top of page

Sejarah Indonesia

Advertisement

Sukarno vs Majalah Time

Bagaimana kabar isapan jempol bisa berakibat fatal bagi citra kepala negara. Akibatnya juru bicara departemen luar negeri era Sukarno kena batunya.

22 Jul 2020

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Potret wajah Sukarno dalam majalah Time, Maret 1958. Sumber: content.time.com.

Di masa kekuasannya, Presiden Sukarno acap kali diberitakan secara miring oleh media asing. Dari sekian banyak, majalah terbitan Amerika Time dan Life menjadi media asing yang masuk daftar hitamnya. Sukarno mencurahkan kejengkelannya kepada Presiden John F. Kennedy ketika berkunjung ke Amerika Serikat pada April 1961.


“Majalah Tuan, Time dan Life terutama sangat kurang ajar terhadap saya,” ujar Sukarno kepada Kennedy sebagaimana dituturkan dalam otobiografi Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat karya Cindy Adams.


Siapa nyana, Time sebagai salah satu majalah ternama Amerika pernah menulis berita utama tentang Sukarno yang sumbernya berasal dari kabar isapan jempol. Ganis Harsono, juru bicara Departemen Luar Negeri (Deplu) menjadi saksi bagaimana kekeliruan itu bisa terjadi. Dalam memoarnya, Ganis mengakui kelalaiannya meneruskan gosip belaka berbuah petaka.



Sebagai juru bicara Deplu, Ganis adalah figur yang cukup dekat dengan wartawan. Para juru warta dalam negeri maupun asing kerap kali mendatangi Ganis untuk meminta siaran pers. Tentu saja berita yang berkaitan dengan hubungan luar negeri Indonesia.  


Sekali waktu pada 1958, Ganis menyambangi kediaman Menteri Luar Negeri Soebandrio untuk menyiapkan bahan-bahan siaran pers. Karena Soebandrio masih menerima beberapa orang di ruangan tamu, Ganis masuk melalui jalan lain menuju ruang makan. Di sana, Ganis bersua dengan Ma’ruf, wartawan suratkabar Keng Po.


“Saya cukup mengenal Ma’ruf. Dia adalah salah seorang kader inti Partai Sosialis Indonesia, dan di kalangan wartawan dia lebih dikenal sebagai seorang politisi,” kenang Ganis dalam memoarnya Cakrawala Politik Era Sukarno.


Ma’ruf bertanya kepada Ganis, apakah ada siaran pers yang dapat diberitakan. Ganis menyarankan Ma’ruf agar meminta keterangan lengkap kepada Menteri Soebandrio saja. Tiba-tiba, Ma’ruf melontarkan berita aneh yang berasal dari Nyonya Suprapti.


“Siapa Nyonya Suprapti itu?” tanya Ganis.


“Nyonya Suprapti adalah seorang dukun yang meramalkan akan segera terjadi perang antara Amerika dengan Republik Rakyat Cina (RRC), dan katanya RRC akan menang,” terang Ma’ruf.



Mendengar itu, Ganis cuek saja. Dia hanya percaya fakta bukan gosip murahan. Namun untuk menyenangkan Ma’ruf, Ganis berjanji akan membicarakan gosip itu di tempat minum kopi. Sekadar main-main, dalam benak Ganis. Pertemuan dengan Ma’ruf maupun urusan di kediaman Soebandrio pun selesai begitu saja. Ganis kembali ke kantor Departemen Luar Negeri di Jalan Pejambon.


Pada siang harinya, Ganis kedatangan wartawan Time J. Bell bersama dengan pembantunya – penerjemah bahasa – S.T. Hsieh, seorang Cina nasionalis yang tinggal di Jakarta. Mereka hanya membicarakan hal-hal yang ringan. Ganis mengatakan pada Bell bahwa tidak ada keterangan pers hari itu. Saat bercengkrama, Ganis melihat Hsieh sedang membaca sebuah buku. Ternyata itu buku horoskop yang biasa dipakai untuk meramal. Mendengar itu, ingatan Ganis terbawa kepada celotehan Ma’ruf tadi pagi. Begitulah, Ganis menyampaikan cerita Ma’ruf kepada Hsieh tanpa ditambah maupun dikurangi.


Beberapa bulan berselang, Agustus 1958, Time muncul dengan berita utama mengenai Presiden Sukarno. Dalam sampul depan majalah itu, wajah Bung Karno ditampilkan seperti drakula yang memandang dengan tatap penuh ancaman. Mengenai potret Sukarno dalam sampul, bukanlah masalah berarti. Yang jadi persoalan, Time dalam laporannya memuat ramalan Nyonya Suprapti bahwa RRC akan mengalahkan Amerika Serikat. Dengan demikian. Sukarno akan bersorak-sorai.  



Ganis segera menelepon Hsieh. Dia mengatakan betapa bahaya menyiarkan berita isapan jempol dalam negara yang sedang keadaan darurat perang. Hsieh berkilah dengan mengaku bahwa Bell-lah yang menulis berita setelah memaksa dirinya menerjemahkan pembicaraan dengan Ganis. Sepekan setelah kejadian itu, Hsieh ditangkap.


Dari Hongkong, Bell mendatangi kantor Deplu untuk minta pembantunya, Hsieh dibebaskan. Ganis yang menghadapinya keburu berang dan mengusir Bell. Namun Bell berdalih, katanya, keterangan tambahan itu bukan darinya melainkan editornya di New York. Jadi, Bell menolak bertanggung jawab namun bersikukuh membebaskan Hsieh dari tahanan.


Time kemudian mengirim orang lain sebagai pengganti Bell di Indonesia. Seorang berkebangsaan Kanada dengan postur tinggi tegap bernama Paul Hermuses. Untuk mengurus pembebasan Hsieh, Hermuses melobi ke Istana. Melalui ajudan presiden Letkol Sugandi,  Ganis mendapat informasi “sumber dari laporan utama Time itu tidak lain ialah juru bicara Departemen Luar Negeri Indonesia sendiri, dan karena itu pembantu Time S.T. Hsieh harus segera dibebaskan.”



“Saya harus menyalahkan diri sendiri karena telah menjadi korban tipu muslihat Ma’ruf yang telah menyebarkan gosip di ibukota,” ujar Ganis.


Pada akhirnya semua pihak dirugikan akibat berita itu. Hsieh, pembantu Time tersebut tetap mendekam di penjara. Majalah Time, Bell, dan Hermuses dilarang masuk ke Indonesia. Di sisi lain, Bung Karno menuai kesan negatif dalam pergaulan internasional gara-gara liputan sensasional Time. Sementara itu, Ganis Harsono dinyatakan persona non grata alias orang yang tidak disukai di Istana, walaupun tidak secara resmi.


Sukarno sendiri, kata Ganis, tidak pernah memperlihatkan kemarahannya terang-terangan. Meski demikian, selama dua tahun antara 1958—1960, Ganis diperlakukan dengan dingin setiap kali hadir dalam upacara-upacara resmi di Istana. Menteri Soebandrio juga “menghukum” Ganis dengan membebas-tugaskannya dari pekerjaan humas kepresidenan dalam perjalan Sukarno ke luar negeri.



Dalam disertasinya yang dibukukan Indonesia Melawan Amerika: Konflik Perang Dingin 1953-1963, Baskara Tulus Wardaya menelusuri ihwal sikap antipati media Amerika pada Sukarno. Menurut sejarawan Universitas Sanata Dharma ini, banyak kalangan di Amerika merasa gusar saat mengetahui sepulangnya dari kunjungan ke Amerika pada Mei 1956, Sukarno melakukan kunjungannya ke Uni Soviet dan RRC. Bung Karno yakin bahwa banyak rakyat Amerika yang melihat kunjungannya ke kedua negara komunis tersebut sebagai “balasan yang tidak sopan” atas keramah-tamahan mereka.


“Media massa Amerika mulai mencercanya, dan ‘mulai mengatakan bahwa orang yang ngakunya percaya pada Tuhan itu ternyata adalah seorang dedengkot Komunis,’” tulis Baskara.  


Sejak itulah media massa Amerika doyan melancarkan serangannya kepada Sukarno dengan berita-berita bernada provokatif.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian

Advertisement

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy masuk militer karena pamannya yang mantan militer Belanda. Karier Tedy di TNI terus menanjak.
Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang turut berjuang dalam Perang Kemerdekaan dan mendirikan pasukan khusus TNI AD. Mantan atasan Soeharto ini menolak disebut pahlawan karena gelar pahlawan disalahgunakan untuk kepentingan dan pencitraan.
Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Tan Malaka pertama kali menggagas konsep negara Indonesia dalam risalah Naar de Republik Indonesia. Sejarawan mengusulkan agar negara memformalkan gelar Bapak Republik Indonesia kepada Tan Malaka.
Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Hubungan diplomatik Indonesia dan Belgia secara resmi sudah terjalin sejak 75 tahun silam. Namun, siapa nyana, kemerdekaan Belgia dari Belanda dipicu oleh Perang Jawa.
Prajurit Keraton Ikut PKI

Prajurit Keraton Ikut PKI

Dua anggota legiun Mangkunegaran ikut serta gerakan anti-Belanda. Berujung pembuangan.
bottom of page