top of page

Sejarah Indonesia

Jaringan Preman Sisa Orde Baru

Jaringan Preman Sisa Orde Baru

Mulanya diorganisasi pemerintah lewat tentara. Pasca Orde Baru kelompok preman kehilangan patron dan bisa menentukan nasibnya sendiri: bertransaksi dengan penguasa.

Oleh :
12 Januari 2019

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

...

PADA 1970-an, geng-geng remaja seperti Berlan dan Siliwangi Boys berkeliaran dan tak jarang melakukan kekerasan di Jakarta. Risih dengan kerusuhan yang mereka buat, Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) Jenderal TNI Soemitro memerintahkan agar kelompok-kelompok dan geng remaja dibubarkan.


Namun, ada udang di balik batu. Pembubaran kelompok itu rupanya tak semata untuk mengurangi tingkat kejahatan. Kopkamtib menggunakan kelompok-kelompok tersebut sebagai alat penguatan kekuasaan negara.


Kelompok baru kemudian bermunculan, seperti Pemuda Panca Marga, Angkatan Muda Siliwangi, Ikatan Pemuda Karya, dan Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia. Semua organisasi masa (ormas) itu punya hubungan erat dengan mliter dan Golkar. Sebagian kelompok baru itu muncul di bawah naungan Ali Moertopo, intel kepercayaan Soeharto yang menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh kriminal.


“Orde Baru bekerja dengan sistem jatah preman. Mereka mengelola konflik yang hanya mampu dipecahkan oleh pemerintah sendiri. Negara beserta perangkatnya menciptakan ancaman lewat para preman sembari memberi perlindungan pada warga negara asalkan setia dan patuh,” kata Ian Douglas Wilson dalam bedah buku Marjin Kiri Politik Jatah Preman di Kios Ojo Keos, Jumat, 11 Januari 2019.


Ali Moertopo menugaskan preman-preman binaannya untuk memastikan Golkar mendapat perolehan suaran pada pemilu 1971 dan 1977. Para preman binaan bekerja dengan menjalankan konvoi kampanye yang tak jarang berujung kekerasan. Dengan begitu, pemerintah punya kesempatan unjuk kebolehan dalam mengendalikan ancaman. Para preman juga ditugaskan untuk mengintimidasi peserta pemilu agar memilih Golkar.


Preman, jagoan, atau ormas selalu muncul dalam sejarah Indonesia sejak era kolonial sampai sekarang. Di masa Orde Baru, kelompok masyarakat itu digunakan sebagai alat pengendali masyarakat. “Karena kalau di kampung, kekuasaan negara tidak terasa. Tapi (kekuasaan, red.) itu coba dihadirkan lewat relasi sosial masyarakat dengan preman, jagoan, dan kelompok ormas,” lanjut Wilson.


Wilson mencontohkannya dengan Siskamling (sistem keamanan lingkungan). Siskamling, menurutnya, punya konsep mengajak warga untuk mengawasi lingkungannya sendiri. Selain itu juga merangkul jagoan agar menjadi bagian dari polisi lokal. Lewat para preman atau jagoan yang menjadi polisi lokal itulah kekuasaan negara hadir di kampung-kampung.


Meski menggunakan preman dalam sistem pengendalian masyarakat, Orde Baru juga menjaga kekuasaanya dengan operasi Petrus yang menimbulkan keterkejutan di masyarakat. Menurut Wilson, lewat operasi itu negara memberangus keberadaaan preman yang punya potensi untuk melawan sekaligus membungkam jaringan preman yang dianggp menjadi ancaman negara.


“Petrus digunakan sebagai shocktheraphy, Soeharto mengakui itu. Alasan resminya untuk menghapus kriminalitas. Tetapi dari segi lain, ada pola-pola organisasi dan jaringan yang dianggap mengancam oleh negara,” kata Wilson pada Historia.


Runtuhnya Orde Baru beserta turunnya para tentara pembina preman mengubah pola kelompok preman. Bila semula mereka dibina oleh tentara dan punya peran ideologis untuk melawan sesuatu yang dianggap subversif, mereka kemudian menentukan jalurnya sendiri. Figur preman berubah, preman era Orde Baru berbeda dari era sekarang.


Krisis moral, meningkatnya kekerasan dan kejahatan menguntungkan kelompok seperti Forum Betawi Rempug dan Front Pembela Islam untuk menamplkan diri sebagai ormas yang menyediakan perlindungan bagi kaum miskin kota. “Forum Betawi Rempug sangat radikal. Mereka merasa sebagai warga asli Jakarta yang terpinggirkan oleh proses modernisasi. Setelah Orde Baru mereka ingin merebut apa yang mereka anggap hak mereka,” kata Wilson.


FBR misalnya, lanjut Wilson, terlibat konflik dengan pedagang-pedagang Madura dan Flores atau siapa pun yang berpotensi menguasai ekonomi lokal. Mereka juga mengorganisasi pungutan-pungutan liar pada para pedagang atau tukang parkir.


Pola serupa juga dilakukan oleh FPI. Mereka menawarkan perlindungan pada konsep umat dari demokrasi yang mereka anggap kebablasan. “Mereka menggunakan konsep ancaman terhadap kemurnian umat untuk melakukan pemeresan secara moral dan mengintimidasi. Inilah pola yang muncul pascareformasi untuk melegitimasi kekuasaan mereka secara lokal,” kata Wilson.


Peran besar kelompok preman atau ormas saat ini terutama terlihat di sekitar pemilu atau pilkada pascareformasi. Kelompok ormas punya peran besar untuk memobilisasi massa, menjaring suara, dan mengumpulkan uang. Negara tak lagi bisa mengendalikan kelompok preman seperti di era Orde Baru.


Ketidakmampuan partai politik untuk menjaring dukungan di tingkat akar rumput menjadi keuntungan bagi kelompok preman atau ormas. Jaringan warisan Orde Baru ini sangat sadar untuk melakukan transaksi dan tawar-menawar dengan parpol.


“Semua bikin kontrak politik untuk dapatkan sesuatu, menjamin bisa menjaring sekian suara lewat jaringan-jaringan mereka. Ormas jadi alat yang menguntungkan bagi parpol untuk meraih kekuasaan. Model lama, dengan massa yang bisa memaksa dan efektif buat pemilu.” kata Wilson.*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Dari Gas hingga Listrik

Dari Gas hingga Listrik

NIGM adalah perusahaan besar Belanda yang melahirkan PLN dan PGN. Bersatunya perusahaan gas dan listrik tak lepas dari kerja keras Knottnerus di era Hindia Belanda.
Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Film perdana Reza Rahadian, “Pangku”, tak sekadar merekam kehidupan remang-remang lewat fenomena kopi pangku. Sarat pesan humanis di dalamnya.
Soebandrio Tidak Menyesal Masuk Penjara Orde Baru

Soebandrio Tidak Menyesal Masuk Penjara Orde Baru

Soebandrio dikenal memiliki selera humor yang tinggi. Selama menjadi tahanan politik Orde Baru, dia mendalami agama Islam, sehingga merasa tidak rugi masuk penjara.
Khotbah dari Menteng Raya

Khotbah dari Menteng Raya

Tak hanya mendatangkan suara, Duta Masjarakat juga menjadi jembatan Islam dan nasionalis sekuler. Harian Nahdlatul Ulama ini tertatih-tatih karena minim penulis dan dana.
Lagi, Seruan Menolak Gelar Pahlawan Nasional Bagi Soeharto

Lagi, Seruan Menolak Gelar Pahlawan Nasional Bagi Soeharto

Wacana penganugerahan gelar pahlawan nasional bagi Soeharto kian santer. Dinilai sebagai upaya pengaburan sejarah dan pemutihan jejak kelam sang diktator.
bottom of page