Hasil pencarian
9598 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Petaka Menimpa Marinir di Perairan Nongsa
KONFRONTASI Indonesia dengan Malaysia pada awal 1960-an memang tak berujung pada peperangan berskala besar. Namun tidak sedikit kisah yang terpendam tentang bagaimana prajurit TNI terlibat kontak senjata dengan tentara negeri jiran. Salah satunya yang terjadi di perairan Pulau Nongsa, Kepulauan Riau. Insiden baku tembak sempat dialami Riyono. Prajurit KKO (kini Marinir TNI AL) bersama tiga rekannya kala berpatroli di perairan Nongsa. Keempatnya adalah Prako (Prajurit Komando) Riyono bersama Prako Wahadi, Prako Muhani dan Prako Suratno yang memimpin regu patroli. “Sejak Desember 1963 saya ditempatkan di Pulau Nongsa. Pos utama kita ada di Ksatrian Angkatan Laut Tanjung Uban dan beberapa personel ditempatkan di pos-pos terdepan perbatasan, termasuk Nongsa itu. Saya termasuk dalam bagian Kompi RR Gelombang I yang dipimpin Lettu Soekarno, berdasarkan perintah telegram 160447 Batalyon II KKO,” ungkap Riyono kepada Historia di kediamannya di Rorotan, Cilincing, Jakarta Utara. Veteran dengan pangkat terakhir pembantu letnan satu (peltu) itu masih ingat, perihal insiden yang nyaris melumat nyawanya dan ketiga rekannya itu. Ketika itu dia berpatroli pada 24 Juli 1964 sore ke perairan lepas pulau Nongsa. Ketika malam tiba sekira pukul 8, mesin perahu yang dinaiki keempatnya ngadat di tengah laut. Dalam keadaan terombang-ambing gelombang, mereka coba membetulkan mesin perahu. Saat itulah tiba-tiba dari kegelapan muncul sebuah kapal patroli musuh. Riyono dan ketiga rekannya yang buta situasi, sempat mengira bahwa itu kapal bea cukai Indonesia. Celakanya perkiraan mereka salah, karena yang merapat ke arah mereka adalah kapal perang Malaysia, Sri Selangor. “Kalau itu kapal bea cukai, kami tadinya mau minta tolong karena mesin perahu kita mati. Saat itu, kami sendiri enggak tahu sudah terombang-ambing sampai mana. Ternyata setelah benar-benar dilihat, itu kapal Malaysia, Sri Selangor yang kalau tidak salah, itu kapal penyapu ranjau,” lanjut Riyono yang kini sudah menginjak usia 75 tahun. Mereka lantas disorot lampu kapal dan diinstruksikan mengidentifikasi diri. “Kita ditanya dari atas kapal: Kalian siapa? Kami jawab: kami KKO Indonesia! Lantas kami disuruh menyerah," ujar Riyono. Setelah melakukan rembukan singkat, mereka memutuskan untuk tidak menyerah dan malah mengokang senjata. Dengan sedikit mendorong perahu mereka dengan kaki agar tak lagi memepet kapal Malaysia, segera Riyono dan kawan-kawan memuntahkan peluru-peluru dari senapan SKS dan RPD yang mereka bawa. “Keputusan rembukan, ya sudah kita hajar (tembak) saja. Kita sikat (tembaki) dari bawah, lalu mereka membalas dari atas kapal. Sempat kena satu peluru ke kaki saya ini,” kenang Riyono seraya menunjukkan bekas luka tembak di betis kirinya. Kapal Malaysia itu lantas berbalik arah dan menabrak perahu mereka. Guna menghindarinya, tak ada jalan lain keempat prajurit KKO itu menceburkan diri ke laut. “Setelah kapal kami ditabrak, kami masing-masing menyelam. Saya masih ingat betul bisa melihat bagian bawah kapal mereka lewat di atas kepala saya,” kenang Riyono lagi. Setelah mereka menghilang di bawah air, kapal Malaysia itu pergi dari lokasi. Sementara Riyono berusaha keras berenang menuju puing-puing perahunya yang masih mengambang, meski kakinya kena luka tembak. Di antara puing-puing itu, hanya tiga yang berhasil berkumpul lagi. “Di puing-puing itu saya lihat lagi dua teman saya. Wahadi juga ternyata saya ketahui kena (tembak) kakinya. Kalau Muhani tengkuknya keserempet peluru. Yang benar-benar menghilang itu Suratno. Kita berasumsi dia sudah meninggal, namun dicari enggak ditemukan jasadnya,” imbuhnya. Berjam-jam mereka terombang-ambing. Entah apa yang dipikirkan. Yang pasti mereka sama sekali tak mengkhawatirkan ikan hiu yang memang ada habitatnya di perairan Laut China Selatan. Sampai akhirnya pertolongan itu datang. “Kita bertiga terombang-ambing di laut kira-kira sampai jam 2 atau 3 pagi itu. Saat itulah muncul perahu sipil. Sepertinya mereka penyelundup, namun orang kita (masyarakat setempat). Kita diselamatkan, diangkat ke perahu dan kita minta diantar ke pos kita di Nongsa. Ya mungkin memang kita belum waktunya (mati), kita masih dikasih selamat oleh Allah SWT,” lanjut Riyono. Sesampainya di pos Nongsa, mereka melapor kepada komandan pos. Saat itulah mereka menangkap siaran radio Malaysia yang memberitakan: “Kapal Diraja Malaysia Sri Selangor telah menenggelamkan penceroboh-penceroboh Indonesia”. “Seolah-olah dibikin bahwa mereka yang heroik. Padahal informasi dari intelijen kita, tigabelas tentara mereka juga tewas kena tembak sama kami. Sempat rekan-rekan lain ingin berangkat lagi. Sudah menyiapkan mitraliur dan bazoka segala. Tapi ternyata kami lihat lagi, sudah banyak kapal Inggris yang nongkrong di perbatasan sana. Tidak jadi kita serang mereka lagi,” ujarnya.
- Suara dari Masa Pancaroba
Nama W.F. Wertheim atau Wim Wertheim terkenal sebagai salah satu tokoh pertama yang mempertanyakan G30S versi Soeharto Orde Baru. Selain Cornell Paper (karya para ilmuwan universitas Amerika) yang melihat G30S sebagai konflik internal Angkatan Darat; Wim Wertheim, gurubesar sosiologi Universiteit van Amsterdam, menyoroti hubungan erat Soeharto dengan para pelaku pembunuhan para jenderal itu. Karena pendapatnya ini, Wertheim dicekal, dia tidak pernah lagi berkunjung ke Indonesia. Padahal boleh dikatakan ini negeri keduanya. Dalam tulisan berikut Anne-Ruth Wertheim, putri kedua pasangan suami istri Wim dan Hetty Wertheim, bertutur tentang bagaimana kedua orang tuanya bisa punya hubungan begitu erat dengan Indonesia. Dari bagaimana Hetty mendengar suara ribut-ribut pada 17 Agustus 1945 sampai bagaimana Wim berunding dengan Sjahrir. Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 antara lain berlangsung dengan pembacaan beberapa kalimat yang sebelumnya diketik pada secarik kertas. Dengan begitu sekelompok warga kepulauan Nusantara yang gemar memberontak menyatakan negeri mereka merdeka dari penjajahan Belanda yang berlangsung selama berabad-abad. Sebagai jawaban pemerintah Belanda berbuat apa saja, bahkan sampai yang paling absurd sekalipun, untuk menyangkal makna peristiwa ini, begitu pula dengan melancarkan sampai dua kali perang kolonial. Perang kolonial terakhir disudahi pada tanggal 27 Desember 1949 dengan penyerahan kedaulatan kepada Indonesia. Bahkan setelah itu selama puluhan tahun Belanda makin memperkeras penyangkalannya. Tapi tanda-tandanya sudah terlihat pada bulan-bulan awal menyusul Proklamasi. Pada saat yang kacau itu, keluarga kami berada dekat dengan peristiwanya dan ayah kami berupaya mati-matian untuk mengarahkan perkembangan menuju kebaikan. Berakhirnya kehidupan kolonial yang nyaman Belum lama berselang, adik saya, Hugo Wertheim, melawat ke negeri kelahiran kami: Indonesia. Itu adalah untuk pertama kalinya dia kembali setelah keluarga kami berangkat ke Belanda pada 1946 —Marijke, kakak kami, dan saya sudah pernah kembali sebelum itu, bersama anak-anak dan cucu-cucu. Kami bertiga dilahirkan di sana semua: Marijke pada 1933, saya pada 1934 dan Hugo pada 1936. Waktu itu hidup kolonial kami begitu nyaman, sampai pada 1942 ketika pasukan Dai Nippon menyerbu dan menjungkir balik semuanya. Tahun-tahun sesudah itu kami habiskan dalam apa yang kami cibir sebagai “ Jappenkampen ” yaitu kamp interniran Jepang —kami dan ibu dalam kamp wanita dan ayah dalam kamp pria. Selama tiga tahun itu kami tidak tahu ayah di mana dan apakah dia masih hidup. Kunjungan nostalgia yang sebelum itu saya dan kakak saya lakukan ke Indonesia, membawa kami ke Rumah Sakit Tjikini, tempat kami dilahirkan, sekolah dasar kami, rumah-rumah yang pernah kami huni, tak ketinggalan dua dari tiga kamp interniran Jepang yang sempat kami diami. Kamp terakhir, ADEK, di Jakarta, kami lewati saja, karena tahu bahwa kamp itu sudah tidak ada lagi. Pada 1989 terjadi kebakaran di sana dan sekarang diubah menjadi wilayah hunian. Hugo justru memutuskan untuk berkunjung ke sana karena alasan khusus. Dia membandingkan peta Batavia zaman dulu dengan peta Jakarta sekarang, sehingga bisa melihat bahwa tidak jauh dari kamp ADEK itu selain Jalan Proklamasi kini juga terdapat Taman Proklamasi. Setelah Hindia Belanda bertekuk lutut pada 8 Maret 1942, pasukan Jepang menduduki kepulauan Nusantara dan mengambil langkah-langkah supaya tidak memperoleh halangan dari mereka yang sebelum itu berkuasa. Hampir semua orang Belanda dijebloskan ke dalam ratusan kamp yang tersebar di seantero Nusantara. Dalam kelaparan dan kekurangan kami dijaga oleh orang Indonesia atas perintah Jepang yang siang malam terus mengawasi kami dari menara jaga. Bukannya kami tidak punya hasrat untuk melarikan diri, tetapi dengan kulit putih, kami akan langsung tampak di antara orang Indonesia, orang Indo yang berdarah campur, orang Tionghoa dan Jepang. Dari rakyat kami tidak perlu berharap mereka berani mengambil banyak resiko bagi bekas penguasa mereka. Serasa sesuatu bergantung di udara Pada tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyerah kalah kepada sekutu. Kamp ADEK, tempat kami disekap sebelum akhirnya bebas, terletak di Batavia tenggara: kumpulan beberapa bangunan dikelilingi oleh dua pagar tinggi. Ini dibangun untuk kuli dan buruh yang dipekerjakan di perkebunan tembakau Deli, Sumatra. (ADEK merupakan singkatan Algemeen Delisch Emigratie-Kantoor atau kantor umum emigrasi Deli). Tentang bagaimana dan berapa jumlah orang yang diinternir di situ, kami tidak perlu berilusi. Bagaimana kami bermukim di situ selalu kami ingat. Di dalam kamp terdapat 2500 perempuan dan anak-anak, sekitar seratus orang dalam satu bangsal. Setiap orang memperoleh tempat tidur kayu tanpa kasur yang berderet-deret sepanjang dinding, lebar setiap tempat tidur mencapai 50 centimeter. Bulan-bulan terakhir terasa berat. Pada tanggal 31 Juli 1945, kami harus berjemur di bawah terik matahari selama tujuh jam, karena para penjaga Indonesia melarikan diri mengenakan pakaian kami. Orang-orang Jepang memukuli mereka sampai berdarah-darah di depan mata kami, supaya mereka mengaku dengan siapa mereka bertukar pakaian untuk makanan — akhirnya pengakuan itu keluar juga. Seandainya saja kami tahu bahwa pembebasan sudah begitu dekat. Pada tanggal 15 Agustus 1945, dalam buku hariannya, ibu menulis: Malam hari tak bisa tidur. Sekarang sadar betapa kelaparan bisa membuat orang jadi gila. Tengah malam Saar mendatangi kolong kami dan berkata, “Damai telah tiba!” Masak? Jangan begitu, omongan seperti ini sudah kami kenal. 17 Agustus 1945 Mendadak sontak semuanya dalam porsi dobel. Sulit dipercaya! Sesuatu terasa bergantung di udara. Malam hari begitu gaduh di luar kamp. Seperti ada pasar malam. Dan selalu terdengar suara keras melrialui pengeras suara. Ada apakah gerangan? “O, ini pesta kaum inlanders ,” kata salah seorang penghuni kamp. Tidak, menurut kami pesta mereka biasanya justru selalu tenang sekali. Aku ingin tahu apa yang diucapkan di sana. Malam hari kudatangi gedek (pagar tinggi) dan berdiri lama untuk mendengar, ternyata suara itu terlalu jauh, tak bisa kupahami. Tapi bisa kupastikan di luar sana tengah berlangsung sesuatu yang luar biasa. Apa yang ditulis oleh ibu di atas sungguh menarik. Kami tidak pernah menemukan bukti bahwa perempuan-perempuan lain yang disekap di ADEK juga mendengar suara-suara itu. Ibu kami paham, berbicara dan bisa menulis dalam bahasa Indonesia dengan sangat baik, tidak demikian halnya dengan orang Belanda lain yang tinggal di Hindia. Sebagian besar paling banter menguasai apa yang disebut Melajoe Pasar, supaya bisa menyuruh-nyuruh bedienden (pembantu) Indonesia dan berbelanja pada pedagang kelontong Indonesia atau Tionghoa. Karena bahasanya lebih baik, maka ibu bisa membantu banyak perempuan untuk menulis kartu pos dengan 25 kata bahasa Indonesia yang boleh dilakukan dua kali setahun untuk dikirim ke kamp pria. Sukarno dan Hatta Sebagaimana sekarang sudah diketahui umum, dua hari setelah Jepang menyerah, pada tanggal 17 Agustus 1945, rakyat Indonesia menyatakan merdeka dari Belanda. Yang melakukan adalah dua pemuka mereka yaitu Sukarno dan Hatta. Tetapi seperti kami tidak mendengar bahwa Jepang sudah bertekuk lutut, tidak pula kami dengar sedikitpun tentang Proklamasi ini. Buku harian ibu kami berlanjut: 22 Agustus 1945 Mendadak sontak tidak ada lagi apel pagi. Kami tidak perlu lagi menunduk. Serasa seperti mimpi. 24 Agustus 1945 Malam hari kami dipanggil untuk berkumpul di pendopo, seluruh penghuni kamp. Tenno Heika yaitu kaisar Jepang begitu bermurah hati: untuk menghindari berlanjutnya pertumpahan darah, dia menghentikan perang. Penempatan di dalam kamp tidak selalu seperti yang dikehendakinya, tapi <.....> Kami terus mendengar sampai selesai, pidato panjang, dengan diam kami kembali ke bangsal. Kami dengar bahwa untuk sementara masih harus berada dalam kamp. Komandan ingin mengibarkan bendera Belanda, tapi tidak boleh. “Rakyat tidak bisa dipercaya,” begitu alasannya. Semakin diam, semakin baik. Inikah perdamaian itu? Di mana pula pria-pria kami? Masih hidupkah mereka? 30 Agustus 1945 Akhirnya datang juga berita dari Palang Merah. Syukurlah, Wim, suamiku dan ayah anak-anakku, hidup! Tapi suami Ans tewas, begitu pula suami Mia, begitu juga suami Judith. Oh, betapa mengejutkan semua ini <...> bagaimana kami bisa bespesta? Dan kami harus tetap berada dalam kamp. Di bawah perlindungan orang-orang Jepang, tiba-tiba mereka berubah dari musuh menjadi pelindung dan teman. 31 Agustus 1945 Pada koran berbahasa Melajoe yang akhirnya masuk juga, kami baca bahwa Sukarno dan Hatta pada tanggal 17 Agustus telah menyerukan sebuah Republik Indonesia. Sebagian besar kami marah atau menertawakan “hal yang menggelikan” ini. “Nanti pasti kaum pria kita akan cepat mengakhirinya,” kata mereka. Itulah suara lewat pengeras suara pada malam hari tanggal 17 Agustus itu! Itulah pesta kaum inlanders , yang tidak kami perhatikan! Peristiwa bersejarah Pada jam 10 pagi tanggal 17 Agustus 1945, Sukarno dan Hatta bersama sekelompok pendukungnya berdiri di depan halaman depan rumah Sukarno. Di situ berdiri tegak tiang bambu untuk mengibarkan bendera merah putih —simbul kemerdekaan yang terlarang— yang semalam sebelumnya cepat-cepat dijahit. Sukarno membacakan, dengan Hatta di sampingnya, sebuah pernyataan singkat yang tertera pada secarik kertas. Kertas itu tetap tersimpan, begitu pula foto yang dulu dibuat. Menjadi awas atas dekatnya Jalan Proklamasi dengan lokasi kamp ADEK, adik saya Hugo mencari atlas kamp-kamp Jepang, berjudul Geïllustreerde Atlas van de Japanse Kampen in Nederlands Indië, 1942-1945 . Kamp ADEK terletak antara Sluisweg dan Van der Houtlaan, sekarang Jalan Tambak dan Jalan Bonang. Bersama keluarganya dia bertandang ke sana, dan di seberang Jalan Bonang mereka mendapati Taman Proklamasi dengan banyak tanda peringatan. Rumah Sukarno yang sementara itu sudah tidak ada lagi terletak di tengah Taman Proklamasi, jadi tidak jauh dari pagar kamp ADEK, tempat kami dulu disekap. Memang tidak bisa tidak gaduh dari pengeras suara yang didengar ibu berkaitan dengan peristiwa bersejarah ini. Tapi apa persisnya yang waktu itu didengarnya? Sukarno dan Hatta termasuk segelintir warga Hindia Belanda yang memperoleh kesempatan untuk menjalani pendidikan universitas. Sukarno (1901-1970) adalah insinyur Technische Hogeschool (Sekolah Tinggi Teknik, sekarang ITB) Bandoeng dan Mohamad Hatta (1902-1980) menempuh pendidikan tinggi ekonomi pada Handelshogeschool (sekolah tinggi perdagangan) di Rotterdam. Keduanya harus membayar perjuangan kemerdekaan yang mereka lakukan dengan hukuman penjara selama bertahun-tahun dan pembuangan yang dilakukan oleh penguasa kolonial —cara ampuh untuk menyingkirkan orang-orang yang mereka anggap merupakan halangan, persis seperti yang kami alami. Sukarno ditangkap pada bulan Desember 1929 karena gagasan nasionalistis radikal yang dianggap memusuhi negara dan pada tanggal 28 Agustus 1930 harus tampil di depan apa yang disebut Landraad . Itu saja sudah merupakan penghinaan karena pelbagai Landraden (bentuk jamak) yang tersebar di mana-mana bertujuan untuk, berbeda dengan pengadilan yang ditujukan khusus untuk orang Eropa, mengadili orang-orang Indonesia yang waktu itu disebut Inlanders . Dibandingkan dengan pengadilan biasa, Landraad ini memberi jauh lebih sedikit jaminan keadilan. Terkurung di dalam sel, Sukarno menulis pembelaannya yang berjudul Indonesia Menggoegat , yang dibacakannya pada akhir proses. Toean-toean Hakim, sekarang Toean-toeanlah jang akan mengangkat kata <…> Kami menoenggoe Toean-toean poenja poetoesan itoe, jang tentoe tak loepa mempertimbangkan segala apa jang kami oeraikan tadi. <….> Kami oleh karenanja, memang mengharap dan menoenggoe poetoesan bebas. Tetapi, djikalau seandainja Toean-toean Hakim toh memandang kami bersalah, djikalau seandainja Toean-toean Hakim toh mendjatoehkan hoekoeman, djikalau seandainja kami orang toh haroes menderita lagi kesengsaraan pendjara, wahai apa boleh boewat, moga-moga pergerakan seolah-olah mendapat wahjoe baroe dan tenaga baroe oleh karenanja, moga-moga Iboe Indonesia soeka menerima nasib kami itoe sebagai korbanan jang kami persembahkan di atas haribaannja, moga-moga Iboe Indonesia soeka menerimanja sebagai boenga-boenga jang haroem dan tjantik jang biar dipakai menghiasi sanggoel kondenja jang manis itoe. Memang rohani kami tak adalah merasa masjgoel, rohani kami adalah berkata, bahwa segala apa jang kami tindakkan itoe adalah hanja kami poenja koewadjiban, − kami poenja plicht . Tiga ratoes tahoen, ja walau seriboe tahoenpoen, tidaklah bisa menghilangkan haknja negeri Indonesia dan ra’jat Indonesia atas kemerdekaan itu. Oentoek laksananja hak ini maka kami ridho menderitakan segala kepahitan jang ditoentoetkan oleh tanah air itoe, ridho menandang kesengsaraan jang dipintakan oleh Iboe Indonesia itoe setiap waktoe. Poetoesan Toean-toean Hakim atas oesaha kami orang, adalah poetoesan atas oesaha ra’jat Indonesia sendiri, atas oesaha Iboe Indonesia sendiri. Poetoesan bebas, ra’jat Indonesia akan bersjoekoer, poetoesan tidak bebas, ra’jat Indonesia akan tafakoer. <....> Maka kami siap bersedia mendengarkan poetoesan Toean-toean Hakim! Vonis itu keluar pada tanggal 21 Desember 1930: empat tahun hukuman penjara, dua tahun masih harus dijalani oleh Sukarno. Tapi pada 1933 kembali kebebasan Sukarno dirampas dan kali ini tanpa proses pengadilan, pertama-tama diasingkan ke Flores, kemudian ke Sumatra Barat, pada 1942 dia dibebaskan. Mohamad Hatta juga menulis buku yang dibaca siapa saja: Indonesia Merdeka . Mulai 1934 dia disekap dalam kamp konsentrasi Boven Digoel, di Papua, yang dengan sengaja didirikan di tengah-tengah hutan belantara penuh nyamuk malaria sehingga sulit dimasuki. Setelah itu, sampai 1940, Hatta diasingkan ke pulau Banda yang terpencil. Perkembangan pemikiran orang tua Pada tahun 1930an, orang tua kami berangkat ke Hindia karena alasan ekonomi. Krisis ekonomi yang melanda Belanda menjadikan koloni sebagai sedikit wilayah yang masih memungkinkan bagi kaum muda yang baru tamat pendidikan tinggi untuk memperoleh pekerjaan. Semula mereka menganggap kolonialisme sebagai sesuatu yang biasa saja, seperti bisa dibaca dari buku harian dan memoir mereka. Walaupun tergabung dalam kalangan progresif Belanda, misalnya pada 1929 keduanya tampil dalam pagelaran musik dalam pesta emas Aletta Jacobs (dokter perempuan pertama Belanda), tetapi di kalangan inipun orang masih percaya pada masuk akalnya kekuasaan kulit putih atas kalangan kulit berwarna. Meragukan sesuatu yang dianggap logis ini sudah merupakan sesuatu yang terlalu jauh. Sebagai pendatang baru yang tak berpengalaman, di dalam kapal yang membawa mereka ke Hindia, orang tua kami dengan mudah menjadi korban indoktrinasi kalangan yang kembali ke Hindia dari verlof (cuti) di Belanda. Orang-orang ini berkata bahwa kebanyakan pembantu Indonesia suka mencuri dan perlu untuk menjaga jarak dengan warga setempat. Ketika tiba di Tandjong Priok, disambut oleh seorang paman yang menikah dengan seorang Indo (berdarah campur), ibu memergoki dirinya sendiri sempat berharap bahwa teman-teman baru sekapal mereka tidak melihat bahwa mereka disambut oleh kalangan tidak sepenuhnya berkulit putih.... Sudah pada penempatan pertama di Sumatra Selatan, sikap terbuka mereka terhadap orang Indonesia dan kalangan Indo menyebabkan bentrokan yang menyakitkan dengan tembok ras, sementara keraguan mereka makin meningkat. Ayah bekerja pada Landraad yang mengadili orang Indonesia. Kegelisahannya yang terus bertambah tentang perbedaan di antara pelbagai Landraden (bentuk jamak) dan pengadilan yang mengadili orang Eropa, dibicarakannya dengan ibu. Mata mereka makin terbuka tatkala ayah pada 1936 diangkat menjadi gurubesar Rechtshogeschool (sekolah tinggi hukum, cikal bakal Fakultas Hukum Universitas Indonesia) di Batavia. Mereka berhubungan akrab dengan kalangan cendekiawan Indonesia yang bersimpati pada gerakan kemerdekaan — disebut kalangan nasionalis. Sekali dalam dua minggu kedua orang tua kami menerima belasan mahasiswa Indonesia, dan kepada ibu ayah berkata, “Hampir semua mahasiswa yang pandai adalah nasionalis”. Ketika pada 1942, akibat pendudukan Jepang, selama tidak setengah tahun kedua orang tua kami hidup terpisah, mereka sudah begitu jauh dalam mendukung kemerdekaan Indonesia. Pada tahun-tahun menjelang itu, perkembangan di wilayah koloni mengalami percepatan. Penyerbuan Jerman terhadap Belanda membawa rasa putus asa dan pada saat yang sama kerinduan bagi persatuan, juga dengan mereka yang dianggap “lain”, bahkan di kalangan kolonialis yang paling fanatik sekalipun. Demikian pula kalangan nasionalis Indonesia —sepanjang mereka bebas, karena banyak juga yang dipenjara atau diasingkan—hasrat ingin bebas itu menyebar dan mereka juga bersedia untuk bekerjasama. Ibu saya menjadi anggota Klub “Hutspot”, kelompok perempuan yang menyelenggarakan makan bersama untuk meruntuhkan tembok ras. Pengurus terdiri dari tiga “ras” yang terwakili dengan berimbang: orang Indonesia, Tionghoa dan Eropa dan selama bersantap mereka harus bercampur baur, tidak lagi terkelompok dalam ras. Semula perempuan Eropa menganggap sudah semestinya makan malam bersama itu dipimpin oleh seorang perempuan Belanda, tetapi ketika “kalangan Timur” meminta supaya pimpinan digilir, akhirnya perempuan Eropa setuju juga. Ayah menjadi anggota sebuah komisi, bernama Komisi Visman yang terdiri dari tiga orang Belanda, tiga orang Indonesia dan seorang Tionghoa dengan tugas merancang pembaharuan tata negara untuk masa depan. Sebenarnya pekerjaan mereka tidak lebih dari menginventariskan kehendak yang berkembang di kalangan pelbagai kelompok etnis —tidak ada reformasi yang mengarah pada kemerdekaan. Walau begitu, sebelum setuju membentuk komisi, dalam tubuh pemerintah sempat terjadi bentrokan, akhirnya mereka setuju hanya karena khawatir kalau komisi tidak segera dibentuk maka kesediaan kalangan nasionalis Indonesia untuk bekerjasama akan menguap. Laporan akhir Komisi Visman berisi inventarisasi kehendak yang berkembang di kalangan pelbagai kelompok etnis bagi masa depan Indonesia? Apakah itu semua kehendak? Tidak, karena keinginan “Hindia lepas dari Holland” tidak masuk dalam laporan. Karena itu sudah sejak 1946 ayah menyesali telah membubuhkan tanda tangan pada laporan akhir yang antara lain tertera: “Anggota orang Indonesia bisa dikenalikan, kalau tidak pasti mereka tidak masuk sebagai anggota komisi. Satu per satu adalah orang-orang yang ahli. Tapi tidak seorangpun yang berpendirian tajam. Ini mereka pelajari dari birokrasi kolonial.” Ia berlanjut: “Sebagai pengkritik pada tahun 1946 ini saya dengan malu mengakui kesalahan menandatangani laporan akhir itu”. Demikian tulis ayah dari brosur berjudul “Nederland op den Tweesprong, tragedie van den aan traditie gebonden mensch”. Perubahan pemikiran kedua orang tua kami terjadi, demikian selalu mereka tekankan, akibat pengalaman mereka sendiri terhadap penghinaan, rasisme, ketidakadilan dan kelaparan di dalam kamp interiran Jepang. Mereka tidak ingin melakukan itu semua terhadap orang lain. Selain itu, pengalaman hidup dalam kamp interniran Jepang mempertajam pemikiran mereka. Itu bermula dengan banyaknya pembicaraan yang mereka lakukan dengan sesama tahanan yang berpikiran serupa tentang masa depan wilayah jajahan. Tidak boleh dilupakan juga banyak buku menarik yang mereka baca, buku-buku itu dibawa masuk kamp oleh para tahanan dan begitu selesai membaca satu buku, mereka saling menukar dengan buku lain. Di antara sesama tahanan di kamp, ayah terutama terpengaruh oleh pemikiran tokoh sosialis Bernard van Tijn dan Jaap de Haas, keduanya mendukung kemerdekaan Indonesia. Bernard van Tijn dikenalnya sebagai sekretaris Komisi Visman dan Jaap de Haas yang adalah dokter anak-anak telah berbuat banyak bagi pelayanan kesehatan di Hindia. Ayah juga melakukan pembicaraan dengan Jacques de Kadt yang waktu itu masih beraliran kiri. Dia yakin bahwa seusai perang Indonesia harus merdeka. Waktu itu ayah masih meragukan kemampuan orang-orang Indonesia memerintah negeri sendiri. De Kadt menyingkirkan keraguan ayah dengan pendapat, “Ah mungkin saja mereka memerintah tidak begitu baik, tapi apa salahnya? Di Amerika Selatan ada banyak republik yang tidak begitu beres —tapi mereka semua negara-negara merdeka”. Ketika bertahun-tahun kemudian orang tua kembali bertemu sobat lama itu, mereka hanya berkata bagaimana bisa sampai pada kesimpulan bahwa rakyat Indonesia berhak untuk mencapai kemerdekaan apapun bentuknya. Tapi pada 17 Agustus 1945 itu semua itu masih terlihat begitu jauh, karena waktu itu mereka masih terkurung dan jauh terpisah satu dari yang lain. Sekarang tatkala kami tahu bahwa kamp ADEK berada dekat dengan titik proklamasi kemerdekaan, akan menarik untuk mengetahui di mana persisnya ibu mendengar suara-suara pesta yang masuk ke dalam kamp interniran itu. Bangsal tidur kami berada di samping bangsal sakit, ruang besar kosong dengan kasur di atas tanah. Beberapa kali ibu dirawat dalam bangsal ini, karena sakit. Di sebelah bangsal ada lapangan tempat mereka yang sakit dan sudah membaik duduk di kursi untuk menerima kerabat yang datang membezuk. Lapangan ini dekat dengan pagar, itulah yang paling dekat dengan dan di situlah rumah Sukarno pernah berada, seperti ditemukan oleh adik saya! Dengan berdiri di lapangan ini, pasti malam itu dia mendengar suara-suara pesta. Di wilayah tropis gelap turun mulai jam tujuh malam, dan karena hampir tidak ada cahaya, maka kemungkinan besar dia berupaya berada sedekat mungkin dengan bangsal kami. Bukan rekayasa Jepang Tinggal menjawab pertanyaan bunyi-bunyi apa yang waktu itu terdengar lewat pengeras suara. Untuk itu harus dilihat bagaimana berita tentang Proklamasi menyebar. Dalam mingguan de Groene Amsterdammer edisi 16 Agustus 1995, sejarawan Lambert Giebels menulis: “Sekarang sudah diketahui umum bahwa Proklamasi kemerdekaan yang berlangsung begitu sederhana itu membawa dampak yang luar biasa di Indonesia. Berita mengenainya disebarluaskan pada hari itu juga oleh orang Indonesia yang bekerja pada kantor berita Domei dalam siaran radio ke segenap penjuru Nusantara. Pada banyak kota berita ini menyebabkan orang bersorak sorai dan berpesta pora.” Karena itu bisa jadi memang telah berlangsung pesta. Ibu menulis Dan selalu terdengar suara keras melalui pengeras suara . Adakah itu suara yang memperingatkan mereka yang berpesta supaya tenang? Beberapa hari setelah bertekuk lutut, orang-orang Jepang masih harus menjaga keamanan. Bahwa ibu berupaya memahami apa yang terdengar berarti suara-suara itu dalam bahasa Indonesia, bukan bahasa Jepang, karena dia tidak paham bahasa Jepang. Tapi mengapa ibu kesulitan memahaminya? Di sini tampaknya lebih masuk akal untuk menganggap bahwa bukan orang Indonesia yang berbicara. Walau begitu kalaupun suara itu dalam bahasa Indonesia, bisa jadi yang mengucapkan adalah orang Jepang, karena memang ada orang Jepang yang fasih bahasa Indonesia. Sementara itu juga sudah banyak terungkap bagaimana naskah Proklamasi ditulis, begitu pula pembacaannya. Ketika Jepang menyerah pada tanggal 15 Agustus 1945, sesuatu yang tidak diduga-duga oleh banyak orang, muncullah situasi kacau. Sekutu memerintahkan Jepang supaya menjaga status quo, sebelum mereka tiba di kepulauan Nusantara. Itu berarti bahwa tentara pendudukan Jepang tidak boleh mendukung Indonesia merdeka, atau meremehkan kembali pulihnya kekuasaan Belanda. Dan sejauh ada beberapa “oknum” tentara Jepang yang mendukung para pejuang kemerdekaan Indonesia, maka itu pasti terjadi secara sembunyi-sembunyi. Pihak Belanda selalu berupaya memperbesar pengaruh Jepang (dengan begitu memperkecil peran Indonesia) untuk membangkitkan ilusi bahwa rakyat Indonesia sebenarnya tidak ingin mengusir Belanda. Sementara itu, bisa dipastikan bahwa beberapa hari menjelang Proklamasi seorang opsir marinir Jepang telah berperan sebagai penengah dalam dua perkara. Di satu pihak antara pejuang kemerdekaan Indonesia dengan runtuhnya kekuasaan Jepang yang masih bisa mengancam akan menggunakan kekerasan yang selama bertahun-tahun sudah mereka lakukan untuk menteror orang Indonesia. Di lain pihak, di kalangan gerakan kemerdekaan sendiri yang memiliki pendirian berbeda-beda tentang isi teks proklamasi dan kapan itu harus diucapkan. Bahkan pada suatu saat, Sukarno, istrinya dan anaknya yang baru lahir serta Hatta sempat diculik selama sehari semalam oleh para pemuda yang berpendapat bahwa mereka tidak cepat-cepat bertindak. Pertengahan September 1945 ayah membicarakan situasi politik ini dengan seorang sahabat baiknya. Orang-orang Belanda benar-benar yakin bahwa Republik Indonesia tidak lebih dari rekayasa Jepang untuk menghalangi sekutu, khususnya kita orang Belanda. Tapi kami berdua yakin bahwa situasi sekarang jauh lebih rumit lagi. Mulai tanggal 15 Agustus, hari kapitulasi, orang Jepang wajib menjaga status quo, dan secara resmi mereka juga melakukannya. Milisi sukarelawan Indonesia Peta sudah mereka bubarkan menjelang kapitulasi, mereka wajib menyerahkan senjata. Atas desakan para pemuda nasionalis, beberapa hari setelah kapitulasi Jepang, Sukarno dan Hatta memproklamasikan Republik Indonesia untuk menghindari kesan republik ini cuma rekayasa Jepang di hadapan sekutu. Memang ada beberapa petinggi militer Jepang yang, karena bersimpati pada cita-cita kemerdekaan Indonesia, secara klandestin mendukung proklamasi —tapi dengan begitu tidaklah berarti bahwa Republik baru ini cuma rekayasa Jepang. Grafiti antikolonial Sementara kami harus tetap berada di dalam kamp interniran, sudah sejak 30 Agustus 1945 ayah bersama seorang temannya melarikan diri dari kamp mereka di Bandoeng dan dengan kereta api mereka sampai di Batavia. Dengan wajah berseri-seri di kemudian hari ia bertutur bahwa itu hanya mungkin mereka lakukan karena situasi begitu kacau, mereka datang ke pintu gerbang dan melangkah keluar, sementara penjaga orang Jepang hanya melihat. Bersama-sama mereka mendirikan Palang Merah Batavia dan segera bekerja keras. Tentu saja dia langsung tahu di kamp mana kami berada, melalui surat dan pembicaraan telpon dengan pemimpin kamp dia bisa berhubungan dengan kami, tapi sia-sia bisa masuk kamp ADEK. Berharap ayah kembali akan mencoba masuk kamp, pada sore tanggal 9 September 1945 saya berdiri di luar pintu gerbang —tapi tidak lepas dari pengawasan penjaga— mengamati bagaimana orang melipat parasut raksasa. Dengan parasut ini dijatuhkan paket makanan di lapangan tempat kami melakukan apel. Tiba-tiba terlihat ayah datang naik sepeda butut, karena terdengar suara pedal. Ia mengenakan celana pendek, kaos oblong dan sandal di kaki, dan kami segera mengenali satu sama lain. Kami berbicara sebentar, kemudian dia ingin menemui ibu, Marijke dan Hugo, dan begitu berkumpul kami lama berdiri di depan pintu gerbang. Kali ini dia diizinkan masuk dan bahkan kami diizinkan secara bergiliran menginap bersamanya, di rumah seorang kenalan Tionghoa yang begitu ramah meminjamkan pavilyunnya. Pada saat itu keluar dari kamp dan berjalan-jalan di luar sudah merupakan hal biasa. Suatu ketika bahkan kami bersama ibu mencari Kawi, sopir kami dari masa sebelum perang, di kampung terdekat. Kami sudah pernah mendatangi rumahnya yang berdinding anyaman bambu, ketika menghadiri pernikahan anaknya. Pengantin yang berdandan molek duduk di pelaminan yang terbuat dari bambu, Marijke dan saya diizinkan untuk mengipasi mereka, menghembuskan angin sejuk. Tapi kali ini Kawi tidak di rumah, dan dari orang-orang yang ada di sana kami mendapat kesan tidak usah datang lagi — bagi kami isyarat pertama bahwa orang Indonesia menghindari kontak dengan orang Belanda. Tak lama kemudian ayah memperoleh rumah sementara untuk kami semua di Javaweg. Rumah kami sendiri dijarah sampai kosong, bahkan kabel listrikpun lenyap. Sementara itu berhasil dijalin kontak dengan famili di Holland, yang tentu saja sangat gembira kami bertahan hidup setelah perang. Tentang kesan-kesan pertamanya di Batavia, ayah menulis sebagai berikut: Dalam tiga setengah tahun aku ditahan, raut wajah Batavia sudah berubah. Tapi pada minggu-minggu pertama September yang paling menonjol adalah tulisan-tulisan anti kolonial, dicoret-coret pada tembok dan tram, kebanyakan dalam bahasa Inggris. Jelas tulisan-tulisan ini bertujuan untuk, ketika pasukan sekutu tiba, menegaskan kepada mereka bahwa pemulihan kekuasaan kolonial tidak diinginkan oleh rakyat Indonesia. Sutan Sjahrir Orang Indonesia berpesta pora menyambut berita Proklamasi 17 Agustus 1945. Bagaimana reaksi terhadap hal ini di Belanda? Baru sebulan kemudian, pada 17 September 1945, koran Algemeen Handelsblad menerbitkan artikel berjudul “Chaostische toestand op Java” (Jawa dilanda kacau balau), di dalamnya bisa dibaca laporan seorang koresponden kantor berita United Press: Situasi politik sangat membingungkan, setelah pemimpin nasionalis Sukarno pada tanggal 17 Agustus lalu memproklamasikan ‘Republik Indonesia’. Walaupun Sukarno, ketika saya wawancara, tegas-tegas menolak bahwa otoritas Jepang telah mendukung kudeta yang dilancarkannya, ada petunjuk-petunjuk bahwa tengah terjadi sesuatu di balik layar. Setelah berkapitulasi, dalam rangka menyelamatkan diri, Jepang menjanjikan kemerdekaan kepada para inlanders mulai tanggal 7 September. Selanjutnya di dalam artikel juga tertera “mereka yang menyebut diri nasionalis dengan Sukarno sebagai pemimpin dan ‘presiden republik’ dan seseorang yang bernama Matta Hatta sebagai wakil presiden”. Tanda petik, nada berita dan salah cetak nama Mohamad Hatta mercerminkan perasaan antipati sebagian besar orang Belanda pada saat itu. Hal yang sama dialami ayah ketika membaca sikap pejabat pemerintah yang diterimanya dari Belanda. Pada bulan-bulan kemudian, dalam kapasitasnya sebagai sekretaris Palang Merah, ia mencoba menengahi mereka dengan kalangan cendekiawan nasionalis yang dikenalnya. Semula ini terjadi di dalam gedung Palang Merah. Tapi pada bulan November 1945 hubungan antara orang Belanda dengan orang Indonesia menjadi lebih sulit. Kalangan extrimis muda, tapi juga gerombolan pencuri yang sama sekali tidak berkaitan dengan perjuangan kemerdekaan, melancarkan pembunuhan terhadap orang Belanda, antara lain beberapa sahabat akrab orang tua kami. Karena itu diputuskan untuk mengubah kamar tamu rumah kami di Javaweg menjadi kantor Palang Merah. Bagi orang-orang Belanda pertanyaannya adalah seberapa jauh tokoh-tokoh nasionalis yang sibuk mengisi kemerdekaan itu bekerjasama dengan orang-orang Jepang. Selain Sukarno yang memang bekerjasama dengan Jepang dan Hatta yang sedikit melakukannya, masih ada tokoh nasionalis ketiga yang benar-benar menolak bekerjasama: Sutan Sjahrir. Sebagai cendekiawan yang non-kooperatif, Sjahrir memperoleh banyak dukungan generasi muda. Pendirian anti-fasisnya menyebabkan Sjahrir merupakan satu-satunya mitra berunding dari kalangan nasionalis yang masih bisa diterima Belanda. Dia juga sempat menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Leiden, karena itu dia akrab dengan beberapa tokoh sosialis seperti Jef Last, Sal Tas dan Jacques de Kadt yang anti Partai Buruh Sosial Demokrat SDAP. Bagi mereka partai ini dipenuhi oleh “kalangan munafik yang suka minum champagne ”. Selama di Belanda Sjahrir menjalin hubungan asmara dengan Maria, istri Sal Tas. Maria ikut bersama Sjahrir kembali ke Hindia Belanda dan kedua kekasih menikah secara Islam. Bergandengan tangan pasangan pengantin baru ini berjalan-jalan di Medan, mengenakan pakaian tradisional. Ternyata hal ini sudah keterlaluan bagi orang Belanda kulit putih, setelah lima pekan Maria dimasukkan dalam kapal yang membawanya kembali ke Belanda. Pasangan ini baru bertemu kembali setelah Perang Dunia Kedua berakhir. Tak lama sesudah itu, lantaran pidato-pidatonya yang nasionalistis Sjahrir dibuang ke kamp penjara Boven Digul di Papua, dan sesudah itu selama bertahun-tahun ke pulau Banda yang terpencil itu. Dari sana ia mengirim surat-surat panjang berbahasa sastra kepada Maria. Dalam sebuah surat tertanggal 21 Februari 1936, Sjahrir membeberkan pandangan majunya: Tentang satu hal aku jakin: bahwa pemerintahan djadjahan ini, dan lebih2 lagi orang2 Belanda pendjadjah, satu waktu akan menjesal, bahwa mereka itu tidak melakukan politik dengan garis2 besar, dengan kemungkinan2 jang djauh, disesuaikan dengan susunan dunia modern jang sudah berubah, bahwa mereka itu tidak pernah, walaupun hanja sedikit, teringat akan politik kebudajaan jang insaf untuk penduduk Indonesia. Aku sendiri jakin bahwa kepitjikan pandangan ini, “ketelitian” Belanda jang terkenal itu dan kekurangan fantasi dan keberaniannja dari mulai sekarang akan memperlihatkan akibat2nja jang buruk. <....> Tapi achir2nja mereka akan terpaksa mengambil djalan itu, tapi tentu sudah terlambat pula. Sebagai orang jang diasingkan aku hanja bisa mengatakan: akan kita lihat buktinja nanti. Sjahrir sendiri juga kritis terhadap gerakan kemerdekaan. Kalangan nasionalis murni, menurutnya, kurang “memiliki pikiran terbuka dan mereka juga harus membebaskan diri dari syak wasangka, kebencian dan kompleks rasa minder”. Baru sesudah itu bisa muncul keberimbangan. Dengan cepat Sjahrir juga melihat bangkitnya fasisme sebagai ancaman terbesar terhadap perdamaian dunia. Pada sebuah surat terbuka tahun 1938, Sjahrir mencatat bahwa “begitu perang Pasifik berkobar, kalangan pergerakann harus bekerjasam untuk mempertahankan negara”. Untuk bisa menjalin kerjasama ini penguasa Belanda harus menyerahkan sebagian kekuasaan kepada kalangan pergerakan. Belanda harus memandang kalangan gerakan perlawanan sebagai sekutu yang berimbang. Ketakacuhan pejabat Belanda Beberapa hari menjelang 25 November 1945, ayah mengadakan pembicaraan dengan utusan pribadi Menteri Wilayah Seberang Lautan Belanda. Dalam berunding itu ayah mendesak supaya dilakukan perundingan dengan Sutan Sjahrir: Aku jabarkan bahwa dengan tampilnya kabinet Sjahrir beberapa hari berselang maka muncullah kesempatan unik untuk mengadakan perundingan, dan bahwa Belanda harus menyambut kesempatan ini dengan dua tangan terbuka. <....> Kucoba meyakinkan bahwa mengakui republik menurut pendapatku tidak bisa dihindari lagi. Kudesak supaya sebelum kabinet Sjahrir Ahad 25 November mendatang berhadapan dengan lembaga perwakilan Republik, dia diberi konsesi sebanyak mungkin dalam bidang politik, hanya dengan begitu maka posisinya di hadapan teroris dan extrimis ini akan menjadi kuat. Ini memang tidak akan mudah, terutama karena hubungan pribadi antara orang-orang Belanda dengan orang-orang Indonesia pada bulan November ini sudah tidak mungkin lagi. Ayah kemudian memperoleh tugas untuk mencoba membuka hubungan dengan Sjahrir, untuk menanyakan beberapa hal kepadanya: Berhasil kusampaikan pesan untuk mengadakan perundingan dengan Sjahrir. Sabtu 24 November aku ditelpon istri: harus cepat-cepat pulang. Langsung kutahu apa yang terjadi. Ini jam paling panas, jalan-jalan sepi. Belum lagi kuletakkan tas, sudah datang mobil, masuk taman sampai di samping pintu. Sjahrir sendiri ternyata yang pegang kemudi. Kami masuk ke kamar kerjaku. Seorang negarawan, sekarang perdana menteri, ternyata sangat tertarik pada apa yang kukatakan. Tentu saja dia tidak bisa menjawab satu pertanyaankupun secara definitif tanpa terlebih dahulu berunding dengan kabinetnya. Tetapi reaksinya tidak langsung negatif, dan dia tidak secara apriori menampik kemungkinan mengadakan perundingan. Perundingan yang berlangsung lebih dari sejam ini juga menyinggung teror yang juga kualami dalam bekerja untuk Palang Merah. Sjahrir tampak terperanjat mendengar penuturanku — tak tahu menahu tentang hal ini dan begitu besar skalanya. <....>. Kontakku dengan Sjahrir, terutama baginya, bukannya tidak berbahaya. Pada 21 November terjadi upaya pembunuhan terhadap Mohamad Roem, bekas mahasiswaku dan sekarang pembantu Sjahrir, mungkin oleh anasir extrimis yang anti perundingan dengan Belanda; untung Roem selamat dari kematian. Kakak, saya dan adik masih menyimpang kenangan nyata bagi kunjungan Sjahrir ini. Kami sedang bermain di halaman belakang, tatkala ibu dengan gugup menghambur keluar dan berbisik supaya kami diam. Seorang Indonesia akan datang berkunjung, dan karena tidak seorangpun boleh tahu, mobilnya akan diparkir di halaman belakang. Hari-hari sebelum itu turun hujan lebat sehingga tanah begitu becek dan kami bisa membangun kastil lumpur. Sebagai ksatria untuk kastil itu kami bermain batu dan melarikannya sambil berteriak-teriak. Banyak rumah di Indonesia memiliki pavilyun di halaman belakang. Di dalamnya terdapat kamar untuk menyimpan pelbagai persediaan, para pembantu juga tidur di sana. Di bagian lain terdapat jalan, untuk rumah kami jalan itu di sebelah kanan. Sedangkan bagian belakang halaman itu berdiri tembok tinggi. Terbengong-bengong kami duduk di atas lantai pavilyun dan bertanya-tanya akankah kastil lumpur kami selamat? Terbiasa oleh keadaan perang, kami selalu menyesuaikan kepentingan sendiri dengan bahaya yang muncul di sekitar, tapi bagaimanapun juga ini adalah permainan kami. Sebuah mobil hitam masuk melaju ke halaman belakang, membelok tajam ke kiri dan .... berhenti persis di hadapan kastil kami. Seorang pria Indonesia keluar dan dengan cepat dihantar masuk. Pelan-pelan kami tertawa bersama dan menanti sampai dia pergi. Ayah berlanjut dalam buku hariannya: Keesokan harinya, pagi-pagi, aku naik sepeda ke istana untuk melaporkan hasil pembicaraan. Dalam dua kata harus kusampaikan isi pembicaraan yang berlangsung sejam itu. Dengan sedikit tergagap permintaan itu kupenuhi, tapi aku sendiri sudah tidak begitu lagi percaya pada peranku ini. Setelah mengalami sendiri betapa penguasa Belanda tidak begitu tertarik, ayah dengan kecewa memastikan bahwa tidak ada lagi perannya dalam melaksanakan politik yang dijalankan pemerintah Belanda: begitulah akhir missi politik yang pertama dan terakhirku . Walau begitu kontak antara Sjahrir dan penguasa Belanda berhasil dibina, berlanjut dengan pembicaraan dan perundingan seret. Dalam brosur berjudul “Nederland op den Tweesprong” (Belanda di persimpangan), ayah berkeluh kesah sebagai berikut: “Dengan begitu pemerintah mempersulit Sjahrir untuk menjelaskan kepada kalangan oposisi bahwa bermanfaat juga untuk berunding dengan Belanda. Bisa-bisa ada kalangan tertentu pemerintah masih risi berhadapan dengan seorang sosialis seperti Sjahrir. Tidakkah orang sadar bahwa kalau Sjahrir tersingkir, maka tidak ada lagi yang tersisa dalam masyarakat Indonesia yang bisa diajak berunding dengan Belanda?” Taman Proklamasi Kembali di Belanda, kedua orang tua kami melanjutkan perjuangan supaya Belanda mengakui Republik Indonesia. Mereka terus berharap munculnya kerjasama antara kedua negara, yang menguntungkan Indonesia tapi juga menguntungkan Belanda. Akibatnya mereka kembali bertabrakan dengan pemerintah Belanda yang buta bagi hasrat sah Indonesia untuk merdeka dan hanya bersikukuh pada pendirian hampa mereka untuk kembali memulihkan Hindia Belanda sebagai wilayah jajahan. Kami anak-anak ini menjadi saksi bagaimana ayah ibu begitu putus asa melihat betapa pemerintah Belanda telah menampik semua kesempatan bagi perpisahan yang bermartabat dengan wilayah jajahan serta peralihan damai menuju kemitraan yang sederajat. Tidak boleh dilupakan bagaimana pula penguasa yang begitu picik itu akhirnya melancarkan perang kolonial yang amat menyengsarakan, sampai dua kali! Antara 1946 dan 1998 tidak seorangpun di antara kami, anak-anak, kembali menengok negeri kelahiran kami. Satu-satunya saat kedua orang tua kami kembali terjadi pada 1956/1957, mereka ke Bogor karena ayah memberi kuliah gurubesar tamu pada Fakulteit Pertanian Universiteit Indonesia. Tetapi sejauh yang kami ketahui, waktu itu mereka tidak mengunjungi tugu Proklamasi, dan karena itu juga tidak mendapati betapa dekat kamp ADEK dengan rumah Sukarno yang ditinggali setelah pembuangan selama bertahun-tahun. Waktu itu belum ada monumen dengan patung Sukarno dan Hatta dan 17 pilar (karena 17 Agustus). Begitu pula rumah Sukarno (Pegangsaan Timur 56) belum diganti menjadi bangunan besar putih yang sekarang memamerkan detik-detik Proklamasi. Kenyataan bahwa tidak seorangpun di antara kami kembali ke Indonesia sebelum 1998, berkaitan erat dengan kudeta berdarah tahun 1965, ketika jenderal Soeharto dan kaki tangannya menegakkan pemerintahan diktator kejam yang selama lebih dari 30 tahun menguasai Indonesia —antara lain dengan selama bertahun-tahun mengasingkan ribuan orang (termasuk cendekiawan dan penulis) yang dicurigai bersimpati dengan kalangan komunis ke pulau Buru yang terpencil dan tak layak dihuni. Mereka berada di sana tanpa melalui proses apapun, juga tanpa mereka tahu untuk berapa lama. Kembali terlihat betapa penguasa menggunakan cara ampuh ini untuk menyekap orang-orang yang mereka anggap merpakan halangan. Kali ini adalah rezim Indonesia sendiri, dan pahitnya adalah bahwa pemerintah yang berkuasa di Belanda antara 1965 sampai 1998 tidak sedikit saja merasa risi berhubungan dengan rezim diktator Indonesia, bahkan sampai mengekspor senjata. Itu mereka lakukan tanpa terlebih dahulu mengakui 17 Agustus sebagai hari Proklamasi dan terus berpegang teguh pada 27 Desember 1949 sebagai hari penyerahan kedaulatan. Ketika para mahasiswa, pada 1998, memaksa Soeharto mundur, ayah sudah terlalu tua untuk bisa melakukan perjalanan panjang —dia tutup usia akhir 1998. Ibu sudah duluan, meninggal dunia pada 1988. Sejak 2002, kami anak-anak dalam kombinasi berbeda-beda dan bersama anak-anak kami sendiri serta cucu-cucu kembali ke Indonesia, dan akan terus kami lakukan. Tapi mulai sekarang kami akan selalu singgah di Taman Proklamasi, ikut mengenang apa-apa yang pernah terjadi di sini. (Alih bahasa: Joss Wibisono). Referensi: • Rudolf Mrázek (1994): Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia • Wim Wertheim dan Hetty Wertheim-Gijse Weenink (1991): Vier wendingen in ons bestaan, Indië verloren, Indonesië geboren . • W. F. Wertheim (1946): Nederland op den Tweesprong: Tragedie van den aan traditie gebonden mensch . • W.F. Wertheim (1978): Indonesië, van vorstenrijk tot neo-kolonie . • Sutan Sjahrir (1966): Indonesische Overpeinzingen . • Soekarno (1930): Indonesië klaagt aan . • Anne-Ruth Wertheim (1994): De Gans eet het brood van de eenden op, mijn kindertijd in een Jappenkamp op Java .
- Pada Mulanya Adalah Waktu
ORANG Mesir Kuno adalah yang pertama menciptakan 24 jam per hari. Patokannya bayangan matahari dan posisi bintang di langit. Mereka juga menciptakan jam matahari, kendati bangsa lain seperti Tiongkok, Babilonia, Yunani, dan Romawi sudah menggunakan instrumen itu untuk memberi tahu mereka tentang waktu. Namun, alam mengenal musim, yang menyebabkan matahari tak selalu muncul atau memberikan waktu yang tepat. Pemikiran soal waktu terus berkembang. Bukan hanya untuk menentukan pagi, siang, hingga malam tapi juga bagaimana mengetahui ketepatan waktu dari jam, menit, dan detik. Jam Matahari Mengamati perubahan bayangan matahari merupakan metode tertua untuk menandai perubahan waktu. Jam matahari, yang dilengkapi skala dan gnomon (alat penanda waktu yang memanfaatkan bayangan sinar matahari), digunakan sejak milenium ketiga sebelum masehi. Lain bangsa lain pula bentuk jam mataharinya. Jam matahari bangsa Yunani disebut hemispherium , biasanya terbuat dari batu. Bentuknya seperti mangkuk terpotong, lengkap dengan gnomon dan ukiran yang menerangkan 12 jam dalam sehari. Yang monumental adalah jam matahari dari Mesir purba, yang menggunakan obelisk atau tiang batu. Jam air Jam matahari memiliki kelemahan, yakni bergantung pada cuaca dan sinar matahari. Perkembangan ilmu pneumatik (tentang tekanan udara) dan fenomema hidrolik menjadi pendorong munculnya jam air. Clepsydrae atau jam air ini terdiri dari bejana sederhana berisi air yang menetes keluar melalui corong. Tetesan air inilah yang jadi ukuran waktu. Jam ini berkembang di India dan Tiongkok pada milenium pertama sebelum masehi. Jam pasir Jam pasir juga tak bergantung pada cuaca maupun matahari. Bentuknya dua tabung kaca yang terhubung tabung sempit di tengahnya. Pasir mengisi bagian atas yang akan mengalir ke bawah sebagai penanda waktu. Bangsa Yunani pada abad ketiga menggunakan jam pasir untuk menanndai waktu bicara dalam Senat. Sementara di daratan Eropa, jam pasir dikembangkan Luitprand, seorang pendeta pada katedral Chartres, Prancis. Jam lilin Untuk menandai waktu selama berdoa di malam hari, biara Clunny yang berada di Burgundia, sebuah kota kecil di Prancis, membakar lilin. Kebiasaan ini lazim dilakukan biara Kristen di Eropa pada Abad Pertengahan. Penggunaannya lalu meluas dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya digunakan untuk menunjukkan durasi waktu lelang barang dan pemilihan pemimpin. Foliot Pada akhir Abad Pertengahan, orang Eropa mulai memikirkan penunjuk waktu yang lebih tepat. Para pembuat jam menggunakan roda bergerigi untuk mengatur escapement atau alat pengatur gerakan jam. Untuk menjaga interval putaran gerigi, dipasanglah semacam batang atau foliot dalam posisi mendatar. Deskripsi rinci dari mekanisme jam model ini ditulis Giovanni de Dondi, seorang profesor astronomi dari Padua, Italia, pada 1364 dengan judul Il Tractus Astarii . Pendulum Pada 1656, Christiaan Huygens, ahli fisika, matematika, dan astronomi asal Belanda,menciptakan mekanisasi baru untuk jam: pendulum. Pendulum ini bukan murni pemikiran Huygens, karena telah ditemukan ahli fisika dan astonomi asal Italia, Galileo Galilei. Foliot yang berat pun digantikan pendulum untuk menggerakkan mesin jam. 19 tahun berselang, Huygens menciptakan hairspring atau semacam per tipis dalam jam yang berfungsi mengontrol kecepatan putaran dan keseimbangan roda gerigi. Dari sinilah berkembang jam kecil yang dapat dimasukkan ke saku jas. Jam elektrik Jam mekanik dengan pendulum memiliki masalah soal sumber daya untuk terus menggerakkan pendulum. Seorang pembuat jam berkebangsaan Skotlandia, Alexander Bain, lalu membuat model jam dengan menggunakan tenaga listrik. Ia menggunakan tenaga elektromagnetik untuk menggerakkan mesin jam. Bain mematenkan jam elektriknya pada 1841.
- Sukarno, Majalah Playboy, dan CIA
TAK salah lagi orang pertama dan mungkin yang terakhir menyebut berkali-kali nama majalah dewasa Playboy , seraya mempertontonkannya dalam acara resmi kenegaraan adalah Sukarno. “Saudara-saudara, ini loh saya bawa Playboy ,” kata Sukarno ketika berpidato di depan 1500 Pemuda Marhaenis di Istana Negara Jakarta pada 20 Desember 1966.
- Pertarungan Dua Resimen
SUATU hari di Jakarta pada 1964. Batalyon II Resimen Tjakrabirawa (Tjakra) dari unsur KKo AL (Korps Komando Angkatan Laut) tengah berlatih terjun payung di Lapangan Banteng, Jakarta. Saat itulah, tetiba muncul satu truk berisi puluhan prajurit RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat). Sembari berkeliling Lapangan Banteng, para prajurit muda tersebut mengeluarkan kata-kata ejekan kepada para anggota Tjakra. “Saya lihat sebagian dari mereka berjoget sambil memainkan pinggulnya mengejek kami…” kenang Kopral (Purn) Ali Mutaqiem, 75 tahun, kepada Historia . Jengah dengan prilaku kawan-kawan satu angkatannya, instruktur terjun payung Tjakra yang juga dari unsur Angkatan Darat (AD) lantas menghentikan truk tersebut. Namun baru saja truk berhenti, para prajurit Tjakra yang sudah tak bisa lagi menahan amarah, langsung menyerbu para prajurit RPKAD itu. Maka tak pelak lagi terjadilah perkelahian satu lawan satu yang berakhir dengan mundurnya anak-anak RPKAD ke arah Pasar Senen. Kendati sama-sama anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), RPKAD dan Tjakra memang tak pernah akur. Ada saja soal-soal yang membuat mereka bentrok, mulai soal ejek mengejek hingga rasa kesal karena perlakuan pemerintah pada saat itu yang kesannya lebih “memanjakan” Tjakra dibanding kesatuan-kesatuan lain termasuk RPKAD. Sebagai salah satu buktinya, menurut Kosim, 77 tahun, seragam Tjakra jauh lebih bagus dibanding tentara-tentara lain. Begitu juga soal fasilitas seperti senjata, makanan dan uang gaji. “Tapi soal baret, lucunya mereka awalnya minta dan meniru warna kebesaran kesatuan kami”ujar pensiunan Letnan RPKAD itu. Kata-kata Kosim memang benar adanya. Menurut AKBP Mangil Martowidjojo (Komandan Kawal Pribadi Resimen Tjakrabirawa) pada awal pendiriannya mereka memang mempergunakan baret merah RPKAD. “Letnan Kolonel CPM Sabur (Komandan Resimen Tjakrabirawa) pernah meminjam baret dari RPKAD, yang kemudian dicelup hingga menjadi merah tua. Inilah yang menjadi pembeda dengan baret warna merah darah milik RPKAD,” ujar Mangil dalam Kesaksian Tentang Bung Karno 1945-1967 . Nah, kemiripan warna baret inilah yang kerap menjadi masalah. Para anggota RPKAD berpendapat Tjakra tidak pantas memakai baret warna merah (yang untuk mendapatkannya saja perlu keringat dan darah dalam suatu seleksi pelatihan para komando yang sangat ketat). Sebaliknya prajurit Tjakra pun selalu merasa paling penting karena kedudukannya sebagai pelindung langsung keselamatan Presiden Sukarno. “Situasi tegang itulah yang kerap memicu konflik kecil-kecilan di antara para prajurit dari dua kesatuan ini di lapangan,” ungkap Kolonel (Purn) H.W. Sriyono, eks anggota Tjakra dari unsur Corps Polisi Militer (CPM). Bentrok yang paling besar terjadi di sekitar Pasar Senen dan Kwini pada 1964. Saat itu, menurut Jenderal (Purn) L.B. Moerdani alias Benny Moerdani, sekitar satu batalyon RPKAD berhasil menewaskan 10 prajurit KKo dan hampir saja menghancurkan markas besar kesatuan elit AL itu (yang juga dijadikan asrama Tjakra dari Yon II) dengan tembakan bazooka jika tidak dia cegah. “Benny dengan tegas memerintahkan anak buahnya untuk pulang kembali ke asrama mereka di Cijantung,” demikian menurut Julius Pour dalam Tragedi Seorang Loyalis . Namun soal ini dibantah keras oleh Ali Mutaqiem. Alih-alih mengakui versi yang diceritakan oleh Benny, ia malah menyebut dalam kejadian itu justru sepuluh korban tewas itu berasal dari RPKAD sedang dari pihak KKo hanya beberapa luka berat dan ringan. “Salah satunya adalah kawan saya yang sampai sekarang cacat akibat kejadian tersebut,” ungkap eks anggota Tjakra yang kala itu berpangkat Prajurit Satu. Ali juga masih ingat, Benny yang disebutnya “memimpin” penyerbuan itu sempat masuk dalam teleskop penembak runduk Yon II bernama Prajurit Dua Soekandar. Namun untunglah saat itu, Kapten Moeranto bisa mencegahnya. “Biar saya yang menangkap dia!” teriak Wakil Komandan Batalyon II Tjakra tersebut.
- Canting dari Sungai Kuning
PUTRI Ong Tien nelangsa. Sebagai istri wali Sunan Gunung Jati di Cirebon, dia belum juga beroleh keturunan. Untuk menghibur diri, kala senggang, dia melukis di kain. Corak batik hasil kreasinya kadang diberi warna-warna cemerlang seperti warna keceriaan musim semi di Tiongkok. Banyak dayang meniru motif ciptaan Ong Tien. Kini, kita mengenalnya sebagai motif mega mendung. Dari batik Cirebon, Pekalongan, hingga Lasem, pengaruh Tionghoa kental sekali dalam menambah kekayaan corak batik Nusantara. “Pengaruh budaya Tionghoa terhadap batik sangat kuat, terutama untuk batik pesisir, seperti batik Pekalongan atau batik Cirebon. Sebab, memang orang-orang di daerah pesisir yang aktif melakukan kontak dengan masyarakat luar, seperti dengan para pedagang asal negeri Tiongkok. Motif buket bunga pada batik pesisir itu kuat pengaruh Tionghoa,” kata Benny Gratha, asisten kurator Museum Tekstil Jakarta. Pekalongan atau dulu disebut Bandar Guminsang terkenal dengan batik encim. Tata warna dan motif khas Tionghoa terlihat pada ragam hias buketan (gambar bunga) dengan tata warna porselin Cina, kemudian motif burung hong , hingga cerita Sam Pek Eng Tay . Salah satu pengusaha Tionghoa terkemuka di Pekalongan adalah Oey Soe Tjoen. Mulai merintis sejak 1927 di wilayah Kedungwuni, perusahaan batik “Art” miliknya mampu bersaing dengan pengusaha batik keturunan Eropa macam Van Zuylen. Penggarapan tanahan , latar belakang dari desain utama, menjadi cirinya. Lasem, dikenal juga sebagai le Petit Chinois atau Cina Kecil, memiliki sejarah panjang tentang batik. Serat Badra Santi karya Mpu Santi Badra pada 1479 M, menyebut Na Li Ni, istri nahkoda dari Campa (kawasan Indo Cina) bernama Bi Nang Un, memberikan sentuhan Tionghoa dalam seni batik Lasem. Terlihat dari motif naga, burung merak, kilin (kuda-naga yang bertanduk dalam mitologi Cina), ayam, kupu-kupu, ikan emas, bunga Peony, dan bunga krisan. Motif dari Tionghoa tersebut berpadu-padan dengan motif geometris ala Jawa yang diwakili motif parang , kawung , pamor udan liris . Warna batik Lasem cukup beragam, seperti gelap-merah, biru, coklat muda, hijau, coklat gelap, dan ungu. Menurut Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya , asal-usul teknik batik dan sejarahnya masih gelap. Teknik ini hanya didapati di Jawa namun itu pun pada zaman yang relatif mutakhir. Karenanya, dia berkesimpulan, “sulit bagi kita untuk menerima bahwa teknik merupakan ‘latar budaya’ Nusantara. Sebaliknya, berbagai argumen yang mengesankan adanya pengaruh India, atau Cina, masih sangat lemah.” Namun, Lombard juga menyebutkan, sejak abad ke-18 para pengrajin Cina berperan dalam produksi batik, khususnya di Cirebon dan Lasem. “… semua Jawa mengenal dengan baik berbagai motif yang diilhami oleh tradisi Cina yang telah mereka sebar luaskan,” tulisnya, menyebut contoh motif naga atau liong , swastika ( banji ), hingga mega mendung.
- Kerugian Nasional Akibat Genosida Politik 1965-1966
ADA dua arus besar penafsiran dalam perdebatan sejarah ihwal peristiwa 1965. Kelompok penafsir pertama berpendapat peristiwa penculikan dan pembunuhan para jenderal Angkatan Darat 1 Oktober 1965 adalah puncak kekejaman PKI dalam sejarah politik Indonesia pascakemerdekaan. Dalam arus penafsiran itu, kekejaman tersebut melengkapi tabiat berontak sejak 1926, 1948 sampai 1965.
- Lima Versi Pelaku Peristiwa G30S
BEBERAPA kali warganet mention ke akun twitter Historia menyoal mengapa tidak mencantumkan /PKI pada G30S. Sejak Reformasi, selain penghentian penayangan film Pengkhianatan G30S/PKI , kurikulum tahun 2004 juga tidak lagi mencantumkan /PKI. Hal ini karena banyak penelitian yang mengungkapkan bahwa pelaku peristiwa G30S tidak tunggal, sebagaimana versi Orde Baru yang menyebut PKI sebagai satu-satunya dalang di balik peristiwa berdarah itu. “Sukarno sendiri dalam Pidato Nawaksara mengatakan bahwa peristiwa G30S merupakan pertemuan tiga sebab, yaitu pimpinan PKI yang keblinger , subversi nekolim dan oknum yang tidak bertanggung jawab. Jadi, dalangnya tidak tunggal dan merupakan perpaduan unsur dalam negeri dengan pihak asing,” kata Asvi Warman Adam, sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Dari berbagai penelitian, setidaknya ada lima versi tentang pelaku G30S yaitu PKI, konflik internal Angkatan Darat, Sukarno, Soeharto, dan unsur asing terutama CIA (Dinas Intelijen Amerika Serikat). PKI Ini merupakan versi rezim Orde Baru. Literatur pertama dibuat sejarawan Nugroho Notosusanto dan Ismael Saleh bertajuk Tragedi Nasional Percobaan Kup G30S/PKI di Indonesia (1968). Intinya menyebut skenario PKI yang sudah lama ingin mengkomuniskan Indonesia. Buku ini juga jadi acuan pembuatan film Pengkhianatan G30S/PKI garapan Arifin C. Noer. Selain itu, rezim Orde Baru membuat Buku Putih yang dikeluarkan oleh Sekretariat Negara dan Sejarah Nasional Indonesia suntingan Nugroho Notosusanto yang diajarkan di sekolah-sekolah semenjak Soeharto berkuasa. Oleh karena itu, versi Orde Baru ini mencantumkan “/PKI” di belakang G30S. Para pelaku sendiri menamai operasi dan menyebutkannya dalam pengumuman resmi sebagai “Gerakan 30 September” atau “G30S”. Sebagai bagian dari propaganda Orde Baru, gerakan ini pernah disebut sebagai Gestapu (Gerakan September Tigapuluh). Penamaan ini adalah bagian dari propaganda untuk mengingatkan orang kepada Gestapo, polisi rahasia Nazi Jerman yang terkenal kejam. Presiden Sukarno mengajukan penamaan menurut versinya sendiri, yakni “Gerakan Satu Oktober” atau “Gestok.” Menurutnya, Gestok jauh lebih tepat menggambarkan peristiwanya karena kejadian penculikan para jenderal dilakukan lewat tengah malam 30 September yang artinya sudah memasuki tanggal 1 Oktober dini hari. Penyebutan G30S/PKI sebagai bagian propaganda untuk menegaskan bahwa satu-satunya dalang di balik peristiwa penculikan dan pembunuhan para jenderal Angkatan Darat adalah PKI. Penamaan peristiwa ini selama bertahun-tahun digunakan dalam pelajaran sejarah sebagai satu-satunya versi yang ada. Penamaan tersebut menutup kemungkinan munculnya versi lain yang memiliki sudut pandang berbeda atas peristiwa yang terjadi. Kesimpulan tersebut diambil tanpa terlebih dahulu melewati sebuah penyelidikan. Sejarawan John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto mengemukakan bahwa PKI sama sekali tidak terlibat secara kelembagaan. Sebagaimana semestinya sebuah keputusan resmi partai yang harusnya diketahui oleh semua pengurus, rencana gerakan Untung hanya diketahui oleh segelintir orang saja. Struktur kepengurusan partai mulai dari Comite Central (CC) sampai dengan Comite Daerah Besar (CDB) tak mengetahui sama sekali adanya rencana itu. “Karena dia (Roosa) menggunakan sumber-sumber yang sangat kuat. Misalnya, keterangan pengakuan Iskandar Subekti, orang yang menulis pengumuman-pengumuman G30S di (Pangkalan) Halim. Dia juga menggunakan keterangan pengakuan Brigjen Supardjo. Artinya orang-orang yang betul-betul terlibat secara meyakinkan dalam kejadian tanggal 30 September 1965 sampai paginya itu,” kata Asvi. Konflik Internal Angkatan Darat Sejarawan Cornell University, Benedict ROG Anderson dan Ruth McVey mengemukakan dalam A Preliminary Analysis of the October 1 1965, Coup in Indonesi a atau dikenal sebagai Cornell Paper (1971), bahwa peristiwa G30S merupakan puncak konflik internal Angkatan Darat. Dalam Army and Politics in Indonesia (1978), sejarawan Harold Crouch mengatakan, menjelang tahun 1965, Staf Umum Angkatan Darat (SUAD) pecah menjadi dua faksi. Kedua faksi ini sama-sama anti-PKI, tetapi berbeda sikap dalam menghadapi Presiden Sukarno. Kelompok pertama, “faksi tengah” yang loyal terhadap Presiden Sukarno, dipimpin Letjen TNI Ahmad Yani, hanya menentang kebijakan Sukarno tentang persatuan nasional karena PKI termasuk di dalamnya. Kelompok kedua, “faksi kanan” bersikap menentang kebijakan Ahmad Yani yang bernafaskan Sukarnoisme. Dalam faksi ini ada Jenderal TNI A.H. Nasution dan Mayjen TNI Soeharto. Peristiwa G30S yang berdalih menyelamatkan Sukarno dari kudeta Dewan Jenderal, sebenarnya ditujukan bagi perwira-perwira utama “faksi tengah” untuk melapangkan jalan bagi perebutan kekuasaan oleh kekuatan sayap kanan Angkatan Darat. Selain mendukung versi itu, W.F. Wertheim menambahkan, Sjam Kamaruzaman yang dalam Buku Putih terbitkan Sekretariat Negara disebut sebagai Kepala Biro Chusus Central PKI adalah “agen rangkap” yang bekerja untuk D.N. Aidit dan Angkatan Darat. Sukarno Setidaknya ada tiga buku yang menuding Presiden Sukarno terlibat dalam peristiwa G30S: Victor M. Fic, Anatomy of the Jakarta Coup, October 1, 1965 (2004); Antonie C.A. Dake, The Sukarno File, 1965-67: Chronology of a Defeat (2006) yang sebelumnya terbit berjudul The Devious Dalang: Sukarno and So Called Untung Putsch: Eyewitness Report by Bambang S. Widjanarko (1974); dan Lambert Giebels, Pembantaian yang Ditutup-tutupi, Peristiwa Fatal di Sekitar Kejatuhan Bung Karno. Menurut Asvi ketiga buku tersebut “mengarah kepada de-Sukarnoisasi yaitu menjadikan presiden RI pertama itu sebagai dalang peristiwa Gerakan 30 September dan bertanggung jawab atas segala dampak kudeta berdarah itu.” Ketika buku Dake terbit di Indonesia dengan judul Sukarno File (2005), keluarga Sukarno protes keras dan menyebutnya sebagai pembunuhan karakter terhadap Sukarno. Untuk menyanggah buku-buku tersebut, Yayasan Bung Karno menerbitkan buku Bung Karno Difitnah pada 2006. Cetakan kedua memuat bantahan dari Kolonel CPM Maulwi Saelan, wakil komandan Resimen Tjakrabirawa. Soeharto Komandan Brigade Infanteri I Jaya Sakti Komando Daerah Militer V, Kolonel Abdul Latief dalam Pledoi Kolonel A. Latief: Soeharto Terlibat G30S (1999) mengungkapkan bahwa dia melaporkan akan adanya G30S kepada Soeharto di kediamannya di Jalan Haji Agus Salim Jakarta pada 28 September 1965, dua hari sebelum operasi dijalankan. Bahkan, empat jam sebelum G30S dilaksanakan, pada malam hari 30 September 1965, Latief kembali melaporkan kepada Soeharto bahwa operasi menggagalkan rencana kudeta Dewan Jenderal akan dilakukan pada dini hari 1 Oktober 1965. Menurut Latief, Soeharto tidak melarang atau mencegah operasi tersebut. Menurut Asvi, fakta bahwa Soeharto bertemu dengan Latief dan mengetahui rencana G30S namun tidak melaporkannya kepada Ahmad Yani atau AH Nasution, menjadi titik masuk bagi analisis “kudeta merangkak” yang dilakukan oleh Soeharto. Ada beberapa varian kudeta merangkak, antara lain disampaikan oleh Saskia Wierenga, Peter Dale Scott, dan paling akhir Soebandrio, mantan kepala Badan Pusat Intelijen (BPI) dan menteri luar negeri. Dalam Kesaksianku tentang G30S (2000) Soebandrio mengungkapkan rangkaian peristiwa dari 1 Oktober 1965 sampai 11 Maret 1966 sebagai kudeta merangkak yang dilakukan melalui empat tahap: menyingkirkan para jenderal pesaing Soeharto melalui pembunuhan pada 1 Oktober 1965; membubarkan PKI, partai yang memiliki anggota jutaan dan pendukung Sukarno; menangkap 15 menteri yang loyal kepada Presiden Sukarno; dan mengambilalih kekuasaan dari Sukarno. CIA Sebagai konsekuensi dari Perang Dingin tahun 1960-an, Amerika Serikat dan negara-negara Barat seperti Australia, Inggris, dan Jepang berkepentingan agar Indonesia tidak jatuh ke tangan komunis. Amerika Serikat menyiapkan beberapa opsi terkait situasi politik di Indonesia. Menurut David T. Johnson dalam Indonesia 1965: The Role of the US Embassy , opsinya adalah membiarkan saja, membujuk Sukarno beralih kebijakan, menyingkirkan Sukarno, mendorong Angkatan Darat merebut pemerintahan, merusak kekuatan PKI dan merekayasa kehancuran PKI sekaligus menjatuhkan Sukarno. Opsi terakhir yang dipilih. Keterlibatan Amerika Serikat melalui operasi CIA (Dinas Intelijen Amerika Serikat) dalam peristiwa G30S telah terang benderang diungkap berbagai sumber. Peter Dale Scott, profesor dari University of California, menulis US and the Overthrow of Sukarno 1965-1967 yang diterbitkan dengan judul CIA dan Penggulingan Sukarno (2004). Menurut Dale, CIA membangun relasi dengan para perwira Angkatan Darat dalam Seskoad (Sekolah Staf Komando Angkatan Darat). Salah satu perwiranya adalah Soeharto. Sumber lain Di Balik Keterlibatan CIA: Bung Karno Dikhianati (2001) karya wartawan Belanda Willem Oltmans. Juga buku Bung Karno Menggugat: Dari Marhaen, CIA, Pembantaian Massal ’65 hingga G30S (2006) karya sejarawan Baskara T. Wardaya. Sejarawan John Roosa juga mengungkap bahwa pada akhir 1965 Amerika Serikat memberikan perangkat komunikasi radio lapangan yang sangat canggih ke Kostrad. Antenanya dipasang di depan markas besar Kostrad. Wartawan investigasi, Kathy Kadane dalam wawancaranya dengan para mantan pejabat tinggi Amerika Serikat di akhir 1980-an menemukan bahwa Amerika Serikat telah memantau komunikasi Angkatan Darat melalui radio-radio tersebut. CIA memastikan frekuensi-frekuensi yang akan digunakan Angkatan Darat sudah diketahui oleh National Security Agency (Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat). NSA menyadap siaran-siaran radio itu di suatu tempat di Asia Tenggara, dan sesudah itu para analis menerjemahkannya. Hasil sadapan itu kemudian dikirim ke Washington. Dengan demikian Amerika Serikat memiliki detil bagian demi bagian laporan tentang penyerangan Angkatan Darat terhadap PKI, misalnya, mendengar “komando-komando dari satuan-satuan intelijen Soeharto untuk membunuh tokoh-tokoh tertentu di tempat-tempat tertentu.” Amerika Serikat juga memberikan bantuan dana sebesar Rp50 juta (sekitar $10.000) untuk membiayai kegiatan KAP (Komite Aksi Pengganyangan Gerakan September Tiga Puluh) Gestapu. Selain itu, CIA juga memberikan daftar nama-nama tokoh PKI kepada Angkatan Darat.
- Hati-hati dengan Belati
BELATI, salah satu bentuk evolusi dari pisau potong, adalah salah satu senjata yang dipakai manusia dalam sebuah pertarungan. Ia memiliki dua sisi yang sama tajam dan meruncing di ujungnya. Biasanya belati tak lebih panjang dari 50 centimeter. Melihat bentuknya, belati cocok untuk pertarungan jarak dekat, seperti menusuk dan menikam lawan. Belati batu Para petarung Zaman Batu, sekira 20.000 SM, mencoba menciptakan senjata untuk pertahanan diri. Salah satunya belati yang terbuat dari batu; biasanya dipilih dari daerah berkapur. Guna mendapat tepi yang tajam, batu tersebut dipukulkan dengan batu lain hingga membentuk sisi yang tajam. Agar nyaman digenggam, gagangnya dililitkan kulit atau bagian otot hewan. Pugio Biasa dipakai tentara Romawi, dengan diikatkan di sisi kiri tubuh. Panjangnya tak lebih dari 30 centimeter. Bentuk mata belatinya seperti daun. Pugio menjadi senjata terakhir jika senjata utama, seperti pedang atau tombak, sudah lepas dari tangan. Namanya menjadi terkenal setelah digunakan Marcus Brutus, seorang senator, untuk menikam Gaius Julius Caesar (100-44 SM). Belati Iberia Para pandai besi dari kawasan Iberia di selatan Spanyol sejak abad ke-5 SM terkenal sebagai pembuat belati berbahan besi berkualitas. Bentuknya masih sederhana, dengan mata belati berbentuk segitiga dan menyambung dengan bagian gagangnya. Model belati Iberia ini kemudian diadopsi pasukan Hannibal dari Kartago, yang terletak di Mediterania dan menjadi pesaing utama Romawi. Belati Melayu Masyarakat Nusantara mengenal besi pada abad-abad terakhir sebelum masehi. Dari sinilah muncul pembuatan belati khas berbahan besi yang disebut keris. Selain besi, beberapa keris terbuat dari meteorit, pecahan batu meteor yang jatuh ke bumi, yang mengandung bahan logam semacam titanium. Keris memiliki bentuk bergelombang, dengan panjang sekira 40 centimeter. Di Jawa Barat terdapat kujang, sementara Aceh punya rencong. Quillon Berkembang di daratan Eropa pada abad ke-10. Mata belatinya ramping, dan terdapat semacam besi pembatas antara mata belati dan bagian yang digenggam untuk melindungi tangan ketika mengayunkan belati. Lalu di ujung bagian gagang yang digenggam terdapat logam yang biasanya berbentuk bulat. Fungsi logam ini, yang biasanya disebut pommel , untuk memukul balik lawan. Rondel Belati ini berkembang di Eropa, khususnya Inggris, sekira abad ke-13, dan biasa dipakai para ksatria. Mata belati bentuknya ramping, sederhana, meruncing di ujung. Sebagai penunjang duel jarak dekat, beratnya pun tak sampai setengah kilogram, dengan panjang sekitar 30 centimeter. Pegangannya sering dibuat dari tulang atau kayu. Stiletto Belati yang ramping ini berkembang di Italia, sekira 1600-an, diambil dari kata stilus atau alat menulis era Yunani kuno. Mata pisaunya ramping, terdiri dari tiga atau empat sisi, dan meruncing di ujung. Bentuknya yang sederhana menjadikannya mudah disembunyikan kala akan digunakan untuk menyergap musuh. Stiletto bisa menembus sela-sela baju zirah, sebab bentuk mata pisaunya yang ramping. Katar Belati dengan gagang atau pegangan berbentuk huruf ‘H’ ini berkembang di dataran Punjab, India. Mata belatinya sederhana, berbentuk segitiga, dengan ketajaman di kedua sisinya. Selain sebagai senjata, katar menunjukkan status pemakainya. Seorang pemburu harimau dari Punjab kadang hanya menggunakan katar sebagai senjata, yang menunjukkan tingkat keahlian dan keberaniannya. Ketika Inggris berkuasa di India, katar menjadi barang koleksi para kolektor dari Eropa. Belati Arkansas Belati dari Arkansas, Amerika Serikat, ini sering disebut “tusuk gigi dari Arkansas”. Model mata pisaunya sederhana, membentuk segitiga sama kaki dengan ujung runcing dengan memiliki panjang sekira 30 centimeter. Belati ini memiliki keseimbangan bentuk dan berat yang baik, sehingga cocok jika dilempar ke arah sasaran. Salah satu pembuat pisau ini adalah James Black (1800-1872) yang juga terkenal dengan pembuat pisau jenis Bowie. Gerber Model paling terkenal dari belati Gerber ini adalah Mark II, yang jadi favorit pasukan Amerika di palagan Vietnam. Nama Gerber diambil dari nama keluarga pembuat pisau Pete Gerber dari Oregon-Amerika Serikat. Pada 1968, Al Mar, seorang imigran China di Amerika dan mantan anggota cadangan pasukan khusus, bergabung dengan perusahaan Gerber dan merancang belati Gerber dengan tambahan gerigi.
- Fragmen DI/TII dalam Film Darah dan Doa
KH Said Aqil Siraj ikut berkomentar soal polemik penayangan kembali film Pengkhianatan G30S/PKI . Saat mengumumkan persiapan pelaksanaan Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar NU 2017, Jumat (22/9/2017), Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu menyatakan setuju dengan penayangan kembali film itu sebagai bahan refleksi sejarah. Dia juga sepakat pada ide pembuatan ulang film tersebut. Hanya saja, Said Aqil menambahkan, kini sudah saatnya dibuat pula film-film lain yang juga menggambarkan peristiwa kelam yang penting dalam sejarah Indonesia. Dia menyebut perlunya dibuat film sejarah tentang pemberontakan yang dilakukan oleh DI/TII pimpinan SM Kartosoewiro, PRRI-Permesta, dan pemberontakan PKI di Madiun 1948, serta sejumlah peristiwa-peristiwa terorisme seperti bom Bali. Film-film tentang peristiwa sejarah kelam yang dialami Indonesia bukannya belum pernah dibuat. Setidaknya peristiwa pemberontakan DI/TII menjadi bagian cerita dalam film Darah dan Doa (1950). Film besutan Usmar Ismail itu merekam peristiwa long march Divisi Siliwangi dari Jawa Tengah kembali ke pos-pos mereka di Jawa Barat pada Desember 1948. Dalam Darah dan Doa digambarkan bahwa prajurit Siliwangi yang kembali ke basisnya itu belum mengetahui benar tentang DI/TII. Selama long march di daerah Jawa Tengah mereka hanya menghadapi serangan Belanda. Karenanya, ketika sampai di daerah Jawa Barat mereka tidak mengantisipasi akan adanya serangan dari DI/TII. Diceritakan, sepasukan Siliwangi pimpinan Kolonel Sudarto (Del Juzar) telah sampai di suatu desa di Jawa Barat. Kedatangan mereka disambut baik oleh penduduk dan lurah desa itu. Pasukan Kapten Sudarto yang kelelahan itu juga mendapat bantuan keamanan dari penduduk desa. Mereka dipersilakan istirahat dan tidur dengan penjagaan dari warga. Kapten Sudarto menyambut baik bantuan itu, tetapi sekondannya, Kapten Adam (R. Soetjipto) , memilih tetap siaga. Untuk menjaga kewaspadaan, Adam memerintahkan beberapa anak buahnya untuk tetap berjaga. Dia juga mengeluhkan Kapten Sudarto yang terlalu percaya diri dan gampang lengah. Kekhawatiran Adam terbukti manakala pada malam harinya segerombolan warga desa bersenjata menyergap pasukannya yang sedang terlelap. Tanpa mengetahui siapa sebenarnya musuhnya, mereka terpaksa melawan. Kapten Sudarto dan Adam yang kaget atas sergapan itu hanya bisa menduga-duga. “Apakah ini yang disebut Darul Islam itu?” kata Adam seraya bergegas mengambil senjata. Untungnya, meskipun tanpa persiapan memadai, pasukan Kapten Sudarto berhasil melawan. Tetapi, dia sendiri tertembak lengannya. Dalam pertempuran singkat itu, para pemberontak Darul Islam berhasil dilumpuhkan. Seorang pemimpin ditangkap dan disidang oleh Kapten Sudarto. Sidang memutuskan untuk mengeksekusi mati dengan ditembak. Sersan Sumbara Karta yang diperintahkan untuk mengeksekusi sangat tertekan. Sumbara mengatakan kepada Suster Widya dan seorang tentara bahwa orang yang akan dieksekusi itu adalah ayahnya. Kapten Sudarto merasa sangat menyesal. Fragmen dalam film Darah dan Doa itu bukan isapan jempol. Lepas Perjanjian Renville, militer Indonesia hijrah ke Jawa Tengah. Tetapi ada sebagian laskar yang menolak hijrah atau melucuti senjatanya. Di antara laskar-laskar itu adalah Hizbullah dan Sabilillah. Mereka tetap aktif di Jawa Barat ketika Divisi Siliwangi hijrah. Agar laskar-laskar ini tetap terkendali, Jenderal Soedirman mengangkat Sutoko sebagai koordinator laskar gerilya di Jawa Barat. Sayangnya, dia tidak begitu berhasil menjalankan tugasnya. Menurut sejarawan Cornelis van Dijk dalam Darul Islam: Sebuah Pemberontakan , umumnya laskar-laskar itu menolak dilucuti dan tetap aktif. Situasi bebas itulah yang kemudian dimanfaatkan oleh SM Kartosoewirjo untuk menggalang kekuatan DI/TII. “Bebas dari pengawasan aktif Tentara Republik di Jawa Tengah, dan terutama atas prakarsa Kartosuwiryo, kedua satuan ini mengadakan organisasi militer dan pemerintahan sendiri, yang dalam jangka satu tahun akan menjadi inti Negara Islam Indonesia,” tulis Van Dijk. Saat Divisi Siliwangi long march kembali ke Jawa Barat, laskar-laskar yang telah disatukan oleh Kartosoewirjo itu menghadangnya. Salah satu tujuan mereka adalah merebut senjata TNI untuk memperkuat Tentara Islam Indonesia. Sejauh itu, menurut Van Dijk, Kartosoewirjo belum secara terang-terangan memusuhi Republik. Tetapi, Kartosoewirjo dengan kekuatan politiknya menekan seluruh tentara dan laskar yang tetap tinggal di Jawa Barat untuk mengakui kekuasaannya. Yang menolak akan ditundukkan dengan kekerasan. “Maka, dengan mendadak dia menyerang sebuah kompi Tentara Republik yang tetap tinggal di Jawa Barat dan mendirikan markas besarnya di Banyuresmi dan mengusir mereka setelah menolak tiga kali berturut-turut untuk menyerah kepadanya,” tulis Van Dijk. Usai Agresi Militer Belanda II, Kartosoewirjo mulai berani menggunakan nama Negara Islam Indonesia. Karena itulah ketika Divisi Siliwangi sampai di Jawa Barat mereka disambut dengan pamflet-pamflet yang mendesak untuk bergabung dengan NII. Dan ketika menolak tentu saja mereka diperangi.
- Survei SMRC Membuktikan Mayoritas Orang Tidak Percaya PKI Bangkit
TAHUN-tahun belakangan, diskursus soal kebangkitan PKI mengemuka. Pada September atau Oktober hampir bisa dipastikan isu ini menjadi perbincangan hangat di media sosial. Masyarakat pun terbelah, antara yang percaya kebangkitan PKI dan yang kontra. Tetapi, bagaimana sikap masyarakat sesungguhnya tentang wacana kebangkitan PKI? Guna mengetahui opini publik secara nasional, Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) mengadakan survei terkait isu kebangkitan PKI. Untuk itu, SMRC mensurvei 1.057 responden. Margin of error dari jumlah tersebut berkisar 3,1 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen. Responden dipilih secara acak dari 34 provinsi serta dari latar belakang etnis, agama, dan tempat tinggal yang mencerminkan populasi nasional Indonesia. Hasilnya, didapat data 86,8 persen warga responden tidak memercayai bahwa PKI sedang bangkit kembali. Sementara itu 12,6 persen warga responden percaya sekarang PKI sedang mencoba bangkit. Sisanya sebesar 0,6 persen menjawab tidak tahu. “Artinya overwhelming majority warga Indonesia tidak setuju dengan pendapat bahwa PKI bangkit lagi. Mereka tidak percaya ada kebangkitan PKI,” ujar Sirojudin Abbas, peneliti SMRC, dalam pemaparan temuan surveinya pada Jumat (29/9/2017) di kantor SMRC, Menteng, Jakarta Pusat. Lebih jauh, survei SMRC juga menyebut lebih detil tentang profil warga yang percaya pada “sedang terjadi kebangkitan PKI” itu. Data-data menunjukkan bahwa opini tentang adanya kebangkitan PKI lebih banyak terdapat pada warga yang intens mengikuti berita di media massa, terutama internet dan koran. Mereka ini mayoritas adalah warga perkotaan dan berusia muda (di bawah 21 tahun hingga 25 tahun). Mereka juga mayoritas adalah berpendidikan tinggi, sejahtera. Sementara wilayah provinsi yang paling banyak terdapat opini kebangkitan PKI adalah di DKI Jakarta dan Banten. Menilik hasil ini Syamsuddin Haris, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, berkomentar, “Isu kebangkitan PKI ini adalah isu dunia maya, bukan di dunia nyata. Ini sesuatu yang diada-adakan untuk kepentingan politik tertentu.” Pendapat Syamsuddin Haris itu didasarkan pada temuan SMRC lainnya terkait preferensi politik warga yang setuju dan tidak setuju “adanya kebangkitan PKI”. SMRC mendapati hasil bahwa warga yang percaya kebangkitan PKI dengan persentase terbesar ada pada pemilih PKS, Gerindra, dan PAN. Juga pada fenomena dikaitkannya Presiden Joko Widodo dengan PKI. Temuan-temuan ini menunjukkan bahwa opini kebangkitan PKI di masyarakat tidak terjadi secara alamiah, melainkan hasil mobilisasi opini kekuatan politik tertentu. Karena, bila keyakinan adanya kebangkitan PKI itu alamiah maka keyakinan itu akan ditemukan secara proporsional di antara semua eksponen politik. Atas temuan survei SMRC tersebut Salim Said, guru besar ilmu politik Universitas Pertahanan, berkomentar, “Tidak ada perubahan sosial politik di Indonesia tanpa mobilisasi. Ini tentu saja dimobilisasi oleh elite. Pada akhirnya ini adalah permainan elite.” Salim Said sendiri dalam banyak kesempatan berulangkali menegaskan bahwa PKI dan ideologinya sudah bangkrut. Meski begitu, isu kebangkitan PKI yang dipolitisasi tetap harus diwaspadai dan disikapi dengan bijak. Menyambung Salim Said, Syamsuddin Haris juga mengatakan bahwa sebenarnya tidak ada indikasi-indikasi nyata bahwa PKI akan bangkit. Tetapi, “Isu ini berpotensi memecah-belah jika tidak dikelola secara bijak,” ujar Syamsuddin Haris.
- Ricuh Komunisme di KAA Bandung
PERDEBATAN soal komunisme kembali marak mendekati akhir September dan awal Oktober ini. Situasi tersebut terjadi di jagad dunia maya hingga layar kaca televisi. Perdebatan yang sama pernah terjadi satu dekade sebelum tragedi 1965. Itu berlangsung dalam pembukaan Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung. Ketika itu, sejumlah negara-negara antikomunis menyerang delegasi Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang diketuai oleh Perdana Menteri Zhou Enlai, secara verbal lewat pidato-pidato pembuka. Dalam pidato-pidatonya wakil dari Irak, Filipina, Pakistan dan Thailand, menyatakan bahwa kolonialisme dan imperialisme tidak boleh dipisahkan pula dengan kebijakan-kebijakan luar negeri Uni Soviet yang juga cenderung bersifat imperialisme. Mereka juga menyebut bahwa imperialisme tidak hanya dilakukan negara-negara barat, namun juga negara-negara blok timur. Karena itu, mereka memperingatkan forum KAA ini tidak boleh dimanfaatkan untuk propaganda komunisme. “Pidato-pidato keras tentang antikomunis disampaikan di hari pembuka Konferensi Asia Afrika di Bandung, Indonesia oleh Menlu Irak Fadhil Jamal, Perdana Menteri Pakistan Mohammed Ali, perwakilan Filipina Carlos Romulo dan Menlu Thailand Pangeran Wan Waithayakon. Jelas dari pidato-pidato itu bahwa mereka tidak ingin konferensi berkembang menjadi kendaraan propaganda komunis. Selain mengkritisi kolonialisme barat, dia juga memperingatkan imperialisme komunis sebagai bahaya besar terhadap negara-negara baru di Asia dan Afrika,” tulis majalah Philippines Free Press yang turut meliput KAA Bandung. Menhadapi berbagai serangan itu, Zhou Enlai yang sebelumnya tidak berniat ikut memberi pidato pembuka, angkat bicara. Dia menyatakan secara tegas bahwa tak akan ada propaganda komunis di forum KAA. “Sebenarnya Zhou Enlai ingin melewatkan haknya menyampaikan pidato pembuka. Namun sementara yang lain berpidato dan mengekspresikan sikap mereka terhadap komunisme, Zhou En Lai berdiri dan menyatakan bahwa dia berhak menyampaikan pidato pembelaan,” ungkap Lisandro E. Claudio mengutip memoar Sir John Kotelawala dalam Liberalism and the Postcolony . Zhou menyatakan bahwa kehadirannya di KAA Bandung bukan untuk mempromosikan paham komunis. Perdebatan menjadi ricuh saat Menteri Luar Negeri Irak Fadhil Jamali terus-menerus menyerang Zhou dan kebijakan negaranya yang represif. Begitu emosionalnya Jamail, sampai-sampai harus “diajak” keluar oleh diplomat Indonesia, Abdul Rahman Baswedan. Baswedan lantas membawa Menlu Irak itu untuk berdiskusi dengan tokoh-tokoh nasional macam M Natsir, Parwoto dan M Roem. Dalam agenda tukar pikiran itu, Fadhil Jamali juga mencurahkan ketidaknyamanannya semenjak tiba di Bandara Kemayoran Jakarta, sebelum menghadiri KAA di Bandung. Diungkapkan Sutarmin dalam Abdul Rahman Baswedan: Karya dan Pengabdiannya, Menlu Irak menguraikan keheranannya pula bahwa Indonesia yag dipimpin oleh seorang Ahmad Sukarno, membolehkan partai komunis ikut Pemilu 1955. Menlu Irak itu juga menceritakan bahwa dia tak nyaman karena terlalu banyak melihat atribut-atribut kampanye PKI dalam perjalanannya dari Jakarta ke Bandung. M Roem pun mencoba memberi penjelasan bahwa Indonesia sebagai negara demokratis, memberi kesempatan pada partai apapun untuk ikut Pemilu. “Ya, tuan punya demokrasi membikin partai komunis besar dan kelak akan merebut kekuasaan pemerintah,” cetus Jamali memotong penjelasan M. Roem. Dia juga melanjutkan kecamannya kepada komunisme sebagai ideologi yang tak boleh diberikan ruang untuk hidup. “Di Irak, kami tidak memberi kesempatan sedikit pun pada gerakan komunis. Begitu kelihatan muncul, segera kita injak,” ujarnya seraya memperagakan gerakan hentakan kaki ke tanah.






















