top of page

Sejarah Indonesia

Advertisement

Berislam Ala Salman

Bagaimana sebuah masjid kampus mempraktekan nilai-nilai demokrasi

Oleh :
22 Jun 2018

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Sebuah kegiatan di Masjid Salman. Sumber : FB Masjid Salman

Beberapa waktu lalu, BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) merilis tujuh perguruan tinggi negeri yang sudah tersusupi ide-ide keagamaan radikal. Salah satunya adalah ITB (Institut Teknologi Bandung). Di hadapan media pada awal Juni lalu, masalah ini bahkan dibenarkan oleh Bermawi Priyatna, Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan ITB.


Peneliti gerakan terorisme Solahudin menyatakan bingung dengan rilis BNPT tersebut. Jika soalnya adalah di ITB terdapat organisasi mahasiswa yang berafiliasi ke HTI (Hizbut Thahrir Indonesia), hal tersebut bukanlah sesuatu yang baru.


“Saya merasa tidak jelas dengan definisi “radikal” versi BNPT. Apakah dengan cap “radikal”, anak-anak tersebut sudah pasti menyebarkan ide-ide yang mengarah kepada terorisme? Kalau hanya sekedar ide, sejak zaman dulu juga di ITB hal-hal seperti itu sudah ada,” ujar Solahudin kepada Historia.


Solahudin benar. Sejak 1970-an, kampus ITB memang sudah dikenal sebagai sentral kegiatan mahasiswa Islam paling dinamis di Indonesia. Berbagai pemikiran, ideologi dan aliran Islam dipastikan pernah singgah di ITB. Menurut peneliti Litbang Departemen Agama Nurhayati Djamas, gejala itu mulai terjadi pada 1960-an ketika sekelompok mahasiswa berlatar belakang “elite santri” mulai memasuki kampus terkemuka yang didominasi orang-orang non Muslim dan kaum priyayi tersebut.


“Masuknya mereka ke ITB, yang tadinya secara penuh didominasi corak sekuler, memberikan suasana baru dengan mulai diadakannya berbagai kegiatan religius,”ujar Nurhayati dalam Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia, sebuah buku yang diselaraskan oleh Abdul Aziz dan Imam Tholhah Soetarman.


Faktor Masjid Salman.


Sejak para mahasiswa yang berlatar belakang santri memasuki kampus ITB, berbagai kegiatan keislaman mulai marak. Salah satu kegiatan rutin mereka adalah pelaksanaan shalat Jumat. Aula Barat ITB yang kerap dijadikan tempat pesta dansa-dansi para mahasiswa, setiap hari Jumat disulap menjadi “masjid”.


Situasi tersebut jelas membuat “kegaduhan” di kampus ITB. Dalam suatu ceramah di Masjid Al A’raf, Jakarta pada 1991, almarhum Imaduddin Abdurrachim bercerita bagaimana mereka pernah menjadi obyek perhatian para penghuni ITB saat itu.


“Saat kami berduyun-duyun menuju Aula Barat untuk shalat Jumat, ada saja mahasiswa yang meledek kami sebagai “rombongan onta Arab”,” kenang tokoh HMI Bandung pada 1960-an itu.


Kegiatan keislaman semakin ramai, ketika pada 5 Mei 1974 Masjid Salman secara resmi difungsikan sebagai tempat beribadah mahasiswa beragama Islam. Dua tahun kemudian, Imadduddin mengadakan sebuah kursus kaderisasi bagi para mahasiswa Islam yang diberi nama LMD (Latihan Mujahiddin Dakwah).


Menurut Solahudin, LMD oleh Imad dijadikan media untuk membentuk kader-kader yang tangguh dalam mentransformasikan  ideologi Islam. Pada angkatan pertama sekira 50 orang mahasiswa digembleng di Ruang Serba Guna ITB. Setelah melalui test IQ dan wawancara, para mahasiswa yang  lolos seleksi  di masukan ke base camp di Mesjid Salman.


“Selama  tujuh hari tujuh malam mereka dilarang berinteraksi dengan dunia luar,” ujar eks aktivis Salman pada era 1980-an tersebut.


Selanjutnya para peserta itu diajak untuk mengaji sekaligus mengkaji Al Qur’an terutama Surat Al Fath (ayat 27-29) yang  mengisyaratkan titik balik  kemenangan dakwah Islam melalui Perjanjian Hudaibiyah antara Rasulullah dengan  kaum kafir Quraisy pada tahun ke- 6 Hijriyah. Selain itu, mereka pun diwajibkan menghapal dan mendalami ilmu hadist.


Kursus LMD yang merupakan produk awal Masjid Salman ternyata  berjalan sangat sukses. Hal ini ditandai dengan semakin banyaknya para pemuda dan mahasiswa yang berminat mengikuti kegiatan tersebut. Semangat “Islam ideologis”  yang  kemudian disebarkan  oleh  para alumni LMD  dengan  cepat  menjalar bahkan hingga jauh sampai ke luar Jawa. Salman selanjutnya menjadi prototype masjid kampus ideal di seluruh Indonesia.


Laboratorium Demokrasi


Selama ini banyak kalangan yang menyangka bahwa Masjid Salman hanya dikuasai oleh satu kelompok semata yakni kelompok yang berafiliasi kepada ide-ide Ikhwanul Muslimin. Anggapan itu tidak seluruhnya keliru jika mengingat LMD yang memulai kiprah gerakannya di Masjid Salman merupakan suatu lembaga yang banyak dipengaruhi ide-ide kelompok sosial keagamaan asal Mesir tersebut.


“Imaduddin, inisiator LMD merupakan aktivis IIFSO (Federasi Organisasi Mahasiswa Islam Internasional) yang banyak dipengaruhi pemikiran tokoh-tokoh Ikhwan,” ujar Samsurizal Pangabean dalam suatu tulisannya di Jurnal Islamika Juli-September 1993 berjudul ‘Dunia Islam dan Perubahan Politik Global’.


Namun menurut Nurhayati, sejatinya corak pemahaman Imad tidak seutuhnya Ikhwan minded. Dilihat dari metode gerakan, dia bahkan lebih banyak terpengaruh oleh “Islam gaya Masyumi” yang banyak berkembang di Indonesia.


“Dia ingin memperjuangkan Islam yang kaffah lewat suatu perjuangan konstituante,” ungkap Nurhayati.


Di Salman sendiri, selain ide-ide Ikhwanul Muslimin, sejak 1981 banyak pula berdatangan ide-ide keislaman lain seperti pemikiran Hizbut Thahrir, Darul Islam, Salafi, Syiah dan lain-lain. Semuanya mencoba untuk menjadi paham paling dominan namun tak pernah berhasil. Itu terjadi karena selain kentalnya budaya kritis di kalangan aktivis Salman, juga karena terbukanya kesempatan untuk saling berkompetisi secara sehat.


“Salman itu ibarat laboratorium demokrasi, setiap kelompok dipersilakan membawa ide apapun namun  harus melalui “hadangan kritis” para aktivisnya. Jadi kalau tidak bisa menjawab ujian-ujian itu, dipastikan ide-ide yang datang tak bisa berkembang dengan sendirinya” ujar Solahudin.


Pendapat Solahudin dikuatkan oleh Ivan Garda. Menurut eks aktivis Salman era 1990-an itu, budaya diksurus di Salman sangatlah kuat. Selain itu, pola kesetaraan dalam pergaulan antar aktivis berlangsung secara merata. Tak ada istilah orang paling benar dan paling pintar. Semuanya dibangun dalam semangat sama-sama sedang belajar.


“Tapi jika menyangkut hal-hal politis, kami tahu diri dan dengan kesadaran penuh sementara“menjauhkan” diri dari Salman. Bagi kami Salman tetap harus menjadi tempat belajar bukan tempat berpolitik,” ungkap eks aktivis SKau (Salman Kau) tersebut.


Sebagai contoh, ketika sejumlah aktivis Masjid Salman ingin mengekspresikan sikap politiknya terhadap kebijakan pemerintah Orde Baru terkait jilbab dan pengadaan SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah), mereka lantas mendirikan PMIB (Persatuan Mahasiswa Islam Bandung).


“Kami berdemonstrasi dan turun ke jalan menentang kebijakan pemerintah tanpa membawa-bawa nama Salman,” kenang Ivan yang merupakan eks Ketua PMIB.


Hingga kini, tak pernah ada kelompok yang benar-benar dominan di lingkungan Masjid Salman. Semuanya tetap terpelihara dalam gaya berislam ala Salman: selalu kritis terhadap ide-ide keagamaan yang mapan.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian

Advertisement

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy masuk militer karena pamannya yang mantan militer Belanda. Karier Tedy di TNI terus menanjak.
Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Tan Malaka pertama kali menggagas konsep negara Indonesia dalam risalah Naar de Republik Indonesia. Sejarawan mengusulkan agar negara memformalkan gelar Bapak Republik Indonesia kepada Tan Malaka.
Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Hubungan diplomatik Indonesia dan Belgia secara resmi sudah terjalin sejak 75 tahun silam. Namun, siapa nyana, kemerdekaan Belgia dari Belanda dipicu oleh Perang Jawa.
Prajurit Keraton Ikut PKI

Prajurit Keraton Ikut PKI

Dua anggota legiun Mangkunegaran ikut serta gerakan anti-Belanda. Berujung pembuangan.
Dewi Sukarno Setelah G30S

Dewi Sukarno Setelah G30S

Dua pekan pasca-G30S, Dewi Sukarno sempat menjamu istri Jenderal Ahmad Yani. Istri Jepang Sukarno itu kagum pada keteguhan hati janda Pahlawan Revolusi itu.
bottom of page