Hasil pencarian
9590 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Ponsel Segede Sepatu
SEUKURAN genggaman tangan, bisa masuk saku, dan harga terjangkau. Telepon selular (Ponsel) pintar dimiliki hampir semua orang di Indonesia sekarang. Lewat benda tipis itu, orang bisa menelepon, mengirim pesan, dan mengakses internet. Banyaknya fungsi bikin orang kecanduan menggunakannya. Di angkutan umum, di ruang tunggu, bahkan di toilet. Padahal, ketika pertama keluar, harga ponsel selangit, 13-15 juta rupiah ketika kurs dollar Amerika masih 1386 rupiah. Ponsel pertama di Indonesia itu muncul tahun 1986 sebagai buah kerjasama Telkom dengan PT Rajasa Hazanah Perkasa (PT RHP). Teknologinya menggunakan Nordic Mobile Technology (NMT) dengan perangkat merek Ericsson. Telkom menyediakan jasa komunikasinya, sementara PT RHP menyediakan perangkatnya. Ketika pengguna ingin mendapatkan telepon seluler, mereka tidak membeli perangkat telepon dan nomor provider secara terpisah, melainkan satu telepon hanya satu nomor dan tidak bisa diganti. “Dulu dijual sekaligus. Jadi orang beli ponsel, nomornya diinjeksi ke perangkatnya. Berbeda dengan sekarang yang beli perangkat dan providernya terpisah,” kata Garuda Sugardo, kepala Riset Telkom Indonesia kala teknologi telepon umum mulai dibangun, kepada Historia . Lahir di era pemerintahan Soeharto, pembangunan telepon seluler tak lepas dari kebiasaan Orde Baru: menyertakan perusahaan milik keluarga dalam bisnis negara. PT RHP merupakan perusahaan milik salah satu anak Soeharto. George Junus Aditjondro dalam Korupsi Kepresidenan menyebut 32,5% saham PT RHP dimiliki kakak-beradik, Sigit Harjojudanto dan Tommy Soeharto. Mereka menjadi satu-satunya penyedia layanan telepon seluler kala itu plus teknologinya masih baru, selangitlah harganya. “Telkom tidak mengerjakan sendiri. Dulu sistemnya bagi hasil. Jadi yang menetapkan harga bukan negara atau Telkom tapi swasta yang pegang perangkat,” kata Koesmarihati, direktur Telkomsel 1995-1998, pada Historia. NMT merupakan teknologi keluaran pertama yang menggunakan frekuensi 450 MHz. Bentuknya masih amat besar sehingga tak mungkin masuk saku, melainkan harus ditenteng atau ditaruh di mobil. Komunikasi yang ditawarkan masih sebatas telepon lokal di sekitar Jakarta dan Jawa Barat. NMT juga belum bisa untuk mengirim pesan digital. Bentuk ponsel NMT Pada 1991, Telkom kembali bekerjasama dengan perusahaan swasta untuk mengeluarkan telepon seluler dengan teknologi lebih baru, Advanced Mobile Phone System (AMPS). Sistem transmisi AMPS masih analog seperti NMT, tapi sinyalnya sudah digital dan frekuensinya jauh lebih tinggi, yakni 800-900 MHz sehingga makin minim gangguan. AMPS dikenal juga sebagai teknologi seluler generasi pertama (1G). Fungsi AMPS hampir sama seperti NMT, hanya saja perangkatnya lebih kecil, sekira 40cm. Perangkat yang dipakai tidak lagi Ericsson seperti era NMT, melainkan Motorolla. Jika dibandingkan dengan ponsel jaman sekarang, ukurannya jauh lebih besar. Saking besarnya, Koesmarihati sempat berkelakar kalau para perempuan Hongkong suka dengan ukuran ponsel AMPS karena bisa untuk memukul penjahat di tempat umum. “Telepon seluler yang AMPS itu juga besar sekali, sebesar sepatu,” kata Koesmarihati sambil terkekeh. Untuk mewujudkan teknologi ini, Garuda Sugardo dalam Telkomsel in First Era menyebut, Telkom menjalin kerjasama dengan pihak swasta. Ada tiga perusahaan yang memegang lisensi untuk mengeluarkan ponsel AMPS: PT Elektrindo Nusantara (EN), melayani wilayah Sumatera Utara, Jakarta, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan; PT Centralindo Panca Sakti (CPS), menangani wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur; dan PT Telekomindo Prima Bakti, melayani Sumatera Selatan, Bali, dan Kalimantan. Telkom duduk sebagai badan penyelenggara, sementara pihak swasta sebagai penyedia produk ponsel AMPS. Dari kerjasama ini Telkom mendapat jatah bagi hasil sebanyak 25-30% dari total keuntungan. Sementara EN, perusahaan milik Bambang Trihatmodjo, mendapat 70% dari keuntungan bisnis ini. “Harga AMPS bisa sampai 15-18 juta di waktu itu. Orang biasa nggak bisa beli, hanya bos-bos dan menteri saja yang punya. Jumlahnya juga terbatas,” kata Garuda.
- Status Cagar Budaya untuk Planetarium dan Observatorium Jakarta
PLANETARIUM dan Observatorium Jakarta berdiri di atas lahan bekas milik pelukis terkenal Raden Saleh (1814—1880). Dia memiliki tanah luas di Cikini, Batavia, dan menghibahkan sebagian untuk pengembangan dunia ilmu pengetahuan flora dan fauna. Berdirilah kebun tanaman dan binatang pertama di Hindia Belanda.
- Membentuk Tentara Rakyat
SEJAK kaum bersenjata datang dari arah Jakarta pada awal 1946, Karawang yang tenteram berubah menjadi rusuh: perkelahian dan bentrok terjadi di mana-mana. Menurut Telan (91), biasanya mereka bertikai gara-gara masalah kecil. Misalnya satu kelompok lasykar tidak mau bayar makanan di sebuah restoran, lalu pemilik restoran itu lapor ke pihak kelompok bersenjata lainnya. “Ya jadilah kemudian tawuran pakai peluru,”ujar mantan anggota lasykar di Karawang itu. Soal itu dibenarkan oleh M. Kharis Suhud. Sebagai eks kombatan di Resimen Cikampek, ia menjadi saksi bagaimana dominannya kaum bersenjata di Karawang beberapa bulan setelah Indonesia merdeka. “Terutama sebuah lasykar yang hampir tiap waktu melakukan pamer kekuatan dengan senjata lengkap di kota sambil menyanyikan lagu-lagu menyeramkan seperti lagu “Darah Rakyat” ,“tulis Kharis dalam sebuah tulisannya berjudul Sekilas Pengabdian Resimen Cikampek dalam Perang Kemerdekaan. Lasykar yang dimaksud oleh Kharis adalah LRDR (Lasjkar Rakjat Djakarta Raja). Itu adalah nama sebuah milisi yang mengklaim sebagai kekuatan bersenjata pendukung ide-ide Tan Malaka. Saat hijrah ke Karawang, LRDR kemudian berubah menjadi LRDB (Lasjkar Rakjat Djawa Barat). Sejak itu pula, Lasjkar Rakjat (sebutan populis untuk LRDB) menyatakan diri sebagai bagian dari Partai Rakjat (kemudian berfusi menjadi Partai Murba). Selanjutnya Lasjkar Rakjat (LR), membangun organ-organ serupa di berbagai kota dan provinsi lainnya. Organ Revolusiener Usai kemerdekaan Indonesia diproklamasikan Sukarno-Hatta, kebutuhan akan suatu organ militer sangat tinggi di kalangan pemuda Indonesia. Pada 1 September 1945, para aktivis Menteng 31 (salah satu kelompok pemuda radikal di Jakarta) memang berhasil mendirikan API (Angkatan Pemoeda Indonesia), namun organ tersebut dirasakakan belum mencukupi. “Dalam situasi kita belum punya tentara, saat itu kami bertanya-tanya: dengan apa bayi Republik ini bisa kita bela?”ujar A.M. Hanafi (salah satu tokoh terkemuka Menteng 31) dalam Menggugat Kudeta Jenderal Soeharto. Bersama dua tokoh Menteng 31 lainnya (Chaerul Saleh dan Pandu Kartawiguna), Hanafi kemudian menghadap Menteri Penerangan Amir Sjarifoeddin. Mereka lantas menyampaikan ide-ide mereka tentang sebuah organisasi tentara yang revolusiener dan bisa bertahan lama untuk menghadapi Belanda. Amir menganggukan kepala. Maka pada 5 Oktober 1945, berdirilah BKR (Badan Keamanan Rakjat). “Namun secara jujur kami harus mengakui kurang puas sebab yang kami inginkan adalah suatu tentara resmi bukan sekadar badan keamanan,”ungkap Hanafi. Untuk mengisi “kekosongan” belum adanya suatu bentuk organisasi tentara resmi, maka pada 22 November 1945, para aktivis Menteng 31 berinisiatif mengumpulkan sejumlah organ bersenjata (diantaranya: Angkatan Pemoeda Indonesia pimpinan Bahar Rezak, Oesaha Pemoeda Indonesia pimpinan preman Pasar Senen Imam Sjafi’i dan Barisan Rakjat cabang Jakarta Timur pimpinan jagoan Klender Haji Darip) di Salemba, Jakarta Pusat. Mereka lantas sepakat membentuk LRDR, sebuah nama yang menurut A.M. Hanafi, terinspirasi dari konsep tentara rakyat ( peoples army ). LRDR terbukti menjadi kelompok yang cukup memusingkan militer Inggris di Jakarta. Akibatnya, mereka melancarkan Operasi Sergap pada penghujung 1945, dan membuat LRDR terhalau ke arah Karawang. Atas insiatif Maroeto Nitimihardjo, LRDR kemudian merubah namanya menjadi LRDB, mengingat posisi mereka waktu itu berada di Jawa Barat. “Karena sulit membedakan antara LRDR dengan LRDB, maka orang-orang hanya menyebut kedua organ itu sebagai LR (Lasjkar Rakjat) saja,” ungkap Telan. Konflik di Karawang Di Karawang, LR mencitrakan dirinya sebagai kekuatan yang tumbuh dari rahim rakyat. Selain berfungsi sebagai milisi, LR juga terbilang cukup aktif dalam upaya-upaya sosial seperti pemberantasan buta huruf dan pemberdayaan ekonomi rakyat lewat pembentukan BERI ( Badan Ekonomi Rakyat Indonesia). “Mereka pun memiliki sebuah surat kabar yang bernama Godam Djelata ” ujar Robert Cribb, penulis buku Gangsters and Revolutionaries: The Jakarta People’s Militia and The Indonesian Revolution 1945-1949. Namun sikap politik organ bersenjata pimpinan Sutan Akbar yang menentang Perdana Menteri Sjahrir (karena memilih jalur kompromis dengan Belanda) itu menyebabkan mereka harus berhadapan langsung dengan kekuatan TRI (Tentara Republik Indonesia). Konflik antara dua kubu tersebut semakin mengerucut saat pada 27 November 1946, Komandan Resimen V Tentara Republik Indonesia (TRI) Letnan Kolonel Soeroto Koento hilang tanpa jejak bersama kepala staf-nya Mayor Adel Sofyan. Tuduhan langsung ditujukan kepada LR sebagai pelaku penculikan itu. Namun dengan keras pihak LR menyangkalnya. Tanggal 18 Maret 1947, Presiden Sukarno mengumumkan penyatuan nasional antara kekuatan tentara resmi dengan kekuatan lasykar di bawah pimpinan Jenderal Soedirman demi menghadapi agresifitas Belanda. Seruan itu dalam kenyataannya hanya dituruti oleh 5 kelompok lasykar ( Barisan Pemberontak Rakjat Indonesia, Barisan Banteng Republik Indonesia, Pemoeda Sosialis Indonesia, Lasjkar Boeroeh dan Markas Poesat Hizboellah Sabilillah) dengan membentuk Detasemen Gerak Cepat bagi Badang Perjuangan yang berkedudukan di Karawang. LR sendiri menolak untuk bergabung dalam detasemen lintas lasykar itu. Penolakan itu membuat berang TRI. Dengan memakai dalih untuk menghukum pelaku penculikan Soeroto Koento dan Adel Sofyan, pada 17 April 1947, mereka menghajar tanpa ampun kedudukan LR di seluruh Karawang dan Bekasi. Akibatnya, ribuan anggota lasykar tersebut kocar kacir. Usai penumpasan itu, sebagian pimpinan LR melarikan diri ke “wilayah Belanda” atau bergabung dengan para kameradnya di Jawa Tengah.
- Ketika Kakak Adik Berhadapan dalam Perang
Pergolakan di daerah yang melahirkan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) dan Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) pada 1958 telah menjadi perang saudara. Di antara prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan tentara Permesta yang saling bermusuhan terdapat orang-orang yang terikat tali persaudaraan. Oleh karena itu, terkadang ada anggota TNI yang membocorkan rencana operasi kepada penduduk untuk disampaikan kepada pasukan Permesta. Sehingga perperangan yang memakan korban dapat dihindari. “Mereka (penduduk) tidak ingin lagi melihat jatuhnya korban dalam perang saudara ini, baik dari kalangan penduduk maupun kalangan oknum TNI sendiri,” kata Phill M. Sulu, mantan anggota Permesta, dalam Permesta dalam Romantika, Kemelut & Misteri . Menurut Phill, malah ada anggota pasukan TNI baik yang reguler maupun TBO (tenaga bantuan operasi) yang sewaktu mengadakan operasi ke sarang pasukan Permesta sengaja melepaskan tembakan ke sasaran kosong, sekadar mengesankan sudah terjadi kontak senjata dengan pihak musuh. Ada juga yang rupanya sengaja membuang atau meninggalkan bekal berupa makanan kaleng atau rokok. Hal seperti ini sering terjadi karena adanya persaudaraan antara anggota TNI dan Permesta. “Misalnya, seorang adik berada di pihak pasukan Permesta, tapi sang kakak adalah anggota TNI. Tak heran jika keadaan ini menimbulkan berbagai cerita yang agak unik dan lucu di tengah peperangan,” kata Phill. Pada suatu waktu terjadi kontak senjata antara patroli TNI dengan pasukan Permesta. Di tengah berlangsungnya baku tembak yang sengit terdengar teriakan dari arah pasukan TNI, “ Andi…bapelaka bae bae ngana, jangan kana kita pe Bren… (Andi…tiarap yang benar, jangan sampai terkena tembakan Bren saya).” Bren adalah senapan mesin ringan. Rupanya anggota TNI itu mengetahui bahwa adiknya bernama Andi berada di antara pasukan Permesta yang sedang diserang. Demi keselamatan adiknya, dia berteriak memberi peringatan. Dari arah pasukan Permesta, tiba-tiba terdengar teriakan balasan. “ Io Alo…ngana lei, jaga bae bae ngana pe testa. Kita pelor Bar nyandak ada mata. (Iya Alo…kau juga, lindungi dahimu, karena peluru Barku tidak punya mata).” Maksudnya BAR (Browning Automatic Rifle), yaitu senapan mesin ringan. PRRI/Permesta berakhir pada 1961.
- Selayang Pandang Lanud Atang
PATAKA biru itu masih terpegang erat di tangan kirinya. Beberapa gompalan kecil tampak di “seragam” coverall oranyenya. Ia bergeming dalam sikap tegap meski rintik gerimis menaungi langit Semplak, Bogor siang itu. Patung di dekat gerbang masuk Pangkalan Udara TNI AU Atang Sendjaja (Lanud ATS) itu menyimpan banyak cerita mewakili para pengawal dirgantara kebanggaan Indonesia. “Ini ikon kita dan kita menyebutnya Tugu Airman karena di TNI AU kita semua adalah Airman. Tugu atau monumen peringatan terhadap tugas dan bakti kita untuk negara,” kata Kepala Dinas Personel Lanud ATS Letkol (Pnb) Sigit Gatot Prasetyo kepada Historia. Mengingat setiap hari diguyur hujan atau “ditembak” sinar matahari, sang Airman yang berdiri di atas dasar monumen persegi berbahan keramik itu tampak lusuh. Di empat sisi bagian dasar situs bernama resmi Monumen Perjuangan Satuan Helikopter TNI-AU itu juga tertera banyak cerita. “Memang kita sudah rencanakan untuk dipugar. Tugu Airman ini sudah ada sejak sekitar 1973. Tahun 1994, seperti yang dilihat di bagian ini, sempat diperbaiki,” lanjut Letkol Sigit saat menunjukkan keterangan sisi belakang. Di tiga sisi lainnya, tertera mars kesatuan, doa para senior, serta operasi-operasi yang pernah melibatkan TNI AU, mulai dari Operasi Perebutan Irian Barat hingga Operasi Patok Kaltim. Situs inilah yang jarang diketahui awam lantaran lebih populer sebagai “Monumen Heli Codot”. Kadispers Lanud ATS Letkol (Pnb) Sigit Gatot Prasetyo menunjukkan salah satu bagian Tugu Airman (Foto: Randy Wirayudha/Historia) “Heli Codot” yang dimaksud adalah Helikopter Sikorsky CH-34/S-58 yang pada September 2017 bertengger menggantikan Helikopter PZL SM-1. Pun begitu, dua situs itu bukan yang tertua atau peninggalan sejak pertamakali lanud ini dibangun di zaman Belanda. “Satu-satunya bangunan tua dan masih asli di Lanud ini adalah hanggar lengkung itu. Hanggar itu sudah ada sejak zaman Jepang (1942). Terlihat bedanya dari yang lain, satu-satunya hanggar berbentuk lengkung di sini. Masih dipakai untuk hanggar perbaikan heli,” tutur Letkol Sigit sambil menunjukkan hanggar yang dimaksud, berada di lingkungan Skadron Teknik (Skatek) 024. Basis Pertahanan Udara Belanda Sebelum menyandang nama Lanud Atang Sendjaja pada 1966, pangkalan ini hanya disebut Lanud Semplak. Dibangun pemerintah kolonial pada medio April 1931, lanud ini dibuat untuk keperluan basis ML-KNIL atau Angkatan Udara Tentara Kerajaan Hindia Belanda. “Pada awal April, pembangunan area landasan udara di Semplak akan dimulai oleh kesatuan Zeni yang lokasinya berjarak 8 km dari Buitenzorg (kini Bogor, red .). Lokasinya berupa persawahan dan akan diratakan setelah panen padi. Lanud itu tidak hanya cocok untuk pesawat-pesawat militer tapi juga pesawat besar KLM dengan dimensi (landasan pacu) 159x600 meter,” sebut suratkabar De Telegraaf , 12 Maret 1931. Semasa Perang Dunia II, Lanud Semplak jadi salah satu basis terpenting pertahanan udara sekutu di Pulau Jawa dalam menghadapi invasi Jepang. Tidak hanya selusin pesawat Brewster B-339 dari Vliegtuig Groep-5 (VLG-5/Skadron 5) Belanda yang bermarkas di Lanud Semplak namun juga 24 pesawat Lockheed Hudson dari Skadron 1 AU Australia. Lahan-lahan persawahan di Semplak, Buitenzorg (kini Bogor) pada masa kolonial sebelum pada 1931 berubah menjadi Lanud Semplak (Foto: KITLV) Mengutip P.C. Boer dalam The Loss of Java , Lanud Semplak direbut Jepang setelah sehari pertempuran udara pada 23 Februari 1942. “Sekitar pukul 11.30 dan 11.50, pesawat-pesawat Jepang menyerang Semplak dan Kemayoran dengan total 14 pesawat Ki-43 dari Skadron 59 dan 64 serta enam pesawat pembom Ki-48 yang berbasis di Palembang. Serangannya dilakukan saat cuaca buruk sehingga tak terdeteksi sama sekali,” ungkap Boer. Kembali ke Tangan Republik Tidak banyak catatan mengenai Lanud Semplak di zaman Jepang lantaran memang tak menjadi pusat kekuatan udaranya di masa Perang Pasifik. Terlebih, Bogor kala itu lebih dipusatkan menjadi tempat pendidikan perwira Pembela Tanah Air (PETA). Baru setelah pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), mengutip T. Djohan Basyar dalam Home of Chopper: Perjalanan Sejarah Pangkalan TNI AU Atang Sendjaja 1950-2003 , Lanud Semplak jadi salah satu “aset” TKR Divisi I (Bogor dan Banten). Lahan-lahan persawahan di Semplak, Buitenzorg (kini Bogor) pada masa kolonial sebelum pada 1931 berubah menjadi Lanud Semplak (Foto: KITLV) Hal itu membuat Lanud Semplak jadi sasaran penting pasukan Belanda. Per Juli 1947 usai melancarkan Agresi pertama, tulis WJAM de Kock dalam Commando Luchtvaarttroepen (LVT): Nederlands-Indië 1947-1950 , Lanud Semplak dikuasai Belanda bersamaan jatuhnya Jawa Barat. Pasca-Agresi Militer II, Desember 1948, kawasan lanud dijadikan markas dan asrama dua peleton LVT atau pasukan komando AU Belanda dengan tugas operasi penghalauan gerilyawan republik di Gunung Salak. Lanud Semplak baru murni milik Ibu Pertiwi pada 1950 pasca-Konferensi Meja Bundar (KMB), di mana semua pangkalan militer yang sebelumnya diduduki Belanda diserahkan ke Indonesia. “Khusus Lanud Semplak pada 20 Maret 1950 Belanda turut menyerahkan pesawat-pesawatnya dari jenis Auster Mark (III) dari Skadron 6 AU Belanda untuk dioperasikan AURI (kini TNI AU),” sambung Djohan Basyar. Setelah itu, lewat Pengumuman Kasau (Kepala Staf Angkatan Udara) bernomor 28/11/P/KS/51 tertanggal 21 Maret 1951 Lanud Semplak dijadikan markas Skadron Udara 4 –satuan AURI pertama di lanud tersebut degan tugas-tugas pengintaian dan perbantuan titik tembakan artileri Angkatan Darat. Kapten Udara Suhodo didapuk jadi komandan skadron pertamanya, sementara Letnan Udara I Dhumay Agam menjabat Danlanud pertamanya. Skadron 4 hanya berkiprah di Semplak sampai 1958. Sejak Maret 1963, PAU Semplak jadi markas baru Skadron 6. Skadron yang sebelumnya bernama Skadron Percobaan Helikopter ini sejak 1956 bermarkas di Lanud Andir (kini Lanud Husein Sastranegara). Seiring kedatangan banyak helikopter AURI dari Uni Soviet, Polandia, hingga Amerika Serikat pada 1958, nama Skadron Percobaan Helikopter diganti menjadi Skadron 6 pada 1961. PAU Semplak dalam perjalanannya tidak hanya jadi rumah Skadron 6, namun juga Skadron Teknik (Skatek) 6 dan Skadron Helikopter Mi-6 Persiapan. Menggemuknya unit-unit di PAU Semplak menuntut diadakannya satuan induk baru. Lahirlah Wing Operasi 004/Helikopter pimpinan Letkol Udara Suwoto Sukendar yang diresmikan Kasau Laksdya Udara Omar Dhani pada 25 Mei 1965. Wingops 004 juga membawahi Skadron 7 yang mengoperasikan heli-heli ringan macam Bell-47 hingga SM-1. Semua unit ditopang Skatek 6 yang pada 1966 berubah menjadi Skatek 024. Sementara, Skadron Helikopter Mi-6 Persiapan diubah menjadi Skadron 8. Satuan ini mewadahi lusinan heli angkut berat Mil Mi-6. ( Alutsista yang punya akhir tragis laikya KRI Irian milik ALRI ini akan dikisahkan di tulisan berikutnya) . Sejumlah kru salah satu heli TNI AU yang berinduk di Lanud ATS (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Dalam perjalannnya, Wingops 004/Helikopter pernah dibekukan lewat Instruksi Kasau, Ins/03/III/1985 tertanggal 12 Maret 1985, seiring reorganisasi TNI AU. Satuan-satuan di dalamnya: Skadron 6, 7, dan 8 hanya dijadikan pelaksana operasi PAU yang kala itu sudah bertatus lanud tipe B. Pada 29 Februari 2000, Wingops 004 diaktifkan lagi dengan nama Wing 4 di bawah Komando Operasi I TNI AU. Bersamaan dengannya, Lanud ATS juga naik kelas menjadi lanud tipe A. Nama Atang Sendjaja sendiri resmi disandang pada 29 Juli 1966 ketika AURI mengganti nama PAU Semplak menjadi PAU Atang Sendjaja. Pemilihan nama Atang dilakukan untuk mengenang jasa-jasa Letkol (Anumerta) Atang Sendjaja yang meninggal saat membawa konvoi heli Mi-6 dari Tanjung Priok ke Lanud Halim Perdanakusuma. “Lanud ATS ini siklusnya sangat dinamis. Tidak hanya untuk perbantuan SAR dan bencana alam. Lanud ATS jadi satu-satunya lanud yang wilayah tugasnya punya dua objek vital nasional untuk diamankan. Satunya Istana Bogor dan satu lagi Istana Cipanas,” tandas Letkol (Pnb) Sigit.
- Pembaruan di Mangkunegaran
PENDOPO Ageng, kompleks Istana Pura Mangkunegaran. Atap limasnya yang luas dan tinggi seolah tak mengizinkan terik mentari memanasi para pengunjungnya. Dengan “tubuh” hanya berupa tiang-tiang, ia justru membiarkan hembusan angin memberi suasana adem kepada para pengunjung di siang 17 Maret 2019 yang terik itu. Baiknya fungsionalitas pendopo tak lepas dari “tangan dingin” Thomas Karsten. Arsitek Belanda kelahiran 1885 itu ditunjuk sahabatnya, Mangkunegara VII, untuk memugar langit-langit Pendopo Ageng dan sejumlah bangunan lain di Pura Mangkunegaran pada 1938. “Gagasannya datang dari Stutterheim ketika konsultasi dengan Karsten dan sang Pengeran. Stutterheim membuat dua foto lukisan pada langit-langit kayu yang ia lihat di Ceylon (Sri Langka), menyimbolkan planet-planet, meski di dalam foto terdapat sembilan planet (bukan delapan seperti yang direncanakan untuk hiasan langit-langit pendopo astana )," tulis Madelon Djajadiningrat dalam “Tidak Adakah yang Bisa Kita Perbuat dengan Cermin yang Buruk Itu?”, termuat dalam buku suntingan Peter JM Nas Masa Lalu dalam Masa Kini: Arsitektur di Indonesia . Bukan hal baru bagi Mangkunegaran memadukan nilai-nilai tradisional Jawa dengan Barat. Perpaduan itu terjadi baik dalam segi fisik bangunan-bangunan di keraton maupun dalam etiket dan nilai-nilai lain yang abstrak. Hal itu, menurut Wasino dalam Modernisasi di Jantung Budaya Jawa: Mangkunegaran 1896-1944 , dilakukan untuk menunjukkan prestise Mangkunegaran sebagai praja otonom yang berbeda dari Kasunanan Surakarta. “Perubahan dilakukan oleh pihak istana Mangkunegaran, terutama sejak Mangkunegara VI naik takhta dan dilanjutkan oleh Mangkunegara VII. Pembaruan-pembaruan dalam etiket ini melahirkan tradisi baru yang berbeda dengan tradisi Mataram Islam dan tradisi Kasunanan yang merupakan induk dari praja Mangkunegaran,” tulis Wasino . Mangkunegara VI menjadi penguasa Mangkunegaran yang mempelopori banyak pembaruan dan modernisasi itu. Salah satu hal terpenting yang diperbarui olehnya adalah tradisi penghormatan. Bila sebelumnya seorang putra sentana (keluarga raja) dan narapraja yang akan menghadap raja (Mangkunegara), atau pejabat rendah menghadap pejabat yang lebih tinggi, wajib berjalan dengan berjongkok lalu duduk bersila di lantai dan melakukan sembah setiap kali mau bicara, hal itu tak lagi berlaku sejak Mangkunegara VI menyederhanakannya lewat kebijakan Pranatan Mangkunegaran No. 20/Q, dikeluarkan pada 17 Agustus 1903. “Para putra sentana, narapraja, dan legiun agar dalam menghadap Mangkunegaran tidak perlu duduk bersila, tetapi diperbolehkan langsung menghadap asal berlaku sopan. Apabila disediakan kursi, mereka boleh langsung duduk di kursi. Tradisi duduk di kursi ini sebagai gejala baru dalam tata krama kerajaan dan menunjukkan adanya proses demokratisasi etiket,” tulis Wasino. Penyederhanaan juga terjadi pada tata cara sembah. Sebelumnya, sembah dilakukan setiap akan bicara kepada raja. Mangkunegara VI menyederhanakannya menjadi hanya dilakukan ketika menghadap, saat akan memulai pembicaraan, dan menjelang pulang. Apabila berpapasan dengan raja di tempat yang terlalu sempit untuk berjongkok, para abdi dalem diperintahkan memberi penghormatan cukup dengan berdiri. Para abdi dalem yang sedang duduk di kursi saat seba (menghadap raja), juga diperintahkan hanya berdiri dalam memberi penghormatan pada raja. Tata cara sembah yang lama dianggap Mangkunegara VI kurang praktis dan mengganggu pembicaraan. Mangkunegara VI lebih jauh memperbarui pakaian kebesaran putra sentana dan abdi dalem narapraja. Pakaian kebesaran yang terdiri dari kampuh , dodot , kuluk , udet , wedung , kain penutup dada, dan perhiasan disederhanakan dengan cara mengganti kampuh dengan bebet yang berwarna mirip kampuh. Kampuh dianggapnya boros kain dan waktu pemakaian. Untuk alasan praktis itu pula kuluk dihilangkan –namun tanpa pengganti– dari daftar pakaian kebesaran. Sementara, udeng (tutup kepala) diganti dengan iket agar para priayi bisa langsung menggunakannya tanpa perlu repot membuatnya terlebih dulu. Aturan tersebut disempurnakan lagi oleh Mangkunegara VII, pengganti Mangkunegara VI. Mangkunegara VII bahkan membuatkan pakaian dinas masing-masing tingkatan anggota narapraja berikut aturan-aturannya. Dengan begitu, pakaian dinas priayi Mangkunegaran jadi lebih praktis dan efisien. Di kemudian hari, penyederhanaan itu menjadi ciri Mangkunegaran. “Orang luar dapat mudah mengenal bahwa seseorang merupakan abdi dalem narapraja Mangkunegaran dilihat dari cara berpakaiannya. Identitas seperti ini menimbulkan rasa bangga bagi orang Mangkunegaran,” ujar RM Sarwanto Wiryo Saputro, wedana Karanganyar era Mangkunegara VII, dikutip Wasino. Mangkunegara sendiri mengenakan pakaian dinas berbeda saat berada di dalam atau di luar istana. “Dalam acara-acara kenegaraan yang berhubungan dengan orang luar, ia lebih sering menggunakan pakaian militer. Penggunaan pakaian militer oleh Mangkunegaran ini memiliki makna politik. Dengan menggunakan pakaian militer, kedudukan Mangkunegaran sama dengan kedudukan Sunan sehingga boleh duduk sepadan dengan Sunan dan residen,” tulis Wasino. Selain pakaian, pembaruan oleh Mangkunegara VI dilakukan terhadap penampilan para anggota narapraja lewat potongan rambut. Mangkunegara VI menganggap rambut panjang diikat yang ditradisikan pada para sentana maupun abdi dalem narapraja kurang praktis. Dia lalu memotong pendek rambutnya. Banyak anggota sentana dan narapraja lalu mengikutinya atas kemauan sendiri, bukan perintah. Mangkunegara VI hanya memerintahkan potong rambut pendek kepada para prajurit Legiun Mangkunegaran. Selain perintah potong rambut, para prajurit juga dilarang menggunakan destar. Sebagai gantinya, mereka dilengkapi dengan sepatu lars sebagaimana tentara Belanda atau tentara negara Eropa lain. “Ini sangat ditekankan oleh Mangkunegara VI karena ia bercita-cita agar tentaranya dapat dipandang sejajar dengan tentara Hindia Belanda melalui pakaian yang dikenakan,” tulis Wasino.
- Kisah Marsekal dari Soreang
DERU suara helikopter yang melayang di langit Semplak, Bogor, mengiringi perbincangan pagi itu, 24 April 2019. Marsekal Muda (Purn.) Tatang Kurniadi memang tinggal tak jauh dari Pangkalan Udara TNI AU Atang Sendjaja (Lanud ATS). “Kadang penasaran saja kalau ada heli-heli baru di Lanud,” katanya kepada Historia . Selama puluhan tahun bertugas, Tatang kenyang memiloti alutsista berjenis rotary wings (helikopter) maupun fixed wings (pesawat). Alumnus angkatan pertama AKABRI Magelang, 1967, itu berkisah panjang-lebar seputar pengalamannya bertugas di Kalimantan, Papua hingga Timor-Timur (Tim-Tim) di hari-hari terakhir wilayah yang pernah jadi provinsi termuda RI itu. Diceritakannya juga saat di masa senja ikut membangun reputasi KNKT di mata internasional sembari membuka kembali koleksi catatan-catatan beserta sejumlah foto lawasnya. Surat Balasan Sukarno dan Reuni dengan Luhut Lahir di Soreang 3 April 1946, Tatang kecil hidup di alam revolusi kemerdekaan. Kondisi itu melecutnya untuk bercita-cita ingin jadi tentara. Semasa SMP hingga SMA ia aktif ikut kepanduan (kini Pramuka). Sebagai belia yang aktif menulis di kepanduan, pernah satu kali ia berkirim surat ucapan selamat ulang tahun kepada Presiden Sukarno. “Eh enggak dikira, dibalas. Isinya ya begini saja: ‘Dengan salam kami, dan utjapan terima kasih. Soekarno. 6-6-1964’,” ujar Tatang sambil memperlihatkan surat balasan yang disisipi gambar karikatur Sukarno dan amplop lusuh ber logo Istana Presiden RI. Koleksi surat balasan Sukarno (Foto: Dok. Pribadi Marsda Purn. Tatang Kurniadi) Menurutnya, surat balasan yang diterima pada Juni 1964 itu lama “hilang”. “Surat (balasan Sukarno) ini lama saya cari. Baru banget ketemu. Sujud syukur saya pas ketemu saat lagi cari buku lama. Dulu ya iseng saja kirim surat, tulisannya ya mengucapkan selamat ulang tahun,” sambungnya. Namun suasana indah itu berubah seketika setelah G30S. Sebagai pelajar yang aktif, Tatang dan sahabatnya, Luhut B Pandjaitan, turut mendemo Bung Karno di Alun-Alun Kota Bandung dalam barisan Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI) Bandung. “Sama Luhut, kita sama-sama satu sekolah di SMA Kristen BPPK Bandung. Waktu habis peristiwa itu (penculikan dan pembunuhan para jenderal), dia yang mimpin demo KAPI. Se-Indonesia, baru dia yang berani teriak-teriak, ‘Turunkan Sukarno!’ Sejak SMA memang sudah aktif berkegiatan orangnya,” kenang Tatang. Sempat berpisah, Tatang “bereuni” lagi dengan Luhut di AKABRI. “Cuma penempatannya beda kompi tapi asrama kita berdekatan. Masih baik hubungannya sama saya. Kalau ketemu masih pakai bahasa Sunda: ‘Eh, kumaha sia’ , hahaha…,” ujarnya sambil tertawa. Di Lembah Tidar, Tatang sebagai taruna anyar ditempatkan di Batalyon Taruna C-3 Kompi 1 pimpinan Mayor Abi Umar. “Tapi kalau di luar jam dinas, ada yang namanya Kor dan yang Danyon Kor saya itu Sersan Mayor Hendropriyono. Hampir semua latihan dan hukuman itu bentuknya fisik. Sampai pikiran kita itu kosong dan di situlah dimasukkan kedisiplinan dan ilmu-ilmu kemiliteran.” Dari empat tahun pendidikan, taruna Tatang lulus dengan nilai layak sehingga diambil lagi untuk pendidikan TNI AU. “Ujian terakhir itu namanya Pratangkas. Dari seluruh rangkaian sedari mulai masuk, diuji kembali. Kita disuruh lari lintas alam sambil mengikuti ujian-ujian di sejumlah posnya. Dari sekitar 1000 pendaftar pertama, sekitar 100 orang yang enggak lulus,” ingatnya. Tak berapa lama kemudian, pengumuman hasil ujian itu keluar dengan cara unik. Para taruna yang terdaftar lulus, digojlok lagi pada malam setelah mereka ujian. “Bayangin, sudah badan sakit semua habis ujian, tengah malamnya dibangunin. Nama-nama yang dipanggil disuruh ikut lari lagi pakai beban. Dibilangnya kita dihukum karena kesalahan ini-itu. Padahal ngarang aja itu para senior. Selesai itu kita dibagi pangkat sersan taruna,” lanjut Tatang. Marsda Tatang Kurniadi di masa pensiun (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Itulah cara para senior “melantik” para taruna yang lulus. Sementara, nama-nama yang tak dipanggil itulah yang ternyata tidak lulus. Selepasnya, sejumlah lulusan taruna itu mulai dibagi ke masing-masing matra. “Di situ enggak fair -nya. Yang nilainya bagus-bagus, diambilin Angkatan Darat (AD). Sisanya ya matra yang lain dan biasanya yang paling bawah nilainya diambil kepolisian,” sambungnya. Di situ pula Tatang berpisah dengan Luhut. Bukti persahabatannya yang tersisa hanya tulisan tangan Luhut tentang kenang-kenangan di buku harian Tatang. Bunyinya, “Dalam melakukan sesuatu perbuatan, sebelum kau laksanakan, kau berpikirlah dua kali. Dan kau jangan sampai terperosok ke jurang kehancuran. Putra Tidar, Luhut Pandjaitan, Kopral Taruna.” Melebarkan Sayap dalam Tugas Selepas AKABRI, Tatang muda masuk ke sekolah penerbang TNI AU 17 Angkatan Elang 3 di Lanud Andir hingga lulus. Sebermula dari pilot pesawat DC-3 Dakota dalam Skadron II, Tatang lantas beralih ke helikopter. Ia turut dilatih Marinir Amerika untuk bisa bermanuver dengan heli hibah Sikorsky S-58T Twinpac yang ditempatkan di Wing Operasi 004 Skadron 6. “Setelah peristiwa PKI itu kan kita dekat sama Amerika Serikat. Sementara heli-heli kita dari Soviet enggak boleh terbang lagi, dikirimlah (heli) bekas Vietnam (Selatan) Sikorsky. Banyak helinya tapi pilotnya enggak ada. Diambillah pilot-pilot dari Skadron Mig, Tu (Tupolev) serta saya dari Skadron Dakota,” tambahnya. Di kokpit Sikorsky, Lettu Tatang turut dalam Operasi Dharmapala sebagai pilot Skadron 6 yang di-BKO-kan di Kodam XII/Tanjungpura, Kalimantan Barat (Kalbar) dalam rangka pembasmian Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku). “Tugas pengiriman logistik buat pasukan AD di pedalaman. Di sana saya juga sampai ganti lima panglima (kodam), walau tahun 1974 sempat diikutkan latihan combat survival di Johor, Malaysia,” kenang Tatang. Kiprah Tatang berlanjut sebagai Dansatgas Lanud Jayapura. Pada 1988, dia dan anak buahnya turut mengamankan satu Pesawat Cessna Australia yang diduga menyuplai senjata untuk OPM (Organisasi Papua Merdeka). Pesawat ditemukan dalam keadaan ditinggalkan di wilayah Toma. Pesawat Cessna Australia yang diamankan TNI AU dengan diangkut heli di Papua (Foto: Dok. Marsda Purn. Tatang Kurniadi) “Mulanya ketika ada atase kedutaan kita di Papua Nugini (PNG) baca berita koran bahwa ada pilot Australia ditangkap polisi PNG karena lari menyeberang dari wilayah kita. Dari sana, dia mengontak BAIS (Badan Intelijen Strategis TNI), lalu BAIS mengontak saya. Jadi saya dan anak buah saya ditugaskan untuk memotret wilayah untuk menemukan itu dari Jayapura sampai Merauke, baru ketemu tiga bulan setelahnya,” tuturnya. Pencarian lokasi pesawat itu baru menemui titik terang setelah anak buah Tatang mencurigai adanya sebuah rumah di ujung landasan Toma. Ketika rumah itu diperiksa, ditemukanlah Cessna yang disembunyikan itu. Tangki bahan bakar dalam keadaan dekok dan tertancap panah. Badan pesawat dicoreti tulisan “Pesawat ini milik OPM”. “Sebenarnya kita ambil pesawat ini diam-diam. Australia juga tidak menanyakan karena kan berarti mereka melanggar. Kemungkinan untuk nge- drop senjata tapi pastinya Australia membantah. Di sana mereka laporannya hanya ada Pesawat Cessna sipil yang hilang. Dari Mabes AU perintahnya untuk dibawa. Kita bongkar dahulu untuk dibawa ke Tanah Merah pakai (heli) Puma. Dari Tanah Merah kita bawa lagi ke Jayapura pakai Pesawat Casa,” kata Tatang. Dari Tim-Tim ke KNKT Hanya gambaran menyedihkan yang terkenang oleh Tatang ketika mengingat hari-hari terakhir Timor-Timur (Timtim) sebelum lepas dari pangkuan RI. Kala itu, dia di-BKO-kan ke Tim-Tim sebagai Kadis Keselamatan Terbang dan Kerja TNI AU yang bertugas mengatur arus penerbangan. Penugasan itu bertolak dari pernahnya Tatang menjalani pendidikan flying safety di Southern California University pada 1979. Tugas Tatang dititikberatkan pada mengontrol safety kesiapan sebuah operasi. Operasi yang diembannya pun bukan angkut personel atau alutsista tapi operasi pengangkutan dokumen, barang-barang berharga, termasuk kontrol arus pesawat Hercules dan Merpati yang membawa pengungsi dari Dili ke Kupang pada 1999. “Mulanya mereka (Australia) mau bikin jalur khusus Darwin-Dili agar tak perlu lapor. Tapi tidak begitu. Kita suruh lapor. Saya tegaskan ke Atase Militer Australia di Dili Terry Delahuntie, agar setiap pesawat yang masuk Dili Lapor ke Koops (Komando Operasi). Kalau tidak, saya beritakan kamu nge- drop senjata. Sejak saat itu turun semua pesawat mereka untuk kita periksa,” kata Tatang. Tatang Kurniadi (kiri) saat turut menyambut Mayjen Cosgrove (Foto: Dok Pribadi Tatang Kurniadi) Setelah Referendum, Panglima Interfet Mayjen Peter Cosgrove pun datang ke Dili jelang peresmian penyerahan keamanan Tim-Tim ke UNTAET (United Nations Transitional Administration in East Timor). “Pas datang, pasukan mereka dulu yang turun bikin perimeter di sekitar landasan. Kita ngelihatin aja, itu mereka ngapain serius banget, padahal kondisinya kan sudah kondusif waktu itu,” kata Tatang menerangkan dirinya saat mendampingi Panglima Penguasa Darurat Militer Jenderal Kiki Syahnakri menyambut Cosgrove. Pendidikan Manajemen Sistem dan Investigasi Keselamatan Transportasi di Amerika pada 1979 itu juga membawa Tatang jadi ketua Komite Nasional Keselamatan Trasportasi (KNKT) pada 2007. Tugas itu diemban Tatang setelah tak lagi menjadi anggota DPR RI dari Fraksi ABRI, jabatan terakhirnya saat aktif di dinas militer, pada 2002. “KNKT itu yang mendirikan Profesor (Oetarjo) Diran. Pada 6 Maret 2007 saya diusulkan dari Mabes AU, besoknya dilantik. Dikiranya gajinya besar, ternyata hanya Rp3,5 juta. Selama menjabat saya enggak pernah cuti karena banyak pekerjaan yang harus kita hadapi. Kecelakaan Garuda (Indonesia) di Yogya dan Adam Air jadi kado penyambutan saya,” ujarnya. Di KNKT, Tatang hanya punya lima investigator yang dipilihnya berdasarkan kepakaran di berbagai medan. “Saya ambil dari AD ada, dari polisi juga ada, dari orang kereta api, orang dinas perhubungan juga yang sudah pada pensiun tapi ahli semua. Untuk yang mengoordinir, saya ambil dari mantan kapuslabfor Polri yang pernah bongkar Bom Bali. Mereka yang pilih sendiri anak buahnya masing-masing. Ketika ada kecelakaan, saya koordinir mereka sebagai anggota KNKT, jadi KNKT itu responsif,” ungkap Tatang. Berbagai kecelakaan pesawat di Indonesia sempat melahirkan sanksi dilarang masuknya pesawat Indonesia ke Eropa. Sambil membenahi KNKT, Tatang terus memperjuangkan dicabutnya larangan terbang itu. Ia memulainya saat turut merumuskan Nota Kesepahaman dalam Kerjasama Keselamatan dan Investigasi Kecelakaan Udara se-ASEAN pada 2012. Langkah itu dilanjutkan dengan masuk ISASI (International Society of Air Safety Investigators), yang belum dijalankan para ketua KNKT sebelum Tatang. “Sejak 2006 itu kan banyak pesawat murah tapi safety -nya kurang, sampai banyak yang jatuh dan menarik perhatian dunia. Jadi responsifnya KNKT ini banyak yang enggak mengerti efeknya, di mana sebelumnya minim anggaran. Padahal kan berpengaruh bagi pasar angkutan udara,” ujar Tatang yang setelah melepas jabatan Ketua KNKT pada 2015 berkecimpung di Lembaga Veteran Republik Indonesia dan Perhimpunan Purnawirawan Angkatan Udara (PPAU) itu. Meski butuh tiga tahun, perjuangannya membangun kepercayaan kembali terhadap penerbangan Indonesia tak sia-sia. Maskapai penerbangan Indonesia kembali diizinkan masuk Eropa.
- Manusia Pertama di Benua Amerika
Siapa orang pertama yang tiba di Amerika? Baru-baru ini arkeolog menemukan bukti bahwa manusia sudah menginjak benua Amerika sejak 15.500-16.000 tahun yang lalu.Ilmuwan dari Universidad Austral of Chile yang menemukan jejak kaki berumur 15.600 tahun itu. Seperti dilansir Phys , jejak kaki itu ditemukan saat mengekskavasi Situs Pilauco di Osorno, yang terletak di 820 km selatan Santiago, Chile. Situs ini telah diteliti sejak 2007. Reuters melaporkan, jejak kaki ditemukan pada 2010 di dekat sebuah rumah modern oleh seorang mahasiswa Universidad Austral of Chile. Jejak kaki itu terkubur di bawah sedimen tanah setebal lebih dari tiga meter sehingga bisa terawetkan sampai sekarang. Paleontolog Karen Moreno dan geolog Mario Pinoperlu bertahun-tahun untuk meyakiniitu adalah jejak kaki manusia. Mereka berhati-hati karena bisa jadi itu jejak kaki hewan yang cacat. Daily Mail melaporkan untuk yakin itu memang benar jejak kaki manusia, para peneliti membuat percobaan dengan membuat jejak kaki pada jenis tanah yang mirip dengan arah dan tekanan yang berbeda. Tes ini menggunakan tiga bentuk telapak kaki yang berbeda dengan ukuran yang mirip. Tinggi dan berat pemilik telapak kaki juga tak sama. Para ilmuwan mendapatkan umur jejak kaki manusia itu dengan penanggalan radiokarbon dari sisa-sisa tumbuhan organik yang ada di dekat temuan jejak kaki. Lewat penelitian, mereka bisa memperkirakan jejak kaki itu milik manusia bertelanjang kaki seberat 70 kg. Dia adalah Hominepes Modernus , keluarga Homo sapiens. “Di Amerika ada jejak kaki manusia lainnya, tapi tidak ada yang berasal dari penanggalan sejauh itu,” kata Pino kepada surat kabar Osorno, El Austral, dikutip Phys . Jejak kaki manusia yang ditemukan sebelumnya di situs selatan Osorno berasal dari sekira 1.000 tahun yang lalu. Selain jejak manusia, fosil lain telah banyak ditemukan di Situs Pilauco, termasuk moyang gajah dan kuda Amerika. Moreno bilang penemuan kali ini pun untuk pertama kalinya membuktikan keberadaan manusia di Amerika sejak sebelum 12.000 tahun yang lalu. “Sedikit demi sedikit di Amerika selatan kita mulai menemukan situs dengan bukti keberadaan manusia, tapi yang ini adalah yang tertua di Amerika?” ujarnya dikutip Daily Mail . Berdasarkan laman Ancient Origin , sebelumnya diyakini bahwa penduduk pertama benua Amerika tiba dari Siberia melalui Selat Bearing sekira 10.000 tahun yang lalu. Penemuan ini menantang gagasan bahwa manusia clovis adalah orang pertama yang menetap di benua itu. Temuan itu pun memberikan bukti adanya kolonisasi di wilayah Patagonia utara pada periode Pleistosen akhir. Jejak kaki merupakan bukti pendukung kalau wilayah di bagian paling selatan benua Amerika itu telah dijejaki menusia jauh lebih awal daripada yang diperkirakan. Teori model migrasi pantai akhirnya dibuktikan pula oleh temuan ini. Model ini menerangkan bahwa pemukim pertama yang mendiami Amerika bermigrasi dengan mengikuti garis pantai. Mereka kemungkinan tadinya menempati Kepulauan Pasifik.
- Menggali Budaya Astronomi Nusantara
Masyarakat Nusantara memiliki khazanah pengetahuan keantariksaan (astronomi) berlimpah. Mereka menggunakan pengetahuan tersebut untuk kebutuhan praktis hidup kesehariannya. Orang Bugis, misalnya, terkenal piawai menggunakan pengetahuan astronomi untuk menentukan arah dalam pelayaran. Orang Jawa dan Melayu mahir menentukan kapan masa tanam dan panen melalui pengetahuan astronomi. Selain guna sosial, ada pula guna personal yang diperoleh dari pengetahuan lokal tentang astronomi. Misalnya untuk menentukan saat baik dalam pembuahan rahim. “Jadi, semua pengetahuan yang bersumber kepada pengamatan terhadap alam itu punya kegunaan langsung,” kata Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dalam Sarasehan 50 Tahun Planetarium dan Observatorium Jakarta di Cikini, Jakarta, 27 April 2019. Hilmar melanjutkan pengetahuan astronomi untuk kebutuhan sehari-hari semacam itu seringkali tidak dianggap sebagai ilmu pengetahuan. Sebaliknya, warisan pengetahuan astronomi dari negeri Barat memperoleh tempat dalam khazanah ilmu pengetahuan. “Pengetahuan lokal pada masa kolonial itu selalu dianggap remeh. Kita ini dianggap sebagai sehimpunan manusia yang tidak saintifik. Tidak punya scientific mind . Kita tidak punya hitung-hitungan, dan seterusnya,” kata Hilmar. Keterputusan dengan Masa Lalu Anggapan remeh itu kemudian mendekam secara turun-temurun di pikiran generasi berikutnya. Mereka enggan mempelajari lagi warisan pengetahuan lokal tentang astronomi. Akibatnya generasi-generasi setelahnya menjadi terputus dengan pengetahuan lokal tentang astronomi. “Kita ini kadang-kadang merasa inferior karena yang satu sudah berkembang, punya institusi macam-macam, sudah menghasilkan begitu banyak temuan dan seterusnya, sementara kita ini belum apa-apa. Padahal kita sebetulnya punya khazanah yang cukup kaya,” ungkap Hilmar. Widya Sawitar, staf Planetarium dan Observatorium Jakarta, menegaskan pandangan Hilmar Farid. Dia mengatakan bahwa pembangunan Candi Borobudur pada abad ke-8 tidak terlepas dari pengetahuan lokal tentang astronomi. Peletakan batu pertama Candi Borobudur memperhitungkan keberadaan sebuah bintang bernama Polaris (Bintang Utara). “Jadi kalau kita mau mencari tahu bagaimana mengarahkan, atau meletakkan batu pertama candi, ternyata dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa hal itu merujuk kepada sebuah bintang, Polaris,” kata Widya. Keberadaan Polaris berfungsi untuk menandai arah utara. Melalui keberadaan Polaris, pekerja Borobudur dapat meneruskan tahap pembangunan berikutnya. Penelitian Widya juga memperlihatkan kekariban masyarakat Nusantara dengan pengetahuan astronomi. Widya menyebutnya sebagai budaya astronomi Nusantara. Dia mengambil contoh budaya astronomi dari khazanah Jawa. Widya menunjukkan penamaan matahari dalam kebudayaan masyarakat Jawa di daerah Yogyakarta dan Surakarta. Dia mencatat terdapat sekira 90 nama untuk menyebut matahari. Masing-masing nama memiliki makna tersendiri, tetapi objeknya tetap sama dan satu jua. Kiri-kanan: Riser Fahdiran, Hilmar Farid, Premana W. Premadi, dan Avivah Yamani, dalam Sarasehan 50 Tahun Planetarium dan Observatorium Jakarta, 27 April 2019. (Hendaru Tri Hanggoro/Historia) Widya kemudian mempelajari Serat Centhini. Dia menemukan sejumlah nama untuk bintang. “Tidak dapat dipungkiri apa yang kita sebutkan juga ada akulturasi antara budaya Jawa dan India,” kata Widya. Nama-nama itu antara lain lintang, kartika, talilintangan, dan banyak lainnya. Dalam Pranoto Wongso , bagian dari Serat Centhini , Widya juga banyak menemukan penamaan terhadap gugus-gugus bintang, planet, dan galaksi. Salah satu gugus bintang bahkan menjadi pedoman musim. Namanya gugus Lintang Kartika. Dalam bahasa Latin terkenal sebagai Pleiades . Gugus bintang ini termasuk dalam rasi bintang Taurus. Tembang-tembang Jawa pun begitu erat kaitannya dengan astronomi. “Saya juga menemukan tembang di sini yang banyak memuat nama benda langit. Ada rasi bintang Layang-Layang, Gubug Penceng. Ada gugus bintang Cruze di sana, ada Prahu Pegat, itu planet Mars. Dalam tembang juga ada Kali sebagai simbolisasi Kali Srayu yang melambangkan galaksi Bimasakti,” kata Widya. Tak ketinggalan soal teori penciptaan alam semesta. Setiap peradaban selalu memiliki gagasan tentang asal mula penciptaan alam semesta menurut versi masing-masing. Legenda Jawa pun menyebutkan bagaimana alam semesta tercipta. Ini berkaitan dengan penciptaan tokoh panakawan bernama Semar atau Hyang Ismaya. Jalan Perdamaian Beralih ke wilayah lain di Nusantara, tersua pula budaya astronomi. Ini terangkum di dalam banyak buku-buku terkenal berbahasa Melayu seperti Bustan al-Salatin , Taj al-Salatin , dan Hikayat Bayan Budiman . Semua buku mengandung pengetahuan astronomi dan ilmu falak. Orang bisa menguak kedalaman budaya astronomi tersebut melalui karya Tatiana Denisova, "Orientation, Navigation and Seafaring in Malay Islamic Historiography from the 4th to 19th Centuries", termuat dalam buku berjudul CASIS, UTM KL—Seminar & Workshop, The Astrolabe: Its History & Application . “Itu contoh-contoh saja bagaimana keterkaitan antara benda langit dengan budaya masyarakat di kesehariaannya. Itu contoh budaya astronomi,” kata Widya. Hilmar mengatakan kekayaan khazanah budaya dan pengetahuan lokal tentang astronomi tersebut hendaknya jangan sampai membuat orang meromantisasinya. Menurutnya sikap tersebut tidak produktif. “Orang jenis ini mengatakan bahwa kita punya peradaban yang besar di masa lalu, sudah punya teknologi canggih dan seterusnya . Dan pekerjaan yang dilakukan oleh orang seperti ini adalah menunggu." Hilmar mengatakan Indonesia punya peluang mengeksplorasi budaya dan pengetahuan lokal tentang astronomi bersama dengan astronomi modern untuk kebutuhan praktis hidup sehari-hari. Dia tidak sepakat memosisikan kearifan lokal dan sains modern secara berlawanan. “Itu menurut saya juga bukan sikap yang baik untuk kemajuan. Keduanya sebetulnya bisa sangat saling menyumbang, saling memperkuat,” ujar Hilmar. Hilmar berharap Planetarium dan Observatorium Jakarta dapat menjadi pivotal role , poros dari pengembangan dan pemanfaatan pengetahuan, dari dialog yang sehat antara astronomi modern dengan kearifan-kearifan lokal tentang astronomi yang sudah lama ada dan menyejarah.
- Setengah Abad Planetarium dan Observatorium Jakarta
INDONESIA mempunyai sejarah panjang dalam penyelidikan ilmiah dunia astronomi. Bermula dari pendirian observatorium Mohr di Batavia sebagai observatorium pertama di Hindia Timur pada pertengahan abad ke-18 sampai kepada kegiatan observatorium Bosscha pada 1923.
- Memahami Trauma May
MAY (diperankan Raihaanun) amat gembira. Dia menaiki bianglala, berayun di kora-kora, dan menonton tong setan. Seragam putih-biru masih melekat di badannya, senyum sumringah menghiasi wajahnya. Itulah senyum terakhir May. Sebelum pulang, di keruihan pasar malam itu dia diperkosa. May pulang dalam bisu. May bangun, menyetrika bajunya, lalu berkaca di depan cermin. Ia mengikat semua rambutnya ke belakang dan merapikan sisi-sisinya dengan jepit lidi. Pintu kamarnya dibuka, bapak (Lukman Sardi) sudah siap mengangkat meja ke dalam kamar May. Setelah itu mereka bekerja dalam diam, menjahit baju boneka, memasang pernak-pernik, lalu memasukkannya ke dalam mika. Rutinitas itu yang May dan bapak lakukan tiap hari selama delapan tahun. Hidup dalam senyap, bekerja dalam diam. Rutinitas jadi cara May bertahan hidup sejak peristiwa traumatik itu. Tatapan matanya kosong, seolah berusaha bertahan dengan menyaru jadi robot. Jika ingatan tentang pemerkosaan itu terlintas dalam benaknya, May akan mengiris kulit pergelangan tangannya, menghitung jumlah boneka di lemari, atau melampiaskan kekalutannya dengan lompat tali. Guncangan psikis tak hanya dialami May. Bapak yang di rumah selalu terlihat tenang dan sabar rupanya menjadikan tinju sebagai ajang katarsis. Ia meluapkan segala kemarahan dan rasa bersalahnya di atas ring sampai lawannya benar-benar KO. Tempramennya yang tinggi seringkali membawa bapak pada masalah. Rutinitas May mulai berubah setelah kehadiran seorang pesulap (Ario Bayu) yang tinggal di sebelah rumahnya. Lewat lubang sisa kebakaran, May berinteraksi dengan pesulap itu dan diajari beragam trik sambil berbagi rahasia. Gairah hidup May kembali tumbuh. Ia mulai menggerai rambutnya, mengganti model bonekanya menjadi pesulap perempuan. Ketika May main ke rumah pesulap dan melihat-lihat peralatan sulap yang aneh-aneh, tawa kecil May kembali hadir. Bergulat dengan Trauma Sejak awal film, 27 Steps of May (selanjutnya hanya ditulis May ) menyodori premis betapa tak enaknya hidup sebagai perempuan di Indonesia. May yang korban pemerkosaan menjadi representasi banyaknya pelecehan seksual di ruang publik. Dus , perlindungan hukum untuk korban boleh dikata hampir tak ada. Trauma pemerkosaan jadi tema utama yang diusung Ravi Bharwani lewat film terbarunya ini. Ravi tidak menghadirkan gambaran trauma yang penuh histeria, sebaliknya May dihadirkan dengan sangat senyap, bahkan dengan latar musik yang amat minim. Kesenyapan dalam semesta May menjadi simbol diamnya mayoritas korban kekerasan seksual hingga kini. May tidak pernah mengungkapkan pemerkosaan yang dialaminya sambil terus berusaha tegar dan melupakan. Lewat tokoh bapak, May juga menggambarkan bahwa tekanan batin tak hanya dialami korban tapi juga orang-orang di sekitarnya. Sementara, tokoh pesulap dan kurir boneka (Verdi Solaiman) ibarat support system yang dibutuhkan korban dan keluarganya. Ravi menyajikan warna berbeda dalam semesta May, bapak, dan pesulap. Dunia yang dihidupi May dalam traumanya serba polos: pakaian hanya baju terusan bermodel sama, stoking, dan sepatu putih; warna cat kamarnya berbeda dari seluruh rumah, tertata rapi namun banyak ruang kosong . Kamar May, yang dibangunnya sendiri, serupa ruang isolasi. Rumah Pesulap sebaliknya. Ia penuh warna dan keajaiban. Lubang di tembok kamar May ibarat pintu masuk ke dunia lain, yang lebih berwarna dan hidup dibanding kamarnya. Sementara, kamar bapak mirip ruangan tidak terurus: tembok retak, cat terkelupas, dan barang-barang digantung atau ditaruh sembarangan. Kamar itu mirip dengan psikologis bapak yang tak mengurus dirinya dengan baik di tengah kekalutan akan kondisi May. Meski alurnya lambat, May menawarkan ide cerita bagus tentang trauma korban pemerkosaan. Menggambarkan rutinitas memang sulit, ditambah alur lambat, sangat riskan bikin penonton bosan. Di sepertiga akhir film, emosi penonton diacak-acak menyaksikan keberanian May menyampaikan traumanya pada si pesulap. Raihaanun berakting cukup baik, berhasil menghadirkan keterasingan dan trauma May. Sayangnya, tampilan Raihaanun berseragam SMP dengan rambut kepang dua dan pita diujungnya agak mengganggu. Gambaran anak SMP polos tak harus dengan pita dan rambut kepang dua. Ada banyak cara yang lebih halus. Mewakili Korban Pemerkosaan Dalam kredit filmnya, May mendapat bantuan dari aktivis perempuan seperti Mariana Amiruddin dan Tunggal Pawestri untuk mendalami tema pemerkosaan. Rayya Makarim yang duduk sebagai penulis skenario, meramunya dengan apik. Dia berhasil menggambarkan kondisi psikis korban dan orang terdekatnya. Korban-korban kekerasan seksual seringkali diam dan mengisolasi diri lantaran takut mendapat cibiran dari masyarakat. Trauma pemerkosaan ditambah perasaan terhina dan dilecehkan yang terus dipendam membebani para penyintas. Trauma ini berlangsung bertahun-tahun dan mengganggu kehidupan si korban. Usaha-usaha untuk mendapat keadilan bagi para korban pun masih alot diperjuangkan lewat RUU Kekerasan Seksual yang belum kunjung disahkan. Belum lagi kasus-kasus kekerasan seksual yang melibatkan negara dalam sejarah Indonesia, seperti peristiwa 1965 dan Mei 1998. Dalam konflik politik besar yang melibatkan negara, tubuh perempuan seringkali dijadikan arena pertarungan kuasa. Perempuan korban 1965 mengalami beragam kekerasan seksual, mulai dari ditelanjangi dengan dalih untuk mencari tato palu arit, sampai diperkosa. Pun demikian dengan pemerkosaan terhadap perempuan etnis Tionghoa menjelang reformasi 1998. Mereka dan korban-korban kekerasan seksual lain belum mendapat perlindungan dan keadilan baik dari negara maupun masyarakat. Kisah-kisah kekerasan seksual itulah yang mengilhami pembuatan 27 Steps of May. Ravi tidak berusaha untuk menggurui, tapi menunjukkan kepedihan yang dipendam. May menjadi jalan bagi para penontonnya untuk lebih berempati dan memahami luka korban kekerasan seksual.
- Mengenang Bertolucci
ADA yang spesial dalam gelaran Europe on Screen (EoS) tahun ini yang dihelat 18-30 April 2019. Dari beragam program yang digulirkan, ada program retrospektif berupa pemutaran tiga karya sineas legendaris Bernardo Bertolucci: The Conformist (1970), The Last Emperor (1987), dan The Dreamers (2003). Ketiga film epik itu mewakili tiga dekade, tiga negara, serta tiga bahasa berbeda. Namun, tema ketiganya tetap tak jauh dari seks dan politik, yang jadi ciri khas karya Bertolucci. Ia tak hanya menawarkan kevulgaran seksual namun juga fragmen-fragmen politis yang apik dengan kemasan seni. Diangkatnya tiga karya Bertolucci yang menonjolkan bahasa Italia, Prancis dan China dalam program ini tak lain merupakan bentuk apresiasi dan untuk mengenang sosok yang menghembuskan nafas terakhirnya pada 26 November 2018 itu. “Dengan menonton pilihan karya film dari seorang sutradara (Bertolucci) kita bisa belajar banyak. Saya pribadi sudah ingin memutar film-filmnya dari beberapa tahun terakhir ini. Kabar kematiannya beberapa bulan lalu makin menegaskan dan membulatkan tekad kami untuk mengadakan (program) restrospektif Bertolucci tahun ini,” tutur EoS Festival Co-Director Nauval Yazid kepada Historia. The Conformist yang berkisah seputar seorang polisi di era fasisme Benito Mussolini, diputar di Instituto Italiano Cultura (IIC) pada 20 April dan Kineforum pada 27 April. Sementara, The Last Emperor yang mengangkat kisah kaisar terakhir China, ditayangkan di IIC pada 19 April dan Kineforum pada 28 April. The Dreamers, yang mengisahkan drama tiga aktivis muda di masa Kerusuhan Mei 1968 di Prancis, ditayangkan di IIC pada 23 April dan Kineforum pada 25 April. “Kenapa kami tayangkan tiga film dengan tiga bahasa berbeda, karena kami ingin menunjukkan versatility atau keluwesan Bertolucci dalam membuat film. Tiga film dari tiga dekade yang berbeda ini juga menunjukkan endurance atau ketangguhan Bertolucci sebagai sutradara. Dan dari skala produksi film, semuanya epik,” imbuhnya. Like Father, Like Son Bertolucci lahir di Parma pada 16 Maret 1941 sebagai putra sulung seorang guru Ninetta Giovanardi dan seorang penyair, sejarawan seni cum kritikus film Attilio Bertolucci. Sejak belia, ia tumbuh jadi seorang yang gemar menulis, hingga masuk Fakultas Sastra Modern Universitas Roma pada 1958. Kelak adiknya, Giuseppe Bertolucci, serta sepupunya, Giovanni Bertolucci, juga berkecimpung di perfilman. Bernardo Bertolucci memenangi Golden Globe 1988 lewat film The Last Emperor (Foto: goldelglobe.com) Sayang, pendidikan formal tak dirampungkan Bertolucci. Namun saat keluar dari kampus pada 1961, dia sudah punya mentor Pier Paolo Pasolini, yang di tahun itu juga mengajaknya menjadi sebagai asisten sutradara film Attacone . Setahun berikutnya, Bertolucci “naik kelas” dengan meracik film sendiri yang berjudul La Commare Secca . Film drama pembunuhan seorang pelacur itu terbilang sukses. Booming film-film Italia di dunia pada 1970 turut mendongkrak ketenaran Bertolucci. Pada 1972, dia merilis Last Tango in Paris yang menggandeng aktor Marlon Brando dan Maria Schneider. Lewat film yang lebih sukses ini, Bertolucci masuk nominasi Academy Award untuk kategori sutradara terbaik dan Brando sebagai nominasi aktor terbaik. Namun di sisi lain, film drama-erotis sarat adegan kekerasan seksual itu menuai kontroversi. Tidak hanya filmnya harus banyak disensor di beberapa negara, pun juga di Italia sendiri film ini membuahkan kasus hukum. Pada 1973, sebagaimana tersua dalam Censorship: A World Encyclopedia , film ini diperkarakan di Pengadilan Negeri Bologna. Mahkamah Kasasi lantas memvonis film itu mesti disita komisi sensor dan semua copy filmnya dihancurkan pada 29 Januari 1973. Bertolucci dan Brando pun dibui dua bulan. Skandal itu tak membuat sineas atheis itu berhenti berkarya. Ia comeback dengan film 1900 yang dirilis pada 1976. Film yang diramaikan para aktor sohor seperti Robert De Niro, Gérard Depardieu, hingga Burt Lancaster ini mengisahkan pergulatan para petani di Emilia-Romagna pada Perang Dunia II. Nama Bertolucci kian berkibar setelah memenangi Academy Award dan Golden Globe pada 1988 dalam kategori sutradara dan screenplay terbaik untuk film The Last Emperor . Bernardo Bertolucci saat menggarap The Last Emperor di Kota Terlarang (Foto: Twitter @TheAcademy) “Bertolucci awalnya menawarkan dua proyek film kepada pemerintah China: Man’s Hope dari novel karya (André) Malraux dan From Emperor to Citizen . Tapi pada akhirnya menyingkirkan opsi Man’s Hope karena pemerintah China keberatan terkait interpretasi novel itu terhadap Revolusi Komunis di China,” tulis Peter Lev dalam The Euro-American Cinema . Opsi yang tersisa itu lalu digarap dan diubah tajuknya berdasarkan otobiografi sang kaisar terakhir China Aisin-Gioro Puyi, menjadi The Last Emperor . Produksinya bergulir lancar lantaran pemerintah China memberi kebebasan, termasuk saat pengambilan gambar di Kota Terlarang, demi produksi film tersebut. Film itu sukses berat dan jadi puncak karier Bertolucci, yang tetap berkarya hingga 2012 lewat film terakhir berjudul Me and You . Karya-karya Bertolucci sempat diapresiasi oleh Palme d’Or, anugerah tertinggi dalam perfilman, pada Festival Film Cannes pada 2011.






















