Hasil pencarian
9597 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Gaya Busana Pemimpin Asia Tenggara
Pada Oktober 1961, Cindy Adams bersua dengan Presiden Sukarno. Jurnalis berparas cantik kebangsaan Amerika itu memang tengah bertugas mewawancarai Bung Besar. Sukarno meminta Cindy menjadi penulis otobiografinya. Dalam pertemuan pertama mereka, Cindy melontarkan sebuah pertanyaan menggelitik namun terbilang berani. “Tuan, mengapa anda selalu mengenakan seragam?” tanya Cindy dalam My Friend the Dictator . “Aku memakai seragam oleh karena aku Panglima Tertinggi. Rakyatku sudah begitu lama dijajah Belanda. Mereka telah dijadikan koloni selama ratusan tahun, mereka sudah lama diperbudak,” jawab Sukarno. “Setelah kemerdekaan Indonesia aku proklamirkan, aku harus bisa memberikan kepada mereka sebuah citra, suatu kebanggaan. Maka aku selalu memakai seragam.” Namun, dengan setengah menggoda, Cindy menukas Sukarno dengan tatapan mata yang lekat, “Saya tidak percaya terhadap semua penjelasanmu. Saya yakin, kau selalu memakai pakaian seragam karena kau sendiri sadar, dirimu terlihat tampan jika memakainya.” Sukarno terdiam sesaat, kemudian menjawab, “Kamu benar, tapi tolong jangan ceritakan keluar.” Tak hanya Sukarno. Beberapa pemimpin Asia Tenggara yang lain juga punya gaya yang ikonik dalam berbusana. Politik berpakaian memang kerap ditampilkan oleh pemimpin negara di Asia Tenggara, terutama setelah negerinya merdeka dari kungkungan kolonialisme. Jose Rizal pemimpin gerakan nasionalis Filipina dalam berbagai potret acap kali mengenakan jas mantel membaluti tubuhnya. Padahal, suhu musim panas dan musim dingin di negeri itu sesungguhnya tak jauh berbeda. Jas mantel Rizal itu ternyata dibuat di Hong Kong. Menurut Karim Raslan, jas mantel Jose Rizal mencerminkan simbol perlawanan. Filipina dijajah Spanyol selama empat ratus tahun. Dalam cengkraman Spanyol, orang-orang Indio –penduduk Filipina asli seperti Rizal– begitu terdesak dan terasing. Sementara itu, Jose Rizal adalah segelintir nasionalis Filipina yang terdidik di masanya. Dia adalah seorang dokter-cum-sastrawan yang menulis dua buah novel dalam bahasa Spanyol. Dia juga seorang poliglot yang menguasai delapan bahasa, termasuk Belanda, Yunani, dan Latin. “Baginya (Rizal), menulis dalam bahasa Spanyol dan memperagakan segala perlengkapan lelaki budiman penghujung era Victoria mengampuhkan rasa kebanggaan nasional,” tulis Karim, jurnalis kawakan Malaysia dan pengamat Asia Tenggara dalam Menjajat Asia Tenggara . Ada lagi Lee Kuan Yew, Perdana Menteri Singapura periode 1959-1990. Yew terlihat khas dengan kemeja putihnya. Hal ini bisa jadi melambangkan egalitarianisme Lee yang memimpin Singapura dengan berbagai etnis dan kelas sosial di dalamnya . “Kesederhanaan jelas kemeja putih itu akan membantu merapatkan sedikit jurang perbedaan etnik,” tulis Karim. Di negeri Malaysia, pemimpin seperti Tunku Abdul Rahman malah menampilkan gaya berpakaian yang jauh dari kesan sederhana. Tak heran, dia memang putra seorang sultan. Dengan balutan kain sutera dilengkapi selempang dan aneka hiasan, pakaian resminya menyolok mata. Potretnya kini masih terpampang dalam mata uang ringgit. “Pakaian resmi gilang gemilang dan mahal zaman itu mencerminkan ciri feodal yang terus didaulatkan oleh masyarakat Melayu,” tulis Karim. Sementara itu, Sukarno, menurut Karim, dengan penampilannya juga melambangkan citra diri penuh kebanggaan. Sukarno kerap terlihat mengenakan seragam militer rancangannya sebagai panglima tertinggi lengkap dengan lencana-lencana –kendati dirinya bukan berlatar belakang militer. Tak lupa kaca mata hitam dan tongkat komando dalam kepitan. Dirinya pun tampak semakin sedap dipandang mata dengan peci, ibarat mahkota yang menudungi rambutnya yang mulai menipis. Dalam otobiografinya, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat, Sukarno mengakui citra dirinya bertujuan untuk meninggikan martabat bangsanya selepas penjajahan. “Indonesia harus menguasai kesadaran diri dan rasa rendah diri. Ia membutuhkan rasa percaya diri. Itulah yang harus kuberikan kepada rakyatku sebelum aku meninggalkan mereka. Saat ini Sukarnolah yang menjadi faktor pemersatu Indonesia.”
- Tiongkok Kalahkan Vietnam di Paracel
Pemerintah Tiongkok berang. Pada 2 Juli lalu, kapal perang USS Stethem milik Amerika Serikat berada di dekat Pulau Triton, Kepulauan Paracel. Tiongkok menganggap kepulauan yang berada di Laut China Selatan itu miliknya dan pelayaran tersebut sebagai provokasi. Bagi Tiongkok, USS Stethem dinilai telah melanggar kedaulatan wilayahnya serta mengancam keamanan negeri Tirai Bambu. Sebagai respons, Tiongkok mengirim sejumlah kapal perang dan pesawat tempurnya. Menurut juru bicara Tiongkok Lu Kang, Beijing tak segan mengambil langkah apapun demi menjaga kedaulatan wilayah dan keamanan negerinya. Hingga kini, Kepulauan Paracel masih menjadi sengketa antara Tiongkok, Vietnam, dan Taiwan. Masing-masing negara bersikukuh dengan klaimnya. Tiongkok dan Vietnam bahkan adu bukti baik dengan menyodorkan bukti artefak, catatan tertulis, hingga peta kuno. Saling klaim antara Tiongkok dan Vietnam Selatan –kala itu Vietnam masih terbagi dua, Utara dan Selatan– bahkan sampai menimbulkan perang, Pertempuran Paracel, pada awal 1974. Pertempuran dipicu oleh sikap sepihak pemerintah Vietnam Selatan, kolega AS, dalam merespons meningkatnya kehadiran Tiongkok di kepulauan berisi 130 pulau itu. Pada Agustus 1973, Vietnam Selatan mengklaim Paracel secara administratif merupakan miliknya. Klaim itu mendasari keputusan Saigon, ibukota Vietnam Selatan, mengeluarkan izin eksplorasi minyak di perairan sekitar pulau-pulau itu. Saigon, yang memusatkan pendudukannya di Gugusan Bulan Sabit, rangkaian kepulauan bagian barat, membuat garnisun berkekuatan peleton di tiga pulau di Paracel. Sejak itu, kapal-kapal Angkatan Laut Vietnam Selatan rutin melakukan patroli. Akibatnya, kapal-kapal nelayan Tiongkok tak lagi bebas berlayar di perairan sekitar Paracel. Pukat-pukat ikan mereka kerap harus kucing-kucingan dengan kapal-kapal patroli Vietnam Selatan. Namun, keadaan berubah setelah Mao mulai agresif dan menggerakkan angkatan lautnya. Penyerangan-penyerangan terhadap kapal patroli Vietnam Selatan oleh kapal-kapal nelayan Tiongkok, yang sudah dimodifikasi dengan tambahan senjata, mulai sering terjadi. Pada Oktober, pukat bernomor lambung 402 dan 407 milik Tiongkok bersandar di Pulau Duncan, pulau terbesar di Paracel. Selain mendirikan tempat penampungan dan pengolahan ikan, mereka juga mengibarkan bendera RRC. Sebulan kemudian, Angkatan Laut Vietnam Selatan menangkap beberapa pukat ikan Tiongkok dan menahan para kru kapal. Mereka dibawa ke Da Nang dan oleh otoritas Vietnam Selatan dipaksa mengakui kesalahan di depan kamera televisi sebelum dibebaskan. Mao marah. Dia memerintahkan Angkatan Laut Tiongkok untuk mempersiapkan aksi-aksi guna mendukung nelayan-nelayan mereka di Laut China Selatan. Pada 10 Januari 1974, bersamaan dengan bersandarnya pukat-pukat Tiongkok –yang kemudian memproses hasil tangkapan mereka di tempat yang telah mereka dirikan– di Pulau Robert, Gugus Bulan Sabit, Beijing menyatakan kedaulatan Tiongkok atas Paracel, Spratly, dan Macclesfield Bank merupakan hal tak terbantahkan. Saigon langsung merespons dengan mengirim beberapa kapal perangnya. Bersamaan dengan tibanya fregat HQ-16, HQ-4, HQ-5 dan sebuah kapal penyapu ranjau di Pulau Robert, pasukan komando Vietnam Selatan langsung menduduki pulau. Kapal-kapal perang Vietnam Selatan langsung mengusir pukat-pukat ikan Tiongkok di perairan itu. Kabar dari tindakan itu akhirnya sampai ke Beijing, yang langsung merespons dengan pengerahan kekuatan. Petang hari itu juga, Beijing langsung mengirim dua kapal perang kelas Kronstadt-nya. Kapal bernomor lambung 271 dan 274 dari Armada Laut Selatan itu membawa empat peleton milisi maritim ke Pulau Woody, untuk selanjutnya dikirim ke Gugusan Bulan Sabit. Sebagai tambahan, Tiongkok juga mengerahkan dua pesawat tempur Shenyang J-6 untuk memberi dukungan dari udara. Pada 18 Januari, dua kapal Tiongkok mendaratkan peleton-peleton milisinya ke Pulau Drummond, Pulau Palm, dan Pulau Duncan. Di sana, para personel langsung menggali tanah untuk ditaruh ranjau dan dibuat jebakan. Dua kapal perang pemburu kapal selam kelas Hainan, kemudian menyusul dari Pangkalan Shantou untuk memperkuat armada yang ada. Meski mereka siap menunggu perintah lebih jauh, Beijing tetap pada perintah awal: “Jangan mulai tembakan pertama. Tapi jika pertempuran pecah, menangkan!” Baik Angkatan Laut Tiongkok maupun Vietnam Selatan, yang kapal-kapalnya dalam kondisi sama kurang baik, langsung mengorganisir armadanya. Setelah menurunkan para personel komando menggunakan perahu karet, kapal Vietnam HQ-10 langsung menyasar kapal penyapu ranjau 389. Kapal Angkatan Laut Tiongkok itu rusak parah setelah tertabrak. Tapi, awak mereka yang terus menembakkan senjatanya ke arah kapal Vietnam, menewaskan banyak personel Angkatan Laut Vietnam. Di darat, pasukan komando Vietnam Selatan langsung memberi perlawanan begitu mendarat. Namun, personel Tiongkok yang lebih besar dan lebih dulu tiba telah siap menunggu. Perlawanan pasukan komando Vietnam akhirnya mereka patahkan. Di bawah hujan tembakan, para personel komando Vietnam Selatan itu akhirnya mundur. Kapal-kapal Vietnam di depan mereka membentuk formasi sejajar dan terus menghujani tembakan ke tempat nakhoda lawan berada. Mereka terus bermanuver agar jarak mereka dengan kapal-kapal lawan tetap terjaga. Dengan persenjataan yang baik, kapal-kapal Vietnam akan efektif bila bertempur jarak jauh. Sebaliknya, para kapten kapal Tiongkok menyadari bahwa kapal mereka unggul dalam kecepatan tapi kalah dalam persenjataan. Oleh karena itu, mereka memilih “adu pisau” dengan pertempuran jarak dekat. Selain menabrakkan kapal ke kapal-kapal lawan, para personel Angkatan Laut Tiongkok juga akan menggunakan senjata jarak dekat begitu posisi kapal mereka telah memungkinkan menjangkau lawan. Sementara dua kapal kelas Kronstadt Tiongkok fokus memburu HQ-4 Vietnam, kapal penyapu ranjau Type 10 terus menembakkan kanonnya ke HQ-16. Setelah kapal Vietnam itu mundur akibat rusak parah di bagian ruang kemudi, pusat informasi, dan radarnya; ia langsung mundur, Type 10 langsung memburu HQ-10. Kanon Type 10 langsung membuat ruang mesin di buritan HQ-10 meledak. Ketika kedua kapal telah berjarak hanya sekira 10 yard, kanon kapal HQ-10 tak bisa bekerja efektif. Para awak Type 10 yang lebih kecil, langsung naik ke dek kapal lawan begitu kapal mereka saling dekat. Para personel Tiongkok langsung menembaki personil HQ-10, menyebabkan tewasnya kapten kapal dan sebagian besar awak navigasi. HQ-16 yang hendak membantu, gagal karena tembakan kanon kapal Tiongkok hampir tak berhenti. HQ-10 yang sudah babak belur pun akhirnya tenggelam pada siang 19 Januari setelah kapal kelas Hainan menembak dengan kanonnya. Tiongkok yang khawatir Vietnam Selatan menambah kekuatannya, mengirim tambahan pasukan yang terdiri dari satu kapal fregat, lima kapal torpedo, dan delapan kapal patroli kecil dengan masing-masing kapal mengangkut sekitar 500 personel. Mereka terbagi dalam tiga armada. Ketiga armada, yang menyerang Pulau Robert, Pulau Pattle, dan Pulau Money, tak mendapat perlawanan berarti. Dalam tempo satu jam, ketiga pulau telah mereka kuasai. Di Pulau Pattle, selain merebut garnisun Vietnam para personel Tiongkok juga menawan seorang penasihat militer AS. Menjelang pergantian hari, Angkatan Laut Tiongkok sudah menguasai seluruh Parecel. Sekira 100 personil Vietnam Selatan tewas dan luka-luka dalam pertempuran itu, sementara 48 lainnya tertawan. Tiongkok sendiri kehilangan 18 personelnya sementara 67 lainnya luka-luka. “Pada 20 Januari, pulau-pulau ini secara resmi dianeksasi oleh RRC, dan dimasukkan ke dalam Provinsi Guangdong,” tulis buku Naval Power and Expeditionary Wars: Peripheral Campaigns and New Theaters of Naval Warfare yang diedit Bruce A. Elleman dan M. Paine.
- Penyebab Lain Keruntuhan Majapahit
KEGEMILANGAN Majapahit ditutup dengan rentetan peristiwa berdarah. Situs kota Majapahit di Trowulan, dulunya pernah ditinggalkan penduduknya karena perebutan kekuasaan menjelang runtuhnya kerajaan itu. “Semacam bedol desa memang benar, bahwa memang perebutan kekuasaan di Jawa selalu berdarah-darah. Jadi, kalau satu kedaton ditundukan, itu hancur habis,” jelas arsitek dan arkeolog, Osrifoel Oesman dalam diskusi Omah-Desa-Kuto Majapahit Trowulan , di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Selasa (11/7). Sepeninggal Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada, Majapahit mulai meredup. Sebelum menjadi semakin lemah akibat menguatnya kekuatan Islam Demak, pertentangan di tengah keluarga kerajaan telah lebih dulu membuat Majapahit goyah. Osrifoel, yang akrab dipanggil Ipul, menjelaskan bahwa sumber tradisi menyebut Majapahit runtuh tahun 1478 pada masa pemerintahan Girindrawarddhana akibat serangan kerajaan Islam Demak. Tahun itu berdasarkan candrasengkala Serat Kanda yang menyebut sirna ilang kertaning bumi yang berarti 1400 saka atau 1478 M. Padahal, setelah itu masih ada bukti-bukti sejarah yang menunjukkan Majapahit masih ada. Dalam Masa Akhir Majapahit, arkeolog dan epigraf, Hasan Djafar menyebutkan adanya prasasti-prasasti dari Raja Girindrawarddhana. Pada masa pemerintahan Girindrawarddhana antara 1408-1433 saka juga masih ada kegiatan pembangunan tempat suci bercorak Hindu di lereng Gunung Penanggungan. Hasan menafsirkan bahwa apa yang disimpulkan dalam candrasengkala itu lebih menunjukkan peristiwa gugurnya Bhre Krtabhumi di Kedaton akibat serangan Girindrawarddhana. Soal kapan runtuhnya Majapahit, petunjuk lain bisa diambil dari berita Antonio Pigafetta, seorang penjelajah Venesia, Italia. Pigafetta menyebut Pati Unus sebagai Raja Majapahit yang sangat berkuasa ketika masih hidup. Pati Unus meninggal pada 1521. “Kami berpendapat antara tahun 1518-1521, kira-kira pada 1519, Pati Unus telah menguasai Kerajaan Majapahit,” tulis Djafar. Dengan dikuasainya Majapahit oleh Pati Unus, kerajaan itu telah hilang kedaulatannya. Maka, tahun 1519 bisa dianggap sebagai saat keruntuhan Majapahit yang sebenarnya. Meski begitu, penyebab keruntuhannya dapat dipandang bukan hanya akibat serangan Demak tapi adanya perebutan kekuasaan antara keluarga raja. Djafar berpendapat tindakan Pati Unus, sebagai penguasa Demak, dapat dipandang sebagai perjuangan seorang penguasa daerah untuk menguasai Majapahit. Sebab, Demak merupakan salah satu daerah kekuasaan Majapahit. Para penguasanya, menurut Babad Tanah Jawa dan Serat Kanda, adalah keturunan Raja Majapahit, Prabu Brawijaya V. Raden Patah, pendiri Kerajaan Islam Demak, adalah anak Prabu Brawijaya, raja terakhir Majapahit. Oleh karena itu, serangan Pati Unus, anak Raden Patah, dapat dianggap sebagai upaya keturunan raja Majapahit merebut haknya atas takhta kerajaan. “Ini menimbulkan polemik Islam menyerang Hindu, padahal didahului perebutan kekuasaan,” ujar Osrifoel. Selain perebutan kekuasaan, faktor agama tak bisa dikesampingkan sebagai pendorong runtuhnya kerajaan besar itu. Meski menjadi bagian dari Majapahit, namun Demak telah sepenuhnya berlandaskan Islam. Hal ini yang juga mendorong Demak untuk berusaha lepas dari pengaruh Majapahit yang “kafir”.*
- Aksi Pejuang Bekasi
Banyak veteran pejuang kemerdekaan yang hidupnya prihatin. Mereka hanya bergantung kepada tunjangan veteran setiap bulannya. Namun, H. Ilyasa bin H. Malih, veteran asal Babelan, Kabupaten Bekasi, enggan menerima tunjangan. Kendati hidupnya sederhana, mantan anggota Laskar Hisbullah pimpinan KH Noer Ali ini, punya alasan mengapa menolak tunjangan itu. “Kita mah enggak berharap tunjangan. Dulu kita ikut laskar kan juga udah disumpah jabatan sebagai anggota pakai Alquran segala di atas kepala kita, bahwa kita berjuang tanpa pamrih. Kita berjuang jangan ngarepin (mengharapkan) gaji, kita berjuang dengan ikhlas,” kata Ilyasa di kediamannya kepada Historia. “Kalau kita minta tunjangan, minta pamrih, ya kita mengingkari sumpah kita sendiri. Tapi itu kalau saya. Kalau (veteran) yang lain berharap tunjangan, ya silakan aja. Tapi memang sering tuh saya ngedapetin orang yang suka ngaku-ngaku. Bilangnya dulu berjuang, padahal mah saya tahu dia dulu enggak ikut perang,” tambahnya. Kalau ada yang mengaku-ngaku sebagai mantan anak buah KH Noer Ali, Ilyasa biasanya akan mengajukan pertanyaan: di mana baku tembak pertama Laskar Hisbullah dengan Sekutu (Inggris) dan Belanda di Bekasi? “Kalau jawabnya tidak sama dengan saya, berarti dia bukan pejuang dulunya,” lanjut Ilyasa. Ilyasa menceritakan bahwa baku tembak pertama Laskar Hisbullah dengan Sekutu terjadi di Pedaengan atau kini Cakung, Jakarta Timur. Tepatnya di sekitar front garis demarkasi pasca Jakarta dijadikan kota diplomasi pada 9 November 1945. Sebagaimana diungkapkan Panglima Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Resimen V/Jakarta Raya Letkol Muffreni Mu’min dalam biografinya, Jakarta-Karawang-Bekasi dalam Gejolak Revolusi: Perjuangan Moeffreni Moe’min , semua pasukan bersenjata kecuali polisi, diharuskan keluar dari Jakarta. Sementara eksistensi tentara Republik hanya boleh diwakili kantor penghubung di Jalan Cilacap Nomor 5. Semua badan-badan perjuangan, keluar dari Jakarta dan Letkol Muffreni memilih markasnya yang baru di Cikampek, hingga mengubah unitnya dari Resimen V/Jakarta Raya menjadi Resimen V/Cikampek. Meski begitu, wilayah pengawasannya tetap meliputi Jakarta, Bekasi, Cikarang, Karawang, hingga Cikampek. Kali Cakung dijadikan front terdepan karena di situlah garis demarkasinya. Muffreni tidak hanya menempatkan pasukannya dari Batalyon III Bekasi, tapi juga meminta bantuan dari sejumlah badan perjuangan lain, termasuk Laskar Hisbullah. “Sering itu ada infiltrasi dari sekutu atau Belanda yang coba-coba melewati garis demarkasi di Cakung. Biasanya kita takutin dengan tembakan, baru dia mundur lagi. Tapi seiring waktu, kita terus terdesak. Terutama setelah ada bentrok besar, Pertempuran Sasak Kapuk (kini Pondok Ungu, Bekasi Utara),” kata Ilyasa. Pertempuran Sasak Kapuk Pertempuran Sasak Kapuk terjadi pada 29 November 1945. Konvoi Inggris datang dari arah Klender menuju Cakung melewati Kranji. Dekat Stasiun Kranji, pasukan Punjab Ke-1, Pasukan Perintis ke-13, Resimen Medan Ke-37, Detasemen Medan ke-69 serta Kavaleri FAVO ke-11, sempat dihadang lebih dulu oleh kelompok Pesilat Subang pimpinan Ama Puradiredja. Meski dampaknya tidak besar, setidaknya konvoi Sekutu itu sempat tercerai-berai sebelum akhirnya dihantam lagi di Sasak Kapuk oleh gabungan Laskar Hisbullah, Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) pimpinan M. Hasibuan, serta para pemuda rakyat. “Dari arah Kranji setelah mereka diserang kelompok pesilat, mereka nembakin mortirnya ke arah Sasak Kapuk. Kita yang masih pada ngumpet , melihat mortir-mortirnya enggak ada yang meledak. Pada takabur yang lain dan ketika keluar dari tempat persembunyian, baru ditembakin infantrinya Inggris,” kenang Ilyasa. Ilyasa dan rekan-rekannya yang lain, termasuk KH Noer Ali pun memilih mundur ke arah Kaliabang. Beruntung, Inggris tak ikut mengejar, hanya terus menembaki artileri dan mortir, sementara para pejuang mundur. Ilyasa juga mengaku bahwa ketika tengah lari tunggang langgang mundur dari pertempuran, senapan Lee Enfield-nya nyaris hilang karena terjatuh. “Itu senjata kita satu-satunya. Dulu itu dapatnya dari penghubung tentara yang sering komunikasi dengan KH Noer Ali. Sebelumnya waktu awal-awal ikut mah , pegangnya masih golok sama bikin panahan. Mata panahnya kita bikin dari bambu, terus dikasih racun kodok,” aku veteran kelahiran 1928 itu. Ilyasa ikut KH Noer Ali sekitar usia 16-17 tahun. Thamam, mantan tentara Heiho (tentara pembantu Jepang), melatihnya menembak, melempar granat Jepang yang kepala pinnya kuning ( Kyunana-shiki Teryudan /Granat Tangan Type 97), biasanya digetok di kaki dulu, ditahan pinnya, baru diayun tiga kali sebelum dilempar. Kisah tentang front terdepat di Kali Cakung juga didapat dari veteran Hisbullah lainnya, H. Mursal. Sebagaimana diceritakan Ilyasa, Mursal juga mengalami baku tembak pertamanya di Pedaengan, Cakung. “Sampai kita harus bikin halang rintang itu. Nebangin pohon-pohon yang kecil sampai yang gede buat menghalangi Inggris sama Belanda yang sering nyolong-nyolong (menyusup) masuk ke wilayah kita. Tapi ya yang namanya Belanda, peralatannya banyak, gampang aja menerobos penghalang yang kita bikin,” aku Mursal. Ilyasa dan Mursal untuk sementara ini tercatat sebagai dua dari tiga mantan anggota Laskar Hisbullah yang tersisa. Satu veteran lainnya yang juga pernah ditemui Historia adalah Mat Ali yang tinggal di Tarumajaya. Sedianya sebelum ini masih ada satu lagi, H. Abdullah di Karawang yang sayangnya terakhir kali coba disambangi, ternyata sudah tiada sejak medio Juni 2017. Menariknya, kesemua veteran Laskar Hisbullah itu menggemari senapan Lee Enfield buatan Inggris. “Kalau senjata Jepang mah jarang kita bisa ngenain musuh. Lebih enak pakai LE (Lee Enfield). Pasti kena kalau nembak pakai itu,” cetus Mat Ali.
- Yang Setia dengan Jalannya
Panas menyengat Jalan Raya Ampera, Jakarta Selatan siang itu. Pada satu ruas trotoar, seorang lelaki tua tengah berjalan dengan kaki setengah pincang. Sementara bahu rentanya memikul seperangkat alat untuk mematri (anglo, air keras, solder tradisional dan lain-lain), tangan kanannya mengayunkan rangkaian lempengan logam yang mengeluarkan bunyi khas: krelek…krelek…krelek. Hamik, nama lelaki asal Cirebon itu. Kali pertama datang ke Jakarta pada 1970 dan langsung mengambil pematri sebagai profesinya. Ada beberapa alasan ia mengambil profesi tersebut. Selain mengikuti jejak sang ayah, juga (kala itu) banyak orang-orang yang memerlukan jasa tukang patri. Rata-rata langganan Hamik adallah ibu-ibu rumah tangga dan para pengelola warung tegal (warteg). Mereka kerap meminta tolong kepada Hamik untuk menambal panci, dandang dan kompor. Bahkan saking banyaknya, dalam satu hari ia bisa mengerjakan puluhan pematrian. “Sampai-sampai, lagi ngerjain di Cilandak eh dari Ragunan udah ada yang manggilin…” kata Hamik sambil tertawa. Sejatinya, situasi bisnis patri stabil terus saat itu. Namun pada 1989, Hamik sempat tergoda untuk pindah profesi. Ia kemudian banting setir: mencoba peruntungan lain dengan menjadi tukang cendol lalu tukang gorengan-gorengan. Namun bidang niaga kuliner itu ternyata tidak cocok dengan dirinya. Singkat cerita, Hamik pun memutuskan untuk kembali menjadi tukang patri hingga kini. “Ternyata pekerjaan yang membuat saya lebih nyaman ya jadi tukang patri kayak begini,” ungkap ayah dari enam anak itu. Kiamat kecil mulai mengunjungi hidup Hamik, ketika pada awal 2000-an ibu-ibu rumah tangga dan para pengelola warteg mulai meninggalkan kompor minyak tanah dan menggantikannya dengan kompor gas. Sejak itulah, ia banyak kehilangan pelanggan. Kendati ia sudah berupaya menyiasati dengan lebih menambah jangkauan jelajah, namun keuntungan tak jua kembali menghampirinya. “Di mana-mana orang sudah pakai kompor gas, terlebih zaman sekarang memasak nasi saja enggak pakai dandang lagi tapi langsung ada wadahnya yang dicolokin ke listrik,” keluh lelaki kelahiran tahun 1945 itu. Kini Hamik praktis mengandalkan rasa belas kasihan semata. Kendati ada satu-dua pedagang mie ayam minta dandang nya yang bocor dipatri atau pengendara sepeda motor yang kebetulan knalpotnya bolong lalu menggunakan jasa Hamik untuk menambalnya, namun pendapatan yang paling banyak justru didapat dari pemberian orang-orang di jalanan. Termasuk untuk makan , ada saja orang yang mengantarkan bungkusan nasi dan lauk pauk kepadanya setiap hari. “Saya ini sudah seperti setengah pengemislah istilahnya. Tapi ya gimana, jalan hidup saya harus begini, saya terima saja…” kata Hamik. Lantas kenapa Hamik tidak mencari profesi lain yang lebih kekinian? Selain pofesi sebagai pematri sudah menjadi panggilan hidup, ia pun merasa umur sudah tak muda lagi dan sering sakit-sakitan terutama di bagian kakinya. Kendati ia paham dunia telah banyak berubah, namun ia meyakini semua mahluk Tuhan pasti sudah memiliki rezekinya masing-masing. Itulah yang utama membuat ia setia dengan jalannya tersebut. Akibat perubahan zaman , bisa dikatakan kini hidup Hamik ada dalam jurang kemiskinan. Menurutnya dengan profesi sebagai tukang patri pada hari ini, sangatlah mustahil diandalkan untuk memenuhi semua kebutuhan hidup dirinya dan salah satu anak lelakinya selama di Jakarta. “Kontrakan rumah saja sebulan 500 ribu, sedangkan keuntungan jadi tukang patri sebulan 100 ribu saja enggak ada,” ungkapnya. Kenyataan pahit yang melingkari hidupnya menjadikan Hamik tak lagi memiliki harapan untuk menurunkan ketrampilan mematri kepada anak-anaknya. Berbeda dengan ayahnya yang meyakini profesi ini akan memberi penghidupan sehingga mewariskan kepadanya, Hamik sangat sadar profesi pematri sebentar lagi akan mati. “Ya, kalau dunia tambah modern, siapa yang butuh lagi tukang patri?” tanyanya seolah kepada dirinya sendiri. Profesi tukang patri pernah menjadi bagian penting dalam masyarakat Indonesia terutama di Jawa. Menurut antropolog S. Ann Dunham, meskipun bersifat usaha kecil namun patut dicatat bahwa pernah ada sejumlah pandai besi yang pekerjaan rutinnya adalah memperbaiki alat . “Mereka memang tidak dihitung oleh sensus industri…” tulis Dunham dalam Pendekar-Pendekar Besi Nusantara .
- Rencana Ibukota Pindah ke Surabaya
Presiden Joko Widodo telah memutuskan ibukota negara pindah ke Kalimantan Timur. Ternyata, pemindahan ibukota sudah direncanakan sejak zaman kolonial. Dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels ingin memindahkan ibukota dari Batavia ke Surabaya. Achmad Sunjayadi, sejarawan Universitas Indonesia, mengatakan ada dua faktor yang membuat Daendels ingin memindahkan pusat pemerintahan dari Batavia ke Surabaya. Pertama, alasan kesehatan karena di Batavia banyak sumber penyakit. Kedua, alasan pertahanan, di Surabaya terdapat benteng dan pelabuhan. “Batavia sempat dijuluki sebagai Koningin van den Oost (Ratu dari Timur), namun kemudian terkenal sebagai kuburan orang Belanda karena banyaknya penyakit malaria dan kolera,” kata Sunjayadi. Kematian Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jan Pieterszoon Coen karena penyakit kolera membuktikan betapa buruknya kawasan Batavia. Menurut Bernard HM Vlekke Daendels tahu bahwa Batavia tidak akan pernah bisa dipakai sebagai pusat utama pertahanan pulau Jawa. Istana tuanya dengan tembok-tembok yang rapuh dapat dihancurkan dari laut. Iklimnya bisa membunuh serdadu garnisun bahkan sebelum musuh menyentuh pantai. “Instruksi kepada Daendels memberinya hak untuk memindahkan ibukota ke daerah yang lebih sehat,” tulis Vlekke dalam Nusantara: Sejarah Indonesia. Pendahulunya, lanjut Vlekke, Gubernur Jenderal Van Overstraten telah mengembangkan rencana untuk memindahkan kedudukan pemerintah ke pedalaman Jawa Tengah, tempat kekuatan gabungan Belanda dan raja-raja Jawa dapat melawan kekuatan yang lebih besar untuk waktu yang lama. “Daendels sendiri berpikir-pikir akan memindahkan ibukota ke Surabaya, yang dia reorganisasi sebagai basis yang lebih baik untuk operasi militer daripada Batavia,” tulis Vlekke. Purnawan Basundoro, sejarawan Universitas Airlangga Surabaya, mengatakan sebenarnya Surabaya juga kota di tepi pantai, tapi di beberapa tempat lebih tinggi kawasannya dari Batavia dan mungkin diangggap lebih sehat. Selain itu, alasan Daendels memindahkan ibukota ke Surabaya karena mendapat ancaman dari Inggris. Untuk itu, dia menjadikan Surabaya sebagai pusat pertahanan dengan membangun pabrik senjata ( artillerie constructie winkel ), Rumah Sakit Militer, dan Benteng Lodewijk. Benteng Lodewijk merupakan benteng pertahanan militer yang berada di Pulau Mengare di sebelah utara Gresik. Nama benteng ini diambil dari Raja Belanda Lodewijk (Louis) Napoleon, saudara Kaisar Napoleon Bonaparte. Sedangkan artillerie constructie winkel merupakan pabrik senjata pertama di Indonesia. “Sebelumnya memang sudah ada pabrik senjata, namun kemudian dikembangkan oleh Daendels antara 1809-1810. Sejak dikembangkan itulah pabrik menjadi semakin besar,” jelas Purnawan. Menurut Purnawan, Rumah Sakit Militer yang dibangun Daendels merupakan rumah sakit terbesar dan dikenal juga sebagai Rumah Sakit Simpang. Letaknya agak jauh ke timur dari rumah dinas gubernur Jawa Timur. Sayangnya, Rumah Sakit Militer itu dirobohkan pada 1970-an dan berganti menjadi Mall Delta Plaza. Selain membangun infrastruktur militer, Daendels juga memperluas rumah dinas Gubernur Pantai Timur Laut Jawa. Menurutnya rumah dinas tersebut terlalu kecil untuk ditempati seorang penguasa. “Nampaknya dengan memperluas rumah dinas ini, ada indikasi bahwa Daendels ingin menjadikan Surabaya sebagai ibukota karena menurut dia seorang penguasa harus ditempatkan di istana,” jelas Purnawan. Menurut Purnawan Daendels gagal memindahkan ibukota ke Surabaya karena membutuh dana besar sedangkan Prancis dan Belanda lebih mengutamakan dananya untuk perang melawan Inggris. Sementara itu, Vlekke mencatat bahwa Daendels batal memindahkan ibukota ke Surabaya karena berbagai kesulitan memindahkan seluruh permukiman Batavia dengan gudang-gudang dan kapal-kapal barang berharga. Dia pun memutuskan untuk memindahkan bagian perumahan kota itu ke daerah yang lebih tinggi, Weltevreden. Sebelumnya, pada 1800 Gubernur Jenderal Van Overstraten telah memindahkan kantor-kantornya ke Weltevreden. “Maka ibukota pun berganti, dari kota pelabuhan menjadi kota garnisun. Tindakan ini dilakukan sepenuhnya semasa Daendels pada 1809,” tulis Leonard Blusse dalam Persekutuan Aneh: Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC . Daendels kemudian memperluas kawasan Weltevreden (sekarang Lapangan Banteng, Jakarta) dan membangun gedung-gedung perkantoran. “Seperti yang sekarang ditempati Departemen Keuangan, itu gendung yang dibangun oleh Daendels,” kata Purnawan. Ketika Daendels ditarik ke Prancis pada 30 Juni 1811, penggantinya, Jan Willem Janssens sudah hadir di Batavia sejak 16 Mei 1811. “Pembatalan pindahnya ibukota karena kondisi Prancis tidak stabil dan berpengaruh pada kondisi di Batavia. Sehingga, saya kira Janssens tidak tertarik dengan ide untuk memindahkan kekuasaan ke Surabaya,” pungkas Purnawan.
- Mengagumi Jiwa Seni Sukarno
SUDAH setengah abad lebih berkiprah, kariernya belum juga redup. Hingga kini, setidaknya sudah 80 judul film dan 30 judul sinetron telah dia bintangi. Mieke Wijaya, berusia 76 tahun, mulai dikenal ketika membintangi film drama musikal Tiga Dara (1956). Kariernya kian bersinar ketika meraih gelar aktris terbaik pada Pekan Apresiasi (Festival) Film Nasional berkat aktingnya dalam film Gadis Kerudung Putih (1967). Dia juga berhasil meraih dua Piala Citra: sebagai Aktris Pembantu Terbaik dalam film Ranjang Pengantin (1974) dan Pemeran Utama Wanita Terbaik lewat film Kembang Semusim (1980). Di layar kaca, perannya sebagai Bu Broto dalam sinetron Losmen (1987) mencuri hati masyarakat. Sinetron Antara Jakarta-Perth (1996) mengantarkannya menjadi Aktris Pemeran Pembantu Terbaik dalam ajang Asian Television Award. Kepada Historia , selain soal film, Mieke berbagai cerita mengenai perkenalannya dengan Bung Karno, proklamasi dan presiden pertama Indonesia, sosok yang dikaguminya. Kenapa mengaguminya? Saya kebetulan kenal Bapak; sebagai bapak bangsa, tegas terhadap penjajah. Saya juga kagum Bapak itu merakyat sekali. Jiwa seninya kan juga tinggi; suka lukisan dan lain-lain. Bagaimana bisa bertemu Bung Karno? Bapak kan suka mengundang artis-artis kalau ada acara. Di Istana Negara, Istana Bogor. Saya juga sering diundang. Ya sebagai rakyat saja. Saya bukan hanya kenal baik dengan Bapak. Saya juga kenal baik dengan Ibu Fatmawati, Mas Guntur, dan anak-anaknya yang lain. Apa sih yang paling diingat dari Bung Karno? Beliau ramah sekali. Ada pengalaman menarik dengan Bung Karno? Bapak itu suka menari. Tari lenso. Saya pasti diajak lenso sama Bapak. Terus kan kalau acara-acara begitu banyak duta dari mancanegara, saya suka dituntun sama beliau sambil bilang ke tamu: “ Beautiful lady …” (tertawa). Terus kalau acara duduk, saya datang terlambat, saya pasti disuruh duduk di kursi belakangnya. Tapi yang paling senang ya lenso itu. Saya sih ketemu Bapak cuma kalau ada acara. Bung Karno sudah tiada, bagaimana cara Anda mengenang beliau? Yang jelas berdoa selalu. Kita terus menjalankan apa yang sudah diperjuangkan. Saya sih ingin berbuat baik kepada sesama, sama seperti beliau.*
- Peran Pelaut Jerman dalam Angkatan Laut Republik Indonesia
PADA akhir 1963 atau awal 1964, Horst Henry Geerken, wakil perusahaan telekomunikasi Jerman AEG-Telefunken, beberapa kali berdiskusi tentang stasiun pemancar gelombang pendek untuk Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) dengan Menteri/Panglima Angkatan Laut Laksamana R.E. Martadinata. Mengingat Geerken dari Jerman, Martadinata memuji peran seorang pelaut Jerman bagi ALRI, yaitu Kapten August Friedrich Hermann Rosenow. Geerken pun penasaran dengan sosok Rosenow. Akhirnya, Geerken dapat bertatap muka dengan Rosenow di kapal Hamburg American Line HAPAG yang berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Acara jamuan makan malam itu dihadiri para perwira senior dari ALRI dan perwakilan sejumlah perusahaan Jerman. “Saya beruntung menjadi salah satu yang diundang. Rosenow berambut lurus, tubuhnya tinggi kekar dengan wajah lebar, dada bidang, gambaran seorang pelaut sejati. Dia orang yang menyenangkan dan para perwira Indonesia sangat menghormatinya. Petang itu saya mendengar banyak cerita mengenai kisah hidup dan petualangannya yang mengagumkan,” ungkap Geerken dalam bukunya, Jejak Hitler di Indonesia . Geerken mencatat bahwa Rosenow lahir di Usedom, sebuah pulau di Laut Baltik pada 1892. Dia menjadi perwira di kapal Hamburg American Line HAPAG. Saat pulang kampung pada 1926, dia menemukan jodohnya. Istrinya kemudian menemaninya berlayar sampai Hindia Belanda. Mereka dikaruniai dua putri. Ketika pecah Perang Dunia I, Rosenow ditahan Belanda di kamp Belawan, Sumatra Utara. Setelah perang berakhir, dia menjadi pegawai pemerintah Hindia Belanda dan mengambil kewarganegaraan Belanda. Dia bekerja sebagai nakhoda di perairan Indonesia sampai Perang Dunia II. Pada 1940, untuk menghindari masuk kamp interniran, Rosenow mengungsi ke Jepang, sekutu Jerman. Di Jepang, dia menjadi instruktur sekolah tinggi pelayaran milik Angkatan Laut Kekaisaran Jepang ( Kaigun ). Dua tahun berselang, dia kembali ke Indonesia bersama tentara Jepang. “Dalam kurun waktu itulah dia sempat bertemu Sukarno dan memberi nasihat dan bantuan. Rosenow antara lain menganjurkan agar Sukarno mendirikan sebuah akademi militer,” kata Geerken. Sukarno menerima usulannya dan akademi militer pertama dibuka di Sarangan, Yogyakarta. Setelah Indonesia merdeka, Rosenow bergabung dengan pejuang kemerdekaan. Selama perang kemerdekaan, dia menjadi pelatih kadet-kadet di akademi militer. “Sukarno mengangkatnya menjadi perwira di ALRI. Ketika Sukarno menempati Istana Merdeka pada Desember 1949, dia teringat Kapten Rosenow dan mengangkatnya menjadi penasihat utama dalam urusan kemaritiman,” kata Geerken. Rosenow menyarankan kepada Sukarno agar Indonesia memiliki kapal latih yang dibangun di Jerman untuk mendidik para kadet Indonesia. Pada 1952, dia pergi ke Jerman untuk menjajaki kerjasama dengan H.C. St lcken & Sohn. Galangan kapal ini membangun kapal layar barquentine tiga tiang dengan bayaran karet dan kopra. Rosenow menjadi penyelia pembangunan kapal itu bersama Kapten Oentoro Koesmardjo, seorang perwira muda ALRI yang kemudian jadi menantunya. Kapal itu memulai pelayaran ke Indonesia pada Juli 1953 dengan nakhoda Rosenow dan Kapten A.F. Hottendorf sebagai mualim. Kapal itu menempuh perlayaran perdana dan berhasil sampai pangkalan ALRI di Surabaya pada 1 Oktober 1953. Kapal latih itu diberi nama KRI Dewa Ruci atas saran Oentoro Koesmardjo, menantu Rosenow. Upacara pemberian nama dipimpin oleh Laksamana R.S. Subijakto dan sebuah patuh setengah badan Dewa Ruci dipasang di haluan kapal. Pada kesempatan itu pula KRI Dewa Ruci diserah kepada kepada komandan pertamanya, Rosenow, yang pangkatnya dinaikkan menjadi letnan kolonel. Pada 1964, sebagai Syahbandar Pelabuhan Tanjung Priok, Rosenow bersama Presiden Sukarno melepaskan KRI Dewa Ruci untuk misi keliling dunia pertamanya. Rosenow melakukan tradisi seorang pelaut di atas geladak KRI Dewa Ruci. “Dia melukai ibu jari tangan kanannya dengan pisau lipat dan darah merah yang mengucur dioleskannya silang-menyilang tiga kali pada pangkal tiang tengah kapal. Sebuah ritual pribadi seorang pelaut sejati,” ungkap Letkol (Purn.) Cornelis Kowaas dalam Dewa Ruci: Pelayaran Pertama Menaklukkan Tujuh Samudra. Dua tahun kemudian, Rosenow meninggal dunia. Jenazahnya dikremasi dan abunya dilarung di Selat Sunda. Pada papan nama kehormatan di KRI Dewa Ruci, Rosenow tertulis paling atas sebagai komandan kapal pertama. “Dia sangat dihormati di kalangan maritim Indonesia hingga sekarang,” tandas Geerken. KRI Dewa Ruci pensiun pada 2013 dan digantikan oleh KRI Bima Suci yang dibangun di galangan kapal Freire Shipyards, Vigo, Spanyol.
- Persipura Mengalah di Vietnam
Di tengah peperangan, Vietnam menggelar Quoc Khanh Cup atau Vietnam National Day Tournament, kompetisi invitasi yang bergulir sejak 1961 sampai 1974. Kompetisi yang selalu digelar di Saigon ini tidak diadakan pada 1963, 1964, 1968, dan 1969. Tim nasional Indonesia berpartisipasi pada 1961, 1962 ( runner up ), dan 1970. Pada kompetisi tahun 1973, Indonesia diwakili oleh Persija Jakarta yang pulang membawa trofi setelah mengalahkan Malaysia 3-2. Pada kompetisi terakhir tahun 1974, Indonesia diwakili oleh Persipura Jayapura. Rombongan tim dipimpin oleh Gubernur Irian Jaya Brigjen TNI (Purn.) Acub Zainal. Untuk biayanya, dia meminjam sebesar Rp30 juta dari uang tanah ulayat masyarakat adat Suku Wadi, Bano, Merabano, Nasadit dan Sem. Acub memberangkatkan Persipura tanpa restu Menteri Dalam Negeri Amirmahmud. Persipura transit di Singapura sebelum ke Saigon untuk mengikuti turnamen yang digelar pada 1-10 November 1974. “Saya nekat dan ngawur. Waktu saya memimpin Irian, bola adalah alat untuk kebanggaan Irian. Suatu saat kita mau bawa ke Bangkok, saya minta izin pada Pak Menteri Amir Machmud. Jawabannya: ‘Ada apa nih, si Acub? Masak gubernur bawa (tim) bola ke Bangkok?’" kenang Acub dalam biografinya, Acub Zainal: I Love the Army . “Buat saya ini pertama kali membawa nama bangsa. Zonder (tanpa) izin dari Yang Mulia Menteri, saya berangkat. Saya berhenti dulu di Singapura satu malam, menyesuaikan diri,” imbuh Acub. Di Singapura, Acub bertemu dengan Jenderal TNI Surono Reksodimedjo, wakil panglima ABRI. Surono meminta kepada Acub agar Persipura mengalah. Bukan untuk uang melainkan atas nama solidaritas sesama bangsa Asia Tenggara yang tengah dilanda perang. “Keadaan Vietnam sedang gawat. Pak Soerono minta kalau bisa kesebelasan yang saya bawa jangan sampai menang. Berikan kesempatan pada mereka (Vietnam) untuk bergembira. Saya dapat perintah begitu,” ungkap Acub. Persipura datang dengan tim terbaik asuhan pelatih asal Singapura, Choi Song On, dengan kiper Suharsoyo yang diboyong dari Persema Malang. Persipura tak pernah kalah di babak penyisihan grup. Menang 3-1 melawan timnas Khmer (kini Kamboja) dan imbang 1-1 melawan timnas Thailand. Persipura jadi juara Grup B. Di semifinal pada 9 November 1974, Persipura mengalahkan timnas Taiwan 2-0. Di laga final, Persipura melawan tuan rumah timnas Vietnam Selatan pada 10 November. Acub teringat permintaan Surono agar tidak juara. “Di final akhirnya saya kalahkan. Kita cuma jadi juara dua, bukan juara pertama,” tandas mantan Panglima Kodam Cendrawasih Irian Jaya itu. Persipura harus rela menjadi runner up setelah kalah 0-2 dari Vietnam Selatan. Persipura urung menyamai Persija Jakarta yang menjuarai turnamen itu setahun sebelumnya. Inilah harga dari solidaritas antarbangsa Asia Tenggara.
- Mercu Buana Ditutup Karena Skandal Suap
Sumatra Utara, khususnya Kota Medan, banyak melahirkan jago-jago rumput hijau yang bermain di berbagai klub, mulai PSMS Medan yang dulu tampil di kompetisi amatir, Perserikatan, hingga Pardedetex dan Mercu Buana di kompetisi semiprofesional, Galatama (Liga Sepakbola Utama). Sebut saja Bambang Nurdiansyah dan Djadjang Nurdjaman (Djanur) yang sekarang membesut Persib Bandung di Liga 1 Indonesia. Keduanya pernah merumput di Mercu Buana yang bermarkas di Stadion Teladan, Medan. Djanur berseragam Mercu Buana dengan posisi winger (pemain sayap) selama tiga tahun (1982-1985). Mercu Buana didirikan oleh Probosutedjo, adik Presiden Soeharto. Klub ini dinamai sesuai perusahaan yang didirikannya, PT Mercu Buana. Mercu Buana bermarkas di Medan karena Probo pernah menjadi guru di sana pada 1950-an dan beristri orang Pematang Siantar. Kelak, Probo juga mendirikan universitas bernama Mercu Buana pada 1985. Dalam memoarnya, Saya dan Mas Harto , Probo mengaku memiliki obsesi terhadap sepakbola, selain tenis. Dia terdorong membuat klub sepakbola karena melihat tim nasional kerap kedodoran. “Saya tertarik membuat klub sepakbola sendiri, nama Mercu Buana pun kemudian saya niatkan untuk menjadi nama klub,” kata Probosutedjo. Mercu Buana terbentuk setelah melewati proses yang cukup panjang untuk menyaring pemain-pemain potensial dan mencari pelatih yang unggul. “Saya danai program latihan mereka, termasuk menyediakan asrama, gaji, makanan yang sesuai kebutuhan olahragawan, sampai mendatangkan pelatih dari Inggris,” kata Probosutedjo. Mercu Buana tampil perdana di Galatama pada musim 1980-1982 setelah melalui turnamen play off seleksi Galatama pada 1980. Di seleksi play off itu, Mercu Buana nyaris tak terkalahkan. Melawan enam tim lainnya, Mercu Buana hanya sekali kalah dari klub Angkasa, 2-1 di laga pamungkas. Di klasemen akhir, Mercu Buana bercokol di posisi tiga di bawah UMS 80 dan Angkasa yang sukses jadi kampiunnya. Musim demi musim, Mercu Buana mencuat jadi salah satu tim kuat. Bahkan, di musim 1983-1984, Mercu Buana mencapai partai final. Sayangnya, mereka kalah 0-1 dari Yanita Utama yang turut diperkuat Bambang Nurdiansyah, mantan pemain Mercu Buana. Namun, di musim berikutnya, prestasi Mercu Buana merosot. Di musim 1984-1985, mereka hanya menempati posisi tujuh klasemen dan menjadi kesempatan terakhir berlaga di Galatama. “Selama beberapa tahun klub ini berjalan cukup baik. Namun, lama-kelamaan saya melihat mulai muncul ketidakdisiplinan. Berbagai laporan kurang baik juga mampir ke telinga saya tentang betapa lemahnya semangat para pemain untuk berlatih. Saya masih mencoba mempertahankan sambil mengevaluasi diri karena saya juga kurang waktu untuk ikut memonitor,” kata Probosutedjo. Namun, suatu kali dalam sebuah pertandingan di Bogor, Probosutedjo melihat sesuatu yang mencurigakan dalam tim Mercu Buana. Bola dibiarkan masuk, sementara posisi kiper memungkinkan untuk menangkapnya. Akhirnya, Probosutedjo tak bisa lagi mempertahankan Mercu Buana. Dia kecewa berat karena para pemain Mercu Buana terlibat skandal suap. “Belakangan saya tahu bahwa pemain-pemain di klub saya sudah disuap dan mereka mau menerimanya. Bukan main kecewanya saya. Mercu Buana kemudian saya tutup. Tidak ada pentingnya mengembangkan klub yang sudah dikotori mental suap,” kata Probosutedjo. Skandal suap yang menimpa Mercu Buana juga dialami Perkesa 78. Bedanya, Perkesa 78 batal dibubarkan dan terus berlaga di Galatama dengan berpindah tempat menjadi Perkesa Sidoarjo lalu Perkesa Mataram. Sedangkan Mercu Buana dibubarkan untuk selamanya.
- Turis Bukan Hanya Orang Asing
TURISME di Indonesia bermula dari akhir abad XIX. Itu ditandai dengan berkembangnya kegiatan-kegiatan organisasi turisme sukarela di beberapa kota besar di Hindia Belanda. Perkembangan turisme di Hindia Belanda juga ditengarai dengan pergeseran istilah vreemdelingenverkeer (lalu lintas orang asing) ke toeristenverkeer (lalu lintas wisatawan) di Belanda dan Hindia Belanda. Dalam proses pergeseran istilah ini tergambar dinamika kegiatan dan perkembangan awal pariwisata modern di Hindia Belanda. Dinamika itu dibahas oleh Achmad Sunjayadi, pengajar pada Program Studi Belanda Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia, dalam disertasinya yang berkepala “Dari Vreemdelingenverkeer ke Toeristenverkeer : Dinamika Pariwisata di Hindia Belanda 1891-1942.” “Perubahan pandangan pemerintah Hindia Belanda dari ‘orang asing’ menjadi ‘wisatawan’ memperlihatkan sebuah proses perkembangan kegiatan pariwisata di Hindia,” demikian Achmad Sunjayadi saat mempertahankan disertasinya dalam sidang promosi doktor di FIB Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, 6 Juli 2017. Ketersediaan sarana infrastruktur yang memadai pada akhir abad XIX adalah faktor penting yang mendukung bagi embrio pariwisata modern Hindia Belanda. Ketersediaan infrastruktur ini memudahkan vremdelingenverkeer atau petualang-petualang asing dari Eropa mengeksplorasi alam Hindia Belanda. Umumnya mereka adalah kalangan berpunya. Pada pertengahan hingga akhir abad XIX, objek-objek wisata di Hindia Belanda telah terbentuk. Objek-objek itu masih terbatas dikunjungi oleh petualang asing dengan izin khusus. Itu pun terbatas pada wilayah yang telah dikuasai Belanda, seperti Jawa, Kepulauan Sunda Kecil, sebagian Sumatra dan Sulawesi, dan Kepulauan Maluku. Para petualang Eropa itu kemudian menulis catatan perjalanannya untuk publik. “Wilayah-wilayah itu kemudian dicatat, dibukukan, dan menjadi pegangan petualang berikutnya yang datang ke Hindia Belanda. Catatan-catatan itu juga dihimpun dan disusun kembali menjadi buku panduan wisata oleh jurnalis, praktisi perhotelan, dan pemerintah,” tutur Achmad. Lambat laun motif petualangan itu bergeser kepada motif pelesir untuk bersenang-senang. Pada tahun-tahun awal abad XX kunjungan itu semakin ramai. Pariwisata di Hindia Belanda semakin mapan dengan dibentuknya Vereeniging Toeristenverkeer (VTV) pada 13 April 1908 di Batavia. VTV adalah asosiasi resmi yang bertujuan mempromosikan turisme Hindia Belanda. “Meskipun telah memakai istilah toeristenverkeer, namun yang dimaksud turis tetap merujuk kepada orang asing. Pembentukan VTV pada akhirnya hanya mengubah istilah tanpa mengubah makna,” ujar Achmad. Segera terlihat bahwa istilah turis itu diskriminatif dan hanya berdimensi ekonomis. Saat itu, wisatawan pribumi belum mendapat perhatian yang memadai dari pemeritah Hindia Belanda. Achmad juga menjelaskan bahwa dalam industri pariwisata kolonial, peran orang-orang bumiputra juga relatif terbatas. Mereka umumnya menjadi jongos, porter, atau mandor di hotel-hotel. VTV gencar mempromosikan pariwisata Hindia Belanda melalui penerbitan buku panduan, peta, brosur, majalah, poster, dan film dokumenter. Namun, lagi-lagi sasaran utamanya adalah wisatawan dari kalangan berbahasa Inggris. Istilah turis yang hanya merujuk pada wisatawan asing mulai meluas pada 1920-an hingga 1940-an. Menurut Achmad, pergeseran makna itu dipicu oleh kondisi Perang Dunia II. Saat Indonesia diduduki Jepang jumlah wisatawan dari Barat mengalami penurunan. Karenanya, kini wisatawan lokal pun mulai mendapat perhatian dari pemerintah yang berkuasa saat itu. “Kondisi perang di Eropa dan kedatangan Jepang mengubah kebijakan pemerintah terkait pariwisata. Saat itulah makna turisme tidak hanya terbatas kepada ‘lalu lintas orang asing’ tetapi ‘lalu lintas wisatawan’ (baik asing maupun lokal),” katanya. Sejak itu, istilah turis merujuk secara umum kepada wisatawan, baik asing maupun lokal.
- Awal Mula Pariwisata di Indonesia
Cikal bakal pariwisata di Hindia Belanda yaitu kegiatan perjalanan yang dilakukan suatu perkumpulan olahraga dan gaya hidup (sepeda dan motor), perkumpulan sosial masyarakat dan komersial, serta perseorangan. Orang-orang yang menjadi perintis pariwisata di Hindia Belanda seperti pendeta Marius Buys, wartawan Karel Zaalberg, profesional bidang perhotelan Johan Martinus Gantvoort, pegawai negeri Louis Constant Westenenk, dan militer yang kemudian menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda J.B. van Heutsz. “Pariwisata di Hindia Belanda merupakan suatu gagasan dari para individu dan sekelompok individu yang diawali dengan kegiatan perjalanan mengunjungi tempat lain di luar tempat tinggalnya,” tulis Achmad Sunjayadi dalam disertasinya berjudul “Dari Vreemdelingenverkeer ke Toeristenverkeee : Dinamika Pariwisata Di Hindia-Belanda 1891-1942,” yang dipertahankan dalam sidang terbuka senat akademik Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, 6 Juli 2017. Mereka mencatat perjalanannya yang memuat tempat-tempat yang dikunjungi, objek-objek yang dilihat, dan tata cara dan kebiasaan hidup di Hindia Belanda. Catatan perjalanan ini kemudian menjadi panduan atau pedoman bagi para wisatawan yang akan berkunjung ke Hindia Belanda. Namun, ketika datang ke Hindia Belanda, mereka mengeluhkan keadaan pariwisata yang belum terorganisir, tidak ada fasilitas-fasilitas pendukung pariwisata, seperti pusat informasi dan akomodasi di wilayah yang memiliki objek wisata. Hal itu menjadi perhatian pemerintah Hindia Belanda, masyarakat, dan swasta, yang melihat ada kebutuhan terkait kegiatan pariwisata, terutama untuk menarik wisatawan datang ke Hindia Belanda. Oleh karena itu, pemerintah dan swasta membentuk organisasi yang bergerak dalam menangani pariwisata. “Dalam proses mewujudkan gagasan tersebut, pemerintah Hindia Belanda meniru Kihinkai (Welcome Society ) yang dibentuk pada 1893 di Jepang. Perhimpunan pariwisata di Jepang yang mengatur kegiatan pariwisata,” tulis Achmad. Awalnya, Kihinkai belum melibatkan pemerintah sehingga perhimpunan tersebut bersifat nonpemerintah. Kihinkai didukung dan didanai dari sumbangan perusahaan kereta api dan pelayaran swasta, pemilik hotel dan penginapan. Pada 1907, Konsul Belanda di Kobe, Jepang, J. Barendrecht mengirim surat kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda J.B. van Heutsz mengusulkan agar pemerintah Hindia Belanda meniru Kihinkai dalam mengelola pariwisata. Sebelumnya, pada 1905, Karel Zaalberg, redaktur Bataviaasch Nieuwsblad menuliskan pendapatnya tentang pariwisata yang menurutnya jika dikelola dengan baik dapat menjadi potensi pemasukan besar bagi pemerintah Hindia Belanda. J.M. Gantvoort, direktur Hotel des Indes, juga mengusulkan soal promosi pariwisata di Hindia Belanda. Akhirnya, pada 13 April 1908, didirikan Perhimpunan Pariwisata ( Vereeniging Toeristenverkeer atau VTV) di Batavia. Sebagai perhimpunan pertama di Hindia Belanda, pendirian VTV bertujuan untuk mengembangkan vreemdelingenverkeer (lalu lintas orang asing) di Hindia Belanda. Struktur organisasi VTV mirip dengan Kihinkai , khususnya dalam bentuk perhimpunan yang terdiri dari para pengusaha dan inisiatif pihak swasta. Seperti Kihinkai , para anggotanya terdiri dari pihak swasta, seperti perusahaan pelayaran, perhotelan, dan perbankan. Pemerintah menempatkan wakilnya dalam susunan pengurus VTV. Untuk mendukung kegiatannya, VTV memiliki jaringan yang luas baik di dalam maupun di luar negeri. Di dalam negeri, VTV membuka kantor cabang di Surabaya, Semarang, Padang, dan Medan, serta perwakilan di Surakarta, Yogyakarta, Kedu, Singapura, Amsterdam, Hongkong, dan Shanghai. Pada periode berikutnya, VTV juga memiliki perwakilan baru di Amerika, Australia, dan Afrika. Selain itu, upaya lain yang juga dilakukan adalah menjalin kerjasama dengan organisasi sejenis dan lainnya di Belanda guna mempromosikan pariwisata di Hindia Belanda. Kemunculan VTV turut mendorong menculnya berbagai organisasi pariwisata di tingkat lokal, seperti di Padang, Bandung, Magelang, Malang, Lawang, Yogyakarta, dan Batavia. Dengan demikian, menurut Achmad, para pelaku yang berperan sebagai penggerak pariwisata di Hindia Belanda adalah masyarakat, swasta, dan pemerintah.






















