Hasil pencarian
9589 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Sepakbola Gajah demi Bumi Cendrawasih
SEBAGAI klub yang ikut mendirikan PSSI, Persebaya Surabaya merupakan klub yang kaya sejarah. Prestasinya pun fenomenal dalam persepakbolaan tanah air. Sayang, tim berjuluk “Bajul ijo” (buaya hijau) itu acapkali tersangkut skandal. Dari sejumlah kasus yang pernah mencoreng kebesaran namanya, paling bikin geger adalah skandal “Sepakbola gajah” di kompetisi Perserikatan 1988. Aib yang berkalang dendam di satu sisi dan tujuan mulia di sisi lain itu menjadi skandal kecurangan pertama, jauh sebelum timnas Indonesia mengalah di Piala Tiger (kini AFF Cup) 1998 atau kasus PSIS Semarang di Liga Indonesia 2014. Dalam buku Sepak Bola Gajah Paling Spektakuler, Slamet Oerip Prihadi dan Abdul Muis mengungkapkan, kisahnya bermula dari laga Divisi Utama Wilayah Timur di mana Persebaya menjamu Persipura Jayapura di Stadion Gelora 10 November, 21 Februari 1988. Persebaya yang sangat berpotensi menang. Terlebih mereka tampil di hadapan dukungan penuh arek-arek Suroboyo. Namun tak dinyana, hasil akhirnya mencengangkan. Skor akhir 12-0 untuk tim Mutiara Hitam (julukan Persipura). Gol demi gol Persipura tercipta dari pembiaran oleh para pemain Persebaya yang mayoritas berisi pemain lapis dua. Dendam atau Demi Papua? Banyak versi mengatakan bahwa Persebaya sengaja mengalah untuk menyingkirkan rival bebuyutan, PSIS Semarang. Di musim sebelumnya, PSIS menjadi juara setelah di final mengalahkan Persebaya. Namun, di balik alasan teknis ternyata ada alasan politis dari sikap mengalahnya Persebaya, yakni menjaga persaudaraan demi keutuhan NKRI . “Alasan utamanya sebenarnya bukan karena PSIS. Tapi kasihan Persipura kalau sampai mereka gagal lolos (babak) 6 Besar, apalagi degradasi seperti Perseman Manokwari. Apa hiburan di Indonesia timur saat itu? Sederhana motifnya. Tapi kalau orang mencernanya pakai emosi, bisa beda,” ujar peneliti sejarah Persebaya Dhion Prasetya kepada Historia. Persebaya akhirnya tetap menjuarai klasemen Wilayah Timur dan bersama Persipura pula lolos ke Babak 6 Besar. Sementara, juara bertahan PSIS gigit jari lantaran gagal lolos. Peristiwa yang lantas dikenal sebagai “sepakbola gajah” itu tak membuat Persebaya dihukum PSSI. Kala itu belum ada regulasi yang mengatur skandal semacam itu. Malahan, di akhir musim Persebaya keluar sebagai juara Perserikatan. Satu-satunya hukuman yang diterima Persebaya hanya kebencian dari publik sepakbola Semarang dan Jawa Tengah. “Pada peristiwa itu, manajer Persebaya Agil H. Ali yang mengajak semua elemen di dalam tim untuk mengalah. Pendapat Pak Agil disetujui para pemain. Maka jadilah sepakbola gajah. Gara-gara itu tim Persebaya dikenal sebagi Bledug Ijo (Anak Gajah Hijau). Itu sebutan olok-olok untuk Persebaya,” lanjut penulis buku Persebaya and Them itu. Pengamat Sejarah Persebaya, Dhion Prasetya (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Seruan untuk mengalah dari manajemen juga diperkuat pengakuan Ketua Harian Persebaya Brigjen Evert Ernest Mangindaan, yang juga Danrem 084/Baskara Jaya Kodam V Brawijaya. “Pertama, kita melihat bahwa di daerah Indonesia Timur akan tanpa wakil kalau Persipura tak diloloskan. Kedua, PSIS adalah tim tangguh yang tentunya akan lebih merepotkan (di Babak 6 Besar),” ujarnya berdalih, dikutip Merdeka , 29 Maret 1988. Akibatnya, pertandingan itu dijuluki sebagai “sepakbola gajah”. Olok-olok itu berangkat dari wasit yang memimpin laga berasal dari Lampung. Provinsi paling selatan Pulau Sumatra itu sohor dengan sekolah gajahnya, sampai-sampai MTQ tahun yang sama menggunakan pertandingan sepakbola gajah sebagai atraksi pembukaan.
- Moersjid, Soeharto dan Senapan Chung
KETIKA hari hilangnya Letjen TNI Ahmad Yani, Presiden Sukarno berupaya mencari sosok pengganti sementara panglima Angkatan Darat. Selama berjam-jam, Sukarno memilih dan memilah para jenderal yang direkomendasikan. Dari sekian nama, justru tak ada yang ideal di mata Bung Besar.
- Tiga Selera Lukisan Sukarno
KETIKA Sukarno tengah getol mengoleksi lukisan realisme dan naturalisme, di Eropa sedang berkembang aliran modernisme yang terdapat unsur-unsur abstrak serta kubisme. Lukisan-lukisan yang dikoleksi Sukarno adalah peninggalan masa Romantik yang berkembang di Eropa pada akhir abad 18. “Kenapa Sukarno bisa tinggal di level Romantik? Padahal di Eropa sedang berkembang pesat modernisme,” tanya kolektor Syakieb Sungkar. Kurator Mikke Susanto mencoba menjawabnya. “Selera lukisan Sukarno ada tiga. Pertama, dia sebagai laki-laki; Kedua, dia sebagai pejuang; dan ketiga, dirinya sebagai presiden,” kata Mikke dalam acara peluncuran bukunya, Sukarno's Favourite Painters di Gedung Masterpice, Tanah Abang IV, Jakarta Pusat. Sebagai lelaki, kata Mikke, selera Sukarno pada lukisan perempuan bahkan ada yang telanjang. Sebagai pejuang, Sukarno yang menganggap para pelukis sebagai pejuang, koleksi lukisannya bertema perjuangan, gerilya, mitos lokal, dan pewayangan. Semuanya sebagai bagian untuk memperlihatkan kekayaan bangsa kepada para tamu negara. Dan sebagai presiden, Sukarno memperlakukan lukisan-lukisan bukan hanya sebagai hiasan dinding semata, namun lukisan sebagai alat diplomasi. Mikke menceritakan dalam suatu pertemuan para pemimpin negara terjadi deadlock . Sukarno menengahi dan mengajak para tamu negara yang berdebat tadi jalan-jalan menikmati koleksi lukisan di istana. “Nah, saat di depan lukisan perempuan telanjang, mereka berhenti, dan terjadi diskusi tentang masalah yang dibahas tadi. Alhasil, diskusi berjalan cair. Jadi, fungsi lukisan menjadi lebih punya makna,” ujar Mikke. Sementara itu, krititikus seni Agus Dermawan T. melihat selera Sukarno terhadap lukisan didasarkan pada unsur estetika atau keindahan. Sastrawan Sitor Situmorang pernah menulis tentang selera estetika Sukarno bahwa sesuatu yang indah akan memberikan kenikmatan yang kekal. Hal itu, menurut Sitor diujarkan Bung Karno dihadapan para penyair. Sitor pun mengelaborasi pendapat Sukarno ini kedalam dunia seni lain, termasuk seni rupa. Jadi, basis itu yang dipakai Sukarno untuk mengoleksi karya seni.*
- Ketika DI/TII Memburu PKI
ALOYSIUS Sugiyanto mengaku kenal baik dengan tokoh DI/TII, Danu Muhammad Hasan. Sebagai intel Opsus (Operasi Khusus), dia ditugaskan atasannya Ali Moertopo untuk membina beberapa eks tokoh DI/TII. “Saya sering main ke rumah Danu di Situaksan, Bandung,” ujar Sugiyanto kepada Historia . Perkawanan itu pula yang membuat Danu loyal kepada orang-orang Opsus. Ketika Angkatan Darat menjalankan aksi pembersihan orang-orang PKI dan loyalis Sukarno, para eks aktivis DI/TII yang dikenal sangat antikomunis termasuk pihak yang dilibatkan. “Danu saya tugaskan memata-matai gerak-gerik Soebandrio,” kenang Sugiyanto. Soebandrio merupakan orang dekat Presiden Sukarno. Selain menjabat kepala Badan Poesat Intelijen dan menteri hubungan ekonomi luar negeri, Soebandrio juga salah satu wakil perdana menteri. Mahkamah Luar Biasa memvonis Soebandrio hukuman seumur hidup karena dianggap terlibat Gerakan 30 September 1965 (G30S). Musuh Bersama Setelah peristiwa G30S, kelompok-kelompok antikomunis melakukan konsolidasi kekuatan. Angkatan Darat bergerak cepat. Selain terlibat langsung menumpas orang-orang PKI, mereka pun bekerja sama dan memfasilitasi kekuatan-kekuatan anti-PKI, salah satunya DI/TII. Dalam The Second Front: Inside Asia’s Most Dangerous Terrorist Network , Ken Conboy menyebut pendekatan terhadap eks anggota DI/TII langsung dilakukan oleh bos Opsus, Ali Moertopo. Ali meyakinkan para mantan gerilyawan DI/TII untuk berdiri di kubunya dalam menghadapi PKI sebagai musuh bersama. Lewat beberapa orang kepercayaannya, di antaranya Aloysius Sugiyanto dan Pitut Soeharto, Ali menjanjikan fasilitas dan pengampunan jika eks pemberontak itu mau bekerja sama dengan tentara. Gayung bersambut. Ajakan Opsus diamini para pemimpin DI/TII. Bahkan, menurut Conboy, mereka sangat antusias. Begitu sepakat mereka segera bergerak. “Danu dan kelompok kecil pendukungnya menjelajah Jakarta guna membongkar persembunyian para pejabat rezim Sukarno,” tulis Conboy. Di Jawa Barat, penumpasan PKI juga mengikutsertakan eks DI/TII. Menurut peneliti sejarah DI/TII Solahudin, saat menjalankan penumpasan, mereka didukung penuh Kodam Siliwangi dan agen BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara). Namun, dalam buku NII Sampai JI: Salafy Jihadisme di Indonesia karya Solahudin, tokoh DI/TII Adah Djaelani menolak keras jika dimodali tentara. Menurut Adah, dalam kenyataannya orang-orang DI/TII membiayai sendiri operasi tersebut. Hal ini dibenarkan oleh Solahudin. “Saat menghabisi orang-orang PKI, eks anggota DI/TII hanya mendapatkan bantuan pinjaman senjata,” ungkapnya kepada Historia . Ganjaran Orde Baru Operasi bersama yang dilakukan tentara dengan eks anggota DI/TII berlangsung sukses. Rezim Orde Baru menepati janjinya untuk memberikan ganjaran yang setimpal. Selain pembebasan dari dosa-dosa pemberontakan 1949-1962, Orde Baru lewat tangan tentara juga memberikan kemudahan usaha kepada para eks anggota DI/TII. Ateng Djaelani, salah satu dedengkot DI/TII yang ikut dalam penumpasan orang-orang PKI, diangkat sebagai ketua Gapermigas (Gabungan Perusahaan Minyak dan Gas) Kotamadya Bandung. Sementara Danu Muhammad Hasan direkrut Ali Moertopo untuk bekerja di BAKIN dengan imbalan yang memadai: rumah dinas, mobil dinas dan gaji bulanan. Menurut Solahudin, situasi mapan itu menjadikan eks anggota DI/TII sejenak melupakan cita-cita mereka untuk mendirikan Negara Islam. “Saat itu kami tak berpikir sama sekali untuk menghidupkan kembali gerakan DI/TII,” ujar Adah Djaelani seperti dikutip dalam buku karya Solahudin. Tidak hanya memberikan fasilitas secara perorangan, pada 21 April 1971 pemerintah Orde Baru juga (lewat BAKIN) memfasilitasi pertemuan reuni akbar eks anggota DI/TII di Situaksan, Bandung. Sekira 3.000 eks anggota DI/TII hadir dalam pertemuan itu. Para pejabat BAKIN mengajak mereka bergabung dengan Golkar. “Merespons ajakan itu, para tokoh DI/TII terbelah menjadi dua: ada yang oke saja dan ada yang menolak mentah-mentah,” ujar Solahudin. Sejarah kemudian membuktikan, sebagian anggota DI/TII kembali membangun mimpi tentang negara Islam di Indonesia. Para “pejuang Tuhan” itu kemudian ada yang kembali mengangkat senjata untuk mewujudkannya dengan memodifikasi gerakan mereka menjadi transnasional.
- Nama Sebenarnya Penulis Nagarakrtagama
Nagarakrtagama , karya monumental yang kini menjadi salah satu rujukan penting untuk memahami Majapahit dan Singhasari. Penulisnya adalah Mpu Prapanca, bukan nama sebenarnya. Dia menggunakan nama pena untuk menyembunyikan identitasnya. Prapanca merupakan pujangga yang menggantikan ayahnya sebagai dharmadyaksa kasogatan atauketua urusan agama Buddha di Majapahit. Namun, nama Prapanca tak pernah muncul dalam prasasti pada masa Hayam Wuruk. Oleh karena itu, sejarawan Slamet Muljana meyakini Prapanca hanyalah nama samaran sebagaimana tersirat dalam karyanya. “Jelas sekali pemberitaannya dalam Nagarakrtagama dari ucapan: maparab Prapanca . Kata maparab berarti menyamar, mengambil nama samaran, mengambil nama olok-olok,” tulisnya dalam Tafsir Nagarakrtagama. Siapakah nama asli Prapanca? Setahun sebelum perjalanan ke Lumajang, Hayam Wuruk mengeluarkan Prasasti Canggu pada 1358 M. Pada masa itu, kiranya Prapanca sudah menjabat dharmmadyaksa kasogatan . Jika kesimpulan itu benar, kata Hadi Sidomulyo, maka nama asli Prapanca adalah Dhang Acarya Nadendra. “Namanya itu terdaftar sebagai dharmadyaksa ring kasogatan dalam prasasti masa Hayam Wuruk, yaitu Prasasti Canggu 1358 M dan Prasasti Sekar yang dikeluarkan beberapa tahun kemudian,” tulisnya dalam Napak Tilas Perjalanan . Sedangkan nama ayahnya, Dhang Acarya kanakamuni. Setelah mengabdi selama lebih dari 30 tahun, dia menyerahkan jabatannya kepada putranya. “Sesuai dengan ucapan Prapanca, kalau dia telah menggantikan ayahnya yang sangat dihormati oleh para pendeta Buddis dan mungkin merupakan pujangga yang unggul,” jelas sejarawan asal Inggris yang bernama asli Nigel Bullough itu. Slamet mengatakan dapat dipahami mengapa Dang Acrya Nadendra menggunakan Prapanca sebagai nama pena. Prapanca berarti kesedihan, perintah laku utama. “Pada hakikatnya, waktu dia mengubah Nagarakrtagama , hidupnya sedang diliputi kesedihan akibat kehilangan pangkat dan hidup kesepian jauh dari istana,” jelasnya. Slamet juga menjelaskan kesedihan dan kelakuan yang tak senonoh menjadi dasar pemberitaan menjelang akhir karya Prapanca itu. “Segala kekurangan, terutama yang menyangkut kehidupan rohaniah tercantum bagai cacat rohani pada pupuh 96,” lanjutnya. Dalam pupuh itu, Prapanca menyebut cacat badan dan kelakuannya. Dia sama sekali tak menyebut hal baik tentang dirinya. Alasannya, dia merasa dicela. Dia dianggap sebagai manusia yang tak berguna. Dia menyebut dirinya terlalu bersikap kurang ajar, terlalu bodoh, segan menganut ajaran yang baik, orang yang tak pantas ditiru. Pantasnya hanya dipukul berulang kali. Lalu cacat badaniah, yakni tertawa terbahak-bahak, pipinya sembab, matanya mengeluyu seperti mengantuk, cakapnya agak ganjil alias lucu. “Kekurangan itu, kata Prapanca, merupakan suatu kesedihan dan cacat bagi pujangga. Itu semuanya dengan senang hati diakuinya,” kata Slamet. Karena sadar akan kekurangannya itu, Prapanca kemudian memutuskan untuk masuk ke hutan sebagai pertapa. Dia mengubah namanya dari Nadendra menjadi Winada, yang artinya tercela. “Seolah dia tak pantas bernama Nadendra, setelah dipecat dari jabatan dharmmadyaksa . Pantasnya bernama Winada, orang yang dicela, orang yang dicacat,” jelas Slamet. Menurut Hadi, sebelum diasingkan, meski punya jabatan tinggi, Prapanca tak begitu percaya diri dengan kemampuannya. Dia hidup dalam bayangan ayahnya yang sangat dihormati oleh para pendeta Buddha. “Penyair mengakui bahwa dia masih belum tahu cara menghasilkan syair yang baik, dan hampir tidak mungkin dapat menciptakan komposisi tertulis,” catat Hadi.
- Moersjid, Jenderal Pemarah yang Disegani Sukarno
GONJANG-ganjing terjadi dalam TNI AD setelah keberadaan pucuk pimpinan Menteri/Panglima AD (Menpangad) Letjen TNI Ahmad Yani tak diketahui. Kabar hilangnya Yani berdekatan dengan mengudaranya siaran pagi RRI pada 1 Oktober 1965. Saat itu, RRI memberitakan tentang adanya kudeta Dewan Jenderal dan pengumuman Dewan Revolusi. Berita simpang siur tadi bikin yang mendengar bingung kelimpungan, tak terkecuali pihak Istana. Pada tengah hari, Presiden Sukarno segera mengumpulkan semua petinggi TNI lintas angkatan. Masukan dari sana-sini menghasilkan sejumlah nama. Satu persatu kandidat ditelaah oleh Bung Karno. Siapa yang pantas menggantikan Yani? Menteri Panglima Angkatan Udara, Marsekal Omar Dani menyebutkan satu nama. “Moersjid, Pak,” katanya kepada Bung Karno dituturkan dalam Pledoi Omar Dani: Tuhan, Pergunakanlah Hati, Pikiran, dan Tanganku yang disusun Benedicta Surodjo dan J.M.V. Soeparno. Alasan Omar Dani menyebut Moersjid merujuk kebiasaan lazim di tiap angkatan untuk menunjuk deputi operasi sebagai standing order apabila panglima berhalangan. Moersjid sendiri adalah Deputi I Menpangad yang membidangi urusan operasi. Dari garis struktural, Moersjid merupakan orang kedua setelah Yani di jajaran TNI AD. Serta-merta Sukarno menimpali, “Wah, tak bisa, Moersjid itu pemarah.” Moersjid pun dimentahkan sebagai Menpangad. Moersjid sewaktu menjadi perwira menengah di Divisi Siliwangi. (Dok. Keluarga Moersjid/Historia.ID). Siapa Moersjid? Benarkah Moersjid tukang marah sebagaimana yang dikeluhkan Sukarno? Siddharta Moersjid, putra keempat Moersjid menuturkan kesaksian perihal sosok ayahnya. Menurut Siddharta, Moersjid memiliki karakter yang terlalu tegas dan lugas. “Dia [Moersjid] itu memang tak ada basa-basi. Saklek banget,” kata Siddharta (selanjutnya akan disebut Sida) kepada Historia sepekan lalu. “Istilahnya Bung Karno, dia itu te kordaat (terlalu tegas). Dalam Siapa Dia Perwira Tinggi TNI-AD, Harsja Bachtiar mencatat Moersjid lahir pada 10 Desember 1924 di Jakarta. Namun menurut keluarga, Moersjid lahir pada tanggal yang sama tahun 1925. Ayahnya Alip Kartodarmodjo orang Bagelen, Jawa Tengah sedangkan ibunya Djawahir asli Betawi. Karier militer Moersjid berawal di masa pendudukan Jepang ketika menjadi tentara PETA di Bogor. Pangkat pertamanya shondanco, setara komandan peleton. Saat revolusi fisik, Moersjid turut mengawal rombongan rakyat sipil yang hijrah dari Jawa Barat sampai ke Blitar, Jawa Timur. Dalam momen itulah Moersjid bertemu dengan Siti Rachma, gadis asal Banten yang kemudian dipersunting sebagai istri. Moersjid sewaktu menjadi perwira menengah di Divisi Siliwangi. (Dok. Keluarga Moersjid). Memasuki zaman Indonesia merdeka. Moersjid menapak ke jenjang perwira menengah. Pada 1951, pangkatnya sudah mayor. Dari komandan batalion, Moersjid promosi menjadi komandan resimen Divisi Siliwangi. “Kita dekat ketika saya menjadi Dan Yon 309 dan beliau atasan saya sebagai Komandan Resimen 11 Cirebon,” tutur Letjen TNI (Purn.) Sayidiman Suryohadiprodjo kepada Historia . “Beliau seorang komandan pasukan yang baik.” Gaya saklek Moersjid ditambah postur tubuh yang menjulang membentuk dirinya sebagai tentara tulen. “Tukang berantem . Tengil kalau orang bilang. Tingginya 185 cm, berat badannya 120-an kg,” ujar Sida. Dari Sulawesi ke Mabes TNI Nama Moersjid menonjol bersama Ahmad Yani setelah mereka turun ke palagan memadamkan perlawanan panglima pembangkang di daerah bergolak. Yani ditugaskan menumpas PRRI di Sumatera Barat dalam “Operasi 17 Agustus”. Sementara, Moersjid memimpin “Operasi Merdeka” untuk melumpuhkan Permesta di Sulawesi Utara. Yani kemudian bertugas di Markas Besar (Mabes) TNI membantu KSAD Letjen Abdul Haris Nasution sebagai Deputi II. Moersjid sendiri tetap bertugas di Sulawesi menjadi panglima Kodam XIII/Merdeka yang memegang wilayah perang Sulawesi Utara dan Tengah. Ketika wilayah basis-basis Permesta semakin kondusif, Moersjid ditarik ke Mabes TNI di Jakarta. Menurut Sida, di Mabes TNI ada satu ruangan khusus yang disebut ruangan peta. Konon, di sanalah tempat para perwira Mabes kerap melakukan aktivitas lain seperti menonton film yang pernah bikin Nasution sesekali jengkel. Di ruangan peta itulah Moersjid sehari-hari bekerja merancang strategi dan menyusun rencana operasi. Mahir dalam menganalisis topografi membentuk kebiasaan unik dalam diri Moersjid: tidur bersama peta. Kebiasaan tidur bersama peta-peta itu tetap terbawa hingga Moersjid purnabakti. Sewaktu operasi pembebasan Irian Barat, Moersjid pernah mengajak Yani terlibat dalam suatu misi. Ajakan itu bertujuan memberi dukungan moril bagi prajurit garis depan. Namun Yani tak terpancing. Dengan dalih sibuk, Yani menolak. Pada Januari 1962, Moersjid –mewakili TNI AD– ikut memimpin infiltrasi ke Kaimana, Papua yang berujung Peristiwa Laut Aru. “Untunglah, sewaktu saya ajak berangkat ke Irian, Jenderal Yani tak bersedia. Saya sendiri juga beruntung, (Komodor) Soedomo memindahkan saya ke KRI Harimau, bukan lagi di KRI Matjan Tutul,” kata Moersjid kepada jurnalis senior Julius Pour dalam Konspirasi di Balik Tenggelamnya Matjan Tutul . Mayor Jenderal TNI Moersjid selaku Deputi I Menpangad sedang menginspeksi pasukan. (Dok. Keluarga Moersjid/Historia.ID). Menghardik Soebandrio Medio 1962, Presiden Sukarno mendapuk Yani sebagai KSAD kemudian Menpangad – jabatan setara menteri. Posisi wakil KSAD dihapuskan dan diganti dengan tiga orang deputi. Yani mengangkat Moersjid mengisi posisi Deputi I. Moersjid lantas naik pangkat jadi mayor jenderal. Di antara semua deputi Yani, Moersjid adalah yang termuda namun membidangi urusan paling strategis, yakni operasi. Mayjen Soeprapto (kelahiran 1920) menduduki Deputi II urusan Administrasi. Sementara Mayjen M.T Harjono (kelahiran 1924) menjadi Deputi III urusan Perencanaan dan Pembinaan. Moersjid juga membawahkan dua asisten Menpangad. Mereka adalah Mayjen Siswondo Parman (kelahiran 1918), Asisten I bidang Intelijen dan Mayjen Djamin Gintings (kelahiran 1921), Asisten II bidang Operasi. Menurut sejarawan Asvi Warman Adam, di Mabes TNI, Moersjid tak berafiliasi dengan kubu manapun. “Bukan orangnya Nasution, Yani, apalagi Soeharto; juga tak terlalu dekat dengan Sukarno,” kata Asvi. Mayor Jenderal Moersjid selaku Deputi I Menpangad sedang menginspeksi pasukan. (Dok. Keluarga Moersjid). Dalam amatan Sayidiman yang pernah menjadi perwira pembantu di Mabes TNI, Moersjid adalah sosok perwira yang tegas namun loyal kepada atasan. Meski dikenal sangar, temperamennya masih terkendali. Namun amarah Moersjid pernah pecah juga. Tak tanggung-tanggung, emosinya membuncah saat rapat kabinet yang dihadiri Presiden Sukarno. Pada akhir 1963, Moersjid mendampingi Wakil Perdana Menteri I merangkap Menteri Luar Negeri Soebandrio ke Tiongkok. Sebelum berangkat, Moersjid telah dipesankan Yani agar tak terikat iming-iming apapun dari pemerintah RRT. Di Beijing, Perdana Menteri Chou En-Lai menawarkan bantuan persenjataan apabila Indonesia mau. Dalam memoarnya Soebandrio: Kesaksianku Tentang G30S, Soebandrio menyebutkan tawaran Chou berupa peralatan militer untuk 40 batalion tentara mulai dari senjata manual, otomatis, tank, dan kendaraan lapis baja. Semuanya gratis tanpa syarat. Namun tawaran tadi berakhir dengan ucapan terimakasih saja tanpa kesepakatan. Kepada Sida, Moersjid menuturkan, ketika lobi-lobi berlangsung, secara spontan kakinya agak menyepak kaki Soebandrio di bawah meja sebagai isyarat penolakan. Sesampainya di Jakarta dalam rapat kabinet, Soebandrio mengatakan bahwa ada jenderal muda yang arogan. Moersjid sontak berdiri. Katanya, “Bandrio, kita selesaikan ini di luar.” Rapat langsung diskors oleh Bung Karno. Moersjid dipanggil masuk ke kamar presiden. Di dalam kamar, Sukarno malah bercanda dengan Moersjid, tak menyinggung soal rapat. Bung Karno menyadari watak keras Moersjid dan ingin menurunkan "tensinya". Menurut Sida, sikap temperamental inilah yang menyebabkan Moersjid tak punya cukup banyak kawan. Karakternya yang terlalu tegas kurang berterima terhadap sebagian pihak, termasuk Sukarno. Soal pergaulan, Moersjid punya filosofi: eagles don't flock (elang tak datang bergerombol). “Teman-teman pribadi 1-2 itu ada tapi tak bisa bergerembol yang banyak teman. Orang-orang yang jaim ini, susah menerima orang yang terlalu tegas-lugas. Inilah yang membuat dia gak disukai,” ujar Sida.*
- Membuka Peristiwa Pembantaian di Sulawesi Selatan
ANHAR GONGGONG, sejarawan sohor Indonesia, punya alasan untuk marah dan benci kepada Pasukan Komando Khusus/Depot Speciale Troepen (DST) pimpinan Raymond Westerling. Ayah Anhar beserta kakak dan pamannya tewas di tangan DST di Sulawesi Selatan. Selama Desember 1946 sampai Maret 1947, DST membunuh ribuan warga sipil. “Bagi rakyat Sulawesi Selatan tindakan pembunuhan brutal yang dilakukan oleh Westerling dan pasukannya, adalah tindakan yang tidak akan bisa dilupakan,” kata Anhar dalam diskusi buku Di Belanda Tak Seorang Pun Mempercayai Saya karya Maarten Hidkes di Universitas Indonesia, Jawa Barat, 28 September 2018. Anhar mengakui DST telah meninggalkan luka dan dendam mendalam bagi banyak keluarga di Sulawesi Selatan. “Seingat saya pada 1950—1960, setiap menjelang Desember, ada berita bahwa banyak orang Sulawesi Selatan mencari Westerling. Mereka ingin mengajaknya berkelahi dan bertikaman,” kata Anhar. Tapi di Universitas Indonesia hari itu, Anhar memendam marah dan bencinya dalam-dalam kepada DST. Dia berjabat tangan hangat dengan Maarten Hidskes, anak dari Piet Hidskes, seorang anggota DST di Sulawesi Selatan. Menurut Anhar, marah dan benci tidak akan menjernihkan persoalan sejarah sekitar sepak terjang DST di Sulawesi Selatan. Maarten Hidskes, kelahiran 1967, berupaya menggali apa yang sebenarnya terjadi di Sulawesi Selatan pada masa 1946—1947. Dia tahu ayahnya mantan anggota DST. “Tapi dia tak pernah sedikit pun cerita tentang pengalamannya di Sulawesi Selatan. Saya pun awalnya tak pernah tertarik menanyakannya,” kata Marteen. Maarten masih ingat ujian sejarah di sekolah menengah atasnya pada tahun ajaran 1987—1988. Topik ujian itu tentang Belanda dan Hindia Belanda. Pada paket ujian tertera “Di Sulawesi Selatan kasusnya benar-benar lepas kendali. Pada akhir tahun 1946 dan awal tahun 1947, Kapten Westerling dengan penuh kekerasan mengakhiri kerusuhan di Sulawesi. Di kemudian hari cara tindakan seperti itu dianggap sebagai kejahatan perang.” Isi kepala Maarten waktu itu penuh oleh gagasan anti-perang dan perdamaian antar-bangsa. Dia mengecat rambutnya dengan dua warna dan mengenakan jaket berlambang perdamaian. Dia juga menentang bentuk-bentuk industri militer. “Saat itu bukanlah waktu yang pas untuk bertanya tentang masa lalu militer ayah saya,” kata Marteen. Suatu hari pada 1992, ayah Maarten menerima kunjungan teman-temannya di rumah. “Di Sulawesi Selatan ada beberapa kejadian yang kita bawa ke liang kubur. Saya sendiri tidak menyaksikan kejahatan perang, tetapi itu pastilah telah terjadi. Pasti,” kata ayah Marteen kepada teman-temannya. Maarten berada di sebuah ruangan dan mendengar percakapan ayah dan teman-temannya tentang Peristiwa Sulawesi Selatan. Pada diri Maarten muncul dorongan kuat untuk bertanya tentang Peristiwa Sulawesi Selatan itu. Tapi dia masih segan mengeluarkan pertanyaan itu. Hingga akhirnya tiga minggu kemudian ayahnya wafat. Hari-hari setelah kematian ayahnya, Maarten bertekad untuk mencari tahu sendiri pengalaman ayahnya selama di Sulawesi Selatan pada 1946—1947. Dia datang pada rekan-rekan ayahnya, merapikan kembali surat-surat ayahnya, mengumpulkan guntingan koran lama, dan mengorek-ngorek arsip militer berupa laporan dinas dan rekaman wawancara. Dia melakukannya selama lebih dari 25 tahun. Pada hari-hari pertama mencari tahu pengalaman ayahnya, dia langsung menemukan laporan militer mengerikan tentang Peristiwa Sulawesi Selatan. Dan di situ tertera pula peran ayahnya. Laporan itu menyebut pergerakan DST di Makassar pada 11 Desember 1946. Mereka masuk ke sejumlah kampung, menembak mati para pejuang Republik, menggeledah rumah-rumah penduduk, dan menginterogasi tiap lelaki dewasa. Anak dan perempuan ditempatkan secara terpisah. Ayah Maarten berdiri membawa pistol otomatis dengan kedua tangannya di depan dada. Dia mengawasi tiap lelaki dewasa penduduk kampung. Tak jauh dari tempat ayah Maarten berpijak, Kapten Raymond Westerling berjalan masuk kampung. Juru bahasa setempat bernama Gerrit mengikuti di belakangnya. Westerling berbicara singkat kepada penduduk kampung dengan bahasa Melayu. Vokalnya terdengar mirip suara penyanyi bariton opera. Dia mengatakan bahwa kedatangan pasukannya untuk memulihkan keamanan di Sulawesi Selatan. Dia menyebut para pejuang Republik dengan teroris, penjahat, dan pengacau. Mereka tega membunuh orang dan menebar ketakutan di kalangan penduduk. “Apakah engkau ingin mendukung orang-orang yang melakukan teror, pembunuhan, dan menebar ketakutan?” tanya Westerling. Tak ada jawaban dari penduduk kampung. Westerling melanjutkan pidato singkatnya, kemudian menengok ke salah satu stafnya. Sebuah kertas berisi daftar nama tersangka teroris diberikan kepada Westerling dari staf tersebut. Dia memanggil satu per satu nama yang tertera di daftar dan menginterogasinya. Orang-orang yang dipanggil oleh Westerling membantah telah membunuh dan berbuat kejahatan. Segelintir orang mengaku hanya ikut-ikutan atau terpaksa membunuh lantaran keluarganya diancam oleh pihak tertentu. Tapi buat Westerling interogasi itu hanya formalitas belaka. Mendapat pengakuan dari tersangkanya atau tidak, Westerling akan tetap menerapkan standrecht atau pengadilan di tempat. Vonisnya hukum mati dengan ditembak oleh regu penembak. Westerling pun turut menembak sendiri nama-nama yang dipanggil. Kejadian ini terus berlangsung berbulan-bulan. Korban tewas mencapai ribuan orang. Selama "operasi pembersihan teroris" oleh DST di Sulawesi Selatan, mayat-mayat terserak di jalanan kampung. Mayat-mayat itu tak hanya berasal dari korban operasi DST, tapi juga dari kekejaman orang Indonesia sendiri. Situasi keamanan di Sulawesi Selatan mencekam sejak Februari 1946. Tak ada bulan-bulan yang berlalu tanpa kerusuhan dan kekacauan. Orang-orang saling mencurigai dan melukai. “Apakah dia pro-Belanda, atau dia pro-Republik,” kata Anhar. Yang ketahuan menolong gerakan pro-Belanda akan sengsara, begitu pula dengan orang-orang yang berhubungan dengan pejuang Republik. Kepala bisa putus kapan saja dan perut akan robek pada waktunya. Kekacauan dan kerusuhan ini membuka pintu bagi kehadiran tentara Belanda di Sulawesi Selatan. Anhar menyebutnya sebagai pemaksaan perang kolonialis Belanda terhadap Indonesia. “Belanda tak ingin kehilangan jajahannya yang demikian luas dan kaya dengan sumber alamnya itu,” kata Anhar. Maka Belanda sebisa mungkin mencari celah untuk masuk kembali ke wilayah Republik. Maarten mengatakan pulau Jawa dan bagian Barat Indonesia telah berada di tangan kaum Republik setelah Proklamasi Kemerdekaan. “Tidak akan pernah dipegang Belanda sebagai tanah jajahan lagi,” ungkap Maarten. Kesempatan Belanda untuk merebut kembali wilayahnya hanya terletak di wilayah Indonesia Timur. Salah satunya adalah Sulawesi Selatan. Anhar dan Maarten bersepakat bahwa perang di Sulawesi Selatan selama 1946—1947 telah merugikan kedua belah pihak. “Perang dengan alasan sesuci apapun telah mengakibatkan jatuhnya banyak korban dan penderitaan yang tak berkesudahan di kedua belah pihak,” kata Anhar. Maarten pun menyatakan Belanda tidak memperoleh apa-apa dari perang di Sulawesi Selatan, kecuali jenazah pasukannya. Secara pribadi, sebagai keluarga mantan anggota DST, dia bilang cukup sulit menerima kenyataan bahwa ayahnya ikut terlibat dalam operasi pembersihan itu. “Mustahil ayah saya terlibat dalam eksekusi-eksekusi semacam itu. Ayah yang saya kenal bukan seperti itu dan saya juga tidak bisa membayangkan bahwa dia seperti itu,” kata Maarten. Tapi catatan tertulis dan kesaksian rekan ayahnya sulit dibantah. Dia harus mengaku dan membuka kisah ini kepada publik. “Saya berharap dengan penulisan Peristiwa Sulawesi Selatan melalui buku saya, ada pemahaman yang lebih jelas antara orang Indonesia dan Belanda tentang periode-periode berdarah itu,” kata Maarten. Anhar pun menyatakan pendapat serupa. Dia mengakhiri diskusi ini dengan harapan akan ada lagi penelitian lebih jauh mengenai Peristiwa Sulawesi Selatan agar ada pemahaman lebih jelas dari dua bangsa.
- Soeharto Menutup Pintu Rezeki Korban 1965
TANPA mempedulikan bahaya yang bisa menghinggapinya dan stigma yang bakal melekatinya, Anna Frederica Lambaihang berangkat ke Kamp Bukit Duri seorang diri dari rumahnya di Jalan Pramuka, Jakarta. Beberapa pakaian bersih dan rantang berisi makanan dia bawa untuk diberikan kepada orang yang akan dijenguknya.
- Sepakbola Surabaya Punya Cerita
SEDARI masa pergerakan, Surabaya sohor sebagai “dapurnya” nasionalisme. Segala segi kehidupan arek-arek Suroboyo sejak 1930-an, termasuk sepakbola, hampir selalu mengacu pada “promosi” ke-Indonesia-an. Sepakbola jadi alat perjuangan terhadap pemerintah Hindia Belanda. Permainan si kulit bundar begitu efektif untuk mengundang massa dan merekrut simpatisan. Terlebih, untuk golongan kelas dua (Timur Asing: Arab, Tionghoa) dan kelas terbawah (Bumiputera). Pertandingan-pertandingan bal-balan jadi “senjata” politik untuk menohok Nederlandsch Indische Voetbalbond (NIVB), induk sepakbola bentukan pemerintah Hindia Belanda. Sejak 1930, NIVB mendapat rival politis, PSSI. Setiap tim di bawah masing-masing federasi itu saling bersaing mencuri hati penggila bola di semua lapisan masyarakat. Meski tak sama dengan kondisi di kota-kota lain, yang penuh kebencian, persaingan NIVB dan PSSI yang diwakili Soerabajasche Voetbalbond (SVB) dan Soerabajasche Indonesisch Voetbalbond (SIVB) di Surabaya tetap berjalan. “Yang menarik di Surabaya dan berbeda dengan klub-klub lain di luar Surabaya, SIVB justru memiliki hubungan yang baik dengan SIVB. Memang saling bersaing tapi juga bersanding dalam beberapa pertandingan, di mana mereka melakukan laga persahabatan,” cetus pengamat olahraga cum dosen Universitas Negeri Surabaya, Rojil Nugroho Bayu Aji kepada Historia . Tim Eersteklassers Soerabaija berisi pemain campuran Belanda, Tionghoa, dan Bumiputra. ( Soerabaijasch Handelsblad , 20 Januari 1936). Boikot Namun, keharmonisan antara kubu NIVB dan PSSI sempat tercoreng oleh kerikil rasialis. Saat hendak menggelar putaran final perebutan gelar juara kompetisi Stedenwedstrijden (antarkota) di Surabaya, 13-16 Mei 1932, Bekker (wartawan Suratkabar d’Orient ) selaku comite Lid. NIVB mengeluarkan kebijakan rasis. Menurut HAA Achsien dalam Majalah Intisari edisi 5 Mei 1972, Bekker mengeluarkan keterangan pers bahwa wartawan etnis Tionghoa, Arab, India, dan Bumiputera tak diizinkan lagi datang ke laga-laga kompetisi di bawah NIVB. Alasannya, mereka kerap memberitakan hal-hal negatif tentang NIVB dan SVB. Alhasil, kaum Bumiputera dan terutama Tionghoa langsung merespon kebijakan Bekker dengan boikot. Seruan boikot dicetuskan hoofdredacteur (pemred) Koran Sin Tit Po Liem Koen Hian bersama Comité van Actie Persatoean Bangsa Asia. “Liem ini pendiri Partai Tionghoa Indonesia. Dia mengutarakan tentang nasionalisme Tionghoa harus merujuk pada Indonesia, bukan mengabdi pada China. Dia mengajak orang-orang Tionghoa lompat pagar untuk jadi golongan kelas tiga (bersama Bumiputera). Lahir dan besar di Indonesia, orang-orang Tionghoa harus ikut menguatkan ke-Indonesia-an. Ini yang menjadi gerakan di mana sepakbola jadi alat perjuangan bangsa di Surabaya,” lanjut Rojil. Seruan itu menjalar ke seantero Surabaya via berbagai suratkabar Tionghoa, Arab, dan Bumiputera. Masyarakat pun tergerak dan emoh menonton laga-laga putaran final Kampioenswedstrijden, 13-16 Mei 1932. NIVB dan SVB merugi karena sepi penonton kendati tuan rumah menjadi juara setelah mengalahkan rival-rivalnya asal Batavia (Jakarta), Bandung, dan Blitar. Di hari pembukaan Stedenwedstrijden, 13 Mei 1932, para pemboikot berhasil menarik massa memadati Lapangan Tambaksari (kini Stadion Gelora 10 November) untuk menyaksikan laga eksebisi Indonesia Marine vs Arabisch XI dan laga utama Tim “selection” Bumiputera kontra Tionghoa-Arab. Kedua tim berisi tokoh pergerakan hingga pemred suratkabar. Laga yang dipimpin wasit perempuan Nyonya Sardjono itu berakhir 0-0. Namun setelah ditentukan pemenang lewat cara “ soet ”, tim Bumiputera dinyatakan menang. Nahas, pasca-pertandingan, Liem Koen Hian dan sejumlah pemrakarsa boikot diciduk Politieke Inlichtingen Dienst. Mengutip laporan De Indische Courant , 20 Mei 1932, Liem ditahan dan baru dibebaskan tujuh hari berselang (19 Mei 1932). Liem dibebaskan pemerintah Hindia Belanda berkat protes Ketua Pemoefakatan Perhimpoenan Politiek Kebangsaan Indonesia MH Thamrin di Volksraad. “Yang bisa dipetik dari kisah ini adalah rasa kebersamaan yang muncul tanpa membedakan SARA. Antara orang-orang Tionghoa, Arab, dan Bumiputera, mereka tinggal di Kota Surabaya pada masa itu dan atas dasar persamaan dan persaudaraan mereka bersatu melawan musuh bersama: kembalinya kolonialis itu ke Surabaya (pasca-Proklamasi 1945),” sebut penggiat sejarah Roodebrug Soerabaia Ady Setyawan dalam Surabaya: Di Mana Kau Sembunyikan Nyali Kepahlawananmu.*
- Gempa dan Tsunami di Sulawesi Tengah Tahun 1938
GEMPA dengan magnitudo 7,4 mengguncang Donggala, Sulawesi Tengah, pada Jumat, 28 September 2018, pukul 17:02 WIB. Tsunami setinggi 1,5–2 meter menerjang Palu dan Donggala. Ratusan gempa susulan terus terjadi. Gempa disebabkan oleh patahan Palu-Koro. Pada 30 September 2018, BNPB menyampaikan data korban meninggal sebanyak 832 jiwa. Korban kemungkinan akan terus bertambah. Dalam sejarah, tsunami pertama terjadi pada 1927. Gelombang setinggi 15 meter menerjang kota, menewaskan 15 orang dan 50 orang terluka. Setelah itu, gempa dan tsunami kembali terjadi pada 1938 dan 1968. National Oceanic and Atmospheric Administration ( ngdc.noaa.gov ) mendata bahwa pada 19 Mei 1938 terjadi gempa berkekuatan magnitudo 7,6 dengan pusat gempa di Teluk Tomini. Gempa terasa hampir di seluruh Pulau Sulawesi dan di sebelah timur Pulau Kalimantan. Gempa mencapai kekuatan terbesarnya di wilayah Parigi. Gempa mengakibatkan 18 orang meninggal, 942 rumah (lebih dari 50%) ambruk di 34 desa dan 184 rumah rusak. Di permukiman Pelawa, pohon-pohon tumbang. Di permukiman Marantale, tanah retak dan terbelah di perkebunan kelapa; satu rumah dan tanah di sekitar perkebunan pisang bergeser 25 meter. Jalan-jalan retak hingga puluhan meter dengan lebar retakan 50 cm; di sana-sini lumpur mengalir. Di Parigi, sekolah dan gereja ambruk. Di wilayah Palu dan Donggala terjadi sedikit kerusakan. Sedangkan di daerah Poso dan Tinombo, tidak ada kerusakan sama sekali, meskipun ada guncangan kuat. Ada banyak gempa susulan. Setelah gempa, tsunami setinggi 2-3 meter dari teluk sekitar Toribulu menerjang ke Parigi. “Pada 1938 terjadi gempa yang hebat menyebabkan air laut naik menyapu rumah-rumah dan pohon kelapa rakyat di sepanjang pantai Kampung Mamboro, di tepi pantai Barat Kabupaten Donggala,” tulis Masyhuddin Masyhuda dalam Sejarah Perlawanan Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme di Daerah Sulawesi Tengah . Orang yang selamat dari gempa dan tsunami itu adalah Tjie Sim Poe dan Lie Eng Nio. Orangtua pengusaha Ciputra itu tinggal di Parigi, kota yang terletak di perbatasan Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan. Ciputra lahir dengan nama Tjie Tjin Hoan di Parigi pada 24 Agustus 1931. Ketika gempa terjadi, dia tinggal di rumah kakeknya yang biasa disebut Engkong di Gorontalo untuk sekolah dasar. “Tahun 1938 terjadi gempa bumi hebat di Sulawesi Tengah yang mengakibatkan tsunami dahsyat di Teluk Tomini. Parigi termasuk desa yang porak poranda. Beruntung, Papa dan Mama selamat. Tapi mereka sudah tak mau lagi membangun rumah dan meneruskan hidup di Parigi,” kata Ciputra dalam biografi terbarunya, Ciputra The Entrepreneur: The Passion of My Life (2018) karya Alberthiene Endah. Setelah gempa itu, keluarga Ciputra pindah ke Bumbulan, desa kecil sekitar 140 kilometer dari Gorontalo. Di sana, orangtuanya mengelola toko milik Engkong. Selamat dari gempa dan tsunami, hidup ayah Ciputra berakhir di tangan polisi rahasia Jepang ( Kempeitai ) yang menuduhnya mata-mata Belanda. Dia meninggal dalam tahanan Jepang di Manado. Gempa dan tsunami kembali terjadi di Sulawesi Selatan pada Agustus 1968 yang menewaskan 200 orang dan 800 rumah hancur bahkan sebuah pulau hilang.
- Asal Usul Anjing Sahabat Manusia dalam Film Alpha
PADA zaman prasejarah, seorang pemuda bernama Keda gagal melakukan perburuan pertamanya. Dia jatuh dari tebing dan dikira mati oleh kelompoknya. Terbangun dari pingsan, dia sadar telah ditinggalkan di tengah ladang berburu yang liar. Dengan tubuh penuh luka, pemburu amatir itu bertekad kembali pulang ke sukunya sambil mencoba bertahan hidup. Di tengah perjuangannya, Keda diserang kawanan serigala yang akan memangsanya. Dia obati seekor serigala yang terluka. Mereka pun bersahabat. Selama perjalanan, serigala yang dinamai Daya itu berulang kali membantu menangkap hewan. Sepintas film berjudul Alpha ini seolah hanya berkisah soal balas budi seekor serigala kepada manusia yang menyelamatkan hidupnya. Tema dari film ini memang soal persahabatan manusia dan binatang. Namun, yang menarik, film ini seperti merekonstruksi kehidupan manusia 20.000 tahun yang lalu pada masa akhir zaman es. Dikisahkan di dalamnya bagaimana manusia berburu, alat apa yang dipakai, bagaimana membuat alatnya, sampai bagaimana alat itu dipakai dalam perburuan. Film ini juga menceritakan, tentu menurut versinya, bagaimana awalnya domestikasi anjing, dari hidup liar menjadi jinak dan berkawan dengan manusia. Berdasarkan penelitian, hubungan manusia dan serigala memang menjadi pembuka awal domestikasi anjing. Data arkeologis menunjukkan leluhur anjing pertama adalah serigala abu-abu ( Canis lupus). Menurut Darcy F. Morey manusia dan hewan-hewan yang semarga dengan anjing telah berhubungan lama, paling tidak selama 11.000-12.000 tahun. “Berdasarkan tinggalan arkeologi di seluruh dunia, domestikasi anjing mungkin sudah terjadi 14.000 tahun lalu. Jadi, indikasinya sudah dilakukan ketika manusia masih berburu dan meramu,” tulis Darcy dalam “The Early Evolution of the Domestic Dog,” yang terbit di American Scientist, Vol. 82, No. 4. Buktinya, zooarkeolog Simon Davis dan Francois Valla melaporkan dalam sebuah makam prasejarah di Ein Mallaha, Israel utara, ditemukan rangka seekor anak anjing atau serigala diletakkan di bawah tulang lengan kiri rangka manusia. Makam manusia dengan anjing di Ein Mallaha di Israel utara. (Repro The Early Evolution of the Domestic Dog ). Tujuan Domestikasi Untuk apa anjing dipelihara pada awalnya? Bukti menunjukkan kalau pada awalnya anjing dijadikan sebagai pemulung sisa makanan manusia. Menurut M.F. Ashley Montagu, antropolog Hahnemann Medical College and Hospital di Philadelphia, awalnya manusia hidup dengan berburu dan mengumpulkan makanan. Mereka hidup tanpa menanam atau memelihara hewan. Bisa dibilang, manusia hidup secara semi nomaden. Mereka akan menempati suatu wilayah hingga sumber makanan di tempat itu berkurang. Selanjutnya, mereka pindah ke area lainnya, di mana sumber makanan lebih melimpah. Pada masing-masing permukiman yang mereka buat, ada semacam tumpukan sisa makanan yang begitu besar. Di sanalah mereka selama tinggal membuang makanan yang sudah tak dikonsumsi lagi. Besarnya, tentu tergantung seberapa lama mereka tinggal dan jumlah mereka. Bisa dibayangkan baunya pasti sangat mengganggu. Mereka lalu mengetahui kalau anjing ternyata tak keberatan diberi makanan sisa manusia itu. Karena inilah anjing kemudian mulai mendapat peran di tengah kehidupan manusia. “Penjelasan itu berasal dari letak temuan rangka anjing yang berada satu konteks dengan sampah dapur dan permukiman prasejarah di Eropa,” tulis Ashley dalam “On the Origin of the Domestication of the Dog” yang terbit di jurnal Science, New Series, Vol. 96, No. 2483 (31 Juli 1942). Namun, Ashley menambahkan, bukti paling kuat bisa dilihat dari kebiasaan di tengah suku Aborigin Australia. Di sana, kebudayaan zaman batu masih berjalan. Di setiap permukiman mereka, sekelompok anjing bisa ditemukan. Kondisi permukiman suku Aborigin Australia itu ditulis oleh ahli ornitologi W.H.D. Le Souef dalam Wild Life in Australia (1907). Awalnya, dia bertanya-tanya mengapa penduduk di sana begitu sering menggeser perkemahan mereka. Namun, dia paham ketika sadar kalau bau sampah dapur tempat itu, meski hanya tiga hari lamanya, sudah bisa tercium dari jauh. “Bau itu tercium bahkan sebelum perkemahan terlihat. Jika kita punya banyak anjing alih-alih hanya satu, mungkin tidak demikian buruk,” tulis Le Souef. Sementara itu Darcy berpendapat serigala dan manusia pemburu-pengumpul makanan pada akhir pleistosen sering bertemu karena punya mangsa yang sama. “Serigala mungkin sudah terbiasa dengan praktik perburuan manusia dan telah berada di sekitar pemukiman manusia secara teratur,” tulisnya. Asumsinya, menurut Darcy, jalan menuju domestikasi anjing dimulai ketika beberapa anak serigala menjadi bagian dari lingkungan permukiman manusia. Mereka begitu saja dipelihara manusia. Menurutnya, orang seringkali memelihara hewan liar karena berbagai alasan tanpa berusaha mencapai domestikasi jangka panjang. “Siapapun bisa berspekulasi tentang motivasi sadar orang-orang mengambil anak-anak serigala,” lanjutnya. Arkeolog Puslit Arkenas, Triwurjani mengatakan saat ini pun masih bisa dilihat, anjing seringkali membantu dalam aktivitas manusia. Di Payakumbuh, Sumatra Barat, misalnya. “Saya hanya mengamati mengapa orang Sumbar yang sangat Islami itu sampai mau memelihara anjing. Anjingnya saja tak boleh jalan. Dia dibawa naik motor,” katanya lewat pesan singkat. Orang-orang ladang di pedalaman, kata Triwurjani, juga membawa anjingnya ke kebun atau ladang. “Anjing itu kan hewan yang bisa diandalkan untuk menjaga kebun,” katanya. Saat berburu pun semua anjing piaraan warga turut serta. Mereka bersama-sama memburu babi atau celeng. Tugas anjing-anjing ini menggiring hewan buruan sampai terlokalisir. “Setelah itu dilepaslah anjing pemburu untuk menyerang babi hutan itu. Nah, ketika dia menyerbu anjing lainnya tidak ada yang bergerak,” kata Triwurjani. Dalam Alpha pun, Daya menjadi pasangan berburu yang solid bagi Keda. Dia mengejar buruan sambil mengarahkannya pada Keda yang siap dengan kapak genggam batunya.
- Sukarno Sang Kolektor Lukisan
SEHARI setelah pengakuan kedaulatan, 28 Desember 1949 Sukarno beserta keluarganya tiba di Jakarta dari Yogyakarta. Dia langsung mendiami Istana Merdeka untuk pertama kalinya. Rakyat yang berkumpul di depan Istana Gambir mengelu-elukannya dengan pekik merdeka. Melihat gelora sambutan rakyat, Bung Karno berpidato di depan Istana Gambir. Salah satu keputusannya adalah mengubah nama Istana Gambir menjadi Istana Merdeka dan Istana Rijswijk menjadi Istana Negara. “Belanda tidak meninggalkan apapun. Hanya meninggalkan dinding kosong. Saat Sukarno pertama masuk istana, dia melihat kekosongan. Dia tidak punya uang untuk belanja mengisi istana,” kata Mikke Susanto dalam acara peluncuran bukunya, Sukarno's Favourite Painters di Gedung Masterpice, Tanah Abang IV, Jakarta Pusat. Sukarno kemudian mengisi istana dengan barang-barang seni. Dia memindahkan semua koleksi lukisannya yang dipajang di rumahnya di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56. Dia pun rajin mengunjungi rumah pelukis, sanggar-sanggar seni, dan komunitas-komunitas seni di seluruh Indonesia. Saat itu, Sukarno belum punya uang, tapi tak tega meminta gratisan lukisan dari para pelukis. “Akhirnya Sukarno memberanikan diri ketika bertemu para pelukis akan membeli lukisannya, namun dengan cara mencicil. Dia paham bagaimana kesulitan pelukis sekadar membeli kanvas saat itu. Saat itu belum ada pasar, belum ada kriteria yang disebut sebagai maestro atau legenda. Jadi, antara Sukarno dan seniman berkembang bersama. Mereka dalam tahap mencetak sejarah,” papar kurator seni ini. Perlahan, jumlah benda seni khususnya lukisan di istana bertambah. Mereka ditata sedemikian rupa di dinding-dinding semua istana kepresidenan. Lukisan-lukisan itu kemudian diberi tanda di bagian belakang dengan tulisan seperti “milik Sukarno” atau “milik Ir. Sukarno” atau tanda tangan Sukarno saja. Ternyata, dalam memberi tanda ini, bukan dilakukan oleh Sukarno sendiri tapi dibantu sejumlah pelukis. “Dengan memberi tanda ini, efeknya luar biasa. Koleksi ini bernilai tinggi karena tulisan ini juga. Selain lukisan yang bagus tentunya. Ya, karena dia presiden,” ujar Mikke. Total Nilai Sukarno gandrung dengan karya seni khususnya lukisan karena dia sendiri suka melukis. Dia melukis pertama kali saat kuliah di Technische Hoogeschool Bandoeng di bawah asuhan arsitek Belanda bernama Charles Prosper Wolff Schoemaker. Dia kembali melukis ketika diasingkan ke Ende, Flores. “Ada lukisan dia, dari cat air, ukurannya kecil. Sukarno membeli bahan lukisan dari luar Ende. Meski dalam pengasingan, dia dapat gaji. Nah, dia titip dibelikan cat air dan kertas kepada orang-orang yang ke Surabaya, lewat kapal laut. Inilah salah satu yang membuat semangatnya tetap hidup meski terkena malaria,” ujar Mikke. Awal pertemanan Sukarno dengan para pelukis dimulai pada 1930-an dan puncak masa panen koleksi antara 1945-1965. Pihak rumah tangga istana pernah menghitung nilai dari semua koleksi seni kepresidenan yang dikumpulkan Sukarno. “Kami bersama pihak rumah tangga istana pernah menaksir nilai benda seni tersebut. Hasilnya adalah sebesar dua triliun untuk 16 ribu barang seni yang ada di istana,” ujar krititikus seni, Agus Dermawan T. Dari sekitar 16 ribu koleksi seni istana, Agus mendengar dari Guntur Sukarnoputra bahwa sekitar 2000-an lukisan milik Sukarno. Mikke menyebut ada 250 pelukis yang lukisannya dikoleksi Sukarno. Angka itu didapat dari buku-buku koleksi Sukarno dan arsip yang ditulis oleh Gafur, sepupu pelukis Dullah yang turut bekerja di istana era Sukarno. Pendataan koleksi seni kepresidenan dilakukan dengan penyusunan kitab koleksi seni Sukarno. Jilid I dan II dilakukan oleh pelukis Dullah tahun 1956, lalu jilid III dan IV dikerjakan pelukis Lee Man Fong pada 1959. Keempat jilid itu, tulis Agus Dermawan T. dalam Bukit-Bukit Perhatian , diterbitkan oleh Pustaka Kesenian Rakyat di Tiongkok. Pada 1 Januari 1964, terbit buku selanjutnya yang berisi sama dengan keempat jilid sebelumnya ditambah satu jilid khusus gambar foto dan keramik. “Namun, buku-buku itu tak lepas dari kesalahan juga, seperti yang ditemukan Pak Agus dan saya,” kata Mikke. “Jadi, jangan percaya 100 persen. Misalnya, salah nama, T. Ganani, ternyata Tatang Ganar. Lalu pelukis Fadjar Sidik, ditulis Djafar Sidik,” kata Mikke. Selama tiga tahun penelitian untuk buku Sukarno's Favourite Painters , Mikke menemukan sejumlah koleksi Sukarno yang berada di luar istana. “Lebih kurang dari yang temukan saat ini, 5-10 karya ada di luar istana. Istana juga tidak bisa mengklaimnya karena diberikan oleh Sukarno pribadi. Itu urusan lain di luar pendataan karya seni yang ada di dalam istana,” ujarnya.*





















