top of page

Sejarah Indonesia

Tuntutlah Ilmu Wushu Sampai Ke Negeri

Tuntutlah (Ilmu) Wushu sampai ke Negeri Cina

Senang sekaligus malang. Itulah yang dialami para atlet wushu Indonesia ketika digembleng di Cina. Toilet layak pun perkara sulit untuk dicari.

19 Februari 2018

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Fonny Kusumadewi, salah satu atlet Timnas Wushu Indonesia pertama di SEA Games 1993/Foto: Randy Wirayudha/Historia

BUKAN perkara mudah buat Indonesia untuk memajukan olahraga wushu meski pada 10 November 1992 sudah punya Pengurus Besar Wushu Indonesia (PBWI). Dengan target jangka pendek punya tim untuk diterjunkan ke SEA Games 1993 di Singapura dan target jangka menengah berupa upaya mengejar ketertinggalan dari negara-negara tetangga, Indonesia mesti menggembleng atlet-atletnya dari nol.


Ke mana lagi menimba keilmuan wushu kalau tak belajar langsung ke negeri asalnya, China. I Gusti Kompyang Manila sebagai ketua umum PBWI pun membawa 14 atlet pelatnas-nya menuntut ilmu ke Shanxi di utara China. Di sanalah kampung halaman lao she (master) Wang Donglien.


Wang bersama Deng Changli sebelumnya didatangkan PBWI untuk menjaring atlet-atlet dari berbagai daerah untuk seleksi nasional (Baca: Wushu dan Telepon Merah RI Satu). “Manila mendapat rekomendasi mendatangkan dua master wushu itu dari pendekatannya ke Kedutaan Besar China di Jakarta,” tulis Hardy R. Hermawan dan Edy Budiyarso dalam biografi IGK Manila: Panglima Gajah, Manajer Juara.


Seleksi oleh dua Lao She itu akhirnya mendapatkan 14 atlet terbaik pertama Indonesia, yakni Fonny Kusumadewi; Meliani; Marlia Yossie; Lim Ming Ming; Ria Oktariana; Cecilia Fransisca; Hartono Seputro; Siauw Wie Sen; Tjhan Rahmat; Teddy Yusuf; Ahmad Idris; Ahmad Rifai; Aizan; dan Se Hoen Tan. Mereka lalu mendapatkan pelatihan intensif selama lima bulan.


“Kita lima bulan latihan di Senayan yang sekarang jadi hall basket itu. Sebulan jelang SEA Games, kita dikirim ke Cina. Saya pribadi senang sekali bisa ke Cina dengan segala keterbatasan waktu itu. Kita juga ketemu atlet-atlet yang sudah profesional di Cina. Kita merasa kecil banget. Ternyata belum apa-apa. Masih seujung kuku dibanding mereka,” ujar Fonny kepada Historia.


Namun, Fonny dan kawan-kawan merasakan kegetiran saat menjalani training itu. Baik selama di perjalanan maupun ketika tinggal di Shanxi, mereka mendapat akomodasi buruk. “Kita di perjalanan di kereta itu, enggak bisa tidur. Memang ada tempat tidurnya, tapi penuh kutu begitu. Begitu juga di tempat menginap, semacam mess atau barak yang kumuh, kotor, termasuk toiletnya yang memprihatinkan. Di mess itu, tempat tidurnya kita dikasih yang masih kasur kapuk, kempes, sudah bau. Kalau mau tidur, kita gelar jaket dan meringkuk aja begitu, saking jijiknya,” sambungnya.


Manila pun, kata Fonny, sempat syok melihat akomodasinya. “Makanya besoknya kita dipindah Pak Manila ke penginapan, yang seperti kayak mess juga, tapi masih jauh lebih baik,” kata Fonny. “Mungkin karena serba ketidaktahuan ya, soal akomodasinya waktu itu.”


Kondisi memprihatinkan juga terjadi di tempat latihan. Fonny masih ingat betul. “Di tempat latihannya juga kita kaget, enggak ada toilet. Kalau mau buang air kecil atau besar, itu tempatnya ya hanya tanah saja yang digali, lalu dikasih penyekat ala kadarnya. Kita sampai merasa, kok sampai begini ya,” kenangnya.


Fonny dkk memutuskan tak mau buang air di tempat latihan. Mereka memilih menahannya sampai ke mess lagi, di mana terdapat toilet yang lebih layak.


Sebulan mereka menjalani kerasnya kehidupan Shanxi. Pulang dari sana mereka langsung terjun ke SEA Games 1993 di Singapura. Sayang, tim Wushu Indonesia gagal membawa pulang medali.


“Saya hanya menyayangkan kenapa mulainya terlambat. Umur saya juga sudah 20-an baru mulai. Coba kalau itu dibinanya kita dari umur belasan, masa pelatnasnya enggak cuma enam bulan, pasti hasilnya jauh lebih baik. Dengan segala keterbatasan yang ada, pemerintah maunya instan. Padahal wushu bukan olahraga instan. Biasanya tiga tahun baru kelihatan. Bayangin, harusnya tiga tahun, kita pelatnas hanya enam bulan,” tutup Fonny.



Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Bertahan dari Hukuman IOC, Dulu dan Sekarang

Bertahan dari Hukuman IOC, Dulu dan Sekarang

Indonesia tegar menerima konsekuensi dari IOC gegara menolak visa atlet-atlet Israel di kejuaraan dunia senam. Bukan kali pertama.
Cape Verde, Si Hiu Biru yang Menggebrak Sejarah Piala Dunia

Cape Verde, Si Hiu Biru yang Menggebrak Sejarah Piala Dunia

Charles Darwin pernah mampir ke Cape Verde. Timnasnya lolos ke Piala Dunia tak semata karena naturalisasi dan barisan diaspora namun juga karena dedikasi dan kemauan berproses.
Perkara Naturalisasi Malaysia, Dulu dan Kini

Perkara Naturalisasi Malaysia, Dulu dan Kini

Bukan kali ini saja pemain naturalisasi “Harimau Malaya” bermasalah. Kala kali pertama saja juga dipermasalahkan FIFA.
Varia Maskot Piala Dunia

Varia Maskot Piala Dunia

Maskot Piala Dunia terilhami dari bermacam hal. Mulai fauna khas negeri tuan rumah hingga buah hingga keffiyeh terbang.
DNA Sepakbola dan Tinju Ricky Hatton

DNA Sepakbola dan Tinju Ricky Hatton

Penggemar Bruce Lee yang beralih dari lapangan hijau ke ring tinju. Legenda yang humble hingga dihormati Mayweather hingga Pacquiao.
bottom of page