top of page

Sejarah Indonesia

Di Balik Pembangunan Stadion

Di Balik Pembangunan Stadion GBK

Hubungan paling mesra Indonesia dan Uni Soviet terjadi ketika di bawah Sukarno dan Khrushchev. Salah satu wujudnya: Stadion Utama Gelora Bung Karno.

20 Februari 2018

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Perdana Menteri Uni Soviet, Nikita Khrushchev dan Presiden Sukarno. Ilustrasi: Gun Gun Gunadi/Historia.

SALAH satu agenda Nikita Khrushchev dalam kunjungan ke Indonesia adalah meninjau proyek-proyek pemerintah. Dalam sebuah kesempatan, Presiden Sukarno mengundang rombongan Khrushchev menyaksikan lokasi rekonstruksi kompleks olahraga. Sebuah stadion dengan atap melingkar menjadi pusatnya.


“Sukarno meminta agar kami membangun stadion di ibu kota negaranya, Jakarta, yang akan menampung ribuan penonton,” kenang Khrushchev dalam memoarnya Memoirs of Nikita Khrushchev: Volume 3.


Pada Februari 1960, proyek itu masih berbentuk maket ketika Khrushchev meninjaunya. Kini, ia menjadi stadion kebangaan milik rakyat Indonesia: Gelora Bung Karno (GBK).


“Ini dibangun oleh spesialis Soviet yang sudah berpengalaman dalam proyek seperti ini,” ujar Khrushchev.


Berdebat dengan Bung Besar


Permintaan itu sebenarnya sudah diajukan bertahun sebelumnya. Setelah gagal mendapat kredit dari Amerika Serikat, Sukarno beralih kepada Uni Soviet. Dalam kunjungan ke Moskow pada 1956, Sukarno melontarkan keinginannya terhadap Khrushchev: pemerintah Indonesia butuh pinjaman untuk pembangunan. Khrushchev menyambut dengan tangan terbuka. Dalam pandangan sang kamerad, Indonesia masih negara terbelakang yang sedang berkembang. Dia lantas menawarkan pinjaman lunak dengan bunga ringan dan dapat dibayar dalam jangka panjang. Negosiasi pun terjalin diantara keduanya.


Di tengah pembicaraan, Krushchev tercengang. Tiba-tiba, hal pertama yang disebut Sukarno adalah keinginan untuk membangun stadion. Dalam memoarnya, Khrushchev mengurai silang pendapat dengan Sukarno.


“Untuk apa anda menginginkannya?” Khrushchev bertanya pada Sukarno.


“Untuk mengadakan demonstrasi publik yang besar,” kata Sukarno.


Khrushchev terkejut dan menyarankan bahwa itu bukan cara yang rasional untuk menghabiskan uang. Dalam hatinya, Khrushchev menganggap pembangunan stadion sebagai permintaan konyol. Namun pada akhirnya, dia dapat memahami alasan di balik keinginan Sukarno untuk membangun stadion.


“Secara umum, dia (Sukarno) lebih suka mengumpulkan kerumunan orang,” kata Khrushchev. “Sepertinya dia selalu membutuhkan penonton, dan karena itu dia butuh panggung besar, dan itu adalah stadion yang pada akhirnya kami bangun."


Dana pembangunan stadion GBK cair pada 1959. Jumlahnya cukup mahal: 12.5 juta dolar. Para insinyur dan teknisi Uni Soviet dilibatkan untuk merancang stadion berkapasitas 110.000 orang itu. Untuk ukuran Asia Tenggara, stadion ini diproyeksikan menjadi yang termegah dan terbesar.


Pembangunan stadion GBK tak luput dari kritik di dalam negeri. Pasalnya, proyek ini ditengarai sebagai ambisi pribadi dari Presiden Sukarno pada saat kesejahteraan rakyat masih terbilang sulit. Dalam otobiografinya, Sukarno mengakui banyak orang yang menganggap dirinya menghambur-hamburkan harta rakyat.


“Ini semua bukanlah untuk kejayaanku, semua ini dibangun demi kejayaan bangsa. Supaya bangsaku dihargai oleh seluruh dunia,” kata Sukarno dalam otobiografi Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams.


Walhasil pembangunan stadion yang berasal dari kucuran dana Uni Soviet cukup memuaskan Sukarno. Kota-kota lain, menurutnya, boleh jadi punya stadion yang lebih besar, tapi tak satu pun yang mempunyai atap melingkar seperti yang ada di ibu kota Indonesia.


“Ya, memberantas kelaparan memang penting, akan tetapi memberi makan jiwa yang telah diinjak-injak dengan sesuatu yang dapat membangkitkan kebanggan mereka--ini pun penting,” ungkap Sukarno.


Stadion GBK mulai dibuka dan diresmikan pada tahun 1962. Ia menjadi saksi perhelatan olahraga terbesar se-Asia. yaitu Asian Games pada tahun itu juga. Setahun kemudian, pentas olahraga bertaraf internasional yakni GANEFO (Games of the New Emerging Forces) pun digelar di sana. Selain untuk kegiatan olahraga, Stadion GBK pun acapkali menjadi pusat rapat-rapat akbar, gelanggang bagi Sukarno mengumandangkan pidato-pidatonya.


* Tulisan ini direvisi pada 21 Februari 2018 pukul 14.15 WIB.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Bertahan dari Hukuman IOC, Dulu dan Sekarang

Bertahan dari Hukuman IOC, Dulu dan Sekarang

Indonesia tegar menerima konsekuensi dari IOC gegara menolak visa atlet-atlet Israel di kejuaraan dunia senam. Bukan kali pertama.
Cape Verde, Si Hiu Biru yang Menggebrak Sejarah Piala Dunia

Cape Verde, Si Hiu Biru yang Menggebrak Sejarah Piala Dunia

Charles Darwin pernah mampir ke Cape Verde. Timnasnya lolos ke Piala Dunia tak semata karena naturalisasi dan barisan diaspora namun juga karena dedikasi dan kemauan berproses.
Perkara Naturalisasi Malaysia, Dulu dan Kini

Perkara Naturalisasi Malaysia, Dulu dan Kini

Bukan kali ini saja pemain naturalisasi “Harimau Malaya” bermasalah. Kala kali pertama saja juga dipermasalahkan FIFA.
Varia Maskot Piala Dunia

Varia Maskot Piala Dunia

Maskot Piala Dunia terilhami dari bermacam hal. Mulai fauna khas negeri tuan rumah hingga buah hingga keffiyeh terbang.
DNA Sepakbola dan Tinju Ricky Hatton

DNA Sepakbola dan Tinju Ricky Hatton

Penggemar Bruce Lee yang beralih dari lapangan hijau ke ring tinju. Legenda yang humble hingga dihormati Mayweather hingga Pacquiao.
bottom of page