top of page

Hasil pencarian

9592 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Pahlawan Tanpa Senapan

    SEORANG pria terpental diterjang peluru. Tak lama kemudian bom meledak dan mengobarkan api. Korban-korban berjatuhan. Di bawah hujan peluru, empat pria berpakaian hijau sibuk mengangkat para korban. Adegan-adegan pertempuran, dari Perang Saudara hingga Perang Pasifik, menjadi pembuka film ini. Setelah itu kita dibawa ke masa lalu ( flashback ) dengan suasana alam di Pegunungan Blue Ridge, Virginia, Amerika Serikat, tahun 1929. Dua bocah Doss bersaudara, Desmond dan Harold, sering menghabiskan waktu bermain di sana. Namun sebagaimana umumnya anak-anak, keduanya juga kerap ribut dan berkelahi.

  • Jenazah Kahar Muzakkar Dikenali dari Celana Dalam

    PADA akhir Januari 1965, Peleton I/Kompi D seharusnya sudah kembali ke basis karena perbekalan sudah habis sehingga mereka makan dedaunan. Pasukan di bawah komandan Peltu Umar ini bagian dari Operasi Kilat yang mengerahkan empat Kompi Yon 330/Kujang, pasukan RPKAD, dan Kompi Raiders/Hasanuddin. Peltu Umar meneruskan patroli sepanjang Sungai Lasolo karena mendapat petunjuk baru letak markas Kahar Muzakkar, pemimpin DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang mendeklarasikan Republik Persatuan Islam Indonesia (RPII). Markas persembunyian Kahar dibocorkan oleh perwira kepercayaannya, Letkol Kadir Junus yang menyerahkan diri kepada TNI. Dia memberitahu bahwa Kahar bersembunyi di suatu tempat di Sulawesi Tenggara, sekitar Sungai Lasolo, Kabupaten Kendari. Tetapi, menurut Brigjen TNI M. Jusuf, Panglima Operasi Kilat, kepastian persembunyian Kahar didapat setelah pasukan RPKAD menyergap sekelompok orang di sekitar Lawate pada 22 Januari 1965. Di antara dokumen yang disita terdapat surat-surat yang baru ditulis oleh Kahar kepada Mansjur. Pada awal Februari 1965, Peltu Umar dan pasukannya berhasil menangkap Menteri Kesehatan RPII dengan 144 orang penduduk dan pengikutnya. Dari mereka diperoleh informasi yang memastikan posisi markas Kahar. Keesokan hari, pasukan Peltu Umar melihat seorang membawa senjata sedang naik rakit menuju perkemahan terdiri dari bivak-bivak berjejer di tepi sungai. Mereka melihat lebih banyak lagi orang bersenjata yang mandi di sungai. “Sayup-sayup terdengar suara radio transistor, dan lagu yang keluar dari radio adalah lagu kenang-kenangan. Ini, menurut penunjuk jalan mereka, adalah lagu kesayangan Kahar,” kata M. Jusuf dalam biografinya, Panglima Para Prajurit karya Atmadji Sumarkidjo. Pada dini hari, 3 Februari 1965, Peltu Umar memerintahkan 30 orang pasukannya menyeberangi sungai dan mengepung perkemahan. Empat prajurit ditinggal di seberang sungai untuk mencegah ada yang melarikan diri. Mereka mengepung sambil menunggu terang tanah agar bisa melihat sasaran dengan lebih jelas. Pukul 4.00, beberapa orang keluar dari bivak menuju sungai. Empat prajurit menembak orang itu disusul tebakan-tembakan dari prajurit yang mengepung perkemahan. Kepanikan menyergap para penghuni bivak. Pertempuran hanya berlangsung lima menit. Mayat-mayat yang ada dikumpulkan untuk diidentifikasi. Salah satunya diyakini mayat Kahar, orang yang ditakuti sejak tahun 1950 dan mengangkat dirinya sebagai khalifah RPII. Kahar meninggal akibat tembakan peluru tepat di Hari Raya Idulfitri pada 3 Februari 1965. Mayat Kahar dinaikkan ke rakit untuk dibawa ke pos TNI terdekat. Dari pos tersebut barulah informasi kematian Kahar disampaikan melalui radiogram ke pos komando di Pakue. M. Jusuf dan Brigjen TNI Rukman kebetulan berada di sana sedang merayakan Lebaran bersama pasukannya. Jusuf lalu meneruskan berita kematian Kahar kepada Menteri/Pangad Letjen TNI Achmad Yani yang saat itu juga langsung melaporkannya kepada Presiden Sukarno. Dari pos komando Pakue, Jusuf membawa jenazah Kahar dengan helikopter Mi-4 ke bandar udara Hasanuddin di Makassar. Achmad Yani mengutus Deputi I/Pangad Mayjen TNI Moersid untuk memastikan yang mati benar-benar Kahar. Setelah melihat jenazah itu di bandara, Moersid dibekali sejumlah foto segera terbang ke Jakarta untuk melaporkannya kepada Achmad Yani. Jenazah Kahar lalu dibawa ke rumah sakit tentara di Makassar. Jusuf memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk melihat jenazah itu dan memastikan sendiri bahwa yang mati benar-benar Kahar. “Sejak di Pakue saya telah memastikan bahwa yang meninggal adalah Kahar,” kata Jusuf. “Ciri utama dari Kahar adalah tahi lalat, gigi emas, dan yang paling penting adalah celana dalam dengan bordiran huruf KM (Kahar Muzakkar). Beliau tidak mau memakai sembarang celana dalam, kecuali yang dibordir khusus oleh istrinya yang keempat.” Salah satu orang yang mendapat kesempatan langka memotret jenazah Kahar adalah wartawan Boet Ph M. Rompas. Dia juga memotret celana dalam Kahar dengan inisial dua huruf KM yang jelas terlihat,” tulis Atmadji. Berpuluh tahun kemudian ketika ada yang menyebarkan isu bahwa Kahar masih hidup, foto-foto itu ditunjukkan dan menjadi bukti yang tidak bisa dibantah. Sejak diizinkan sampai petang, masyarakat, pejabat, wakil rakyat dan bekas anak buahnya, berdatangan ke rumah sakit untuk memastikan wajah Kahar. Setalah itu, Jusuf memerintahkan jenazah Kahar dikuburkan. Hanya sedikit pejabat militer yang mengetahuinya di mana Kahar dikuburkan. Jusuf dan Kolonel Solichin GP, Kepala Staf Operasi Kilat, tidak pernah menceritakan di mana Kahar dimakamkan dan siapa yang diperintahkan memakamkannya. “Jusuf sendiri tetap konsisten dengan sikapnya, dan tidak pernah mau menceritakan di mana dia memerintahkan Kahar Muzakkar dimakamkan sampai dia meninggal pada September 2004,” tulis Atmadji.*

  • Barisan Jenggot Berbahaya

    Laskar atau barisan perjuangan memainkan peran penting dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Mereka dibentuk di berbagai daerah di seluruh Indonesia dengan nama-nama yang menarik. Seperti Barisan Jenggot di Kalimantan. Dari namanya, badan perjuangan ini terdiri dari para ulama dan pengikutnya. Barisan Jenggot (Barisan Ulama), menurut Sulaiman Al-Kumayi dalam Islam Bubuhan Kumai, bermarkas di Masjid Besar al-Baidha, Kumai, selama perjuangan mengusir penjajah Belanda. Pada 14 Januari 1946, tentara Belanda (NICA atau Pemerintahan Sipil Hindia Belanda) masuk Kalimantan. Mereka berjumlah kurang lebih 250 orang dengan senjata lengkap menumpang lima kapal. Mereka menyerang daerah Kota Waringin. “Seluruh kekuatan yang ada bangkit membalas dan menyerang tentara NICA. TKR (Tentara Keamanan Rakyat), Angkatan Muda, Barisan Jenggot dan seluruh rakyat Kumai dan Pangkalan Bun bangkit melawan, melibatkan diri dalam kancah pertempuran yang sengit,” tulis JU Lontaan dalam Menjelajah Kalimantan . Pertempuran mengakibatkan 21 pejuang gugur dan 50 tentara Belanda yang tewas diangkut ke kapal. Dalam Kronik Revolusi Indonesia karya Pramoedya Ananta Toer, dkk., disebutkan bahwa pada 21 Februari 1946 enam anggota Barisan Jenggot dari Kalimantan yang dikepalai oleh Haji Abdul Kadir tiba di Yogyakarta. “Mereka berumur antara 50-60 tahun dan pernah bertempur melawan NICA yang mendarat dengan lima buah kapal di Kalimantan. Dalam pertempuran itu musuh mengalami kekalahan besar,” tulis Pram. “Mereka datang ke Jawa untuk mempelajari siasat pertempuran dan kemudian akan kembali lagi ke Kalimantan untuk berjuang dengan tekad merdeka atau syahid.” Kemungkinan juga mereka ikut parade laskar dari Kalimantan dalam pembentukan Dewan Kelaskaran Pusat dan Seberang di Yogyakarta pada 12 November 1946. Tidak hanya di Kalimantan, Barisan Jenggot juga didirikan di Semarang, Sumatera Barat, dan Aceh. Di Solo, Laskar Jenggot dan laskar-laskar perjuangan lainnya disatukan dalam Brigade XXIV di bawah Letkol Iskandar. Sedangkan di Malang, Barisan Jenggot adalah sebutan untuk Batalion E Tentara Nasional Indonesia. “Karena anggota-anggotanya sudah berjenggot dan berusia rata-rata setengah abad. Mereka bermarkas di Sumberpucung, Malang,” demikian tertulis dalam Kisah-kisah Kepahlawanan Perang Kemerdekaan 1945-1949 dan Perang Merebut Kembali Irian Barat I. Delapan orang anggota Barisan Jenggot gugur dalam pertempuran melawan Belanda. Di Taman Makam Pahlawan Malang terdapat empat makan nisan bernomor 408, 410, 412, dan 414. Setiap nisan dikubur dua jenazah, salah satunya Kasan Moestiar. Pada setiap nisan tertulis “TNI Barisan Jenggot”.

  • Menjemput Tan Malaka Sang Pemimpin Adat

    RASA haru memancar di mata Hengky Novaron Arsil Datuk Tan Malaka kala menyerahkan penampan berisi bendera merah putih dan kelengkapan penghulu di Ranah Minang kepada Direktur Eksekutif Tan Malaka Institute Khatibul Umam Wiranu, dalam prosesi adat penjemputan jasad Tan Malaka, di Pandam Gadang, Kecamatan Gunung Omeh, Kabupaten Limapuluh Kota, Sabtu, 14 Januari 2016.

  • Operasi Onta Mencegah Masuknya Komunisme dari Timur Tengah

    Rezim Orde Baru didirikan setelah menyingkirkan Sukarno dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dengan Supersemar (Surat Perintah 11 Maret), Jenderal Soeharto mengeluarkan kebijakan pertama yaitu membubarkan dan melarang PKI. Komunisme terlarang di negeri ini hingga saat ini. Rezim Orde Baru selalu mewaspadai komunisme baik di dalam maupun dari luar termasuk dari Timur Tengah. Di Irak, Suriah, Libya, Mesir, dan Yaman, komunisme pernah mendapat tempat dan memainkan peran politik penting pada 1960-an. Oleh karena itu, intelijen Indonesia menempatkan negara-negara tersebut bersama Uni Soviet, Korea Utara, dan Vietnam Utara, sebagai sumber potensial penyebaran komunisme. Mulai tahun 1969, Satuan Khusus Intelijen (Satsus Intel) di bawah Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) mengawasi kedutaan besar Irak, Suriah, Mesir, dan Yaman di Jakarta. Bahkan, pada Februari 1973, Satsus Intel menggelar operasi bersandi Onta. “Operasi Onta yaitu operasi pengintaian dan penyadapan selama sepuluh hari terhadap warga kedutaan Irak dan konsulat Yaman. Pada kwartal ketiga, dua operasi pengintaian kilat yakni Onta II dan Onta III dilanjutkan terhadap para diplomat yang sama,” tulis Ken Conboy dalam Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia. Masih pada September 1973, Satsus Intel menempatkan satu tim permanen di bandara internasional Kemayoran. Tim ini mengarsipkan foto berwarna paspor Arab lebih dari selusin negara dan mencocokkan nama-nama mereka dengan daftar nama yang dicurigai yang dikumpulkan berkat kerja sama dengan badan intelijen asing. “Di antara semua negara tersebut, hanya Yaman-lah yang menimbulkan kecurigaan intelijen Indonesia,” tulis Conboy. Hal ini karena Yaman terbagi dua: Yaman Utara dan Yaman Selatan. Dengan dukungan Uni Soviet, Yaman Selatan merdeka pada 1967 dan menjadi negara berhaluan Marxis-Leninis. Yaman baru bersatu setelah Uni Soviet runtuh. Menurut Conboy, Satsus Intel telah mencatat kegiatan-kegiatan mencurigakan diplomat Yaman. Mereka kerap melakukan pertemuan rutin dengan personel kedutaan Uni Soviet, Vietnam Utara, dan Korea Utara. Warga konsulat Yaman juga kerap menerima sejumlah kunjungan Indonesia keturunan Arab pada jam-jam kunjungan yang tidak lazim. Satsus Intel percaya pihak konsulat telah menjadi sponsor pembentukan Panitia Sembilan, sebuah dewan beranggotakan sembilan orang Indonesia keturunan Arab di Bogor yang bersimpati kepada pemerintah Yaman. Satsus Intel kemudian melakukan penyadapan terhadap konsulat Yaman selama satu dasawarsa dan menyalin surat-surat yang masuk dan keluar dari konsulat. Demikian juga dengan korespondensi terkait Panitia Sembilan yang isinya mendorong keterlibatan dengan masalah dalam negeri Yaman dan mendorong pembentukan partai politik Indonesia atas nama solidaritas Islam. “Belakangan, ternyata Panitia Sembilan bentukan Yaman ini tidak lebih dari omong kosong,” tulis Conboy. Ancaman komunisme dari Timur Tengah hanya ketakutan yang berlebihan. Justru, kata Conboy, “yang jauh lebih serius adalah ancaman ekspor dari Timur Tengah yang lain: terorisme internasional.”

  • Abu Bakar, Pianis Hitler dari Indonesia

    Hitler sering menggelar konser pribadi di rumah peristirahatannya di Obersalzberg. Dia memiliki pianis, Ernst Hanfstaengl, anak dari Franz Hanfstaengl, pengusaha penerbitan di Jerman dan Amerika Serikat, yang sering membantu keuangan Hitler termasuk menerbitkan bukunya, Mein Kampf . Bahkan, Hitler dikabarkan menikahi anak perempuan Franz, Erna Hanfstaengl. Namun, Hitler membantah dan mengatakan “aku hanya kawin dengan seluruh rakyat Jerman.” Ernst pernah studi di Universitas Harvard dan berteman dengan Franklin D. Roosevelt. Mereka anggota New York Harvard Club. Ernst lulus kuliah tahun 1909 dan melanjutkan usaha ayahnya di Amerika Serikat. Dia menikah dengan Helene Niemeyer, seorang Amerika berdarah Jerman. Pada 1919, Ernst kembali ke Jerman dan menjadi doktor ilmu filsafat dari Universitas Muenchen. Hitler menunjuk Ernst sebagai kepala Biro Pers Luar Negeri di Amerika karena relasinya yang bagus. Namun, hubungan Ernst dengan Hitler kemudian retak. Dia berbeda pendapat dengan Menteri Propaganda Goebbels yang menceritakan hal-hal buruk tentang Ernst kepada Hitler. Puncak rusaknya hubungan mereka karena Unity Mitford, perempuan cantik teman dekat Hitler dan Goebbels. Setelah bercerai dengan Helene, Ernst mendekati Unity yang membuat Hitler tidak senang. Merasa nyawanya terancam, Ernst lari ke Swiss kemudian ke Inggris. Ketika Perang Dunia II meletus, dia ditahan di Kanada. Pada 1942, dia dikirim ke Amerika atas permintaan pribadi Roosevelt. Dan Roosevelt mengangkatnya sebagai penasihat politik. Siapa yang menggantikan Ernst sebagai pianis Hitler? Dalam buku Jejak Hitler di Indonesia (2016), Horst H. Geerken mengungkap bahwa pianis pengganti Ernst adalah Abu Bakar dari Hindia Belanda (Indonesia). Sebelumnya, Geerken menulis pengalaman tinggal dan kerja di Indonesia selama 18 tahun dalam buku A Magic Gecko (baca resensinya di sini: Tokek...Tokek...Tokek... ) Geerken mengetahuinya setelah mendapatkan informasi dari Iwan Ong Santosa, wartawan Kompas yang menekuni sejarah. Iwan dan ibunya menceritakan bahwa pada 1990-an mereka ingin membeli rumah di Bogor lalu ditawari sebuah rumah di Jalan Raya Bogor milik Abu Bakar yang berusia sekitar 80 tahun. Abu Bakar mengajar les piano dan biola. “Tembok rumahnya tertutup oleh foto-foto dari guntingan koran berbahasa Jerman dan Indonesia yang memperlihatkan Abu Bakar sedang berpose bersama Hitler; dan Abu Bakar sedang memainkan piano dengan Hitler dan Eva Braun di dekatnya,” tulis Geerken. Kendati gagal membeli rumah itu karena Abu Bakar memutuskan tidak mau menjualnya, Iwan mendapatkan kisah menarik sang pemilik rumah. Abu Bakar bercerita kepada Iwan dan ibunya bahwa dia pernah tinggal di Jerman tahun 1937 dan selama perang paling lama di paviliun tambahan di kediaman Hitler di Obersalzberg. Dia secara teratur pergi menghibur Hitler dan istrinya, Eva Braun, ketika mereka bersantai dengan mendengarkan musik di petang hari. Bagaimana Abu Bakar bisa pergi ke Jerman? Menurut Geerken barangkali tidak akan pernah diperoleh jawaban yang pasti. “Dalam pikiran saya, kuncinya ada di Walther Hewel,” kata Geerken. Sampai tahun 1936, Hewel tinggal di perkebunan Neglasari (Neglasari Estate Plantation), dekat Garut, Jawa Barat. Hewel juga penggemar berat musik klasik sebagaimana terlihat dalam catatan di buku hariannya. Dia mengenal Abu Bakar karena sering konser eksklusif di hadapan bos-bos perkebunan. Hewel kemungkinan mendengar kaburnya Ernst dan mengatur agar Abu Bakar bisa berangkat ke Jerman. Abu Bakar kembali ke Indonesia setelah tahun 1950. Dia hidup membujang dan kesepian di usia tua. Dia menjual rumahnya pada 1994. Jejaknya lenyap seperti bekas rumahnya yang telah menjadi kebun penuh pepohonan. Abu Bakar tidak mendapat kekayaan dari hasil bermusik bagi elite Nazi Jerman. “Namun, masa-masa berada dekat Hitler dan kalangan elitenya, membuat dia banyak dihormati orang di Bogor dan kisah-kisahnya tentang Hitler dan Obersalzberg selalu diterima baik oleh para tetanganya,” kata Geerken.

  • Rupiah Lumpuh, Sukarno Jatuh

    DI depan Istana Merdeka, 17 Agustus 1965, Presiden Sukarno memperkenalkan konsep baru untuk sistem perekonomian Indonesia. “Berdikari dalam ekonomi! Apa yang lebih kokoh daripada ini, saudara-saudara,” demikian ujarnya. Di tengah situasi politik yang memanas sehubungan konfrontasi Ganyang Malaysia, Sukarno tak luput menyoroti lesunya kondisi perekonomian. Dengan tegas, Sukarno menolak modal asing dan ekonomi berbasis kapital karena hanya akan memperkaya tuan tanah, lintah darat, dan tukang ijon, alih-alih memakmurkan rakyat banyak. Oleh karenanya, dia mendambakan perekonomian Indonesia yang mandiri. Upaya perhitungan juga dialamatkan kepada Amerika Serikat (AS) yang memberikan bantuan ekonomi kepada federasi Malaysia. “Aku sudah sangat sabar, sudah kutunjukkan kesabaran seorang bapak, tetapi kesabaranku ada batasnya, apalagi kesabaran rakyat! Hanya dengan mengatasi kemacetan inilah kita bisa menterapkan asas Berdikari dalam ekonomi,” kata Sukarno dalam pidato berjudul “Capailah Bintang-bintang di Langit.” “Pada awal tahun ini,” lanjut Sukarno, “rakyat Indonesia –yang membela hak-haknya dari serangan-serangan Amerika Serikat yang memberikan active aid kepada neokolonialisme Malaysia– mengambil alih modal Amerika Serikat. Ini merupakan langkah penting bagi RI, yang dengan asas berdikari sedang menegakkan perekonomian nasionalnya sendiri.” Sukarno membuktikan ucapannya. Seminggu kemudian, 23 Agustus 1965, dia menandatangani UU No. 16 tahun 1965 tentang Pencabutan UU No. 78 tahun 1958 tentang Penanaman Modal Asing. Sebelumnya pada Maret 1965, pemerintah telah mengumumkan pengambilalihan National Cash Register Company, salah satu investor tertua Amerika di Indonesia. Sejurus kemudian, dekrit yang memerintahkan pengambilalihan manajemen semua perusahaan asing di Indonesia dikeluarkan. Untuk menyokong revolusi dan ekonomi terpimpin, bank-bank terintegrasi ke dalam satu komando bank tunggal bernama Bank Berdjoang-Bank Tunggal. “Penanaman/operasi modal asing menurut sifatnya tidak lain daripada menghisap kekayaan dari negara Republik Indonesia dan menjalankan penghisapan manusia atas manusia, dan karena itu membawa bencana bagi Rakyat Indonesia,” demikian penjelasan UU Nomor 16 mengutip Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 78 . Pemerintah AS merespons. Diplomat kawakan, Ellsworth Bunker –yang pernah memediasi sengketa Irian Barat– diutus menemui Sukarno. Bunker mengemban misi ganda: meredakan ketegangan antara Indonesia dengan Malaysia sekaligus menjaga kepentingan AS di Indonesia. Hasil laporan Bunker ke Gedung Putih menyatakan bahwa hubungan AS-Indonesia kemungkinan besar tidak membaik dalam waktu dekat. Berdasarkan penelusuran arsip NSF (National Security Files), kepada Presiden Lyndon Johnson, Bunker berpendapat, AS seharusnya bermain jangka panjang dan mempertahankan kontak dengan elemen-elemen yang memiliki kekuatan, seperti militer. “Bunker berpihak pada posisi CIA (Dinas Intelijen AS) yang lebih menghendaki kudeta militer di Indonesia sebagai cara terbaik mewujudkan kepentingan AS,” tulis sejarawan Univeritas Maryland, Bradley Simpsons dalam Economist with Guns. Pada 1 Oktober 1965, suhu politik dalam negeri mendidih. Peristiwa Gerakan 30 September 1965 mengakibatkan kondisi perekonomian Indonesia merosot drastis. Dalam bulan-bulan berikutnya, harga kebutuhan pokok meningkat. Nilai tukar rupiah merosot. Menanggulangi keadaan tersebut, pemerintah melalui Penpres No. 27, 13 Desember 1965, menerbitkan kebijakan moneter baru. Mata uang Rp1000 lama menjadi Rp1 mata uang baru. Dalam Perjuangan Mendirikan Bank Sentral Republik Indonesia yang ditulis tim riset Bank Indonesia, pada praktiknya, tujuan dari kebijakan ini tak tercapai. Penggantian mata uang 1000 lama menjadi 1 mata uang baru, justru mendorong meningkatnya inflasi sampai mencapai 635 persen yang diikuti oleh semakin melambungnya harga-harga kebutuhan pokok. Keadaan carut ekonomi kemudian mendorong gelombang demonstrasi masyarakat menentang kepemimpinan Sukarno. “Uang Rp1000 nilainya jatuh jadi seperak. Dalam hitungan lima minggu, Sukarno dijatuhkan,” ujar pengamat politik ekonomi, Ichsanuddin Noorsy dalam “Ekspose Inventaris Arsip Bank Indonesia (1956-1957) 1960-1964, di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), 31 November 2016. Ketika pemerintahan berganti, menurut Ichsanuddin, inflasi berangsur-angsur dapat dikendalikan. Pemerintahan Soeharto dengan lobi-lobi tim ahli ekonominya yang dijuluki Mafia Barkeley, lantas membuka diri terhadap investasi modal asing di Indonesia. Ekonomi Indonesia cenderung berkiblat ke Barat yang berbasis kapitalis. Pada paruh kedua tahun 1967, 250 pebisnis AS, Jepang, Australia, dan Eropa Barat bertemu dengan para pebisnis Indonesia dan sejumlah pejabat Indonesia di Jakarta. Agenda rezim Soeharto menarik modal asing dirancang dalam pertemuan itu. Untuk pertama kalinya, komunitas bisnis Amerika dan komunitas bisnis Indonesia bertemu dengan para petinggi pemerintah. Setahun berselang, UU penanaman modal asing di Indonesia diresmikan. Dengan gelontoran modal luar negeri, stabilitas ekonomi dan pembangunan berjalan beriringan dengan pemerintahan otoriter Orde Baru. Geliat rezim “ekonom bersenjata” ini terjaga selama tiga dekade. “Seperti di negara-negara lain, kepentingan ekonomi dan strategis Washington melampaui segala retorika tentang praktik demokratis,” tulis Simpsons. “Karena CIA menolak mendeklasifikasi dokumen-dokumen operasionalnya untuk Indonesia, kita hanya bisa berspekulasi tentang luasnya operasi rahasia pada tahun 1964 dan 1965.”*

  • Cara Keluarga Kerajaan Belanda Perlakukan Karya Raden Saleh

    DALAM kunjungan terakhirnya ke Indonesia November lalu, Perdana Menteri Belanda Mark Rutte menyerahkan sebilah keris kepada Presiden Joko Widodo. Ini adalah salah satu dari 1500 barang warisan budaya Indonesia yang dikembalikan oleh Belanda. Walau demikian ada satu karya seni penting yang tidak akan dikembalikan, karena karya seni itu sekarang sudah menjadi milik Singapura.

  • Penelitian Menyeluruh Kekerasan Serdadu Belanda di Indonesia

    AKHIRNYA keputusan itu keluar juga. Jumat, 2 Desember 2016, dalam jumpa pers mingguan, Perdana Menteri Mark Rutte mengumumkan bahwa pemerintah Belanda akan membiayai penelitian menyeluruh dan mandiri terhadap kekerasan tentara Belanda selama perang kemerdekaan Indonesia, 1945-1949. Keputusan yang tidak terlalu mengejutkan, walaupun empat tahun lalu pemerintah masih menolak seruan mengadakan penelitian macam itu. Apa pasal? Kenapa sekarang Den Haag berubah pendirian? Mark Rutte menegaskan penyebab kabinetnya mengambil keputusan ini adalah disertasi doktor sejarawan Remy Limpach yang September lalu terbit sebagai buku berjudul De brandende kampongs van generaal Spoor (Kampung-kampung Jenderal Spoor yang terbakar). Dalam penelitiannya Limpach berhasil menunjukkan bahwa kekerasan ekstrem yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia bersifat struktural, menyebar, dan tertancap dalam struktur militer waktu itu. Selama ini pemerintah Belanda berpendapat bahwa kekerasan itu hanya ekses belaka, ulah beberapa oknnum dan bukan beleid resmi Den Haag. Pada 2012 seruan penelitian menyeluruh ini pertama kali dikeluarkan oleh tiga lembaga yang aktif dalam penelitian sejarah Belanda: KITLV (Institut Kajian Asia Tenggara dan Karibia), NIMH (Institut Sejarah Militer Belanda, tempat R my Limpach menginduk) dan NIOD (Institut Kajian Perang, Holocaust dan Genosida). Ketiganya berseru supaya dilakukan penelitian menyeluruh gara-gara pengadilan Den Haag tahun sebelumnya memvonis pemerintah Belanda bersalah atas banjir darah di Rawagede (dan wajib membayar santunan ganti rugi). Waktu itu pemerintah masih berpendirian bahwa ketiga lembaga bebas melakukan penelitian atas anggaran yang mereka terima dari pemerintah. Peran pemerintah sebagai pemesan penelitian tidaklah perlu eksplisit. Tetapi penelitian Limpach ternyata telah membuat pemerintah Belanda mengubah pendiriannya. Agustus tahun lalu, beberapa hari menjelang peringatan 70 tahun proklamasi kemerdekaan Indonesia, pers sudah memberitakan hasil penemuan R my Limpach yang waktu itu menyerahkan disertasinya pada Universitas Bern, Swiss. Harian sore NRC Handelsblad pada edisi Jumat, 14 Agustus 2015, menurunkan berita utama dengan alinea pertama sebagai berikut: “Tentara Belanda telah secara struktural dan dalam skala besar-besaran menerapkan kekerasan ekstrem terhadap orang Indonesia pada periode 1945-1950 setelah proklamasi kemerdekaan, 70 tahun silam Senin mendatang. Sesudah itu para pelakunya bebas berlenggang kangkung, karena pihak otoritas menutup-nutupi pelanggaran hukum itu.” Berita itu bisa dikatakan baru icip-icip pendahuluan bagi isi penelitian Limpach yang baru terungkap September lalu. Sejak itu khalayak ramai Belanda seperti memanaskan diri untuk menyambut berita yang lebih menyeramkan lagi. Penanggungjawab Kekerasan Akhir September itu, setelah setahun penantian, akhirnya disertasi Limpach terbit. Dalam bukunya Limpach lebih lanjut menelanjangi koalisi para pelaku kekerasan di dalam struktur militer dan sipil yang dalam semua jajaran bertanggung jawab melakukannya. Tiga wakil tertinggi kekuasaan di Hindia Belanda bersama-sama bertanggung jawab terhadap kekerasan ekstrem itu. Mereka adalah Panglima Tentara Jenderal Simon Spoor, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Huib van Mook dan Jaksa Agung Henk Felderhof. R my Limpach menyebut ketiganya melakukan “judi militer, dengan taruhan nyawa puluhan ribu orang Indonesia dan Belanda”. Bagaimana jalannya judi militer oleh para pembesar tadi belum pernah diungkap sampai sekarang. Kesimpulan ini berlawanan dengen pendirian pemerintah Den Haag. Nota Ekses tahun 1969, menyebut kekerasan itu cuma pelanggaran insidentil yang dilakukan oleh oknum-oknum militer tententu. R my Limpach mendasarkan penelitiannya pada arsip jaksa penuntut umum, sekretariat negara ( algemene secretarie ), pengacara-pengacara Van Rij dan Stam serta amtenar, tetapi juga pada 885 pucuk surat para veteran yang ada dalam arsip acara televisi Achter het Nieuws (Di balik berita) milik organisasi penyiaran VARA. Acara ini menerima banyak surat sebagai reaksi terhadap wawancara dengan Joop Hueting. Pada tahun 1969, Hueting yang pernah dikirim ke Indonesia dalam acara itu pertama kali mengungkap telah berlangsungnya kekerasan ekstrem. Dari penelitian itu terbukti bahwa Jenderal Spoor yang membawahi 200 ribu pasukan telah menerapkan tujuan militer yang tidak mungkin bisa tercapai. Begitu kekerasan militer itu terjadi, Spoor menerimanya saja, demikian kata Limpach. Tanggung jawab penguasaan sebuah wilayah “digeser ke atas atau ke bawah, seperti kentang panas”. Selain itu, “troika kolonial” ini juga beranggotakan kekuasaan sipil tertinggi, Letnan Gubernur Jenderal Van Mook, yang menurut R my Limpach, “dalam menjalankan kebijakan selalu melangkahi mayat”, dan Jaksa Agung Henk Felderhof. Tokoh terakhir ini ikut menentukan perlindungan yuridis militer terhadap pasukan Belanda. Tanggung jawab akhir berada di Den Haag dan bukan Jakarta yang bagi Belanda waktu itu masih bernama Batavia. Limpach, “Pemerintah Den Haag bertugas mengawasi para pemimpin tertinggi di Batavia, dan mereka tidak hanya lalai lantaran jarak yang begitu jauh, tetapi juga jelas-jelas tidak mau bertindak”. Adalah Menteri Luar Negeri Bert Koenders yang langsung bereaksi terhadap penemuan R my Limpach ini. Pemerintah berniat melakukan pertimbangan teliti, demikian Koenders yang September lalu sudah tidak menutup kemungkinan dilakukannya penelitian baru. Yang dimaksudnya dengan pertimbangan teliti itu adalah keterlibatan banyak kalangan, termasuk para veteran yang selalu dituding sebagai pelaku kekerasan. Ini tidak boleh merupakan halangan untuk meneliti lembaran-lembaran hitam dalam sejarah Belanda, demikian Menlu yang berasal dari partai buruh PvdA ini. Menyusul keputusan melakukan penelitian menyeluruh, Koenders berujar, “Penting bagi bangsa kita untuk berani melihat kaca sejarah, apalagi kalau kita akan berbicara dengan negara lain.” Kekerasan oleh Pihak Indonesia Dalam pernyataannya pada Jumat, 2 Desember, Perdana Menteri Mark Rutte menyadari bahwa penelitian baru ini bisa “menyebabkan sakit hati di kalangan para veteran Hindia.”. Walau begitu tetap penting untuk memperhatikan “keadaan sulit yang membatasi operasi para veteran, kekerasan yang dilancarkan kalangan Indonesia, kemungkinan tidak dilakukannya kekerasan, serta tanggung jawab para pemimpin pemerintahan, politik maupun militer”. Ini berarti bahwa penelitian yang dikehendaki pemerintah Belanda tidak akan hanya berpusat pada sisi militer, melainkan juga latar belakang politik serta kebijakan pemerintah pada umumnya. Selain itu juga akan diteliti kekerasan yang dilancarkan kalangan Indonesia. Di sini Mark Rutte menyuarakan keinginan partainya, partai konservatif VVD. Dalam apa yang disebut “Periode Bersiap” ini, setelah Jepang bertekuk lutut, berlangsung kekerasan terhadap kalangan Belanda, kalangan Indo yang berdarah campuran serta kalangan Tionghoa atau kelompok lain yang oleh para pemuda revolusioner Indonesia dicurigai bekerjasama dengan Belanda. Penelitian terhadap ulah pihak revolusioner Indonesia inilah yang merupakan syarat partai konservatif VVD, salah satu mitra pemerintah koalisi Belanda, sebelum mereka setuju dengan usul mengadakan penelitian menyeluruh. Selain itu, VVD juga hanya akan setuju jika kalangan veteran Belanda dilibatkan dalam penelitian. Sekarang diperkirakan masih ada sekitar 18 ribu veteran Belanda yang masih hidup dan dulu pernah dikirim ke Indonesia. Hein Scheffer, ketua het Veteranen Platform , salah satu organisasi veteran Belanda, menyambut baik penelitian ini. Kepada harian Trouw, dia menyatakan ingin organisasi dan anggotanya diwawancarai tentang pengalaman mereka di Indonesia. “Selain itu para veteran juga dapat menyediakan dokumen atau foto-foto,” demikian Scheffer. Baginya yang penting penelitian ini harus berangkat dari sudut pandang dan norma-norma yang berlaku pada zaman itu. Tidak semua veteran Belanda menyambut baik niat pemerintah ini. Kepada harian Trouw, Leen Noordzij, ketua Vomi (singkatan Belanda untuk persatuan veteran Hindia) menyatakan tidak menanti-nati penelitian macam ini. Tapi dia maklum bahwa penelitian seperti itu tak bisa dibendung lagi. Terhadap keputusan pemerintah dia cuma bisa berharap penelitian ini berlangsung obyektif, dalam arti pelanggaran yang dilakukan pihak Indonesia juga diteliti. Konon kabarnya dalam upaya meneliti ulah pihak Indonesia ini, Mark Rutte sudah berbincang dengan Presiden Joko Widodo. Dalam kunjungan ke Jakarta pada November lalu, ada sentilan bahwa Jokowi tidak keberatan dengan penelitian semacam ini. Tapi itu tidak berarti bahwa Indonesia setuju membuka arsipnya bagi para peneliti yang akan berdatangan dari negeri kincir angin. Walau begitu Gert Oostindie, direktur KITLV, merasa ini bukan hambatan. Kepada harian Trouw, dia menyatakan tahun-tahun belakangan sudah banyak arsip Indonesia yang dibuka. “Selain itu kami juga akan mewawancarai orang-orang yang mengalami sendiri perang kemerdekaan Indonesia,” demikian Oostindie. Ditambahkannya, di kalangan sejarawan Indonesia sendiri sudah terjadi pergeseran pendapat, mereka bersikap lebih obyektif dalam meneliti periode perang kemerdekaan. Dalam bukunya, R my Limpach menegaskan bahwa sebagian besar dari 160 ribu prajurit Belanda yang selama perang kemerdekaan dikirim ke Indonesia tidak terlibat dalam kekerasan. Perang kemerdekaan itu telah menewaskan sekitar seratus ribu orang Indonesia dan hampir 5000 prajurit Belanda. Penelitian menyeluruh yang dikehendaki pemerintah Belanda ini akan berlangsung selama empat sampai enam tahun, dan menelan biaya berjuta-juta euro.

  • Belanda Mengawasi Indonesia dari Australia

    Di lantai 10 gedung Temple Court building, Collins Street, Melbourne, Australia, para petinggi pemerintahan Hindia Belanda acap kali berkumpul. Mereka adalah pejabat kolonial pimpinan Hubertus van Mook yang melarikan diri dengan dua pesawat Dakota dari Bandung menuju negara sekutunya, Australia. Di sana, dibentuk jawatan penerangan untuk terus memantau kondisi Hindia Belanda: NIGIS (Netherlands Indies Goverenment Information Service). “Kegiatan ini merupakan kegiatan dinas rahasia sipil dan organisasi propaganda pemerintah Hindia Belanda di pengasingan yang berbasis di Australia, selepas jatuhnya Hindia Belanda ke tangan balatentara Jepang,” tutur sejarawan Rushdy Hoesein dalam ekspose “Arsip Foto Netherlands Indies Government Information Service (NIGIS) di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Jakarta Selatan, 28 November 2016. NIGIS mulai beroperasi pada April 1942, setelah berdiri pemerintahan pelarian Hindia Belanda ( government in exile ) di Australia. Tugas utama biro adalah mengumpulkan informasi mengenai situasi Hindia Belanda: politik, militer, ekonomi, sosial, dan budaya. NIGIS berafiliasi dengan NEFIS (Dinas Intelijen Militer Hindia Belanda) dan NICA (Pemerintahan Sipil Hindia Belanda). Kegiatan NIGIS berada di bawah pengawasan Charles van der Plas, kepala pemerintahan pengasingan Hindia Belanda di Australia. Juru bicara Angkatan Laut Belanda, Huibert Quispel, yang juga ahli informasi dan propaganda, ditunjuk menjadi kepala NIGIS. Seorang Indonesia, Kolonel Abdul Kadir Widjojoatmodjo –kelak dikenal sebagai tokoh NICA di bawah Van Mook– juga berperan dalam NIGIS. Selama beroperasi, NIGIS kerap menggaungkan “pesan harapan” bagi penduduk di koloni Hindia Belanda yang hidup di bawah pemerintahan Jepang. Pesan tersebut disampaikan lewat siaran radio berbahasa Inggris yang bisa didengar dengan jelas. Selain itu, diterbitkan pula koran berbahasa Indonesia, Penjoeloeh yang dikerjakan para Digulis. Unit fotografi dan film tak luput sebagai media publikasi NIGIS. Salah satunya Bevrijding van Nederland Indie , film tentang pembebasan Hindia Belanda bagian timur dari Jepang yang dilakukan Sekutu. Film ini diproduksi dengan menggandeng perusahaan film Australia, Souther Seas Production. Beberapa suratkabar Australia menggunakan layanan NIGIS untuk memuat berita sekaligus pesan propaganda. Koresponden Wolfe Preger dan The Cairn Post , misalnya, banyak menulis kisah keberanian tentara Belanda dalam Perang Pasifik dan upaya membersihkan pengaruh Jepang di Hindia Belanda. “Besar kemungkinan berita tentang kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II terdengar di Eropa melalui Australia. Yang menyiarkannya adalah NIGIS,” ujar Roesdy. Seusai Perang Dunia II, informasi yang dihimpun dan disebarkan NIGIS berubah. Tak lagi menyerukan gerakan antifasis Jepang. Yang didengungkan kemudian adalah penegakan kedaulatan Belanda atas Hindia Belanda yang telah memproklamasikan kemerdekaannya sebagai Republik Indonesia. Menurut Rushdy, arsip NIGIS memuat serangkaian sejarah penting di masa awal revolusi Indonesia. Dalam catatannya, publikasi NIGIS merekam demonstrasi buruh-buruh Australia yang menentang pengiriman serdadu-serdadu Belanda dari Australia ke Indonesia sebagaimana diuraikan jurnalis Australia Rupert Lockwood dalam Armada Hitam ; kehidupan sosial tawanan Digulis di Australia terkait dengan pernikahan campuran bersama pasangan Eropa; kampanye militer Belanda dalam rencana “menduduki” kembali Indonesia. Dalam arsip NIGIS juga ditemukan beberapa foto yang menunjukkan kegiatan Sultan Ternate yang mengungsi ke Australia demi menghindari penjajahan Jepang dan Pangeran Notokoesoemo dari Surakarta yang merupakan kapten KNIL. Dokumen-dokumen NIGIS dibawa serta ke Batavia ketika pemerintah Belanda melalui NICA kembali ke Indonesia pada akhir tahun 1945 dan awal 1946. Setelah pengakuan kedaulatan tahun 1949, pihak Belanda menyerahkannya kepada kantor penerangan Republik Indonesia Serikat. Pada 1981, Departemen Penerangan menyerahkan arsip-arsip tersebut kepada ANRI. ANRI melansir 3.212 lembar arsip foto dari total 6.417 lembar dokumen arsip NIGIS dari tahun 1930-1946. Arsip NIGIS ini dapat diakses pada awal tahun 2017.

  • Membaca Sejarah Bangsa dari Arsip Sukarno

    SEBUAH rekaman film pendek memperlihatkan Sukarno di tengah kerumunan banyak orang. Dengan seragam putih, tanpa kawalan, presiden pertama Republik Indonesia itu berbaris rapi dalam jejeran antrean. Sembari mengurai senyum sumringah dia menanti giliran menuju bilik suara. Peristiwa itu merekam hari-hari pemilihan umum pertama tahun 1955. Selama masa kepemimpinannya, Sukarno meninggalkan 573 bundel arsip kertas, 627 bundel arsip foto, dan 151 nomor arsip film. Berbagai peristiwa penting pada periode 1945-1967 terekam di dalamnya yang meliputi berbagai bidang. Mulai dari politik, pertahanan dan keamanan, ekonomi, pendidikan, agama, sosial, budaya, hingga olahraga. Arsip-arsip tersebut terinventarisasi di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) dan dapat diakses publik. “Dengan adanya arsip ini, diharapkan pemahaman terhadap sejarah Indonesia menjadi lebih benar dan utuh,” ujar Guruh Sukarnoputra, Ketua Umum Yayasan Bung Karno dalam sambutan “Ekspose Guide Arsip Presiden Republik Indonesia: Sukarno 1945-1967” di Gedung ANRI, Jakarta Selatan, 29 November 2016. Sebab, lanjut putra bungsu Sukarno itu, “Sepanjang era Orde Baru sejarah negeri ini diputarbalikan; banyak bukti-bukti sejarah yang dimusnahkan. Banyak yang dilakukan rezim Orde Baru itu menyesatkan bahkan sampai dengan hari ini.” Pengadaan arsip Sukarno merupakan rangkaian awal dari program ANRI untuk melengkapi khazanah Arsip Kepresiden Indonesia. Kendati demikian, beberapa daftar arsip masih dalam pencarian. Ada yang tak diketahui keberadaannya ataupun masih belum diserahkan oleh pihak tertentu. Arsip dan dokumen tersebut terutama berkaitan dengan menjelang berakhirnya masa kekuasaan Sukarno. Salah satunya, ungkap Guruh, adalah dokumen asli Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang menandai peralihan kepemimpinan dari Sukarno kepada Jenderal Soeharto. Selain itu, saat Sukarno wafat, terdapat tim Angkatan Darat yang merekamnya. Namun, hingga kini rekaman itu tak kunjung ditemukan atau diserahkan. “Keberadaan arsip rekaman tersebut pasti ada dan tersimpan sampai sekarang oleh mereka (Angkatan Darat),” kata Guruh. Sementara itu, Asvi Warman Adam menyatakan arsip Sukarno adalah sumber sezaman yang berharga dalam sejarah Indonesia. Arsip tersebut akan memberikan gambaran yang menyeluruh tentang masa-masa kepemimpinan Sukarno: kejayaan dan kejatuhan sang presiden. Senada dengan Guruh, Asvi juga mengungkap beberapa arsip yang belum terhimpun dari sekian banyak arsip Sukarno koleksi ANRI. Dalam catatan Asvi, setidaknya ada dua yang terpenting. Pertama, arsip pidato Bung Karno tanggal 6 Oktober 1965. “Dalam pidato itulah pertama kali Bung Karno membicarakan tentang Gerakan 30 September,” ujar sejarawan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tersebut. Kemudian, lanjut Asvi, ada catatan perawat Sukarno selama masa penahanan di Wisma Yaso. Dalam catatan itu termuat laporan kesehatan Bung Karno: tekanan darah, obat-obatan yang diberikan, gangguan pada fungsi tubuh, hingga kondisi psikis. Juga terdapat hasil cek laboratorium urine Bung Karno yang diperiksa di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (IPB). Arsip perawat itu cukup penting karena memperlihatkan bagaimana perawatan dan pelayanan kesehatan yang diberikan kepada Sukarno oleh rezim Orde Baru. Asvi mengakui, keberadaan arsip berjumlah sembilan bundel tersebut disimpan oleh salah satu anak Sukarno, Rachmawati Sukarnoputri. Menurutnya, arsip itu bukan arsip keluarga melainkan telah menjadi arsip negara. “Oleh karena itu, sebagai lembaga yang punya otoritas dan menjamin keamanannya ada baiknya pihak ANRI meminta arsip itu kepada ibu Rachmawati,” ujar Asvi. Pengumpulan arsip Sukarno tak sampai di situ. Kepala ANRI, Mustari Irawan menyatakan pada 2018 arsip-arsip Sukarno tentang pemikiran nasionalisme dan internasionalisme akan diajukan ke UNESCO sebagai memori dunia ( memory of world ). “Agar masyarakat Indonesia tahu pemimpin bangsanya. Juga supaya dunia internasional tahu bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar, yang punya pemikir dengan gagasan besar,” pungkasnya.*

  • Menumbuhkan Budaya Bahari di Indonesia

    Konferensi Nasional Sejarah (KNS) X bertema “Budaya Bahari dan Dinamika Kehidupan Bangsa dalam Perspektif Sejarah” telah usai digelar selama tiga hari (7-9 November 2016) di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta. Seratus makalah telah dibahas dan menghasilkan tujuh rekomendasi. Amurwani Dwi Lestariningsih, Kasubdit Sejarah Nasional Kemendikbud, membacakan rekomendasi tersebut, bahwa diperlukan: pembangunan budaya bahari sebagai landasan negara maritim yang menyatakan laut sebagai pemersatu bangsa; paradigma baru dalam merumuskan visi kelautan Indonesia; pembentukan tradisi historiografi Indonesia yang melihat laut sebagai dimensi baru dalam dinamika pembangunan; penguatan pendidikan karakter bangsa melalui perubahan pembelajaran sejarah dengan menampilkan drama, film dokumenter, dan bentuk lain; melakukan revolusi mental bangsa melalui penataan kembali sistem pendidikan dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan yang menempatkan pendidikan sejarah secara proporsional; strategi kebudayan untuk mewujudkan cita-cita Indonesia sebagai negara poros maritim; dan menghidupkan kembali kegiatan nyata untuk menumbuhkan semangat dan cinta laut seperti arung sejarah bahari dengan peserta generasi muda dari seluruh Indonesia. Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan Kemendikbud membagi hasil KNS menjadi tiga. Pertama, hasil KNS nantinya akan dikembangkan menjadi agenda studi dan penelitian. Lainnya, rekomendasi yang dibuat juga ada yang langsung memiliki relevansi dengan peraturan. “Seperti tadi kita dengar, poros maritim selama ini fokus lebih kepada infrastruktur fisik, pelabuhan, kapal, dan seterusnya. Nah, konferensi ini memperlihatkan bahwa budaya bahari bisa tumbuh bukan semata-mata karena ada segi-segi material, tapi juga nonmaterial,” ujarnya. Segi nonmaterial itu, menurut Hilmar Farid, penting untuk pengembangan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Misalnya, soal konektivitas bukan semata-mata hubungan yang dibentuk karena ada pelabuhan dan kapal, tapi adanya di pikiran dalam tingkat kesadaran. “Ketiga, kita selama ini berpikir bagaimana caranya menghidupkan budaya bahari di Indonesia. Ada banyak. Umumnya bersifat lebih memberikan pengetahuan melalui ceramah, buku,” ujarnya. Namun, dia melanjutkan, jika melihat isi makalah yang dihimpun dari KNS justru ada cara yang sifatnya lebih praktis, terutama dalam pendidikan yang bisa langsung dikembangkan. “Langsung konkret saja, anak-anak dilibatkan berlayar, bersentuhan dengan laut, kalau berhenti di tingkat pembicaraan saja cuma akan menjadi sebuah pengetahuan,” katanya. Namun, dalam kurikulum sejauh ini belum sampai harus ke tingkat revisi. Justru lebih penting bagaimana membuat bahan ajar menjadi lebih relevan dengan kehidupan siswa. “Kurikulum sifatnya sangat terbuka. Ada ruang cukup luas untuk mengembangkan pelajaran dengan tema bahari ini,” lanjutnya. Terlepas dari itu, Hilmar Farid menyadari hasil konferensi masih harus diperdalam dengan melanjutkan konferensi di tingkat regional. Dengan demikian, penentuan kawasan historis dapat dilakukan secara lebih cermat. “Ini ibaratnya baru puncak gunung es. Di bawahnya masih banyak. Unsur sejarah lokal harus kuat,” katanya.

bottom of page