Hasil pencarian
9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Titian Sejarah Gitar
Tanbur Al Farabi (872-950 M), penulis buku Khitab Al-Musiqi al Khabir , menulis bahwa tanbur sudah diketemukan di jazirah Persia kuno, di jaman Akkadia, sekira 3000 SM. Instrumen ini kemudian populer di dataran Mesopotamia. ‘Leher’ tanbur, tempat bentangan senar, kebanyakan memiliki panjang sekira 70 cm. Sedangkan ‘badan’ tanbur, menyerupai buah pir. Har-Mose, musisi dari era Mesir kuno, dikuburkan bersama tanbur yang ia miliki, dimakam ratu Hatshepsut. Kithara Alat musik petik dari Yunani kuno ini terkait erat dengan upacara menghormati Dewa Apollo. Pemain kithara disebut kitharistu, biasanya untuk mengiringi sebuah lagu. Di Yunani kuno, sekira 800-479 SM, pertunjukan kithara dalam sebuah festival paling ditunggu. Kithara tersusun atas sebuah kotak resonator dari kayu yang disebut echeion , dua lengan tempat senar yang disebut pecheis , dan batang untuk menyetem nada yang dipasang melintang, menggabungkan dua lengan yang disebut kollopes . Kithara biasanya memiliki tujuh senar, yang dimainkan dengan dipetik. Laud Bangsa Moor, muslim yang mendiami semenanjung Iberia, membawa alat musik tanbur masuk ke Spanyol, sekira abad 12. Di sini, tanbur mengalami perubahan proporsi bentuk, mendekati gitar yang ada sekarang. Orang spanyol menambahkan fret , membuat ‘tubuh’ menjadi datar, dan memperpendek ‘leher’. Vihuella Pertengahan abad 15 hingga 16, alat ini banyak digunakan di Spanyol dan Portugis. Vihuella memiliki enam dawai, terbuat dari jalinan usus domba, yang dipasang ganda. Badan vihuella sudah menyerupai gitar modern, berbentuk angka delapan dan memiliki body belakang yang datar. Luis de Milan, musisi Spanyol, membuat komposisi musik vihuella berjudul Libro de música de vihuela de mano intitulado El maestro yang didedikasikan kepada Raja John III dari Portugal. Gitar Klasik Memasuki abad 19, gitar klasik mulai berkembang. Instrumennya menggunakan enam dawai tunggal dan penyeteman dengan nada E-A-D-G-B-E. Untuk menyesuaikan nada dawai, sudah menggunakan setelan bergerigi yang menggantikan model pasak. Antonio Torres (1817-1892) membuat perubahan pada body gitar menjadi lebih lebar. Gitar yang sedang berkembang di Eropa, merambat ke jazirah Amerika. Christian F. Martin, pendatang dari Eropa, mengembangkan senar baja untuk gitar akustik. Awal abad 20, muncul pemusik blues macam Robert Johnson dan Huddie Ledbetter. Gitar Modern Dawai dari baja ternyata memberi kelemahan pada gitar, yaitu tegangan senar yang kuat dapat merusak body hingga leher gitar. Kekuatan senar baja sendiri adalah suara yang lebih nyaring daripada senar yang terbuat dari usus atau serat nilon. Sekira awal 1900-an, C.F. Martin kemudian mengembangkan penahan berbentuk X di dalam tabung resonansi gitar. Gitar Elektrik Di tahun 1948, Clarence Leonidas Fender (1909-1991) meluncurkan gitar elektrik, bernama Broadcaster. Nama itu berganti menjadi Telecaster di tahun 1951. Leo Fender membuat gitar elektriknya mudah digunakan; mudah disetel; minim feed back dari senar dengan memberi amplifier khusus.
- Wartawan yang Terlupa
JAGAT literasi dan jurnalistik tanah air telah lama melahirkan nama-nama hebat. Namun, tak semua populer. Siti Danilah Salim, misalnya. Meski sama-sama aktif menulis dan berjuang, namanya tak setenar kakak kandungnya, Agus Salim. Danilah adalah anak ke-10 dari 12 bersaudara. Pendidikan dasarnya dilakukan di Europesche Lagere School Riau. Dari sana dia lalu melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (setingkat SMP) di Medan. Setelah menyelesaikannya, umur 17 tahun dia bekerja di Kantor Pos dan Bea Cukai. Danilah menikah tahun 1920 dengan seorang pegawai tambang minyak. Dia lalu mengikuti suaminya ke Kalimantan dan Semarang. Kecantol literasi Kecintaan Danilah pada dunia literasi bermula ketika dia bekerja sebagai juru koreksi di Percetakan De Evolutie, perusahaan pribumi yang mendapat subsidi pemerintah kolonial. Kala itu usianya baru 20 tahun. Satu per satu naskah dia teliti, setiap peletakan tanda baca yang salah dia koreksi. Tak satu pun naksah buku yang hendak diterbitkan De Evolutie luput dari pemeriksaannya. Danilah sangat menikmati pekerjaan itu. “Dari pengalaman bekerja sebagai korektrise dan belajar otodidak di De Evolutie itulah minat saya untuk mengarang mulai tumbuh,” kata Danilah dalam kumpulan memoar perempuan Sumbangsihku Bagi Pertiwi. Kemampuan bahasa Belanda dan Indonesianya yang baik membuat Danilah tak kesulitan membuat tulisan jurnalistik dan karangan panjang. Mulanya, Danilah menulis puisi dan esai dalam bahasa Belanda memakai nama pena Kemuning. Tulisan berbahasa Indonesia Danilah dimuat pertamakali oleh Harian Neratja , suratkabar modern pribumi karena memuat foto. Kala itu, Agus Salim mejadi pemimpin redaksinya. Danilah lagi-lagi menjadi juru koreksi di media ini. Tulisan Danilah di Neratja bersanding dengan tulisan Agus Salim, Mohammad Yamin, Bahder Djohan, dan Kasuma Sutan Pamuntjak. Danilah juga aktif berorganisasi. Dia bergabung dengan Jong Sumatranen Bond dan aktif menulis di Majalah JongSumatra . “Saya senang menulis sajak di majalah JongSumatra . Laporan situasi saya kirimkan ke Harian Neratja . Saya juga menerjemahkan berita pendek dari bahasa asing,” kata Danilah. Meski sempat berpindah-pindah mengikuti suaminya, Danilah tetap menulis untuk beberapa surat kabar setempat dan mengirimkannya ke Jakarta. “Di Semarang saya menulis untuk Majalah Pestaka dan Suratkabar Bahagia mengasuh rubrik Taman Isteri,” kata Danilah. Ketika tinggal di Semarang, Danilah mulai aktif dalam gerakan perempuan dengan bergabung ke dalam Isteri Indonesia, organisasi perempuan yang didirikan pada Juli 1932 dan diketuai Maria Ulfah. Danilah terpilih sebagai ketua Istri Indonesia cabang Semarang selama lima tahun. Setelah bercerai dari suaminya pada 1938, Danilah pindah ke Jakarta. Dia tetap aktif dalam organisasi perempuan dan menulis. Danilah menjadi anggota Pengurus Besar Isteri Indonesia dan ketua cabang Kwitang. Danilah menikah lagi dengan wartawan CahayaTimur Syamsudin Sutan Makmur di masa pendudukan Jepang. Setelah Jepang hengkang, mereka mendirikan Mingguan DayaUpaya namun tak bertahan lama. Syamsudin bersama Njoto dan rekannya mendirikan HarianRakyat . Di suratkabar ini, Danilah mengisi rubrik Pojok dengan nama samaran Bang Golok. Nama Bang Golok dia pilih karana menggambarkan ketajaman senjata rakyat Indonesia. Dalam salah satu karangannya, Danilah menulis bahwa rakyat harus bersatu-padu agar Indonesia tidak dijajah kembali oleh Belanda. “Radio milik Belanda, Pemancar RadioHilversum menuduh Bang Golok sebagai penghasut kelas satu agar Indonesia berontak melawan Belanda,” katanya. Ketika Isteri Indonesia hendak membuat terbitan, Danilah dipercaya menduduki ketua komisi pers lantaran sepak-terjangnya di dunia literasi dan jurnalistik. Lasmidjah Hardi dalam Perjalanan Tiga Zaman menyebut Danilah sebagai wartawan terkenal di zamannya. Danilah juga aktif menulis di Majalah Isteri Indonesia . “Kakak saya Siti Salamah menjadi pemimpin umum Majalah Isteri Indonesia ,” kata Danilah. Menurutnya, menulis tidak bisa dilepaskan dari cara pandang yang berpihak pada perempuan. Kala Sukarno menikah dengan Fatmawati, misalnya, Danilah mengkritik keras Sukarno dan menyayangkan Sukarno menduakan Inggit. Bagi Danilah, Inggit perempuan hebat yang berperan besar dalam membantu Sukarno di masa sulit. Dia kembali mengkritik Sukarno ketika menikah lagi dengan Hartini. Baginya, tak ada ruang poligini karena hal itu merugikan perempuan. Danilah berteman dekat dengan Nyonya Latief, mertua pemimpin redaksi Harian Merdeka BM Diah. Mereka sama-sama aktivis Isteri Indonesia. Nyonya Latief menjabat sebagai kepala cabang Jakarta. Ketika Isteri Indonesia mengadakan kongres di Yogyakarta, Danilah datang bersama Nyonya Latief dengan mengendarai mobil. Dari Nyonya Latief pula Danilah kenal BM Diah. Tidak hanya berhubungan dengan BM Diah, Danilah juga pernah bekerjasama dengan Parada Harahap, Abdul Muis, Datuk Tumenggung, dan beberapa nama tenar di dunia literasi. Sayang, nama Danilah tak setenar Agus Salim atau rekan seperjuangannya. Nama Danilah terlupa dalam sejarah pers dan literasi Indonesia.
- Harapan Bung Karno pada Bang Ali
DI Istana Negara, 28 April 1966 sedang berlangsung pelantikan gubernur Jakarta yang baru. Presiden Sukarno menyampaikan pidatonya. Amanat yang disampaikan bertalian dengan pembenahan ibukota. Bermacam masalah dikemukakan oleh Bung Karno. Mulai dari perencanaan kota, tata lalu-lintas, hingga soal selokan dan sampah. “Nah, saya punya pilihan jatuh kepada Mayjen KKO Ali Sadikin. Dus Ali Sadikin, als ja maar weet (ia tak mengerti sedikitpun), engkau mengalami kesulitan,” ujar Sukarno dalam pidatonya yang termuat dalam Revolusi Belum Selesai: Kumpulan Pidato Presiden Soekarno 30 September 1965—Pelengkap Nawaksara suntingan Budi Setiyono dan Bonnie Triyana. Ketika dilantik, Ali Sadikin baru berusia 39 tahun. Jabatan terakhirnya Menteri Perhubungan Laut. Latar belakang Ali sebagai perwira tinggi TNI AL mendorong Sukarno menjatuhkan pilihan. Sebagai kota pelabuhan, Sukarno membutuhkan gubernur yang paham urusan laut dan pelabuhan untuk mengurus Jakarta. Kecakapan Ali juga meyakinkan Sukarno untuk meladeni korps diplomatik yang berpusat di ibukota. Selain itu, karakter Ali Sadikin dikenal keras bagi Sukarno dianggap mampu mengatasi bengalnya perhatian masyarakat terhadap kebersihan. “Nah, itu perlu dihadapi oleh orang yang sedikit keras, yang sedikit koppig ( keras kepala),” kata Sukarno. “ Doe je best (lakukan yang terbaik) agar supaya engkau dalam memegang kegubernuran Jakarta Raya ini benar-benar juga sekian lagi masih orang mengingat, die heeft Ali Sadikin gedaan , inilah perbuatan Ali Sadikin. Bismillah, mulailah engkau mempunyai pekerjaan,” kata Bung Karno memungkasi pidatonya. Sempat Ragu Awalnya Bung karno sempat ragu. Posisi untuk gubernur Jakarta dibicarakan dengan Wakil Perdana Menteri II, Johannes Leimena. Keduanya mengalami kesulitan menemukan sosok yang cocok. Sekian nama terjaring hingga tersisa tiga kandidat. Semuanya tokoh jenderal. Ali Sadikin tak masuk dalam hitungan. Tapi ketiga-tiganya ditolak oleh Sukarno. Sebagaimana dituturkan Leimena kepada Ali Sadikin, Bung Karno memerlukan orang yang keras, tegas, dan berani. Leimena lantas menyodorkan nama Ali Sadikin. Bung Karno menanggapi. Katanya, Ali Sadikin orangnya koppig . “Namun nyatanya Bung Karno setuju saja dengan seseorang yang dinilai koppig itu, seperti dikemukakannya dalam pidato pelantikan saya itu,” tutur Ali Sadikin kepada Ramadhan K.H. dalam Ali Sadikin: Membenahi Jakarta Menjadi Kota yang Manusiawi . Menurut Yuke Ardianti dalam "Sukarno, Sang Padma yang Meranggas di Bulan Maret 1966", termuat di Malam Bencana 1965 dalam Belitan Krisis Nasional Bagian 3 , penunjukan Ali sebagai gubernur merupakan bentuk kepercayaan Sukarno bahwa perwira kelahiran Sumedang itu akan mampu membangun Jakarta. Si Bung juga yakin bahwa Ali akan menjadikan Jakarta sebagai kota metropolitan dunia. Demikian menurut pengajar Fakultas Seni Rupa Universitas Trisakti tersebut. Marinir jadi Gubernur Saat Ali Sadikin menjabat gubernur, Indonesia tengah mengalami kemerosotan ekonomi. Pun demikian kondisi Jakarta yang sama buruknya. Hampir di segala lini terjadi krisis: perumahan, lapangan kerja, angkutan, usaha, hingga hubungan telepon. Jakarta menjadi ibukota yang menyedihkan. “Penunjukan Ali Sadikin menjadi semacam hadiah perpisahan dari Sukarno untuk Jakarta,” tulis Susan Blackburn dalam Jakarta Sejarah 400 Tahun . Menurut sejarawan asal Australia itu Sukarno memang tak salah pilih. Selama sebelas tahun memimpin ibukota, Ali Sadikin diakui sebagai gubernur terbaik yang pernah memerintah Jakarta. Walaupun sebagian kesuksesannya terbantu karena pertumbuhan ekonomi Orde Baru, namun kepribadian dan gaya Ali Sadikin –yang akrab disapa Bang Ali oleh warga Jakarta– memberi kontribusi atas pencapaiannya. Semasa kepemimpinannya, Ali Sadikin menggencarkan pembangunan sarana dan prasarana untuk melayani masyarakat ibukota. Mulai dari sarana untuk menjadikan Jakarta kota budaya, sarana hiburan dan rekreasi, pembangunan jaringan jalan raya, sarana lalulintas dan transportasi, sarana kesehatan, hingga sarana olahraga. Taman Ismail Marzuki (TIM), kawasan wisata Ancol, Pekan Raya Jakarta (PRJ), Proyek Senen, Taman Ria Monas, hingga Kebun Binatang Ragunan adalah beberapa proyek unggulan yang dibangun pada era Ali Sadikin. Bagi Ali sendiri, kinerjanya yang paling membanggakan adalah saat membenahi program Kampung Husni Thamrin. Proyek ini merehabilitasi pemukiman kumuh yang berada di tengah kota Jakarta dan ditujukan kepada masyarakat miskin kota. Pada 15 Juni 1977, Ali Sadikin mengakhiri masa jabatannya sebagai orang nomor satu di Jakarta. Saat itulah sang jenderal mengakui bahwa jabatan gubernur adalah posisi yang paling berat sekaligus paling mengesankan, sesuai ucapan Bung Karno pada saat melantik dirinya: “ die heft Ali Sadikin gedaan ” (inilah perbuatan Ali Sadikin). “Kata-kata Bung Karno itu telah memacu saya,” kenang Ali.*
- Aroma Dendam Konflik Balkan
USAI mencetak gol pertama Swiss atas Serbia di matchday kedua Grup E Piala Dunia 2018, Sabtu (23/6/2018), gelandang Granit Xhaka langsung merayakannya dengan selebrasi berupa mendekapkan dua tangan membentuk elang berkepala dua, mirip simbol Albania. Selebrasi serupa dilakukan Xherdan Shaqiri usai mencetak gol yang memastikan kemenangan Swiss di Kaliningrad Stadium itu. Selebrasi kontroversial tersebut jadi bumbu tersendiri dalam lagi penuh gengsi itu. Ia berkalang masa lalu nan pahit. Meski Swiss dan Serbia secara formal tak pernah berkonflik, komposisi tim Swiss di Piala Dunia 2018 berisi banyak pemain berdarah Balkan. Selain Granit dan Shaqiri, Swiss juga diperkuat Blerim Dzmaili dan Valon Behrami yang –di lengan kirinya bertato bendera Kosovo dan lengan kanannya bertato bendera Swiss– juga berdarah Albania. Selain itu, ada Haris Seferovic dan Mario Gavranovic (Bosnia), dan Josip Drmic (Kroasia). Mayoritas punya masa lalu yang belum selesai dengan Serbia. Granit dan Shaqiri seakan merupakan eksponen dari konflik itu. Selebrasi keduanya dengan mendekapkan dua tangan berbentuk elang berkepala dua, mirip simbol Albania, jelas provokasi terhadap tim dan suporter Serbia. Keduanya merupakan warga berdarah Albania asal Kosovo, negeri yang pernah diperangi Serbia dalam konflik Balkan. Sebelum pertandingan, aroma dendam konflik Balkan sudah terasa saat muncul beragam pemberitaan tentang sepatu Nike Mercurial yang dikenakan Shaqiri. Di sepatu kirinya, Shaqiri memamerkan gambar bendera Swiss, sementara di kanannya bendera Kosovo, negara kelahirannya 26 tahun silam. Sepatu bola Xherdan Shaqiri dengan bendera Swiss dan Kosovo/Foto: fifa.com Hanya dengan mengenakan sepasang sepatu itu saja Shaqiri sudah memicu provokasi buat Serbia. “Jika mereka sangat mencintai Kosovo, kenapa mereka tidak bermain untuk negeri mereka sendiri saja ketimbang Swiss,” kata penyerang Serbia Aleksandar Mitrovic merespons psy war jelang laga, dikutip Washington Post , 21 Juni 2018. Kenangan Kelam Masa Silam Aksi Granit dan Shaqiri jelas politis. Emosi akibat pengalaman pahit masa lalu, disebabkan oleh Konflik Kosovo, keduanya beserta keluarga mereka belum sirna. Konflik di Kosovo meningkat jadi kekerasan bersenjata pasca-lahirnya Ushtria Clirimtare e Kosoves (UCK) alias Tentara Pembebasan Kosovo pada 1991. Hingga berakhirnya perang (11 Juni 1999), ratusan ribu sipil jadi korban. Menurut Tim Judah dalam The Serbs: History, Myth and the Destruction of Yugoslavia , sekitar 848-863 ribu atau 90 persen populasi Albania di Kosovo terpaksa mengungsi. Sekira 8.661 lainnya tewas atau hilang. Sementara di pihak Serbia, 230 ribu warga kehilangan tempat tinggal dan sekira 3.500 jiwa lainnya tewas atau hilang. Granit dan Shaqiri hanya dua dari 200-an ribu korban perang di Kosovo. Shaqiri, misalnya, sudah harus mengungsi saat masih bayi. Lahir di Gjilan, Yugoslavia (kini wilayah Kosovo) 10 Oktober 1991, Shaqiri dan tiga saudaranya dibawa kedua orangtuanya keluar dari Kosovo. Mereka mengungsi lebih dari 1000 mil hingga mencapai Augst, Swiss. Gelombang pengungsi masyarakat Albania keluar dari Kosovo/Foto: filmaid.org “Saya tak pernah lupa bahwa saya lahir di Kosovo. Negeri yang sangat miskin. Tak banyak lapangan pekerjaan, tak banyak uang. Rumah paman saya dibakar, namun rumah saya masih berdiri meski rusak di sana-sini, barang-barang dicuri dan tembok rumah saya dicorat-coret,” kenang Shaqiri, dilansir Independent , 23 Juni 2018. Sementara, Granit lahir di Basel, Swiss 25 tahun lampau dari pasangan berdarah Albania, Ragip dan Eli Xhaka. Pasangan itu awalnya tinggal di Kursumlija, Serbia. Begitu konflik pecah, orangtua pemain yang kini berkarier di Arsenal FC itu harus berpindah-pindah dari Kursumlija ke Podujevo (Kosovo) sebelum mencapai Swiss pada 1990. Saat diwawancara Dave Hytner dari The Guardian , 17 November 2017, Granit membeberkan, ayahnya pernah dipenjara pemerintah Serbia saat masih mahasiswa. “Sejauh yang saya tahu, dia baik-baik saja di awal masa tahanannya. Namun kemudian dia juga ikut dipukuli di tahanan,” kenang Granit. Ragip Xhaka diciduk pemerintah gara-gara ikut berdemonstrasi pada 1986. Demonstrasi itu bagian dari Revolusi Anti-Birokratik 1986-1989 yang menentang pemerintah otonomi Serbia di Kosovo dan Montenegro. Demonstrasi menjalar ke Pristina hingga Vojvodina. Ragip dipenjara tiga setengah tahun. Setelah dibebaskan dan menikah, dia pindah ke Swiss dan beranak-pinak di sana. Berbeda dari kakaknya, Taulant Xhaka, yang memilih membela timnas Albania, Granit memilih mengabdi buat timnas Swiss. Namun, bukan berarti dia dan Shaqiri boleh provokatif dalam sebuah pertandingan lantaran FIFA berulangkali menegaskan ingin menjauhkan sepakbola dari politik. “Komite Disiplin FIFA membuka pemeriksaan terhadap Granit Xhaka dan Xherdan Shaqiri terkait selebrasi gol di pertandingan Swiss vs Serbia,” ungkap FIFA, dikutip Sky Sports , 24 Juni 2018. Menilik regulasi kedisiplinan FIFA pasal 54, provokasi terhadap publik umum dalam pertandingan hukumannya dua kali larangan bertanding dan denda paling sedikit USD 5.062.
- Pertempuran Usai Lebaran
Awal Agustus 1948. Menjelang datangnya waktu lebaran, para prajurit Divisi Siliwangi dari Batalyon Rukman mulai resah. Alih-alih mendapat gaji, mereka tak melihat tanda-tanda pemerintah akan memberikan tunjangan hari raya. Sementara itu istri dan anak di asrama penampungan mulai merengek-rengek. “Itu menjadikan kami tak fokus lagi menjalankan tugas sebagai tentara,” ungkap Soempena (92), mantan kopral di Batalyon Rukman. Sesampainya di wilayah Jawa Tengah, kondisi ekonomi para prajurit Siliwangi dan keluarga yang turut berangkat, hampir bisa dikatakan sehari-harinya berlangsung morat-marit. Jangankan hidup layak, untuk sekadar tidur pun mereka harus berdesak-desakan di asrama-asrama sempit dan kotor. “Pokoknya sengsaralah saat itu kami di kampung orang,” kenang Soempena. Merasa tak memiliki apa-apa untuk berlebaran, lantas muncul ide gila dari sebagian prajurit untuk mengambilalih (waktu itu dikenal dengan istilah mendaulat) logistik yang tersimpan di Rumah Penjara Negeri Surakarta. Atas kesepakatan sepihak dari sebagian prajurit Bataliyon Rukman itu, maka bergeraklah sekelompok pasukan ke rumah penjara tersebut. “Mereka lantas melakukan aksi penggedoran (meminta secara paksa) dan perampasan barang-barang persedian tersebut untuk kemudian dibagikan kepada seluruh anggota bataliyon dan keluarganya,” ujar Soe Hok Gie dalam Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan. Diancam Pasukan Lokal Aksi liar Yon Rukman itu mendapat sambutan negatif dari rakyat setempat. Mereka melaporkan soal itu kepada kesatuan TNI setempat: Yon S (Batalyon Singowareng) dari Divisi IV Surakarta dan pasukan TP (Tentara Pelajat). Sebagai respon, kedua pasukan tersebut mengutus beberapa prajuritnya ke asrama Yon Rukman untuk menegur perbuatan itu. Entah caranya yang terlalu keras atau karena anak-anak Yon Rukman sudah “gelap”, teguran itu malah disambut dengan sikap keras pula hingga berujung pengepungan asrama Yon Rukman oleh Yon S dan pasukan TP. Beberapa hari setelah lebaran, negoisiasi pun kembali dilakukan. Mayor Rukman yang langsung turun tangan, mengaku salah dan berjanji kepada Yon S dan TP untuk menyerahkan anak-anak buahnya yang terlibat penggedoran kepada Polisi Tentara (PT). Kesepakatan untuk melokalisir masalah tersebut secara internal hampir tercapai, hingga tiba-tiba salah seorang pimpinan utusan dari kedua pasukan itu menuntut agar semua persenjataan Yon Ruman diserahkan kepada Yon S dan pasukan TP. Lantas apa jawaban Mayor Ruman atas tuntutan tersebut? “Besok pagi jam 07.00, kami akan menyerahkan senjata-senjata kami. Tapi sebelum itu terjadi, kami akan membela diri terlebih dahulu!” ujar Mayor Rukman seperti ditulis dalam buku Siliwangi dari Masa ke Masa (Diterbitkan oleh Pusjarah Kodam III Siliwangi pada 1968). Syawal Berdarah Memasuki bulan Syawal hari ke-18. Kumandang adzan subuh baru saja berlalu di kawasan Tasikmadu (12 km sebelah timur Surakarta), saat ratusan prajurit dari Yon S dan TP mengepung Asrama Kompi II Yon I Brigade XIII/ KRU Z Siliwangi pimpinan Mayor U. Rukman. Beberapa di antara mereka nampak langsung memasang posisi tempur di antara rumah penduduk, sementara sebagian besar yang lain bergerak menyebar. "Dalam penyerangan tersebut, dilibatkan pula beberapa unsur rakyat…” tulis Soe Hok Gie Di dalam asrama, Mayor Rukman memerintahkan anak buahnya untuk mempersiapkan senjata masing-masing. Sesungguhnya sejak malam hari, mereka sudah bersiap untuk menyambut para penyerang. Dia lantas mengintruksikan beberapa perintah kepada masing-masing komandan peleton. Hening menyeruak di kawasan Tasikmadu ketika toko-toko yang baru buka serentak ditutup kembali para pemiliknya. Di dalam rumah, para penduduk terdiam dalam helaan nafas tegang. Beberapa menit kemudian, sebuah letusan terdengar, diiringi tembakan-tembakan yang menyalak ramai dari berbagai jenis senjata. Bunyi peluru terdengar berdesingan. Suaranya yang mengerikan bersanding dengan teriakan-teriakan para prajurit dari kedua pihak. Setelah bertempur hampir dua jam, para penyerang berhasil dipukul mundur. Tak diketahui secara pasti berapa korban yang jatuh di pihak Yon S dan pasukan TP. Yang jelas, Yon Rukman sendiri telah kehilangan tiga prajuritnya dalam insiden Syawal Berdarah tersebut Beberapa hari kemudian, pihak TNI di wilayah Surakarta mengajukan protes keras. Lewat Letnan Kolonel Soeadi Soeromihardjo, Divisi IV Panembahan Senopati Surakarta menuntut agar Batalyon Rukman ditarik dari Surakarta. “Untuk tidak memperpanjang masalah, permintaan tersebut kami penuhi. Rukman dan pasukannya kami perintahkan kembali ke Jawa Barat guna melakukan perlawanan secara rahasia terhadap Belanda,” ungkap Kolonel (Purn) Omon Abdurachman, eks Kepala Staf Brigade ke-13 Divisi Siliwangi dalam sebuah dokumentasi pribadinya.
- Lebaran di Mata Kolonialis
“Tahun Baru Pribumi ( Inlands Nieuwjaar ),” demikian orang Eropa dan pejabat Belanda di Hindia Belanda menyebut hari Lebaran. Mereka juga menganggap bulan Syawal selayaknya bulan Januari. Bulan penuh perayaan. Orang Eropa dan pejabat Belanda di Hindia Belanda merasakan suasana berbeda selama hari Lebaran dan beberapa hari setelahnya dalam bulan Syawal. Sebab orang-orang tempatan berkegiatan dan berpenampilan secara khusus. Saat itulah orang muda dan kaum bawahan memberikan selamat kepada orang tua dan kaum atasannya. Kemudian mereka saling bermaafan atas silap kata dan perilaku, sembari bikin hajatan bareng. “Di mana-mana perayaan pesta ini disertai hidangan makan khusus, saling bertandang yang dilakukan oleh kaum kerabat dan kenalan, pembelian pakaian baru, serta berbagai bentuk hiburan yang menggembirakan,” tulis Snouck Hurgronje dalam “Surat Kepada Direktur Pemerintahan Dalam Negeri”, 20 April 1904, termuat di Nasihat-Nasihat Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1939 Jilid IV. Snouck mencatat kebiasaan saling berkunjung dan mengenakan pakaian baru pada hari Lebaran mirip dengan perayaan tahun baru di Eropa. “Karena itu perayaan ini di kalangan bangsa Eropa seringkali keliru disebut ‘Tahun Baru Pribumi’,” tulis Snouck dalam Islam di Hindia Belanda . Pada hari itu orang tempatan yang bekerja pada kantor pemerintah punya waktu luang untuk saling bertandang, sebab pemerintah kolonial menetapkan tanggal 1 Syawal sebagai hari libur. Orang-orang Eropa dan pejabat Hindia Belanda melihat hari Lebaran dirayakan oleh semua umat Islam. Baik oleh yang taat dan saleh maupun oleh yang praktik ibadahnya jarang-jarang. Dari kelas warga jelata sampai kelas priayi dan pamongpraja bumiputra yang pada hari-hari biasa tak pernah kelihatan ibadah di hadapan khalayak. Saat tiba hari Lebaran, para priayi dan pamongraja bumiputra merasa perlu turut sembahyang id ke masjid bersama khalayak. “Juga mereka yang hanya berpuasa satu hari atau lebih pada awal dan akhir bulan puasa, bahkan juga kebanyakan orang Jawa yang sama sekali tidak berpuasa, ikut pula merayakan pesta ini dengan tidak kurang gembiranya daripada orang-orang saleh yang sangat patuh kepada hukum agamanya,” lanjut Snouck. Saking luasnya perayaan hari Lebaran dan bulan Syawal di segala lapisan orang tempatan, pejabat Hindia Belanda jadi agak keberatan dengan perayaan itu. Menurut sebagian mereka, perayaan Lebaran orang tempatan terlalu makan biaya alias boros. Lebih lagi jika perayaan itu digelar secara resmi oleh pamongpraja bumiputra seperti bupati. Tuan Steinmetz, residen Semarang, dan De Wolff van Westerrode, pejabat Hindia Belanda, bersurat kepada Snouck yang menjadi penasihat pemerintah kolonial untuk urusan agama Islam, adat, dan orang bumiputra pada 1904. Steinmetz dan De Wolff mengutarakan ketidaksetujuannya terhadap perayaan Lebaran. Mereka bahkan menulis perayaan Lebaran sebagai sumber bencana ekonomi. Steinmetz dan De Wolff menganggap para bupati telah menggunakan uang pemerintah kolonial untuk bermacam-ragam perayaan Lebaran dengan mengundang pejabat berbangsa Belanda. Ini sangat merugikan kas pemerintah kolonial dan merendahkan pejabat Belanda jika menghadiri undangan perayaan Lebaran dari bupati. Steinmetz dan De Wolff menyertakan dasar hukum untuk melarang perayaan resmi Lebaran. Menurut mereka, larangan itu bakal bersesuaian dengan semangat Lembaran Tambahan No. 4043 dan No. 4062. Dua aturan ini memuat perisoal pembatasan pengeluaran pejabat pemerintah kolonial untuk hal kurang penting. Steinmetz dan De Wolff juga menyinggung perayaan Lebaran di kalangan warga jelata. Mereka kasih usul agar para bupati ikut membantu batasi perayaan Lebaran di kalangan warga jelata. Tujuannya memberantas pemborosan di kalangan warga jelata. Snouck sepakat dengan Steinmetz dan De Wolff untuk beberapa hal. Antara lain bahwa pemborosan harus dilawan dan diberantas secara sungguh-sungguh. “Hendaknya diingat bahwa kekhidmatan tidak meniadakan kesederhanaan,” tulis Snouck dalam Nasihat-Nasihat Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1939 Jilid IV . Tapi Snouck bertentangan pendapat dengan Steinmetz dan De Wolff tentang perayaan Lebaran. Menurutnya membatasi perayaan Lebaran di segala lapisan orang tempatan bukan tindakan tepat. “Lebaran memang sudah menjadi perayaan keagamaan yang istimewa bagi pribumi,” tulis Snouck. Dan karena itu, Snouck justru menganjurkan Steinmetz, De Wolff, atau siapapun saja pejabat berkebangsaan Belanda di Hindia Belanda untuk memberikan penghormatan kepada perayaan tersebut. Beda pendapat antara Snouck dengan Steinmetz dan De Wolff tentang perayaan Lebaran berakar dari cara pandang orang Belanda terhadap Islam. Jajat Burhanudin dalam Ulama dan Kekuasaan Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia menyebut cara pandang Snouck terhadap Islam lebih berpihak pada peningkatan pola hubungan antara pemerintah kolonial dan umat Islam Hindia Belanda. Tak heran jika Snouck cukup berterima dengan perayaan Lebaran. Di kutub lain, Steinmetz dan De Wolff menjadi representasi cara lama orang Belanda dalam memandang Islam. “Yang sarat dengan sentimen permusuhan,” tulis Jajat. Dari sinilah kerisihan mereka berdua terhadap perayaan Lebaran menjadi mungkin.
- Nani, Teman Para Perempuan yang Terluka
NANI Suwondo masih ingat salah seorang pamannya punya 30 anak. Si paman memang hobi kawin. Dari setiap istri, si paman memperoleh beberapa anak. Sayang, si paman tak mampu membiayai kebutuhan seluruh anak dan istrinya yang telalu banyak. Tapi ketika sudah pensiun, si paman tak kapok. Jumlah anaknya masih terus bertambah. Masa depan anak dan nasib si istri seolah tidak jadi perhatian dan pertimbangannya. Dia hanya tahu kawin lalu sudah, hidup sekenanya saja. Ayah Nani, Raden Soerasno, yang merasa iba ikut menanggung kehidupan kemenakannya dengan membiayai sekolah. Nani kecil kecewa dan heran pada pamannya itu. Menurutnya, perilaku si paman sangat tidak bertanggung jawab. Berkaca dari kehidupan sepupu dan istri pamannya, Nani tergerak untuk meneliti lebih jauh tentang posisi perempuan dalam pernikahan. Dia lalu ikut memperjuangkan hukum perkawinan yang adil bagi perempuan. “Undang-undang perkawinan yang bisa menjamin kedudukan perempuan belum ada,” kata Nani dalam kumpulan memoar perempuan, Sumbangsihku Bagi Petiwi I. Berjuang Lewat Jalur Hukum Nani lahir pada 15 Agustus 1918 di Semarang. Keluarganya kelas menengah melek pendidikan. Ayah-ibunya mendukung penuh keinginan Nani untuk kuliah di Rechtshogeshool (Fakultas Hukum), Batavia pada 1937. Nani termasuk mahasiswa pandai dan aktif hingga diminta Prof. Supomo untuk jadi asistennya. Nani juga ikut membantu Maria Ullfah dalam dalam Biro Konsultasi yang dibuat Kongres Perempuan Indonesia (KPI). Biro ini bertugas mengadvokasi perempuan yang memiliki masalah dengan suaminya. Di sinilah Nani belajar banyak dari Maria Ullfah tentang ilmu hukum, khususnya hukum perkawinan yang memihak nasib perempuan. Di Biro ini pula Nani semakin tahu kasus-kasus dalam perkawinan, seperti perempuan yang dipoligami sewenang-wenang, diceraikan tak lama setelah kawin untuk alasan suami kabur lalu menikah dengan perempuan baru, dan ditipu lelaki yang mengaku bujang padahal beristri. Ada juga seorang perempuan yang datang padanya dalam kondisi hamil sementara si lelaki kabur. Dari penuturan si perempuan, pasangannya berjanji akan menikahi tapi malah menghilang setelah mengetahui dirinya hamil. Beragam kasus yang menimpa para perempuan semakin membuka mata Nani bahwa posisi perempuan dalam pernikahan masih amat tertindas. Perempuan dirugikan oleh sistem budaya patriarkis, beberapa jenis lelaki yang suka melukai, dan hukum yang tidak memadai. Undang-undang perkawinan yang dapat melindungi perempuan dalam perkawinan belum ada. Hal inilah yang menjadi perhatian Nani. Nani lulus saat penjajahan Jepang dimulai. Dia lalu bekerja di Sihoobu, yang setelah merdeka berubah menjadi Departemen Kehakiman. Pada masa revolusi, Nani menjadi sekretaris untuk delegasi Indonesia dalam perundingan dengan Komisi Tiga Negara (KTN) di Kaliurang, Yogyakarta. Setelah segala urusan penjajahan selesai tahun 1950-an, Nani kembali aktif dalam organisasi perempuan, seperti Ikatan Sarjana Wanita Indonesia (Iswi), KPI, dan Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari). Nani terus mengupayakan agar kedudukan dan nasib perempuan lebih terjamin dan aman dalam pernikahan. Nani akif dalam Badan Penasehat Perkawinan dan Perceraian (BP4). “BP4 sangat penting dalam usaha mendapat UU Perkawinan yang saat itu masih berupa impian,” kata Nani. Nani juga menjadi sekretaris komite Nikah Talak Rujuk (NTR) bersama para tokoh perempuan, seperti Maria Ullfah dan Sujatin Kartowijono. Menurut Saskia Eleonora Wieringa dalam Penghancuran Gerakan perempuan di Indonesia , komisi NTR dibentuk untuk merumuskan undang-undang pernikahan yang adil. Tapi, ketika komisi NTR berunding tentang RUU Perkawinan, pemerintah mengeluarkan PP No. 19 tahun 1952 tentang Pemberian Pensiun pada Janda Pegawai Negeri. Itu artinya, istri pertama, kedua, dan ketiga akan menerima pensiun. PP itu segera menuai penententangan dari para perempuan. Mendekati Hari Ibu 1953, Nani ikut menggerakkan demonstrasi pada 17 Desember, yang menuntut UU Perkawinan segera dikeluarkan dan penghapusan PP No. 19. Penolakan para perempuan terletak pada pemberian pensiun pada seluruh istri pegawai yang berarti pengakuan negara pada praktik poligami. Pemerintah secara tidak langsung mendukung praktik itu. Demonstrasi ini diterima presiden. Nani menjadi salah satu orang bertemu dengan Sukarno dan Fatmawati. Pada 1959, Nani memperoleh beasiswa Elin Wagner dari Swedia. Kesempatan itu dimanfaatkannya betul untuk meneliti kedudukan perempuan hingga 1950-an. Nani banyak menulis tentang hukum positif dan hukum adat yang berkaitan dengan perempuan. Dia menjadi salah satu pionir dalam penelitian hukum pernikahan perempuan yang kemudian diterbitkan. Lewat tulisan dan advokasinya, Nani menjadi teman dan pembela para perempuan yang terluka.
- Luzhniki Ikon Kejayaan Negeri Tirai Besi
RESEPSI megah dan mewah pembukaan Piala Dunia 2018 sudah bergulir pada 14 Juni 2018 di Stadion Luzhniki, Moskva. Stadion yang sama juga akan menjadi tempat upacara penutupan 15 Juli mendatang. Di Piala Dunia 2018, Luzhniki menggelar tujuh partai, termasuk partai pembuka dan final. Stadion yang kerap dijuluki “kakak kembar” Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) itu dijadikan venue utama bukan hanya lantaran stadion terbesar di Rusia dan jadi stadion terbaik dunia 2017 (versi para pakar stadiumdb.com) , melainkan juga lantaran jejak historisnya. Stadion Luzhniki, bagian dari Luzhniki Olympic Complex seluas 180 hektar yang terletak di Distrik Khamovniki, Kota Moskow, merupakan simbol ambisi Uni Soviet menjadi negara adidaya di bidang olahraga. Ia dibangun berdasarkan sebuah resolusi pemerintah Soviet tertanggal 23 Desember 1954. “Stadionnya berdiri di kaki Bukit Lenin, di sisi utara Sungai Moskva, dan Barat Daya kota (Moskva),” tulis James Riordan dalam Sport in Soviet Society . Tempat itu dipilih oleh arsitek I Rozhin, N. Ullas, dan A. Khryakov lantaran selain dekat pusat kota juga memiliki sejumlah sistem transportasi utama. Pemilihan Bukit Lenin berangkat dari ilham yang didapat arsitek V. Polikarpov kala meriset lahan tersebut. “Pemandangan yang saya lihat memberi ilham tersendiri. Saya bisa membayangkan layout stadion, arena pusat olahraga, kolam renang, taman bermain. Saya menyukai stadion yang besar, suara tembakan pistol (untuk start atletik), percikan air (olahraga akuatik) dan tendangan bola yang keras,” kata Polikarpov, dimuat laman luzhniki.ru. Begitu urusan lahan selesai, desain langsung dibuat. “Stadion utamanya sendiri didesain dengan bentuk mirip sarang burung tanpa atap oleh sekelompok arsitek terbaik Soviet pimpinan Aleksandr Vlasov dibantu insinyur V. Nasonov, N. Reznikov, dan V. Polikarpov,” tulis Richard Anderson dalam Russia: Modern Architectures in History . Pembangunan proyek Central Lenin Stadium atau kini Stadion Luzhniki/Foto: luzhniki.ru Pembangunan start pada musim semi 1955 dan rampung pada 31 Juli 1956 bersamaan dengan 140 fasilitas olahraga lainnya. “Selain Central Lenin Stadium dengan kapasitas 104 ribu penonton, Luzhniki Sport Centre yang disebut Istana Olahraga juga punya kapasitas 13 ribu penonton, ditambah arena renang outdoor berkapasitas 12 ribu orang,” tulis Riordan. Stadion utama kemudian diberi nama Central Lenin Stadium untuk mengabadikan nama pemimpin Revolusi Bolshevik. Pemberian nama itu sekaligus untuk mengkampanyekan ambisi Soviet jadi pemimpin olahraga dunia internasional. Stadion utama menjadi ikon gelanggang olahraga Negeri Tirai Besi. Lewat stadion itu, Soviet juga ingin melestarikan kejayaan olahraganya pasca-jadi runner-up Olimpiade Helsinki 1952 dengan 71 medali (22 emas, 30 perak, 19 perunggu). Kompleks yang lantas diganti nama menjadi Luzhniki Olympic Complex itu lantas jadi kawah candradimuka para atlet Soviet di berbagai olimpiade. Sejak itu, Soviet hampir selalu merajai olimpiade. Hingga 1988 jelang runtuh, Soviet lima kali jadi juara umum dan hanya tiga kali jadi runner-up . Stadion Luzhniki yang rampung dan diresmikan 31 Juli 1956/Foto: luzhniki.ru Pasca-keruntuhan Soviet, stadion nama utama berubah jadi Luzhniki Stadium –Bukit Lenin jadi Bukit Burung Gereja. Luzhniki berarti padang rumput yang tergenang air. Kata itu dipilih untuk menamakan kompleks olahraga tersebut lantaran lokasi tempat kompleks dulunya memang dataran yang tergenang air dari Sungai Moskva. Event Akbar dan Catatan Kelam Stadion Luzhniki pertama kali gelar karpet untuk perhelatan Spartakiad, event olahraga multicabang khusus untuk negara-negara Blok Timur, tahun 1956. Olimpiade 1980 menjadi momen terbesar yang pernah digelarnya. Kala itu, rekor penonton pada upacara pembukaan dan penutupan di Stadion Luzhniki tercatat mencapai 103 ribu orang. “Kami telah berusaha membuat olimpiade di Moskva sebagai sebuah perayaan berskala besar di mana para atlet dari semua benua bisa menunjukkan pencapaian-pencapaian mereka sesuai harapan kami bahwa momen ini akan memberikan dorongan baru terhadap perkembangan dan penyebaran gagasan olimpiade: memperkuat pemahaman bersama, persahabatan, dan perdamaian bangsa-bangsa,” cetus Ignatii Novikov, Presiden Komite Penyelenggara Olimpiade Moskva 1980, dikutip Jenifer Parks dalam The Olympic Games, the Soviet Sports Bureaucracy and the Cold War. Stadion Luzhniki menggelar upacara pembukaan Olimpiade 1980/Foto: Wikimedia Sayang Luzhniki menyimpan memori pahit pada 20 Oktober 1982, saat stadion itu menghelat pertandingan UEFA Cup (kini Europe League) antara FC Spartak Moskva vs HFC Haarlem. Dari laporan suratkabar Sovetsky Sport 21 Oktober 1982, terhitung 66 pendukung Spartak tewas dan 61 lainnya luka-luka akibat terinjak-injak di tangga tribun stadion. Luzhniki memang jadi rumah bagi tiga klub ibukota Soviet: Spartak Moskva, CSKA Moskva, dan Torpedo Moskva. Namun kini Luzhniki hanya diperuntukkan buat timnas Rusia. Luzhniki sudah tiga kali mengalami renovasi. Pada 1996-1997,Luzhniki ditambahkan atap yang membuatnya makin mirip dengan GBK. Renovasi pada 2001-2004 tak mengubah apapun. Pada renovasi terakhir, 2017-2018, Luzhniki dipersiapkan untuk Piala Dunia 2018. Pemerintah Rusia tetap mempertahankan sisi historisnya dengan tak mengubah bagian luar stadion. Sementara, bagian dalam direnovasi jadi lebih modern dan ditambahi beragam fasilitas yang memudahkan kaum disabilitas, seperti audio komentator untuk para tunanetra, kursi penonton berukuran khusus, serta sejumlah tempat khusus untuk kursi roda. Beberapa seksi tribun juga dibuat lebih mendekat ke lapangan. Meski begitu, kapasitas penontonnya berkurang menjadi 81 ribu orang. Melansir tass.ru , 9 Juli 2015, renovasinya menguras dana hingga 350 juta euro. Selain sepakbola, Luzhniki juga jadi venue beragam cabang atletik lantaran lintasan trek di pinggir lapangannya berstandar internasional.
- Berislam Ala Salman
Beberapa waktu lalu, BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) merilis tujuh perguruan tinggi negeri yang sudah tersusupi ide-ide keagamaan radikal. Salah satunya adalah ITB (Institut Teknologi Bandung). Di hadapan media pada awal Juni lalu, masalah ini bahkan dibenarkan oleh Bermawi Priyatna, Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan ITB. Peneliti gerakan terorisme Solahudin menyatakan bingung dengan rilis BNPT tersebut. Jika soalnya adalah di ITB terdapat organisasi mahasiswa yang berafiliasi ke HTI (Hizbut Thahrir Indonesia), hal tersebut bukanlah sesuatu yang baru. “Saya merasa tidak jelas dengan definisi “radikal” versi BNPT. Apakah dengan cap “radikal”, anak-anak tersebut sudah pasti menyebarkan ide-ide yang mengarah kepada terorisme? Kalau hanya sekedar ide, sejak zaman dulu juga di ITB hal-hal seperti itu sudah ada,” ujar Solahudin kepada Historia . Solahudin benar. Sejak 1970-an, kampus ITB memang sudah dikenal sebagai sentral kegiatan mahasiswa Islam paling dinamis di Indonesia. Berbagai pemikiran, ideologi dan aliran Islam dipastikan pernah singgah di ITB. Menurut peneliti Litbang Departemen Agama Nurhayati Djamas, gejala itu mulai terjadi pada 1960-an ketika sekelompok mahasiswa berlatar belakang “elite santri” mulai memasuki kampus terkemuka yang didominasi orang-orang non Muslim dan kaum priyayi tersebut. “Masuknya mereka ke ITB, yang tadinya secara penuh didominasi corak sekuler, memberikan suasana baru dengan mulai diadakannya berbagai kegiatan religius,”ujar Nurhayati dalam Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia , sebuah buku yang diselaraskan oleh Abdul Aziz dan Imam Tholhah Soetarman. Faktor Masjid Salman. Sejak para mahasiswa yang berlatar belakang santri memasuki kampus ITB, berbagai kegiatan keislaman mulai marak. Salah satu kegiatan rutin mereka adalah pelaksanaan shalat Jumat. Aula Barat ITB yang kerap dijadikan tempat pesta dansa-dansi para mahasiswa, setiap hari Jumat disulap menjadi “masjid”. Situasi tersebut jelas membuat “kegaduhan” di kampus ITB. Dalam suatu ceramah di Masjid Al A’raf, Jakarta pada 1991, almarhum Imaduddin Abdurrachim bercerita bagaimana mereka pernah menjadi obyek perhatian para penghuni ITB saat itu. “Saat kami berduyun-duyun menuju Aula Barat untuk shalat Jumat, ada saja mahasiswa yang meledek kami sebagai “rombongan onta Arab”,” kenang tokoh HMI Bandung pada 1960-an itu. Kegiatan keislaman semakin ramai, ketika pada 5 Mei 1974 Masjid Salman secara resmi difungsikan sebagai tempat beribadah mahasiswa beragama Islam. Dua tahun kemudian, Imadduddin mengadakan sebuah kursus kaderisasi bagi para mahasiswa Islam yang diberi nama LMD (Latihan Mujahiddin Dakwah). Menurut Solahudin, LMD oleh Imad dijadikan media untuk membentuk kader-kader yang tangguh dalam mentransformasikan ideologi Islam. Pada angkatan pertama sekira 50 orang mahasiswa digembleng di Ruang Serba Guna ITB. Setelah melalui test IQ dan wawancara, para mahasiswa yang lolos seleksi di masukan ke base camp di Mesjid Salman. “Selama tujuh hari tujuh malam mereka dilarang berinteraksi dengan dunia luar,” ujar eks aktivis Salman pada era 1980-an tersebut. Selanjutnya para peserta itu diajak untuk mengaji sekaligus mengkaji Al Qur’an terutama Surat Al Fath (ayat 27-29) yang mengisyaratkan titik balik kemenangan dakwah Islam melalui Perjanjian Hudaibiyah antara Rasulullah dengan kaum kafir Quraisy pada tahun ke- 6 Hijriyah. Selain itu, mereka pun diwajibkan menghapal dan mendalami ilmu hadist. Kursus LMD yang merupakan produk awal Masjid Salman ternyata berjalan sangat sukses. Hal ini ditandai dengan semakin banyaknya para pemuda dan mahasiswa yang berminat mengikuti kegiatan tersebut. Semangat “Islam ideologis” yang kemudian disebarkan oleh para alumni LMD dengan cepat menjalar bahkan hingga jauh sampai ke luar Jawa. Salman selanjutnya menjadi prototype masjid kampus ideal di seluruh Indonesia. Laboratorium Demokrasi Selama ini banyak kalangan yang menyangka bahwa Masjid Salman hanya dikuasai oleh satu kelompok semata yakni kelompok yang berafiliasi kepada ide-ide Ikhwanul Muslimin. Anggapan itu tidak seluruhnya keliru jika mengingat LMD yang memulai kiprah gerakannya di Masjid Salman merupakan suatu lembaga yang banyak dipengaruhi ide-ide kelompok sosial keagamaan asal Mesir tersebut. “Imaduddin, inisiator LMD merupakan aktivis IIFSO (Federasi Organisasi Mahasiswa Islam Internasional) yang banyak dipengaruhi pemikiran tokoh-tokoh Ikhwan,” ujar Samsurizal Pangabean dalam suatu tulisannya di Jurnal Islamika Juli-September 1993 berjudul ‘Dunia Islam dan Perubahan Politik Global’. Namun menurut Nurhayati, sejatinya corak pemahaman Imad tidak seutuhnya Ikhwan minded . Dilihat dari metode gerakan, dia bahkan lebih banyak terpengaruh oleh “Islam gaya Masyumi” yang banyak berkembang di Indonesia. “Dia ingin memperjuangkan Islam yang kaffah lewat suatu perjuangan konstituante,” ungkap Nurhayati. Di Salman sendiri, selain ide-ide Ikhwanul Muslimin, sejak 1981 banyak pula berdatangan ide-ide keislaman lain seperti pemikiran Hizbut Thahrir, Darul Islam, Salafi, Syiah dan lain-lain. Semuanya mencoba untuk menjadi paham paling dominan namun tak pernah berhasil. Itu terjadi karena selain kentalnya budaya kritis di kalangan aktivis Salman, juga karena terbukanya kesempatan untuk saling berkompetisi secara sehat. “Salman itu ibarat laboratorium demokrasi, setiap kelompok dipersilakan membawa ide apapun namun harus melalui “hadangan kritis” para aktivisnya. Jadi kalau tidak bisa menjawab ujian-ujian itu, dipastikan ide-ide yang datang tak bisa berkembang dengan sendirinya” ujar Solahudin. Pendapat Solahudin dikuatkan oleh Ivan Garda. Menurut eks aktivis Salman era 1990-an itu, budaya diksurus di Salman sangatlah kuat. Selain itu, pola kesetaraan dalam pergaulan antar aktivis berlangsung secara merata. Tak ada istilah orang paling benar dan paling pintar. Semuanya dibangun dalam semangat sama-sama sedang belajar. “Tapi jika menyangkut hal-hal politis, kami tahu diri dan dengan kesadaran penuh sementara“menjauhkan” diri dari Salman. Bagi kami Salman tetap harus menjadi tempat belajar bukan tempat berpolitik,” ungkap eks aktivis SKau (Salman Kau) tersebut. Sebagai contoh, ketika sejumlah aktivis Masjid Salman ingin mengekspresikan sikap politiknya terhadap kebijakan pemerintah Orde Baru terkait jilbab dan pengadaan SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah), mereka lantas mendirikan PMIB (Persatuan Mahasiswa Islam Bandung). “Kami berdemonstrasi dan turun ke jalan menentang kebijakan pemerintah tanpa membawa-bawa nama Salman,” kenang Ivan yang merupakan eks Ketua PMIB. Hingga kini, tak pernah ada kelompok yang benar-benar dominan di lingkungan Masjid Salman. Semuanya tetap terpelihara dalam gaya berislam ala Salman: selalu kritis terhadap ide-ide keagamaan yang mapan.
- Meringkus Soepardjo, Sang Jenderal Buronan
Menjelang hari Lebaran, Panglima Kodam V Jaya Brigjen Amirmachmud mendapat tugas khusus. Perintah datang langsung dari atasannya: Panglima Kostrad merangkap pimpinan sementara TNI AD Letjen Soeharto. Sudah barang tentu Amir menyanggupi. “Ketika itu beliau meminta agar saya menangkap Soepardjo pada hari Idul Fitri untuk dijadikan hadiah Lebaran bagi umat Islam Indonesia,” kenang Amir dalam otobiografinya H. Amirmachmud: Prajurit Pejuang. Sang buronan adalah perwira berpangkat brigadir jenderal, pangkat tertinggi seorang tentara yang terlibat langsung dalam Gerakan 30 September (G30S) 1965. Bersama Letnan Kolonel Oentoeng Sjamsoeri dari Resimen Tjakrabirawa, dia dituding ikut merancang penculikan sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat. Tercatat sejak Oktober 1965, Soepardjo telah masuk daftar buruan Kodim 0501 Jakarta Pusat. Untuk meringkus Soepardjo secepatnya, Amir menggelar operasi intelijen. Tim khusus dibentuk dalam operasi bersandi “kalong”. Dinamakan demikian karena tim operasi bergerak malam hari, seperti kalong. Operasi Kalong dipimpin oleh Kapten CPM Suroso. Personelnya berasal dari Kompi Raiders Kodam V Jaya yang dipersiapkan sebagai pasukan tempur. Selain itu, kelompok pengintai di bawah pimpinan Pembantu Letnan M. Afandi bertugas mencari informasi persembunyian Soepardjo. Pada 10 Januari 1967, sebagaimana dilansir majalah Angkasa vol.17, 1968, lokasi persembunyian Soepardjo diketahui berada di Komplek KKO Cilincing, Jakarta Utara. Salah seorang anggota KKO AL, Mayor Adnan Suwardi menampung Soepardjo dikediamannya. Tim Operasi Kalong bergegas menyerbu ke Cilincing. Namun Soepardjo berhasil melarikan diri menuju Halim Perdana Kusumah. Soepardjo Terciduk Pagi hari menjelang subuh 12 Januari 1967, Tim Operasi Kalong bergerak ke arah Halim. Pasukan memasuki komplek perumahan AURI pukul 05.30. Dalam penggeledahan, Soepardjo berhasil ditangkap di loteng rumah Kopral Udara Sutardjo. Soepardjo terpaksa turun dari loteng setelah seorang pasukan penangkap mengancam akan menembaknya. Selain Soepardjo turut terciduk Anwar Sanusi, seorang penulis buku pelajaran sejarah dan anggota PKI. Kabar teringkusnya Soepardjo sampai kepada Amir Machmud pada siang hari. Berita itu dilaporkan Letnan Kolonel Soedjiman ketika Amir selesai sholat Ied di lapangan Banteng. Betapa gembiranya Amir sampai-sampai dia memeluk dan mencium Soedjiman berkali-kali. Keduanya kemudian sowan ke rumah Soeharto di Jalan Agus Salim melaporkan “hadiah Lebaran” tersebut. Akhir pelarian Soepardjo yang berujung penangkapan diberitakan sebagai berkah. “Hadiah Lebaran Untuk Rakyat: Soepardjo, Anwar Sanusi berhasil dibekuk. ‘Kabut Halim’ akan semakin tersingkap,” tulis Kompas 16 Januari 1967. Dalam tajuk rencana pada hari yang sama, Kompas menanggapi penangkapan Soepardjo yang tepat jatuh pada hari Lebaran mengandung makna simbolik. Pada hari Lebaran itu umat yang berpuasa merayakan kemenangannya atas hawa nafsu yang dipatahkan selama sebulan berpuasa. “Tertangkapnya eks Brigjend Soepardjo diharapkan mematahkan jaringan operasi fisik G30S/PKI yang selama ini masih menyelinap dimana-mana. Kita percaya tindakan pembersihan akan segera dilakukan di semua jaringan,” tulis Kompas . Perwira Jujur Apakah Soepardjo penjahat sebagaimana yang disangkakan? Dua bulan setelah tertangkap, Soepardjo dihadapkan ke Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub). Pengadilan mendakwanya bersalah atas tindakan makar dan menjatuhi vonis hukuman mati. Ketika sama-sama dipenjara dalam Rumah Tahanan Militer (RTM) Budi Oetomo, Oei Tjoe Tat, menteri Kabinet Dwikora mengungkap sisi lain sosok Soepardjo. Oei mengenal Soepardjo sebagai Panglima Komando Tempur dalam rangka konfrontasi Malaysia di Kalimantan Barat. Dari pengakuan anak buahnya, Soepardjo adalah pribadi yang disukai, seorang militer yang setia kepada Bung Karno. “Jenderal Pardjo sebagai tahanan di RTM mendapat simpati, baik dari para petugas maupun para tahanan karena sikapnya,” ujar Oei dalam Memoar Oei Tjoe Tat : Pembantu Presiden Soekarno . Menurut Oei Tjoe Tat, Soepardjo figur perwira yang jujur dan loyal. Kepada Oei, Soepardjo pernah menyampaikan tentang adanya golongan yang serius tentang konfrontasi dan ada golongan yang cuma pura-pura saja demi duit. Oei agaknya meragukan peran Soepardjo sebagai otak dibalik G30S atau setidaknya dia dijerumuskan. “Sekiranya benar, ia tidak berniat berontak terhadap pemerintahan Sukarno,” kata Oei. Senada dengan Oei, John Roosa sejarawan University of British Columbia mengamati keganjilan keterlibatan Soepardjo dalam G30S. Roosa menyandarkan pendapatnya pada dokumen Soepardjo yang dicatat saat pelarian berjudul “Beberapa Pendapat jang Mempengaruhi Gagalnja ‘G-30-S’ Dipandang dari Sudut Militer”. Dokumen Soepardjo mengungkapkan bahwa dia bukan pimpinan gerakan dan juga tidak memimpin pasukan apapun dalam G30S. Sebagai seorang perwira militer, Soepardjo menulis kebingungannya oleh semua penyimpangan gerakan dari praktik baku kemiliteran. “Seandainya ia yang bertanggung jawab, orang dapat berharap bahwa aksi G-30-S akan menjadi operasi yang lebih profesional,” tulis Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto . Menurut Roosa, Soepardjo bukanlah salah seorang pimpinan inti G30S. Perannya sebatas sebagai perwira yang mempunyai koneksi untuk berhubungan langsung dengan Presiden Sukarno. Soepardjo sama sekali tidak menghadiri rapat-rapat perencanaan pada pekan-pekan sebelumnya. Dia tiba di Jakarta hanya tiga hari sebelum aksi dimulai. “Namun terlepas dari hal-hal yang tentu sangat mengecewakannya, ia telah menuliskan tentang G-30-S tanpa rasa dengki atau dendam,” tulis Roosa. Harian Sinar Harapan 3 Oktober 1968 mewartakan keputusan Presiden Soeharto yang menolak permohonan grasi yang diajukan Soepardjo bersama empat orang gembong G30S lainnya. Perwira bintang satu bernama lengkap Mustafa Sjarief Soepardjo itu meregang nyawa dihadapan regu tembak pada 16 Mei 1970.
- Dulu Menjegal, Kini Gagal
Setelah kalah akibat gol bunuh diri melawan Iran (19/6/2018), Maroko kembali kalah di pertandingan kedua Grup B Piala Dunia 2018, Rabu (20/6/2018), melawan Portugal. Gol tunggal Christiano Ronaldo membuat Maroko kalah sekaligus jadi tim pertama yang angkat koper dari turnamen. Sebagaimana pertandingan pertama, Maroko apes. Bermain apik, tim Singa dari Pegunungan Atlas itu mendominasi permainan. Penguasaan bola Maroko 54 persen, peluang 16 buah, dan tendangan mengarah ke sasaran empat buah. Tapi, Maroko gagal menciptakan gol. Pertandingan ini kebalikan dari pertandingan Maroko kontra Portugal 32 tahun silam di Piala Dunia Mexico, Maroko menang 3-1. Keberhasilan itu buah dari pembenahan yang dilakukan pelatih asal Brasil Jose Faria, yang dikontrak Federation Royale Morocanne de Football (FRMF), induk organisasi sepakbola Maroko, pada 1983. Faria mengutamakan pembangunan mental para pemain. Pembangunannya itu membuat Maroko tampil percaya diri dan bermain lepas di Mexico meski diremehkan banyak pihak. Kepercayaan diri, disiplin, dan sifat pantang menyerah membuat Maroko survive di Grup F yang berisi Inggris, Polandia, dan Portugal. Di pertandingan perdana (2 Juni), Maroko berhasil menahan imbang Polandia yang diperkuat Zbignew Boniek, yang bersama Michel Platini mengantar Juventus merebut Piala Champions pertamanya, 0-0. Di pertandingan kedua, Maroko kembali berhasil menahan imbang 0-0 tim favorit juara Inggris. “Para pemain Maroko seharusnya mengambilalih permainan dan memenangkannya. Tapi mereka terlalu bersemangat masuk ke dalam cangkang, puas dengan hasil imbang; dan Inggris selamat,” tulis Brian Gianville dalam The Story of the World Cup: 2018 . Maroko mesti menang di pertandingan ketiga untuk bisa lolos ke babak berikutnya. Hal serupa juga berlaku pada Portugal, semifinalis Piala Eropa 1984. Keduanya sama-sama baru mengoleksi poin dua. Maka, ketika Maroko dan Portugal bertemu di Stadion Tres de Marzo, 11 Juni 1986, keduanya sama-sama ngotot. Saling serang terjadi sejak babak pertama. Namun, tekanan membuat permainan Portugal tak berkembang maksimal. Sebaliknya, sebagai underdog Maroko tampil tanpa beban sehingga berhasil mendominasi pertandingan. Di menit ke-19, striker Abderrazak Khairi langsung memanfaatkan salah umpan bek Portugal Jaime Pacheco dengan melesakkan tendangan dari luar kotak penalti. Kiper Portugal Vitor Damas gagal menahannya sehingga Maroko unggul 1-0. Tujuh menit kemudian, Khairi kembali merobek gawang Damas setelah berhasil menyelesaikan umpan silang bek kanan Labid Khalifa dengan tendangan voli first time . Tertinggal 0-2, Portugal meningkatkan serangan di babak kedua. Kerjasama apik António Sousa dan Fernando Gomes tak lama setelah babak kedua dimulai hampir membuahkan hasil. Sayang tendangan keras Sousa dari luar kotak penalti ditepis kiper Maroko Badou Zaki. Unggul 2-0 tak membuat Maroko mengendurkan serangan di babak kedua. Sebuah kerjasama apik empat pemain yang dimotori Mohammed Timoumi pada menit ke-62 behasil memporak-porandakan pertahanan Portugal. Diakhiri oleh umpan silang Timoumi, striker Abdelkarim Merry menyelesaikannya dengan baik. Maroko unggul 3-0. Portugal baru bisa memperkecil kedudukan lewat Diamantino di menit ke-80. Kemenangan itu tak hanya mematahkan pandangan miring publik terhadap Maroko. “Maroko menciptakan sejarah bukan semata menjadi negara Afrika pertama yang mencapai babak gugur Piala Dunia tapi juga sebagai juara grup,” tulis Somnath Sengupta dalam “How Morocco’s 1986 World Cup Campaign Changed African Football Forover”, dimuat thesefootballtimes.co . Meski kalah dari Jerman Barat di babak berikutnya, para pemain Maroko mendapat sambutan meriah begitu tiba di tanah air. Tak hanya rakyat yang merayakannya di jalan-jalan, Raja Hasan II dan keluarganya bersuka cita di istananya. Pencapaian itu masih jadi prestasi terbaik Maroko di Piala Dunia hingga kini. “Belum pernah terjadi dalam sejarah sepakbola dunia sebuah negara Dunia Ketiga atau tim Afrika menjadi juara grup, padahal ini merupakan grup kuat. Banyak orang berharap kami kalah tapi banyak orang justru kalah di taruhan. Kami bisa pulang sekarang. Seolah-olah kami sudah menang Piala Dunia,” ujar Faria sang pelatih yang amat gembira usai pertandingan.
- Merayakan Lebaran di Masa Lampau
LEBARAN telah tiba. Orang-orang mengisi lebaran dengan beragam cara perilaku. Mereka beranjangsana ke kerabat dan tetangga, berekreasi ke tempat wisata, membagi amplop berisi uang, atau sekadar berkirim ucapan selamat lebaran dan permohonan maaf melalui gawai elektronik. Sebagian merupakan tradisi turun-temurun dari lebaran masa lampau. Berikut ini cara orang merayakan lebaran sekira setengah hingga satu abad lampau di beragam kota. Banyuwangi, Jawa Timur Pagi hari, cara Orang Osing, penduduk tempatan di Banyuwangi, mengisi lebaran tiada beda dengan kebanyakan orang di berbagai tempat. Pergi sembahyang ke masjid atau tanah lapang. “Tetapi perayaan yang lebih menarik dan lebih dibesar-besar ialah sesudahnya. Dan biasanya dilakukan sore hari,” catat Terang Boelan , Nomor 7-8, 1954. Wong Osing meramaikan jalan antara pukul 15.00 sampai 18.00. Mereka menggelar arak-arakan dengan bermacam-ragam kendaraan. Antara lain dokar, sepeda, dan mobil open kap. “Semua dihias dengan seindah-indahnya,” lanjut Terang Boelan . Kebanyakan peserta arak-arakan adalah perempuan. Sisanya anak-anak kecil. Para pemuda berjejeran di tepi jalan menyaksikan arak-arakan. “Akibat yang biasanya menyusul dari arak-arakan itu ialah sesudah selesai perayaan Idul Fitri banyak terjadi di sana-sini pertunangan,” tulis Terang Boelan . Terang Boelan tak bisa memastikan sejak kapan tradisi ini bermula. Tapi mereka menyebut kebiasaan ini berakar dari karakter Wong Osing yang patuh dan taat agama. “Karena yang demikian itu, maka di dalam pergaulan hidup sehari-hari, artinya penduduk dari masyarakat biasa, ada batas-batas yang sangat keras. Terutama antara si gadis dan jejaka.” Para orangtua mencari waktu tepat bagi para gadis dan lelaki bujang untuk saling bertemu dan bergaul. Hari itu ialah lebaran pada bulan Syawal dalam kalender Islam. Jika saling kepincut satu sama lain di arak-arakan, para gadis dan lelaki bujang boleh melanjutkan ke hubungan lebih lanjut. Tak jarang mereka langsung menikah beberapa hari selepas lebaran. “Bulan Syawal adalah bulan yang baik untuk melangsungkan perkawinan atau pertunangan,” ungkap Terang Boelan . Blitar, Jawa Timur Soebagijo Ilham Notodidjojo, jurnalis dan penulis buku-buku biografi tokoh nasional kelahiran Blitar tahun 1924, pernah mencatat perayaan lebaran di Blitar pada 1900 hingga 1950-an dalam “Lebaran Setengah Abad yang Lalu”, termuat di Terang Boelan edisi lebaran 1955. Soebagijo berkisah tradisi baru orang Blitar berkirim ucapan selamat lebaran dan permohonan maaf melalui kartu atau surat. “Adapun yang menjadi sebab-musababnya banyak sekali. Entah karena soal pekerjaan yang tidak dapat ditinggalkannya. Entah disebabkan karena lain soal lagi,” tulis Soebagijo. Kartu dan surat lebaran menjadi pengganti kehadiran keluarga. Tradisi lama masyarakat Blitar ialah ngabekti dan nyuwun pangestu . Ngabekti berarti bersujud dan mencium lutut orangtua, sedangkan nyuwun pangestu berupa permohonan minta doa restu dari orangtua. “Pada masa dahulu sekira setengah abad yang lalu, orang yang ngabekti kepada orangtua itu tidak anak cucu saja, tetapi juga sanak saudara yang sudah agak jauh,” ungkap Soebagijo. Kedatangan kerabat jauh bertujuan untuk mempererat lagi hubungan di antara keluarga. Para orangtua biasanya akan menjelaskan silsilah dan hubungan kekerabatan anak cucuk dengan kerabat jauh tersebut sehingga mereka saling mengenal dan bisa memperluas persaudaraan. “Di sinilah antara lain letak keindahan orang merayakan hari Lebaran,” tulis Soebagijo. Selain ngabekti dan nyuwun pangestu , masyarakat Blitar pernah punya tradisi rampogan ketika lebaran. Rampogan berarti beramai-ramai membunuh harimau dengan tombak. Tradisi rampogan berlangsung sejak abad ke-19 dan mengambil tempat di alun-alun kota selepas sembahyang Idulfitri. Tapi pada 1905, pemerintah kolonial melarangnya. “Menurut kata setengah orang, pemeritah Hindia Belanda takut kalau orang Jawa menjadi pemberani semua,” tutup Soebagijo. Surabaya, Jawa Timur Bunyi letusan dinamit terdengar tiga kali di Surabaya lepas magrib, sehari menjelang lebaran. Tanda bahwa puasa telah berakhir. Setelah itu, suara takbir keluar dari masjid dan langgar-langgar. Sejumlah orangtua dan perempuan pergi ke perempatan dan tempat sungil menyebar kembang sesajen. Pada malam lebaran, ibu-ibu di pelosok kampung mengundang ke rumah untuk mereka yang baru lepas dari takbiran. Sekadar menikmati hidangan nasi kuning, gulai ayam, apem, serabi, wedang, dan roti kukus yang lezat. “Selamatan ini dimaksud untuk malam penutup,” tulis Djumala dalam “Masjarakat Surabaja di Hari Lebaran”, termuat di Terang Boelan , Nomor 7-8, 1954. Pada pagi hari lebaran, masyarakat Surabaya beribadah seperti umat Islam lainnya. Selepas tegak sembahyang lebaran, mereka ke luar rumah untuk bersilaturahmi. Anak-anak kecil berharap memperoleh isi untuk kantong celananya. Orang dewasa memberi anak kecil itu beberapa picis uang. Cukup untuk membuat riang hati anak-anak kecil. Kebun binatang Surabaya penuh oleh pengunjung. Sebab “untuk penduduk Surabaya, satu-satunya tempat tamasya cuma kebun binatang,” tulis Djumala. Mereka bertumpukan seperti ikan pindang, bercampuran dengan para tukang copet dan pengemis yang coba mengais sedikit peruntungan di hari lebaran. Terdengar pula suara bumbung pelontar mercon. Bumbung terbuat dari bambu tua sepanjang satu meteran. Ada lubang di punggung pangkalnya untuk diisi karbit. Orang lalu menyulut karbit itu dengan api, lalu melontarlah mercon itu dari mulut bumbung. “Bunyinya kelu, macam bunyi meriam zaman purba,” terang Djumala. Orang Surabaya menyalakan bumbung untuk dua alasan: merayakan lebaran dan berlomba. Bumbung siapa paling kencang, dialah pemenang. Yang bunyinya mendem, harus siap menerima ejekan pada hari kemenangan. Jakarta Suara bedug dan takbir tanpa henti selepas Isya pada malam menjelang lebaran di Jakarta. Penduduk tempatan bilang malam itu “Malam Tekebiran”. Anak kecil berkerumun rebutan memukul bedug. Orang dewasa di rumah memperbaiki kursi, menyiapkan pakaian baru, dan mengkapur dinding rumah. Pasar ramai bukan main. Orang berjubelan mencari kulit ketupat dan kebutuhan bahan panganan. Sebab selama lebaran dan beberapa hari setelahnya pasar akan tutup. “Lebaran sonder (tanpa, red. ) ketupat tak mungkin terjadi di Jakarta,” tulis Nasional , 6 Juli 1951. Pada pagi hari lebaran, penduduk beragama Islam berduyun-duyun memenuhi Lapangan Banteng. Bersama Presiden Sukarno, mereka menegakkan sembahyang Ied. Kampung dan jalanan seketika lengang. Baru ramai lagi selepas sembahyang Ied. Penduduk ke luar rumah dengan pakaian baru, memenuhi tram listrik dengan tujuan rumah atau makam kerabat. Tapi penduduk Pasar Ikan berbeda cara mengunjungi rumah kerabat dari orang kebanyakan. Mereka menggunakan perahu sembari membawa panganan khas berupa dodol dan kue satu (kacang hijau) untuk kerabat. Mereka akan berkata kepada kerabatnya, “Sale-sale kate minta diampunin,” ungkap Nasional . Pemuda dan pemudi yang ingin plesiran dan cari jodoh di hari kemenangan pergi ke Gedung Arca, sekarang dikenal sebagai Museum Nasional. Dulu, mereka sebut gedung itu sebagai ‘Gedung Jodoh’, tempat cinta bertemu dan bersemi. Penduduk lain plesiran ke pantai Cilincing. Udara masih segar dan “Mereka memandangi laut biru,” tulis Nasional . Sekarang orang Jakarta tidak mungkin lagi wisata ke Pantai Cilincing. Udara sudah tercemar asap pabrik dan kendaraan. Laut pun telah berubah jadi hitam. Bisa-bisa kalau orang santai seharian penuh di sana pada hari lebaran sekarang, esoknya dia penyakitan.





















