Hasil pencarian
9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Panjang Umur Lembaga Sensor
BISMA Karisma harus rela adegan ciumannya dengan Andania Suri dalam film Silariang: Cinta Yang (Tak) Direstui (2018) dipotong Lembaga Sensor Film (LSF). Pemotongan adegan ciuman film yang rilis pada 18 Januari 2018 itu untuk memperluas jangkauan penonton dari semula kategori 21 tahun ke atas menjadi 13 tahun ke atas. Silariang menambah daftar film yang merasakan tajamnya gunting lembaga sensor. Sejak zaman penjajahan, lembaga sensor silih berganti muncul. Adegan-adegan seksual, adegan yang bertentangan dengan norma susila dan hukum yang berlaku, dan adegan yang dianggap berpotensi memberi pengaruh negatif menjadi sasaran berbagai lembaga sensor itu. Sensor Masa Penjajahan Penyensoran film pada masa kolonial bermula dari kekhawatiran pemerintah Hindia Belanda terhadap banyaknya film, kala itu masih film bisu, yang masuk dan menampilkan adegan bercumbu atau kekerasan. Meski lumrah buat penonton Eropa, film-film itu jadi masalah bagi pemerintah karena ditonton juga oleh pribumi. Bahkan, acara nonton kerap diselenggarakan di desa-desa. Bagi pemerintah, yang merasa lebih beradab, beredarnya film dengan adegan kekerasan dan percumbuan bisa merusak cintra mereka di mata rakyat jajahan. Oleh karena itu pada 1916 pemerintah mengeluarkan Ordonansi Bioskop untuk mengendalikan peredaran film. Untuk pelaksanaannya, pemerintah membentuk Commissie voor de Kuering van Films atau Komisi Pemeriksa Film (KPF). Menurut Sarief Arief dalam Politik Film di Hindia Belanda, lembaga tersebut memiliki kewenangan menggunting film yang dianggap merusak kesusilaan umum, ketentuan umum, atau menyebabkan kemunculan gangguan umum yang dapat berpengaruh pada lingkungan. Namun, ada ketidakrincian kriteria tentang ketentuan umum dan kesusilaan umum dalam ordonansi itu. Akibatnya, KPF di Batavia, Medan, Semarang, dan Surabaya berjalan sendiri-sendiri sesuai interpretasi mereka terhadap ordonansi dan keadaan di wilayah masing-masing. Di masa pendudukan Jepang, sensor film bejalan amat ketat. Seluruh kegiatan pembuatan film di Asia Tenggara harus dikoordinasikan ke badan di Tokyo yang bernama Nichi’ei. Untuk mencegah studio film membuat film anti-Jepang, Penguasa Militer Pendudukan Jepang menggunakan panduan perfilman tahun 1940. Menurut panduan itu, film yang dibuat tak boleh mengandung unsur kebarat-baratan, kontennya harus berisi semangat kebangsaan, kebahagiaan keluarga, dan sopan santun. Panduan itu dengan tegas melarang film memuat adegan tentang tokoh borjuis kecil, perempuan merokok, adegan di cafe yang menyuguhkan minuman keras, dan sikap seenaknya. Di Indonesia, realisasi aturan itu dijalankan oleh Hodohan Nippon Sidosho atau Pusat Kebudayaan dan Propaganda Pemerintah Militer Jepang di Indonesia. Lembaga ini selain menjalankan koordinasi dengan Nichi’ei juga mengawasi hulu-hilir produksi film. Semua skrip film mesti masuk lembaga ini. Bila ada skrip tak sesuai Panduan Perfilman 1940, lembaga ini meminta pembuat film menulis ulang skrip. Hasilnya, tulis Misbach Yusa Biran dalam Peran Pemuda dalam Kebangkitan Film Indonesia, tidak ada film-film masa Jepang yang keluar dari “kebijaksanaan nasional tentang film”. Mayoritas film yang beredar pada masa Jepang adalah film propaganda tanpa adegan bercumbu. Sensor Indonesia Penyensoran film berlanjut ketika Indonesia sudah berdiri, dijalankan oleh Panitia Sensor Pusat (PSP) yang dibentuk tahun 1950. Antara Bumi dan Langit (1950) karya sutradara Huyung, film Indonesia pertama yang memuat adegan ciuman, menjadi film pertama yang kena cekal. Adanya pemberitaan media massa yang memicu protes masyarakat membuat PSP menahan film itu selama dua tahun sekaligus meminta produsennya merevisi. Film itu baru bisa beredar setelah adegan ciuman dibuang dan judulnya diganti menjadi Frieda . Frieda meraih sukses besar. Namun, Armijn Pane sebagai penulis cerita menolak namanya dicantumkan dalam Frieda . Menyusul lesunya perfilman nasional usai transisi politik dari Orde Lama ke Orde Baru, pemerintah membuka keran impor film. Derasnya arus film impor membuat bioskop-bioskop kebanjiran penonton. Tapi di sisi lain, film impor mematikan perfilman nasional. Para sineas tanahair tak sanggup bersaing dengan film-film impor yang sebetulnya banyak memuat adegan seks dan kekerasan juga. Para sineas tanahair lalu minta diberi kebebasan menggunakan unsur seks dalam film-film garapan mereka. Permintaan itu dikabulkan pemerintah demi menjaga kelangsungan industri film nasional. Lembaga sensor yang baru, Badan Sensor Film (BSF), pun melonggarkan guntingnya mulai 1970-an. Film-film berkonten adegan cumbuan bermunculan sejak itu. Bernafas dalam Lumpur (1970) yang dibintangi Suzanna menjadi pionirnya. Film ini diangkat dari cerita bersambung “Berenang dalam Lumpur” yang dimuat Majalah Varia . Berbeda jauh dari nasib Frieda , Bernafas dalam Lumpur lolos dari gunting sensor meski di dalamnya sarat adegan dan dialog kasar serta tak senonoh. Hanya masyarakat Bandung yang tak bisa menikmati film itu akibat adanya larangan pemutaran film tersebut dari Komando Distrik Militer setempat. Menyusul kesuksesan Bernafas dalam Lumpur di pasaran, film-film serupa bermunculan. Setelah InsanKesepian (1971), ada Dara-Dara (1971), Bumi Makin Panas (1973), dan sederet judul film lainnya. Pembuatan film-film dengan adegan bercumbu merupakan cara para sineas tahun 1970-an untuk bertahan dan bersaing dengan film-film impor. “Film Indonesia yang laku adalah film-film yang dibuat dengan cerita dan penyajiannya serampangan tapi penuh dengan bumbu yang bisa mengimbangi kecabulan film impor kodian tipe ‘sex education’,” tulis Misbach Yusa Biran dalam Selintas Kilas Sejarah Film Indonesia . Namun, gunting BSF tetap tajam terhadap film-film non-konten seksual. Film-film macam Max Havelaar (1975), Bandot Tua (1977), atau Nyoman dan Presiden justru tertahan di BSF. Max Havelaar harus ngendon 10 tahun di BSF karena menampilkan sosok orang Eropa baik hati sementara penguasa pribumi ditampilkan sebagai antagonis. Hal itu jelas bertentangan dengan konsep nasionalisme “hitam-putih” yang dibangun Orde Baru. Bandot Tua, yang mengisahkan kecemburuan seorang pensiunan jenderal kepada selingkuhannya yang jadi model lukisan, tak kalah sial. Film ini mesti tiga kali ganti judul. Baru setelah jadi Cinta Biru film ini bisa beredar. Ketika BSF ganti nama jadi Lembaga Sensor Film (LSF) tahun 1994, ketajaman guntingnya tak berubah bahkan justru kian tumpul. Hal itu dibuktikan dari peredaran film di pasaran. Bila film-film tahun 1970-an dan 1980-an hanya menampilkan konten seksual, film-film 1990-an justru menampilkan konten seksual plus judul vulgar seperti Gairah Malam (1993), Bebas Bercinta (1995), Akibat Bebas Seks (1996). Usai reformasi, melalui UU No. 33 pemerintah mengatur perfilman mulai dari pendidikan hingga tata edar film Indonesia. Namun, konten seksual tetap hadir dalam film-film yang muncul dalam periode ini, seperti Buruan Cium Gue (2004), Hantu Puncak Datang Bulan (2010), Pocong Mandi Goyang Pinggul (2011). LSF tak tinggal diam, tentu. Buruan Cium Gue dipaksa ganti judul jadi Satu Kecupan . Hantu Puncak Datang Bulan selain ganti judul jadi Dendam Pocong Mupeng juga harus kena gunting 28 adegan syur-nya hingga menyisakan durasi 64 menit dari sebelumnya 90 menit. Namun, bagi sebagian masyarakat sensor oleh badan-badan yang ada masih lemah. Beragam badan sensor yang ada seolah bertindak tebang pilih, mereka galak kepada film-film yang mengancam kekuasaan tapi lemah terhadap film-film komersil yang sebetulnya sarat konten kekerasan ataupun seksual. Akibatnya, self-censorship di masyarakat menguat. Saat Pembalasan Ratu Laut Selatan dirilis tahun 1988, masyarakat memprotes keras. Protes itu memaksa BSF memeriksa ulang film tersebut agar bisa beredar lagi. Di Cianjur, masyarakat melarang beredarnya film Bumi Makin Panas . Pasca-Reformasi, dai Abdullah Gymnastiar lantang mengecam Buruan Cium Gue . Enam tahun kemudian, MUI mencekal Hantu Puncak Datang Bulan .
- Aroma Kolonial dalam UU MD3
UNDANG-UNDANG No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3) yang baru saja disahkan menuai kontroversi. Terutama dalam pasal 122 huruf k berbunyi MKD bertugas mengambil langkah hukum atau langkah lain terhadap perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR. Sebelum pengesahan UU MD3, pasal penghinaan terhadap presiden yang termaktub di dalam pasal 263 dan 264 Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) juga mengundang kritik masyarakat. Baik pasal 122 huruf k UU MD3 maupun pasal 263 dan 264 RKUHP lebih terlihat mewarisi aturan zaman kolonial ketimbang negeri merdeka yang demokratis. Pada masa kolonial, pasal-pasal pembungkaman lebih banyak diberlakukan di negara koloni ketimbang di negeri induknya. Seringkali hukuman jauh lebih berat di negeri koloni ketimbang di negeri tuan penjajah. Ironi standar ganda pemberlakuan hukum tersebut memperlihatkan secara tegas mana negeri jajahan dan mana negeri yang merdeka. Mohammad Hatta adalah korban dari pemberlakuan standar ganda hukum kolonial tersebut. Pada 23 September 1927, sepulangnya mengikuti Konferensi Liga Internasional Wanita di Swiss, polisi mendatangi rumah Mohammad Hatta di Den Haag dan membawanya ke penahanan. Tak hanya Hatta, tiga aktivis Perhimpunan Indonesia lainnya juga turut digiring ke penjara, yakni Ali Sastroamidjojo, Nazir Pamontjak dan Abdul Madjid Djojodiningrat. Polisi Den Haag menahan mereka atas tuduhan menghasut orang untuk menentang Kerajaan Belanda, terlibat dalam organisasi terlarang dan makar. Setelah lima bulan setengah melalui penahanan preventif, pada 22 Maret 1928 mahkamah hakim pengadilan negeri Den Haag memvonis Hatta cum suis bebas dari semua tuduhan jaksa. Dalam pledoinya yang terkenal, Indonesia Vrij (Indonesia Merdeka), Hatta menyampaikan keberatannya atas tuduhan jaksa. Menurut Hatta, Belanda adalah negeri yang bebas dan menjamin kebebasan warganya. “Kepada Tuan-tuan aku berani bertanya dengan kepercayaan: apakah tindakan itu tidak melanggar kebabasan yang diakui oleh Undang-undang Dasar?” ujar Hatta di muka pengadilan melontarkan pertanyaan retoris kepada hakim. Hakim menerima argumentasi Hatta, mengacu pada konstitusi Belanda yang menjamin setiap warganya untuk berpendapat dan bergerak secara bebas. Namun nasib Hatta di Belanda, negeri merdeka yang tak dijajah siapa-siapa, berbeda jauh ketika dia pulang ke Indonesia. Aktivitas politiknya diawasi, pidatonya dihentikan oleh Dinas Pengawasan Politik ( Politieke Inlichtingen Dienst , PID), pertemuan dibubarkan dan akhirnya Hatta ditangkap pada 25 Februari 1934. Tanpa melalui pengadilan, Hatta dibuang ke Boven Digul, bersama ratusan tahanan politik lainnya. Tuduhan hakim pengadilan negeri Bandung terhadap Sukarno pada 1930 pun tak jauh berbeda dari apa yang diterima Hatta ketika dia diadili di pengadilan negeri Den Haag. Jaksa menuduh Sukarno “menghasut dan mengikuti perkumpulan terlarang”. Berbeda dari vonis bebas yang diterima Hatta di Den Haag, hakim pengadilan negeri Bandung memutus Sukarno bersalah atas tindakan makar dan menghasut orang untuk melawan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Atas vonis itu Sukarno diganjar hukuman badan, dibui mulai dari Sukamiskin sampai dengan dibuang ke Ende, Flores. Dari Maria Ullfah, menteri sosial era Kabinet Sjahrir II dan III (1946-1947), juga diperoleh kisah kontradiksi iklim kebebasan di negeri induk dengan negeri jajahannya. Dari biografinya, Maria Ullfah Subadio, Pembela Kaumnya karya Gadis Rasjid, dikisahkan betapa terkejut dan senangnya Maria saat dia menemukan buku pledoi Sukarno, Indonesia Menggugat ( Indonesia Aanklacht ) dijual bebas di sebuah toko buku di Leiden sementara hal yang sama tak mungkin ditemukan di Indonesia. “Pidato Bung Karno diterbitkannya dalam bentuk buku dengan judul “Indonesia klaagt aan.” Halaman mukanya dengan lukisan disain berwarna merah-putih dengan gambar Jenderal Van Heutsz yang menaklukkan Aceh dan gambar mayat rakyat Aceh. Padahal di Hindia Belanda sendiri bendera “Merah-Putih” yang oleh pejuang kemerdekaan dipilih sebagai bendera kebangsaan dilarang dikibarkan di depan umum,” tulis Gadis Rasyid mengutip cerita Maria. Ketika kuliah di Belanda, Maria merasa ada perbedaan jauh antara negeri merdeka dengan negeri jajahan. Maria menuturkan kepada Gadis, “Di negeri Belanda ia baru mulai sadar apa artinya hidup di suatu negara yang merdeka. Di mana orang tidak usah takut terhadap penguasa, selama tidak melakukan kejahatan. Di mana orang dapat bergerak dengan bebas, melakukan apa saja yang disenangi, di mana semua manusia sama di dalam hukum.” Indonesianis Daniel S. Lev dalam tulisannya, “Hukum Kolonial dan Asal Usul Negara Indonesia” mengatakan sistem hukum Indonesia sangat dipengaruhi oleh hukum kolonial. Penguasa kolonial menurut Daniel Lev menggunakan hukum sebagai alat untuk mencapai kepentingan kekuasaannya. Dengan cara ini Mas Marco Kartodikromo, Sukarno, Hatta, Sjahrir dan banyak pemimpin gerakan kemerdekaan Indonesia lainnya dibungkam dan dipenjara. Dan hari ini, 72 tahun lebih setelah Indonesia merdeka, 20 tahun setelah rezim otoriter Soeharto tumbang, cara berpikir kaum kolonial masih bisa dikenali dari cara mereka menyusun undang-undang. Tidak terkecuali dalam UU MD3 yang berpotensi menghalangi kebebasan setiap orang untuk melancarkan kritik sekeras-kerasnya terhadap wakil pilihan mereka di DPR.
- Etalase Nazi di Olimpiade
TERPILIHNYA Berlin menjadi tuan rumah Olimpiade 1936 mendapat sambutan antusias dari Adolf Hitler yang sejak 1933 berkuasa lewat ketetapan Ermachtigungsgesetz. Pemimpin fasis itu tak ingin menyia-nyiakan kesempatan menjadi tuan rumah Olimpiade untuk mempropagandakan Naziisme, yang di dalamnya memuat supremasi ras Arya, kepada dunia. Berlin terpilih sebagai tuan rumah setelah memenangkan voting rapat petinggi International Olympic Committee (IOC) pada 1931, saat Hitler masih belum berkuasa. Berlin menyingkirkan Barcelona (Spanyol), Alexandria (Mesir), Buenos Aires (Argentina), Dublin (Irlandia), Helsinki (Finlandia), Lausanne (Swiss), Rio de Janeiro (Brasil), Budapest (Hungaria), Roma (Italia), dan tiga kota Jerman lain: Koln, Frankfurt, dan Nurnberg. Hitler langsung mempersiapkan Olimpiade Berlin dengan serius, tak peduli adanya boikot dari Spanyol dan Uni Soviet yang tak terima keputusan IOC. Meski ekonomi Jerman belum pulih dari kehancuran akibat Perang Dunia I, Hitler mengucurkan dana dalam jumlah besar untuk membuat olimpiade-nya lebih akbar dari Olimpiade 1932 di Los Angeles. Andrew Nagorski dalam Hitlerland: American Eyewitness to the Nazi Rise to Power menyebutkan, Hitler membuat megaproyek renovasi Deutsches Stadion menjadi Olympiastadion yang mampu menampung 110 ribu penonton. Dia menunjuk Menteri Olahraga Hans von Tschammer und Osten sebagai penanggungjawab dan Albert Speer bersama kakak-adik Werner dan Walter March sebagai arstiteknya. Proyek yang memakan biaya 43 juta Reichsmark itu berjalan selama dua tahun. Bukan hanya itu, Hitler juga membangun Reichssportfeld atau kompleks olahraga di sekeliling Olympiastadion. Di antaranya, arena Maifeld (kapasitas 50 ribu orang), amfiteater Waldbuhne (25 ribu), dan fasilitas serta venue lain untuk cabang-cabang renang, berkuda, dan hoki di sisi utara. Tak ketinggalan, pembangunan wisma atlet di Elstal, Wustermark, sebuah distrik 30 kilometer di barat Berlin. Hitler juga mengucurkan tujuh juta dolar Amerika untuk produksi film tentang olimpiade. Film itu digarap sineas Leni Refenstahl. Agar hegemoni Nazi lebih terasa, Hitler membuat siaran televisi Olimpiade Berlin yang menjangkau puluhan negara. Menurut David Clay Large dalam Nazi Games: The Olympics of 1936 , Hitler menggunakan peralatan siaran Telefunken untuk menayangkan 70 jam perhelatan olimpiade yang digelar 1-16 Agustus 1936. Transmisi tayangannya menjangkau 41 negara melalui stasiun TV Paul Nipkow. Olimpiade Berlin 1936 menjadi hajatan olahraga multicabang akbar pertama yang disiarkan stasiun televisi. Sebagai medium propaganda Naziisme, Hitler melarang olimpiade itu diikuti atlet Yahudi, termasuk di kontingen Jerman. Dia menginginkan kontingen Jerman hanya berisi atlet ras Arya. Kecuali atlet anggar Jerman Helene Mayer, yang akhirnya dimasukkan dalam kontingen karena rambut pirang dan mata birunya membuat dia dianggap ras Arya meski “setengah” darahnya Yahudi, atlet-atlet tuan rumah seperti petinju Erich Seeling, petenis Daniel Prenn, hingga peloncat tinggi Gretel Bergmann akhirnya dicoret dari kontingen karena berdarah Yahudi. Kepada para atlet negara lain, pemerintahan Hitler kemudian mengendurkan aturan dengan mengizinkan beberapa negara membawa atlet Yahudi mereka. Pun begitu, banyak atlet tetap tak boleh tampil. Dua pelari estafet AS, Sam Stroller dan Marty Glickman, mesti merelakan posisi mereka digantikan Jesse Owens dan satu pelari lain karena keturunan Yahudi. Terlepas dari soal rasisme, setelah semua persiapan rampung, Hitler puas dan membuka olimpiade dengan memamerkan kemegahan balon udara LZ 129 Hindenburg yang terbang di atas Olympiastadion. Sekira tiga ribu merpati dilepas bersamaan dengan defile 5000 atlet dari 51 negara peserta –termasuk AS yang batal memboikot– mengitari stadion dan memberikan gestur Olympic Salute atau gerak tangan yang nyatanya menyerupai salam Nazi. “Saya menyatakan, perlombaan Berlin, merayakan Olimpiade ke-11 di era modern, resmi dibuka,” kata Hitler dalam pidatonya, dikutip Philip Gavin dalam The Triumph of Hitler . Api abadi olimpiade dinyalakan pembawa obor dan disusul pengumandangan himne olimpiade gubahan komposer Jerman Richard Strauss. Olimpiade Berlin berjalan sukses. Hitler berhasil mendapatkan citra supremasi ras Arya yang diinginkannya. Terlebih, Jerman menjadi juara umum dengan 33 medali emas, 26 perak, dan 30 perunggu. “Olimpiade itu menjadi etalase Hitler. Keuntungan besar dalam propaganda baginya,” ujar sejarawan Barbara Burstin, dilansir Time , 1 Agustus 2016. Lepas dari beragam kontroversi yang mengitarinya, olimpiade itu mewarisi beberapa hal yang masih bertahan hingga kini. Dua di antaranya, siaran televisi dan tradisi obor olimpiade. “Dua hal itu menetapkan bab baru dalam olimpiade yang kita ketahui sekarang. Sebagaimana juga keterlibatan politik dan nasionalisme ekstrem dan itu berlanjut sampai sekarang. Tidak diragukan lagi bahwa nasionalisme merupakan bagian yang paling fundamental dari itu semua,” lanjut Large. Meski penyalaan api olimpiade sudah eksis sejak Olimpiade Amsterdam 1928, tradisi pawai obor pertama itu digagas Carl Diem (penasihat politik Hitler). Pawai dimulai dari Gunung Olimpus di Yunani menuju Berlin dengan jarak 3.187 kilometer. Obor itu dibawa bergantian oleh 3.331 atlet selama 12 hari melintasi enam negara: Yunani, Bulgaria, Yugoslavia, Hungaria, Cekoslovakia, Austria dan Jerman. Atlet atletik Jerman, Fritz Schilgen terpilih jadi pembawa obor terakhir sebelum disulut ke wadah api abadi di Olympiastadion. “Pertandingan secara ksatria dan sportif membangkitkan karakter terbaik manusia. Karakter yang bukan memisahkan, melainkan menyatukan para peserta dalam satu pemahaman dan respek. Juga membantu menyambung semangat perdamaian antarnegara. Itu alasannya kenapa api olimpiade tak boleh padam,” ungkap Hitler, dikutip David Arscott dalam The Olympics: A Very Peculiar History.
- Pertempuran Dua Jurnalis Perang
PERTIKAIAN antara Indonesia dengan Belanda selama empat tahun (1945-1949) ternyata tidak hanya melibatkan para prajurit di medan laga atau para politisi di arena diplomasi, namun juga telah merebak ke dunia media. Adalah Rosihan Anwar dan Alfred van Sprang yang memulai “pertempuran” tersebut dalam majalah berbahasa Belanda Het Inzicht (milik Kementerian Penerangan RI). Pertempuran pena diawali oleh Alfred van Sprang dengan menulis surat terbuka ( open brief ) yang ditujukan kepada Rosihan Anwar dan jurnalis-jurnalis Indonesia lainnya. Seperti dikutip oleh Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil Indonesia Jilid VII: Kisah-Kisah Zaman Revolusi Kemerdekaan , Sprang mengkritik prilaku para jurnalis Indonesia yang terlanjur mabuk dalam semangat revolusi. Ia pun menyebut Rosihan dan kawan-kawan telah ikut membesarkan api permusuhan di antara bangsa Belanda dengan bangsa Indonesia. “Yang dalam tahun-tahun belakangan (api itu) menyala dalam kalbu kalian…” tulisnya. Sprang berkesimpulan bahwa saking begitu bersemangatnya para jurnalis Indonesia membela kepentingan negaranya hingga melupakan semangat dasar jurnalisme: mengikat seluruh manusia dalam kemanusiaan itu sendiri. Menurutnya, surat kabar adalah salah satu daripada bahan-bahan untuk mempersatukan nilai-nilai tersebut. “Akan tetapi tangan-tangan yang tidak ahli menjadikannya suatu bahan yang tidak mengikat, akan tetapi justru selalu membuat persatuan jatuh berderai-derai ke dalam penggalan-penggalan yang tak berharga…” ujar Sprang. Empatbelas hari kemudian, “serangan” Sprang tersebut dibalas Rosihan secara terbuka dalam majalah yang sama. Dalam bahasa yang lugas, Rosihan memulai serangannya dengan kisah pengalamannya ketika berada di sebuah medan pertempuran yang ada di wilayah Tangerang. Dia berkata menyaksikan suatu perkelahian hidup dan mati. Ia menjadi saksi betapa pejuang-pejuang pembebasan Indonesia menjadi bulan-bulanan mortir dan mitraliur militer Belanda yang serba modern. Selanjutnya, Rosihan “mengejek” Sprang sebagai telah “buta” dalam menyikapi konflik Indonesia-Belanda. Jika Sprang memang mengangungkan hati nurani dan kemanusiaan, kata Rosihan, maka dia seharusnya sadar bahwa peperangan yang terjadi bukanlah semata-mata karena anak-anak muda Indonesia telah terganja dengan semangat revolusi untuk membunuh orang-orang di luar mereka. Hal-hal yang mengerikan seperti terjadi di palagan Tangerang adalah bukti bahwa musuh yang ingin menghalangi kemerdekaan Indonesia itu jelas ada. “Betapa kau sama sekali telah gagal melihat segala sesuatu dalam cahaya yang sebenarnya…” tulis Rosihan. Dalam situasi demikian, Rosihan menyebut adalah suatu kemustahilan bagi dirinya untuk tidak bersikap jelas. Dia menyatakan tidak mungkin baginya untuk menulis segala sesuatu seolah-olah berjalan lancar antara orang-orang Belanda dengan orang-orang Indonesia. “Atau kau menginginkanku menjadi seorang hipokrit, Fred?” tanya Rosihan dalam nada sinis. Di akhir tulisan, Rosihan menyatakan selama masih ada pertempuran seperti di Tangerang dan selama kapal-kapal perang Tromp dan Tijgerhaaien masih terus merompak di panta-pantai Indonesia, maka dia akan terus “menggunakan bahan yang dipercayakan ke tangannya” untuk terus menulis dan menulis sesuatu yang bisa membebaskan Indonesia. “Aku akan bercerita kepada bangsaku bagaimana duduk perkara yang sebenarnya…” kata Rosihan. Setelah surat terbuka pada 22 Juni 1946 itu, tidak ada tanggapan lebih lanjut dari Alfred van Sprang. “Kami menjadi sibuk disergap oleh pekerjaan wartawan yang harus mengejar deadline …” tulis eks redaktur surat kabar Merdeka tersebut. Alfred van Sprang merupakan jurnalis perang yang bisa disebut sangat aktif dan gesit dalam melaksanakan tugasnya. Ketika bertugas di Indonesia (1946-1949), Sprang tercatat sebagai jurnalis yang bekerja untuk kantor berita Amerika Serikat, United Pers . Sebagai orang yang berkebangsaan Belanda, Sprang sejak di Indonesia bisa menjadi jurnalis yang melekat di setiap gerakan militer Belanda. Kisah-kisahnya selama mengikuti gerakan militer Belanda di Jawa, dia catat dalam sebuah buku berjudul Wij Werden Geroepen (Kami yang Dipanggil). Tidak berbeda dengan Sprang, Rosihan Anwar pun sangat terlibat dalam setiap pertempuran-pertempuran terkemuka di Jawa. Tercatat dia pernah melaporkan situasi perang yang terjadi di Surabaya, Tangerang, Batavia, Karawang, Bekasi dan tempat-tempat membara lainnya. Rosihan pula yang dicatat dalam sejarah sebagai jurnalis pertama yang bisa mewawancarai Panglima Besar Soedirman di tempat sang jenderal bergerilya.
- Yang Disiksa Sejak Zaman Belanda
Penyiksaan terhadap pembantu rumah tangga selalu terjadi ketika si majikan tidak memperlakukan pekerjanya laiknya manusia. Hal semacam ini sudah terjadi sejak era kolonial. Para majikan Eropa, dalam catatan perjalanan Jean Baptiste Tavernier yang dihimpun Bernard Dorleans dalam Orang Indonesia dan Orang Prancis, kerap menyiksa pembantu rumah tangga yang mereka sebut babu atau jongos. Babu dan jongos bekerja sebagai pengurus rumah dan keperluan si tuan, dan banyak dari mereka juga mengasuh anak majikan. Mereka bekerja seperti pembantu rumah tangga di masa sekarang namun status mereka adalah budak. “Pada masa itu tidak ada tenaga kerja bebas. Hal ini terlihat dari kebiasaan sejumlah pemilik budak untuk menyewakan budaknya,” kata Susan Blackburn dalam Jakarta: Sejarah 400 Tahun. Catatan Tavernier yang ditulis abad ke-17 itu menyebut penyiksaan terhadap babu banyak dilakukan orang Eropa. Istri seorang mayor di Batavia, misalnya, pernah menyeret babunya yang gadis pribumi. Setelah mengikat si babu di meja, dia menyiksanya hingga si babu meninggal. Penyebab kemarahan si majikan sebenarnya sepele, cemburu karena melihat si babu tersenyum pada tuannya ketika memberikan mantel. Berkaca pada kehidupan lelaki Belanda di Batavia yang kawin dengan pembantunya, nyonya itu curiga ada hubungan khusus antara si babu dan mayor. Setelah si babu tewas dengan tubuh terikat, nyonya itu berencana mencincang tubuhnya dan memasaknya. Dia ingin menjadikan tubuh si gadis sebagai santapan malam suaminya. Namun, rencana itu urung dilaksanakan karena babu-babu lain di rumahnya mengancam akan melaporkan itu pada tuannya. Meski begitu, si nyonya tak kena hukuman apapun. Kasus lain yang diceritakan Tavernier tak kalah kejam. Seorang nyonya terganggu oleh senda gurau babu perempuannya dengan seorang jongos pria. Nyonya itu merasa tawa si babu genit. Si nyonya yang marah langsung menyeret babunya ke dapur, memaksanya masuk ke dalam martavane , gentong air yang terbuat dari tanah liat. Martavane memiliki bentuk kecil di bagian mulut, membesar di bagian tengah dan mengecil lagi di bagian dasar sehingga sulit sebetulnya memasukkan manusia ke dalamnya. Tapi begitu si nyonya berhasil memaksa babunya masuk, dia menyiramkan air mendidih sedikit demi sedikit sampai martavane itu penuh. Si babu pun meninggal terendam dalam air panas. Meski nyonya itu kemudian mendapat hukuman, hukumannya hanya denda sebanyak f.200yang dibayarkan kepada petugas pajak. Bila majikan perempuan menyiksa babunya hingga tewas, majikan pria menyiksa budaknya dengan memperkerjakan mereka tanpa istirahat. Budak-budak itu akhirnya bunuh diri karena kelelahan dan putus asa. Ada yang bunuh diri dengan menenggelamkan diri karena mengira itu cara yang paling tidak menyakitkan, ada juga yang menggorok leher atau memilih gantung diri. Banyak bukti perlakuan buruk orang Eropa terhadap pembantunya, terutama pada abad ke-17. Namun, Francis Gouda dalam Dutch Culture Overseas tak sependapat dengan banyaknya kekejaman terhadap babu seperti yang dicatat Tavernier. Menurutnya, hanya sedikit nyonya-nyonya Hindia yang menyiksa secara fisik atau menyakiti dan memukuli pelayan-pelayan pribumi mereka. “Kadang-kadang nyonya-nyonya itu menampar pembantunya atau mempermalukan mereka secara psikologis dan melecehkan harga diri mereka,” tulis Gouda. Kondisi perbudakan baru sedikit membaik ketika ide pencerahan mulai menyebar pada abad ke-18. Meski penyiksaan terhadap budak tetap berlangsung, itu terjadi melalui jalur hukum. Setelah ada laporan dari majikan tentang perilaku pembantu atau budak mereka, hukum kemudian mengeksekusi babu atau budak itu dengan dicambuk atau dipenjara. Pun majikan mulai menerima hukuman meski tidak berat. Seperti dalam kasus Belanda kaya yang menembak mati budaknya dan menyiksa tiga budak lain pada 1742. Majikan itu dihukum keluar dari seluruh wilayah VOC. Bentuk hukuman bisa pula berupa pencabutan hak kepemilikan budak karena memperlakukan budak dengan sangat kejam. “Pada akhirnya penguasa Belanda mulai serius memikirkan nasib budak,” tulis Jean Gelman Taylor dalam Kehidupan Sosial di Batavia. Toh, adanya hukuman terhadap penyiksa pembantu atau budak tak signifikan mengurangi kekejaman terhadap babu dan budak. Babu yang diperlakukan tidak manusiawi terus bermunculan. Pada abad ke-20, Pinah salah satu korbannya. Babu berusia 10 tahun yang dibawa majikannya ke Belanda itu harus siap melayani majikan 24 jam tiap hari. Majikannya memperlakukan Pinah secara kasar dan pelit. “Perempuan Eropa yang tinggal di Hindia Belanda menampilkan sikap yang penuh kebencian, asusila, dan rasis,” tulis Rudy Kousbroek dikutip Gouda.
- Di Balik Pembangunan Stadion GBK
SALAH satu agenda Nikita Khrushchev dalam kunjungan ke Indonesia adalah meninjau proyek-proyek pemerintah. Dalam sebuah kesempatan, Presiden Sukarno mengundang rombongan Khrushchev menyaksikan lokasi rekonstruksi kompleks olahraga. Sebuah stadion dengan atap melingkar menjadi pusatnya. “Sukarno meminta agar kami membangun stadion di ibu kota negaranya, Jakarta, yang akan menampung ribuan penonton,” kenang Khrushchev dalam memoarnya Memoirs of Nikita Khrushchev: Volume 3. Pada Februari 1960, proyek itu masih berbentuk maket ketika Khrushchev meninjaunya. Kini, ia menjadi stadion kebangaan milik rakyat Indonesia: Gelora Bung Karno (GBK). “Ini dibangun oleh spesialis Soviet yang sudah berpengalaman dalam proyek seperti ini,” ujar Khrushchev. Berdebat dengan Bung Besar Permintaan itu sebenarnya sudah diajukan bertahun sebelumnya. Setelah gagal mendapat kredit dari Amerika Serikat, Sukarno beralih kepada Uni Soviet. Dalam kunjungan ke Moskow pada 1956, Sukarno melontarkan keinginannya terhadap Khrushchev: pemerintah Indonesia butuh pinjaman untuk pembangunan. Khrushchev menyambut dengan tangan terbuka. Dalam pandangan sang kamerad, Indonesia masih negara terbelakang yang sedang berkembang. Dia lantas menawarkan pinjaman lunak dengan bunga ringan dan dapat dibayar dalam jangka panjang. Negosiasi pun terjalin diantara keduanya. Di tengah pembicaraan, Krushchev tercengang. Tiba-tiba, hal pertama yang disebut Sukarno adalah keinginan untuk membangun stadion. Dalam memoarnya, Khrushchev mengurai silang pendapat dengan Sukarno. “Untuk apa anda menginginkannya?” Khrushchev bertanya pada Sukarno. “Untuk mengadakan demonstrasi publik yang besar,” kata Sukarno. Khrushchev terkejut dan menyarankan bahwa itu bukan cara yang rasional untuk menghabiskan uang. Dalam hatinya, Khrushchev menganggap pembangunan stadion sebagai permintaan konyol. Namun pada akhirnya, dia dapat memahami alasan di balik keinginan Sukarno untuk membangun stadion. “Secara umum, dia (Sukarno) lebih suka mengumpulkan kerumunan orang,” kata Khrushchev. “Sepertinya dia selalu membutuhkan penonton, dan karena itu dia butuh panggung besar, dan itu adalah stadion yang pada akhirnya kami bangun." Dana pembangunan stadion GBK cair pada 1959. Jumlahnya cukup mahal: 12.5 juta dolar. Para insinyur dan teknisi Uni Soviet dilibatkan untuk merancang stadion berkapasitas 110.000 orang itu. Untuk ukuran Asia Tenggara, stadion ini diproyeksikan menjadi yang termegah dan terbesar. Pembangunan stadion GBK tak luput dari kritik di dalam negeri. Pasalnya, proyek ini ditengarai sebagai ambisi pribadi dari Presiden Sukarno pada saat kesejahteraan rakyat masih terbilang sulit. Dalam otobiografinya, Sukarno mengakui banyak orang yang menganggap dirinya menghambur-hamburkan harta rakyat. “Ini semua bukanlah untuk kejayaanku, semua ini dibangun demi kejayaan bangsa. Supaya bangsaku dihargai oleh seluruh dunia,” kata Sukarno dalam otobiografi Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams. Walhasil pembangunan stadion yang berasal dari kucuran dana Uni Soviet cukup memuaskan Sukarno. Kota-kota lain, menurutnya, boleh jadi punya stadion yang lebih besar, tapi tak satu pun yang mempunyai atap melingkar seperti yang ada di ibu kota Indonesia. “Ya, memberantas kelaparan memang penting, akan tetapi memberi makan jiwa yang telah diinjak-injak dengan sesuatu yang dapat membangkitkan kebanggan mereka--ini pun penting,” ungkap Sukarno. Stadion GBK mulai dibuka dan diresmikan pada tahun 1962. Ia menjadi saksi perhelatan olahraga terbesar se-Asia. yaitu Asian Games pada tahun itu juga. Setahun kemudian, pentas olahraga bertaraf internasional yakni GANEFO (Games of the New Emerging Forces) pun digelar di sana. Selain untuk kegiatan olahraga, Stadion GBK pun acapkali menjadi pusat rapat-rapat akbar, gelanggang bagi Sukarno mengumandangkan pidato-pidatonya. * Tulisan ini direvisi pada 21 Februari 2018 pukul 14.15 WIB.
- Persija dari Masa ke Masa
EUFORIA menghinggapi Persija Jakarta. Setelah 17 tahun puasa gelar juara, "Macan Kemayoran" menjadi juara Piala Presiden, Sabtu (17/2/2018) lalu. Tiga gol pemain Persija di partai final menyudahi perlawanan Bali United. “Macam Kemayoran” kembali menunjukkan raungannya. Sejak berdiri sembilan dekade silam, Persija sudah menahbiskan diri sebagai salahsatu klub terbesar di negeri yang dulu bernama Hindia Belanda. Persija bahkan merupakan satu dari sedikit klub yang ikut mendirikan PSSI. Berdiri pada 28 November 1928, klub awalnya bernama Voetbalbond Boemipoetera (VBB). Pertikaian sejumlah pengurusnya kemudian membuat klub itu “cerai” dari Voetbalbond Batavia en Omstraken yang didukung pemerintah Hindia Belanda dan berganti nama jadi Voetbal Indonesische Jacatra (VIJ) pada 30 Juni 1929. Menurut Suratkabar Pemandangan , 20 September 1938, VIJ didirikan dua tokoh sepakbola dari klub-klub lokal Jakarta yang sudah eksis lebih dulu, yakni Soeri (klub Setiaki) dan A. Alie Subrata (klub Setia Tuhu Enggone Rukun/STER). VIJ bermarkas di Petojo. “VIJ memiliki lapangan sepakbola di Petojo, belakang bioskop Roxy, Jakarta Pusat. M Husni Thamrin turut berperan dan banyak mengeluarkan uang untuk membangun lapangan ini,” ungkap Alwi Shahab dalam Maria van Engels: Menantu Habib Kwitang. Thamrin, tokoh pergerakan dan anggota Gementeraad serta Volksraad, membantu 2000 gulden untuk membeli lahan yang dijadikan lapangan Laan Trivelli, Pulo Piun, Petojo itu. Lapangan itu dinamai Lapangan Kebon Singkong sebelum bertransformasi menjadi Stadion VIJ. Dengan Thamrin sebagai pelindungnya, VIJ tak hanya menggeliat di lapangan namun juga di lorong pergerakan nasional. Bersama Bandoengsche Indonesia Voetbalbond (BIVB, kini Persib Bandung), Vortenlandsche Voetbalbond Sala (VVB Sala, kini Persis Solo), Persatuan Sepakbola Mataram (kini PSIM Yogyakarta), Indonesische Voetbalbond Magelang (IVBM, kini PPSM Magelang), Madioensche Voetbalbond (MVB, kini PSM Madiun) dan Soerabajasche Indonesia Voetbalbond (SIVB, kini Persebaya), VIJ membidani lahirnya PSSI pada 19 April 1930 dengan ketua umum pertamanya Ir. Soeratin. “Fakta sejarah menempatkan Persija dalam barisan perserikatan penggagas berdirinya PSSI yang getol melakukan perlawanan terhadap Belanda dan (kemudian) Jepang,” tulis Ario Yosia dalam Gue Persija . Di lapangan, VIJ menjadi kampiun pertama Perserikatan, kompetisi antarklub amatir daerah yang digulirkan PSSI, musim 1930. VIJ mempertahankannya di musim 1933, 1934, hingga 1938 sebelum invasi Jepang. Pada Mei 1942, VIJ terpaksa mengganti nama untuk menghindari pemberangusan penguasa militer Jepang terhadap segala hal berbau Belanda. Persidja, nama baru VIJ itu diambil dari terjemahan VIJ dalam bahasa Indonesia dengan ejaan di masa itu: Persatoean Sepakraga Indonesia Djakarta. Sebagai penghargaan terhadap perjuangan Persija, pemerintah menghadiahi klub itu “rumah” baru di Medan Merdeka Timur: Stadion Ikada. Dalam pidatonya di milad ke-30 Persija, 28 November 1958, Presiden Sukarno mengatakan, “Jika mula-mula Saudara-Saudara harus puas dengan lapangan di Pulo Piun, maka sekarang Saudara-Saudara sudah mempunyai lapangan di Merdeka Timur. Maka pesanku sekarang, tiada lain, ialah supaya Saudara-Saudara lebih giat lagi berjuang, menyusun, dan menyempurnakan organisasi Saudara-Saudara, dengan pedoman: Segala usaha harus untuk kebesaran Nusa, Bangsa dan Negara Republik Indonesia, yang Saudara-Saudara turut memproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 itu!” Namun, pada 1960 Bung Karno kembali merelokasi kandang Persija akibat pembangunan Monas. Markas Persija pindah ke Stadion Viosveld, kemudian ganti nama jadi Stadion Menteng, di Jalan HOS Tjokroaminoto. Puluhan tahun menghuni Stadion Menteng, Persija akhirnya pindah ke Stadion Lebak Bulus akibat muncul rencana pengalihfungsian Stadion Menteng (Stadion Persija) menjadi taman. Sialnya, Stadion Lebak Bulus pun kemudian dirobohkan untuk dijadikan Depo Mass Rapid Transit (MRT). Alhasil, Persija harus “menggelandang” ketika menjalani laga kandang. Setelah Stadion Manahan di Solo dan Stadion Patriot di Bekasi, Stadion Gelora Bung Karno kini jadi kandang sementara Persija. Jersey kebanggaan klub yang sejak awal berwarna merah, ikut berubah pada 1997 semasa pemerintahan Gubernur Sutiyoso. Bang Yos mengganti warna jersey jadi oranye kemerahan sesuai logo Pemerintah Provinsi DKI. Perubahan warna kembali terjadi pada 1998, menjadi oranye terang. Sementara, terus bertambahnya pendukung setia Persija membuat klub merasa perlu membuat wadah untuk mengorganisir mereka. Manajer Persija Diza Rasyid Ali lalu membentuk The Jackmania alias The Jak pada 1997. “The Jakmania mulai berdiri pada 19 Desember 1997. Markas dan sekretariatnya di Stadion Menteng (kini di Stadion Soemantri Brodjonegoro). Muhammad Gunawan Hendromartono alias Gugun Gondrong didaulat menjadi ketua pertamanya,” tulis Hardy R. Hermawan dan Edy Budiyarso dalam biografi IGK Manila: Panglima Gajah, Manajer Juara. Sejak itu, salam The Jak berupa acungan telunjuk dan jempol membentuh huruf “J” mulai tenar. Inspirasinya digagas Edi Supatmo, Humas Persija. Namun, soal prestasi Persija kurang bersuara sejak Kompetisi Perserikatan bubar. Di Liga Indonesia, Persija baru bisa juara pada 2001 dan 2018. Prestasi Persija justru lebih baik di level internasional: juara Ho Chi minh City Cup 1973, Brunei Invitation Cup 2000 dan 2001, dan terakhir BoostSportFix Super Cup di Malaysia 2018.*
- Pemuda Tionghoa Pun Berjuang
JIKA menghubungkan era perjuangan kemerdekaan dengan etnis Tionghoa, orang-orang kerap hanya mengingat Pao An Tui (Badan Pelindung Keselamatan). Organ keamanan masyarakat Tionghoa yang didirikan pada 28 Agustus 1947 tersebut memang memilih jalan berlawanan dengan pemerintah Republik dan secara tegas memihak Belanda. “Orang-orang Tionghoa yang menjadi korban “masa bersiap” membentuk Pao An Tui dengan dalih untuk membela diri dari gangguan orang-orang Republik,” ujar Sulardi, penulis buku Pao An Tui 1947-1949, Tentara Cina Jakarta . Namun tidak seluruh orang Tionghoa mengikuti jalan Pao An Tui. Di Surakarta, sekelompok pemuda Tionghoa mendirikan organ perjuangan pro Republik bernama BPRT (Barisan Pemberontak Rakjat Tionghoa) pada 4 Januari 1946. Dalam waktu yang sama pula di Pemalang, para pemuda Tionghoa membentuk LTI (Lasjkar Tionghoa Indonesia). “Di Kudus orang-orang Tionghoa menyatu dengan orang-orang Jawa dalam suatu pasukan bernama Matjan Poetih…” ungkap Iwan Santosa, penulis buku Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran: Sejak Nusantara Sampai Indonesia. Peran orang-orang Tionghoa dalam perjuangan kemerdekaan, saat ini seolah ternafikan. Padahal laiknya pemuda-pemuda dari etnis lainnya di Indonesia, mereka pun memiliki andil dalam mempertahankan Indonesia merdeka. Beberapa waktu lalu, saya mengunjungi Taman Makam Pahlawan Sampurna Raga di Kampung Rawagede, Karawang. Di antara ratusan nisan korban Insiden Rawagede 1947, ada satu nama Tionghoa terselip di sana. Namanya: Tongwan. Siapa dia? Tak ada seorang pun yang tahu siapa dia saat ini kecuali dua mantan anggota Lasykar Hizbullah Rawagede bernama Telan (92) dan Kastal (93). Menurut Telan, Tongwan adalah seorang anak muda Tionghoa yang bergabung dengan TRI (Tentara Republik Indonesia). “Bapaknya terkenal sebagai pedagang berhasil di Rawagede. Namanya Babah Engkim," ujar salah satu saksi Insiden Rawagede 1947 tersebut. Berbeda dengan sang ayah yang memilih untuk "tutup mata" terhadap arus revolusi yang tengah mengalir deras saat itu, Tongwan memutuskan untuk memihak Republik setegas-tegasnya. Artinya dia menjalankan pilihannya bukan sebagai mata-mata atau simpatisan semata, tapi langsung turun sebagai bidak revolusi di palagan-palagan sekitar Karawang. Telan mengenang Tongwan sebagai pemuda periang dan supel. Kepada siapapun ia selalu berusaha bersikap ramah. "Berbeda dengan orang-orang Cina umumnya, ia bergaul dekat dengan masyarakat," kata Telan. Desember 1947 hari ke-9, saat subuh datang militer Belanda menyerbu Rawagede. Kastal ingat bagaimana ia melihat Tongwan yang betubuh agak pendek namun kekar itu keluar Markas TRI secara tergopoh-gopoh seraya mengokang karaben Jepangnya. Maksud hati ingin menyambut kedatangan tentara Belanda, namun keburu sebutir peluru menembus dadanya. Tongwan pun tersungkur di pinggir sungai dengan lumuran darah memenuhi seluruh tubuhnya. Beberapa serdadu mendekatinya, lantas menendangnya sebelum melepaskan lagi tembakan berikutnya ke tubuh Tongwan. “Dia itu salah satu pejuang Rawagede yang sempat akan melakukan perlawanan, meskipun akhirnya terbunuh tentara Belanda,” kata Kastal. Tongwan tentu bukan satu-satunya pemuda Tionghoa yang gugur di era perjuangan kemerdekaan. Ada banyak makam mereka di seluruh Indonesia yang menjadi saksi bisu bahwa gerakan pembebasan bukan soal etnis, agama atau warna kulit tapi soal keyakinan akan kemerdekaan yang diinginkan setiap manusia di mana pun berada.
- Tuntutlah (Ilmu) Wushu sampai ke Negeri Cina
BUKAN perkara mudah buat Indonesia untuk memajukan olahraga wushu meski pada 10 November 1992 sudah punya Pengurus Besar Wushu Indonesia (PBWI). Dengan target jangka pendek punya tim untuk diterjunkan ke SEA Games 1993 di Singapura dan target jangka menengah berupa upaya mengejar ketertinggalan dari negara-negara tetangga, Indonesia mesti menggembleng atlet-atletnya dari nol. Ke mana lagi menimba keilmuan wushu kalau tak belajar langsung ke negeri asalnya, China. I Gusti Kompyang Manila sebagai ketua umum PBWI pun membawa 14 atlet pelatnas-nya menuntut ilmu ke Shanxi di utara China. Di sanalah kampung halaman lao she (master) Wang Donglien. Wang bersama Deng Changli sebelumnya didatangkan PBWI untuk menjaring atlet-atlet dari berbagai daerah untuk seleksi nasional (Baca: Wushu dan Telepon Merah RI Satu) . “Manila mendapat rekomendasi mendatangkan dua master wushu itu dari pendekatannya ke Kedutaan Besar China di Jakarta,” tulis Hardy R. Hermawan dan Edy Budiyarso dalam biografi IGK Manila: Panglima Gajah, Manajer Juara. Seleksi oleh dua Lao She itu akhirnya mendapatkan 14 atlet terbaik pertama Indonesia, yakni Fonny Kusumadewi; Meliani; Marlia Yossie; Lim Ming Ming; Ria Oktariana; Cecilia Fransisca; Hartono Seputro; Siauw Wie Sen; Tjhan Rahmat; Teddy Yusuf; Ahmad Idris; Ahmad Rifai; Aizan; dan Se Hoen Tan. Mereka lalu mendapatkan pelatihan intensif selama lima bulan. “Kita lima bulan latihan di Senayan yang sekarang jadi hall basket itu. Sebulan jelang SEA Games, kita dikirim ke Cina. Saya pribadi senang sekali bisa ke Cina dengan segala keterbatasan waktu itu. Kita juga ketemu atlet-atlet yang sudah profesional di Cina. Kita merasa kecil banget. Ternyata belum apa-apa. Masih seujung kuku dibanding mereka,” ujar Fonny kepada Historia. Namun, Fonny dan kawan-kawan merasakan kegetiran saat menjalani training itu. Baik selama di perjalanan maupun ketika tinggal di Shanxi, mereka mendapat akomodasi buruk. “Kita di perjalanan di kereta itu, enggak bisa tidur. Memang ada tempat tidurnya, tapi penuh kutu begitu. Begitu juga di tempat menginap, semacam mess atau barak yang kumuh, kotor, termasuk toiletnya yang memprihatinkan. Di mess itu, tempat tidurnya kita dikasih yang masih kasur kapuk, kempes, sudah bau. Kalau mau tidur, kita gelar jaket dan meringkuk aja begitu, saking jijiknya,” sambungnya. Manila pun, kata Fonny, sempat syok melihat akomodasinya. “Makanya besoknya kita dipindah Pak Manila ke penginapan, yang seperti kayak mess juga, tapi masih jauh lebih baik,” kata Fonny. “Mungkin karena serba ketidaktahuan ya, soal akomodasinya waktu itu.” Kondisi memprihatinkan juga terjadi di tempat latihan. Fonny masih ingat betul. “Di tempat latihannya juga kita kaget, enggak ada toilet. Kalau mau buang air kecil atau besar, itu tempatnya ya hanya tanah saja yang digali, lalu dikasih penyekat ala kadarnya. Kita sampai merasa, kok sampai begini ya,” kenangnya. Fonny dkk memutuskan tak mau buang air di tempat latihan. Mereka memilih menahannya sampai ke mess lagi, di mana terdapat toilet yang lebih layak. Sebulan mereka menjalani kerasnya kehidupan Shanxi. Pulang dari sana mereka langsung terjun ke SEA Games 1993 di Singapura. Sayang, tim Wushu Indonesia gagal membawa pulang medali. “Saya hanya menyayangkan kenapa mulainya terlambat. Umur saya juga sudah 20-an baru mulai. Coba kalau itu dibinanya kita dari umur belasan, masa pelatnasnya enggak cuma enam bulan, pasti hasilnya jauh lebih baik. Dengan segala keterbatasan yang ada, pemerintah maunya instan. Padahal wushu bukan olahraga instan. Biasanya tiga tahun baru kelihatan. Bayangin, harusnya tiga tahun, kita pelatnas hanya enam bulan,” tutup Fonny.
- Hak Pilih Perempuan di Negeri Jajahan
KABAR pemberian hak pilih perempuan di Belanda memicu sejumlah aktivis perempuan di Hindia Belanda memperjuangkan hal serupa. Asosiasi Hak Pilih Perempuan atau dalam bahasa Belanda Vereeniging voor Vrouwenkiesrecht (VVV) lalu mempelopori perjuangan itu pada awal abad ke-20. VVV adalah organisasi yang berpusat di Belanda dan diketuai aktivis perempuan Aletta Jacobs. VVV di Batavia didirikan atas inisiatif Charlotte Jacobs, saudara perempuan Aletta. Dia ahli obat pertama di Belanda yang datang ke Hindia Belanda pada 1884 dan menetap selama hampir 30 tahun. Kedatangannya pertamakali bukan untuk urusan perjuangan hak pilih di negeri jajahan. Cabang VVV pertamakali didirikan pada 1908. Pendirian cabang VVV, tulis Elsbeth Locher-Scholten dalam Women and the Colonial State, merupakan reaksi atas pemberian hak pilih bagi lelaki Eropa. Pendirian ini juga mendekati pemilihan Dewan Kota di Batavia, Semarang, dan Surabaya. Mereka mendesak pemerintah untuk memberikan kursi pada wakil perempuan. Namun begitu pemerintah menolaknya. Pada 1918 cabang VVV di Hindia Belanda mengajukan usulan pada anggota Dewan Rakyat yang baru terbentuk untuk mendukung hak pilih perempuan dan meminta Gubernur Jenderal untuk memberikan kesempatan pada perempuan mengikuti pemilihan Dewan Kota. Pada awal pendiriannya VVV memang hanya mengupayakan hak pilih bagi perempuan Belanda. Anggotanya didominasi oleh perempuan Belanda sejak awal mula berdiri. Beberapa anggota VVV yang menonjol merupakan istri dari pejabat penting atau anggota Volksraad. “Bentuk awal feminisme Belanda di Hindia Belanda bisa dikatakan sangat Eurosentris, rasis, dan elitis,” tulis Elsbeth. Namun situasi negeri jajahan membuatnya harus menyesuaikan dengan perempuan dari ras yang berbeda untuk menguatkan kampanye tentang hak pilih. Pada 1918 VVV meminta bantuan dari 14 organisasi perempuan Indonesia untuk membuat petisi penghapusan kata laki-laki dalam regulasi pemilihan Dewan Daerah. Hanya tiga organisasi yang merespons permintaan tersebut dan hanya satu , yakni PIKAT dari Manado yang mau membantu membuat petisi. “Mereka (VVV) menemukan kesulitan karena minimnya perhatian perempuan Indonesia terkait hak pilih. Perngiriman surat dari VVV ke berbagai organisasi perempuan hanya sedikit mendapat respons,” tulis Susan Blackburn dalam Jakarta-Batavia: Socio-cultural Essays. Ketika perempuan Belanda memperoleh hak pilih penuh pada 1919, mereka memutuskan untuk menggencarkan perjuangan akan hak pilih di negara jajahan. Mereka juga mengganti nama organisasi menjadi Asosiasi Hak Pilih Perempuan di Hindia Belanda (Vereeniging Voor Vrouwenkiesrecht in Nederlands Indie, VVVNI). Anggota VVVNI mengikuti pertemuan pada 1919 di Dewan Rakyat yang membahas tentang hak pilih perempuan. Mereka mendapat dukungan untuk hak pilih perempuan di pemilihan Dewan Kota Batavia. “Soal hak pilih hanya masalah waktu. Kelak pemerintah Belanda akan memberikannya pada perempuan di Hindia Belanda sama seperti di Belanda,” kata Presiden VVVNI, nyonya Pannekoek-Nijman. Ketika mengajukan usulan tentang hak pilih bagi semua ras pada 1920-an, VVVNI mendapat tantangan untuk membuktikan bahwa perempuan Indonesia, setidaknya yang berpendidikan, juga menginginkan hak pilih. VVVNI kemudian merekrut perempuan Indonesia dan menjalin hubungan dengan organisasi perempuan Indonesia untuk meningkatkan kesadaran akan hak pilih perempuan. Pada 1920-an, beberapa perempuan Indonesia bergabung dengan VVV karena tertarik untuk memperjuangkan hak pilih ketika sedikit sekali organisasi perempuan Indonesia memeperhatikan soal itu. Organisasi perempuan Indonesia lebih fokus pada masalah kesejahteraan perempuan, seperti perkawinan, pendidikan, dan nasib buruh. Perempuan Indonesia yang ikut VVV sebagai anggota eksekutif adalah Rukmini Santoso, adik Kartini; Rangkayo Chailan Syamsu Datu Tumenggung yang aktif melawan pernikahan anak; dan Nyonya Abdul Rachman (nama dirinya tidak diketahui) istri dari pejabat sipil di Jawa. Datu Tumenggung dan Nyonya Abdul Rachman menjadi penghubung antara VVV dan organisasi perempuan Indonesia yang berkembang pada 1920-an. Hubungan antara VVVNI dan organisasi perempuan Indonesia agak sulit karena organisasi perempuan kebanyakan adalah organisasi sayap. Sama seperti organisasi induknya, organisasi perempuan Indonesia termasuk organisasi nasionalis. Pemimpin VVV, MA Stibbe Koch dan S van Overveldt-Biekart, tak bersimpati pada pergerakan nasionalisme. Mereka hanya ingin berjuang untuk mendapat hak pilih bagi perempuan berpendidikan, termasuk sebagian kecil perempuan Indonesia yang sudah mendapat pendidikan Barat. “Sebetulnya, renggangnya hubungan VVV dengan organisasi perempuan bukan sepenuhnya salah pemimpin VVV yang anti gerakan nasionalis. Sampai 1930-an, organisasi perempuan dari seluruh kelompok ras hampir semuanya non-politis yang lebih banyak menyoroti masalah kesejahteraan sosial. Feminis Eropa di Batavia sangat eropasentris dan kesulitan terbesar mereka adalah menerima perkembangan nasionalisme pada 1920-an,” tulis Susan dalam Women and the State in Modern Indonesia.
- Derap Musik Rap
SAMBIL melompat-lompat dan hilir-mudik di atas panggung, pemuda berkemeja hitam motif polkadot itu membawakan lagu “Glow Like Dat” miliknya. Penonton bergemuruh dan ikut bernyanyi. Dengan dukungan personil 88 Rising, Rich Chigga, penyanyi rap itu, begitu enerjik. Di konser Djakarta Warehouse Project 2017 itu sang rapper tampil memukau. Rich merupakan fenomena baru dalam belantika musik rap. Pemuda 18 tahun kelahiran Jakarta itu menggegerkan dunia musik rap internasional setelah menjadi artis Asia pertama yang menduduki peringkat satu iTunes untuk musik hip-hop. Popularitasnya kian meroket setelah dia diundang ke “Late Late Show”-nya James Corden dan tampil mengesankan. Rapper yang kini mengganti nama panggung menjadi Rich Brian dan tinggal di Los Angeles itu melanjutkan tongkat estafet penyanyi rap tanah air. Meski tak sepopuler rock apalagi pop, rap telah lama bertumbuh-kembang di Indonesia. Rap berasal dari Amerika Serikat (AS). Genre musik yang sering disebut hip-hop itu identik dengan Afro-Amerika yang menciptakan dan mempopulerkannya. Menurut Thomas Hale dalam Griots and Griottes: Masters of Words and Music, rap berakar dari tradisi griot di Afrika Barat. “Tradisi griot berasal dari kawasan Mande, sebuah area di Afrika Barat –Kekaisaran Mali di utara Guinea dan baratdaya Mali,” tulis Aija Polkane-Daumke mengutip Hale di African Diasporas: Afro-German Literature in the Context of the African . Tradisi griot merupakan kegiatan bercerita yang disampaikan secara berirama –biasanya dilakukan dengan iringan drum dan alat musik tradisional lain– oleh seorang griot. “Seorang griot merupakan anggota keturunan kasta penyanyi pujian, penyair, genealogis, pencerita, musisi, sekaligus sejarawan oral di masyarakat Afrika Barat,” tulis Encyclopedia of African American History Vol. 3. Tiap klan biasanya punya seorang griot, yang tak hanya multitalenta tapi juga cerdas dan kaya wawasan. Semasa Kekaisaran Mali, griot merupakan penasehat raja. Tradisi griot ikut masuk ke Amerika bersamaan dengan migrasi budak-budak Afrika ke benua itu. Lewat misa interaktif gereja-gereja kulit hitam, “battle” –merupakan balas-berbalas lirik yang disampaikan secara berirama seperti berbalas pantun di Melayu– yang populer di lingkungan-lingkungan Afro-Amerika, dan “toast” –pesta ala Jamaika yang memuat musik dan pertunjukan seni verbal; dibawa oleh DJ Kool Herc asal Jamaika– yang dipopulerkan para imigran Afro-Karibia tradisi griot mampu bertahan dan berkembang. Ia akhirnya bertransformasi menjadi rap. Sebagaimana griot di Afrika, rap menjadi medium kritik sosial kalangan Afro-Amerika. Lirik-liriknya biasa mengungkapkan fenomena sosial, mulai sex hingga diskriminasi politik. Rap merupakan bagian verbal dari budaya hiphop yang muncul akibat kelumpuhan ekonomi New York pada 1970-an. “Hip-hop adalah satu ekspresi kreatif, sensibilitas, dan estetis yang muncul pertamakali dalam komunitas Afro-Amerika, Afro-Karibia, dan Latin di Bronx dan kemudian meluas sampai Harlem dan wilayah-wilayah lain New York di awal 1970-an,” tulis Dawn M Norfleet dalam “Hip-Hop and Rap”, termuat di African American Music: An Introduction . “Hip-hop mencakup berbagai ekspresi: seni aerosol (graffiti); b-boying/girling (break dance); DJ-ing, atau seni memainkan turntable, vinyl, dan mixing sebagai alat musik; dan MC-ing (rapping), seni ekspresi musik verbal. Komponen musik hip-hop paling terkenal adalah musik rap. Musik dansa yang berorientasi pada kaum muda ini menekankan penyampaian kata-kata secara stylish dengan penyampaian yang tergesa-gesa.” Setelah masuk label, popularitas rap terus meningkat. Meredupnya disko pada paruh pertama 1980-an membuat rap jadi tumpuan kaum muda, tak sebatas di kalangan Afro-Amerika saja, mengekspresikan hasrat seni sekaligus sosial hingga politik. Rap pun mendunia. Di Indonesia, rap sebetulnya telah lama dihadirkan Benyamin S –hal yang kemudian membuatnya digelari “Bapak Rap Indonesia”. Hits-hits Benyamin macam “Badminton”, Cintaku Diblokir”, “Nyari Kutu” punya nuansa rap yang kental: lirik dibawakan seperti orang bicara cepat, berirama, dan berrima. “Gaya menyanyi seperti rapper yang sudah dilakukannya sejak tahun ’60-an, dilakukan karena banyak pesan yang ingin disampaikan lewat lagu, tapi terbatas pada not-not lagu. Akhirnya jadi ngedumel, ” tulis Wahyuni dalam Kompor Mleduk Benyamin S: Perjalanan Karya Legenda Pop Indonesia . Namun, Benyamin tak pernah menyebut lagu-lagunya sebagai lagu rap. “Kita nggak tau, kalau dulu namanya ngedumelaje ,” ujar Benyamin sebagaimana dikutip Wahyuni. Rap baru benar-benar populer pada awal 1990-an. Lewat hits “Bebas”, Iwa Kusuma atau yang beken dipanggil Iwa K –yang sejak muda mengagumi Benyamin– mempopulerkan rap sekaligus mematri dirinya sebagai ikon musik rap tanahair. Hitsnya kemudian, “Nombok Dong”, makin memperkuat pengaruh rap di belantika musik nasional. “Nombok Dong” muncul berbarengan dengan meningkatnya popularitas bolabasket yang dipromosikan trio Ary-Sudarsono-Reinhard Tawas-Helmi Yahya lewat siaran NBA di sebuah stasiun TV. Kompetisi bolabasket terpopuler di dunia itu lekat dengan musik rap, salah satu video promonya menggunakan lagu “U Can’t Touch This” milik rapper MC Hamer sebagai jingle . Di kota-kota besar tanahair pun rap jadi identik dengan anak basket. Mereka biasa menyetel lagu-lagu rap populer di tengah di sela-sela pertandingan yang mereka mainkan atau saat nongkrong. Raper-raper baru pun bermunculan, tak terkecuali dari kaum hawa seperti Denada. Muda-muda menjadikan rap sebagai tak sebatas sebagai bebunyian penyemangat tapi sekaligus sebagai media ekspresi kreatif bahkan kritik terhadap realitas yang ada. Selain lagu “DMMT” milik Iwa K, “Anak Gedongan” milik Sound Da’Clan, “Borju” milik Neo, atau “Cewek Matre”-nya Black Skin merupakan hits populer yang jelas merupakan kritik sosial. Telinga penguasa pun dibuat panas oleh rap. Menjelang diadakannya Festival Rap Nasional pada 1995, Menristek BJ Habibie berkomentar bahwa musik rap tidak berseni dan liriknya kasar. “Dia keberatan dengan rencana mengadakan festival rap nasional di Jakarta,” tulis buku Indonesian Idioms and Expressions: Colloquial Indonesian Art Work yang dieditori Christopher Torchia dan Lely Djuhari. “Tapi rap berkembang selama pemerintahan otoriter Indonesia itu.” Jauh setelah penguasa Orde Baru runtuh, rap tetap eksis di tanah air dengan artis-artis dan lagu-lagu baru yang terus bermunculan. Rich Brian seorang bintang rap yang menjadi penjaga eksistensi musik rap Indonesia terkini.





















