mereka biasa disebut lady companion  di tempat karaoke. Sedangkan di klub malam dan diskotek, mereka bernama lady escort . Tugas mereka mendampingi tetamu bernyanyi dan bergoyang.

  • Di Selabintana Masa Depan Hindia dan Indonesia Ditentukan

    HAWA dingin tak menghalangi orang-orang untuk beraktivitas. Minggu pagi, parkiran Selabintana Conference Resort (SCR) sudah ramai baik oleh para penginap maupun penduduk sekitar yang ingin liburan atau mengais rezeki. Di bawah pohon beringin tua raksasa, seorang nenek dengan sabar menunggui dagangannya dan melayani orang-orang yang bertanya. Pembeli bunga-bunganya datang silih berganti. “Murah-murah banget. Itu bunga yang kecil daunnya banyak di Pamulang gocapan , di sini tadi cuma sepuluh ribu,” ujar seorang ibu-pembeli asal Jakarta kepada Historia . Selabintana, sekira tujuh kilometer utara Sukabumi kota, sejak lama dikenal sebagai penghasil bunga dan sayur-sayuran. “Di lembah gunung itu terdapat kebun bunga, yang terkenal dengan bunga edelweisnya. ‘Musim Bunga di Selabintana’ merupakan salah satu judul dari pentas sandiwara keliling, Tjahaja Timoer, pada tahun empat puluhan,” tulis veteran Perang Kemerdekaan Mien Adi Hatmodjo dalam memoarnya yang dimuat di buku Seribu Wajah Wanita Pejuang dalam Kancah Revolusi ’45 , “Perjuangan Rakyat Sukabumi”. Para pembesar dan orang kaya Hindia Belanda menjadikan Selabintana tempat favorit untuk mencari pemandangan indah, merasakan kesejukan sekaligus udara bersih. Mereka biasa menginap di hotel terbaik, Hotel Victoria atau Hotel Selabintana. Di Hotel Selabintana (kini Selabintana Conference Resort) itu pula rapat penting antara pemerintah Hindia Belanda dan pemerintah Jepang digelar tahun 1940. Rapat yang membahas hubungan ekonomi kedua negara itu terkait erat dengan berakhirnya Perjanjian Perdagangan Jepang-Amerika Serikat (AS) pada 26 Januari 1940. Berakhirnya perjanjian itu diikuti dengan pengurangan drastis ekspor AS ke Jepang dan kekhawatiran Jepang akan diembargo AS. Jepang mesti mencari negara lain untuk menjadi pemasok sumberdaya alam, terutama minyak, agar industrinya tetap berjalan. Hal itu ditindaklanjuti dengan mengontak Belanda, penguasa Hindia Belanda, untuk mendapatkan jaminan pasokan dan konsesi ekonomi lebih jauh. Hindia Belanda menjadi negeri terpenting yang dilirik Jepang karena banyak bahan mentah untuk industri Jepang, termasuk minyak, berasal dari Hindia. Negeri kepulauan kaya itu juga amat strategis letaknya. Yang tak kalah penting, Jepang mesti memenuhi janjinya memasok timah, karet, minyak jarak, dan rempah-rempah Hindia kepada Jerman setelah menandatangani kerjasama triparti dengan Jerman dan Italia. Sambil mengontak Den Haag, Tokyo membuka pembicaraan langsung dengan Batavia via konsul jenderalnya. Kepada pemerintah Hindia Belanda, Jepang mengatakan hubungan dengan Belanda tak ada kepastian. Maka ketika pendudukan Belanda oleh Jerman dimulai pada Mei 1940, Jepang memanfaatkan hubungan langsung dengan Hindia. Konjen di Batavia langsung menuntut ekspor 13 komoditas penting Hindia ke Jepang tetap berjalan. Ketika tuntutannya dikabulkan, Jepang menuntut lebih jauh agar diberi kebebasan lebih memasuki perekonomian di Hindia dan menuntut pemerintah Hindia mengadakan sebuah konferensi untuk membahasnya. Setelah beberapakali diolak, konferensi dikabulkan Hindia meski tuntutan agar delegasi Hindia diwakili langsung oleh Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh tetap ditolak. Jepang langsung menunjuk Jenderal Kuniaki Koiso memimpin misi ke Batavia. Namun, penghinaan publik Koiso kepada Hindia membuat Tokyo mengganti Koiso dengan Menteri Perdagangan dan Industri Ichizo Kobayashi sehingga delegasi yang ke Batavia dikenal dengan Misi Kobayashi. Misi Kobayashi, berisi 24 teknisi, termasuk perwira dari tiga matra militer, tiba di Batavia pada 12 September 1940 menggunakan Kapal Nissho Maru . Disambut Menteri Ekonomi Hindia HJ van Mook dengan upacara meriah di Batavia, mereka berangkat ke tempat konferensi, Selabintana pada 16 September. “Delegasi Jepang dan Belanda tiba bersama-sama di Selabintanah dekat Sukabumi,” kenang Van Mook dalam The Netherlands, Indies, and Japan: Their Relations 1940-1941 . “Delagasi Jepang merasa seperti di rumah sendiri. Keindahan wilayah ini mengingatkan para diplomat akan dataran tinggi menuju Gunung Fuji di Jepang,” tulis Robert Stinnett dalam Day of Deceit: The Truth About FDR and Pearl Harbor . Jepang tak langsung masuk pada inti dalam perundingan, melainkan lebih dulu masuk dengan penjelasan tentang proyek Lingkaran Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Jepang ingin Hindia, yang sudah terputus dari pemerintahan pengasingan Belanda di London, masuk ke dalamnya dan bekerjasama penuh. Setelah tak mendapat tanggapan positif dari Hindia, Jepang baru masuk ke inti pertemuan dengan meminta Hindia meningkatkan pasokan minyaknya ke Jepang dari yang biasanya 600 ribu ton menjadi 3.150.000 ton per tahun. Kuota sebesar itu, pinta Jepang, mesti dijamin selama lima tahun. Jepang juga meminta Hindia lebih melonggarkan kebijakan ekonominya terhadap Jepang. Selain ingin mendapatkan konsesi, Jepang ingin mendapat informasi sumur-sumur minyak Hindia lewat pembukaan akses riset para ilmuwannya. Van Mook tak bisa mengabulkan banyak tuntutan Jepang itu. “Kunjungan ke sumur dan kilang minyak hanya bisa diberikan oleh masing-masing pemilik perusahaan. Pemerintah tidak memiliki kekuasaan untuk memberikan hak seperti itu kepada pihak ketiga,” ujar Van Mook seperti ditulis M. Abdul Aziz dalam Japan’s Colonialism and Indonesia . Keteguhan masing-masing pihak pada pendiriannya membuat perundingan macet. Kedua delegasi kembali bertemu pada 16 Oktober. Perundingan tetap alot, Kobayashi dan Van Mook tetap pada pendiriannya. Jepang menuduh pemerintah Hindia boneka Amerika yang bertindak selalu dengan arahan Washington. “Menteri HJ van Mook menegur Kobayashi dan melabeli permintaan minyak itu tidak masuk akal. Selain itu, katanya, peran pemerintah Belanda hanya pengawas. Perusahaan-perusahaan minyak Belanda yang mengendalikan penuh produksi dan penjualan produk-produk minyak, bukan pemerintah,” tulis Stinnett. Jepang terpaksa menyetujui komunike bersama yang lebih banyak ditentukan Hindia. “Jepang merasa perlu menghilangkan kecurigaan Hindia tentang niatnya yang sebenarnya, menunda menggunakan senjata atas Hindia, dan yang terpenting memastikan aliran bahan mentah terus berjalan dari Hindia tidak hanya untuk mempercepat persiapan perangnya tapi juga untuk menyediakan Jerman, partner dalam Pakta Tripartit, dengan material penting untuk kebutuhan Perang Eropa,” tulis Azis. Selang 16 bulan kemudian, Jepang mencaplok Hindia dalam Perang Pasifik. Kekalahan Jepang dalam perang itu membuka gerbang kemerdekaan Indonesia.

  • Rapat Ikada yang Direka

    Kencangnya hembusan angin tak mampu menghalangi massa dari Jakarta dan sekitarnya untuk hadir di Lapangan Monas. Mereka tak sabar menantikan para pemimpin republik naik podium. Maka saat Presiden Sukarno yang mereka elu-elukan tiba bersama jajaran kabinetnya dengan pengawalan dari Latief Hendraningrat dan Moeffreni Moe’min dari Badan Keamanan Rakyat (BKR) Jakarta Raya serta Komisaris Mangil Martowidjojo dari Polisi Istimewa, serentak mereka langsung menatap ke arah rombongan itu. Riuh pekik merdeka membahana ketika Sukarno akhirnya naik podium setelah Soewirjo (walikota Jakarta) dan Kasman Singodimedjo (BKR Pusat). Dahaga akan kepastian arah Proklamasi mereka terhapuskan sudah. Pertaruhan nyawa mereka ke tempat acara yang dijaga ketat serdadu Jepang bersenjata lengkap, tak sia-sia. Namun, mereka akhirnya kecewa karena Bung Karno hanya berpidato sebentar. “Saudara-saudara, kita akan tetap mempertahankan proklamasi kemerdekaan kita. Kita tidak mundur satu patah katapun! Saya mengetahui bahwa saudara-saudara berkumpul di sini untuk melihat presiden saudara-saudara dan untuk mendengarkan perintahnya. Nah, apabila saudara-saudara masih setia dan percaya kepada presidenmu, ikutilah perintahnya yang pertama! Pulanglah dengan tenang. Tinggalkan rapat ini sekarang juga dengan tertib dan teratur dan tunggulah berita dari para pemimpin di tempatmu masing-masing. Sekarang, bubarlah. Pulanglah saudara-saudara dengan tenang,” ujar Sukarno yang dengan apik diperankan Rahmad Sadeli dari Pustaka Betawi, dan dipatuhi massa. Begitulah suasana Rapat Akbar Ikada pada 19 September 1945 yang direkonstruksi Minggu (16/9/2018) petang kemarin di Lapangan Monas dengan tajuk “Samudera Merah Putih”. Reka ulang garapan Forum Warga Betawi dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta itu bertujuan untuk menghidupkan kembali satu peristiwa penting dalam sejarah bangsa. Adegan massa rakyat yang berkerumun menanti kedatangan Bung Karno dalam rekonstruksi Rapat Raksasa Ikada. (Randy Wirayudha/Historia) Rapat Raksasa Ikada diprakarsai Comite van Actie yang terdiri dari beragam elemen pemuda. Tujuannya ingin mempertemukan rakyat dengan para pemimpinnya sekaligus show of force di hadapan Gunseikanbu (pemerintah militer Jepang) yang ngotot mempertahankan status quo sampai datangnya Sekutu. Imbauannya dirilis Komite Nasional Kota Besar Jakarta. “Tapi penggerak-penggerak utama di belakangnya adalah kelompok-kelompok pemuda yang secara longgar berkerumun di sekitar Menteng 31. Kurir-kurir menyebar dengan cepat ke kabupaten-kabupaten di sekitar Jakarta, mendesak supaya banyak orang hadir,” sebut Ben Anderson dalam Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946. Tapi toh Jepang tetap bergeming dengan memerintahkan para serdadunya menjaga ketertiban jalannya rapat. Jumlah massa yang begitu besar membuat mereka gelagapan. “Secara psikologis kekuatan tentara Jepang yang bertindak atas nama Sekutu untuk mempertahankan status quo dapat dipatahkan,” sebut Soejono Martosewojo dalam Mahasiswa ’45 Prapatan-10: Pengabdiannya (1). Meski kemudian rakyat membubarkan diri dengan kecewa lantaran singkatnya pidato Sukarno, lanjut Soejono, kepercayaan mereka terhadap pemerintah RI yang masih bayi ini menguat. “Kekompakan pemimpin dengan rakyat kian erat dan menjadi manifestasi yang tak kalah peranannya dibanding perjuangan fisik. Peristiwa ini jadi modal kekuatan batin yang melahirkan kepercayaan dan kepatuhan rakyat,” sambung Soejono. Oleh karena itu, reka ulang Rapat Ikada digelar sebagai pengingat bahwa massa yang berasal dari golongan rakyat kecil punya peranan besar dalam penguatan proklamasi kemerdekaan. “Peranan mereka secara historis penting karena membuktikan bahwa proklamasi merupakan keinginan seluruh rakyat, bukan segelintir elit yang dituduh Sekutu dan Belanda sebagai kolaborator Jepang,” tutur sejarawan JJ Rizal yang juga selaku ketua pelaksana rekonstruksi Rapat Ikada Selain detail adegan reka ulang yang dibuat semirip mungkin, kostum dan properti otentik sesuai kejadian asli dihadirkan oleh ratusan pesilat dari puluhan perguruan serta reenactors (pereka ulang sejarah) dari Bekasi, Bandung dan Jakarta. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memberikan sambutan dalam rekonstruksi Rapat Raksasa Ikada. (Randy Wirayudha/Historia) “Ini kejadian penting dalam perjalanan republik ini. Kejadian di mana pemerintah tidak boleh melupakan rakyat yang selama pendirian awal republik menghibahkan tenaga dan nyawanya untuk menyelamatkan proklamasi. Warga kampung harus mendapatkan yang dijanjikan republik ini. Menjanjikan perlindungan, mencerdaskan, kesejahteraan dan mari kita kembalikan janji itu untuk lunas bagi orang-orang kecil. Mulainya di Jakarta dan harus lunas di Jakarta,” cetus Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam sambutannya.

  • Ken Angrok Ksatria yang Terkalahkan

    INILAH cerita Ken Angrok. Awal mula dia dijadikan manusia. Adalah seorang anak janda di Jiput. Berkelakuan tidak baik, memutuskan tali kesusilaan menjadikan perhatian bagi Zat yang Maha Gaib. Pergilah dia dari Jiput, mengungsi ke daerah Bulalak. Nama dari yang dipertuan di Bulalak itu Mpu Tapa Wengkeng. Dia sedang membuat pintu gerbang pertapaannya, dimintai kambing merah jantan oleh hyang penjaga pintu. “Tak akan ada hasil walau khusus bersemadi, maka ini akan menyebabkan aku jatuh ke dalam dosa, kalau sampai membunuh manusia, tak akan ada yang dapat memutuskan permintaan korban kambing merah itu,” kata Tapa Wengkeng. Orang yang memutuskan tali kesusilaan tadi berkata, dia sanggup dijadikan korban, agar dia dapat kembali ke tempat Wisnu dan kemudian menjelma kepada kelahiran yang mulia, ke alam dunia lagi. Ketika dia direstui penitisannya oleh Mpu Tapa Wengkeng sesuai dengan keinginannya ketika meninggal, bertapalah dia pada tujuh pertapaan. Setelah meninggal, dia dijadikan korban oleh Mpu Tapa Wengkeng. Setelah itu pergilah dia ke tempat Wisnu. Tak diingkari janjinya ketika dijadikan korban, dia memohon agar dijelmakan di sebelah timur Kawi. Demikianlah penulis  Serat Pararaton  membuka penuturannya tentang Ken Angrok. Kisah itu seakan mistis. Namun, sebenarnya erat kaitannya dengan awal mula kelahiran pendiri Kerajaan Singhasari yang misterius itu. Di sana ada petunjuk soal identitas ayah Ken angrok. Urun pendapat sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh banyak peneliti. Mereka mengajukan analisisnya secara spesifik soal latar belakang Ken Angrok.  Sebelumnya, Boechari dalam artikelnya “Ken Angrok: Bastard Son of Tunggul Ametung?" (1975), memberikan penjelasan kalau Dewa Brahma yang memperkosa Ken Endok adalah seorang penguasa daerah di lereng timur Gunung Kawi. Sebagai seorang penguasa, dia lepas dari jangakauan hukum.  Dia bahkan punya kekuasaan untuk menyingkirkan suami seorang perempuan yang diinginkannya. Mengingat Ken Angrok dengan mudah diterima pengabdiannya kepada Tunggul Ametung, maka Boechari menyimpulkan Ken Angrok adalah anak Tunggul Ametung. Namun, pendapat itu dibantah sejarawan Malang, Suwardono lewat bukunya  Tafsir Baru Kesejarahan Ken Angrok. Menurutnya penulis  Pararaton  secara jenius telah menyiratkan informasi itu lewat pembuka kisahnya. Jika penggalan kisah yang membuka  Katuturanira Ken Angrok itu diperhatikan, secara harfiah bisa dimaknai bahwa telah terjadi suatu pelanggaran susila yang dilakukan oleh seseorang di  karajyan  Kerajaan Kadiri. Suwardono menerjemahkan, seseorang itu merupakan anak janda dari Jiput. Dia kemudian berniat menebus dosanya menjadi korban sesaji. Harapannya, dia bisa dilahirkan kembali di lereng timur Gunung Kawi sebagai Ken Angrok. Dari penuturan kisah awal  Pararaton  itu diketahui kalau si tokoh berasal dari Desa Jiput yang, menurutnya, ada di sebelah barat Gunung Kawi. Dia yang minta menjelma kembali di timur Gunung Kawi itu, menurut Suwardono, hanyalah penghalusan. Maksudnya, orang itu telah melakukan perbuatan mesum terhadap istri orang hingga menghasilkan anak di timur Gunung Kawi, yang jauh dari pemerintahan Kerajaan Kadiri.  “Secara rasional, seseorang yang memutuskan ikatan kesusilaan yang berasal dari Jiput itulah yang nantinya menurunkan Ken Angrok. Dialah ayah dari Ken Angrok,” jelas Suwardono. Ayah Ken Angrok Bukan Tunggul Ametung, ayah Angrok itu bisa ditelusuri lewat penyebutan nama desa yang menjadi tempat lahir Ken Angrok: Desa Pangkur.  Dalam bahasa Jawa Kuno, Pangkur adalah gelar pejabat kerajaan. Di Kerajaan Kadiri, pejabat kerajaan di pusat terdiri dari susunan kelompok. Di bawah  mahamantri i hino, i sirikan,  dan  i halu  adalah para  tanda rakryan ring pakiran-kira. Di bawahnya lagi, terdapat kelompok pejabat yang diberi tugas luar. Mereka sering juga ditempatkan di daerah. Ada tiga golongan. Pertama,terdiri dari  pinghai, wahuta, rama, nayaka, pratyaya, akurug haji, wadilahati,  dan  aludur. Kedua, dinamakan  winawa sang mana katrini yang terdiri dari  pangkur, tawan,  dan  tirip. Ketiga,golongan ini adalah  mangilala drawya haji.  “ Pangkur, tawan,  dan  tirip.  Ketiganya bertugas sebagai pengawas pelaksana perintah raja,” jelas Suwardono. Maka bisa disimpulkan kalau ayah Angrok adalah pejabat tinggi p angkur, yaitu pegawai pusat yang diberi tugas luar. Tak heran jika kemudian dia sampai ke wilayah timur Gunung Kawi.  “Lalu pangkur dan akuwu tinggi mana? Hierarkinya, sri maharaja , mahamantri katrinian , setelah itu ring pakiran kiran . Di hirarki ring pakiran kiran ini itulah manakkatrini . Sejajar. Sangat berpengaruh. Manakatrini ini mengawasi pakiran kiran sama pejabat yang berhubungan dengan pajak negara,” terang Suwardono. Karena ditugasi dan tinggal di sana semetara waktu, nama desa yang dia tinggali pun dikenal sebagai Pangkur. "Ini sampai sekarang masih terjadi. Tempat tinggal Mangkubumi menjadi Mangkubumen, Yudonegoro menjadi Yudonegaran," jelas Suwardono.  Karena itulah sekarang nama desa "Pangkur" tak lagi membekas. Perubahan sebutan tempat terjadi ketika sang pejabat sudah tak menempati wilayah itu karena pejabat pangkur tak mendapat wilayah lungguh. Tidak seperti seorang yang bergelar  rakai .  “Petunjuk yang selama ini terlewatkan oleh para sejarawan justru terletak di bagian pembukaan  Pararaton ,” ujar Suwardono . Ibu Ken Angrok Bukan cuma ayahnya yang diduga punya darah biru. Ibu Ken Angrok pun dimungkinkan berasal dari keluarga bangsawan. Teori ini salah satunya datang dari sejarawan Warsito S. Dalam artikelnya "Benarkah Ken Arok Anak Desa?" yang terbit dalam majalah  Pusara, Djilid XXVII, No. 3-4 Maret-April 1966, dia bilang kalau ibu Ken Angrok adalah ratu yang melarikan diri bersama putranya. Mereka bersembunyi di tempat terasing. Sebab, takhta kerajaannya telah direbut oleh penguasa lain.  Ken Angrok atau yang dia sebut dengan Ken Arok dikenal juga sebagai penjelmaan Wisnu. Menurutnya, itu lebih menunjukkan moyang yang dipuja, bukan sekte agama. Raja di Jawa Timur yang pertama menyebut dirinya sebagai penjelmaan Wisnu adalah Bhuwaneçwara (Prasasti Gedangan 860). Adapun unsur nama Içwara dalam nama Bhuwaneçwara (Bhuwana-Içwara) menunjukkan raja itu dari dinasti Siwa. Içwara adalah nama lain Siwa.  Lalu Wijaya, penegak dinasti Majapahit, yang adalah keturunan Ken Angrok juga memilih diarcakan sebagai Harihara. Dewa ini adalah perwujudan gabungan dari Wisnu dan Siwa.  Lalu Ken Angrok kala hendak menjadi penguasa diangkat oleh Siwa sebagai anaknya dalam rapat dewata di Gunung Lejar. Ketika hendak berperang melawan Kadiri, ia juga mentahbiskan dirinya sebagai Siwa. Pun dia diduga diwujudkan dalam bentuk arca Harihara.  "Jadi jelaslah Ken Angrok keturunan Bhuwaneçwara. Ia adalah kuncup dari dinasti tua di Blitar," jelas Warsito. Lebih lanjut dia bilang, Ken Angrok adalah seorang putra mahkota yang menanti saat baik untuk dapat merebut kembali takhta kerajaan ibunya.  Mirip dengan pendapat itu, Dwi Cahyono, mengatakan kalau Ken Angrok boleh jadi berasal dari kalangan yang secara politis terkalahkan. Mungkin, katanya, dari garis ibu dia adalah orang Janggala yang terkalahkan.  "Angrok itu disudrakan. Diposisikan rendah secara sosial politik karena kalah,” jelasnya ketika ditemui di rumahnya, Malang. Namun, posisinya berbalik setelah memperoleh kemenangan. Angrok mendapat gelar ken . “ Ken itu samdi dalam ki-an. Jadi ken dari kata ki-an . Dari raki-an jadi rakryan ,” ujar sang arkeolog. Adapun ibunya pun punya gelar ken , yaitu Ken Endok. Ini adalah petunjuk bahwa orang yang memiliki gelar itu bukan sudra, tapi ksatria. Dalam hal ini, mereka adalah ksatria yang terkalahkan. Itu terutama sejak momentum 1135 M, yaitu kemenangan Kadiri dalam Prasasti Hantang. Akhirnya penguasa Jenggala termasuk leluhur Angrok pun penguasa terkalahkan.  "Walaupun posisi ayahnya belum jelas ya, tapi kalau lihat posisi geografisnya, dia lahir di daerah pendudukan," jelas pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang itu.*

  • Yang Terlupa dalam Rapat Raksasa Ikada

    Sembilan belas September 1945 di Lapangan Ikada (kini Lapangan Monas). Ratusan ribu manusia dari golongan akar rumput menuntut penegasan dari para pemimpin baru mereka, pemimpin yang masih membangun fondasi republik yang baru lahir sebulan sebelumnya. Mereka tak sabar untuk mendapat kepastian ke arah mana kemerdekaan yang diproklamirkan 17 Agustus 1945 akan dibawa. Peristiwa yang dikenal sebagai Rapat Raksasa Ikada itu sayangnya dalam berbagai literatur sejarah yang bermunculan kemudian hanya mencatat nama-nama pembesar macam Presiden Sukarno, Hatta, Sukarni, atau Ali Sastroamidjojo yang hadir dalam show of force pertama republik itu. Rapat Raksasa Ikada seolah hanya panggung mereka. Jangankan nama rakyat yang hadir dari berbagai tempat, nama Tan Malaka sebagai penggagas pun baru dibuka dalam sejarah setelah reformasi. Oleh karenanya untuk membangkitkan memori dan terutama menghormati peran ratusan ribu rakyat yang terlupakan di peristiwa itu Forum Warga Betawi se-Jabodetabek bersama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menghelat rekonstruksi Rapat Raksasa Ikada bertajuk “Samudera Merah Putih” di Lapangan Monas, Minggu siang (16/9/2018). Gelaran kolosal itu akan diramaikan 3000 pesilat Betawi dari 20 perguruan se-Jabodetabek dan puluhan reenactors (pereka ulang sejarah) dari Bekasi dan Bandung. “Itu untuk acara utamanya dalam rekonstruksi. Sementara, selain Pak Gubernur (DKI Anies Baswedan) sendiri akan turut hadir, dari IPSI juga akan mendatangkan 20 atlet silat peraih medali Asian Games 2018 sebagai pembuka atraksi palang pintu untuk penyambutan,” tutur sejarawan JJ Rizal dalam konferensi pers di Balai Kota DKI, Jumat (14/9/2018). Rizal menekankan pentingnya perhelatan ini sebagai pengingat bahwa Rapat Ikada berkaitan erat dengan peristiwa proklamasi. Tak semestinya ia hanya jadi catatan sejarah milik Bung Karno cs. Rakyat, penduduk Jakarta dan sekitarnya, mesti mendapat tempat. “Bung Hatta pernah mengatakan tak mungkin kita merayakan 17 Agustus kalau tidak merayakan Rapat Ikada karena itu kepentingan seluruh rakyat. Proklamasi paling hanya dihadiri 200 orang, mayoritas golongan elit. Sedangkan Rapat Ikada 19 September itu 250 ribu orang. Mereka datang tanpa takut dan peduli melihat banyak tentara Jepang dengan senjata terisi peluru dan sangkur terhunus,” lanjut Rizal. Konferensi pers rekonstruksi peristiwa Rapat Raksasa di Lapangan Ikada. (Randy Wirayudha/Historia). Rapat Ikada, kata Ahmad Syarofi, merupakan penegasan dan penguatan terhadap Proklamasi 17 Agustus. “Ya karena pas proklamasi juga gaungnya tak begitu terasa. Hanya 200 orang. Sementara di Rapat Ikada, ratusan ribu orang itu datang dengan nyali besar. Karena Jepang melarang. Diselenggarakan dalam tekanan militer Jepang. Tapi kemudian gaung kemerdekaan kian meluas,” ujarnya. Oleh karena arti penting Rapat Ikada itu, sudah saatnya kita memberi tempat lebih besar dalam penulisan sejarah kepada satu nama yang selama ini terlupakan sehingga terdengar asing bahkan bagi masyarakat Jakarta sendiri: Letkol Moeffreni Moe’min. Tanpa peran tokoh yang kini tengah diajukan jadi pahlawan nasional itu, Rapat Ikada kemungkinan tak pernah ada. “Kita utang budi pada mereka yang hadir, terutama Moeffreni,” ujar ketua tim pengusul pahlawan nasional Moeffreni Moe’min itu kepada Historia . Peran Moeffreni, putra Betawi kelahiran Rangkasbitung, nyaris tak dikenang orang meski posisinya merupakan orang kedua di BKR Jakarta setelah Kasman Singodimejo. Eks anggota Seinen Dojo (Barisan Pemuda) Tangerang dan alumnus pendidikan perwira PETA Bogor itu merupakan tameng hidup Bung Karno selama Rapat Raksasa Ikada. Moeffreni mengawal Bung Karno sejak dari saat dijemput di mobil, berjalan ke podium untuk pidato singkat, sampai kembali lagi ke mobil. “Moeffreni itu dengan berpakaian sipil berupa jas mengantongi empat granat nanas dan dua pistol. Itu granat siap diledakkan kalau Jepang macam-macam. Itu nilai heroiknya sosok Moeffreni,” lanjut Syarofi. Heroisme Moeffreni itulah yang menjadi pendorong Syarofi dan tim dari Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) mengsulkan pahlawan nasional Moeffreni sejak 2016, terutama setelah mendapat restu keluarga Moeffreni. Sosok Moeffreni dianggap pantas dijadikan pahlawan nasional asal Betawi setelah Ismail Marzuki yang jadi pahlawan pada 2004. “Di masa revolusi, Moeffreni jadi komandan Resimen V Jakarta yang kemudian berganti jadi Resimen Cikampek setelah Jakarta diperintah dikosongkan oleh Sekutu. Beliau juga memimpin pengamanan Perundingan Linggarjati. Setelah pensiun dinas militer, beliau mendarmabaktikan diri di DPRD DKI sampai MPR. Kini tinggal tunggu keputusan karena soal proses pengajuannya, bolanya sudah ada di Dewan Gelar,” tandas Syarofi.

  • Peristiwa Tanjung Priok: Darah Pun Mengalir di Utara Jakarta

    ZULKARNAIN masih ingat peristiwa berdarah 34 tahun lalu itu. Sebagai anak umur sembilan tahun, dirinya merasa aneh dan takut ketika kawasan Jalan Yos Soedarso dipenuhi truk-truk tentara dan mobil-mobil pemadam kebakaran malam itu. Bau anyir darah serasa menusuk hidung bersanding dengan bunyi teriakan para serdadu dan polisi mengusir orang-orang untuk menghindari kawasan tersebut. “Kebetulan saya dan bapak habis beli sepatu dan lewat daerah itu ketika mau pulang ke Cilincing,” ujar lelaki berdarah Sumbawa itu. Nasib Zulkarnain dan bapaknya tentu saja jauh lebih bagus dibanding Wasjan bin Sukarna (saat kejadian berlangsung berumur 32 tahun). Pengemudi mesin pengangkut barang di Pelabuhan Tanjung Priok itu tengah menunggu angkutan umum untuk pulang kala dia melihat munculnya keruman massa yang tengah berlari. Seiring kemunculan mereka, tetiba terdengar rentetan senjata. “Saya sempat tidak ingat setelah itu, namun saat tersadar kepala saya sudah berdarah dan saya ada di selokan dekat jalan,” ungkapnya. Wasjan sempat dilarikan ke rumah sakit terdekat dengan taksi oleh dua orang yang dia tak kenal. Namun empat hari kemudian, beberapa tentara menjempunya lalu membawa dia  ke suatu tempat untuk diperiksa. Selanjutnya Wasjan dipindahkan ke RTM (Rumah Tahanan Militer) Cimanggis, Depok. Orang yang senasib dengan Wasjan sejatinya masih banyak. Menurut catatan Muslim on Trial yang dikeluarkan oleh Tapol London pada 1987, ratusan orang yang tidak bersalah mendapat luka-luka akibat tembakan. Alih-alih dirawat pemerintah Indonesia, mereka malah menjadi tahanan politik dalam status tersangka pelaku kerusuhan di Tanjung Priok pada 12 September 1984. Hingga kini, jumlah korban tewas pun tak pernah menemui kejelasan. Kepada media, pemerintah Indonesia melansir jumlah yang tewas adalah 33 orang. Sedangkan lembaga-lembaga kemanusiaan asing menyebut jumlah sekira ratusan orang terbunuh dalam peristiwa tersebut. “Kurang lebih 400 muslim syahid, ratusan lagi luka-luka dan beberapa ulama ditangkap setelah kejadian itu,” tulis Abdul Qadir Djaelani dalam Peran Ulama dan Santri dalam Perjuangan Islam di Indonesia. Jakarta Utara Membara Beberapa minggu sebelum 12 September 1984, kawasan Jakarta Utara bak api dalam sekam. Di wilayah kaum buruh dan nelayan kecil yang dikenal kumuh serta kerap banjir tersebut, isu-isu politik berbalut keagamaan bertiup kencang. Hampir tiap minggu, para ulama via masjid-masjid mengumandangkan kritik keras terhadap pemerintah Orde Baru yang dinilai tidak berpihak kepada umat Islam. Dua tema yang kerap menjadi “santapan rohani” para jamaah masjid-masjid di Tanjung Priok adalah soal pemaksaan Pancasila sebagai satu-satunya asas yang harus dicantumkan termasuk bagi organisasi-organisasi Islam dan diskriminasi pihak pemerintah terhadap para siswa serta mahasiswa berjilbab. Abdul Qadir Djaelani adalah salah satu ulama yang kerap mengisi dakwah-dakwah yang distel secara keras itu. Lelaki yang dikenal sebagai aktivis GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia) itu merupakan ustadz favorit para jamaah. Menjelang terjadinya insiden berdarah 12 September, Qadir sempat berceramah di depan jamaah masjid Al Araf seraya mengancam Presiden Soeharto. “Anda paksakan Asas Tunggal itu, maka anda akan melihat darah kami mengalir di bumi Indonesia ini! ”ujarnya. Belakangan rekaman dakwah di Al Araf ini banyak beredar ke kota-kota lain termasuk Sukabumi dan Cianjur. Selain Abdul Qadir Djaelani, ustad-ustad keras yang kerap menyambangi Tanjung Priok adalah Mawardi Noer, Ratono, M. Nasir, Oesman al Hamidy dan Syarifin Maloko. Nama terakhir kemudian dicurigai oleh salah satu tim pembela korban peristiwa Tanjungpriok dari YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) Adnan Buyung Nasution sebagai seorang intel tentara. Insiden Assa’adah Waktu sudah berjalan 34 tahun, namun Mushola Assa’adah di bilangan Gang IV Koja, Tanjung Priok tidak banyak berubah. Sejarah mencatat  di sinilah pada 7 September 1984 seorang Babinsa (Bintara Pembina Desa) yakni Sersan Satu Hermanu memerintahkan jamaah mushola tersebut untuk menurunkan poster-poster yang mengajak para muslimah untuk berjilbab. Permintaan itu ditolak. Karena tidak digubris, beberapa hari kemudian Hermanu bersama prajuritnya mendatangi kembali Assa’adah. Untuk kedua kalinya dia meminta jamaah untuk mencopot poster-poster itu. Lagi-lagi para pengurus mushola enggan menuruti perintahnya. Merasa tidak dihargai, Hermanu emosi. Dia lantas mengeluarkan pistolnya dan mengancam orang-orang di sekitar untuk melaksanakan perintahnya. Berita insiden di Assa’adah pun menyeruak ke khalayak. Isu yang berkembang malah semakin provokatif: ada tentara masuk ke mushola Assa’adah tanpa melepas sepatu lars-nya lantas mencabuti poster-poster dakwah dengan menggunakan air got. Wilayah Koja pun menjadi panas. Para pengurus Assa’adah lalu meminta bantuan kepada Syarifuddin Rambe dan Syafwan Sulaeman, dua pengurus DKM (Dewan Keluarga Masjid) Baitul Makmur, yang letaknya memang berdekatan dengan Mushola Assa’adah. Syarifuddin dan Syafwan berinsiatif mengundang Hermanu dan kawan-kawannya untuk bermusyawarah. Alih-alih menemui kata kata mufakat, massa yang berkumpul di luar mushola malah membakar sepeda motor Hermanu. Akibatnya Syarifuddin, Syafwan dan dua orang pengurus musola Akhmad Sahi serta Mohammad Nur langsung diciduk. Darah Tertumpah Massa yang marah lantas mengadukan penahanan empat aktivis masjid itu kepada Amir Biki, salah seorang tokoh masyarakat yang dikenal memiliki hubungan luas dengan para pejabat militer di lingkungan DKI Jakarta. Secara cepat Amir melakukan pendekatan ke pihak Polres Jakarta Utara dan Kodim 0502 Jakarta Utara namun upayanya sia-sia. Guna mendesak pembebasan empat kawan mereka yang ditahan tersebut, para aktivis masjid di Koja lantas mengadakan sejenis tabligh akbar di suatu lapangan pada 12 September 1984, tepat usai magrib. Beberapa ustadz berganti turun naik mimbar untuk melancarkan kecaman mereka kepada pihak militer dan pemerintah Indonesia. Amir sendiri naik ke atas mimbar dan memberikan ultimatum kepada para penahan untuk membebaskan keempat aktivis masjid hingga pukul 23.00. “Jika tidak dibebaskan juga, maka kita akan mengerahkan massa yang lebih besar lagi untuk unjuk rasa,” ujar Amir, disambut takbir dan teriakan sekira 1500 peserta tabligh akbar tersebut. Jarum jam masih menujukan angka sepuluh lebih, ketika massa mulai bergerak ke arah Markas Kodim Jakarta Utara. Namun sebelum mencapai tempat itu, tepat di depan Mapolres Jakarta Utara, sekira satu regu tentara bersenjata berat plus ranpur dan truk-truk militer melakukan penghadangan. Terjadi aksi dorong mendorong dan ketika satu letusan pistol berbunyi, berhamburanlah peluru-peluru tajam dari moncong senjata-senjata berat itu. Teriakan histeris menggema, darah pun tumpah. “Suasana sangat mencekam sekali dan kacau, mayat-mayat bergelimpangan dan orang-orang yang terluka mengerang-erang penuh iba,” ujar Usman (bukan nama sebenarnya). Dalam peristiwa itu Amir Biki sendiri meninggal karena terkena tembakan. Besoknya kepada media, Pangdam V Jakarta Raya Mayjen TNI Try Soetrisno  (yang didampingi Pangkopkamtib Jenderal TNI L.B. Moerdani dan Menteri Penerangan Harmoko) menyatakan bahwa Peristiwa Tanjung Priok merupakan hasil rekayasa orang-orang yang menggunakan agama untuk kepentingan politik tertentu dengan melawan hukum yang berlaku. Ia pun menyebut data-data korban jiwa serta luka-luka yang berbeda dengan kesaksian para saksi di tempat kejadian. “Sembilan orang meninggal dunia dan 53 orang luka-luka,” ujarnya seperti dilansir Sinar Harapan , 13 September 1984.*

  • Asal Usul Valak, Setan dari Masa Kegelapan

    TENGAH malam di Gereja St. Cârţa, pedalaman Rumania medio 1952. Dengan langkah terburu-buru, dua biarawati yang dilanda kepanikan menuju sebuah pintu ruangan keramat. Pintu bertuliskan Finit hic Deo (Latin: Tuhan Berakhir di Sini) itu jadi penanda bahwa di balik pintu itu adalah tempat di mana doa-doa Tuhan takkan mempan terhadap satu zat menyeramkan di dalamnya. Adegan mencekam itu jadi pilihan sutradara Corin Hardy untuk langsung menyuguhkan scene yang membuat “ sport jantung” dalam film The Nun . Film berdurasi 96 menit ini berkisah tentang asal-usul Valak slot5000 , hantu biarawati atau suster menyeramkan yang sebelumnya muncul dalam universe -nya Conjuring. Dalam adegan itu, seorang suster jadi korban sesosok iblis di balik pintu keramat dan seorang lagi, Suster Victoria (Charlotte Hope), melarikan diri tapi akhirnya terpaksa gantung diri. Jasadnya ditemukan Maurice ‘Frenchie’ Theriault (Jonas Bloquet), pemuda dari Desa Bierten yang dalam kurun triwulan rutin memasok logistik gereja. Vatikan yang mendengar kejadian aneh itu langsung mengirim Pastor Burke (Demián Bichir) dan Suster Irene (Taissa Farmiga) ke tempat kejadian perkara  untuk menyelidiki. Dengan Frenchie sebagai pemandu jalan, Burke dan Irene segera merasakan banyak keganjilan dan aura tak mengenakkan di gereja tersebut. Gereja St. Cârţa yang menyeramkan (thenunmovie.com). Berbagai kejadian mistis terus menghampiri Frenchie, Burke, dan Irene selama penyelidikan itu. Ditimpali music scoring garapan Abel Korzeniowski yang pas, jump scare di berbagai adegan menghasilkan adegan horor ciamik. Terutama, saat sosok Valak (Bonnie Aarons) menampakkan wujudnya pada Irene. Adegan-adegan saat saat Pastor Burke maupun Suster Irene diganggu sosok Valak tak ubahnya adegan di film-film bertema zombie. Mereka akhirnya mendapat kesimpulan siapa Valak yang sebenarnya. Arwah Suster Oana (Ingrid Bisu) membeberkan bahwa sosok Valak yang acap muncul tengah malam di lorong-lorong gereja merupakan jelmaan iblis yang sengaja menampakkan sosoknya menyerupai biarawati. Iblis itu pada Abad Pertengahan “dipanggil” dari neraka oleh Duke of St. Cârţa, penguasa pedalaman Rumania yang mendiami Puri St. Cârţa sebelum bangunannya dijadikan gereja. Nyaris 96 menit adegan mencekam tanpa henti. (thenunmovie.com). Valak sempat muncul di ruangan keramat di bawah tanah puri. Namun tak lama, puri itu diserbu pasukan Vatikan. Sementara, Valak dikirim kembali ke neraka dengan sebuah relik berisi darah Yesus Kristus. Namun, semasa Perang Dunia II Valak muncul lagi gara-gara ruang bawah tanahnya hancur oleh bombardir udara. Dengan darah Yesus Kristus itulah Suster Irene membinasakan Valak. Lucunya, mirip dengan aksi dukun ketika mengusir setan dalam film-film horor tanah air, si Valak hangus terbakar setelah disembur darah Yesus oleh Suster Irene. Muasal Valak Sebagaimana Conjuring 2 dan Annabelle: The Creation, film ini bak prekuel dari film-film ber- genre horor supranatural. Semua film itu menampilkan banyak penasaran terhadap sosok setannya karena tak diikuti penjelasan. Tak heran bila The Nun jadi salah satu film horor paling dinanti para “fans” Valak. Sosok Valak sendiri aslinya bukan seperti yang digambarkan dalam film, berupa hantu suster menyeramkan. Dalam The Nun, Valak sebenarnya sedikit diterangkan di adegan saat Pastor Burke mengulik sejumlah buku sihir yang ditemukannya di Gereja St. Cârţa. Valak sejatinya berwujud malaikat kecil yang mengendarai naga berkepala dua, yang dianggap panglima dari 38 legiun arwah jahat, persis seperti yang dideskripsikan dalam buku sihir abad XVII Lesser Key of Solomon . Dalam beberapa manuskrip, disebutkan namanya Volac, Ualac, atau Volach. Wujud asli iblis Valak Pendeskripsian Valak berupa sosok biarawati di The Nun menurut penulis skenario James Wan berangkat dari makhluk halus nyata yang acap menghantui Lorraine Warren. Dia merupakan pakar investigasi paranormal yang kisahnya bersama sang suami, Ed Warren, difilmkan dalam The Conjuring, The Conjuring 2, dan Annabelle: Creation .   “Dikisahkan oleh Lorraine bahwa penampakan makhluk halusnya seperti angin yang berbentuk wanita berjubah. Hanya Lorraine yang diganggu sosok ini dan saya ingin membuat hantu ini bisa menyerang keyakinan dia. Sesuatu yang juga bisa mengancam keselamatan suaminya. Dari situlah ide sosok ikonografis dari ikon keagamaan (biarawati) ini muncul di kepala saya,” ungkap James Wan, dikutip mirror.co.uk , 6 September 2018.

  • Pencak Silat Warisan Mataram Menembus Zaman

    BERBEDA dari kebanyakan pencak silat di Nusantara yang kondang dengan beragam ritual klenik dan mistik, Merpati Putih (MP) tidak punya itu. Sejak didirikan pada 1960-an, MP bebas dari bermacam ritual klenik atau ritual keagamaan tertentu. Alhasil, hingga zaman kekinian pun MP bisa dipelajari semua golongan. Bukan semata orang Indonesia, banyak orang luar pun mempelajarinya. MP dikenal dunia lewat aksi-aksi pemecahan rekor dari dua keunggulan ilmunya: pematahan benda keras dan ilmu getaran. Di Asian Games 2018, MP berkontribusi bagi kontingen Indonesia maupun Thailand baik lewat pelatih maupun atlet yang mempersembahkan medali. Diturunkan dari Amangkurat II Nehemia Budi Setyawan, satu dari dua pewaris MP, berkisah bahwa MP berhulu dari Raden Mas Rahmat (kelak bergelar Amangkurat II) yang hidup semasa Mataram belum pecah dua akibat Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755). “Dulu belum disebut namanya silat MP. Silatnya pun diwariskan turun-temurun khusus di lingkungan keraton,” ujar pria yang biasa disapa Mas Hemi itu kepada Historia. Ciri khas gerakan-gerakan dalam silat MP yang terbilang halus tak lepas dari pengaruh Nyi Ageng Joyorejoso. “Dia masih turunan Grat ke-III dari Amangkurat II. Nyi Ageng memilih menyendiri keluar keraton sampai punya tiga putra: Gagak Handoko, Gagak Seto, dan Gagak Samudro. Nah , MP itu turunnya lewat Gagak Handoko, yang punya keistimewaan ilmu kanuragannya,” tambahnya. Jauh setelah itu, silat Amangkurat itu akhirnya disebarluaskan untuk umum. Itu terjadi pada 1963 di masa Guru Besar Raden Mas Saring Hadipoernomo, Grat X dari Amangkurat II. “Pak Saring mengamanahkan dua putranya, Mas Poeng (Poerwoto Hadipoernomo) dan Mas Budi (Budi Santoso Hadipoernomo), bahwa melihat kondisi di Indonesia mulai banyak beladiri asing masuk Indonesia, Pak Saring merasa sudah waktunya ilmu silatnya terbuka untuk masyarakat umum. Akhirnya didirikanlah Perguruan Pencak Silat Beladiri Tangan Kosong (PPS Betako) Merpati Putih pada 2 April 1963,” terang Hemi lagi. Nehemia Budi Setyawan, pewaris PPS Betako Merpati Putih (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Merpati Putih merupakan akronim dari Mersudi Patitising Tindak Pusakaning Titising Hening yang maknanya Mencari sampai mendapat kebijakan dalam keheningan. Nama itu hasil dari perenungan RM Saring. Sementara, lambang MP berupa telapak tangan dan burung merpati terinspirasi dari bungkus rokok. “Dulu itu ada rokok merek Komodo. Ada gambar merpatinya. Setelah didesain ulang, dijadikan lambang kita. Ditambahkan telapak tangan sebagai simbol beladiri MP yang berfokus pada tangan kosong,” beber Hemi. Makna Pancasila dan ke-Indonesia-an tersurat di seragam putih-merah MP. Di seragam berwarna putih terdapat motif segilima berwarna merah sebagai perlambang lima sila dalam Pancasila. Menggantikan Unsur Klenik dengan Metode Ilmiah Segala hal dalam MP sangat kental budaya Jawa. Namun sejak RM Saring menyerahkan sepenuhnya perkembangan MP kepada Mas Poeng dan Mas Budi, segala hal klenik dan mistik ditinggalkan dan diganti dengan metode yang lebih modern. “Kita harus akui dan tak mau menutup-nutupi bahwa mungkin awalnya, ya namanya orang dulu ya, dari zamannya Amangkurat sampai orangtuanya Pak Saring, memang ada yang seperti itu (ritual klenik). Tapi berubah di eranya Mas Poeng dan Mas Budi. Mulai era pancaroba di mana sifat mistik dibikin non-mistik agar semua pemeluk agama bisa menerima MP. Hanya satu pantangan di MP, yaitu enggak boleh lapar, hahaha …,” canda Hemi. “Ya kalau lapar bagaimana kita bisa jaga fisik saat latihan? Sementara badan butuh asupan energi dari makanan,” lanjutnya. Hemi melanjutkan, beragam keilmuan MP bersumber dari olah pernafasan yang berpucuk pada tenaga dalam. Lee Wilson, yang pernah menemui langsung Mendiang Mas Poeng, menyatakan bahwa keilmuan MP sangat logis. “Semua makhluk hidup memerlukan energi untuk eksis dan pernafasan melepaskan energi dalam reaksi kimiawi di sel-sel tubuh melalui oksidasi,” tulis Wilson, mengutip Mas Poeng, dalam Martial Arts and the Body Politic in Indonesia . Kiri-kanan: Budi Santoso Hadipoernomo dan Poerwoto Hadipoernomo, mendiang Guru Besar Merpati Putih. (ppsbetakomerpatiputih.com). Wilson menjelaskan, oksigen yang mengalir dalam pernafasan diolah lewat metode fisik untuk membentuk molekul energi bernama Adenosine Triphosphate (ATP). ATP inilah yang menyimpan dan mengalirkan lagi energi di dalam tubuh untuk memicu reaksi kimiawi menjadi tenaga dalam. Tenaga dalam itulah sumber dari ilmu getaran yang bisa mematahkan benda keras. Dilirik TNI dan Mendunia Selain dilirik dunia kesehatan, utamanya untuk penyandang tunanetra, keilmuan MP ditaksir TNI dan Polri. “Sekitar tahun 1973 Mas Poeng dan Mas Budi diminta melatih di TNI AU Yogyakarta. Selain untuk diteliti, keilmuan MP dianggap jadi beladiri yang bisa meningkatkan stamina dan fisik para anggota TNI AU. Setelah itu di tahun yang sama datang surat dari Pak Tjokropranolo (Brigjen Tjokropranolo) dari Kemenhan, MP diminta ikut melatih Paspampres (Pasukan Pengamanan Presiden,” sambung Hemi. Sejak itu, sepasang guru besar MP itu “hijrah” ke Jakarta. Selain kian menyebarkan MP di ibukota dan sekitarnya, keduanya juga diminta melatih MP untuk beladiri Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha) TNI AD (kini Kopassus) sejak 1977 dan Brimob Polri pada 1980-an. “Sampai sekarang kita punya 122 cabang dari Aceh sampai Papua, ditambah sembilan cabang di berbagai benua di muka bumi: Amerika Serikat, Belanda, Spanyol, Kaledonia Baru, Jepang, Australia, Filipina, Malaysia, dan terbaru di Thailand. Dulu Mas Budi dan Poeng selalu berpesan, kalau punya ilmu jangan pelit. Ilmu ini untuk kemanusiaan, akhirnya memang MP boleh dibuka di luar negeri,” ujar Hemi. Merpati Putih di Amerika Serikat. (mp-usa.org). Cabang MP pertama di mancanegara bukan di Malaysia atau Filipina, melainkan Amerika (MP USA). “Cabangnya ada di Utah. Mereka yang datang langsung ke Indonesia akhir 1990-an, katanya tahu MP dari internet. Mereka ini dua bersaudara: Nate dan Mike Zeleznick. Mereka berdua ahli karate tapi tertarik sama MP karena concern sama ilmu getarannya yang bisa diaplikasikan untuk kemanusiaan (penyandang disabilitas). Baru kemudian menyebar ke negara-negara lain dan terbaru pada 2016 di Yala, Thailand,” tandas Hemi.

bottom of page