Hasil pencarian
9596 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Ngeri-ngeri Sedap Terasi
Henry Ogg Forbes bersama petugas ekspedisi di Port Moresby, Papua Nugini, 1885. (State Library Victoria/Wikimedia Commons ) HENRY Ogg Forbes, naturalis Skotlandia, menjelajahi Nusantara antara 1878-1883. Suatu hari, pada Minggu pagi, dia terlambat bangun di pondokannya di daerah Genteng, Lebak (sekarang, Bojong Genteng, Cijaku, Lebak, Banten). Dia terusik oleh bau busuk yang menyengat. Mulanya dia mengira daging unggasnya mulai membusuk. Namun, setelah diperiksa, daging itu baik-baik saja. Dia lalu memeriksa sekeliling pondokan, mungkin ada bangkai hewan. Akhirnya, dia menemukan sumber bau busuk itu di dapur: sebuah benda padat terbungkus rapat daun pisang. “Ya ampun, apakah ini?” tanya Forbes kepada pelayannya, sambil menyentuh benda itu hati-hati. “Oh! Tuan, itu trassi!” “Trassi? Demi Tuhan, apa itu trassi?” “Enak untuk dimakan, Tuan, terutama direbus.” “Apakah saya sudah memakannya selama ini?” “Tentu saja, Tuan. Itu enak sekali.” “Kamu orang bodoh! Apakah kamu ingin meracuni saya dan membunuh dirimu sendiri?” “Biar saya terkena gondok, Tuan, tetapi makanan itu memang enak sekali!” Forbes memuat percakapan tersebut dalam A Naturalist’s Wandering in the Eastern Archipelago from 1878 to 1883 , masuk dalam antologi Jawa Tempo Doeloe suntingan James R. Rush. Pelancong Skotlandia lainnya, John Crawfurd, juga mencatat mengenai pengolahan dan penggunaan ikan yang menurutnya aneh tapi umum dilakukan. “Pengolahan ini, dalam bahasa Melayu blachang dan dalam bahasa Jawa disebut trasi , adalah setumpuk ikan kecil, terutama udang, yang telah difermentasi, dan kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari. Olahan berbau busuk ini, yang dapat membuat mual bagi orang asing, adalah saus umum di pulau Hindia, lebih umum daripada kecap dari Jepang. Penggunaannya meluas ke setiap negara tropis dari China sampai Bengal (India) ” tulisnya dalam History of the Indian Archipelago, Vol. I (1820). Namun Crawfurd menunjuk William Dampier, penjelajah dan penulis asal Inggris, sebagai orang yang menjelaskan pengolahan terasi dengan “akurasi yang sempurna”. Dalam A New Voyage Round the World (1688), Dampier menguraikan balachaun adalah komposisi yang berbau kuat namun hidangan yang disukai penduduk asli negeri ini. Cara membuatnya: campuran udang dan ikan kecil ditambah garam dan air ditumbuk dalam bejana, dan cairan yang keluar jangan dibuang karena masih bisa digunakan. Ikan hasil tumbukan itu disebut balachaun. Sedangkan cairannya disebut nuke-mum, berwarna coklat pucat dan berasa sangat gurih, serta digunakan sebagai saus yang baik untuk unggas, tidak hanya oleh penduduk asli, tetapi juga oleh banyak orang Eropa, yang menganggapnya sama dengan kecap. “Orang-orang miskin makan balachaun dengan nasi,” tulis Dampier. Di Cirebon, nuke-mum kemungkinan besar adalah blendrang, perasan air rebon (udang) atau cai rebon. Makanan dari bahan ini disebut petis blendrang. Dari kata cai rebon inilah menjadi Cirebon. Berdasarkan Babad Cirebon dan Carita Purwaka Caruban Nagari , Cirebon dulunya sebuah dukuh bernama Muara Amparan Jati yang berada di Dukuh Pasambangan, lebih kurang 5 km di sebelah utara Kota Cirebon. Selain membabat belukar untuk dijadikan kebun dan ladang, penduduknya juga mendirikan industri rumahan membuat terasi dan blendrang dengan alat lumpang dan alu batu besar. Lama-kelamaan kegiatan ini terdengar oleh penduduk sekitarnya dari Pasambangan, Rajagaluh dan Palimanan. “Mereka berduyun-duyun datang membeli terasi dan cai rebon/petis blendrang. Sejak itulah dukuh itu disebut orang Dukuh Cirebon, pada tahun 1447,” tulis P.S. Sulendraningrat dalam Sejarah Cirebon. Menurut Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 3, catatan mengenai terasi tersua dalam Prasasti Karang Bogem tahun 1387 yang dikeluarkan penguasa yang tak disebutkan namanya, tetapi kemungkinan penguasa Lasem. Prasasti ini berhubungan dengan pendirian sebuah “lungguh” di suatu tempat yang disebut Karang Bogem di tepi laut. Dikatakan bahwa tanah itu mencakup satu jung sawah dan setengah jung tanah yang sudah dibuka, tetapi juga tambak-tambak yang ikannya dipakai untuk membuat terasi. “Dalam teks prasasti tertulis acan , bentuk yang sekarang ditemukan kembali dalam kata blacan yang juga berarti terasi,” tulis Lombard . Lombard juga mengutip buku F. de Haanberjudul Priangan, De Preanger-regentschappen onder het Nederlansch Bestuur tot 1811 , jilid I. F. De Haan menyebut adanya sebuah tanah milik raja kecil ( kroondomein ) di Pamotan di pantai selatanyang tugasnya membuat terasi untuk keraton (Mataram, red ). Bagi Lombard, ini “mengingatkan tanah milik yang disebut pada abad ke-14 dalam Prasasti Karang Bogem.” Tak semua orang suka terasi, termasuk Forbes. Meski dibujuk, dia tetap membuang terasi ke hutan. Dia mengancam akan menghukum pembantunya jika menemukan lagi terasi di pondokannya. Setelah itu, dia mengetahui bahwa terasi menjadi bumbu penyedap di setiap masakan, lokal maupun Eropa, yang dimakannya sejak datang ke Hindia. “Sulit bagi saya menerima kenyataan bahwa secara tidak sengaja saya sudah menyantap benda tersebut setiap hari tanpa merasa jijik sedikit pun,” kata Forbes.*
- Death Match
FC Start sesaat sebelum kick off melawan Flakelf, klub elite Angkatan Udara Nazi Jerman di Stadion Zenith, Kiev, Ukraina, 9 Agustus 1942. TAK terima atas kekalahan Flakelf, klub elite Angkatan Udara Nazi-Jerman, pemerintah pendudukan mengatur pertandingan ulang. Laga dihelat tiga hari kemudian di Stadion Zenit. Para pemain FC Start mendapat intimidasi. Panitia menunjuk perwira SS sebagai wasit dan memperingatkan para pemain Start akan konsekuensi yang bakal diterima bila mereka menang. Sejak peluit dibunyikan, Flakelf bermain kesetanan, kasar. Start sempat melayangkan protes, tapi diacuhkan. Dengan mengandalkan tembakan jarak jauh, Start kembali menang. Pemerintah pendudukan melarang pemberitaan pertandingan itu dan melakukan penangkapan. Gestapo, polisi rahasia Nazi-Jerman, mendatangi toko roti Degtyarevskaya, tempat kebanyakan pemain Start bekerja dan juga tempat latihan. Mereka menangkap, menginterogasi, dan menyiksa banyak pemain Start. “Beberapa pemain sepakbola Ukraina ditahan karena punya kaitan dengan lembaga People’s Commissariat for Interior Affairs (NKVD) dan kemudian ditembak sebagai sandera,” tulis Volodymyr Ginda dalam “Beyond the Death Match: Sport under German Occupation between Repression and Integration, 1941-1944”, dimuat di Euphoria and Exhaustion: Modern Sport in Soviet Culture and Society suntingan Sandra Budy dkk. NKVD adalah badan intelijen dalam negeri Uni Soviet. Mereka yang menghadapi regu tembak adalah Ivan Kuzmenko (penyerang), Nikola Trusevich (kiper), dan Alexei Klimenko (bek) yang dianggap menghina Nazi dengan membuang bola padahal sudah berada di depan gawang. Pemain-pemain lain yang tak dieksekusi dikirim ke kamp Siratz. Pemerintahan Stalin menggunakan pertandingan itu sebagai alat propagandanya untuk memompa semangat rakyat melawan dan mengalahkan pendudukan Hitler. Media-media Soviet memberitakan aksi heroik para pesepakbola Ukraina dengan menyebut pertandingan itu “Death Match.” Harian Izvestiia , menurut Volodymyr Ginda, kali pertama mengangkatnya pada 6 Desember 1942. Seusai Perang Dunia II, “Death Match” terlupakan sepanjang rezim Stalin. Para pemain yang selamat pun bungkam lantaran takut dilabeli kolaborator Jerman. Baru pada 1962 “Death Match” muncul setelah badan propaganda Soviet mengangkat kisah itu ke layar lebar dengan judul Trity Taime –film ini menginspirasi Hollywood melahirkan Escape to Victory pada 1981. Selain film, sebuah monumen di Kiev didirikan untuk mengenang heroisme para pemain Start. Pada 2005, pemerintah Jerman memprotes bahwa tak pernah ada eksekusi terhadap para pemain. Tapi, otak mayoritas orang bekas Soviet telah lama diendapi pemberitaan propaganda Stalin dan penerusnya.*
- Kisah Tiga Kapal Pesiar: Olympic, Titanic, dan Britannic
Kapal pesiar Olympic (kiri) dan Titanic (kanan), 6 Maret 1912. (Wikipedia Commons). WHITE Star Line, perusahaan pelayaran Inggris yang beroperasi sejak 1845, berambisi menjadi yang terbesar di Eropa. Untuk itu, ia memesan kapal pesiar yang cepat lagi mewah kepada perusahaan pembuat kapal Harland and Wolff di Belfast, Irlandia Utara. Ia ingin mengalahkan rivalnya, Cunard Line, yang membangun kapal pesiar berkecepatan tinggi seperti RMS Mauretania dan RMS Lusitania . “Jika Cunard membangun yang besar, White Star akan membangun yang lebih besar; jika Cunard menawarkan kemewahan, White Star akan menawarkan kemewahan dalam skala yang belum pernah dilihat sebelumnya di Atlantik Utara,” tulis Daniel Allen Butler dalam The Age of Cunard: A Transatlantic History 1839-2003 . J. Bruce Ismay, presiden White Star, dan William J. Pirrie, direktur galangan kapal Harland and Wolff, memutuskan membangun tiga kapal: RMS Olympic pada 1908, RMS Titanic pada 1909, dan HMHS Britannic pada 1911. Ketiganya dirancang Thomas Andrews dan Alexander Carlisle. Mengangkut 2.435 penumpang dari Southampton ke New York, Olympic berlayar perdana pada 14 Juni 1911. Dengan bobot 45.324 ton dan panjang 268,8 meter, Olympic menjadi kapal pesiar terbesar dan termewah di dunia. Namun, ia bertabrakan dengan kapal perang Inggris, HMS Hawke, pada 20 September 1911. Saat itu kapal dinakhodai Kapten Edward Smith, yang nantinya akan menjadi kapten kapal Titanic. Tak ada korban jiwa meski kapal rusak cukup berat. Namun reparasi Olympic membuat peluncuran Titanic tertunda beberapa bulan. Titanic diperkenalkan pada 10 April 1912. Layaknya istana terapung, Titanic yang berbobot 46.328 ton dan panjang 269,1 meter adalah kapal pesiar termewah dan terbesar di dunia. Namun, pelayaran perdananya dari Southampton menuju New York dengan membawa 2.224 penumpang berakhir tragis. Ia menabrak gunung es pada 14 April 1912. Sekira 1.517 penumpang tewas, di antaranya nakhoda Edward Smith dan Thomas Andrews, perancang Titanic. J. Bruce Ismay selamat, namun reputasinya sebagai presiden White Star memudar. Media di Eropa dan Amerika mengabarkan bencana Titanic sebagai musibah kapal laut terburuk saat itu. “Kisah bencana Titanic membuat takjub orang-orang bahkan masih menarik perhatian dibandingkan bencana lainnya di abad ke-20. Banyak buku ditulis. Juga ada beberapa film yang dibuat tentang bencana ini,” tulis Kathleen Fahey dalam Titanic . Bencana Titanic membuka mata White Star. Olympic direparasi dan keamanannya diperkuat dengan penambahan sekoci penyelamat. Olympic kembali berlayar pada Maret 1913. Britannic diluncurkan pada 26 Februari 1914 dengan panjang 275 meter dan bobot 48.158 ton. Namun, Perang Dunia I keburu pecah sebelum Britannic menjalani pelayaran komersialnya. Britannic lalu diubah jadi kapal rumahsakit untuk memenuhi kebutuhan perang. Britannic tak berumur panjang. Pada 21 November 1916, saat berlayar di laut Aegea untuk menjemput prajurit yang terluka, ia menabrak ranjau laut dan tenggelam; 30 dari 1.100 awak kapalnya tewas. Salah satu yang selamat adalah Violet Jessop, seorang perawat. Antara nasib buruk dan keberuntungan, Jessop menjadi pelayan di Olympic, Titanic, dan Britannic. Dia selamat dari ketiga bencana tersebut. Selepas Perang Dunia I, praktis hanya Olympic yang mampu bertahan. Olympic kembali memulai perjalanan komersialnya pada 1920, sampai akhirnya Depresi Besar tahun 1930 memukul perusahaan White Star. White Star akhirnya merger dengan Cunard yang juga rugi besar setelah kapalnya, Lusitania, tenggelam saat Perang Dunia I. Merger disetujui pada 10 Mei 1934. Kapal pesiar Olympic, yang telah beroperasi selama 25 tahun, dipensiunkan. Dibandingkan Titanic dan Britannic, karier Olympic lebih mentereng: 257 kali berlayar melintasi Atlantik membawa 430.000 penumpang. Olympic lalu dijual pada 1935, sebelum akhirnya dibongkar dan dihancurkan pada 1936 dan 1937.*
- Pendidikan Agama di Kadewaguruan
Sebuah gambaran "mandala" Amoghapasa dari Kerajaan Singasari. DI masa lampau, tempat pendidikan berada jauh dari hiruk-pikuk keramaian. Letaknya di lereng gunung dan di tengah hutan, terpisah dari pusat pemerintahan. “Selain sebagai tempat pendidikan agama, ia juga digunakan sebagai tempat bersemedi,” kata Agus Aris Munanadar, arkeolog Universitas Indonesia, kepada Historia . Area itu disebut kadewaguruan , dipimpin seorang Dewaguru. Dalam melaksanakan tugasnya, Dewaguru dibantu murid-murid senior ( ubwan dan manguyu ). Kadewaguruan merupakan kompleks pertapa yang dirancang khusus. Tempat tinggal Dewaguru berada di tengah, sedangkan para murid mengelilinginya, disusun berjenjang berdasarkan tingkat pengetahuan mereka. Karena tataletak seperti ini, kompleks perumahan pertapa itu disebut mandala (konfigurasi lingkaran). Dalam Java in the Fourteenth Century, A Study on Cultural History. The Nagarakrtagama by Rakawi Prapanca of Majapahit. Vol. 5 , TH Pigeaud, ahli sastra Jawa, menyebut kadewaguruan telah dibicarakan dalam kitab Rajapatigundala di masa Singasari. Raja yang disebut adalah raja Bhatati, yang diperkirakan sebutan bagi Krtanagara. Di Majapahit, jumlah kadewaguruan meningkat sejak pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389). Dalam Nagarakrtagama , Hayam Wuruk tercatat pernah mendatangi sebuah mandala yang terletak di dalam hutan bernama wanasrama Sagara . Di kadewaguruan, para murid dapat belajar secara perorangan atau berkelompok. Mereka belajar bertahap dari tata upacara, filsafat, hingga ajaran inti tentang kehampaan yang terdapat dalam kitab Tutur , buku keagamaan yang bersifat Siwa. “Melihat isi ajarannya, kemungkinan kitab Tutur ini adalah bahan bagi mereka yang sudah mempunyai dasar pengetahuan agama dan bukan untuk pemula,” tulis Haryati Subadio, guru besar FIB UI bidang Sanskerta dan Jawa Kuna, dalam Jnanasiddhanta . Fungsi lain kadewaguruan dapat ditelisik berdasarkan penemuan sejumlah naskah di wilayah Merapi-Merbabu, yang dikenal sebagai naskah Merpai-Merbabu. Wilayah tersebut, menurut Agus Aris Munanadar, tak hanya menjadi pusat keagamaan tapi juga skriptorium, tempat bagi para Brahmin menuliskan ajaran-ajarannya pada daun lontar. “ Kadewaguruan sebagai tempat pendidikan agama pada masa Jawa Kuna masih digunakan setelah masuknya Islam di tanah Jawa,” kata Agus. “Tempat itu kemudian dikenal sebagai pondok pesantren, wadah pendidikan yang khas Nusantara dan masih terselenggara hingga kini.”*
- Ho Im, Iklan Dukacita Tionghoa
Ho Im sebutan untuk iklan dukacita kalangan Tionghoa. CALON presiden Joko Widodo tak ambil pusing dengan kampanye hitam yang menyebut dirinya keturunan Tionghoa dan bernama Oey Hong Liong. Namun Jokowi angkat bicara ketika kempanye hitam itu sudah keterlaluan berupa berita dukacita “RIP Ir. Herbertus Joko Widodo (Oey Hong Liong)” yang beredar di jejaring sosial. Jokowi menyebut kampanye hitam itu “brutal”. Menurut Iwan Awaluddin Yusuf, dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, dalam Media, Kematian, dan Identitas Budaya Minoritas , iklan dukacita erat kaitannya dengan upaya penyebarluasan kabar meninggalnya seorang etnis Tionghoa kepada keluarga dan sanak famili sesama Tionghoa. Mereka menyebut iklan dukacita sebagai Ho Im. “Iklan berita keluarga tentang kematian dan perkawinan bagi pembaca Tionghoa peranakan lebih penting daripada editorial yang hebat,” tulis Benny G. Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik . Selain pesan kematian, iklan dukacita menyampaikan pesan lain. Bagi keluarga dari orang Tionghoa yang semasa hidupnya menjalin bisnis dan perdagangan, pemasangan iklan dukacita diharapkan memberi tahu relasi bisnis almarhum. Ditinjau dari aspek ekonomi media, iklan dukacita relatif stabil dalam menyumbang pemasukan. Media di masa lampau maupun sekarang mengandalkan iklan berita keluarga, baik iklan dukacita maupun sukacita. Benny mencontohkan, Sin Po memperoleh banyak pelanggan karena memuat iklan berita keluarga. Begitu pula dengan Pewarta Soerabaia yang dikenal sebagai harian yang memuat iklan berita keluarga terlengkap. Saking pentingnya iklan dukacita, menurut Iwan, sering terjadi percekcokkan hanya karena nama seseorang famili lupa dicantumkan atau salah tulis. Karenanya, biasanya ada “ahli” yang membantu pihak yang berduka. Begitu ada anggota keluarga yang meninggal dunia, seorang anggota keluarga, biasanya anak mendiang, segera mengajak bermusyawarah untuk menentukan waktu penguburan. “Setelah disepakati dan memperoleh hari dan tanggal baik, mereka segera menghubungi biro iklan atau yayasan pelayanan kematian untuk mempersiapkan iklan dukacita,” tulis Iwan. Ketika rezim Orde Baru berkuasa, semua yang berbau Tionghoa dilarang. Soeharto menutup semua suratkabar Tionghoa, kecuali Harian Indonesia yang dikelola pemerintah dan dikuasai militer. Dalam Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia , Leo Suryadinata menjelaskan Harian Indonesia adalah harian dwibahasa Tionghoa dan Indonesia, “yang menjadi populer di antara etnis Tionghoa untuk memasang pemberitahuan mengenai kematian, perkawinan, iklan, dan sebagainya.” Harian Indonesia juga menjadi satu-satunya suratkabar berbahasa Tionghoa sampai tahun 1998. Menurut Aimee Dawis dalam Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas , harian ini jarang memuat gambar tokoh Tionghoa dalam kolom-kolomnya. “Satu-satunya gambar orang Tionghoa yang selalu dimuat surat kabar ini adalah foto dalam iklan dukacita,” tulis Aimee Dawis. Iklan dukacita atau Ho Im bagi sebagian masyarakat Tionghoa dianggap tradisi. “Walaupun demikian,” tulis Iwan, “tidak semua etnik Tionghoa mengekspresikan kematian lewat iklan dukacita.”*
- Pejabat Pajak Menyeleweng
Petani Jawa, 1910. (KITLV). KOMISI Pemberantasan Korupsi menetapkan Hadi Purnomo, mantan ketua Badan Pemeriksa Keuangan, sebagai tersangka kasus pajak BCA pada 21 April 2014. Saat menjabat Direktur Jenderal Pajak pada 2002-2004, Hadi menerima keberatan pembayaran pajak yang diajukan BCA sehingga merugikan keuangan negara sekira Rp375 milyar. Penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pajak pernah tercatat beberapa kali dalam sejarah Indonesia. Pada masa Mataram Kuno, orang menyebut pejabat pajak sebagai mangilala drawya haji . “Kelompok petugas ini pertama kali disebut dalam sumber prasasti pada awal abad ke-9 (Garung/Pengging, 741 Saka/819 Masehi),” tulis Supratikno Raharjo dalam Peradaban Jawa . Mangilala drawya haji mengumpulkan pajak dari penduduk terkena pajak (wargga kilalan) semisal petani, pedagang, dan orang asing. Tiap wargga kilalan punya bentuk pajak berbeda. Pajak petani berupa sebagian hasil sawah, sedangkan pajak pedagang dan orang asing bisa berupa kain, uang emas, atau perak. Besaran pajaknya juga berbeda. Petani paling sering jadi sasaran ulah menyeleweng mangilala drawya haji . Sebab, “Milik golongan ini adalah tanah yang tidak bisa dilarikan dan hasilnya sukar disembunyikan,” tulis Onghokham, “Tahun Pajak 1980-an dalam Perspektif Sejarah,” termuat dalam Dari Soal Priyayi Sampai Nyi Blorong . Nayaka , petugas pemungut pajak di desa, beberapa kali lalai menghitung luas sawah petani dan jumlah pajak yang harus dibayar. Kesalahan hitung bisa merugikan petani. Bisa-bisa petani wajib membayar pajak lebih tinggi. Sedangkan Nayaka dan mangilala drawya haji berpotensi menggelapkan selisih pajak itu untuk kepentingan pribadi. Tapi ulah mereka tak selalu berjalan mulus. Prasasti Luitan (823 S/901 M) menerangkan sejumlah perwakilan petani keberatan atas perhitungan nayaka . “Mereka itu mohon agar sawah mereka diukur kembali,” tulis Boechari, “Ulah Para Pemungut Pajak di Jawa Kuno,” termuat dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti . Nayaka menghitung sawah petani seluas 1 tampah (6.750-7.860 meter persegi). Padahal sawah petani hanya seluas 2/3 tampah . Penguasa Mataram menerima keberatan itu sehingga petani tak harus membayar pajak lebih tinggi. Kasus hampir serupa termaktub dalam Prasasti Palepangan (828 S/906 M). Perwakilan petani berselisih paham dengan nayaka . Pangkalnya nayaka menghitung sawah petani seluas 2 lamwit (setara dengan 40 tampah ) dan pajak mereka sebesar 6 dharana perak. Karuan petani kalang-kabut. Mereka tak punya perak sebanyak itu. Lagipula mereka yakin sawah mereka tak seluas perhitungan nayaka . Petani mohon kepada penguasa untuk meninjau ulang keputusan nayaka . Penguasa pun menyuruh nayaka mengukur ulang luas sawah petani. Hasilnya sawah petani hanya seluas 1 lamwit dan 7,5 tampah . Jumlah pajak petani pun turun. Mereka cuma membayar sebesar 5 kati (1 kati=32 dharana ) dan 5 dharana perak. Boechari berkesimpulan dua kasus itu menunjukkan adanya penyelewengan dalam penetapan pajak. Sayangnya, tak ada catatan sanksi atau hukuman untuk para pejabat pajak yang menyeleweng.*
- Riuh Rendah Hari Buruh
Peringatan Hari Buruh 1 Mei 2013 di Jakarta. (Micha Rainer Pali/Historia). PERINGATAN Hari Buruh 1 Mei 1948 berlangsung meriah. Sebanyak 200-300 ribu buruh, petani, dan pemuda membanjiri alun-alun Yogyakarta. Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Panglima Besar Jenderal Soedirman menghadiri rapat raksasa tersebut. Peringatan Hari Buruh kala itu terasa istimewa. Pasalnya, pada 20 April 1948, pemerintah telah menetapkan UU No 12/1948 tentang Kerja. UU ini dianggap pencapaian tertinggi bagi gerakan buruh. UU ini juga dinilai progresif karena memberikan perlindungan dan jaminan yang besar bagi buruh, melebihi apa yang mungkin didapat buruh di Eropa. UU ini antara lain berisi larangan mempekerjakan anak; larangan buruh perempuan bekerja di pertambangan dan tempat lain yang membahayakan keamanan, kesehatan, dan moralitas; serta bekerja di malam hari (kecuali yang bekerja di sektor publik seperti bidan atau perawat); pemberian waktu bagi ibu menyusui anaknya; serta cuti melahirkan dan cuti haid. Ketentuan mengenai cuti haid terbilang luas biasa karena menurut Susan Blackburn dalam Perempuan dan Negara dalam Era Indonesia Modern , “hanya beberapa negara pernah mengundang-undangkannya.” UU Kerja juga menetapkan “pada hari 1 Mei buruh dibebaskan dari kewajiban bekerja.” 1 Mei dianggap sebagai momentum bagi gerakan buruh internasional. Ini bermula dari tuntutan bekerja “delapan jam sehari” yang disuarakan kaum buruh di Amerika Serikat (AS) sejak 1884. Lalu, pada 1 Mei 1886, puluhan ribu buruh di Chicago turun ke jalan. Polisi menghadapinya dengan tembakan; empat orang tewas dan banyak yang luka-luka. Tindakan represif itu menimbulkan aksi buruh lebih besar lagi. Simpati juga datang dari penjuru dunia. Puncaknya, Kongres Sosialis Internasional II di Paris pada Juli 1889 menetapkan 1 Mei sebagai hari libur para buruh. Ironisnya, AS justru memilih hari Senen pertama di bulan September sebagai hari buruh nasional. Peringatan Hari Buruh sudah diperingati di Hindia Belanda pada 1918. Sementara di alam kemerdekaan, kaum buruh Indonesia merayakan hari buruh kali pertama pada 1 Mei 1946. Penguasa Orde Baru meniadakan Hari Buruh secara perlahan namun sistematis. Mula-mula, Awaloedin Djamin, menteri tenaga kerja pertama era Orde Baru, memutuskan 1 Mei 1966 tetap diperingati sebagai hari buruh. “Keputusan ini diambil agar tidak disalahmengetikan bahwa Orde Baru adalah antiburuh, padahal yang benar kita adalah antikomunis Indonesia,” kata Awaloedin dalam Awaloedin Djamin, Pengalaman Seorang Perwira Polri . Kemudian, “tahun berikutnya langsung saya hapuskan.” Pemerintah kemudian menetapkan 20 Februari sebagai Hari Pekerja Nasional, merujuk pada hari lahir Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) pada 20 Februari 1973. Peringatan Hari Buruh dilarang. Serikat buruh dibonsai. Pemogokan dihadapi dengan represi. Pegiatnya ditangkap, bahkan dibunuh seperti dialami Marsinah, buruh PT Catur Putera Surya di Sidoarjo, pada Mei 1993. Untuk kali pertama di masa Orde Baru, Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI) memperingati Hari Buruh pada 1 Mei 1995 dengan menggelar aksi di Jakarta dan Semarang. Lima orang ditangkap di Jakarta dan 16 orang di Semarang. “Waktu itu aparat memang sangat represif,” kenang Lukman Hakim, ketua departemen pengembangan organisasi PPBI Pusat yang ditangkap dalam aksi di Semarang, kepada Historia . Setelah Soeharto lengser hingga hari ini, Hari Buruh dirayakan saban tahun. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan 1 Mei sebagai hari libur nasional saat Hari Buruh 2013 dan mulai berlaku 1 Mei 2014.*
- Jejak Permainan Congklak
Perempuan bermain dakon atau congklak, 1910. (KITLV). BU BEI menimang angannya kembali ke masa kanak-kanak. Ketika tengah gandrung bermain congklak dengan menggunakan biji sawo kecik, keasyikan itu terhenti. Ibunya berpikiran lain. “Kamu tidak pantas main congklak. Kamu sudah gede,” kata sang ibu yang ingin mempersiapkan anaknya menjadi seorang priyayi. Begitulah Arswendo Atmowiloto dalam novel Canting memotret kehidupan keluarga priayi Jawa. Salah satunya kebiasaan bermain congklak. Congklak atau dakon merupakan permainan tradisional yang populer di Jawa. Ia dimainkan segala umur, lelaki maupun perempuan. Menurut A.J. Resink-Wilkens dalam Het Dakonspel (Permainan Dakon), permainan dakon biasa dimainkan anak-anak perempuan dari kalangan bangsawan. Menurut James Dananjaya dalam Folklor Indonesia , permainan ini tersebar luas di Asia dan Afrika, yang terkena pengaruh kebudayaan Islam. Di Srilanka namanya canka , di Semenanjung Melayu disebut conkak , di Filipina cunkayon , dan di Afrika mankala . Sementara dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia , Dennys Lombard menyebut permainan ini sama dengan mangala yang terdapat di berbagai tempat lain di Samudera Hindia, Madagaskar, dan Turki, setidaknya sejak abad ke-17. Dakon, menurut Lombard, berasal dari kata daku atau saya , yang mengesankan penonjolan ego. Ia merupakan contoh terbaik dari permainan tradisional yang nonkompetitif. Tujuannya untuk menghibur melalui hubungan timbal-balik yang menenangkan daripada merangsang sebuah persaingan ilusi. Ketika orang Eropa memainkannya untuk kali pertama, dengan terkejut mereka menyadari bahwa permainan ini berbeda dari “dam-daman” (catur Jawa); tujuan permainan tersebut bukanlah untuk “menang.” “Peraturannya memang dibuat demikian rupa sehingga permainan dapat berlangsung berjam-jam dan hanya sekali-kali terhenti karena kekalahan (yaitu habisnya biji di dalam lubang tertentu) salah satu pemain,” tulis Lombard. Bukti arkeologis mengenai permainan ini ditemukan dalam ekskavasi di Panjunan, Banten, pada 1983 yakni berupa Bidak Congklak Terakota. Pada masanya situs ini merupakan pabrik tembikar. Bidak Congklak Terakota yang terbuat dari tanah liat tersebut kini menjadi koleksi Museum Nasional. “Artefak tanah liat yang dikategorikan sebagai kebutuhan sekunder antara lain berupa barang permainan seperti congklak… , ” tulis Heriyanti Ongkodharma dalam Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten 1522-1684 . Tinggalan arkeologis pada masa prasejarah (megalitikum) berupa batu monolit juga disebut batu dakon, mengambil sebutan dari bidak permainan dakon karena kemiripannya. Batu Dakon biasanya berdampingan dengan menhir. Menurut arkeolog Agus Aris Munandar, ada dua pandangan mengenai fungsi Batu Dakon. Kalangan ahli prasejarah beranggapan lubang di batu itu berfungsi sebagai altar sesajian seperti kembang-kembangan atau biji-bijian. Kalangan lainnya beranggapan fungsinya sebagai proyeksi peta bintang seperti di dataran tinggi India. “Apakah Batu Dakon punya pertalian dengan permainan dakon tentu harus dilakukan penelitian lebih lanjut,” katanya kepada Historia.*
- Pangkalan Militer Amerika di Filipina
Pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Subic, Filipina. ( subicbayliving.com ). PEMERINTAH Filipina dan Amerika Serikat menandatangani kesepakatan peningkatan kerja sama militer, 28 April 2014. Kerja sama ini muncul menyusul sengketa antara Filipina dan China terkait kepemilikan pulau karang di Laut Cina Selatan. Kesepakatan ini memungkinkan militer Amerika memiliki akses ke sejumlah pangkalan militer, pelabuhan, dan lapangan udara hingga sepuluh tahun ke depan. Namun, Amerika tak diperkenankan membangun pangkalan militer secara permanen. Kesepakatan ini menuai protes dari sebagian rakyat Filipina yang berdemonstrasi di kedutaan besar Amerika di Manila. Kehadiran militer Amerika di Filipina sudah lebih dari seabad. Pada 1898, setelah mengalahkan Spanyol, Amerika menguasai Filipina sesuai Perjanjian Paris. Rakyat Filipina di bawah Emilio Aguinaldo, yang memimpin perjuangan kemerdekaan FIlipina dari tangan Spanyol, melancarkan perlawanan hingga 1902. Tapi militer Amerika terlalu besar untuk dikalahkan. “Hal itu (kolonialisme Amerika di Filipina) berlangsung hingga Jepang menguasai Filipina dalam Perang Dunia II,” tulis Glenn P. Hastedt dalam Encyclopedia of American Foreign Policy . Amerika kembali menggenggam Filipina ketika Perang Dunia hampir berakhir. Tapi gerakan kemerdekaan rakyat Filipina tak pernah berhenti. Melalui Perjanjian Manila, Amerika akhirnya memberi kemerdekaan kepada Filipina pada 4 Juli 1946. Tapi cengkeraman Amerika terus berlanjut melalui Perjanjian Pangkalan Militer yang ditandatangani kedua negara pada 14 Maret 1947. Maka, Amerika pun membangun Pangkalan Angkatan Laut Teluk Subic dan Pangkalan Angkatan Udara Clark. Sebagai imbalannya, Amerika memberikan pelatihan dan peralatan militer terbatas kepada militer Filipina. Bagi Amerika, Filipina merupakan tembok terdepan di sebelah utara Asia Tenggara dari gempuran komunisme, terutama dari China. Apabila Filipina jatuh ke tangan komunis, menurut teori domino yang dianut Amerika, wilayah-wilayah di selatannya bakal mengikuti. Filipina juga merupakan garis pelindung Amerika di Pasifik dari serangan negara lain. Peran yang tak kalah penting adalah sebagai penjamin kepentingan ekonomi Amerika. Sejak awal, tentangan muncul. Senator Tomas Confesor, misalnya, mengecam perjanjian pangkalan militer dengan Amerika karena tak memberi banyak maslahat buat rakyat Filipina. “Kita berada dalam orbit ekspansi imperium Amerika. Imperialisme belum mati,” ujarnya, sebagaimana disitir Stephen R. Shalom, profesor ilmu politik dari William Paterson University, New Jersey, Amerika Serikat, dalam “Securing the US-Philippine Military Bases Agreement of 1947”, dimuat wpunj.edu . Namun kuatnya kaki tangan Amerika di jajaran elite pemerintahan Filipina, terutama semasa pemerintahan Ferdinand Marcos, membuat upaya penghapusan pangkalan militer Amerika seolah berjalan di tempat. Baru setelah Presiden Qorazon Aquino naik ke tampuk kekuasaan pada 1986, upaya tersebut mendapat angin segar. Kaum kiri menjadi penggerak utamanya. Pada 1991, melalui voting, Senat sepakat menutup Pangkalan Angkatan Laut Teluk Subic dan Pangkalan Angkatan Udara Clark.*
- Pemain Biola Legendaris Berpulang
IDRIS Sardi wafat pagi tadi sekira pukul 07.30 WIB di rumah sakit Meilia Cibubur, Depok. Pemain biola terbaik Indonesia itu menderita sakit lambung sejak Desember 2013. Almarhum dimakamkan di TPU Menteng Pulo, Jakarta. Kalangan musisi menyebutnya maestro, meski yang bersangkutan enggan kata “maestro” itu dialamatkan padanya. Perlambang kerendahan hati. “Dia termasuk orang pertama di Indonesia yang menggarap musik orkestra,” kata pengamat musik Bens Leo kepada Historia . Dan ternyata, Idris Sardi-lah yang menularkan semangat bermusik kepada Addie MS, pemimpin Twilite Orchestra. “Setelah mendapat bekal dari Idris Sardi, Addie memberanikan diri terbang ke Amerika untuk belajar musik. Kursus singkat delapan bulan. Dan jadilah Addie MS yang sekarang. Idris Sardi itu gurunya Addie MS,” ujar Bens Leo. Ayah aktor Lukman Sardi itu tak hanya piawai memainkan tangga nada. Dia juga pandai bercerita dan melawak. Bila para musisi berkumpul, Idris selalu tampil dengan ceritanya. “Ceritanya ada saja. Tak ada habis-habisnya. Dia pandai membuat suasana menjadi ceria,” ujar Theodore KS, sahabat Idris Sardi, kepada Historia . “Orangnya lucu. Suka bercanda. Tapi kalau sudah bicara musik, dia serius.” Pria yang kerap berkain sarung itu lahir di Batavia, 7 Juni 1938. Ayahnya, Pak Sardi, seorang pemain biola di studio Radio Republik Indonesia ( RRI ) sekaligus pembuat ilustrasi musik untuk film. Dari ayahnya inilah Idris mengenal biola. “Saya sering disuruh bangun pagi oleh ayah. Lalu berlatih biola. Waktu itu umur saya 6 tahun,” Idris mengurai lakon hidupnya kepada Historia dalam wawancara di studio Musica, Pancoran, Jakarta Selatan, 18 April 2012. Melihat keseriusan Idris, ayahnya menyerahkan Idris berguru kepada dua pemain biola asal Hongaria, Frank Sabo dan Hendrik Tordasi. “Ayah menyuruh saya ke tempat mereka jalan kaki.” Pada 1953, ayahnya meninggal dunia. Idris yang kala itu berusia 16 tahun menjadi tulang punggung keluarga. Dia menerima tawaran RRI menggantikan posisi ayahnya sebagai pemain biola. Di RRI , Idris berkenalan dengan Bing Slamet. “Kami sering berdiskusi soal musik. Bahkan di atas becak,” kata Idris. Bersama Bing Slamet, Idris membentuk Eka Sapta pada 1963. Mereka mengajak sejumlah musisi seperti Ireng Maulana (gitar pengiring), Itje Kumaunang (gitar melodi), Benny Mustafa (drum), Darmono ( vibraphone ), dan Kamid alias Mulyono (konga). Latar belakangnya dari jazz hingga keroncong. Presiden Sukarno pernah mengundang Eka Sapta main di Istana Bogor. Kelompok ini kerap mengiringi penyanyi terkenal masa itu. Satu di antaranya Ernie Djohan. Kelompok musik ini berhasil mendirikan studio rekaman sendiri, Metropolitan, pada 1970. Usai itu, mereka jalan sendiri-sendiri tanpa menyatakan bubar. Idris meneruskan lakon ayahnya sebagai pembuat ilustrasi musik film. Alhasil, sederet Piala Citra memenuhi rumahnya. “Di Indonesia, barangkali, barulah Idris Sardi yang benar-benar dapat kita kategorikan sebagai komposer musik film yang sebenarnya,” tulis Suka Harjana, “Musik Film Belum Dianggap Penting” termuat dalam Musik antara Kritik dan Apresiasi.
- Kisah Partai Pohon Kelapa
Kampanye Partai Rakyat Indonesia pada Pemilu 1955. (Repro Bung Tomo Suamiku ). SIAPA tak kenal Sutomo alias Bung Tomo? Dia dikenang dengan aksi heroiknya dalam Pertempuran Surabaya, 10 November 1945. Setelah Indonesia merdeka, dia tertarik mendirikan partai politik. Maka, pada 20 Mei 1950, berdirilah Partai Rakyat Indonesia (PRI). Kantor pusatnya di Jalan Gondangdia Lama 18 Jakarta. Menurut Sulistina Soetomo, istri Bung Tomo, PRI adalah perubahan wajah dari Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI), yang didirikan dan dipimpin Bung Tomo selama masa revolusi. “Inilah satu-satunya partai di saat itu yang berlandaskan Pancasila. Lambangnya adalah pohon kelapa,” ujarnya dalam Bung Tomo Suamiku . Sejarawan AB Lapian menyebut, PRI didirikan karena adanya pertentangan di antara berbagai kepercayaan agama, aliran golongan, dan gejala-gejala lain yang membahayakan keselamatan rakyat dan negara. “Dengan maksud menghentikan gejala-gejala tersebut, maka para pejuang ‘45 menyatukan diri dalam suatu organisasi yang diberi nama Partai Rakyat Indonesia (PRI). PRI berdasarkan Pancasila dan bertujuan mempertahankan dan menegakkan kedaulatan negara kesatuan RI,” tulis Lapian dalam Terminologi Sejarah 1945-1950 & 1950-1959 . Untuk membesarkan partai, Bung Tomo kerap bolak-balik Malang-Jakarta. “Bung Tomo sibuk bukan main dengan partainya. Jarang di rumah,” kata Sulistina. Dalam Menembus Kabut Gelap: Bung Tomo Menggugat , Bung Tomo mengklaim partainya mendapat sambutan hangat dari rakyat. “Dalam waktu singkat kita berkembang di seluruh Indonesia. Dari Sumatera sampai ke Bandaneira (Maluku). Cabang-cabangnya tumbuh dengan pesatnya, beribu-ribu ranting timbul secara spontan.” Ketika Kabinet Burhanuddin Harahap (Agustus 1955-Maret 1956) terbentuk, Bung Tomo ditunjuk sebagai menteri negara. Kabinet Burhanuddin merupakan kabinet koalisi dari berbagai partai. Namun karena wakil dari Masyumi mendominasi, banyak yang menyebutnya sebagai Kabinet Masyumi. Keikutsertaan PRI dalam Kabinet Burhanuddin malah merugikan. Ia kerap mendapat serangan dari partai oposisi: PNI dan PKI. Dampaknya terasa di Bali. Made Geria dan Oka Dewangkara, pemuka PRI, memperhitungkan Bali akan menyumbang tiga kursi untuk DPR. Namun, PNI dan PKI menebar kampanye negatif bahwa Bung Tomo sudah dipimpin orang Masyumi dan hendak mengislamkan rakyat Bali. “Rakyat yang semula sudah berketetapan untuk memilih ‘pohon kelapa’ ternyata lalu meninggalkannya,” kata Bung Tomo. Pada pemilu parlemen 1955, PRI meraih suara 206.161 (0,55%) dan hanya berhak atas dua kursi di DPR –salah satunya untuk Bung Tomo. Dalam pemilihan anggota Konstituante, PRI meraih suara 134.011 (0,35%) dan beroleh dua kursi untuk Purboningrat dan Basuki Resobowo. Dalam evaluasinya, Bung Tomo menyebut beberapa faktor penyebab kegagalan partainya: anasir-anasir infiltrasi yang menggerogoti partai, kawan-kawan seperjuangan yang tak bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan kepartaian dan perkembangan masyarakat, tidak adanya “organisasi-organisasi imbangan” (organisasi sayap), tidak adanya pendidikan kader, dan tidak adanya alat-alat penerangan partai (corong partai seperti media massa). Daya hidup PRI kian melemah setelah Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. UUD 1945 diberlakukan kembali. DPR dan Konstituante dibubarkan, dan sebagai gantinya dibentuklah MPRS dan DPR Gotong Royong, yang anggotanya ditunjuk atau ditetapkan presiden. PRI tidak dilibatkan dalam DPR Gotong Royong. Bung Tomo pun menggugat Presiden Sukarno ke Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta pada 24 Agustus 1960. Hakim Rochjani Su’ud memutuskan pembubaran DPR oleh Presiden Sukarno itu merupakan soal politik, sehingga gugatan Bung Tomo ditolak. Setelah Dekrit Presiden, muncul pula aturan baru kepartaian. Tak semua partai bisa meneruskan kegiatannya; hanya partai-partai yang disahkan presiden setelah memenuhi syarat-syarat tertentu. PRI termasuk partai yang tak diakui, sehingga tulis Lapian, “PRI hilang dari gelanggang partai politik.” Tamatlah riwayat partai berlambang pohon kelapa.*
- Gaya Rambut Sapu
Gaya rambut pria Thai pertengahan abad ke-19 sebagaimana dipakai oleh para petinggi. Gaya rambut kaum wanita Thai ditunjukkan oleh ratu King Mongkut (Raja Siam) dari dinasti Chakri abad ke-18. (Repro Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 ). INILAH tren gaya rambut pria tahun 2014: tipis di bagian samping namun membiarkan lebat di bagian tengah dan menyisirnya ke belakang menjauhi muka. Gaya klasik ini disebut Pompadour, merujuk Madame de Pompadour, selir King Louis XV. Meski ada banyak variasi gaya ini, konsep dasarnya sama: rambut menyapu ke atas menjauhi wajah, terkadang bagian sisi dan belakang juga disisir ke atas. Pernah tren di kalangan perempuan modis pada abad ke-18, gaya ini dihidupkan kembali sebagai bagian dari tampilan Gibson Girl –istilah untuk kecantikan ideal seorang perempuan– pada 1890 dan terus bertahan sampai Perang Dunia I. Gaya ini sekali lagi menjadi mode bagi perempuan pada 1940-an. Versi pria dipopulerkan bintang rock and roll Elvis Presley pada akhir 1950-an. Variasi gaya ini terus dipakai lelaki dan perempuan pada abad ke-21. Gaya rambut Pompadour dikenal lebih awal di Siam (Thailand) dan Kamboja. Sejarawan Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 , menyebutnya gaya rambut “sapu”: memotong rambut sekira tiga sentimeter dan mencukur rata kedua sisi pelipis. Orang Siam memakai gaya ini karena pengaruh Khmer. Orang Siam lalu memberi pengaruh kepada orang Kamboja. Ada beberapa cerita di balik gaya rambut sapu. Di Siam, Chiengmai Chronical , kronik kerajaan Chiengmai , menyebutkan pada abad ke-15 seorang mata-mata Chiengmai harus memotong pendek rambutnya agar tak menarik perhatian orang di Kerajaan Ayutthaya. Sebuah hikayat Melayu merujuk gaya rambut sapu perempuan dengan seorang raja Siam yang marah besar karena menemukan sehelai rambut panjang di nasinya. Cerita lainnya menyebut gaya rambut sapu perempuan di Siam dipakai untuk menipu orang Birma (sekarang Myanmar) yang menyerang supaya beranggapan bahwa kaum wanita di garis belakang pertempuran adalah juga serdadu pria. Anthony Reid menyimpulkan, rambut pendek model sapu pada mulanya dipaksakan penguasa Siam kepada orang Kamboja dan Thai sebagai tanda kerendahan status; yang kemudian mereka menjadi penduduk Siam pada 1590-an. Asosiasi rambut pendek dengan status budak masih berlaku di Birma sekira 1700. “Raja-raja Siam berikutnya agaknya telah menerima gaya itu sebagai ‘gaya nasional’,” tulis Reid. “Gaya sapu khas ini digemari di kedua negeri (Kamboja dan Siam) sampai abad ke-19.”*






















