Hasil pencarian
9584 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Sekelumit Kisah Gedung Merdeka
TIBA-tiba Presiden Sukarno marah pada Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo dan Sekjen KAA Roeslan Abdulgani. Kemarahannya bermula saat dia temukan renovasi gedung yang semula bernama Concordia itu tak sesuai harapannya. Padahal penyelenggaraan KAA tinggal sebelas hari lagi. Menurut wartawan senior Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil: Petite Histoire Indonesiajilid 2 , keinginan Sukarno tak segera terlaksana karena Ali Sastroamidjojo tak segera mengucurkan dana renovasi sementara Roeslan tak bergegas menjalankan perintah Sukarno. “PM Ali tidak bersedia memberikan duit. Murah meriah saja. Dan Roeslan punya jadwal sempit,” tulis Rosihan. Menemukan gedung belum sempurna ditata saat menginspeksi persiapan KAA, Sukarno menyindir Ali tak bakal mampu membikin revolusi. “Dengan sarjana hukum (SH) orang tidak bisa membuat revolusi,” ujarnya sebagaimana dikutip Rosihan. Setengah bercanda, Sukarno mengejek Ali yang sarjana hukum. Menurut presiden yang terkenal pecinta karya seni itu renovasi yang dilakukan Ali hanya membuat gedung terlihat seperti ruang pengadilan. Dalam waktu yang serba mepet, akhirnya presiden menunjuk arsitek F Silaban untuk mendesain renovasi tersebut, sekaligus mengganti namanya menjadi Gedung Merdeka. Sukarno ingin menjadikan gedung itu tempat penyelenggaraan KAA yang megah dan membanggakan. Memang bukan perkara mudah menjadikan Gedung Concordia sebagai tempat KAA. Jauh sebelum dikuasai pemerintah, gedung tersebut berfungsi ajang sosialita warga elite Belanda di Bandung. Societeit Concordia , demikian nama klab orang kaya Belanda itu, selalu disambangi para pengusaha perkebunan. Setelah kemerdekaan, kepemilikan tetap ada di tangan mereka dan enggan melepaskan kepemilikannya kepada siapa pun. “Tetapi setelah mereka dihadapkan dengan kemungkinan pengambilalihan demi kepentingan negara, akhirnya gedung Concordia tersebut dijual kepada pemerintah,” kenang Ali Sastroamidjojo dalam Tonggak-Tonggak di Perjalananku . Penanda kota Bandung peninggalan era kolonial itu merupakan karya arsitektur Van Gallen Last dan CP Wolf Schoemaker itu berdiri pada 1895. Semasa pendudukan Jepang, Gedung Concordia berubah nama menjadi Dai Toa Kaikan. Pemerintah militer Jepang menggunakannya sebagai kantor propaganda dan pusat kebudayaan. Ketika Jepang kalah perang, gedung itu lalu kosong hingga era Republik Indonesia Serikat (RIS) berdiri, di mana Negara Pasundan memfungsikan Gedung Concordia menjadi gedung pertemuan. Bubarnya Negara Pasundan kembali membuat gedung terbengkalai. Oleh karena itulah ketika menjelang penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika, panitia lokal di bawah pimpinan Gubernur Jawa Barat Sanusi Hardjadinata memilih gedung Concordia dan Gedung Dana Pensiun (Pensioenfonds) menjadi dua gedung yang paling memungkinkan untuk dijadikan wahana perhelatan KAA.
- Sudan Belum Merdeka, Benderanya Sudah Berkibar di KAA
BEBERAPA minggu sebelum Konferensi Asia Afrika dimulai, Sekretariat Bersama memerlukan bendera-bendera negara peserta untuk dikibarkan di berbagai tempat, dari lapangan udara, jalan raya, sampai gedung-gedung. Ketika semua negara peserta sudah mengirimkan benderanya, Sudan belum juga memberikan benderanya, sekalipun diminta berkali-kali melalui kawat (telegram). “Rupanya karena Sudan belum merdeka penuh, maka mereka belum mempunyai bendera nasional. Akhirnya kita putuskan saja untuk mengibarkan sebuah bendera putih dengan tulisan Sudan warna merah di tengah-tengahnya,” kata Roeslan Abdulgani, sekretaris jenderal KAA, dalam The Bandung Connection . Sekretariat Bersama memberitahukan keputusan tersebut melalui telegram ke pemerintah Sudan di ibukota Khartum. Ali Sastroamidjojo, ketua KAA sekaligus perdana menteri Indonesia, terperanjat waktu mengetahui keputusan Sekretariat Bersama tersebut. Dia menegur Roeslan dan mengingatkan bahwa pemerintah Sudah tentu akan tersinggung. “Sebab menentukan bendera nasional adalah atribut pokok dari bangsa itu sendiri. Bukan dari Joint Secretariat (Sekretariat Bersama, red ). Emosi bangsa terhimpun dan tersimpan di dalamnya. Seperti halnya dengan Lagu Kebangsaannya,” tegas Ali. “Saya agak ngeri juga mendengarkan teguran Pak Ali Sastroamidjojo ini,” kata Roeslan. Roeslan akhirnya bisa bernapas lega. Sekretariat Bersama menerima balasan dari pemerintah Sudan yang menyetujui bendera buatan panitia itu. “Selama konferensi, Sudan mengibarkan bendera ‘ciptaan’ kita,” kata Roeslan. Rosihan Anwar, wartawan yang meliput KAA, melihat langsung bendera Sudan yang beda dari negara-negara lain. Bendera negara-negara peserta berkibar di Jalan Asia Afrika Bandung. “Sebuah negara Afrika yang baru merdeka, Sudan, belum punya bendera sendiri, tetapi sekjen konferensi Roeslan Abdulgani tidak kehabisan akal. Ia bikin bendera sendiri untuk Sudan, sehelai kain putih yang bertulisan Sudan,” catat Rosihan dalam Sejarah Kecil “petite histoire” Indonesia Volume 2 . Sudan menghadiri KAA dalam status negara merdeka tapi belum sepenuhnya. Hal ini dikemukakan ketua delegasi Sudan, Perdana Menteri Sayed Ismail El Azhari, dalam sambutannya, “Lebih dari limapuluh tahun, Sudan berada di bawah kekuasaan asing dan belum lama, benar-benar lepas dari genggamannya…konferensi ini menjadi upaya pertama kami menjalankan kedaulatan dan kemerdekaan kami di luar negeri.” Bendera kebangsaan Sudan baru dikibarkan dalam upacara kemerdekaan pada 1 Januari 1956, dikerek langsung oleh Sayed Ismail El Azhari.
- Daftar Nama Tokoh Indonesia yang Jadi Nama Jalan di Belanda
Nama aktivis hak asasi manusia, Munir Said Thalib, atau yang lebih akrab dikenal dengan nama Munir, akan diabadikan sebagai nama jalan di kota Den Haag, Belanda. Suciwati, istri almarhum Munir mengatakan peresmian nama tersebut akan dilaksanakan pada hari Selasa, 14 April 2015. Adapun nama Munir rencananya akan disematkan untuk sebuah jalur sepeda dalam kota dengan nama Munirpad . Pada 7 September 2004, Munir bertolak dari Jakarta menuju Amsterdam untuk menempuh pendidikan masternya. Namun dalam perjalanan udara, ia tewas diracun. Pelakunya adalah Pollycarpus Budihari Priyanto, mantan pilot Garuda Indonesia yang belakangan juga diketahui berprofes sebagai spion. Sudah jadi rahasia umum pembunuhan Munir adalah cara menutup mulut kritis aktivis kelahiran Malang tersebut. Munir meninggal pada usia 39 tahun. Munir bukan tokoh pertama yang namanya diabadikan jadi nama jalan. Relasi historis Belanda-Indonesia membuat beberapa nama tokoh Indonesia tersemat sebagai nama jalan di negeri kincir angin tersebut. Berikut beberapa nama tokoh Indonesia yang diabadikan sebagai nama jalan di Belanda. Thomas Matulessy (Pattimurastraat) Thomas Matulessy, atau yang lebih dikenal dalam sejarah sebagai Pattimura (1783-1817), disematkan sebagai nama jalan di Wierden, Pattimurastraat , pada 2011 sebagai cabang dari jalan lain, Jan Jansweg . Penyematan nama itu diusulkan oleh komunitas Maluku telah menetap di Wierden sejak beberapa dekade lalu. Pattimura adalah seorang kelahiran Ambon yang memimpin pemberontakan terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda di Maluku. Pada 16 Mei 1817 ia memimpin penyerangan ke Benteng Duurstede di Saparua, Maluku, dan berhasil merebutnya. Setelahnya ia ditasbihkan sebagai pemimpin orang-orang Maluku dalam menghadapi pemerintah kolonial. Setelah dikhianati oleh Raja Booi, Pati Akon, Pattimura tertangkap dan dihukum gantung pada 16 Desember 1817. Martha Christina Tiahahu (Martha C. Tiahahustraat) Namanya disematkan di area pemukiman dan waktu yang sama dengan Pattimurastraat di Wierden. Martha Christina Tiahahu (1800-1818) diabadikan sebagai Martha C. Tiahahustraat yang letaknya dapat ditemukan begitu keluar dari jalan Pattimurastraat . Sejak kecil Tiahahu sudah aktif dalam kegiatan militer melawan pemerintah kolonial. Ia tergabung bersama pasukan Pattimura dan ikut dalam beberapa pertempuran bersamanya. Sempat tertangkap pada 1817, ia kemudian dilepaskan oleh Belanda karena masih dianggap anak-anak. Namun Tiahahu terus melawan, sampai ia akhirnya ditangkap kembali dan dikirim ke Jawa untuk bekerja paksa. Tiahahu meninggal di perjalanan pada usia 17 tahun. Seperti Pattimura, namanya harum sebagai tokoh perlawanan yang penting dalam komunitas masyarakat Maluku. R.A. Kartini (R.A Kartinistraat dan Kartinistraat) Surat menyurat yang dilakukan dengan teman-temannya di Eropa membuat nama Raden Ayu Kartini (1879-1904) harum di tengah masyarakat Belanda. Pada tahun 1911, kumpulan suratnya dibukukan dengan judul Door Duisternis tot Litch (Habis Gelap Terbitlah Terang). Pandangan kritisnya terhadap situasi perempuan di Jawa kala itu mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi. Dan bagi pemerintah Indonesia Kartini dianggap sebagai pelopor kebangkitan kaum perempuan Indonesia. Nama Kartini disematkan di empat kota berbeda. Ada R.A Kartinistraat di kota Utrecht yang merupakan salah satu jalan utama. Lalu Kartinistraat di pemukiman Zuiderpolder di Haarlem. Begitu juga dengan Kartinistraat , sebuah jalan yang berbentuk lingkaran di Venlo. Terakhir, nama Kartini disematkan dengan lengkap sebagai nama jalan di wilayah Zuid-oost Amsterdam, Raden Adjeng Kartinistraat , yang menghubungkan Emmeline Pankhurstsraat dengan Bijlmerdreef. Mohammad Hatta (Mohammed Hattastraat) Mohammad Hatta (1902-1980) pergi ke Belanda pada tahun 1921 untuk melanjutkan studi ekonominya di Rotterdam. Hatta tinggal di Belanda sampai tahun 1932, yang ia isi tidak hanya dengan belajar namun juga turut aktif dalam pergerakan melalui Perhimpunan Indonesia. Sekembali ke tanah air, Hatta tetap meniti garis perjuangan dan terlibat beberapa kali dalam berbagai perundingan antara Indonesia dengan Belanda, baik itu dalam kapasitasnya sebagai Wakil Presiden Indonesia (1945-1956) atau sebagai Perdana Menteri Indonesia (1948-1950). Nama Hatta tersemat di jalan pemukiman Zuiderpolder di kota Haarlem. Mohammed Hattastraat , jalan kecil dengan deretan gedung di sisi kiri dan pepohonan rindang di sisi kanannya tersebut berakhir di sebuah perempatan antara Vrijheidsweg dan Salvador Allendestraat. Robbert Christiaan Steven Soumokil (Chris Soumokilstraat) Salah satu nama yang kontroversial dalam sejarah Indonesia. Chris Soumokil (1905-1966) sempat belajar hukum di Universitas Leiden dan lulus pada tahun 1934. Saat Perang Pasifik pecah, Soumokil ditawan dan dikirim ke Burma dan Siam. Ia kemudian menjadi jaksa agung dalam pemerintahan Negara Indonesia Timur (NIT), sebelum akhirnya mendirikan Republik Maluku Selatan (RMS) pada tahun 1950 dan menjadi presidennya. RMS memberontak pemerintahan Indonesia dan pada tahun 1963 ia tertangkap dan dieksekusi mati setahun setelahnya. Jalan atas nama Chris Soumoukil terdapat di dua kota, Wierden dan Haarlem. Seperti Pattimurastraat , Chris Soumokilstraat tersambung dengan jalan Martha C. Tiahahustraat di pemukiman komunitas Maluku, Wierden. Yang kedua terletak di kota Haarlem dan disematkan pada tahun 1987, masih di komplek pemukiman Zuiderpolder. Chris Soumokilstraat tersambung dengan Kartinistraat dan Mohammed Hattastraat . Sutan Sjahrir (Sjahrirstraat) Sutan Sjahrir (1909-1966) sempat mengenyam pendidikan hukum di Universitas Amsterdam dan Universitas Leiden. Di sana ia mendalami sosialisme dan aktif dalam wacana kaum pergerakan bersama Perhimpunan Indonesia dan Mohammad Hatta. Di masa perjuangan kemerdekaan, bersama dengan Hatta, Sjahrir sebagai Perdana Menteri Indonesia pertama (1945-1947) menjadi sosok terdepan diplomasi Indonesia melawan Belanda di pentas politik internasional. Nama Sjahrir harum di Belanda sebagai seorang "ksatria politik terhormat dengan idealisme yang tinggi", sebagaimana disematkan oleh Wim Schermerhorn, mantan Perdana Menteri Belanda (1945-1966) pada 1966 sesaat setelah kematian Sjahrir. Wim adalah sahabat dekat Sjahrir semenjak masa-masa mahasiswa di Belanda. Tiga kota di Belanda menyematkan nama Sjahrir. Di Leiden, kota bekas Sjahrir menimba ilmu, Sjahrirstraat membentang lurus bersinggungan dengan Gandhistraat sebelum tersambung ke Martin Luther Kingpad. Di kota Gouda, ada Sjahrirsingel yang menyambungkan Sacharovstraat dengan Gandhiweg. Nama terakhir terletak di permukiman Zuiderpolder di Haarlem, Sutan Sjahrirstraat , dinamakan pada 1987, yang menyambungkan jalan Mohammed Hattastraat dengan Chris Soumokilstraat . Irawan Soejono (Irawan Soejonostraat) Ia seorang mahasiswa Indonesia yang datang ke Belanda pada tahun 1934 untuk menempuh studi di Universitas Leiden, dan ketika Perang Dunia II pecah dan Belanda diduduki Jerman (1940-1945) ia ikut melawan fasisme sebagai pasukan bawah tanah. Namanya Irawan Soejono (1919-1945). Ia aktif dalam penerbitan surat kabar propaganda anti fasis, De Bevrijding (Pembebasan) dan ikut pula tergabung dalam satuan tempur mahasiswa Indonesia di Belanda (Barisan Mahasiswa Indonesia). Namanya terkenal di kalangan gerakan perjuangan bawah tanah, sampai ia dijuluki sebagai Henk Van de Bevrijding . Irawan tewas ditembak oleh tentara Nazi-Jerman pada 13 Januari 1945. Namanya diabadikan oleh pemerintah Amsterdam pada 4 Mei 1990 di wilayah Osdorp sebagai Irawan Soejonostraat . Jalan itu menghubungkan Rudi Bloemgartensingel dan Trijn Hullemanlaan, juga diapit oleh Geertruida Van Lierstraat dan Jacob Paffstraat.
- Kisah Tragis Akhir Hidup Bapak Film Nasional
USMAR Ismail ditahbiskan sebagai Bapak Film Nasional. Dia mendirikan Perfini (Pusat Film Nasional Indonesia) dan pada 30 Maret 1950 memulai shooting pertama filmnya, Darah dan Doa di Purwakarta. Tanggal 30 Maret kemudian ditetapkan sebagai Hari Film Nasional. Selama hidupnya, antara tahun 1950-1970, Usmar Ismail membuat 33 film layar lebar: drama (13 film), komedi atau satire (9 film), aksi (7 film), musical/entertainment (4). Namun, ada satu film yang membuatnya tertekan dan berakhir dengan kematiannya. Menurut Rosihan Anwar, wartawan senior dan ipar Usmar Ismail, tidak semua publik tahu tentang cerita tragis yang dialami Usmar Ismail dan yang membawanya kepada kematian relatif muda. “Usmar meninggal dunia dalam usia belum genap 50 tahun. Walaupun Usmar tidak pernah membicarakannya dengan saya, namun saya pikir dia telah mengalami kekecewaan berat dan stress akibat joint-production Perfini dengan sebuah perusahaan film Italia membuat film cerita dengan lokasi Bali,” tulis Rosihan dalam “Di Balik manusia Komunikasi,” tulisan persembahan untuk 75 Tahun M. Alwi Dahlan, kemenakan Usmar Ismail. Pada 1970, Usmar Ismail, sebagai direktur Perfini bekerjasama dengan International Film Company dari Italia, membuat film Adventures in Bali . Namun, proses produksi dan setelah film jadi, bermasalah. Dalam surat pembaca di majalah Ekspres , 21 Desember 1970, Usmar mengakui, “untuk diketahui perlu juga kami menjelaskan bahwa dalam usaha kerjasama ini ternyata pihak Perfini telah banyak sekali dikecewakan oleh pihak Italia, terutama mengenai penyelesaian soal honorarium artis dan karyawan, soal mengenai biaya hotel yang sekarang dibebankan kepada Perfini.” Menurut perjanjian, kata Rosihan, nama Usmar sebagai sutradara akan dicantumkan dalam versi film yang diedarkan di Eropa. “Ternyata waktu Usmar berkunjung ke Roma melihat penyelesaian film Bali itu namanya sama sekali tidak disebut. Usmar sudah ditipu oleh produser Italia,” kata Rosihan. Pada 31 Desember 1970, Usmar pulang dari Italia untuk mengurus kopi film Adventure in Bali, yang ternyata untuk peredaran di Indonesia tidak dikirim. Film ini dirilis dengan judul Bali pada 1971, namun gagal menggaet penonton. Film ini kemudian diedit ulang oleh sutradara Ugo Liberatore dan Paolo Heusch, dan diberi judul baru, Incontro d’amore a Bali . Sementara itu, Usmar sedang berjuang mempertahankan Perfini, meskipun untuk menggaji karyawan harus melego peralatan studio. Sudah jatuh tertimpa tangga. Setiba di Indonesia, Usmar merumahkan 160 karyawannya di PT Ria Sari Show & Restaurant Management di Miraca Sky Club, karena bisnis yang dibangunnya sejak 1967 itu dilikuidasi oleh toko serba ada, Sarinah. Malamnya, Usmar masih sempat menyelesaikan dubbing film terakhirnya, Ananda di studio Perfini. Setelah itu, menjelang pergantian tahun, seperti biasa dia mengajak keluarga dan sahabat-sahabatnya ke Miraca Sky Club. Dia mengadakan perpisahan dengan karyawannya. “Saya terkejut, karena pada malam tahun baru, Usmar, saya dan Aboe Bakar Loebis beserta masing-masing istri masih kumpul di Miraca Sky Club di mana Usmar menjadi manajernya," kata Rosihan. Tidak biasa, Usmar mengajak semua bawahannya berfoto. Dia memeluk satu per satu istri kolega dan bawahannya untuk mengucapkan selamat tahun baru sekaligus kata-kata perpisahan. Dia juga menghendaki sahabat-sahabatnya untuk tetap duduk di dekatnya. “Yang dianggap paling aneh, Usmar yang ketika muda pernah belajar dansa, malam itu ber- soul sendiri,” tulis Rita Sri Hastuti dalam “Mengenang 40 Tahun Kepergian Usmar Ismail dari Darah dan Doa,” lsf.go.id , 14 Maret 2011. Esok sorenya pukul 17.00 Usmar tak sadarkan diri karena pendarahan di otak. “Ada pikiran untuk mengadakan operasi di otaknya. Namun, untuk itu tidak mungkin lagi,” kata Rosihan. Usmar meninggal pada 2 Januari 1971 dan dimakamkan di TPU Karet Jakarta.
- Inilah Asal-Usul Profesi Tukang Catut
MENYAMBUT Hari Film Nasional pada 30 maret 2015, sejumlah bioskop memberi promo bagi calon penonton film nasional pada hari-H. Calon penonton cukup beli satu tiket untuk nonton dua film nasional. Tawaran lain berupa kemudahan pembelian tiket bioskop secara online , tak perlu mengantre. Tapi puluhan tahun silam, tiket bioskop jadi lahan subur tukang catut. Sejak kapan profesi tukang catut karcis bioskop dimulai? Kerja mencatut kali pertama muncul pada masa pendudukan Jepang. “Orang yang jadi catut memang bukan sengaja. Karena itu tempo memang banyak yang tidak kerja,” tulis Piso Tjoekoer (kemungkinan nama samaran) dalam Warisan Djepang terbitan 1946. Mingguan Djaja , 4 Mei 1963, bahkan menyebut inilah awal masa merajalelanya tukang catut di negeri ini. Liberty , 1 April 1946, mendeskripsikan mencatut sebagai “gampangnya mendapat untung besar… lantas orang jadi tidak suka berusaha putar otak lebih keras atau gunakan tenaga urat lebih banyak buat mencipta apa-apa yang kekal.” Tukang catut hadir di segala tempat. Termasuk bioskop. Ini terekam dalam film Tiga Dara buatan Usmar Ismail, sutradara sohor Indonesia, pada 1956. Toto dan Nenny, sepasang muda-mudi, datang ke bioskop pada malam hari. Mereka agak telat. Calon penonton telah mengantre hingga luar bioskop. Toto dan Nenny berada di baris paling belakang. Belum lama mereka mengantre, petugas loket bilang tiket habis. Toto dan Nenny lekas ke parkiran bioskop. Seorang lelaki tukang catut menawarkan tiket bioskop ke mereka. Harganya tiga kali lipat ketimbang harga normal di semua kelas tempat duduk: loge (kelas satu), stalles (kelas dua), kelas kambing (kelas tiga), dan kelas balkon (khusus). Firman Lubis (alm), seorang dokter dan penulis, punya gambaran serupa dengan Usmar Ismail tentang tukang catut. Saat masih remaja pada 1950-an, dia sering nonton di bioskop. Jika film lagi bagus dan bintangnya pun terkenal, bioskop bakal ramai. Tukang catut pun bersliweran di bioskop. “Mereka sudah mengantre duluan di depan, atau menyelak (biasanya mereka berkelompok sehingga orang tidak berani menegur) begitu saja ke depan,” tulis Firman dalam Jakarta 1960-an . Untuk menjadi tukang catut, orang harus punya keahlian beladiri dan keberanian. Firman menyebut beberapa nama tukang catut sohor pada masa itu. Antara lain si Jaim alias Eddy dan Lorens. Kehadiran mereka bikin beberapa calon penonton kesal. Sebab “Harga yang mereka tawarkan bisa berlipat dua, tergantung ramainya orang yang mau menonton,” tulis Firman. Sementara sebagian calon penonton dari kalangan atas justru mencari mereka. Berapapun harga tiket, calon penonton ini pasti membeli. Lagi pula calon penonton ini enggan capek-capek mengantre lama. Menilai sepak terjang tukang catut lebih banyak merugikan orang, pemilik bioskop di Jakarta meminta bantuan polisi mengawasi catut pada 1960-an. “Di Bioskop Menteng, alat-alat negara bukan saja menjaga keamanan dan keberesan penjualan karcis bioskop dari luar loket, tetapi juga dari dalam loket,” tulis Djaja . Menghadapi penjagaan ketat, tukang catut tak kehilangan akal. Mereka bekerja sembunyi-sembunyi. Strategi ini berhasil. “Tukang catut masih saja sempat berbisik-bisik ke telinga penonton yang tidak kebagian karcis: loge…loge… stalles…stalles! ” tulis Djaja . Ali Sadikin, Gubernur Jakarta, turun tangan mengatasi tukang catut pada 1970. Dia bilang butuh kerjasama menghadapi tukang catut. Dia berjanji bakal menurunkan harga tiket bioskop. Sebaliknya, dia juga meminta calon penonton jangan malas antre. Dengan cara ini, tukang catut perlahan menghilang dari bioskop. Beralih ke tempat lain seperti terminal dan stasiun kereta api.
- Begal Dulu Begal Sekarang
Prabu Jayabaya, raja Kediri, telah meramalkan bahwa begal pada ndhugal, rampok padha keplok-keplok. Ramalan tersebut ditafsirkan oleh Sindung Marwoto dalam Ramalan Prabu Jayabaya: Mengungkap Tanda-tanda Zaman sebagai berikut: "Pencopet, perampok, perompak, maling dan sejenisnya semakin kurang ajar. Dia melakukan aksinya dengan sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Ia menjarah-rayah harta orang lain dengan semena-mena. Ia bersorak-sorai karena menjarah dan merampok semakin mudah dan hasilnya semakin banyak, risiko perbuatan mereka semakin kecil. Kalau toh tertangkap dan masuk penjara, mereka dengan sangat mudah menyuap pejabat hukum untuk melepaskan.” Begal (bahasa Jawa) merupakan istilah klasik dalam dunia perbanditan di Jawa. Begal, menurut sejarawan Wasino dalam Kapitalisme Bumiputera , merupakan pencurian oleh penjahat dengan cara menghadang korban di tengah jalan. Selain begal, sejarawan Suhartono mencatat istilah lain yaitu perampok, penyamun, kecu , koyok , dan culeng . Kecu dan rampok terdiri dari kawanan yang lebih dari 20 orang, koyok lebih dari 5 orang, dan culeng lebih dari tiga orang. “ Maling atau pencuri dan begal, meskipun sering dilakukan lebih dari seorang dapat digolongkan resistensi individu. Yang jelas sasaran mereka adalah individu pula yang merugikan petani. Mereka digolongkan kejahatan kecil, sedangkan rampok dan kecu termasuk kejahatan besar atau kejahatan serius,” tulis Suhartono dalam Bandit-bandit di Pedesaan Jawa. Suhartono menganggap perbanditan di Jawa muncul akibat resistensi terhadap kemiskinan, tekanan pajak, kerja wajib, dan tekanan sosial-politik. “Menurut kacamata pemerintah kolonial resistensi ini sebagai kejahatan yang dilakukan para penjahat atau bandit,” tulisnya. Sebagai contoh, Sunan Kalijaga pada masa mudanya menjadi begal karena resistensi terhadap keadaan memprihatinkan rakyat kadipaten Tuban. Dia membegal untuk membantu rakyat miskin. Berdasarkan kesadaran politik, menurut Suhartono, resistensi berupa perbanditan dibedakan menjadi gerakan belum sadar politik, setengah sadar, dan sadar sepenuhnya. Resistensi yang sadar sepenuhnya mewujud dalam bentuk gerilya dan pemberontakan. Resistensi setengah sadar dilakukan oleh individu maupun kelompok yang diwujudkan dalam perampokan dan pengkecuan. “Gerakan yang tidak sadar lebih didominasi oleh tindak kejahatan semata-mata yang diwujudkan dalam pencurian, begal, dan sejenisnya,” tulis Suhartono. Di Jawa, Suhartono menguraikan realisasi dari resistensi berupa “pembakaran kebun tebu, los tembakau, saluran irigasi, perusakan gudang dan bangunan lain, pencurian, pambegalan, dll.” Sementara itu, Wasino melihat perbanditan di Jawa sebagai tindak kejahatan biasa, bukan karena resistensi. Munculnya kecu sampai begal dapat berlangsung di sepanjang bulan dalam siklus setahun. Akan tetapi, data kepolisian di kabupaten dan kota Mangkunegaran menunjukkan bahwa kecu selalu muncul dalam bulan-bulan paceklik, misalnya bulan September. Pada 1919-1921 di setiap September selalu ada sekali peristiwa kecu . Sementara bulan April dan Juli tidak selalu terjadi. “Hal yang sama juga pada kasus perampokan di jalan (begal),” tulis Wasino. Sedangkan kasus pencurian hewan (raja kaya), mengalami penurunan pada bulan Juli. Ini terkait dengan tersedianya lapangan pekerjaan di wilayah perkebunan tebu saat musim tanam tebu. “Dengan demikian,” Wasino menyimpulkan, “bisa dikatakan bahwa motif pengkecuan dan pembegalan adalah motif ekonomi.”
- Nabi Muhammad Perangi Pengkhianat
Gagal menaklukkan Madinah dan umat Islam yang dimulai pada 31 Maret 627, pasukan Abu Sufyan, pemimpin suku Quraisy di Mekah, menarik diri dari pengepungan berlarut-larut, yang menandakan kemenangan umat Islam di Madinah. Umat Islam kemudian mengalihkan perhatiannya kepada suku Quraizah. Suku Quraizah adalah satu dari tiga suku Yahudi yang menetap di Madinah, sebelum kedatangan umat Islam yang mengungsi dari Mekah. Yang lainnya adalah suku Nadir dan Qainuqa. Nabi Muhammad meneken Piagam Madinah tahun 622 untuk mengikat beragam komunitas di Madinah, termasuk Yahudi, agar hidup berdampingan di Madinah. Namun ketika suku Nadir dan Qainuqa mengkhianati perjanjian itu, mereka pun diusir dari Madinah. Keduanya kemudian bergabung dengan pasukan Abu Sufyan. Pada Perang Parit, suku Quraizah berniat memberontak dengan menyerang umat Islam dari dalam. Namun Muhammad berhasil menggagalkan persekongkolan mereka dengan pasukan penyerang. “Orang-orang Islam secepatnya memobilisasi dan menyerang pertahanan orang-orang Yahudi itu. Suku Quraizah menahan serangan, yang dipimpin oleh Ali, selama 25 hari. Sampai akhirnya mereka menyadari bahwa mereka tidak bisa menang dan meminta untuk bernegosiasi,” tulis Yahiya Emerick dalam Critical Lives: Muhammad. Buku-buku yang ditulis penulis Barat menyebutkan bahwa Nabi Muhammad kemudian memerintahkan mengeksekusi mati sekitar 600-900 laki-laki Quraizah karena telah melanggar Piagam Madinah dan bersekongkol dengan musuh. Peristiwa ini kemudian menjadi perdebatan di antara sejarawan Islam di masa modern. Philip K. Hitti agaknya memilih moderat dengan menyebut 600 orang Quraizah tewas akibat diserang. “Setelah pengepungan berakhir, Muhammad menyerang orang-orang Yahudi karena ‘bersekongkol dengan pasukan penyerang’ yang mengakibatkan terbunuhnya 600 orang suku utama Yahudi, Banu Quraizah, dan sisanya yang masih hidup, diusir dari Madinah,” tulisnya dalam History of the Arabs . Setelah kemenangan di Perang Parit, Madinah menjadi basis umat Islam. Nabi Muhammad kemudian menundukkan suku-suku Arab yang masih menyembah berhala tanpa bisa dihalangi oleh Mekah. “Pasukan Muslim hampir selalu menang dalam serangan-serangan tersebut, dan suku-suku Arab yang kalah menerima otoritas Muhammad. Suku-suku lain, mendengar kekuatan Muhammad yang kian besar, berdatangan ke Madinah dengan sendirinya untuk menjalin aliansi dan bersumpah untuk mengikuti sang nabi,” tulis Gabriel Said Reynolds dalam The Emergence of Islam: Classical Traditions in Contemporary Perspective . Pada periode Madinah ini, tulis Philip K. Hitti, Arabisasi atau nasionalisasi Islam dilakukan. “Nabi baru itu memutuskan ketersambungan Islam dengan agama Yahudi dan Kristen: Jumat menggantikan Sabat (Sabtu, red. ), azan menggantikan suara terompet dan gong, Ramadan ditetapkan sebagai bulan puasa, kiblat (arah salat) dipindahkan dari Yerusalem ke Mekah, ibadah hajike Ka’bah dibakukan dan mencium Batu Hitam –ritual pra-Islam– ditetapkan sebagai ritual Islam.”
- Siasat Jitu Perang Khandaq
Pada 31 Maret 627, pasukan persekutuan (al-ahzab) pimpinan Abu Sufyan asal Mekah tiba di Madinah. Namun, alangkah terkejut mereka ketika melihat sekeliling Madinah telah dibentengi dengan parit-parit yang dalam. Abu Sufyan, yang memusatkan daya gedornya pada pasukan kavaleri, hanya bisa keheranan melihat strategi perang yang tak biasa di tanah Arab tersebut. Karena itulah perang ini disebuat Perang Parit atau Perang Khandaq. Perang Parit dipicu kebangkitan umat Islam Madinah yang menurunkan pamor Mekah sebagai pusat keagamaan dan dagang utama di jazirah Arab. Hal ini membuat Abu Sufyan, pemimpin suku Quraisy di Mekah, geram. Dia menghimpun pasukan dari berbagai suku di Mekah, suku Yahudi, serta tentara bayaran dari suku Badui dan Abissinia, untuk menaklukkan Madinah dan umat Islam. Sekira 10.000 prajurit terkumpul, jumlah terbesar di seluruh Arab saat itu. Nabi Muhammad mengumpulkan pengikutnya untuk mendiskusikan strategi perang. Ide melindungi kota dengan membangun parit ditelurkan seorang Persia, Salman al-Farisi. Sekira 3.000 prajurit yang mempertahankan kota dikerahkan untuk membangun parit selama enam hari. Parit dalam bahasa Arab (khandaq) berasal dari bahasa Persia ( kandan artinya menggali), melalui bahasa Aramaik. “Menghadapi kekuatan yang begitu besar, kelihatannya tidak mungkin penduduk Madinah akan berhasil mempertahankan diri,” tulis Irving M. Zeitlin dalam The Historical Muhammad . “Tapi seorang Persia menyarankan Muhammad untuk menggali parit di sekitar Madinah, sebuah inovasi militer yang menurut orang-orang Arab Badui itu sebagai taktik paling curang yang pernah mereka hadapi.” Hal itu karena tradisi pertempuran antara dua pasukan selalu terjadi di tanah terbuka. Mereka tidak terbiasa menghadapi musuh yang bertahan di dalam kota. Menghadapi situasi perang yang terbilang baru itu, pasukan Abu Sufyan hanya bisa membangun kemah untuk mengepung. Salah satu dari mereka, Amr bin Wadd, sempat meloncati parit dan mencapai tengah kota sebelum akhirnya tewas setelah berduel dengan Ali bin Abi Thalib, sepupu Muhammad. “Tidak percaya dengan taktik perang semacam itu, yang menurut orang-orang Badui merupakan tindakan paling tidak jantan yang pernah mereka lihat, pasukan penyerang akhirnya bergerak mundur pada akhir April 627, setelah jatuh korban sebanyak 20 orang dari kedua pihak,” tulis Philip K. Hitti dalam History of the Arabs . Pengepungan berlangsung selama 27 hari dan terasa begitu menyiksa bagi pasukan penyerbu yang hanya bisa menunggu di tengah dinginnya gurun. Selain itu, usaha persekongkolan mereka dengan satu suku Yahudi yang tersisa di Madinah, suku Qurayza, pun tak ada kabarnya. Ternyata, Muhammad sudah mencium benih pemberontakan itu.
- Candrasengkala Prasasti Batutulis
ADOLF Winkler, seorang kapten VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur), dibantu seorang ahli ukur, 16 pasukan Eropa, dan 26 orang Makassar, melakukan ekspedisi untuk membuat peta lokasi “bekas kerajaan Pajajaran”. Pedomannya: hasil laporan ekspedisi pertama pasukan VOC yang dipimpin Sersan Scipio tiga tahun sebelumnya. Pada 25 Juni 1690, rombongan Winkler tiba di daerah yang kini dikenal dengan daerah Batutulis, Bogor. Mereka mendapati batu prasasti setinggi dua hasta yang memuat informasi penting terkait sejarah Sunda Kuna. Winkler mencatat temuannya dalam Daghregister 1690 . Laporan Winkler memantik perhatian orang-orang Eropa untuk menyelidiki lebih lanjut prasasti Batutulis. Hasil penyelidikan mereka hanya membahas letak dan betuk prasasti Batutulis. Penelitian epigrafis baru dilakukan Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles pada 1817, yang dituangkan dalam karya monumental, The History of Java . Raffles melampirkan transkripsi prasasti Batutulis sebagai objek penyelidikannya, namun dia menyebut kondisi prasasti itu kurang baik. Sarjana Belanda, R. Friederich, menentang pendapat itu. Dalam “Verklaring van den Batoe-toelis van Buitenzorg,” dimuat jurnal Tijdschrift voor Indische taal-, land-, en volkenkunde , I. 1853, dia menganggap prasasti itu masih layak baca. Walaupun hasil kajiannya menyisakan celah soal transliterasi, dia merupakan perintis kajian isi prasasti Batutulis. Dia membuat alih aksara dan terjemahan ke bahasa Belanda lengkap dengan transkripsinya pada 1853. Prasasti Batutulis, yang memuat teks beraksara Jawa Kuna dalam sembilan baris susunan dan berbahasa Sunda Kuna, tak seluruhnya menampilkan bentuk aksara yang tampak dan ajeg. Satu aksara di depan frasa ban yang hanya tampak tanda diakritik ( pepet ) merupakan objek yang kerap diperdebatkan dan ditafsir ulang para ahli. Pasalnya ia berkaitan dengan candrasengkala atau atau kronogram (gambaran waktu dalam penentuan angka tahun) prasasti Batutulis. Candrasengkala itu berbunyi panca pandawa ban bumi . Dalam “Het jaartal op den Batoe-toelis nabij Buitenzorg”, jurnal Tijdschrift voor Indische taal-, land-, en volkenkunde , LIII, 1911, etnolog Belanda, CM Pleyte, menafsirkan aksara yang tidak terbaca di depan kata ban adalah huruf Ä›, kemudian dia menyisipkan huruf m , menjadi emban ( Ä›(m)ban ). Pleyte memberi taksiran bahwa kata emban beroleh angka empat berdasar jumlah panakawan: Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Dengan demikian jumlah sengakalan itu; panca (5), pandawa (5), emban (4), dan bumi (1). Jadi, prasasti Batutulis bertarikh 1455 Çaka atau 1533 M. Taksiran angka tahun Pleyte disanggah sejarawan Hoesein Djajadiningrat. Dia menjadi bumiputera pertama yang mengkaji prasasti Batutulis, dalam disertasi Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten pada 1913 di Rijksuniversiteit Leiden. Tanpa alasan pasti, Hoesein berpendapat bahwa ngemban lebih patut berangka tiga. Sehingga, angka tahun prasasti Batutulis ialah 1355 Çaka atau 1433 M. Pendapat lain dipaparkan ahli epigrafi Poerbatjaraka. Dalam “De Batoe-Toelis bij Buitenzorg” jurnal TBG (Tijdschrift Bataviaasch Genootschap), 59, 1920, dia menyebut frasa ngemban adalah dua. Dasarnya, arti kata ngemban yang bermakna menggendong atau mengemban/mengutus selalu berjumlah dua: menggendong dan yang digendong, mengutus dan yang diutus. Jadi, tarikh prasasti Batutulis ialah 1255 Çaka atau 1333 M. Hasan Djafar, ahli epigrafi yang kerap mengkaji prasasti masa kerajaan Sunda, mencoba menjernihkan silang pendapat para ahli. Dia menyelaraskan angka tahun yang dipaparkan para ahli dengan masa bertahta raja yang mengeluarkan prasasti Batutulis. Bila merujuk pendapat Hoesein, angka tahun Batutulis bertepatan dengan masa Niskala Wastukancana bertahta (1363-1467). Sedangkan pendapat Poerbatjaraka justru menempatkan prasasti Batutulis pada masa Prabu Maharaja (1350-1357) yang tewas di tanah lapang Bubat. Kedua pendapat itu, menurut Hasan, berbeda jauh dari informasi dalam prasasti. Isi prasasti Batutulis menyebut bahwa prasasti dibuat pada masa Prabu Surawisesa bertahta untuk mengenang jasa-jasa Prabu Ratu, cucu dari Niskala Wastukancana yang mangkat di Nusalarang. Prabu Ratu dinobatkan dengan nama Prabu Dewataprana, dan kembali dinobatkan bernama Sri Baduga Maharaja yang mangkat di Gunatiga. “Dari Carita Parahiyangan dan Pustaka Rajya I Bhumi Nusantara, terutama parwa IV, Sarga I, diketahui bahwa Prabu Surawisesa memerintah pada tahun 1521-1535 dan berkedudukan di Pakuan-Pajajaran,” ujar Hasan kepada Historia . “Maka angka tahun yang paling mendekati adalah angka tahun 1433 M.” Pendapat Hasan Djafar selaras dengan tafsiran Pleyte. Isi prasasti Batutulis, menurut Hasan, dapat dibagi menjadi tiga bagian: pembuka ( manggala ) yang memuat seruan wang na pun dan permohonan keselamatan kepada Dewa; tujuan ( sambandha ) pembuatan prasasti sebagai sakakala atau tanda peringatan untuk mendiang Sri Baduga Maharaja atas jasanya dalam membuat parit pertahanan sekeliling ibukota Pakuan-Pajajaran, membuat jalan yang diurug batu, membuat hutan larangan ( samida ), dan membuat Telaga Warna Mahawijaya; titimangsa atau candrasengkala bertulis panca pandawa ngemban bumi berangka 1455 Çaka atau 1533 M.
- Sumbangsih Indonesia untuk Asia-Afrika
PERINGATAN 60 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA) akan berlangsung 22-24 April 2015 di Bandung, Jawa Barat. Selain melahirkan Dasa Sila Bandung, KAA menumbuhkan semangat solidaritas di antara negara-negara Asia dan Afrika. Sebagai tindak lanjut dari KAA, pada Desember 1957, Mesir menjadi tuan rumah Konferensi Setiakawan Rakyat Asia-Afrika, yang dihelat di Universitas Kairo. Dari konferensi ini terbentuklah Afro-Asian’s Peoples Solidarity Organization (AAPSO). Negara-negara peserta akan mendirikan organisasi setiakawan di wilayahnya lalu mengirimkan wakilnya ke Kairo. Di Indonesia, Komite Perdamaian Indonesia (KPI), badan nonpemerintah yang mendukung gerakan internasional pelarangan senjata atom, membentuk Organisasi Indonesia untuk Setiakawan Asia-Afrika (OISRAA) pada 1960. Para pendiri OISRAA adalah Anwar Tjokroaminoto (Partai Syarikat Islam Indonesia), KH Sirajuddin Abbas (Perti), Njoto (PKI), Mansur (PNI), dan Sunito (DPR GR). Rapat pleno menunjuk Utami Suryadarma, rektor Universitas Res Publica, sebagai ketua umum dan Ibrahim Isa sebagai sekretaris jenderal. OISRAA berbagi kantor dengan KPI di Jalan Raden Saleh No. 52, Jakarta. Isa ditunjuk sebagai wakil OISRAA di AAPSO. OISRAA aktif mengkampanyekan dan menggalang dukungan demi pembebasan Irian Barat. Antara lain melobi pemerintah Mesir untuk menutup Terusan Suez dari kapal-kapal perang Belanda yang bertujuan ke Irian. OISRAA juga membantu perjuangan kemerdekaan negara-negara Asia dan Afrika. “OISRAA mendukung perjuangan Aljazair melawan Prancis, Vietnam Selatan melawan Amerika Serikat, dan menentang apartheid di Afrika Selatan,” ujar Vannessa Hearman, pengajar Indonesian Studies di University of Sydney, kepada Historia . Berkat lobi OISRAA, Departemen Luar Negeri RI memberi lampu hijau agar Front Pembebasan Nasional (FLN) Aljazair, Kongres Nasional Afrika, dan Front Nasional Pembebasan Vietnam Selatan membuka kantor perwakilan di Jakarta. FLN Aljazair, misalnya, punya kantor perwakilan di Jalan Serang, yang dikepalai Lakhdar Brahimi (kini diplomat senior PBB). Melalui Brahimi, bantuan Indonesia mengalir ke unit-unit perjuangan Aljazair. Menurut Ibrahim Isa, keberhasilan OISRAA tak bisa lepas dari peran Presiden Sukarno. Sukarno mengutus Dubes Keliling RI Supeni Pudjobuntoro untuk menemui Pangeran Kamboja Norodom Sihanouk. Tujuannya, Sihanouk bersedia meminta Presiden Prancis Charles De Gaulle agar melarang kaum kanan Prancis menjadikan Aljazair sebagai negara apartheid . “Mula-mula Sihanouk ragu, tapi kemudian meneruskan pesan tersebut kepada De Gaulle,” ujar Isa. Aljazair akhirnya merdeka pada Juli 1962. Terkait Afrika Selatan, lobi OISRAA ikut menentukan tindakan yang diambil pemerintah Indonesia. “Pada 19 Agustus 1963 Indonesia menutup hubungan diplomatik dan perdagangannya dengan Afrika Selatan serta menutup pelabuhan-pelabuhannya dari kapal-kapal Afrika Selatan,” tulis J.A. Kalley dan E. Schoeman dalam Southern African Political History . OISRAA juga berhasil meyakinkan negara-negara Asia, Timur Tengah, dan Afrika untuk mengirimkan perwakilan ke Konferensi Internasional Anti Pangkalan Militer Asing (KIAPMA) di Jakarta pada 17 Oktober 1965. Selanjutnya, selain menjadi salah satu panitia, OISRAA mengkampanyekan Konferensi Trikontinental (Asia, Afrika, Amerika Latin) di Havana, Kuba, pada 3-12 Januari 1966. Namun justru di Kuba-lah OISRAA mengalami titik balik, yang tak lepas dari dampak perubahan politik di Indonesia. Kendati OSIRAA mendapat kepercayaan dari Presiden Kuba Fidel Castro dan dianggap sebagai perwakilan Indonesia yang sah oleh negara-negara peserta konferensi, Indonesia mengirim delegasi lain yang diketuai Brigjen Latief Hendraningrat. Keterusterangan wakil OISRAA mengenai dualisme kepemimpinan di Indonesia membuat Jenderal Soeharto berang. Para anggota OISRAA harus kehilangan paspor dan tak bisa pulang ke Indonesia. Isa harus hidup di pengasingan. Di dalam negeri, para pegiatnya ditangkap, dibunuh, atau hilang seperti Njoto, salah satu ketua OISRAA. Melemahnya Sukarno ikut meredupkan OISRAA.
- Mengupas Mitos Pohon Upas
SEROMBONGAN pengembara berteduh di bawah pohon di sebuah tanah lapang. Semenit kemudian seorang jatuh dan mati tanpa sebab. Yang lain lari tunggang-langgang sebelum akhirnya satu persatu juga jatuh dan mati. Mereka tidak tahu pohon itu adalah pohon upas. Cerita menyeramkan pohon upas terus-menerus direproduksi, sejak kali pertama keberadaannya dicatat Friar Odoric (1286-1331), misionaris Italia yang mengunjungi Nusantara abad ke-14. Tiga abad kemudian, botanis Belanda kelahiran Jerman, George Eberhard Rumphius (1627-1702), mendapat sampel batang pohon upas ketika menjadi pegawai VOC di Makassar. Dalam bukunya yang monumental, Herbairum Amboinese , Rumphius menulis tentang pohon upas dengan menarik dan agak berlebihan. “Udara di sekitar pohon begitu tercemar sampai-sampai jika ada seekor burung hinggap di dahan pohon, burung itu akan langsung kehilangan kesadaran dan jatuh mati,” tulis Rumphius. Namun, orang paling bertanggungjawab atas kehebohan mitos pohon upas adalah seorang Jerman yang pernah tinggal di Jawa, John Nichols Foersch, dalam artikelnya di The London Magazine tahun 1783. Dia menulis bagaimana para tahanan penjara sering ditugaskan mengumpulkan getah pohon upas; hanya satu dari sepuluh orang yang bisa kembali hidup-hidup. Pohon upas juga disebut dalam buku The Botanic Garden yang ditulis tahun 1791 oleh sastrawan dan naturalis Inggris, Erasmus Darwin (1731-1802). Dalam buku puisinya yang laris terjual itu, dia meromantisasi mitos upas sebagai pohon keramat yang melahirkan monster-monster pembawa kematian. Apakah cerita pohon upas itu sepenuhnya benar? Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles (1781-1826) mengutus Thomas Horsfield (1773-1859), naturalis asal Amerika Serikat, untuk membuktikan mitos tersebut. Hasilnya, pohon upas memang mematikan, tapi hanya lendir getahnya. “Efek racun pohon upas itu cukup mengejutkan kala diujicobakan kepada seekor ayam dan anjing, yang pertama langsung mati kurang dari dua menit dan yang satunya dalam sekitar delapan menit,” tulis Victoria Glendinning dalam Raffles and the Golden Opportunity . Dalam laporannya pada 1812, Horsfield mengutarakan bahwa penduduk lokal sudah menyadari khasiat racun pohon upas untuk keperluan membunuh lawan-lawannya. Sekali terkena getah racunnya, orang tersebut akan kejang-kejang lalu mati. “Orang-orang Makassar, Borneo, dan pulau-pulau di daerah timur menggunakan racun itu melalui panah bambu (yang ujungnya ditajamkan), lalu kemudian mereka lepaskan dengan cara ditiup (disumpit),” demikian laporan Horsfield yang dimuat dalam Memoir of the Life and Public Services of Sir Thomas Stamford Raffles, F.R.S. &c suntingan Sophia Raffles. Mitos di sekitar pohon upas sudah begitu mengakar di tengah-tengah para naturalis Eropa di awal abad ke-19. Raffles dalam History of Java , William Marsden (1754-1836) dalam The History of Sumatra , dan John Crawfurd (1783-1868) dalam History of the Indian Archipelago , menyinggung keberadaan pohon upas, sekaligus menyangkal mitosnya. “Segala hal yang kita tahu mengenai kebenaran pohon upas ialah, sebuah dusta mengerikan dari orang yang menyebarkan mitos ini dan sikap prasangka buruk yang luar biasa dari mereka yang mau mempercayai khayalan sia-sia ini darinya,” tulis Crawfurd dengan ketus. Sampai sekarang, pohon upas masih dapat ditemukan di Indonesia. Di Jawa, ia lebih dikenal sebagai pohon ancar, yang akhirnya menjadi nama ilmiah untuk pohon ini, Antiaris toxicaria .
- Jejak Kurator Indonesia
DUNIA senirupa kontemporer Indonesia belakangan ramai dengan kehadiran kurator. Mereka muncul dari pergulatan wacana seni dan perkembangan politik-ekonomi. “Tapi kajian sejarah seni di Indonesia belum cukup membahas kehadiran kurator dan hubungannya dengan faktor-faktor itu,” kata Agung Hujatnika, dalam diskusi bukunya, Kurasi dan Kuasa: Kekuratoran dalam Medan Senirupa Kontemporer di Indonesia , di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, (20/3). Kurator, sosok penting dalam penyelenggaraan pameran seni. Tugas mereka antara lain menyeleksi, menilai, menulis, dan menampilkan karya seni dalam satu tema tertentu. “Kurator tak bisa sembarangan mengumpulkan karya,” kata Tommy F Awuy, pengajar filsafat pada Universitas Indonesia. Mereka mesti memiliki pemahaman teoritis khusus dan mendalam tentang karya seni. Kurator Hendro Wiyanto, menemukan istilah kurator dalam katalog pameran di Indonesia bertahun 1986. Saat itu, Juan Mor’O, seniman muda dari Filipina, menggelar pameran pamitan setelah ngendon beberapa lama di Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta. “Dia memohon seniman-seniman muda yang bekerja di Bentara Budaya Yogyakarta menjadi ‘kurator’ pameran yang tajuknya ‘Moro-Moro Dadi’ (tiba-tiba menjelma, red ). Nah, itu dia ada kurator-kurator yang mendadak jadi,” kata Hendro.Tapi Hendro tak yakin kalangan senirupa Indonesia telah menyebut dan memahami istilah kurator. Sementara Agung berpendapat praktik kuratorial di Indonesia lebih dulu muncul jauh sebelum istilah kurator populer. Dasar argument Agung terletak pada keberadaan pameran dan ruang seni seperti Bataviasche Kunstkring pada 1914 dan Keimin Bunka Shidoso pada 1942. Dengan menggelar pameran seni, lembaga ini telah menunjukkan praktik kuratorial. Antara lain mengoleksi dan merawat karya seni. Sebelum pendapat Agung muncul, M. Dwi Marianto, kurator dan pengajar pada ISI Yogyakarta, pernah mengutarakan pendapat hampir serupa. Perbedaannya, Dwi merujuk pada praktik kuratorial dalam seni batik, kriya, dan desain di Jepara. Dalam artikelnya di Kompas , 6 April 2001, Dwi menyebut R.A. Kartini sebagai “seniwati-kurator dan kurator independen, serta pelindung dan promotor seni.” Sebab Kartini menulis pengantar komprehensif dan detail tentang karya batik dalam Pameran Nasional Karya Perempuan di Belanda pada 1898. Lalu adakah tokoh kurator pemula dalam senirupa Indonesia? Agung menyebut satu nama sohor masa 1950-1960. “Dari sejumlah sosok yang layak disebut sebagai ‘proto-kurator’ pada masa itu, tercatat nama Dullah… Apa yang dikerjakan Dullah sangat memadai untuk diperbandingkan dengan cakupan kerja seorang kurator museum senirupa pada umumnya,” tulis Agung. Dullah sendiri seorang pelukis kesayangan Sukarno. Pada masa Sukarno, patronase seni mengarah pada partai politik atau badan pemerintah. Ini mempengaruhi praktik kuratorial. Negara dan badan pemerintah lebih banyak melakukan praktik kuratorial ketimbang partikelir (swasta). Perubahan muncul pada masa Soeharto. Partikelir perlahan mendominasi praktik kuratorial. Beberapa di antaranya Sanento Yuliman dan Jim Supangkat. Kekuratoran juga mulai menjadi profesi khusus di Indonesia. Ini tak lepas dari boom karya seni pada 1990-an sebagai akibat munculnya kelas ekonomi mapan di Indonesia. Galeri dan eksebisi seni pun ikut tumbuh subur. Para pemilik galeri dan penyelenggara eksebisi seni juga mulai menyadari pentingnya kehadiran kurator. Keberhasilan pameran seni dengan kehadiran kurator menjadi tak terpisahkan. Ini terbukti pada 1993 saat Jim Supangkat menjadi kurator pada Biennale di Jakarta. “Inilah titik awal untuk memahami kekuratoran senirupa kontemporer Indonesia,” kata Tommy. Sejak itu, kurator-kurator partikelir terus bermunculan hingga sekarang.





















