Hasil pencarian
9591 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Jejak Permainan Congklak
Perempuan bermain dakon atau congklak, 1910. (KITLV). BU BEI menimang angannya kembali ke masa kanak-kanak. Ketika tengah gandrung bermain congklak dengan menggunakan biji sawo kecik, keasyikan itu terhenti. Ibunya berpikiran lain. “Kamu tidak pantas main congklak. Kamu sudah gede,” kata sang ibu yang ingin mempersiapkan anaknya menjadi seorang priyayi. Begitulah Arswendo Atmowiloto dalam novel Canting memotret kehidupan keluarga priayi Jawa. Salah satunya kebiasaan bermain congklak. Congklak atau dakon merupakan permainan tradisional yang populer di Jawa. Ia dimainkan segala umur, lelaki maupun perempuan. Menurut A.J. Resink-Wilkens dalam Het Dakonspel (Permainan Dakon), permainan dakon biasa dimainkan anak-anak perempuan dari kalangan bangsawan. Menurut James Dananjaya dalam Folklor Indonesia , permainan ini tersebar luas di Asia dan Afrika, yang terkena pengaruh kebudayaan Islam. Di Srilanka namanya canka , di Semenanjung Melayu disebut conkak , di Filipina cunkayon , dan di Afrika mankala . Sementara dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia , Dennys Lombard menyebut permainan ini sama dengan mangala yang terdapat di berbagai tempat lain di Samudera Hindia, Madagaskar, dan Turki, setidaknya sejak abad ke-17. Dakon, menurut Lombard, berasal dari kata daku atau saya , yang mengesankan penonjolan ego. Ia merupakan contoh terbaik dari permainan tradisional yang nonkompetitif. Tujuannya untuk menghibur melalui hubungan timbal-balik yang menenangkan daripada merangsang sebuah persaingan ilusi. Ketika orang Eropa memainkannya untuk kali pertama, dengan terkejut mereka menyadari bahwa permainan ini berbeda dari “dam-daman” (catur Jawa); tujuan permainan tersebut bukanlah untuk “menang.” “Peraturannya memang dibuat demikian rupa sehingga permainan dapat berlangsung berjam-jam dan hanya sekali-kali terhenti karena kekalahan (yaitu habisnya biji di dalam lubang tertentu) salah satu pemain,” tulis Lombard. Bukti arkeologis mengenai permainan ini ditemukan dalam ekskavasi di Panjunan, Banten, pada 1983 yakni berupa Bidak Congklak Terakota. Pada masanya situs ini merupakan pabrik tembikar. Bidak Congklak Terakota yang terbuat dari tanah liat tersebut kini menjadi koleksi Museum Nasional. “Artefak tanah liat yang dikategorikan sebagai kebutuhan sekunder antara lain berupa barang permainan seperti congklak… , ” tulis Heriyanti Ongkodharma dalam Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten 1522-1684 . Tinggalan arkeologis pada masa prasejarah (megalitikum) berupa batu monolit juga disebut batu dakon, mengambil sebutan dari bidak permainan dakon karena kemiripannya. Batu Dakon biasanya berdampingan dengan menhir. Menurut arkeolog Agus Aris Munandar, ada dua pandangan mengenai fungsi Batu Dakon. Kalangan ahli prasejarah beranggapan lubang di batu itu berfungsi sebagai altar sesajian seperti kembang-kembangan atau biji-bijian. Kalangan lainnya beranggapan fungsinya sebagai proyeksi peta bintang seperti di dataran tinggi India. “Apakah Batu Dakon punya pertalian dengan permainan dakon tentu harus dilakukan penelitian lebih lanjut,” katanya kepada Historia.*
- Pangkalan Militer Amerika di Filipina
Pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Subic, Filipina. ( subicbayliving.com ). PEMERINTAH Filipina dan Amerika Serikat menandatangani kesepakatan peningkatan kerja sama militer, 28 April 2014. Kerja sama ini muncul menyusul sengketa antara Filipina dan China terkait kepemilikan pulau karang di Laut Cina Selatan. Kesepakatan ini memungkinkan militer Amerika memiliki akses ke sejumlah pangkalan militer, pelabuhan, dan lapangan udara hingga sepuluh tahun ke depan. Namun, Amerika tak diperkenankan membangun pangkalan militer secara permanen. Kesepakatan ini menuai protes dari sebagian rakyat Filipina yang berdemonstrasi di kedutaan besar Amerika di Manila. Kehadiran militer Amerika di Filipina sudah lebih dari seabad. Pada 1898, setelah mengalahkan Spanyol, Amerika menguasai Filipina sesuai Perjanjian Paris. Rakyat Filipina di bawah Emilio Aguinaldo, yang memimpin perjuangan kemerdekaan FIlipina dari tangan Spanyol, melancarkan perlawanan hingga 1902. Tapi militer Amerika terlalu besar untuk dikalahkan. “Hal itu (kolonialisme Amerika di Filipina) berlangsung hingga Jepang menguasai Filipina dalam Perang Dunia II,” tulis Glenn P. Hastedt dalam Encyclopedia of American Foreign Policy . Amerika kembali menggenggam Filipina ketika Perang Dunia hampir berakhir. Tapi gerakan kemerdekaan rakyat Filipina tak pernah berhenti. Melalui Perjanjian Manila, Amerika akhirnya memberi kemerdekaan kepada Filipina pada 4 Juli 1946. Tapi cengkeraman Amerika terus berlanjut melalui Perjanjian Pangkalan Militer yang ditandatangani kedua negara pada 14 Maret 1947. Maka, Amerika pun membangun Pangkalan Angkatan Laut Teluk Subic dan Pangkalan Angkatan Udara Clark. Sebagai imbalannya, Amerika memberikan pelatihan dan peralatan militer terbatas kepada militer Filipina. Bagi Amerika, Filipina merupakan tembok terdepan di sebelah utara Asia Tenggara dari gempuran komunisme, terutama dari China. Apabila Filipina jatuh ke tangan komunis, menurut teori domino yang dianut Amerika, wilayah-wilayah di selatannya bakal mengikuti. Filipina juga merupakan garis pelindung Amerika di Pasifik dari serangan negara lain. Peran yang tak kalah penting adalah sebagai penjamin kepentingan ekonomi Amerika. Sejak awal, tentangan muncul. Senator Tomas Confesor, misalnya, mengecam perjanjian pangkalan militer dengan Amerika karena tak memberi banyak maslahat buat rakyat Filipina. “Kita berada dalam orbit ekspansi imperium Amerika. Imperialisme belum mati,” ujarnya, sebagaimana disitir Stephen R. Shalom, profesor ilmu politik dari William Paterson University, New Jersey, Amerika Serikat, dalam “Securing the US-Philippine Military Bases Agreement of 1947”, dimuat wpunj.edu . Namun kuatnya kaki tangan Amerika di jajaran elite pemerintahan Filipina, terutama semasa pemerintahan Ferdinand Marcos, membuat upaya penghapusan pangkalan militer Amerika seolah berjalan di tempat. Baru setelah Presiden Qorazon Aquino naik ke tampuk kekuasaan pada 1986, upaya tersebut mendapat angin segar. Kaum kiri menjadi penggerak utamanya. Pada 1991, melalui voting, Senat sepakat menutup Pangkalan Angkatan Laut Teluk Subic dan Pangkalan Angkatan Udara Clark.*
- Pemain Biola Legendaris Berpulang
IDRIS Sardi wafat pagi tadi sekira pukul 07.30 WIB di rumah sakit Meilia Cibubur, Depok. Pemain biola terbaik Indonesia itu menderita sakit lambung sejak Desember 2013. Almarhum dimakamkan di TPU Menteng Pulo, Jakarta. Kalangan musisi menyebutnya maestro, meski yang bersangkutan enggan kata “maestro” itu dialamatkan padanya. Perlambang kerendahan hati. “Dia termasuk orang pertama di Indonesia yang menggarap musik orkestra,” kata pengamat musik Bens Leo kepada Historia . Dan ternyata, Idris Sardi-lah yang menularkan semangat bermusik kepada Addie MS, pemimpin Twilite Orchestra. “Setelah mendapat bekal dari Idris Sardi, Addie memberanikan diri terbang ke Amerika untuk belajar musik. Kursus singkat delapan bulan. Dan jadilah Addie MS yang sekarang. Idris Sardi itu gurunya Addie MS,” ujar Bens Leo. Ayah aktor Lukman Sardi itu tak hanya piawai memainkan tangga nada. Dia juga pandai bercerita dan melawak. Bila para musisi berkumpul, Idris selalu tampil dengan ceritanya. “Ceritanya ada saja. Tak ada habis-habisnya. Dia pandai membuat suasana menjadi ceria,” ujar Theodore KS, sahabat Idris Sardi, kepada Historia . “Orangnya lucu. Suka bercanda. Tapi kalau sudah bicara musik, dia serius.” Pria yang kerap berkain sarung itu lahir di Batavia, 7 Juni 1938. Ayahnya, Pak Sardi, seorang pemain biola di studio Radio Republik Indonesia ( RRI ) sekaligus pembuat ilustrasi musik untuk film. Dari ayahnya inilah Idris mengenal biola. “Saya sering disuruh bangun pagi oleh ayah. Lalu berlatih biola. Waktu itu umur saya 6 tahun,” Idris mengurai lakon hidupnya kepada Historia dalam wawancara di studio Musica, Pancoran, Jakarta Selatan, 18 April 2012. Melihat keseriusan Idris, ayahnya menyerahkan Idris berguru kepada dua pemain biola asal Hongaria, Frank Sabo dan Hendrik Tordasi. “Ayah menyuruh saya ke tempat mereka jalan kaki.” Pada 1953, ayahnya meninggal dunia. Idris yang kala itu berusia 16 tahun menjadi tulang punggung keluarga. Dia menerima tawaran RRI menggantikan posisi ayahnya sebagai pemain biola. Di RRI , Idris berkenalan dengan Bing Slamet. “Kami sering berdiskusi soal musik. Bahkan di atas becak,” kata Idris. Bersama Bing Slamet, Idris membentuk Eka Sapta pada 1963. Mereka mengajak sejumlah musisi seperti Ireng Maulana (gitar pengiring), Itje Kumaunang (gitar melodi), Benny Mustafa (drum), Darmono ( vibraphone ), dan Kamid alias Mulyono (konga). Latar belakangnya dari jazz hingga keroncong. Presiden Sukarno pernah mengundang Eka Sapta main di Istana Bogor. Kelompok ini kerap mengiringi penyanyi terkenal masa itu. Satu di antaranya Ernie Djohan. Kelompok musik ini berhasil mendirikan studio rekaman sendiri, Metropolitan, pada 1970. Usai itu, mereka jalan sendiri-sendiri tanpa menyatakan bubar. Idris meneruskan lakon ayahnya sebagai pembuat ilustrasi musik film. Alhasil, sederet Piala Citra memenuhi rumahnya. “Di Indonesia, barangkali, barulah Idris Sardi yang benar-benar dapat kita kategorikan sebagai komposer musik film yang sebenarnya,” tulis Suka Harjana, “Musik Film Belum Dianggap Penting” termuat dalam Musik antara Kritik dan Apresiasi.
- Kisah Partai Pohon Kelapa
Kampanye Partai Rakyat Indonesia pada Pemilu 1955. (Repro Bung Tomo Suamiku ). SIAPA tak kenal Sutomo alias Bung Tomo? Dia dikenang dengan aksi heroiknya dalam Pertempuran Surabaya, 10 November 1945. Setelah Indonesia merdeka, dia tertarik mendirikan partai politik. Maka, pada 20 Mei 1950, berdirilah Partai Rakyat Indonesia (PRI). Kantor pusatnya di Jalan Gondangdia Lama 18 Jakarta. Menurut Sulistina Soetomo, istri Bung Tomo, PRI adalah perubahan wajah dari Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI), yang didirikan dan dipimpin Bung Tomo selama masa revolusi. “Inilah satu-satunya partai di saat itu yang berlandaskan Pancasila. Lambangnya adalah pohon kelapa,” ujarnya dalam Bung Tomo Suamiku . Sejarawan AB Lapian menyebut, PRI didirikan karena adanya pertentangan di antara berbagai kepercayaan agama, aliran golongan, dan gejala-gejala lain yang membahayakan keselamatan rakyat dan negara. “Dengan maksud menghentikan gejala-gejala tersebut, maka para pejuang ‘45 menyatukan diri dalam suatu organisasi yang diberi nama Partai Rakyat Indonesia (PRI). PRI berdasarkan Pancasila dan bertujuan mempertahankan dan menegakkan kedaulatan negara kesatuan RI,” tulis Lapian dalam Terminologi Sejarah 1945-1950 & 1950-1959 . Untuk membesarkan partai, Bung Tomo kerap bolak-balik Malang-Jakarta. “Bung Tomo sibuk bukan main dengan partainya. Jarang di rumah,” kata Sulistina. Dalam Menembus Kabut Gelap: Bung Tomo Menggugat , Bung Tomo mengklaim partainya mendapat sambutan hangat dari rakyat. “Dalam waktu singkat kita berkembang di seluruh Indonesia. Dari Sumatera sampai ke Bandaneira (Maluku). Cabang-cabangnya tumbuh dengan pesatnya, beribu-ribu ranting timbul secara spontan.” Ketika Kabinet Burhanuddin Harahap (Agustus 1955-Maret 1956) terbentuk, Bung Tomo ditunjuk sebagai menteri negara. Kabinet Burhanuddin merupakan kabinet koalisi dari berbagai partai. Namun karena wakil dari Masyumi mendominasi, banyak yang menyebutnya sebagai Kabinet Masyumi. Keikutsertaan PRI dalam Kabinet Burhanuddin malah merugikan. Ia kerap mendapat serangan dari partai oposisi: PNI dan PKI. Dampaknya terasa di Bali. Made Geria dan Oka Dewangkara, pemuka PRI, memperhitungkan Bali akan menyumbang tiga kursi untuk DPR. Namun, PNI dan PKI menebar kampanye negatif bahwa Bung Tomo sudah dipimpin orang Masyumi dan hendak mengislamkan rakyat Bali. “Rakyat yang semula sudah berketetapan untuk memilih ‘pohon kelapa’ ternyata lalu meninggalkannya,” kata Bung Tomo. Pada pemilu parlemen 1955, PRI meraih suara 206.161 (0,55%) dan hanya berhak atas dua kursi di DPR –salah satunya untuk Bung Tomo. Dalam pemilihan anggota Konstituante, PRI meraih suara 134.011 (0,35%) dan beroleh dua kursi untuk Purboningrat dan Basuki Resobowo. Dalam evaluasinya, Bung Tomo menyebut beberapa faktor penyebab kegagalan partainya: anasir-anasir infiltrasi yang menggerogoti partai, kawan-kawan seperjuangan yang tak bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan kepartaian dan perkembangan masyarakat, tidak adanya “organisasi-organisasi imbangan” (organisasi sayap), tidak adanya pendidikan kader, dan tidak adanya alat-alat penerangan partai (corong partai seperti media massa). Daya hidup PRI kian melemah setelah Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. UUD 1945 diberlakukan kembali. DPR dan Konstituante dibubarkan, dan sebagai gantinya dibentuklah MPRS dan DPR Gotong Royong, yang anggotanya ditunjuk atau ditetapkan presiden. PRI tidak dilibatkan dalam DPR Gotong Royong. Bung Tomo pun menggugat Presiden Sukarno ke Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta pada 24 Agustus 1960. Hakim Rochjani Su’ud memutuskan pembubaran DPR oleh Presiden Sukarno itu merupakan soal politik, sehingga gugatan Bung Tomo ditolak. Setelah Dekrit Presiden, muncul pula aturan baru kepartaian. Tak semua partai bisa meneruskan kegiatannya; hanya partai-partai yang disahkan presiden setelah memenuhi syarat-syarat tertentu. PRI termasuk partai yang tak diakui, sehingga tulis Lapian, “PRI hilang dari gelanggang partai politik.” Tamatlah riwayat partai berlambang pohon kelapa.*
- Gaya Rambut Sapu
Gaya rambut pria Thai pertengahan abad ke-19 sebagaimana dipakai oleh para petinggi. Gaya rambut kaum wanita Thai ditunjukkan oleh ratu King Mongkut (Raja Siam) dari dinasti Chakri abad ke-18. (Repro Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 ). INILAH tren gaya rambut pria tahun 2014: tipis di bagian samping namun membiarkan lebat di bagian tengah dan menyisirnya ke belakang menjauhi muka. Gaya klasik ini disebut Pompadour, merujuk Madame de Pompadour, selir King Louis XV. Meski ada banyak variasi gaya ini, konsep dasarnya sama: rambut menyapu ke atas menjauhi wajah, terkadang bagian sisi dan belakang juga disisir ke atas. Pernah tren di kalangan perempuan modis pada abad ke-18, gaya ini dihidupkan kembali sebagai bagian dari tampilan Gibson Girl –istilah untuk kecantikan ideal seorang perempuan– pada 1890 dan terus bertahan sampai Perang Dunia I. Gaya ini sekali lagi menjadi mode bagi perempuan pada 1940-an. Versi pria dipopulerkan bintang rock and roll Elvis Presley pada akhir 1950-an. Variasi gaya ini terus dipakai lelaki dan perempuan pada abad ke-21. Gaya rambut Pompadour dikenal lebih awal di Siam (Thailand) dan Kamboja. Sejarawan Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 , menyebutnya gaya rambut “sapu”: memotong rambut sekira tiga sentimeter dan mencukur rata kedua sisi pelipis. Orang Siam memakai gaya ini karena pengaruh Khmer. Orang Siam lalu memberi pengaruh kepada orang Kamboja. Ada beberapa cerita di balik gaya rambut sapu. Di Siam, Chiengmai Chronical , kronik kerajaan Chiengmai , menyebutkan pada abad ke-15 seorang mata-mata Chiengmai harus memotong pendek rambutnya agar tak menarik perhatian orang di Kerajaan Ayutthaya. Sebuah hikayat Melayu merujuk gaya rambut sapu perempuan dengan seorang raja Siam yang marah besar karena menemukan sehelai rambut panjang di nasinya. Cerita lainnya menyebut gaya rambut sapu perempuan di Siam dipakai untuk menipu orang Birma (sekarang Myanmar) yang menyerang supaya beranggapan bahwa kaum wanita di garis belakang pertempuran adalah juga serdadu pria. Anthony Reid menyimpulkan, rambut pendek model sapu pada mulanya dipaksakan penguasa Siam kepada orang Kamboja dan Thai sebagai tanda kerendahan status; yang kemudian mereka menjadi penduduk Siam pada 1590-an. Asosiasi rambut pendek dengan status budak masih berlaku di Birma sekira 1700. “Raja-raja Siam berikutnya agaknya telah menerima gaya itu sebagai ‘gaya nasional’,” tulis Reid. “Gaya sapu khas ini digemari di kedua negeri (Kamboja dan Siam) sampai abad ke-19.”*
- Lagu-lagu Pemilu
Kiri-kanan: Ismail Marzuki, Mochtar Embut, dan Nortier Simanungkalit. MENJELANG pemilu pertama tahun 1955 diadakan sayembara lagu pemilu. Pemenangnya adalah lagu “Pemilihan Umum” hasil karya bersama Marius Ramis Dajoh (penulis lirik), Ismail Marzuki (melodi dan aransemen), dan GWR Tjok Sinsu (penggubah). “Setelah dilakukan penyesuaian di sana-sini, lagu tersebut diumumkan secara resmi sebagai lagu pemilihan umum pada 11 April 1953 di Studio RRI Jakarta,” tulis Teguh Esha dalam Ismail Marzuki: Musik, Tanah Air, dan Cinta. Liriknya: Pemilihan Umum/Kesana beramai/Marilah, marilah saudara-saudara/Memilih bersama para wakil kita/Menurut pilihan, bebas rahasia/Itu hak semua warga senegara/Njusun kehidupan adil sedjahtera. Selain lagu tersebut, menurut Firman Lubis dalam Jakarta 1950-an Kenangan Semasa Remaja , waktu itu populer pula sebuah lagu yang iramanya diambil dari soundtrack film Anna yang dinyanyikan Silvana Mangano namun liriknya diganti dengan tema pemilu. Anak-anak suka menyanyikannya. “Yang masih saya ingat baitnya ialah Bulan bintang Masyumi/Palu arit PKI/Kepala banteng itu adalah PNI...dst, ” kata Firman Lubis. Pada pemilu kedua atau pemilu pertama di masa Orde Baru pada 1971, Mochtar Embut, komponis dan penulis lagu, membuat lagu “Pemilihan Umum” baru. Lagu ini kerap diputar menjelang dan sesudah siaran berita RRI . Liriknya: Pemilihan umum telah memanggil kita/Sluruh rakyat menyambut gembira/Hak demokrasi Pancasila/Hikmah Indonesia merdeka/Pilihlah wakilmu yang dapat dipercaya/Pengemban ampera yang setia/Di bawah Undang-Undang Dasar ’45/Kita menuju ke pemilihan umum. Lagu tersebut meraih penghargaan dari Departemen Dalam Negeri, dan digunakan selama enam kali pemilu di masa Orde Baru. Baru pada pemilu 1999, lagu itu diganti. Menurut majalah Gamma , Vol. 1, 1999, komponis dan penulis lagu Nortier Simanungkalit, diminta Lembaga Pemilihan Umum untuk menggubah lagu pemilu yang baru sebagai pengganti lagu karya Mochtar Embut. “Tawaran itu saya terima, karena saya yakin pemilu merupakan jalan keluar terbaik dari semua problem kita sekarang,” kata Simanungkalit. Apalagi, dia menganggap syair yang ditulis Embut, seperti Pemilihan umum telah memangggil kita/Sluruh rakyat menyambut gembira , terlalu sloganistis. Dia pun menuliskan lirik baru yang lebih tegas, seperti Pilih wakil dalam MPR dan DPR/D pusat dan daerah . “Dan yang paling pokok, jangan ada lagi tipu-menipu seperti dulu,” kata mantan anggota MPR periode 1987-1992 itu. Kendati diberi waktu sebulan untuk merampungkan lagu baru, hanya dalam waktu sepekan Simanungkalit menyelesaikan lagunya berjudul “Mars Pemilihan Umum” dengan aransemen Vicky Sianipar. Lagu ini kemudian dipakai sebagai mars untuk empat kali pemilu di era Reformasi (1999, 2004, 2009, dan 2014). Liriknya: Pemilihan umum kini menyapa kita/Ayo songsong dengan gempita/Kita pilih wakil rakyat anggota DPD, DPR dan DPRD/Mari mengamalkan Pancasila/Undang-Undang Dasar ‘45. Memilih presiden dan wakil presiden/Tegakkan reformasi Indonesia/Laksanakan dengan jujur adil dan cermat/Pilih dengan hati gembira/Langsung umum bebas rahasia/Dirahmati Tuhan Yang Maha Esa.*
- Partai Islam ala Bung Hatta
Mohammad Hatta, proklamator dan wakil presiden pertama Republik Indonesia. SEJAK mengundurkan diri sebagai wakil presiden, Mohammad Hatta menjadi warga negara biasa dan menjadi tumpuan bagi berbagai kalangan yang menginginkan demokrasi, kebebasan, dan hak berpolitik. Terlebih Presiden Sukarno semakin berkuasa dengan Demokrasi Terpimpin. Pada masa itu, Bung Hatta kerap mengadakan pertemuan dengan para pemuda dari organisasi Islam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pelajar Islam Indonesia (PII), Gerakan Pemuda Islam Indonesia, Partai Syarikat Islam Indonesia, dan Nahdlatul Ulama. Dari sekian hal yang dirundingkan, tercetus ide mendirikan partai politik Islam. Menurut Deliar Noer, mantan Ketua Umum Pengurus Besar HMI (1953-1955) yang rutin menghadiri pertemuan itu, Bung Hatta membenarkan perlunya partai Islam yang akan memberi contoh penerapan ajaran Islam dalam berpolitik. “Maka disepakatilah secara bersama-sama rancangan anggaran dasar Partai Demokrasi Islam Indonesia, disingkat PDII,” tulis Deliar Noer, “Hatta dan Partai Islam,” dimuat dalam Mengapa Partai Islam Kalah? Rancangan anggaran dasarnya disusun Bung Hatta dengan usulan dari para pemuda. Setelah disusun, konsep itu dibicarakan bersama lagi dengan yang lain. Ini dilakukan berkali-kali. Dalam Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, Jan S. Aritonang mencatat bahwa ide pendirian PDII berasal dari desakan para tokoh HMI dan PII kepada Bung Hatta untuk mendirikan suatu partai politik bercorak Islam. “Ini terjadi hanya beberapa minggu setelah meletusnya G30S/PKI,” tulis Aritonang. “Mohammad Hatta setuju, namun meminta mereka tidak terburu-buru sebelum dimulainya pembentukan kader.” Pada 11 Januari 1967, Bung Hatta mengirim surat kepada Jenderal Soeharto tentang niatnya mendirikan PDII. Dalam surat balasan tanggal 17 Mei 1967, pemerintah Orde Baru tidak memberikan izin pendirian PDII. “Presiden Soeharto menjelaskan kepada saya waktu itu, bahwa walaupun maksudnya baik, tetapi MPRS telah memutuskan penyederhanaan kepartaian di Indonesia, dan karena itu tidak dapat menyetujui pembentukan partai baru itu. Bagi kita tentunya tidak lain harus menerima keputusan itu,” kata Bung Hatta dalam Bung Hatta Menjawab . Padahal, persiapan pembukaan cabang PDII sudah dilakukan di Sumatra Utara, Sumatra Barat, Palembang, Sulawesi Selatan ,dan di kota-kota di Jawa. Beberapa tokoh Islam di Jakarta, seperti KH Abdullah Syafei dan Ustadz Jamalulail menyatakan siap bergabung dengan PDII. Pemimpin dan kader-kader HMI, seperti Deliar Noer, Sulastomo, Norman Razak, dan Ismail Hasan Matareum, memilih bergabung dengan PDII karena “PDII telah mencita-citakan dirinya sebagai partai kader. Sehingga sesungguhnya lebih sesuai dengan cita-cita HMI,” tulis Sulastomo, Ketua Umum HMI 1960-1966, dalam Transisi Orde Lama ke Orde Baru. Sementara itu, pemerintah Orde Baru kemudian mengizinkan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), partai Islam yang diinisiasi eks Masyumi. Pada 1980, Deliar Noer bersama Nurcholish Madjid berada di Chicago, Amerika Serikat. Suatu waktu, sambil menikmati pemandangan kota itu, Cak Nur berujar, “Kalau sekiranya Partai Demokrasi Islam Indonesia yang dipimpin Hatta jadi berdiri, keadaan di Tanah Air agaknya tidak separah yang kita hadapi.”*
- Semangat Laskar Kere
Ignatius Slamet Rijadi (kiri) dan Achmadi Hadisoemarto (kanan), komandan Laskar Kere. KETIKA menjadi juru kampanye Partai Demokrat di Magelang Jawa Tengah (16/3), ibu Ani Yudhoyono bertanya kepada massa, “ Dadi sopo sing kere (jadi siapa yang sengsara)?” Anak-anak muda teriak serentak, “Saya...!” “Jangan begitu, nanti Allah marah,” kata ibu Ani. Para masa awal revolusi tahun 1945, sejumlah pelajar dan pemuda pejuang Solo dengan bangga menggunakan kata “kere” untuk kesatuannya: Laskar Kere. Mereka berasal dari Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Tinggi, Sekolah Guru Atas, dan Sekolah Teknik. Mereka terjun ke berbagai front melawan tentara Inggris (Gurkha) antara Solo dan Semarang seperti Salatiga, Bawen, Banyubiru, dan Ambarawa. Menurut buku Peranan Pelajar dalam Perang Kemerdekaan , setelah pertempuran di Susukan, kecamatan di Kabupaten Semarang, pasukan pelajar menggunakan nama Laskar Kere di bawah pimpinan Achmadi. Laskar Kere memperoleh perlengkapan keyker (keker) dengan tugas sebagai penyelidik di jembatan Sungai Tuntang. Laskar Kere yang merasa terjepit bergerak mundur sambil melepaskan tembakan mendekati jembatan. Ternyata Tuntang telah ditutup Tentara Keamanan Rakyat. Laskar Kere yang berseragam tentara Jepang oleh TKR dikira pasukan musuh, sehingga mereka disambut dengan tembakan senapan mesin. Laskar Kere menjadi panik dan berlindung dalam air serta berenang ke seberang sungai. Mereka selamat sampai di seberang sungai tanpa ada seorang pun yang luka atau gugur. Ketika ditanya oleh tentara TKR, “Saudara ini laskar apa?” “Laskar Kere, Pak,” salah seorang menjawab dengan bangga. Tentara itu kemudian diantar ke komandan Laskar Kere, Achmadi. “Kita kan Laskar Kere, Pak, melarat, tetapi tidak kalah semangat,” kata Achmadi. Laskar Kere melanjutkan perjuangan. Setelah terjadi pertempuran disertai tembakan kanon di Desa Langensari, pasukan Inggris mundur ke Jatingaleh. Laskar Kere terus maju sampai Pundakpayung. Setelah bermarkas beberapa hari di Ungaran, Laskar Kere ditarik kembali ke Solo lewat Mranggen, Semarang Timur. Kedudukannya kemudian digantikan pasukan dari Divisi Mataram. Demikian juga pasukan-pasukan pelajar lainnya ditarik kembali ke Solo. “Hal demikian sesuai dengan anjuran Presiden Sukarno kepada para pelajar pejuang untuk kembali ke bangku sekolah dengan tidak melupakan dharma baktinya untuk melakukan tugas-tugas tempur,” tulis Peranan Pelajar dalam Perang Kemerdekaan. Komandan Laskar Kere, Achmadi Hadisoemarto, lahir 5 Juni 1927 di Ngarambe Jawa Timur. Di usia 14 tahun, dia pindah ke Solo. Dia memimpin Laskar Kere di usia 18 tahun. Pada 1948, Sukarno memberinya pangkat mayor dan diangkat menjadi Komandan Batalion 2 pada KRO (Kesatoean Reserve Oemoem) TNI. Setelah reorganisasi militer, dia menjadi komandan Detasemen II Brigade XVII TNI merangkap komandan Komando Militer Kota (KMK) Solo dan komandan Batalion Pelajar Brigade V KRU . Dia memimpin Serangan Umum Empat Hari di Solo (7-10 Agustus 1949) yang cukup berhasil memukul pasukan Belanda. Mayor Jenderal Achmadi kemudian menjabat menteri penerangan Kabinet Dwikora yang Disempurnakan (Februari-Maret 1966). Dia ditahan penguasa Orde Baru selama sepuluh tahun. Dia meninggal pada 2 Januari 1984 dan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Tanah Kusir Jakarta. Sebagai bentuk penghargaan atas perjuangannya, pemerintah Kota Solo membangun Patung Mayor Achmadi yang diresmikan pada 7 Agustus 2010 –bertepatan dengan peristiwa Serangan Umum Empat Hari di Solo.*
- Dari dan Untuk Apa Dana Partai
Kampanye Partai Masyumi di Rawa Badak, Tanjung Priok, Jakarta, 27 Maret 1955. (Perpusas RI). DUABELAS partai politik melaporkan dana kampanye kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 2 Maret lalu. Jumlah tertinggi mencapai ratusan milyar. Percaya atau tidak, dalam pemilu 1955 besarnya dana yang dikeluarkan tidak selalu signifikan dengan perolehan suara. Dalam menghadapi pemilu, partai-partai membutuhkan dana besar. Dana itu berasal dari iuran anggota, sumbangan, bahkan hasil korupsi segelintir kader partai. Tak heran jika laporan dana kampanye ke KPU bisa jauh lebih rendah dari yang sebenarnya. Pada pemilu 1955, tulis Herbert Feith, meski mustahil mengetahui anggaran partai, pengamatan umum tetap bisa dicoba. Kita bisa mengatakan, misalnya, Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Masyumi mengeluarkan banyak uang, sedangkan Nahdlatul Ulama (NU) tidak banyak. Korupsi di kementerian untuk mengumpulkan dana kampanye partai dipraktikkan besar-besaran pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo. “Dalam hal ini PNI yang paling banyak mendapatkan keuntungan karena partai ini memegang portofolio Keuangan dan Ekonomi serta jabatan perdana menteri dalam Kabinet Ali,” tulis Feith dalam Pemilihan Umum 1955 di Indonesia. Selain itu, PNI punya sumber dana tambahan, yang terpenting sumbangan dari pengusaha bumiputera maupun Tionghoa. Dengan dana yang besar, PNI bisa membayar tokoh-tokoh berpengaruh seperti camat, lurah, mandor (pengawas buruh perkebunan atau pabrik), dan jagoan agar menggunakan pengaruhnya untuk kepentingan partai. Dalam The Communist Party of Indonesia: 1951-1963, Donald Hindley menguraikan bahwa PKI adalah partai terkaya di Indonesia. PKI mampu memperkerjakan dan menggaji pegawai penuh waktu, menerbitkan literatur, dan berkampanye lebih mahal dari partai-partai lain. PKI memang tidak dapat memanfaatkan sumber dana langsung maupun tidak langsung dari pemerintah seperti PNI. Sumber dana PKI berasal dari iuran anggota, iuran anggota organisasi massa, sumbangan, kampanye khusus penggalangan dana, dan perwakilan yang menjadi anggota badan-badan pemerintahan. Menurut Feith, asal-usul dana PKI diperdebatkan. Kendati iuran anggota dan sumbangan kecil berperan penting dalam pembiayaan partai itu, orang menduga PKI memperoleh dana jauh lebih banyak dari sumber-sumber lain; dari pengusaha Tionghoa hingga negara-negara komunis melalui kedutaan dan kantor perwakilan mereka di Jakarta. Pesaing PKI dalam penggunaan dana kampanye adalah Masyumi. Bagian terbesar dari dana Masyumi berasal dari sumbangan tuan tanah, pemilik kebun karet, dan pengusaha batik. PKI dan Masyumi mengeluarkan dana besar untuk membuat papan peraga tanda gambar dari bahan seng seharga Rp14 ($1,25) per lembar, mencetak pamflet, dan membiayai perjalanan keliling pemimpin mereka. PKI mengeluarkan dana besar untuk karnaval perayaan ulangtahun partai dan pesta rakyat. Masyumi menyiapkan peralatan lengkap dan pemutaran film untuk rapat umum. Berbagai perlengkapan dan materi kampanye Masyumi dipasok Badan Informasi AS (USIS) –di Amerika disebut USIA, agensi pemerintah yang didirikan pada 1953. Selain itu, tulis Tim Weiner dalam Membongkar Kegagalan CIA , Masyumi mendapatkan dana sekitar $1 juta dolar AS dari Badan Intelijen AS (CIA). Tujuannya, seperti diungkap mantan agen CIA Joseph Burkholder Smith dalam Portrait of a Cold Warrior, Masyumi merupakan kekuatan-tanding ( counterforce ) Indonesia untuk menghentikan kecenderungan Sukarno dan para pendukung politisnya yang condong ke kiri, menuju suatu pemerintahan otoriter yang didukung PKI. Masyumi, yang digadang-gadang bakal memenangi pemilu 1955, gagal karena kehilangan suara dari segmen muslim tradisional yang direbut NU. Feith tidak dapat menarik kesimpulan mengenai peranan uang dalam merebut suara. Namun, satu-satunya kesimpulan, setelah memperhitungkan betapa miskinnya NU namun sukses membuat kejutan dalam pemilu 1955, adalah bahwa sumber dana kurang penting dibandingkan sumberdaya sosial, dan penggunaan dana hanya bisa efektif jika dikaitkan dengan sumberdaya sosial.*
- Sukarno-Hatta dan Kucingnya
Kucing. (Micha Rainer Pali/Historia.ID). KUCING merupakan hewan yang banyak dipelihara. Nabi Muhammad Saw. menyukai dan menyayangi kucing. Sahabatnya, yang setelah masuk Islam bernama Abdul Rahman, lebih dikenal sebagai Abu Hurairah, artinya "bapak kucing", karena menyayangi kucing dan sering bermain-main dengannya. Karena itu, Islam melarang menyakiti kucing. Proklamator kemerdekaan Indonesia, Sukarno dan Mohammad Hatta, juga menyayangi dan memelihara kucing. Ketika diasingkan di Ende Flores, Sukarno memiliki sekelompok "sahabat" khusus, yakni kera dan kucing. Menurut Jae Bara, pengawal Sukarno selama di Ende dalam Bung Karno: Ilham dari Flores untuk Nusantara , " jumlahnya 35 ekor kucing. Kucing-kucing itu begitu dekat dengan Bung Karno. Kucing-kucing itu tidak pernah berkeliaran ke mana-mana. Walaupun sedemikian banyaknya, kucing-kucing tersebut tidak pernah ribut. Semuanya hidup bersama secara aman di atas loteng rumah Bung Karno." "Bung Karno sering memberi mereka makan. Pada waktu makan, kucing-kucing itu pun tidak pernah berebutan. Mereka tetap tinggal diam di tempat masing-masing menunggu Bung Karno memanggil nama-nama mereka satu demi satu. Ada yang diberi nama Wellem, Joko, Tuty, Api dan sebagainya, oleh Bung Karno." Begitu pula ketika Sukarno dipindahkan ke Bengkulu. Menurut A.M. Hanafi, Duta Besar Indonesia untuk Kuba pada 1965, Inggit memelihara seekor kucing; mending kucing anggora yang bulunya halus-bagus, ini kucing kampung yang lepas tak punya tuan. "Kucing itu dipungut dan dipelihara, saya mengetahui hal itu ketika sama-sama di Bengkulu," kata Hanafi dalam AM Hanafi Menggugat. " Nah, Bung Karno suka juga mengelus-ngelusnya, karena kucing itu suka menunggu di dekat Bung Karno kalau Bung Karno habis sembahyang." Selain kucing, Sukarno memelihara anjing. Ketika Rachmawati melihat seekor pekingnese putih tengah mengibas-kibaskan ekor di dekat kaki ibunya, Fatmawati, dia berkata: "Sepertinya Rachma menyayangi anjing, Bu." "Anjing dan kucing," kata Fatmawati dalam Suka Duka Fatmawati Sukarno karya Kadjat Adra’i. Rachmawati, anak ketiga Sukarno dan Fatmawati, kemudian memelihara kucing kesayangannya jenis anggora. Waktu diasingkan ke Banda Naira, Bung Hatta memelihara banyak kucing. "Oom Kaca Mata memelihara beberapa ekor kucing berwarna harimau di rumah barunya. Beliau memang seorang penyayang kucing. Semua kucing peliharaannya adalah kucing jantan,” kata Des Alwi dalam Bersama Hatta, Sjahrir, dr. Tjipto & Iwa R. Sumantri di Banda Naira. Anehnya, Bung Hatta menamai kucing-kucing itu dengan nama diktator yang dibencinya: Hitler, Mussolini, Franco, dan Turky. Mungkin setelah dia gemas membaca ulasan berita politik luar negeri, misalnya, kucing yang kulitnya mirip macan diberi nama Hitler, sedangkan kucingnya yang putih belang-belang hitam diberi nama Tito. Di rumahnya di Jakarta, Bung Hatta mempunyai banyak kucing sedangkan di Megamendung memelihara kucing, kelinci, dan ikan. Kucing kesayangannya bernama Jonkheer (gelar bangsawan pada masyarakat Belanda), dan ikan kesayangannya bernama Si Rabun sebab matanya memang rabun. "Ayah senantiasa memberi contoh pada kami dalam mencintai binatang," kata Gemala Rabi’ah Hatta, anak kedua Bung Hatta, dalam Pribadi Manusia Hatta. Bung Hatta senantiasa memperhatikan kucing-kucingnya; memberi makan dengan daging yang dipotong kecil-kecil; membagi porsi makanan dengan adil; serta menjentik kucing besar yang rakus dan berusaha menghabiskan porsi kawannya. "Dalam hal ketertiban ini Ayah memandang Jonkheer sebagai kucing yang tahu berdisiplin," kata Gemala. Bila sedang keluar rumah, Jonkheer menunggunya pada saat kira-kira Bung Hatta akan kembali ke rumah. Ia juga tahu jadwal kegiatan Bung Hatta; kapan mandi atau ke ruang perpustakaan. Waktu Bung Hatta sakit, ia tidak suka makan dan mengeong-ngeong di muka kamar seakan ikut merasakan sakit tuannya. "Ayah tidak suka dengan anjing dan kami tidak pernah memeliharanya," kata Gemala. "Meskipun anjing adalah binatang najis menurut agama Islam, ayah tidak suka pada orang yang menganiaya binatang."
- Rahasia Dini
Ken Zuraida, istri WS Rendra, dengan latar belakang Nh Dini. Sebuah catatan yang dipamerkan menunjukan kedekatan Dini dengan Rendra. (Wenri Wanhar/Historia.ID). NH DINI tersipu-sipu mendengar cerita Ken Zuraida, istri terakhir penyair WS Rendra yang berjuluk Si Burung Merak. “Hingga akhir hayat, Rendra masih sering sebut-sebut nama Nh Dini,” kata Ken dalam acara puncak Apresiasi & Peluncuran Karya Nh Dini di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, 28 Februari 2014. Bernama lengkap Nurhayati Sri Hardini, lahir di Semarang 29 Februari 1939. Dia mulai mengarang sejak kelas dua SMP pada 1951. Karya perdananya, “Pendurhaka” dimuat di majalah Kisah , dan mendapat perhatian dari sastrawan HB Jassin. Sedangkan kumpulan cerita pendeknya, Dua Dunia diterbitkan ketika dia duduk di SMA pada 1956. Dini seorang pengarang produktif yang melahirkan puluhan novel, cerita pendek, novelet, biografi, dan terjemahan. Karena dedikasinya terhadap dunia sastra, dia diganjar berbagai penghargaan di antaranya Hadiah Seni untuk Sastra dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1989), Bhakti Upapradana (Bidang Sastra) dari pemerintah daerah Jawa Tengah (1991), SEA Write Award dari pemerintah Thailand (2003), Hadiah Francophonie (2008), dan Achmad Bakrie Award bidang Sastra (2011). Ken mengungkap kedekatan hubungan suaminya dengan Dini semasa muda. “Tenang, Bu Dini. Tidak akan saya ceritakan di sini,” kata Ken. Hadirin yang memenuhi ruangan sontak tertawa. Rendra memang dekat dengan Dini. Bahkan di ruang pameran karya-karya Dini dipajang foto dan puisi Rendra untuk Dini. Di bawahnya diberi keterangan: “WS Rendra merupakan salah satu sastrawan yang dekat dan sering berinteraksi dengan Nh Dini. Beberapa surat sangat intim dan erat.” Karya-karya Dini sering dijadikan bahan latihan di Bengkel Teater milik Rendra. “Kata Rendra, naskah Bu Dini kuat sekali. Dijadikan bahan latihan karena, salah membacakannya, maka salah artinya,” ujar Ken. Mengakhiri ceritanya, Ken merasa heran mengapa diberi kesempatan berbicara di forum yang dihadiri nama-nama besar di jagat sastra Indonesia itu. “Saya tidak sehebat Bu Dini. Tidak juga kenal dekat, meski saya sudah sering dengar nama Nh Dini waktu remaja,” kata Ken. “Barangkali saya diminta bicara di sini karena saya istri Rendra yang paling lama.” Selain dengan Rendra, Dini juga dekat dengan sastrawan Sutan Takdir Alisjahbana. “Takdir itu bagi saya seperti Mochtar Lubis, melindungi dan menganggap anak,” ujar Dini kepada Historia . Saking dekatnya, kata Dini, penulis Layar Terkembang itu hampir selalu memberinya uang bila bertemu. Kedekatan itu pula yang membuat Takdir meminta Dini menulis biografi Amir Hamzah, sastrawan yang tewas dalam revolusi sosial di Sumatra Utara pada 1946. “Dia yang membiayai saya ke sana,” kenang Dini. Dini mewawancarai Tengku Tahura, anak semata wayang Amir, dan sekira delapan orang yang mengenal Amir; mengumpulkan data-data mengenai Amir termasuk buku-buku sastra Melayu untuk acuan cara bertutur. Pada 1981, buku pesanan Takdir itu terbit berjudul Amir Hamzah Pangeran dari Seberang . Kendati dekat dengan Rendra dan Takdir, tetapi mereka tak mempengaruhi karya-karya Dini. “ Nggak pernah dipengaruhi,” kata Dini. Perhatian Takdir kepada Dini tak sebatas pekerjaan, meski biasanya pertemuan mereka selalu didominasi obrolan mengenai sastra. Dini masih ingat pertemuan keduanya saat Indonesia sedang berkonfrontasi melawan Malaysia pada 1960-an. Takdir mengatakan akan ke Malaysia dan mengajak Dini. “ Nggak ah , saya ini patriotis kok,” tolak Dini. Beberapa tahun setelah itu, dalam sebuah pertemuan, Takdir memprotes Dini. “Mana patriotis kok kawin sama orang Prancis?” Setelah berhenti menjadi pramugari Garuda Indonesia Airways, Dini menikah dengan Yves Coffin, diplomat Prancis, pada 1960. Mereka dikaruniai dua anak: Marie Claire Lintang dan Pierre Louis Padang, sutradara film animasi Despicable Me dan Despicable Me 2. Pernikahan mereka kandas pada 1984. Dini mendapatkan kembali kewarganegaraan Indonesia pada 1985. Dalam novelnya, Jepun Negerinya Hiroko , Dini menjawab protes Takdir: “Bagiku kemanusiaan tidak dibatasi oleh kebangsaan atau pun negeri. Kecintaanku kepada tanah air lebih mengakar pada kemanusiaannya. Dengan berganti kertas administrasi berupa paspor, tidak berarti aku melupakan bahwa aku adalah orang Jawa, satu bagian dari bangsa Nusantara. Aku tetap mencintai tumpah darahku dan manusia Indonesia.” Di usia senjanya, Dini terus berkarya. Dua tahu lalu di ulangtahunnya ke-76, dia menerbitkan novel otobiografi, Dari Rue Saint Simon ke Jalan Lembang. Dan tahun ini, dia menerbitkan kembali enam karyanya. Nh Dini meninggal dunia pada 4 Desember 2018 di RS Elizabeth Semarang karena kecelakaan mobil di ruas jalan tol Tembalang km 10 Semarang.*
- Akar Sejarah Tawar Menawar
Pasar Bolu di Toraja Utara, Sulawesi Selatan. (Micha Rainer Pali/Historia.ID). SELAIN dikenal cerdas dan hemat dalam mengurus keuangan, perempuan Asia, termasuk Indonesia, sejak dulu menguasai kegiatan di pasar. Dalam transaksi jual-beli, mereka selalu berusaha mendapatkan harga semurah mungkin. Tawar-menawar pun menjadi identik dengan mereka. Menurut Titi Surti Nastiti, arkelolog dan epigraf Pusat Arkeologi Nasional, tidak ditemukan data arkeologis terkait kegiatan jual-beli dan tawar-menawar di pasar pada masa Mataram kuno. “Namun, dengan bantuan studi etnoarkeologi yang dilakukan di pasar-pasar tradisional, kegiatan tawar-menawar muncul berdampingan dengan aktivitas pasar tradisional,” kata Titi kepada Historia. Dari catatan orang-orang Eropa yang singgah di Nusantara dapat diketahui kegiatan perempuan di pasar. Misalnya, Antonio Galvao, seorang panglima armada Portugis yang menjadi gubernur ketujuh Portugis di Maluku (1536-1540), mencatat peran perempuan Maluku dalam perniagaan. “Wanitalah yang melakukan tawar-menawar, membuka usaha, membeli dan menjual,” tulis Galvao, dikutip sejarawan Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680. Di Sumatra, menurut Anthony Reid, sebuah puisi Minangkabau terkenal yang ditulis pada 1820-an, menganjurkan agar kaum ibu mengajarkan anak-anak gadisnya “mengamati turun-naiknya harga.” Ini menjadi bekal bagi si gadis ketika berbelanja ke pasar. Seperti halnya perempuan Maluku dan Sumatra, perempuan Jawa juga berperan penting di pasar. Menurut Thomas Stanford Raffles, Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1811-1816), sudah lazim bagi suami mempercayakan seluruh urusan keuangan kepada istrinya. “Hanya perempuan yang pergi ke pasar dan melakukan seluruh urusan jual-beli. Sudah umum diketahui bahwa kaum lelaki Jawa sangat bodoh dalam mengurus uang,” tulis Raffles dalam The History of Java. Tidak hanya di pasar, perempuan juga dapat melakukan transaksi perdagangan dalam skala besar. Jeronimus Wonderaer, seorang pedagang Belanda yang mengujungi Cochin-China (Vietnam) pada 1602, melaporkan bahwa para pedagang Belanda dan Inggris melakukan tawar-menawar harga rempah-rempah dengan seorang pedagang perempuan terkemuka (coopvrouw) dari kota Kehue (Hue atau Sinoa, sebutan Portugis). Perempuan tersebut merupakan wakil dari suatu perusahaan milik dua perempuan bersaudara dan seorang saudara lelaki yang mampu menyuplai rempah-rempah dalam jumlah besar. “Wanita itulah yang melakukan tawar-menawar dan si pria hanya mendengarkan serta setuju,” tulis Wonderaer, dikutip Anthony Reid. Sejarawan Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia Jilid 2, menyebut praktik tawar-menawar sebagai “ciri kekunoan yang ada di mana-mana.” Di Jawa, seperti halnya di banyak negara Asia dan di tempat lain, jika kita kecualikan toko serba ada modern, tidak terdapat daftar harga dan segala transaksi hanya terjadi setelah ada perdebatan yang relatif panjang. Dalam kesempatan itu, masing-masing pihak dapat menunjukkan bakatnya secara terang-terangan. “Bangsa Eropa sering kali jengkel menghadapi permainan ini, karena mereka tidak dibekali keterampilan itu –paling tidak karena bahasa– dan seringkali mereka menjadi korban. Secara umum, mereka menolak cara penilaian ‘menurut pandangan klien’, yang mereka anggap barbar dan menakutkan,” tulis Lombard.*






















