Hasil pencarian
9598 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Bunda Teresa Peka Terhadap Sesama
AKSI panggungnya sering mengundang tawa penonton. Didik Hadiprayitno atau yang memiliki nama panggung Didik Nini Thowok terkenal karena keunikannya memadukan tarian klasik, rakyat, kontemporer, sekaligus dengan komedi. Pada pertengahan 1971, pria yang lahir pada 13 November 1954 di Temanggung itu menciptakan koreografi tari pertamanya yang diberinya judul “Tari Persembahan”. Adapun hingga kini maestro tari ini identik dengan Tarian Dwi Muka yang ia ciptakan pada tahun 1970-an. Nama Nini Thowok sebenarnya didapat setelah Didik membantu seniornya di ASTI. Ia ikut dalam pementasan fragmen tari yang berjudul Nini Thowok bersama Sunaryo. Ini lah debut pentas tari pertamanya yang membuat namanya kemudian meroket di lingkungan kampus. Merasa lebih menguasai tarian putri, Didik pun kemudian selalu memilih karakter perempuan dalam setiap pementasannya. Dalam perjalanan tarinya, Didik tak berhenti belajar. Priya kemayu itu telah berguru pada puluhan maestro baik dalam maupun luar negeri. Meski kini sepak terjangnya sudah dikenal dunia, Didik mengaku tak ingin menjadi sombong. Ia berusaha tetap rendah hati dan berlaku tulus kepada siapapun, meski ketulusannya sering dimanfaatkan dengan buruk oleh orang lain. Laku ini ia akui banyak terinspirasi dari apa yang dicontohkan oleh Bunda Teresa. Bunda Teresa atau yang lahir dengan nama Agnes Gonxha Bojaxhiu lahir di Üskub, Kerajaan Ottoman, 26 Agustus 1910. Selain dikenal sebagai tokoh misionaris, Bunda Teresa adalah seseorang yang dalam hidupnya berkutat melayani masyarakat miskin di India. Tokoh ini dikenal sebagai tokoh kemanusiaan yang pernah dianugerahi Nobel di bidang perdamaian pada 17 Oktober 1979. Atas jasanya pula, Bunda Teresa menerima Penghargaan Templeton pada 1973 dan penghargaan tertinggi warga sipil India, Bharat Ratna pada 1980. Mengenai tokoh dunia itu, Didik membagi ceritanya kepada Historia . Mengapa memilih Bunda Teresa? Beliau hidup untuk orang lain, mengabdi untuk orang lain. Bunda Teresa membantu orang miskin sampai harus membuatnya berkeliling di lingkungan kumuh. Apa yang paling Anda ingat dari Bunda Teresa? Kata bijak Bunda Teresa ya. Saya ingat ada perkataannya yang begini: “Bila engkau jujur dan terbuka, mungkin saja orang lain akan menipumu, bagaimanapun jujur dan terbuka lah”. Kemudian, “Bila engkau sukses, engkau akan mendapat beberapa teman palsu, dan beberapa sahabat sejati. Bagaimanapun jadilah sukses”. Apa perkataan Bunda Teresa itu mempengaruhi keseharian Anda? Oh jelas. Saya sendiri berusaha memahami kata-kata bijak beliau. Meniru ya. Ada banyak nasihat yang bisa dilakukan dalam hidup. Apa kata-kata Bunda Teresa ini sesuai juga dengan pengalaman Anda pribadi? Iya, itu saya alami. Saya sering ditipu, tapi saya nggak boleh berubah. Kalau jadi orang jujur ya sudah jujur saja. Dia menipu saya, ya saya yakin dia menanam karma jelek untuk dirinya sendiri. Lalu kata-kata “kalau kita sukses kita akan dapat beberapa teman palsu”, itu juga saya alami. Beberapa orang jadi tiba-tiba mau dekat saya karena saya sukses. Tapi kita kan harus tetap berusaha untuk sukses. Bunda Teresa juga seorang misionaris, apakah pengabdiannya pada masyarakat bawah juga bagian dari misinya? Kalau saya bandingkan dengan Orang Jawa zaman dulu dengan Bunda Teresa ini mirip. Orang Jawa dulu juga punya ajaran untuk selalu meningkatkan sisi spiritualnya. Nah, Bunda Teresa ini juga selalu mendekatkan diri kepada Tuhan. Dengan begitu, orang yang selalu mendekatkan diri dengan Tuhannya akan menjadi lebih peka terhadap sesama. Kebaikan itu kan di mana-mana sama. Kita tulus ya tulus, di mana-mana wujud ketulusannya akan sama. Di Barat atau di Indonesia itu sama saja. Jadi kalau menurut saya, mereka itu berbuat itu tulus tanpa tendensi apapun. Beliau layak menjadi sosok yang dicontoh. Dari sisi itu, apa Anda juga mencontohnya? Saya juga melakukan tirakat. Ada ritualnya. Misalnya caranya dengan rajin berpuasa. Ini sudah biasa dilakukan juga sebagai seniman. Laku ini selain untuk mempertebal spiritual kan juga untuk kehidupan. Itu kemudian nyambung dengan profesi saya sebagai penari. Dampaknya, dalam kehidupan sehari-hari ini sebagai pembentukan karakter. Contoh manfaatnya, saya kan punya karyawan banyak, dengan laku ini saya jadi lebih peka. Saya bisa memahami sifat karyawan saya yang beraneka macam itu. Kalau orang sekarang kan malah nantang tauran, berkelahi. Itu karena tidak peka perasaannya.*
- Dari Eropa ke Bumiputera
PASCA penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949, secara berangsur militer Belanda menarik diri dari bumi Indonesia. Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) sendiri pada 26 Juli 1950 dibubarkan lewat keputusan kerajaan Nomor K 309 tertanggal 20 Juli 1950 yang secara langsung ditandatangani oleh Ratu Juliana. Dalam keputusan itu, para anggota KNIL (baik dari kalangan Eropa maupun bumiputera) ditawari tiga opsi: pensiun, khusus bagi prajurit Eropa dimutasi ke Tentara Kerajaan Belanda (KL) atau bergabung dengan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). Bisa dikatakan KNIL merupakan salah satu kesatuan militer modern yang paling tua usianya. Berdiri pada 10 Maret 1830, KNIL langsung dilibatkan dalam berbagai palagan di Nusantara. Kiprahnya yang mumpuni, membuat kesatuan ini menjadi perhatian dunia. Setahun kemudian, Prancis yang merupakan salah satu negara terkuat dalam bidang militer saat itu, baru mendirikan Legiun Asing yang legendaris tersebut. “KNIL dibentuk dengan alasan untuk menjaga kepulauan yang luas dengan 20 uta penduduk bumiputera agar tetap patuh (pada) pemerintah Belanda,” ungkap catatan diplomat Prancis Dabry de Thiersant seperti dikutip Jean Rocher dan Iwan Santosa dalam KNIL: Perang Kolonial di Nusantara dalam Catatan Prancis. Awal pendiriannya, KNIL banyak merekrut para “pengangguran” Eropa dari berbagai kelas dalam masyarakat. Mereka dijanjikan upah yang menggiurkan untuk bertugas di Hindia Belanda selama jangka waktu tertentu. “Belanda saat itu butuh serdadu yang banyak untuk (ditempatkan) di Hindia Belanda. Mereka banyak merekrut dari Belgia, Swiss, Prancis dengan bayaran sampai 300 gulden. Orang Prancis sendiri banyak yang ikut daftar (KNIL). Tetapi mereka kecewa ketika tiba di Jawa karena gajinya tak sesuai yang dijanjikan,” kata Rocher yang juga mantan atase militer di Kedutaan Besar Prancis di Jakarta itu. Rocher juga menyatakan bahwa beberapa dari mereka yang kecewa itu memilih desersi. Namun sebagian besar tetap bertahan lantaran jauh dan sulit untuk kembali pulang ke Eropa. Seiring kebutuhan, KNIL kemudian menambah tenaga tempurnya dari kawasan Afrika dan Maluku. Tercatat dalam sejarah, mereka ikut terlibat dalam sejumlah peperangan di Sumatera, Jawa, Bali, Lombok dan Aceh. Bahkan dalam Perang Aceh (1873-1904), sekira 40.000 serdadu KNIL telah menjadi korban. Kekuarangan tenaga tempur, secara berangsur, KNIL membuka perekrutan dari golongan bumiputera, baik dari golongan ningrat hingga masyarakat kelas bawah. Alasannya, perekrutan serdadu asal Eropa dianggap lebih memakan biaya lebih. RP Suyono dalam Peperangan Kerajaan di Nusantara menyebutkan: hingga tahun 1916 di tubuh KNIL sudah mulai dibanjiri kalangan bumiputera. Mereka terdiri dari 17.845 dari Jawa, 5.925 orang Manado, 3.519 orang Maluku, 1.792 orang Sunda, 1.066 orang Melayu (Sumatra), 151 orang Madura dan 36 orang Bugis. Para bumiputera tersebut dididik di Koninklijke Militaire Academie (KMA) Breda di Belanda, KMA Bandung, hingga Inlandsche Officieren School di Meester Cornelis (kini Jatinegara, Jakarta Timur). Pada Maret 1942, militer Jepang merambah Nusantara. Masuknya mereka tidak hanya mengakhiri kolonialisme Hindia Belanda, tapi juga eksistensi KNIL. Kendati demikian, sesungguhnya KNIL tidak sepenuhnya bubar, tapi hanya terpaksa angkat kaki dari Nusantara. Sebagian yang tertangkap dijebloskan ke kamp interniran. Sementara sebagian kecil diketahui sempat kabur ke Australia. Pasca-Perang Dunia II, perekrutan KNIL kembali dilakukan sebagai kepanjangan tangan Belanda yang ingin kembali menguasai wilayah Nusantara. Namun tidak bisa dinafikan, jika militer Republik Indonesia juga dibentuk dan diperkuat oleh para eks-KNIL (selain dari unsur Pembela Tanah Air bentukan Jepang). Tercatat sejumlah nama eks-KNIL yang turut membesarkan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Sebut saja nama-nama Abdul Haris Nasution, Alexander Evert Kawilarang, Didi Kartasasmita, Tahi Bonar Simatupang, Oerip Sumohardjo, Soerjadi Soerjadharma dan Halim Perdanakusuma.
- Ada Apa dengan Ricky Yakob
Penggila sepakbola di Indonesia pasti mengenal nama Ricky Yacob. Di era 1980-an, bisa jadi nama tersebut ibarat Marco van Basten-nya Indonesia. Kepiawaian dalam mencetak gol hanya bisa disetarakan dengan jagoan negara-negara tetangga seperti Fandi Ahmad (Singapura), Zainal Abidin Hasan (Malaysia) dan Piyapong Pue-on (Thailand). Dengan nama besar itu tak aneh jika publik sepakbola Indonesia berharap banyak kepada Ricky. Termasuk saat timnas Indonesia mengikuti SEA Games 1991, Ricky dibebani untuk memimpin kawan-kawannya memetik medali emas dari cabang sepakbola, mengulangi prestasi sebelumnya bersama timnas di SEA Games 1987 di Jakarta. Namun, saat pengumuman nama-nama pemain yang akan berangkat ke Manila, Filipina, nama sang superstar tak ada sama sekali. Pecinta sepakbola Indonesia geger. Mereka bertanya-tanya, ada apa dengan Ricky Yakob? Ricky memang dicoret namanya oleh I Gusti Kompyang (IGK) Manila, manajer timnas Indonesia. Keputusan kontroversial itu membuat Manila berselisih paham dengan Kardono, ketua umum Persatuan Sepakbola Indonesia (PSSI). Kardono menginginkan Manila membawa Ricky ke Filipina. Namun, Manila kukuh mencoret nama Ricky. “Saya tahu Ricky pemain bagus, tapi saya juga punya alasan. Fokus saya sekarang keutuhan tim. Target kita emas. Hanya pemain yang siap bertanding yang bertahan di tim,” ungkap IGK Manila dalam biografinya, Panglima Gajah, Manajer Juara karya Hardy Hermawan dan Edy Budiyarso. Manila beralasan Ricky tak layak bergabung dengan timnas karena sedang mengalami semacam kegalauan spiritual. Salah satu buktinya, bintang Arseto Solo itu sempat mengganti namanya, dari Ricky Yacob menjadi Ricky Yacobi. Kegalauan Ricky kali pertama diketahui Manila saat timnas melakoni laga kontra Malta pada kompetisi President’s Cup di Korea Selatan, 7 Juni 1991. Dalam laga itu, sejatinya Ricky berpeluang mencetak gol, namun entah bagaimana dia secara sengaja membuang peluang tersebut. Ketika itu, Ricky menguasai si kulit bundar di depan gawang yang sudah kosong melompong pasca memperdaya kiper lawan. Tapi tak dinyana, tetiba saja Ricky membuang bola keluar gawang. “Kenapa tak kau tembak (ke gawang) itu bola?,” teriak Manila selepas laga usai. "Ricky hanya menjawab: hari itu dia sedang tidak boleh melukai hati orang lain." “Alamak!” seru Manila seraya menepuk kening. Sejak itulah, Manila berpendapat Ricky sedang dirundung masalah. Tak ada yang tahu pasti, apa persisnya masalah yang tengah dihadapinya. Tak juga istri Ricky, Harly Ramayani. Dengan situasi seperti itu, Manila akhirnya membuat keputusan Ricky tak akan dibawa ke Filipina. Dia tak ingin kondisi Ricky mengganggu kekompakan tim secara keseluruhan. Ketika ditanyakan soal musabab kegalauan itu, Ricky sendiri tak mau bicara banyak. “Iya, saat itu saya memang lagi mencari sesuatu buat diri saya,” ungkap Ricky kepada Historia.id. Sejarah mencatat, tanpa kehadiran Ricky, timnas Indonesia kembali berjaya di ajang SEA Games 1991. Mereka berhasil merebut emas cabang sepakbola setelah menaklukan timnas Thailand dengan skor 4-3 lewat drama adu penalti. Hingga kini, momen itu menjadi peraihan medali emas terakhir Indonesia untuk cabang sepakbola di ajang pesta olahraga terbesar se-Asia Tenggara. Ricky Yacobi meninggal di RS Mintoharjo, Jakarta, Sabtu (21/11/2020), setelah mengalami serangan jantung saat bermain sepak bola di lapangan Senayan. Tulisan ini diperbarui pada 21 November 2020 .
- Benarkah Kalashnikov di Balik Lahirnya AK-47?
Lhokseumawe, 17 Juli 2017. Dua warga Kabupaten Pidie menyerahkan dua pucuk senapan serbu ke Korem 011 Lilawangsa, Lhokseumawe, Aceh. Menurut Danrem Kolonel Agus Firman, kedua senjata api itu masing-masing berjenis AK-47 dan AK-45. Meski tak diketahui apakah kedua warga yang identitasnya dirahasiakan itu mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau bukan, dua senapan yang mereka serahkan merupakan peninggalan masa konflik GAM di Serambi Mekah. Keberadaan AK-47 bukan hal aneh di sana karena senapan paling populer di dunia itu paling dicari para kombatan di berbagai tempat konflik di seluruh dunia. Dibandingkan senjata sejenis, AK-47 unggul dalam hal kemudahan penggunaan dan perawatan, tak mudah macet, dan murah. Kelahiran AK-47 tak lepas dari sosok prajurit Uni Soviet bernama Mikhail Kalashnikov. Pengalamannya dalam Parang Dunia II, dimana dia dan ribuan lain tentara merah sering mengalami masalah dengan senapan-senapan mereka, membuat dia berhasrat membuat senapan yang tahan banting. Maka, dia pun menciptakan Avtomat Kalashnikov (AK) 47, angka yang mengacu pada tahun penciptaan. Namun, benarkah kelahiran senapan serbu legendaris itu murni buah pemikiran dan kerja Kalashnikov? Kelahiran AK-47 berkaitan erat dengan program pengembangan senapan serbu Soviet pada 1944 dan kekalahan Jerman dalam Perang Dunia II. Setelah menduduki kota Suhl, Jerman pada Juli 1945, pasukan Soviet memanfaatkan betul pabrik senjata di kota itu. Mereka memproduksi senjata dan merampas cetak-biru persenjataan pabrik itu. “Secara keseluruhan, 10.785 lembar desain teknis disita sebagai bagian dari penelitian mereka,” tulis Alejandro de Quesada dalam MP 38 and MP 40 Submachine Guns . Pasukan Soviet bahkan membawa para ahli senjata Jerman, termasuk ahli senjata kondang Hugo Schmeisser, ke negerinya pada 24 Oktober 1946. Para ahli senjata Jerman yang menjadi tawanan itu lalu dipekerjakan di Izhevsk, Pegunungan Ural, kota tempat pusat pengembangan senjata api Soviet. Program pengembangan senjata Soviet berhasil. Salah satunya lahir pada 13 November 1947, ketika Mikhail Kalashnikov, yang bekerja di pabrik senjata Kovrov, memperkenalkan senapan serbu otomatis AK-47. Senapan serbu otomatis itu kemudian menjadi senjata paling laris di dunia, digunakan mulai dari militer resmi berbagai negara hingga para teroris. Nama Kalashnikov pun tenar dan melegenda. Persoalannya, Soviet mengklaim AK-47 sebagai senjata yang murni lahir dari buah pikiran dan kerja keras Kalashnikov. Padahal, fakta yang ada menunjukkan AK-47 punya banyak kesamaan dengan senapan serbu otomatis MP-43/MP-44/StG.44 karya Hugo yang mulai dipakai Angkatan Darat Jerman pada akhir Perang Dunia II. Pengamat senjata Gordon Rottman menulis dalam The AK-47: Kalashnikov-Series Assault Riffles, usai perang Hugo dipekerjakan oleh Soviet dalam pembuatan AK-47. Meski tak jelas apakah Hugo dan Kalashnikov pernah bekerjasama atau bahkan sekadar bertemu, kesamaan yang ada pada karya masing-masing membuktikan bahwa AK-47 bukan karya yang murni lahir tanpa “campur tangan” pihak lain. Terlebih, perkataan Kalashnikov tentang penciptaan AK-47 tak pernah konsisten. Dalam acara televisi “Tales of the Gun” pada akhir dekade 1990-an, misalnya, Kalashnikov mengklaim AK-47 tak memiliki kesamaan dengan MP-43/MP-44/StG-44. Beberapa tahun kemudian, dia menyatakan bahwa AK-47 sedikit terinspirasi oleh StG-44. Pada 2009, Kalashnikov mengatakan bahwa Schmeisser membantunya mendesain AK-47. Padahal, pada 1947 Kalashnikov masih bekerja di Kovrov, berjarak 900-an km dari Izhevsk. Meski Kalashnikov kemudian bekerja di Izhevsk, itu terjadi baru tahun 1949 atau dua tahun setelah AK-47 lahir. Hingga kini, para pakar senjata Rusia pun masih kesulitan mengungkap secara gamblang proses kelahiran AK-47. Sejauh mana keterlibatan Schmeisser dalam penciptaan AK-47, mereka juga tak tahu pasti lantaran dokumen-dokumen pada tahun itu masih classified . Satu hal yang perlu diperhatikan, propaganda Soviet yang gencar sejak Perang Dunia II. Jadi, benarkah AK-47 murni ciptaan Kalashnikov atau ia hanya bagian propaganda Soviet laiknya kebesaran Vassily Zaitsev dalam propaganda sniper era Perang Dunia II?
- Operasi Penyelamatan Seorang Pastor dari Kahar Muzakkar
DI tengah konflik TNI dengan pasukan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan terdapat satu kisah penyelamatan seorang pastor asal Belgia. Adalah Harry Versteden, pemuka Katolik di Minangga, Tana Toraja yang pernah menjadi korban penculikan oleh DI/TII. “Pastor Harry Versteden dari CICM (Congregation of the Immaculate Heart of Mary) pernah disekap di pedalaman selama sembilan tahun,” tulis Huub JWM Boelaars dalam Indonesianisasi: Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia. Versteden diberitakan mulai menghilang sejak 12 Februari 1953. Menurut para saksi, ia telah dibawa oleh sekelompok orang bersenjata dari tempat peribadatan di Minangga, Tana Toraja, Sulawesi Selatan, dengan alasan untuk menyambuhkan orang sakit lewat pelayanan sakramen. Kedatangan sekelompok orang itu juga disebutkan dalam kesaksian kolega Verstedan, M. Pijnenburg dalam tulisan Uit het Oirschotse Roomse leven oleh Clari van Esch-van Hout. Dalam tulisan itu, Pijnenburg mengaku mendapat surat tulisan tangan dari Versteden sendiri yang dikirimkan orang tak dikenal pada 19 Februari 1953. Surat yang intinya berisi bahwa dia masih hidup setelah sepekan diculik sekelompok orang yang belakangan, diketahui merupakan bagian dari pasukan DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar. “Kamis saya ditangkap ketika saya tengah memasuki sebuah kampung. Sekarang saya ditahan sampai ada keputusan lanjutan (tentang nasibnya). Tak perlu mengkhawatirkan saya. Saya baik-baik saja dan diperlakukan baik oleh para penahan saya. Doakanlah saya,” demikian isi surat Versteden kepada Pijnenburg. Seiring terdesaknya posisi pasukan Kahar Muzakkar, Versteden diberitakan terlihat bersama rombongan perwakilan Kahar Muzakkar yang hendak berunding dengan TNI di Makassar. Kehadirannya di antara rombongan itu segera diketahui Mayor Rais Abin, Kepala Staf Penguasa Perang Kodam Hasanuddin, bawahan langsung panglima teritorial Kolonel M Jusuf . Nama terakhir merupakan pimpinan TNI yang menemui rombongan DI/TII pada September 1961. Setelah menyelidiki lebih cermat, Mayor Rais baru menhetahui bahwa Versteden sudah menjadi seorang muslim. Dengan mata kepalanya sendiri, ia bahkan pernah melihat Versteden ikut melakukan shalat di rumah seorang perwira TNI sebelum perundingan berlangsung. “Begitu datang, ia langsung menggelar sajadah dan salat, lengkap dengan peci dan celana panjang dililit sarung,” ungkap Rais dalam biografinya Rais Abin: Dari Ngarai ke Gurun Sinai. Rupanya sejak diculik pada 1957 lalu, selain diislamkan, Versteden juga dimanfaatkan oleh Kahar Muzakkar untuk memantau siaran-siaran radio dan sejumlah surat kabar luar negeri. Beberapa waktu sebelum perundingan mulai, tetiba datanglah utusan Uskup Agung Makassar bernama Scheurs, seorang pastor yang juga berasal dari Belgia. Kepada Rais Abin, Scheurs menyampaikan permintaan Uskup Agung untuk bisa bertemu Versteden kepada Rais Abin. Permintaan itu kemudian diteruskan ke Kolonel M. Jusuf. Atasan Rais itu justru meninginkan Versteden diselamatkan. “Tapi jangan sampai ketahuan sama si Kahar. Aku ingin selamatkan pastor ini. Mungkin berefek positif bagi negara, di mata internasional,” ungkap Jusuf kepada Rais Abin. Dibantu sejumlah perwira lainnya, Rais Abin mulai mengatur siasat. Usaha menyelamatkan sang pastor, dirasa takkan berhasil tanpa peran Versteden sendiri. Rais Abin pun minta Versteden untuk mengumbar berita bohong bahwa dia telah diculik sekelompok orang dan dibawa pergi ke Jakarta. “Anda harus ikut berperan. Mungkin bertentangan dengan jiwa Anda yang tidak boleh berbohong. Tetapi pada waktunya nanti, Anda harus melaporkan bahwa Anda diculik,” ujar Rais kepada Versteden dalam suatu pertemuan rahasia. Lewat operasi senyap, TNI berhasil membawa Versteden ke Lapangan Terbang Mandai, Maros, Sulawesi Selatan, tanpa sepengetahuan Kahar Muzakkar yang memang belum datang ke tempat perundingan. Di Mandai itulah sebelum terbang ke Jakarta, Versteden diminta mengontak anak buah Kahar Muzakkar dan mengatakan bahwa dia diculik. Segera setelah mengontak seseorang di DI/TII, Versteden dibawa terbang ke Jakarta dan sehari kemudian, dikirim ke Vatikan oleh Keuskupan Jakarta. Di Vatikan oleh Sri Paus Yohannes XXIII, Versteden kembali diberkati untuk kembali menjadi seorang pastor. Terakhir pada 1987, Versteden ditempatkan pada salah satu daerah terpencil di pulau Luzon, Filipina. Dalam Operasi Tumpas Kilat pimpinan Kolonel Solichin GP, Kahar Muzakkar sendiri tewas diterjang timah panas yang disemburkan Carl Gustaf milik Kopral Sadeli di dekat Sungai Lasolo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara pada 3 Februari 1965. Sebelumnya pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) mendapati informasi tempat persembunyian Kahar. “Seorang perwira TII kepercayaan Kahar Muzakkar bernama Letkol Kadir Junus memberitahukan tempat persembunyian Kahar di sekitar Sungai Lasolo. Kepastiannya lagi didapat pada 22 Januari 1965 saat pasukan RPKAD menyergap sekelompok orang di Lawate. Turut disita beberapa surat Kahar dan dokumen,” tulis Atmadji Sumarkidjo dalam Jenderal M Jusuf: Panglima Para Prajurit. Pemberontakan Kahar Muzakkar pun berhasil ditumpas. Nama M. Jusuf juga kemudian dikenal luas, tidak hanya sebagai pemberantas DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar, tapi juga penyelamat pastor Versteden.*
- Emoji Tersenyum Tertua
Selain tulisan, kita biasa menggunakan simbol emoji dalam percakapan pesan singkat. Ternyata, emoji bukanlah simbol yang baru. Penelitian terbaru dari tim arkeolog menemukan lukisan mirip wajah tersenyum pada pecahan keramik kuno di situs Karkemish, Turki. Karkemish merupakan kota kuno seluas 55 hektar yang berada di Turki berdekatan dengan perbatasan Suriah. Nama Karkemish diartikan sebagai “dermaga/tambatan Dewa Kamis” yang terkenal luas di Suriah bagian utara. Kota itu berpenghuni sekitar abad ke-6 SM hingga abad petengahan ketika ditinggalkan dan dihuni oleh berbagai suku budaya termasuk bangsa Hitit, Neo Assiria dan Romawi. Kota itu juga pernah digunakan sebagai markas perbatasan militer Turki. Arkeolog Inggris mengunjungi situs tersebut pada akhir 1800-an dan awal 1900-an, namun masih banyak yang bisa ditemukan. Tim baru terdiri dari 25 arkeolog dipimpin oleh Nikolo Marchetti, profesor di Departemen Sejarah dan Kebudayaan Universitas Bologna Italia, mulai menggali situs itu pada 2003. Baru pada musim ini yang dimulai Mei 2017, mereka menemukan sebuah guci dengan lukisan mirip emoji tersenyum. Guci itu berusia 3.700 tahun yang memiliki tiga goresan cat yang terlihat seperti goresan senyum dan dua titik mata di atasnya. Ditemukan di tempat pemakaman di bawah sebuah rumah, guci itu mungkin digunakan untuk minum bir dan minuman manis. “Tidak diragukan lagi adanya wajah yang tersenyum dan tidak ada jejak lain pada guci tersebut,” kata Nikolo Marchetti seperti dikutip Livescience (21 Juli 2017) . Selama penggalian di Karkemish, arkeolog juga menemukan vas dan pot serta barang-barang yang terbuat dari logam. Menurut arabnews.com (19 Juli 2017), guci dengan lukisan emoji tersenyum tersebut akan dibawa ke Museum Arkeologi Gaziantep, Turki. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Turki, Nabi Avic menuturkan bahwa Taman Arkeologi Kota Kuno Karkemish akan dibuka kembali setelah tujuh tahun masa penggalian pada 12 Mei 2018. Indiatoday.in (24 Juli 2017) yang juga memberitakan penemuan guci bergambar emoji tersenyum menambahkan bahwa sebelumnya emoji tersenyum tertua diperkirakan berasal dari tahun 1635. Coretan berbentuk wajah yang tersenyum ditulis oleh seorang pengacara dalam sebuah dokumen hukum yang digali di Slovakia. Pada saat itu, emoji berbentuk senyuman merupakan bukti simbol tertua yang digunakan.
- Sehidup Semati Bersama Nasi
SEKETIKA melintas empat ekor burung: perkutut, puter, derkuku merah, dan merpati hitam tunggangan Bhatara Sri. Lima anak Raja Makukuhan memburu dan berhasil menembak dengan ketapel. Jatuhlah tembolok burung-burung itu yang berisi biji berwarna putih, kuning, merah, dan hitam. Karena baunya wangi semerbak, kelima anak raja memakan biji berwarna kuning sampai habis dan hanya menyisakan kulitnya.
- Aneka Olahraga Panglima
Di tengah kegiatannya yang segudang, Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad) Letjen TNI Ahmad Yani masih bisa meluangkan waktu untuk olahraga. Bahkan, dia menggemari beragam olahraga. Mulai dari berbagai jenis atletik, tenis, tenis meja atau ping pong, renang, sepakbola, hingga golf. Yani suka olahraga sejak sekolah di HIS (Hollandsch-Indische School) dan MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwisj di Bogor pada 1929. “Yani menyenangi olahraga renang, lempar lembing, lempar cakram dan semua cabang atletik,” ungkap Amelia Yani dalam biografi ayahnya, Profil Seorang Prajurit TNI . Di zaman pendudukan Jepang, Yani melakoni Ken-Do, olahraga beladiri asal Jepang, ketika menjalani pendidikan perwira Pembela Tanah Air di Bogor. “Yani ahli dalam olahraga ini. Badannya atletis, sempurna sekali untuk gerakan-gerakan dengan samurai (kayu),” kata Amelia yang kini menjabat duta besar luar biasa dan berkuasa penuh untuk Bosnia-Herzegovina. Selepas Indonesia merdeka, Letkol Ahmad Yani yang memimpin sebuah resimen di Tegal, Jawa Tengah, menekuni olahraga tenis selain sepakbola dan renang. “Hari-hari tertentu bapak senang main tenis. Sudah menjadi cara rutin bahwa setiap sore sepulang bapak dari bermain tenis, kami dibawanya ke pinggir laut untuk berenang,” kata Amelia. “Dalam sepakbola, bapak adalah penyerang tengah dan kesebelasannya bernama Kesebelasan Kapuk. Kapuk adalah kapas pengisi bantal, kasur dan guling, jadi kesebelasan yang empuk, begitulah.” Yani meneruskan hobinya berenang, tenis dan golf, setelah pindah ke Markas Besar Angkatan Darat di Jakarta untuk menjabat Asisten Logistik Kepala Staf Angkatan Darat hingga akhirnya berpangkat Letjen dengan jabatan Menpangad. Kalau sedang ada waktu membawa keluarganya ke Pantai Sampur, Jakarta Utara, Yani acap mengukur kemampuannya berenang hingga tengah laut. “Setiap Minggu kalau lagi diajak ke pantai, bapak biasanya berenang sampai ke tengah-tengah. Bapak juga senang main pingpong dan golf. Sejak kecil memang tidak ada yang menonjol dari bapak, kecuali ya di bidang olahraga itu,” imbuh Amelia. Yani juga tak ketinggalan main golf, olahraga para elite politik dan pebisnis. Termasuk pada 30 September 1965, di mana dia terakhir kali melihat matahari sebelum jadi korban tragedi 1 Oktober 1965. “Sesudah makan siang bersama (30 September 1965), bapak berangkat ke Senayan untuk latihan memukul golf ditemani Om Bob (Bob Hasan). Sepulangnya, bapak berpesan pada Pak Dedeng (sopir pribadi) untuk membersihkan alat-alat golf yang baru saja dipakainya, kemudian disuruh menyimpannya. Alat-alat itu tak pernah digunakannya lagi,” tutur memori anak-anak Jenderal Yani dalam Tujuh Prajurit TNI Gugur: 1 Oktober 1965.
- Rasisme dalam Film Sejarah
Film-film sejarah seperti Merah Putih (2009), Sang Pencerah (2010), Soegija (2012), dan Soekarno (2013), di satu sisi berusaha mengenalkan sejarah perjuangan kemerdekaan. Namun, di sisi lain menampilkan rasisme karena melihat sejarah Indonesia secara hitam-putih. Orang Belanda selalu digambarkan sebagai orang jahat, orang Indonesia selalu nasionalis, khususnya pada film berseting tahun 1945-1949. Demikian dikemukakan Ariel Heryanto, profesor di Monash University Australia, dalam diskusi “Gerakan Global Kiri dalam Perjuangan Kemerdekaan RI” di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, 17 Juli 2017. “Padahal, sebenarnya tidak begitu, orang kulit putih atau Belanda ada juga yang mendukung perjuangan Indonesia. Sebaliknya, orang Indonesia yang tidak ikut memperjuangkan kemerdekaan juga ada,” kata Ariel. Menurut Ariel hubungan Belanda dan Indonesia tidak melulu buruk, bahkan cenderung saling menguntungkan. “Bahkan para bumiputra yang bekerja pada pemerintah kolonial merasa bangga dengan apa yang dilakukan. Mereka juga berharap anaknya akan melanjutkan jejaknya,” ujar Ariel. Sejalan dengan pernyataan Ariel, sejarawan Henk Schulte Nordholt menulis dalam “Modernity and cultural citizenship in the Netherlands Indies: An illustrated hypothesis,” Journal of Southeast Asian Studies 42(3), 2011, bahwa tidak semua bumiputra mendukung gerakan kemerdekaan. Meningkatnya jumlah kelas menengah bumiputra seharusnya dibarengi dengan banyaknya pemuda yang bergabung dalam gerakan kemerdekaan. Akan tetapi, Henk menunjukkan hal sebaliknya. Kaum bumiputra terbagi menjadi dua, yakni kelompok yang pro-nasionalis dan kelompok yang tidak tertarik untuk bergabung. Kelompok kedua adalah kelas menengah yang terlanjur merasa nyaman dengan kondisinya. Mereka lebih tertarik pada karier yang bagus di pemerintah kolonial dibanding ikut gerakan kemerdekaan. Pasalnya, yang mereka inginkan sejak awal adalah gaya hidup, bukan negara. Dan akses terhadap gaya hidup semacam ini dapat diperoleh dalam kerangka sistem kolonial. Lebih lanjut Ariel menjelaskan bahwa film Indonesia bertema perjuangan selalu digambarkan melawan Belanda. Padahal, lawan Indonesia untuk memerdekakan diri tidak hanya Belanda, tatapi juga Inggris dan Prancis. Penceritaan dalam film tersebut akhirnya memisahkan cerita sejarah dari konflik global. “Yang menarik, film ini adalah film komersil yang jangkauan penontonnya lebih luas dari film indie,” jelas Ariel. Menurut Ariel model penggambaran orang kulit putih dalam film-film bertema perjuangan hampir sama dengan penggambaran citra tokoh jahat dalam cerita-cerita bertema komunisme. Tokoh jahat dalam cerita pasca 1965 selalu digambarkan sebagai orang komunis. Hal yang paling umum ditemui adalah tokoh pandai tapi licik dan suka menipu atau lugu tetapi bodoh. Model penggambaran lain adalah tokoh yang bernasib sial karena menikah dengan orang kiri atau berurusan dengan pemerintah kiri. “Film menegaskan norma yang dominan dalam masyarakat. Dari sini kita bisa melihat bagaimana masyarakat kita memandang sejarah bangsanya: tidak ada orang kulit putih atau komunis yang digambarkan baik,” pungkas Ariel.
- Riwayat Bandung Raya dari Kota Kembang ke Pulau Garam
BANDUNG memiliki tim-tim sepakbola yang berprestasi di tingkas nasional. Selain Persib, klub Kota Kembang yang juga pernah bikin urang Sunda bangga adalah Bandung Raya yang berdiri pada 17 Juni 1987 berbasis tim UNI Bandung. Bandung Raya sudah ikut kompetisi Galatama (liga semiprofesional), sementara saudara tuanya, Persib masih di Perserikatan (liga amatir). Debutnya di Galatama musim 1987/1988 gagal membuat kejutan. Mereka terdampar di urutan buncit klasemen akhir. Pada musim berikutnya (1988/1989), mereka naik ke posisi tujuh klasemen. Pencapaian ini buah dari perekrutan beberapa pemain anyar eks Persib, seperti Dadang Kurnia dan Dede Iskandar. Sayangnya, tren positif mereka tak berlanjut di musim 1990 yang terpuruk di posisi 17. Di dua musim berikutnya (1990/1992 dan 1992/1993), mereka tetap menempati posisi bawah. Di musim pamungkas (1993/1994), mereka hanya bisa menghuni posisi delapan Wilayah Barat. Pada 1994, Bandung Raya reuni dengan Persib di Liga Indonesia, ajang yang menyatukan tim-tim Galatama dan Perserikatan. Masa keemasan Bandung Raya terjadi di musim kedua Liga Indonesia (1995/1996) di bawah asuhan Brigjen TNI IGK Manila. Perwira TNI AD itu tengah memimpin Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) Jatinangor, Sumedang. Manila dikenal luas dalam persepakbolaan sejak menjadi manajer tim nasional sepakbola di SEA Games Manila, Filipina tahun 1991. Dia sukses membawa timnas memetik medali emas kendati tanpa diperkuat beberapa bintangnya seperti Ricky Yacob dan Mustaqim. Prestasi ini hingga kini belum lagi bisa dicapai Tim Garuda. Awal mula Manila mengasuh Bandung Raya tak lepas dari permintaan Letjen TNI (Purn.) Suryatna Subrata. Mantan wakil gubernur Jawa Barat dan ketua KONI Jawa Barat ini salah satu investor Bandung Raya. Untuk memenuhi permintaan itu, Manila harus mendapatkan izin dari Menteri Dalam Negeri Yogie S. Memet. “Saya mau lapor, Pak. Saya mungkin melanggar perintah Bapak,” kata Manila dalam biografinya, IGK Manila: Panglima Gajah, Manajer Juara . Yogie sempat terperangah menatap Manila dan menanyakan apakah ada kasus di STPDN. “Siap, tidak ada. Hanya saja saya diminta membantu Bandung Raya. Padahal Bapak melarang saya aktif di olahraga (selama memimpin STPDN),” lanjut Manila. Awalnya, Manila pesimis diizinkan. Namun, jawaban yang didapatnya tak disangka-sangka. “Manila, kamu itu orang Bali. Urang Sunda tidak akan sembarangan minta bantuan. Kalau urang Sunda sudah minta bantuan sama kamu yang orang Bali ini, berarti mereka sudah percaya sama kamu. Pegang itu Bandung Raya, kerja yang bener,” kata Yogie. Manila terjun mengurusi Bandung Raya meski tidak tercatat dalam kepengurusan resmi klub, hanya jabatan semacam chief de mission. Pasalnya, dia masih menjabat pemimpin STPDN. Dana menjadi kendala dalam membangun Bandung Raya. Suntikan dana datang dari Masyarakat Transportasi Indonesia hasil lobi manajer Tri Goestoro dan Suryatna kepada Ketua PSSI, Azwar Anas yang merangkap Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Bandung Raya pun berubah nama menjadi Mastrans Bandung Raya kala terjun di Liga Indonesia musim 1995/1996. Setelah masalah dana terpecahkan, Bandung Raya tak kesulitan mendatangkan pilar-pilar yang dibutuhkan. Mereka mendatangkan pelatih Henk Wullems dari Belanda, pemain asing Olinga Atangana dari Kamerun dan Dejan Gluscevic dari Pelita Jaya yang tergeser oleh Roger Milla dari Kamerun. Diperkuat oleh Herry Kiswanto sebagai kapten, Nuralim, Surya Lesmana, Hendriawan, Budiman Yunus, Adjat Sudradjat, Alexander Sanunu, Peri Sandria, serta kiper Hermansyah, membuat Bandung Raya jadi salah satu tim yang ditakuti di Liga Indonesia selain PSM Makassar. Bandung Raya tampil sebagai juara Wilayah Barat dan lolos ke babak 12 besar. Tren positif mereka terus terpelihara sampai partai final kontra PSM Makassar di Stadion Senayan (kini Stadion Utama Gelora Bung Karno). Kagok Edan, Juara Sakalian! Begitu slogan Bandung Raya kala itu yang artinya “Kepalang gila, jadi juara sekalian”. Di final Bandung Raya jadi kampiun setelah menang 2-0 dari gol Peri Sandria dan Heri Rafni Kotari. “Bandung Raya memang juara, tapi Bandung Raya bukanlah Persib. Mereka sudah menjadi yang terbaik di Indonesia, tapi tidak ada peristiwa macet totalnya jalur Jakarta-Puncak-Bandung seperti yang dibuat bobotoh Persib akibat euforia gelar kampiun. Tidak ada pula pawai keliling Kota Bandung layaknya Persib menjadi juara semusim sebelumnya. Tapi kesuksesan itu tetap membuat bangga publik Bandung,” kata Manila. Di musim berikutnya Liga Indonesia (1996/1997), Bandung Raya tetap tampil trengginas, meski tanpa pelatih Henk Wullems yang melatih timnas PSSI dan ditinggal sponsor Mastrans yang beralih ke Pelita Jaya. Tim bebuyutan Bandung Raya itu juga meminta kembali Dejan Gluscevic. Dengan pelatih baru, Albert Fafie yang direkomendasikan Wullems, serta rekrutan anyar Stephen Weah, Bandung Raya tampil tak mengecewakan, meski harus puas jadi finalis. Di partai puncak pada 28 Juli 1997, mereka keok 1-3 dari Persebaya Surabaya. Di kompetisi berskala inernasional, Bandung Raya sempat mewakili Indonesia di Asian Winners Cup 1996/1997. Sukses menekuk Pahang FA asal Malaysia dengan agregat 5-1 di fase pertama Wilayah Asia Timur, sayangnya langkah mereka terhenti di fase kedua setelah kalah agregat 1-5 dari South China AA asal Hong Kong. Ini jadi masa terakhir Bandung Raya menghiasi persepakbolaan nasional. Pasalnya, mereka tak bisa lagi tampil dan mesti bubar lantaran krisis finansial. Pelatih Albert Fafie dan sejumlah pemainnya pindah ke Persija Jakarta. Bandung Raya bangit kembali pada 2011 setelah dikuasai PT Retower Asia, investor yang membeli 65 persen saham Bandung Raya lewat Komisaris PS Bandung Tri Goestoro. Selepas musim 2011/2012, PT Retower Asia mengakuisisi Pelita Jaya Karawang milik PT Nirwana Pelita Jaya. Bandung Raya berubah nama menjadi Pelita Bandung Raya ketika tampil di Liga Indonesia 2012 di Divisi III. Tatkala terjadi dualisme liga (Indonesia Super League dan Indonesia Premier League), Pelita Bandung Raya melonjak tampil di ISL 2013. Mereka hanya menempati posisi 15 dan harus playoff kontra Persikabo Bogor dari Divisi IV. Dalam pertandingan yang digelar di Stadion Manahan, Solo pada 22 September 2013 itu, mereka menang 2-1 berkat gol Mijo Dadic dan Gaston Castano. Di ISL 2014, Pelita Bandung Raya diperhitungkan di Wilayah Barat. Mereka bercokol di posisi empat dan lolos ke fase perdelapan final bersama Semen Padang, Persib Bandung dan Arema Malang sebagai juara Wilayah Barat. Setelah lolos ke semifinal, langkah mereka dihentikan Persipura Jayapura lewat dua gol tanpa balas dari Boaz Salossa. Pelita Bandung Raya kembali menghadapi masalah keuangan ketika sepakbola Indonesia disanksi FIFA. Mereka lantas merger dengan Persipasi Bekasi dan berubah nama menjadi Persipasi Bandung Raya selama satu tahun. Perjalanan Bandung Raya berakhir di Pulau Garam, Madura. “Medio 2016, Persipasi Bandung Raya dibeli tokoh sepakbola dan politisi Achsanul Qosasi dan berubah nama lagi menjadi Madura United (FC),” pungkas Manila.*






















